Anda di halaman 1dari 18

Seminar Nasional tentang Keberlanjutan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan

Sub Tema : Praktek dan Pengalaman Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan : kasus-kasus

MENUMBUHKAN KEMAMPUAN EVALUASI DARI MASYARAKAT:


PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM PERENCANAAN TATA RUANG
KECAMATAN KEMBANG TANJONG, KABUPATEN PIDIE, NANGGROE
ACEH DARUSSALAM

Agung SUGIRI1

Staf Pengajar Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik Universitas
Diponegoro, Semarang; email: agung_sugiri@yahoo.com.au

Abstrak
Keterlibatan aktif masyarakat dalam pembangunan semakin dirasakan penting akhir-
akhir ini, tidak terkecuali dalam proses perencanaan tata ruang di Indonesia. Hal ini telah
diperkuat melalui beberapa undang-undang, termasuk UU 26/2007 tentang Penataan
Ruang. Tulisan ini mengetengahkan pengalaman dari proses penyusunan Rencana Detail
Tata Ruang (RDTR) Kecamatan Kembang Tanjong, Kabupaten Pidie, Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam, tahun 2007. Pendekatan partisipatif RDTR Kecamatan Kembang
Tanjong berusaha menumbuhkan kemampuan masyarakat untuk mengevaluasi rencana
tata ruang berdasarkan hasil-hasil pembangunan yang mereka rasakan, sesuatu yang
mungkin belum banyak dilakukan di Indonesia sebelumnya. Melalui serangkaian
pengamatan lapangan bersama dan FGD (Focus Group Discussion), masyarakat
dikenalkan kepada metoda sederhana seperti forcefield approach. Langkah awalnya
adalah menyerap aspirasi masyarakat mengenai visi atau keadaan yang mereka cita-
citakan untuk 5 tahun ke depan. Masyarakat kemudian difasilitasi untuk dapat
menjabarkan dan menilai secara kuantitatif keadaan tersebut melalui serangkaian
indikator, yang tentunya disederhanakan sesuai dengan kemampuan mereka. Dengan
demikian, masyarakat dapat menilai keadaan sekarang yang mereka rasakan, dan dapat
pula merumuskan visi ke depan yang realistis. Selanjutnya, masyarakat juga diajak
untuk menyadari bahwa untuk dapat terwujudnya visi tersebut diperlukan serangkaian
tujuan (misi), dan bahwa saat ini telah ada kekuatan pendukung dan kekuatan
penghambat bagi tercapainya tujuan-tujuan tersebut. Maka selanjutnya, masyarakat
dapat diajak untuk menyusun strategi-strategi yang dapat menghilangkan atau
meminimalkan kekuatan penghambat dan memaksimalkan kekuatan pendukung. Dari
serangkaian strategi inilah, implikasi kebijakan pembangunannya akan terlihat jelas.
Masyarakat akhirnya akan menyadari pula bahwa kebijakan-kebijakan tata ruang berikut
indikasi program-program pembangunannya yang merupakan hasil dari RDTR ini,
meskipun merupakan bagian sangat penting, tapi bukan segala-galanya, dalam
pembangunan di kecamatan mereka. Kemampuan masyarakat untuk melakukan evaluasi
keadaan pada tahun-tahun mendatang pun akan tumbuh, karena mereka mampu
melakukan penilaian terhadap indikator-indikator keadaan tersebut. Maka, kiranya hal ini
akan membantu dalam keberlanjutan proses partisipatif dalam perencanaan,
pelaksanaan dan evaluasi pembangunan di Kecamatan Kembang Tanjong di tahun-tahun
mendatang.
Kata kunci (Keywords): partisipasi masyarakat, perencanaan tata ruang, evaluasi
pembangunan

Pendahuluan
Peranserta masyarakat dalam pembangunan, termasuk pada tahap perencanaannya,
merupakan hal yang sangat penting meskipun baru diterapkan sejak beberapa dekade
terakhir ini saja di Indonesia, terutama selama satu dekade era reformasi ini. Kiranya hal
ini sejalan dengan pesatnya perkembangan demokratisasi yang meliputi semua aspek
sejak 1998, tidak saja pada kehidupan politik tapi juga sosial ekonomi. Beberapa
undang-undang telah pula diterbitkan untuk memfasilitasi pelaksanaannya, dan yang
terbaru di antaranya adalah UU 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan

122
Seminar Nasional tentang Keberlanjutan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan
Sub Tema : Praktek dan Pengalaman Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan : kasus-kasus

Nasional, UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, dan UU 26/2007 tentang Penataan


Ruang.
Salah satu tujuan sistem perencanaan pembangunan nasional, seperti disebutkan dalam
UU 25/2004 (Pasal 2 (4)d), adalah mengoptimalkan partisipasi masyarakat. Dalam UU ini
juga ditekankan mengenai perlunya musyawarah perencanaan pembangunan
(Musrenbang) mulai dari tingkat desa hingga nasional pada semua tingkatan rencana,
mulai dari rencana jangka panjang hingga jangka tahunan. Sementara dalam UU
32/2004 yang merupakan pengganti UU 22/1999, pentingnya partisipasi (dan
pemberdayaan) masyarakat ditekankan antara lain pada Pasal 199 (6), Pasal 200 (2),
Pasal 209, dan Pasal 215. Demikian pula dengan UU 26/2007 yang menggantikan
undang-undang sebelumnya, UU 24/1992, pentingnya partisipasi masyarakat terlihat
antara lain pada Pasal 48 dan Pasal 55. Bahkan Bab VIII secara khusus mengatur
mengenai hak, kewajiban dan peran masyarakat, dengan Pasal 65 memberikan
penekanan pada partisipasi.
Asal mula dirasakan perlunya partisipasi masyarakat sebenarnya berawal dari
terpinggirkannya peran masyarakat dalam pengambilan keputusan oleh para elit
penguasa, padahal keputusan-keputusan itu menyangkut kesejahteraan masyarakat luas.
Arnstein (1969) misalnya, sekitar 40 tahun yang lalu mengkritisi bahwa partisipasi
masyarakat di Amerika Serikat pada masa itu lebih bersifat ritual kosong belaka.
Mayoritas masyarakat tidak mendapatkan kekuasaan (power) yang cukup, baik di ranah
politik maupun mekanisme sosial ekonomi yang ada, untuk dapat berperan dalam
menentukan dan merubah nasib mereka sendiri ke arah yang lebih baik. Maka pelibatan
aktif masyarakat luas dalam pembangunan hakikatnya merupakan suatu langkah yang
berpihak kepada mayoritas penduduk yang kurang beruntung (worse off), melalui
redistribusi kekuasaan dalam pengambilan keputusan-keputusan yang menyangkut
kepentingan mereka sendiri. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa partisipasi
masyarakat merupakan bagian dari pembangunan berkelanjutan (sustainable
development) karena menunjang tercapainya keadilan di dalam generasi
(intragenerational equity)2.
Arnstein mengidentifikasi adanya delapan tingkat anak tangga partisipasi yang terbagi
dalam tiga kategori, mulai dari kategori non-partisipasi, tokenism (penghargaan), hingga
kekuasaan masyarakat (citizen power). Gambar 1 memperlihatkan hal ini. Pada tingkat
partisipasi yang tertinggi, maka masyarakat tidak hanya menjadi partner bagi para
pemegang kekuasaan (power holders), tapi masyarakat benar-benar mengontrol dalam
arti mampu menjamin bahwa aspirasi mereka tidak hanya tertulis dalam kebijakan, tapi
juga terlaksanakan dengan baik. Inilah yang diistilahkan dengan kontrol masyarakat
(citizen control), ketika masyarakat mendapatkan kekuasaan manajerial penuh (full
managerial power). Level ini berada dua tingkat di atas partnership (Arnstein 1969),
meskipun keduanya sudah termasuk dalam kategori kekuasaan masyarakat.

