Participatory Planning in Aceh - URDI-GTZ Seminar, 25-26 July 2008
Participatory Planning in Aceh - URDI-GTZ Seminar, 25-26 July 2008
Sub Tema : Praktek dan Pengalaman Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan : kasus-kasus
Agung SUGIRI1
Staf Pengajar Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota, Fakultas Teknik Universitas
Diponegoro, Semarang; email: agung_sugiri@yahoo.com.au
Abstrak
Keterlibatan aktif masyarakat dalam pembangunan semakin dirasakan penting akhir-
akhir ini, tidak terkecuali dalam proses perencanaan tata ruang di Indonesia. Hal ini telah
diperkuat melalui beberapa undang-undang, termasuk UU 26/2007 tentang Penataan
Ruang. Tulisan ini mengetengahkan pengalaman dari proses penyusunan Rencana Detail
Tata Ruang (RDTR) Kecamatan Kembang Tanjong, Kabupaten Pidie, Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam, tahun 2007. Pendekatan partisipatif RDTR Kecamatan Kembang
Tanjong berusaha menumbuhkan kemampuan masyarakat untuk mengevaluasi rencana
tata ruang berdasarkan hasil-hasil pembangunan yang mereka rasakan, sesuatu yang
mungkin belum banyak dilakukan di Indonesia sebelumnya. Melalui serangkaian
pengamatan lapangan bersama dan FGD (Focus Group Discussion), masyarakat
dikenalkan kepada metoda sederhana seperti forcefield approach. Langkah awalnya
adalah menyerap aspirasi masyarakat mengenai visi atau keadaan yang mereka cita-
citakan untuk 5 tahun ke depan. Masyarakat kemudian difasilitasi untuk dapat
menjabarkan dan menilai secara kuantitatif keadaan tersebut melalui serangkaian
indikator, yang tentunya disederhanakan sesuai dengan kemampuan mereka. Dengan
demikian, masyarakat dapat menilai keadaan sekarang yang mereka rasakan, dan dapat
pula merumuskan visi ke depan yang realistis. Selanjutnya, masyarakat juga diajak
untuk menyadari bahwa untuk dapat terwujudnya visi tersebut diperlukan serangkaian
tujuan (misi), dan bahwa saat ini telah ada kekuatan pendukung dan kekuatan
penghambat bagi tercapainya tujuan-tujuan tersebut. Maka selanjutnya, masyarakat
dapat diajak untuk menyusun strategi-strategi yang dapat menghilangkan atau
meminimalkan kekuatan penghambat dan memaksimalkan kekuatan pendukung. Dari
serangkaian strategi inilah, implikasi kebijakan pembangunannya akan terlihat jelas.
Masyarakat akhirnya akan menyadari pula bahwa kebijakan-kebijakan tata ruang berikut
indikasi program-program pembangunannya yang merupakan hasil dari RDTR ini,
meskipun merupakan bagian sangat penting, tapi bukan segala-galanya, dalam
pembangunan di kecamatan mereka. Kemampuan masyarakat untuk melakukan evaluasi
keadaan pada tahun-tahun mendatang pun akan tumbuh, karena mereka mampu
melakukan penilaian terhadap indikator-indikator keadaan tersebut. Maka, kiranya hal ini
akan membantu dalam keberlanjutan proses partisipatif dalam perencanaan,
pelaksanaan dan evaluasi pembangunan di Kecamatan Kembang Tanjong di tahun-tahun
mendatang.
Kata kunci (Keywords): partisipasi masyarakat, perencanaan tata ruang, evaluasi
pembangunan
Pendahuluan
Peranserta masyarakat dalam pembangunan, termasuk pada tahap perencanaannya,
merupakan hal yang sangat penting meskipun baru diterapkan sejak beberapa dekade
terakhir ini saja di Indonesia, terutama selama satu dekade era reformasi ini. Kiranya hal
ini sejalan dengan pesatnya perkembangan demokratisasi yang meliputi semua aspek
sejak 1998, tidak saja pada kehidupan politik tapi juga sosial ekonomi. Beberapa
undang-undang telah pula diterbitkan untuk memfasilitasi pelaksanaannya, dan yang
terbaru di antaranya adalah UU 25/2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
122
Seminar Nasional tentang Keberlanjutan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan
Sub Tema : Praktek dan Pengalaman Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan : kasus-kasus
123
Seminar Nasional tentang Keberlanjutan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan
Sub Tema : Praktek dan Pengalaman Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan : kasus-kasus
Keterangan Gambar:
Anak tangga
1. Manipulation: Manipulasi
2. Therapy: Terapi
3. Informing: Pemberitahuan
4. Consultation: Konsultasi
5. Placation: Penempatan
6. Partnership: Kemitraan
7. Delegated Power: Kekuasaan
Terdelegasi
8. Citizen Control: Kontrol
Masyarakat
Kategori
• Nonparticipation: Non-partisipasi;
pada kategori ini boleh dikatakan
tidak ada partisipasi masyarakat
• Tokenism: Penghargaan;
masyarakat cukup dihargai melalui
pemberian informasi, diajak
konsultasi, dan ditempatkan
wakilnya dalam lembaga-lembaga
pengambil keputusan
• Citizen Power: Kekuasaan
Masyarakat; masyarakat
mendapatkan kekuasaan
manajerial, mulai dari kemitraan
hingga kekuasaan penuh
Gambar 1
Delapan Tingkatan dalam Anak Tangga Partisipasi (Arnstein 1969: 217)
124
Seminar Nasional tentang Keberlanjutan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan
Sub Tema : Praktek dan Pengalaman Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan : kasus-kasus
125
Seminar Nasional tentang Keberlanjutan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan
Sub Tema : Praktek dan Pengalaman Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan : kasus-kasus
dan dukungan kepada masyarakat Kembang Tanjong untuk dapat melakukan evaluasi itu
menyatu dalam satu kesatuan muatan RDTR dan bagaimana saran pelaksanaannya?”
126
Seminar Nasional tentang Keberlanjutan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan
Sub Tema : Praktek dan Pengalaman Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan : kasus-kasus
RDTR Kecamatan Kembang Tanjong sehingga akan menjadi jelas pada tahap mana
proposisi perencana itu diajukan dan dikonfirmasikan kepada masyarakat.
PARTISIPASI YANG
TAHAP CARA
DIHARAPKAN
Persiapan: Penyatuan Masyarakat diharapkan paham Sosialisasi rencana tata ruang
Pemahaman terhadap akan pentingnya kedudukan dan yang ada sebelumnya (RTRW
Rencana Tata Ruang peran rencana tata ruang dalam Kabupaten Pidie).
mencapai tujuan-tujuan
Pendekatan personal dari tim
pembangunan, utamanya di
penyusun RDTR kepada tokoh-
Kembang Tanjong. Selanjutnya,
tokoh kunci dalam masyarakat,
masyarakat diharapkan antusias
utamanya para geuchik dan imam
dan berpartisipasi atas kesadaran
mukim.
sendiri dalam proses
perencanaan tata ruang, tentu FGD (Focus Group Discussion) I
sesuai dengan kapasitas masing- yang diikuti para geuchik dan
masing. imam mukim.
Persiapan: Penyatuan Masyarakat dapat memahami Diskusi personal dengan tokoh-
Pemahaman tentang perlunya hirarki dalam tokoh masyarakat, baik itu formal
Hirarki Rencana- perencanaan tata ruang, dan seperti Camat dan stafnya,
rencana Tata Ruang pentingnya kedudukan dan peran maupun para geuchik dan imam
masing-masing hirarki rencana mukim.
tata ruang tersebut.
FGD II yang diikuti para geuchik
dan imam mukim.
Data, Informasi dan Masyarakat berpartisipasi dalam Diskusi personal melalui
Analisis menyampaikan persepsi mereka pengamatan lapangan bersama
mengenai permasalahan dengan tokoh-tokoh masyarakat,
pembangunan yang ada di baik itu formal seperti Camat dan
Kembang Tanjong, dan potensi stafnya, maupun para geuchik
pembangunan yang dimiliki. dan imam mukim.
FGD III yang diikuti para geuchik
dan imam mukim.
Masyarakat menyampaikan Diskusi personal melalui
aspirasi menyangkut cita-cita, pengamatan lapangan bersama
tujuan, dan strategi Kembang dengan tokoh-tokoh masyarakat,
Tanjong 2012, termasuk baik itu formal seperti Camat dan
keinginan-keinginan spesifik stafnya, maupun para geuchik
mereka menyangkut dan imam mukim.
pembangunan di wilayahnya,
FGD IV yang diikuti para geuchik
baik itu mengenai
dan imam mukim.
persetujuannya dengan usulan-
usulan perencana, maupun
keberatannya juga.