123
Seminar Nasional tentang Keberlanjutan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan
Sub Tema : Praktek dan Pengalaman Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan : kasus-kasus

Keterangan Gambar:
Anak tangga
1. Manipulation: Manipulasi
2. Therapy: Terapi
3. Informing: Pemberitahuan
4. Consultation: Konsultasi
5. Placation: Penempatan
6. Partnership: Kemitraan
7. Delegated Power: Kekuasaan
Terdelegasi
8. Citizen Control: Kontrol
Masyarakat
Kategori
• Nonparticipation: Non-partisipasi;
pada kategori ini boleh dikatakan
tidak ada partisipasi masyarakat
• Tokenism: Penghargaan;
masyarakat cukup dihargai melalui
pemberian informasi, diajak
konsultasi, dan ditempatkan
wakilnya dalam lembaga-lembaga
pengambil keputusan
• Citizen Power: Kekuasaan
Masyarakat; masyarakat
mendapatkan kekuasaan
manajerial, mulai dari kemitraan
hingga kekuasaan penuh
Gambar 1
Delapan Tingkatan dalam Anak Tangga Partisipasi (Arnstein 1969: 217)

Praktek partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di


Indonesia secara umum, kiranya belum sampai pada anak tangga tertinggi itu. Meskipun
upaya-upaya serius telah dan sedang dilakukan baik oleh pemerintah dari semua
tingkatan, organisasi-organisasi non-pemerintah, maupun masyarakat itu sendiri,
kebanyakan perencanaan pembangunan umumnya, dan tata ruang khususnya, agaknya
masih berada di sekitar anak tangga pertengahan dan belum masuk kategori kekuasaan
masyarakat. Beberapa perencanaan yang menyangkut masyarakat terbatas seperti
perencanaan pemukiman kembali bagi penduduk yang terkena bencana, atau
perencanaan desa (village planning), mungkin sudah ada yang mencapai tingkat
kemitraan atau bahkan kontrol masyarakat3. Namun untuk perencanaan yang
menyangkut wilayah yang cukup luas dan berpenduduk besar seperti kecamatan,
kabupaten/kota dan provinsi, dapat dipastikan bahwa masyarakat belum mencapai
tingkat partisipasi yang mendapatkan kekuasaan manajerial penuh.
Keadaan di Indonesia ini, jika menggunakan ukuran relatif, sebenarnya tidak terlalu
buruk mengingat di Amerika Serikat saja, sebuah negara yang telah ratusan tahun
menerapkan demokrasi secara politik, partisipasi masyarakat dalam pembangunannya
baru dimulai tahun 1949 dan baru meningkat pesat pada era 1970-an (Roberts 2004).
Dengan kecenderungan (trend) kesadaran yang meningkat dari semua pelaku
pembangunan akan pentingnya partisipasi masyarakat, dan kemauan yang sungguh-
sungguh untuk melaksanakannya, Indonesia mungkin termasuk beruntung. Maka
keberlanjutan trend ini menjadi penting, tidak saja untuk memperbaiki tingkat partisipasi

124
Seminar Nasional tentang Keberlanjutan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan
Sub Tema : Praktek dan Pengalaman Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan : kasus-kasus

masyarakat dalam pembangunan, tapi juga untuk mempertahankan momentum yang


baik ke arah terjaminnya pembangunan berkelanjutan. Dalam kaitan dengan inilah
mendukung partisipasi masyarakat dalam evaluasi pembangunan umumnya, dan
penataan ruang khususnya, menjadi penting, dan ini seyogyanya sudah dipersiapkan
sejak tahap perencanaan.

PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM EVALUASI PEMBANGUNAN


Seperti dimaklumi bersama, evaluasi memegang peranan penting dalam pembangunan
mengingat hasil evaluasi akan menjadi masukan penting bagi perencanaan
pembangunan periode berikutnya. Evaluasi memungkinkan seorang perencana
mengetahui tingkat keberhasilan pelaksanaan rencananya yang lalu dengan baik, dalam
arti menemukan faktor-faktor apa saja yang berhasil dan apa saja yang gagal serta
hubungan sebab akibat yang terjadi selama periode perencanaannya. Dapat dipastikan
bahwa jika ingin menghasilkan perencanaan yang baik, hasil evaluasi yang baik dari
pelaksanaan pembangunan yang lalu seyogyanya menjadi prasyarat pertamanya. Untuk
mendapatkan hasil evaluasi yang baik inilah pelibatan aktif masyarakat diperlukan pula,
karena tanpa partisipasi masyarakat dalam evaluasi maka bentuk redistribusi kekuasaan
kepada masyarakat –yang menjadi syarat partisipasi- tidaklah sempurna.
Evaluasi ini, secara tidak disadari sebenarnya telah dan selalu dilakukan masyarakat
melalui apa yang mereka rasakan dalam kehidupan sehari-hari. Secara individual, setiap
orang bisa merasakan apakah hasil-hasil pembangunan sesuai dengan kebutuhan dan
harapan orang tersebut atau tidak. Hanya saja, aspirasi ini ketika dikumpulkan pada
tingkat kemasyarakatan mungkin kurang tertangkap oleh pihak-pihak yang berwenang
melakukan evaluasi perencanaan dan pembangunan, terutama dikarenakan masyarakat
kesulitan menstrukturkan penilaian mereka sementara format evaluasi yang cenderung
dari atas (top down) mungkin kurang menyediakan ruang untuk menampung perasaan
dan aspirasi masyarakat. Demikian pula agaknya yang terjadi dengan perencanaan-
perencanaan tata ruang di Indonesia, terutama dengan wilayah perencanaan kecamatan
dan yang lebih luas.
Berangkat dari sinilah, maka tulisan singkat ini menguraikan pengalaman pendekatan
partisipatif dalam penyusunan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kecamatan Kembang
Tanjong, Kabupaten Pidie, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang berusaha
menumbuhkan kemampuan evaluasi dari masyarakat. Kembang Tanjong termasuk
daerah yang terkena kerusakan yang cukup parah ketika tsunami tahun 2004 yang lalu,
meskipun korban jiwa tidaklah terlalu banyak dibandingkan dengan daerah Meulaboh
atau Banda Aceh. RDTR Kecamatan Kembang Tanjong disusun oleh BRR (Badan
Rekonstruksi dan Rehabilitasi) NAD-Nias pada tahun 2007 bekerjasama dengan sebuah
konsultan perencanaan. Harus dicatat bahwa menumbuhkan kemampuan masyarakat
untuk dapat melakukan evaluasi pembangunan tidaklah dituntut dalam KAK (Kerangka
Acuan Kerja) pekerjaan RDTR ini, sehingga hal ini boleh dianggap sebagai sebuah inovasi
dan pekerjaan ekstra oleh perencana.
Satu hal yang menjadi pertanyaan awal ketika memulai penyusunan RDTR ini adalah:
“Apakah muatan isi dari rencana-rencana tata ruang –dengan pendekatan partisipatifnya
- selama ini sudah cukup memberikan arahan bagi masyarakat untuk melakukan
evaluasi keadaan?” Studi literatur yang dilakukan dalam penyusunan RDTR itu
menemukan jawaban negatif atas pertanyaan tersebut, sehingga timbul pertanyaan
berikutnya: “Apakah dimungkinkan untuk memberikan arahan kepada masyarakat untuk
dapat melakukan evaluasi oleh mereka sendiri dalam muatan RDTR ini tanpa harus
bertentangan dengan dan/atau mengurangi kuantitas dan kualitas muatan isi yang
disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku?” Ternyata, dengan
mengajukan proposisi dalam penyusunan RDTR Kecamatan Kembang Tanjong, jawaban
dari pertanyaan ini adalah positif.
Bagian selanjutnya dari tulisan ini akan menguraikan lebih jauh jawaban atas pertanyaan
kedua tersebut dan juga jawaban atas pertanyaan ketiga berikut ini: “Bagaimana arahan

125
Seminar Nasional tentang Keberlanjutan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan
Sub Tema : Praktek dan Pengalaman Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan : kasus-kasus

dan dukungan kepada masyarakat Kembang Tanjong untuk dapat melakukan evaluasi itu
menyatu dalam satu kesatuan muatan RDTR dan bagaimana saran pelaksanaannya?”