127
Seminar Nasional tentang Keberlanjutan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan
Sub Tema : Praktek dan Pengalaman Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan : kasus-kasus
Pada tahap persiapan dilakukan penyamaan persepsi terhadap perencanaan tata ruang
melalui pendekatan personal kepada tokoh-tokoh kunci masyarakat (utamanya para
geuchik dan imam mukim5) dan dua kali FGD (Focused Group Discussion). FGD dilakukan
dengan sedapat mungkin memanfaatkan forum Musyawarah Kecamatan.
Sementara pada tahap data dan analisis dilakukan penjaringan aspirasi masyarakat
menyangkut cita-cita masyarakat Kembang Tanjong untuk tahun 2012, tujuan-tujuan dan
strategi pencapaian tujuan, serta implikasi kebijakan tata ruangnya. Demi kemudahan bagi
masyarakat, meskipun periode perencanaan ini hingga tahun 2017, visi masyarakat
diarahkan hanya sampai lima tahun saja (hingga tahun 2012), untuk kemudian visi ini
ditarik lebih jauh hingga akhir tahun perencanaan oleh tim penyusun RDTR.
Pada tahap inilah proposisi perencana didiskusikan kepada masyarakat dan mendapatkan
konfirmasinya. Proposisi yang berdasarkan pengamatan tim penyusun dan juga teori-teori
perencanaan ini, tentu saja, sangat mungkin tidak bersesuaian dengan pendapat dan
aspirasi masyarakat. Untuk itulah, penjaringan aspirasi masyarakat sangat diperlukan agar
rencana tata ruang yang dihasilkan benar-benar dirasakan sebagai sesuatu yang dari, oleh,
dan untuk mereka.
Kemudian, pada tahap rencana dilakukan penyerapan aspirasi masyarakat menyangkut
kebijakan tata ruang dan program pembangunan yang akan diterapkan di Kembang
Tanjong hingga tahun 2017. Rancangan kebijakan tata ruang yang berdasarkan hasil
olahan tim penyusun RDTR, meskipun telah mengakomodasi aspirasi masyarakat dalam
prosesnya, sangat mungkin masih belum sesuai benar dengan pendapat dan aspirasi
masyarakat. Hal ini karena masyarakat, melalui keunikan sosial budaya mereka, bisa saja
mempunyai pendapat dan aspirasi tersendiri menyangkut program-program pembangunan
yang mereka inginkan untuk mencapai cita-cita Kembang Tanjong 2017. Hal-hal yang
mungkin terlewatkan dalam proses analisis hingga rancangan rencana ini bisa saja
terungkap dalam penjaringan aspirasi masyarakat.
128
Seminar Nasional tentang Keberlanjutan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan
Sub Tema : Praktek dan Pengalaman Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan : kasus-kasus
129
Seminar Nasional tentang Keberlanjutan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan
Sub Tema : Praktek dan Pengalaman Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan : kasus-kasus
130
Seminar Nasional tentang Keberlanjutan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan
Sub Tema : Praktek dan Pengalaman Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan : kasus-kasus
Visi Jangka Panjang Kecamatan Kembang Tanjong (yaitu nilai 10 dalam skala 10), adalah
ketika keadilan di dalam dan antar generasi benar-benar teraplikasikan secara penuh
sehingga pembangunan berkelanjutan benar-benar terjamin, atau dengan kata lain
adalah keadaan Kembang Tanjong yang makmur, sejahtera dan berkelanjutan. Hal ini
boleh dicerminkan oleh lima keadaan utama berikut:
A- Keadaan terbaik adalah ketika lingkungan (natural dan binaan) benar-benar lestari,
sehat dan menyehatkan – yang dapat disebut keadaan Kelestarian Lingkungan
(disingkat Kel). Sebaliknya, hal terburuk adalah ketika kondisi lingkungan sangat
terganggu sehingga tidak dapat berfungsi untuk mendukung kehidupan.
Keadaan tersebut boleh terukur dari indikator-indikator berikut ini:
1. Kondisi kawasan pesisir; keadaan kawasan pesisir pantai Kembang Tanjong sangat
menentukan kelestarian lingkungan. Keberadaan tumbuhan pantai seperti bakau
(mangrove) ataupun cemara laut dengan intensitas tertentu sangat diperlukan untuk
menjaga kelestarian. Selain itu, tingkat polusi pantai juga merupakan indikator yang
perlu diperhatikan.
2. Kondisi sungai; keadaan sungai di Kecamatan Kembang Tanjong juga merupakan
indikator penting kelestarian lingkungan. Hal ini tentunya akan menyangkut kualitas
air, apakah terpolusi atau tidak, karena salah satu fungsi sungai adalah sebagai
habitat ikan dan hewan-hewan sungai lainnya. Yang kedua adalah kuantitas air, yaitu
debit alirannya. Debit sungai turut menentukan baik tidaknya fungsi ekologis sungai
tersebut. Yang ketiga adalah keadaan sepanjang pinggiran sungai, menyangkut
kawasan penyangga agar fungsi sungai tetap terjaga kelestariannya.
3. Kondisi udara; secara umum, keadaan udara harus dijaga agar tingkat polusinya
tidak melebihi kapasitas asimilatifnya (assimilative capacity).
4. Kondisi pemanfaatan lahan (land use) lainnya; selain kawasan pantai dan sungai,
keadaan penggunaan lahan lainnya pun boleh menjadi indikator kelestarian
lingkungan. Kawasan budidaya misalnya, sebaiknya peruntukannya adalah yang
paling cocok (feasible) menurut kriteria kesesuaian lahan secara fisik.
5. Ketersediaan dan mutu air tanah; ketersediaan air tanah dan kualitasnya juga
merupakan indikator penting kelestarian lingkungan. Hal ini karena siklus hidrologi
akan terganggu jika keadaan air tanahnya terganggu.
B- Demikian pula, mengingat bencana alam adalah isu yang sangat penting di wilayah
Aceh, maka keadaan terbaik tercapai ketika lingkungan (natural dan binaan) benar-benar
adaptif terhadap bencana alam kecil maupun besar - untuk selanjutnya disebut keadaan
Ketahanan Lingkungan (Ket). Hal sebaliknya adalah ketika adaptabilitas lingkungan
terhadap bencana kecil maupun besar sangat rendah.
Keadaan tersebut boleh terukur dari indikator-indikator berikut ini:
1. Kondisi kawasan pesisir; keadaan kawasan pesisir pantai yang baik, dengan
keberadaan bakau atau cemara laut yang cukup, akan ikut berperan dalam
meminimalkan dampak bencana, terutama tsunami.
2. Keberadaan bukit-bukit (high hills); bukit-bukit alami, terutama yang tidak terlalu
jauh dari pemukiman penduduk akan sangat membantu sebagai tempat pelarian
sementara ketika datangnya tsunami.
3. Keberadaan bangunan tinggi (high buildings); fungsi bangunan tinggi dalam
meminimalkan dampak tsunami akan serupa dengan bukit-bukit alami.
4. Keadaan jaringan jalan; jaringan jalan yang memadai sangat diperlukan sebagai
prasarana menyelamatkan diri ketika terjadi gempa dan tsunami.
5. Keadaan sistem peringatan dini (early warning system); ini juga boleh menjadi
indikator, mengingat adanya sistem peringatan dini yang baik sangat diperlukan
untuk mencegah jatuhnya banyak korban ketika bencana terjadi.
131
Seminar Nasional tentang Keberlanjutan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan
Sub Tema : Praktek dan Pengalaman Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan : kasus-kasus
C- Keadaan ideal selanjutnya adalah ketika kesejahteraan (welfare) sosial dan ekonomi
penduduk terjamin sepenuhnya - selanjutnya disebut keadaan Kesejahteraan
Penduduk (Wel). Sebaliknya, ketika kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat
sedemikian rendahnya sehingga untuk mendapatkan kebutuhan dasar saja susah, hal ini
adalah keadaan terburuk.
Keadaan tersebut akan terukur oleh indikator-indikator berikut ini:
1. Keadaan penghasilan penduduk; jelas, meskipun bukan satu-satunya, penghasilan
turut menentukan kesejahteraan penduduk. Hal ini boleh diukur melalui pendapatan
perkapita, baik secara sensus ataupun perkiraan.
2. Keadaan perumahan penduduk; tak pelak lagi, perumahan merupakan salah satu
kebutuhan dasar penduduk, sehingga semakin puas penduduk dengan keadaan
perumahannya akan meningkatlah kesejahteraan mereka.
3. Sistem jaminan sosial (pensiun, hubungan-hubungan sosial, dll.); banyak hal dari
jaminan sosial (social security) sebenarnya merupakan kebutuhan dasar pula. Hak
mendapatkan pendidikan dan pelayanan kesehatan yang baik, misalnya, adalah
termasuk hak-hak dasar masyarakat.