Menumbuhkan Kemampuan Masyarakat untuk Mengevaluasi: Kasus RDTR


Kecamatan Kembang Tanjong
Meskipun belum banyak dilakukan dalam perencanaan tata ruang di Indonesia,
penyusunan RDTR Kecamatan Kembang Tanjong berusaha membantu masyarakat untuk
mampu mengevaluasi pembangunan umumnya, dan penataan ruang khususnya, di
wilayah mereka. Pengalaman ini akan dituangkan dalam tiga bahasan berikut. Bagian
pertama membahas mengenai berdasarkan apa masyarakat akan mengevaluasi
penataan ruang di wilayah mereka. Bagian kedua menguraikan bagaimana proses
partisipasi masyarakat dalam penyusunan RDTR Kecamatan Kembang Tanjong, dan
bagian ketiga membahas proposisi perencana dan konfirmasinya dari masyarakat.

EVALUASI OLEH MASYARAKAT KEMBANG TANJONG: BERDASARKAN APA?


Hal mendasar pertama yang harus diketahui adalah berdasarkan apa masyarakat
Kembang Tanjong bisa mengevaluasi pembangunan secara umum, dan khususnya
penataan ruang di wilayahnya. Mengharapkan masyarakat Kembang Tanjong mampu
mengevaluasi penataan ruang berdasarkan pembandingan rencana tata ruang dengan
hasil perwujudan ruangnya adalah suatu harapan yang terlalu tinggi agaknya. Hal ini
bukan saja karena masyarakat Kembang Tanjong tidak memiliki kemampuan dasar
perencanaan tata ruang, tapi bahkan istilah penataan ruang itu sendiri belum terlalu
populer di sebagian masyarakat, terlihat dari tanggapan seorang pemuka kecamatan
yang sempat mengira tim penyusun RDTR ini akan mengatur ruangan Kantor Kecamatan
Kembang Tanjong4. Maka yang paling mungkin untuk difasilitasi di Kembang Tanjong
adalah agar masyarakat mampu mengevaluasi berdasarkan apa yang mereka dapatkan
dan rasakan dari proses pembangunan dan penataan ruang di wilayah mereka itu. Ibarat
seorang penyantap makanan yang awam dalam hal masak memasak, dia tidak akan
peduli apakah hidangan yang dimakannya itu sudah sesuai bahan dan bumbunya dengan
resep yang baik hasil perencanaan seorang ahli masak. Yang dia pedulikan tentunya
adalah apakah makanan itu enak dan menyehatkan atau tidak.
Persepsi masyarakat terhadap hasil pembangunan tentunya datang langsung dari apa
yang mereka rasakan dalam kehidupan sehari-hari. Jika seseorang telah bekerja keras
setiap harinya tapi mendapatkan penghasilan yang hanya cukup untuk menghidupi
keluarganya secara pas-pasan saja dan ini sudah berlangsung cukup lama tanpa
peningkatan berarti, tentu orang seperti ini akan mempunyai persepsi bahwa
pembangunan belum dapat membawa kesejahteraan (welfare) yang baik bagi
penduduknya. Contoh seperti ini adalah evaluasi dari seorang rakyat yang kurang
beruntung terhadap pembangunan di daerahnya, dan kiranya dengan cara seperti inilah
masyarakat secara umum menilai keberhasilan (atau kegagalan) pembangunan.
Keinginan masyarakat pada umumnya adalah sederhana saja, yaitu mendapatkan
kesejahteraan pada tingkat yang baik dalam kehidupan mereka dan berharap anak cucu
mereka nantinya pun akan menikmati kesejahteraan yang minimal sama. Kesejahteraan
yang dirasakan masyarakat tentunya adalah dalam arti luas. Masyarakat umumnya tidak
menyadari bahwa banyak komponen-komponen yang bekerja dan saling terkait sehingga
menghasilkan apa yang mereka rasakan sebagai kesejahteraan tersebut. Masyarakat
juga umumnya akan kesulitan untuk menilai secara kuantitatif dari apa yang mereka
rasakan. Maka hal-hal tersebut menjadi tugas perencana, yaitu untuk membuat
masyarakat sadar akan adanya komponen-komponen tersebut dan kemudian mampu
menilainya secara kuantitatif walaupun sederhana sekalipun. Untuk inilah diperlukan
proposisi dari perencana dalam memulai penyusunan RDTR Kecamatan Kembang
Tanjong, yang kemudian akan dikonfirmasikan kepada masyarakat. Namun sebelum itu,
perlu kiranya diulas bagaimana pendekatan partisipatif dilaksanakan dalam penyusunan

126
Seminar Nasional tentang Keberlanjutan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan
Sub Tema : Praktek dan Pengalaman Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan : kasus-kasus

RDTR Kecamatan Kembang Tanjong sehingga akan menjadi jelas pada tahap mana
proposisi perencana itu diajukan dan dikonfirmasikan kepada masyarakat.

PROSES PARTISIPATIF DALAM PENYUSUNAN RDTR KECAMATAN KEMBANG


TANJONG
Alur proses perencanaan partisipatif dalam RDTR Kecamatan Kembang Tanjong dapat
dilihat pada Tabel 1. Masyarakat dilibatkan dalam proses perencanaan meliputi tiga tahap,
yaitu tahap persiapan, tahap pendataan dan analisis, serta tahap perumusan rencana.

Tabel 1 Proses Partisipatif dalam RDTR Kembang Tanjong 2008-2017

PARTISIPASI YANG
TAHAP CARA
DIHARAPKAN
Persiapan: Penyatuan Masyarakat diharapkan paham Sosialisasi rencana tata ruang
Pemahaman terhadap akan pentingnya kedudukan dan yang ada sebelumnya (RTRW
Rencana Tata Ruang peran rencana tata ruang dalam Kabupaten Pidie).
mencapai tujuan-tujuan
Pendekatan personal dari tim
pembangunan, utamanya di
penyusun RDTR kepada tokoh-
Kembang Tanjong. Selanjutnya,
tokoh kunci dalam masyarakat,
masyarakat diharapkan antusias
utamanya para geuchik dan imam
dan berpartisipasi atas kesadaran
mukim.
sendiri dalam proses
perencanaan tata ruang, tentu FGD (Focus Group Discussion) I
sesuai dengan kapasitas masing- yang diikuti para geuchik dan
masing. imam mukim.
Persiapan: Penyatuan Masyarakat dapat memahami Diskusi personal dengan tokoh-
Pemahaman tentang perlunya hirarki dalam tokoh masyarakat, baik itu formal
Hirarki Rencana- perencanaan tata ruang, dan seperti Camat dan stafnya,
rencana Tata Ruang pentingnya kedudukan dan peran maupun para geuchik dan imam
masing-masing hirarki rencana mukim.
tata ruang tersebut.
FGD II yang diikuti para geuchik
dan imam mukim.
Data, Informasi dan Masyarakat berpartisipasi dalam Diskusi personal melalui
Analisis menyampaikan persepsi mereka pengamatan lapangan bersama
mengenai permasalahan dengan tokoh-tokoh masyarakat,
pembangunan yang ada di baik itu formal seperti Camat dan
Kembang Tanjong, dan potensi stafnya, maupun para geuchik
pembangunan yang dimiliki. dan imam mukim.
FGD III yang diikuti para geuchik
dan imam mukim.
Masyarakat menyampaikan Diskusi personal melalui
aspirasi menyangkut cita-cita, pengamatan lapangan bersama
tujuan, dan strategi Kembang dengan tokoh-tokoh masyarakat,
Tanjong 2012, termasuk baik itu formal seperti Camat dan
keinginan-keinginan spesifik stafnya, maupun para geuchik
mereka menyangkut dan imam mukim.
pembangunan di wilayahnya,
FGD IV yang diikuti para geuchik
baik itu mengenai
dan imam mukim.
persetujuannya dengan usulan-
usulan perencana, maupun
keberatannya juga.

127
Seminar Nasional tentang Keberlanjutan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan
Sub Tema : Praktek dan Pengalaman Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan : kasus-kasus

Rencana Masyarakat berpartisipasi dalam Diskusi personal, sejauh


mengusulkan dan menilai usulan memungkinkan, dengan tokoh-
rencana-rencana detail tata tokoh masyarakat, baik itu formal
ruang di wilayahnya. Dengan seperti Camat dan stafnya,
demikian, rencana yang maupun para geuchik dan imam
dihasilkan akan mencerminkan mukim.
kebutuhan mereka, dan mereka
FGD V yang diikuti para geuchik
akan merasa memiliki (sense of
dan imam mukim.
belonging) terhadap rencana tata
ruang, sehingga akan
mendukung proses
pelaksanaannya nanti.