4. Kondisi perangkutan umum; mobilitas (pergerakan) adalah juga merupakan
kebutuhan penduduk sejak dahulu sampai sekarang. Karena itu, semakin baik
keadaan perangkutan umum akan semakin tinggi pula kesejahteraan penduduknya.
D- Keadaan terbaik keempat adalah ketika fasilitas sosial dan fasilitas umum serta
infrastruktur yang tersedia adalah lengkap dan dapat dinikmati sepenuhnya (fully
affordable) oleh penduduk – yang dapat disebut keadaan Fasilitas (Fas). Keadaan
sebaliknya adalah ketika prasarana dan fasilitas tidak tersedia atau sangat minim sekali,
atau kalaupun ada tidak dapat dinikmati oleh penduduk.
Keadaan tersebut boleh terukur dari indikator-indikator berikut ini:
1. Kondisi dan ketersediaan jalan, prasarana lainnya, dan utilitas (air bersih, saluran
drainase dan limbah, dll.).
2. Kondisi dan ketersediaan fasilitas umum dan sosial (sekolah, puskesmas, dll.).
E- Selanjutnya, keadaan terbaik adalah ketika seluruh penduduk sangat siap dalam
menghadapi dan meminimalisasi dampak bencana besar maupun kecil - untuk
selanjutnya disebut keadaan Ketahanan Penduduk (KetP). Sebaliknya adalah ketika
penduduk tidak mempunyai kesiapan sama sekali jika bencana alam datang sewaktu-
waktu.
Keadaan tersebut boleh terukur dari indikator-indikator berikut ini:
1. Keadaan sistem peringatan dini (early warning system); sistem peringatan dini yang
baik tidak hanya akan memperbaiki ketahanan lingkungan terhadap bencana alam,
tapi juga meningkatkan ketahanan penduduk, sehingga jumlah korban jiwa dapat
diminimalkan ketika terjadi bencana.
2. Kondisi pendidikan mitigasi bencana; pendidikan untuk siap menghadapi bencana
tidak kalah pentingnya dari sistem peringatan dini yang baik. Pendidikan bisa
dilakukan melalui jalur formal melalui kurikulum sekolah, maupun informal melalui
mekanisme hubungan sosial penduduk.
3. Kondisi psikologi sosial penduduk; keadaan ini memang agak sukar mengukurnya,
tapi sebetulnya sangat penting dalam menghadapi bencana alam besar. Mental
penduduk yang kuat akan turut membantu minimalisasi dampak bencana. Juga
tingkat spiritualitas yang tinggi, seperti ketakwaan dalam beragama, akan menambah
ketahanan penduduk dan membuat mereka dengan tidak frustrasi dan segera bisa
bangkit kembali setelah ditimpa musibah.
Untuk mendapatkan proposisi terhadap visi lima tahun mendatang, perlu diperkirakan
terlebih dulu kondisi saat ini Kembang Tanjong jika dibandingkan dengan visi idealnya.
132
Seminar Nasional tentang Keberlanjutan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan
Sub Tema : Praktek dan Pengalaman Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan : kasus-kasus
133
Seminar Nasional tentang Keberlanjutan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan
Sub Tema : Praktek dan Pengalaman Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan : kasus-kasus
B- Ketahanan Lingkungan (Ket); Meskipun disadari bahwa lingkungan alami belum bisa
secara signifikan ditingkatkan ketahanan terhadap bencana alamnya dalam lima tahun ke
depan, mengingat konflik kepentingan dengan ekonomi rakyat seperti diuraikan
sebelumnya, tapi ketahanan lingkungan binaan boleh ditingkatkan dengan pesat, antara
lain melalui penyediaan bangunan tinggi, jalur pelarian, dan sistem peringatan dini yang
memadai. Maka nilai Ket = 6, meskipun ini artinya adalah peningkatan 100% dari
keadaan sekarang, agaknya bukanlah merupakan visi yang berlebihan.
C- Kesejahteraan Penduduk (Wel); meskipun peningkatan kesejahteraan masyarakat
lebih memerlukan perencanaan pembangunan komprehensif yang multidimensi, tapi
gairah dan sumberdaya pembangunan yang meningkat di wilayah Aceh pasca tsunami
bolehlah menjadi potensi yang seyogyanya dimanfaatkan maksimal. Tak terlepas dari
perencanaan pembangunan ekonomi dan pembangunan sosial yang ada, maka nilai Wel
= 7, yang berarti peningkatan kesejahteraan masyarakat Kembang Tanjong sebesar
75% dari keadaan eksisting boleh menjadi visi lima tahun mendatang.