Sumber: BRR NAD-Nias 2007

Pada tahap persiapan dilakukan penyamaan persepsi terhadap perencanaan tata ruang
melalui pendekatan personal kepada tokoh-tokoh kunci masyarakat (utamanya para
geuchik dan imam mukim5) dan dua kali FGD (Focused Group Discussion). FGD dilakukan
dengan sedapat mungkin memanfaatkan forum Musyawarah Kecamatan.
Sementara pada tahap data dan analisis dilakukan penjaringan aspirasi masyarakat
menyangkut cita-cita masyarakat Kembang Tanjong untuk tahun 2012, tujuan-tujuan dan
strategi pencapaian tujuan, serta implikasi kebijakan tata ruangnya. Demi kemudahan bagi
masyarakat, meskipun periode perencanaan ini hingga tahun 2017, visi masyarakat
diarahkan hanya sampai lima tahun saja (hingga tahun 2012), untuk kemudian visi ini
ditarik lebih jauh hingga akhir tahun perencanaan oleh tim penyusun RDTR.
Pada tahap inilah proposisi perencana didiskusikan kepada masyarakat dan mendapatkan
konfirmasinya. Proposisi yang berdasarkan pengamatan tim penyusun dan juga teori-teori
perencanaan ini, tentu saja, sangat mungkin tidak bersesuaian dengan pendapat dan
aspirasi masyarakat. Untuk itulah, penjaringan aspirasi masyarakat sangat diperlukan agar
rencana tata ruang yang dihasilkan benar-benar dirasakan sebagai sesuatu yang dari, oleh,
dan untuk mereka.
Kemudian, pada tahap rencana dilakukan penyerapan aspirasi masyarakat menyangkut
kebijakan tata ruang dan program pembangunan yang akan diterapkan di Kembang
Tanjong hingga tahun 2017. Rancangan kebijakan tata ruang yang berdasarkan hasil
olahan tim penyusun RDTR, meskipun telah mengakomodasi aspirasi masyarakat dalam
prosesnya, sangat mungkin masih belum sesuai benar dengan pendapat dan aspirasi
masyarakat. Hal ini karena masyarakat, melalui keunikan sosial budaya mereka, bisa saja
mempunyai pendapat dan aspirasi tersendiri menyangkut program-program pembangunan
yang mereka inginkan untuk mencapai cita-cita Kembang Tanjong 2017. Hal-hal yang
mungkin terlewatkan dalam proses analisis hingga rancangan rencana ini bisa saja
terungkap dalam penjaringan aspirasi masyarakat.

PROPOSISI PERENCANA DAN KONFIRMASINYA


Pembangunan berkelanjutan yang memperhatikan aspek mitigasi bencana serta
partisipasi masyarakat menjadi landasan dasar perencanaan. Secara garis besar,
pembangunan berkelanjutan adalah suatu pembangunan yang mampu mensejahterakan
seluruh masyarakat generasi sekarang tanpa harus mengurangi potensi seluruh
masyarakat generasi-generasi mendatang untuk meraih kesejahteraan yang minimal
sama (WCED 1987). Maka di sini terlihat berperannya aspek keadilan (equity), baik yang
berlaku dalam satu generasi maupun antar generasi.
Gambar 2 memperlihatkan proposisi perencana. Proposisi perencana ini berperan pula
sebagai acuan bagi pelibatan masyarakat dalam proses perencanaan, sekaligus memberi
pembelajaran bagi mereka yang merupakan bagian penting dari proses partisipatif
(Forester 1999). Dengan pendekatan analisis medan gaya (forcefield analysis), semacam

128
Seminar Nasional tentang Keberlanjutan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan
Sub Tema : Praktek dan Pengalaman Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan : kasus-kasus

analisis SWOT (Strengths, Weaknesses, Opportunities, Threats) yang sering digunakan


dalam perencanaan strategis (lihat misalnya Piercy dan Giles 1990), masyarakat
diharapkan tidak terlalu kesulitan mengikuti alur logika perencanaan, karena masyarakat
didukung untuk menyadari posisi mereka saat ini, cita-cita mereka ke depan, dan
bagaimana mencapai cita-cita itu dengan menyadari kekuatan pendukung dan
penghambat yang ada.
Kiranya, hanya yang penting dan sesuai dengan pokok bahasan makalah ini sajalah yang
perlu diuraikan dari proposisi dan konfirmasinya ini. Pertama adalah menjaring aspirasi
masyarakat mengenai cita-cita atau visi mereka untuk lima tahun ke depan. Sementara
yang tak kalah pentingnya adalah menumbuhkan kemampuan masyarakat untuk menilai
secara kuantitatif keadaan yang merupakan hasil dari pembangunan di wilayahnya.
Karena itu, pembahasan mengenai visi akan agak panjang, sementara untuk tujuan,
strategi dan implikasi kebijakannya akan dibahas secara ringkas.

Visi Kembang Tanjong Jangka Panjang


Dalam perencanaan dengan pendekatan partisipatif, visi ke depan haruslah sesuai
dengan aspirasi dan menjadi milik masyarakat (Kurtz 2007; Krohe Jr. 2006). Hal ini akan
memudahkan pula dalam pelibatan masyarakat untuk evaluasi nanti. Mengingat acuan
ideal pembangunan berkelanjutan, yang nampaknya belum bisa tercapai dalam jangka
lima atau sepuluh tahun ke depan, maka penyerapan aspirasi masyarakat mengenai visi
pembangunan Kembang Tanjong yang realistis haruslah dibagi dua tahap, yaitu untuk
jangka panjang (visi ideal) dan untuk jangka lima tahun ke depan.

129
Seminar Nasional tentang Keberlanjutan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan
Sub Tema : Praktek dan Pengalaman Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan : kasus-kasus

Gambar 2 Proposisi Perencana dalam Penyusunan RDTR Kembang Tanjong


(BRR NAD-Nias 2007)

130
Seminar Nasional tentang Keberlanjutan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan
Sub Tema : Praktek dan Pengalaman Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan : kasus-kasus

Visi Jangka Panjang Kecamatan Kembang Tanjong (yaitu nilai 10 dalam skala 10), adalah
ketika keadilan di dalam dan antar generasi benar-benar teraplikasikan secara penuh
sehingga pembangunan berkelanjutan benar-benar terjamin, atau dengan kata lain
adalah keadaan Kembang Tanjong yang makmur, sejahtera dan berkelanjutan. Hal ini
boleh dicerminkan oleh lima keadaan utama berikut:
A- Keadaan terbaik adalah ketika lingkungan (natural dan binaan) benar-benar lestari,
sehat dan menyehatkan – yang dapat disebut keadaan Kelestarian Lingkungan
(disingkat Kel). Sebaliknya, hal terburuk adalah ketika kondisi lingkungan sangat
terganggu sehingga tidak dapat berfungsi untuk mendukung kehidupan.
Keadaan tersebut boleh terukur dari indikator-indikator berikut ini:
1. Kondisi kawasan pesisir; keadaan kawasan pesisir pantai Kembang Tanjong sangat
menentukan kelestarian lingkungan. Keberadaan tumbuhan pantai seperti bakau
(mangrove) ataupun cemara laut dengan intensitas tertentu sangat diperlukan untuk
menjaga kelestarian. Selain itu, tingkat polusi pantai juga merupakan indikator yang
perlu diperhatikan.
2. Kondisi sungai; keadaan sungai di Kecamatan Kembang Tanjong juga merupakan
indikator penting kelestarian lingkungan. Hal ini tentunya akan menyangkut kualitas
air, apakah terpolusi atau tidak, karena salah satu fungsi sungai adalah sebagai
habitat ikan dan hewan-hewan sungai lainnya. Yang kedua adalah kuantitas air, yaitu
debit alirannya. Debit sungai turut menentukan baik tidaknya fungsi ekologis sungai
tersebut. Yang ketiga adalah keadaan sepanjang pinggiran sungai, menyangkut
kawasan penyangga agar fungsi sungai tetap terjaga kelestariannya.
3. Kondisi udara; secara umum, keadaan udara harus dijaga agar tingkat polusinya
tidak melebihi kapasitas asimilatifnya (assimilative capacity).
4. Kondisi pemanfaatan lahan (land use) lainnya; selain kawasan pantai dan sungai,
keadaan penggunaan lahan lainnya pun boleh menjadi indikator kelestarian
lingkungan. Kawasan budidaya misalnya, sebaiknya peruntukannya adalah yang
paling cocok (feasible) menurut kriteria kesesuaian lahan secara fisik.
5. Ketersediaan dan mutu air tanah; ketersediaan air tanah dan kualitasnya juga
merupakan indikator penting kelestarian lingkungan. Hal ini karena siklus hidrologi
akan terganggu jika keadaan air tanahnya terganggu.
B- Demikian pula, mengingat bencana alam adalah isu yang sangat penting di wilayah
Aceh, maka keadaan terbaik tercapai ketika lingkungan (natural dan binaan) benar-benar
adaptif terhadap bencana alam kecil maupun besar - untuk selanjutnya disebut keadaan
Ketahanan Lingkungan (Ket). Hal sebaliknya adalah ketika adaptabilitas lingkungan
terhadap bencana kecil maupun besar sangat rendah.
Keadaan tersebut boleh terukur dari indikator-indikator berikut ini:
1. Kondisi kawasan pesisir; keadaan kawasan pesisir pantai yang baik, dengan
keberadaan bakau atau cemara laut yang cukup, akan ikut berperan dalam
meminimalkan dampak bencana, terutama tsunami.
2. Keberadaan bukit-bukit (high hills); bukit-bukit alami, terutama yang tidak terlalu
jauh dari pemukiman penduduk akan sangat membantu sebagai tempat pelarian
sementara ketika datangnya tsunami.
3. Keberadaan bangunan tinggi (high buildings); fungsi bangunan tinggi dalam
meminimalkan dampak tsunami akan serupa dengan bukit-bukit alami.
4. Keadaan jaringan jalan; jaringan jalan yang memadai sangat diperlukan sebagai
prasarana menyelamatkan diri ketika terjadi gempa dan tsunami.
5. Keadaan sistem peringatan dini (early warning system); ini juga boleh menjadi
indikator, mengingat adanya sistem peringatan dini yang baik sangat diperlukan
untuk mencegah jatuhnya banyak korban ketika bencana terjadi.

131
Seminar Nasional tentang Keberlanjutan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan
Sub Tema : Praktek dan Pengalaman Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan : kasus-kasus

C- Keadaan ideal selanjutnya adalah ketika kesejahteraan (welfare) sosial dan ekonomi
penduduk terjamin sepenuhnya - selanjutnya disebut keadaan Kesejahteraan
Penduduk (Wel). Sebaliknya, ketika kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat
sedemikian rendahnya sehingga untuk mendapatkan kebutuhan dasar saja susah, hal ini
adalah keadaan terburuk.
Keadaan tersebut akan terukur oleh indikator-indikator berikut ini:
1. Keadaan penghasilan penduduk; jelas, meskipun bukan satu-satunya, penghasilan
turut menentukan kesejahteraan penduduk. Hal ini boleh diukur melalui pendapatan
perkapita, baik secara sensus ataupun perkiraan.
2. Keadaan perumahan penduduk; tak pelak lagi, perumahan merupakan salah satu
kebutuhan dasar penduduk, sehingga semakin puas penduduk dengan keadaan
perumahannya akan meningkatlah kesejahteraan mereka.
3. Sistem jaminan sosial (pensiun, hubungan-hubungan sosial, dll.); banyak hal dari
jaminan sosial (social security) sebenarnya merupakan kebutuhan dasar pula. Hak
mendapatkan pendidikan dan pelayanan kesehatan yang baik, misalnya, adalah
termasuk hak-hak dasar masyarakat.
4. Kondisi perangkutan umum; mobilitas (pergerakan) adalah juga merupakan
kebutuhan penduduk sejak dahulu sampai sekarang. Karena itu, semakin baik
keadaan perangkutan umum akan semakin tinggi pula kesejahteraan penduduknya.
D- Keadaan terbaik keempat adalah ketika fasilitas sosial dan fasilitas umum serta
infrastruktur yang tersedia adalah lengkap dan dapat dinikmati sepenuhnya (fully
affordable) oleh penduduk – yang dapat disebut keadaan Fasilitas (Fas). Keadaan
sebaliknya adalah ketika prasarana dan fasilitas tidak tersedia atau sangat minim sekali,
atau kalaupun ada tidak dapat dinikmati oleh penduduk.
Keadaan tersebut boleh terukur dari indikator-indikator berikut ini:
1. Kondisi dan ketersediaan jalan, prasarana lainnya, dan utilitas (air bersih, saluran
drainase dan limbah, dll.).
2. Kondisi dan ketersediaan fasilitas umum dan sosial (sekolah, puskesmas, dll.).
E- Selanjutnya, keadaan terbaik adalah ketika seluruh penduduk sangat siap dalam
menghadapi dan meminimalisasi dampak bencana besar maupun kecil - untuk
selanjutnya disebut keadaan Ketahanan Penduduk (KetP). Sebaliknya adalah ketika
penduduk tidak mempunyai kesiapan sama sekali jika bencana alam datang sewaktu-
waktu.
Keadaan tersebut boleh terukur dari indikator-indikator berikut ini:
1. Keadaan sistem peringatan dini (early warning system); sistem peringatan dini yang
baik tidak hanya akan memperbaiki ketahanan lingkungan terhadap bencana alam,
tapi juga meningkatkan ketahanan penduduk, sehingga jumlah korban jiwa dapat
diminimalkan ketika terjadi bencana.
2. Kondisi pendidikan mitigasi bencana; pendidikan untuk siap menghadapi bencana
tidak kalah pentingnya dari sistem peringatan dini yang baik. Pendidikan bisa
dilakukan melalui jalur formal melalui kurikulum sekolah, maupun informal melalui
mekanisme hubungan sosial penduduk.
3. Kondisi psikologi sosial penduduk; keadaan ini memang agak sukar mengukurnya,
tapi sebetulnya sangat penting dalam menghadapi bencana alam besar. Mental
penduduk yang kuat akan turut membantu minimalisasi dampak bencana. Juga
tingkat spiritualitas yang tinggi, seperti ketakwaan dalam beragama, akan menambah
ketahanan penduduk dan membuat mereka dengan tidak frustrasi dan segera bisa
bangkit kembali setelah ditimpa musibah.
Untuk mendapatkan proposisi terhadap visi lima tahun mendatang, perlu diperkirakan
terlebih dulu kondisi saat ini Kembang Tanjong jika dibandingkan dengan visi idealnya.

132
Seminar Nasional tentang Keberlanjutan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan
Sub Tema : Praktek dan Pengalaman Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan : kasus-kasus

Harus diingat bahwa lintasan keberlanjutan (sustainability trajectory) dari pembangunan


wilayah Aceh umumnya dan Kecamatan Kembang Tanjong khususnya sangat terganggu
oleh bencana gempa dan tsunami Desember 2004 yang lalu. Kerugian fisik maupun
nonfisik sangat dirasakan oleh seluruh masyarakat. Hal ini membuat nilai kelima keadaan
di atas boleh jadi cukup jauh dari ideal. Dalam skala 10, proposisi perencana
memperkirakan nilai kelima keadaan di atas adalah sbb.:
A- Kelestarian Lingkungan (Kel); potensi lingkungan alam dan binaan kawasan Kembang
Tanjong untuk mendukung cita-cita pembangunan berkelanjutan adalah cukup baik,
mengingat belum terlihat adanya kerusakan ekosistem yang berarti, kecuali kurangnya
bakau di sepanjang garis pantai. Tapi di sisi lain ada hambatan atau tantangan yang
kelihatannya sama kuatnya. Maka boleh dikatakan bahwa nilai Kel = 5.
B- Ketahanan Lingkungan (Ket); potensi ketahanan lingkungan terhadap bencana alam,
terutama yang besar seperti gempa bumi dan tsunami, adalah cukup rendah. Kurangnya
ruang hijau yang dapat berfungsi sebagai buffer di sepanjang garis pantai, ketiadaan
bangunan tinggi (baik publik maupun privat), dan kurang baiknya prasarana jalan yang
boleh menjadi pelarian jika terjadi bencana, agaknya membuat nilai parameter Ket = 3.
C- Kesejahteraan Penduduk (Wel); seperti kita ketahui bersama, tingkat kesejahteraan
masyarakat Aceh umumnya dan Kembang Tanjong khususnya telah menurun tajam
akibat bencana tsunami 2004. Hal ini sejatinya hanya memperparah keadaan
ketidakadilan (inequity) dalam proses distribusi hasil pembangunan yang telah terjadi
sebelumnya. Maka, jika secara nasional pun tingkat kesejahteraan penduduk Indonesia
adalah jauh dari ideal, boleh dikatakan bahwa untuk Kecamatan Kembang Tanjong nilai
Wel = 4.
D- Keadaan Prasarana, Fasilitas Sosial dan Fasilitas Umum (Fas); Seperti dimaklumi
bersama, kerusakan infrastruktur dan fasilitas-fasilitas di Kembang Tanjong tidak hanya
dikarenakan bencana tsunami yang lalu, tapi juga diakibatkan konflik yang
berkepanjangan di masa Orde Baru. Beberapa fasilitas memang telah mengalami
perbaikan selama periode pasca tsunami, tapi keadaan ideal terpenuhinya kebutuhan
prasarana dan fasilitas agaknya masih belum tercapai, sehingga nilai Fas = 4.
E- Ketahanan Penduduk terhadap bencana (KetP); secara umum dapat dikatakan bahwa
kesiapan penduduk untuk menghadapi bencana besar masih jauh dari ideal. Hal ini
terlepas dari belum memadainya fasilitas peringatan dini (early warning system) yang
ada. Terlihat misalnya dari timbulnya korban kecelakaan akibat paniknya masyarakat
Banda Aceh ketika alarm tsunami berbunyi karena kesalahan teknis (false alarm) pada 4
Juni 2007. Jika kesiapan penduduk kota sebesar Banda Aceh saja demikian, maka
apalagi Kembang Tanjong, sehingga boleh dibilang nilai KetP = 3.

Visi Kembang Tanjong 2012


Pembangunan dengan jangka lima tahun mendatang hampir dipastikan belum bisa
mendapatkan hasil yang ideal. Bagaimanapun, pandangan yang cukup optimistis akan
mendukung visi 2012 berikut: keadaan Kembang Tanjong yang meningkat secara berarti
kesejahteraan penduduknya dan keberlanjutannya (sustainability), dengan rincian lima
keadaan berikut:
A- Kelestarian Lingkungan (Kel); Mengingat permasalahan yang boleh dipandang paling
serius adalah konflik antara kegiatan ekonomi masyarakat yang berorientasi pantai
(nelayan dan tambak) dengan kebutuhan menghijaukan garis pantai sebagai antisipasi
terhadap tsunami dan mendukung kelestarian lingkungan, maka menghilangkan sama
sekali kegiatan ekonomi rakyat ini dan mengarahkan mereka untuk beralih ke jenis
kegiatan lainnya belum mungkin diwujudkan dalam lima tahun. Maka nilai Kel = 6
agaknya sudah merupakan visi yang cukup baik. Ini berarti peningkatan perbaikan 20%
terhadap keadaan kelestarian lingkungan di Kembang Tanjong.

133
Seminar Nasional tentang Keberlanjutan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan
Sub Tema : Praktek dan Pengalaman Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan : kasus-kasus

B- Ketahanan Lingkungan (Ket); Meskipun disadari bahwa lingkungan alami belum bisa
secara signifikan ditingkatkan ketahanan terhadap bencana alamnya dalam lima tahun ke
depan, mengingat konflik kepentingan dengan ekonomi rakyat seperti diuraikan
sebelumnya, tapi ketahanan lingkungan binaan boleh ditingkatkan dengan pesat, antara
lain melalui penyediaan bangunan tinggi, jalur pelarian, dan sistem peringatan dini yang
memadai. Maka nilai Ket = 6, meskipun ini artinya adalah peningkatan 100% dari
keadaan sekarang, agaknya bukanlah merupakan visi yang berlebihan.
C- Kesejahteraan Penduduk (Wel); meskipun peningkatan kesejahteraan masyarakat
lebih memerlukan perencanaan pembangunan komprehensif yang multidimensi, tapi
gairah dan sumberdaya pembangunan yang meningkat di wilayah Aceh pasca tsunami
bolehlah menjadi potensi yang seyogyanya dimanfaatkan maksimal. Tak terlepas dari
perencanaan pembangunan ekonomi dan pembangunan sosial yang ada, maka nilai Wel
= 7, yang berarti peningkatan kesejahteraan masyarakat Kembang Tanjong sebesar
75% dari keadaan eksisting boleh menjadi visi lima tahun mendatang.
D- Keadaan Prasarana, Fasilitas Sosial dan Fasilitas Umum (Fas); peningkatan
penyediaan infrastruktur, fasilitas sosial dan fasilitas umum yang memadai dan
terjangkau bagi seluruh masyarakat bukanlah cita-cita yang muluk. Karena itu, nilai Fas
= 7, yang berarti peningkatan 75% dari keadaan sekarang, agaknya merupakan visi
yang cukup beralasan untuk lima tahun ke depan.
E- Ketahanan Penduduk terhadap bencana (KetP); membuat seluruh lapisan penduduk
waspada dan siap jika sewaktu-waktu datang bencana alam besar, agaknya memang
bukan pekerjaan mudah. Tapi sejalan dengan dikembangkannya sistem peringatan dini
yang baik dan tata ruang yang mampu meminimalkan dampak bencana alam, maka nilai
KetP = 6, yang berarti peningkatan 100% dari keadaan sekarang, boleh menjadi visi
lima tahun mendatang.
Visi-visi di atas adalah estimasi perencana berdasarkan pengenalan awal terhadap
permasalahan dan potensi wilayah Kembang Tanjong.

Tujuan-tujuan, Strategi dan Implikasi Kebijakan Tata Ruang


Untuk mencapai keadaan yang lebih baik di Kembang Tanjong sesuai visi tahun 2012
tersebut, maka ada lima tujuan (misi) yang harus dipenuhi, sebagai berikut:
1. Meningkatkan kelestarian lingkungan di Kecamatan Kembang Tanjong hingga 20%
lebih baik dari sekarang.
2. Meningkatkan keadaan lingkungan alami dan binaan yang dapat meminimalkan
dampak bencana-bencana besar, terutama gempa dan tsunami, hingga 100% lebih
baik dari sekarang.
3. Meningkatkan kesejahteraan penduduk Kembang Tanjong hingga 75% lebih baik dari
sekarang.
4. Meningkatkan ketersediaan infrastruktur, utilitas, fasilitas sosial dan fasilitas umum
hingga 75% lebih baik dan lebih terjangkau daya beli penduduk Kembang Tanjong.
5. Meningkatkan ketahanan penduduk Kembang Tanjong terhadap bencana alam,
sehingga mereka 100% lebih siap dibanding sekarang.
Masing-masing tujuan akan memerlukan strategi pencapaian yang membawa implikasi
kepada salah satu jenis kebijakan pembangunan yang menjadi porsi bahasan RDTR,
yaitu kebijakan tata ruang (lihat kembali Gambar 2).
Adapun konfirmasi yang dilakukan mendapatkan hasil berikut:
1. Setelah dibekali dengan peningkatan pengetahuan dan kesadaran akan pentingnya
penataan ruang, dan dilanjutkan dengan peninjauan lapangan bersama untuk
memetakan permasalahan (lihat kembali Tabel 1), masyarakat dengan tanpa
kesulitan berarti akhirnya bisa mengikuti paparan proposisi perencana. Mereka bisa

134
Seminar Nasional tentang Keberlanjutan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan
Sub Tema : Praktek dan Pengalaman Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan : kasus-kasus

mengerti mengapa pembangunan haruslah berkelanjutan dan tidak hanya untuk


kesejahteraan generasi sekarang. Pengalaman bencana tsunami yang lalu misalnya,
menyadarkan mereka bahwa jika penataan ruang kawasan pesisir lebih baik dan
jalur-jalur pelarian sudah disiapkan, tentu korban jiwa maupun harta tidaklah sebesar
itu. Akhirnya masyarakat bersetuju dengan proposisi lima keadaan utama yang ideal
yang hendak dicapai untuk jangka panjang. Indikator-indikator untuk menilai
keadaan pun dapat mereka pahami dan terima dengan baik. Hal ini agaknya karena
indikator-indikator tersebut memang sudah merupakan penyederhanaan yang
disesuaikan dengan kemampuan masyarakat.
2. Masyarakat akhirnya dapat melakukan penilaian secara kuantitatif dari keadaan
sekarang yang mereka rasakan. Meskipun pada awalnya agak kesulitan, namun
dapat teratasi setelah semua permasalahan dan potensi wilayah yang telah didaftar
kemudian diarahkan untuk disistematisasikan mengacu kepada lima keadaan dan
indikator-indikator di atas. Kemudian untuk mengkuantitatifkannya diberikan
panduan pembobotan sederhana berskala 1 hingga 5. Sebagai contoh, untuk keadaan
utama ketersediaan infrastruktur dan fasilitas (Fas), hasilnya dapat dilihat pada Tabel
2. Terlihat bahwa untuk parameter Fas ini proposisi perencana dengan nilai 4 agak
lebih rendah dari estimasi masyarakat, yaitu 5.
3. Dengan berbekal nilai keadaan sekarang dan visi keadaan ideal, maka masyarakat
juga mampu menetapkan visi lima tahun mendatang dan tujuan-tujuannya yang
mengkonfirmasi visi dan tujuan yang diproposisikan oleh perencana. Meskipun ada
beberapa penyesuaian oleh masyarakat dalam visi 2012 dan tujuan-tujuannya,
namun hal itu tidak sampai merubah implikasi strategi dan kebijakan tata ruangnya
(lihat kembali Gambar 2).

Tabel 2 Contoh Penilaian Keadaan Saat Ini oleh Masyarakat Kembang Tanjong
KEADAAN INDIKATOR SKOR KETERANGAN
Infrastruktur, Fasilitas Jaringan Jalan 1 Jalan sempit (3 meter),
Umum dan Fasilitas Tidak ada pedestrian
Sosial (Fas) Sebagian besar kondisi
perkerasannya buruk
Sistem Drainase 1 Belum ada sistem drainase
yang baik
Sistem 1 Persampahan masih dikelola
Persampahan oleh masyarakat secara onsite,
dan sebagian membuang
sampah ke sungai
Sistem Irigasi 3 Ada sistem jaringan, tetapi
belum menjangkau ke seluruh
areal persawahan
Sistem Sanitasi 2 Sistem sanitasi bersifat onsite
dan kurang memperhatikan
aspek perlindungan lingkungan
dan kesehatan lingkungan
(septic tank terlalu dekat
dengan sumur)
Sistem Air Bersih 1 Belum ada sistem perpipaan,
masih mengandalkan air tanah
dangkal
Sistem Energi 3 Sudah mampu memenuhi
dan kebutuhan minimum
Ketenagalistrikan masyarakat
Sistem 3 Sudah ada sistem jaringan
Telekomunikasi selular

135
Seminar Nasional tentang Keberlanjutan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan
Sub Tema : Praktek dan Pengalaman Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan : kasus-kasus

Fasilitas 4 Tersebar secara merata di


Pendidikan setiap desa
Fasilitas 5 Tersebar secara merata di
Peribadatan setiap desa
Fasilitas 3 Sudah mencukupi, pada
Perekonomian beberapa desa sudah tersedia
pasar desa, dan fasilitas
penunjang, misalnya TPI pada
kawasan pesisir
Fasilitas 2 Secara kuantitatif mencukupi,
Kesehatan tapi keluhan terbesar adalah
pada kualitas pelayanan dan
keterjangkauannya/affordability
Pemerintahan 4 Tersebar di setiap desa
Olah Raga dan 2 Ada, tapi jumlahnya sangat
Ruang Terbuka terbatas
Hijau
35 (70) Nilai = 5 dalam skala 10
Sumber: Hasil FGD 3 dan FGD 4 (BRR NAD-Nias 2007)

4. Dalam mengkonfirmasi strategi pencapaian tujuan, masyarakat sangat dibantu oleh


pemetaan potensi dan masalah yang telah mereka lakukan, dengan memilahnya
menjadi kekuatan pendukung dan penghambat. Masyarakatpun menyadari bahwa
strategi pada dasarnya dibutuhkan untuk meminimalkan kekuatan penghambat dan
memaksimalkan kekuatan pendukung. Dapat diuraikan kiranya contoh untuk tujuan
pertama di bawah ini.
Tujuan 1: Meningkatkan kelestarian lingkungan di Kecamatan Kembang Tanjong
hingga 20% lebih baik.
Pada saat ini di Kembang Tanjong tentunya ada kekuatan yang mendukung
(supporting) pencapaian tujuan dan ada pula kekuatan yang boleh menjadi
penghambat (obstructing), yang bisa merupakan potensi dan mekanisme dari dalam
(internal) kawasan Kembang Tanjong sendiri, maupun yang berasal dari luar kawasan
(external).
Kekuatan pendukung:
A. Intensitas kegiatan polutif masih rendah. Kegiatan polutif yang patut diperhatikan
saat ini adalah kegiatan sosial ekonomi masyarakat di kawasan pantai, terutama
usaha tambak dan permukiman yang terlalu dekat ke laut.
B. Kesadaran masyarakat akan pentingnya pembangunan berkelanjutan makin
meningkat. Hal ini sejalan dengan sosialisasi yang dilakukan pemerintah dan
meningkatnya pendidikan masyarakat secara umum, di samping belajar dari
pengalaman tsunami yang lalu.
C. Tekad pemerintah Provinsi NAD dan jajarannya untuk menjaga keberlanjutan
pembangunan makin meningkat. Sejalan dengan meningkatnya kesadaran dunia,
terutama sejak tahun 1980-an, Pemerintah Republik Indonesia dan Provinsi NAD
khususnya pun berkomitmen terhadap pembangunan berkelanjutan.
Kekuatan penghambat:
A. Pemanfaatan lahan kawasan pantai kurang memenuhi syarat-syarat keberlanjutan
(sustainability). Hal ini karena kurangnya tumbuhan pesisir seperti bakau ataupun
cemara laut.
B. Pembuangan sampah di tepi sungai masih terjadi, terutama di kawasan pusat kota
Kecamatan Kembang Tanjong.

136
Seminar Nasional tentang Keberlanjutan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan
Sub Tema : Praktek dan Pengalaman Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan : kasus-kasus

Strategi:
Strategi 1, menangani segera kawasan alami yang dikuatirkan sudah terganggu
fungsi ekologisnya, terutama kawasan pesisir.
Strategi 2, menekan seminimal mungkin terjadinya eksternalitas negatif kegiatan
ekonomi terhadap lingkungan alam.
Implikasi kebijakan tata ruang:
Kebijakan 1 adalah pengaturan fungsi lindung yang cukup untuk kawasan pantai,
sungai, sekitar potensi mata air, dan hutan.
Kebijakan 2 adalah pengaturan fungsi penyangga (buffer) antara kegiatan polutif dan
non-polutif.
Kebijakan 3 adalah penetapan mengenai, dan pengaturan lokasi pengolahan limbah
(waste treatment plants) dari kegiatan-kegiatan polutif.
5. Masyarakat juga akhirnya menyadari bahwa kebijakan tata ruang sangat diperlukan
dalam pembangunan wilayah mereka. Dengan konfirmasi ini, maka ketika nantinya
membaca Buku RDTR Kecamatan Kembang Tanjong, masyarakat menjadi tahu
pentingnya masing-masing item rencana tata ruang yang ada terkait dengan
pencapaian cita-cita mereka pada akhir periode rencana.
6. Namun selain dari itu, mereka juga menyadari bahwa RDTR ini bukanlah segala-
galanya, karena pembangunan membutuhkan keselarasan dan integrasi semua aspek
jika benar-benar ingin berhasil meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara
berkelanjutan. Pada contoh mengenai tujuan pertama hingga implikasi kebijakan tata
ruangnya di atas, masyarakat bisa mengerti bahwa untuk meningkatkan kelestarian
lingkungan Kembang Tanjong, kebijakan bidang lainnya pun diperlukan. Misalnya,
diperlukan pula kebijakan ekonomi untuk memberikan reward bagi kegiatan yang
ramah lingkungan dan punishment bagi kegiatan polutif, yang bisa dilakukan dengan
pendekatan instrumen pasar (market based instruments) seperti pajak polusi,
ataupun pendekatan regulasi pengendalian (command and control) seperti
pencabutan izin bagi kegiatan polutif yang melebihi ambang batas (lihat misalnya
Tietenberg 1996).

Kesimpulan
Ada beberapa hal yang dapat dipetik dari pengalaman penyusunan RDTR Kecamatan
Kembang Tanjong ini:
1. Membantu masyarakat untuk menumbuhkan kemampuan mengevaluasi
pembangunan umumnya, dan penataan ruang khususnya, dapat dilakukan sejak
tahap perencanaan tata ruang. Meskipun tidak dituntut dalam KAK, penyusunan
RDTR Kecamatan Kembang Tanjong telah membuktikan bahwa hal ini bisa dilakukan,
sekaligus sebagai bagian dari pendekatan partisipatif dalam perencanaan. Untuk ini,
perencana harus menyiapkan suatu proposisi berdasarkan studi literatur dan
pengenalan awal terhadap wilayah perencanaannya. Proposisi ini tidak hanya
bermanfaat sebagai kerangka perencanaan, tapi juga menjadi arahan bagi
penyerapan aspirasi masyarakat yang bisa sangat beragam, dan juga arahan untuk
pembelajaran kepada masyarakat yang merupakan bagian penting dari perencanaan
partisipatif.
2. Pendekatan partisipatif yang mampu menumbuhkan kemampuan evaluasi dari
masyarakat ini mempunyai beberapa keuntungan. Pertama, masyarakat
mendapatkan rasa memiliki rencana tata ruang, karena aspirasi mereka tertampung
dalam visi ke depan yang hendak dicapai dari RDTR tersebut. Hal ini akan sukar
didapat melalui pendekatan nonpartisipatif yang cenderung kurang memberi tempat
kepada aspirasi masyarakat. Kedua, masyarakat mampu memahami bagaimana
setiap item rencana tata ruang yang ada dalam RDTR mempunyai andil dalam

137
Seminar Nasional tentang Keberlanjutan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan
Sub Tema : Praktek dan Pengalaman Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan : kasus-kasus

pencapaian cita-cita mereka itu. Ketiga, masyarakat sadar bahwa RDTR ini harus
dilaksanakan, dan secara kapabilitas mereka mampu mengawal pelaksanaannya
melalui evaluasi keadaan yang bisa dilakukan setiap tahun6. Ini suatu hal yang
mungkin tidak bisa didapat pada perencanaan partisipatif yang tidak menumbuhkan
kemampuan evaluasi dari masyarakat.
3. Mekanisme evaluasi penataan ruang oleh masyarakat Kembang Tanjong sementara
ini bisa melalui mekanisme pembangunan yang sudah ada, yaitu melalui Musyawarah
Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Kecamatan setiap tahunnya. Masyarakat
bisa mengajukan hasil evaluasi mereka atas keadaan wilayah pada Musrenbang dan
menilai apakah hasil ini masih sesuai dengan arah pembangunan menuju visi lima
tahun mendatang, untuk kemudian mengusulkan penyesuaian dan perbaikan pada
program-program pembangunan tahunan.
Meskipun demikian, kembali lagi kepada hakikat tujuan partisipasi masyarakat, yaitu
agar masyarakat memiliki kekuasaan manajerial, maka masyarakat Kembang Tanjong
harus difasilitasi agar kemampuan evaluasinya dapat dilaksanakan dalam mekanisme
pembangunan yang ada. Mekanisme perencanaan tata ruang dan Musrenbang dengan
formatnya yang ada saat ini agaknya belum dapat menjamin kekuasaan menajerial
penuh masyarakat. Pendampingan lembaga-lembaga nonpemerintah untuk
pemberdayaan masyarakat kiranya boleh membantu, dan akan lebih baik kalau bisa
dititipi misi ini. Demikian pula, perbaikan kualitas dari mekanisme yang sudah berjalan
dapat terus diupayakan untuk meningkatkan kadar partisipasi masyarakat menuju ke
arah yang lebih baik, termasuk mekanisme lokal yang spesifik seperti dalam sistem
kepemimpinan geuchik-imam mukim yang ada di Aceh ini.

Catatan:
1
Penulis adalah Pimpinan Tim (Team Leader) penyusunan Rencana Detail Tata Ruang Kecamatan
Kembang Tanjong 2008-2017. Penulis ingin secara khusus mengucapkan terimakasih kepada Dr.
Erwin Fahmi selaku Direktur Penataan Ruang, BRR NAD-Nias yang pernah mendorong penulis
untuk menuangkan ini dalam bentuk artikel. This is it. Adapun semua kesalahan dan kekurangan
dalam artikel ini menjadi tanggungjawab penulis sepenuhnya.
2
Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang menerapkan keadilan (equity)
sedemikian hingga baik hasil maupun kesempatan terdistribusikan secara berkeadilan (equitably)
di dalam generasi sementara tetap menjaga kemampuan dan kapabilitas generasi-generasi
mendatang untuk melakukan hal yang sama (Sugiri 2005).
3
Pengalaman pemukiman kembali para korban bencana tsunami 2004 di Geunteng Timur dan
Geunteng Barat, Kabupaten Pidie, dengan pendekatan gerakan masyarakat (community driven)
menunjukkan hal ini. Ketika itu masyarakat memegang kontrol manajerial penuh terhadap
pembangunan perumahan mereka sendiri (Manaf 2007).
4
Wawancara dan diskusi penulis dengan para tokoh masyarakat Kembang Tanjong, 14 September
2007.
5
Di Aceh, desa disebut gampong dan dipimpin oleh seorang geuchik. Beberapa gampong
membentuk suatu mukim (semacam subkecamatan) dan dikepalai oleh seorang imam mukim.
6
Antusiasme masyarakat Kembang Tanjong agar RDTR ini dapat benar-benar terlaksana terlihat
jelas bukan saja dalam kegiatan diskusi, pengamatan lapangan bersama dan FGD, tapi juga dari
kehadiran sebagian besar tokoh masyarakat dan keaktifan mereka dalam Seminar Draft RDTR di
Kota Sigli (ibukota Kabupaten Pidie).

138
Seminar Nasional tentang Keberlanjutan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan
Sub Tema : Praktek dan Pengalaman Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan : kasus-kasus

Bibliography
Arnstein, S.R. 1969. A Ladder of Citizen Participation, Journal of American Institute of
Planners, 35(4), 216-24.
BRR (Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi) NAD-Nias, 2007. Rencana Detail Tata Ruang
Kecamatan Kembang Tanjong, Kabupaten Pidie, Nanggroe Aceh Darussalam,
Laporan Akhir.
Forester, J. 1999. The Deliberative Practitioner: Encouraging Participatory Planning
Processes, Massachusetts: The MIT Press.
Krohe Jr., J. 2006. The People’s Plan, Planning, 72(3), 8-9.
Kurtz, H.E. 2007. Environmental Justice, Citizen Participation and Hurricane Katrina,
Southeastern Geographer, 47(1), 111-3.
Manaf, A. 2007. Enhancing Sustainability through Community Driven Development
Approach: Lessons Learned from Post Disaster Reconstruction Activities in Pidie
District, Nanggroe Aceh Darussalam, Indonesia, Makalah Seminar, International
Summer School 2007: “Techniques and Technologies for Sustainability”, 19-31
Agustus, Berlin, Jerman.
Piercy, N. dan W. Giles. 1990. The Logic of Being Illogical in Strategic Marketing Planning,
The Journal of Services Marketing, 4(3), 27-37.
Roberts, N. 2004. Public Deliberation in an Age of Direct Citizen Participation, American
Review of Public Administration, 34(4), 315-53.
Sugiri, A. 2005. Equity Failure Issues in Natural Resource-Rich Regions: Sustainability,
Globalisation and Decentralisation in East Kalimantan, Makalah Seminar, 27
Agustus, School of Geography, Planning and Architecture, the University of
Queensland, Australia.
Tietenberg, T. 1996. Environmental and Natural Resource Economics, fourth edition, New
York: Harper Collins.
WCED, 1987. Our Common Future, Oxford: Oxford University Press.

139

Anda mungkin juga menyukai