D- Keadaan Prasarana, Fasilitas Sosial dan Fasilitas Umum (Fas); peningkatan
penyediaan infrastruktur, fasilitas sosial dan fasilitas umum yang memadai dan
terjangkau bagi seluruh masyarakat bukanlah cita-cita yang muluk. Karena itu, nilai Fas
= 7, yang berarti peningkatan 75% dari keadaan sekarang, agaknya merupakan visi
yang cukup beralasan untuk lima tahun ke depan.
E- Ketahanan Penduduk terhadap bencana (KetP); membuat seluruh lapisan penduduk
waspada dan siap jika sewaktu-waktu datang bencana alam besar, agaknya memang
bukan pekerjaan mudah. Tapi sejalan dengan dikembangkannya sistem peringatan dini
yang baik dan tata ruang yang mampu meminimalkan dampak bencana alam, maka nilai
KetP = 6, yang berarti peningkatan 100% dari keadaan sekarang, boleh menjadi visi
lima tahun mendatang.
Visi-visi di atas adalah estimasi perencana berdasarkan pengenalan awal terhadap
permasalahan dan potensi wilayah Kembang Tanjong.
134
Seminar Nasional tentang Keberlanjutan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan
Sub Tema : Praktek dan Pengalaman Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan : kasus-kasus
Tabel 2 Contoh Penilaian Keadaan Saat Ini oleh Masyarakat Kembang Tanjong
KEADAAN INDIKATOR SKOR KETERANGAN
Infrastruktur, Fasilitas Jaringan Jalan 1 Jalan sempit (3 meter),
Umum dan Fasilitas Tidak ada pedestrian
Sosial (Fas) Sebagian besar kondisi
perkerasannya buruk
Sistem Drainase 1 Belum ada sistem drainase
yang baik
Sistem 1 Persampahan masih dikelola
Persampahan oleh masyarakat secara onsite,
dan sebagian membuang
sampah ke sungai
Sistem Irigasi 3 Ada sistem jaringan, tetapi
belum menjangkau ke seluruh
areal persawahan
Sistem Sanitasi 2 Sistem sanitasi bersifat onsite
dan kurang memperhatikan
aspek perlindungan lingkungan
dan kesehatan lingkungan
(septic tank terlalu dekat
dengan sumur)
Sistem Air Bersih 1 Belum ada sistem perpipaan,
masih mengandalkan air tanah
dangkal
Sistem Energi 3 Sudah mampu memenuhi
dan kebutuhan minimum
Ketenagalistrikan masyarakat
Sistem 3 Sudah ada sistem jaringan
Telekomunikasi selular
135
Seminar Nasional tentang Keberlanjutan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan
Sub Tema : Praktek dan Pengalaman Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan : kasus-kasus
136
Seminar Nasional tentang Keberlanjutan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan
Sub Tema : Praktek dan Pengalaman Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan : kasus-kasus
Strategi:
Strategi 1, menangani segera kawasan alami yang dikuatirkan sudah terganggu
fungsi ekologisnya, terutama kawasan pesisir.
Strategi 2, menekan seminimal mungkin terjadinya eksternalitas negatif kegiatan
ekonomi terhadap lingkungan alam.
Implikasi kebijakan tata ruang:
Kebijakan 1 adalah pengaturan fungsi lindung yang cukup untuk kawasan pantai,
sungai, sekitar potensi mata air, dan hutan.
Kebijakan 2 adalah pengaturan fungsi penyangga (buffer) antara kegiatan polutif dan
non-polutif.
Kebijakan 3 adalah penetapan mengenai, dan pengaturan lokasi pengolahan limbah
(waste treatment plants) dari kegiatan-kegiatan polutif.
5. Masyarakat juga akhirnya menyadari bahwa kebijakan tata ruang sangat diperlukan
dalam pembangunan wilayah mereka. Dengan konfirmasi ini, maka ketika nantinya
membaca Buku RDTR Kecamatan Kembang Tanjong, masyarakat menjadi tahu
pentingnya masing-masing item rencana tata ruang yang ada terkait dengan
pencapaian cita-cita mereka pada akhir periode rencana.
6. Namun selain dari itu, mereka juga menyadari bahwa RDTR ini bukanlah segala-
galanya, karena pembangunan membutuhkan keselarasan dan integrasi semua aspek
jika benar-benar ingin berhasil meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara
berkelanjutan. Pada contoh mengenai tujuan pertama hingga implikasi kebijakan tata
ruangnya di atas, masyarakat bisa mengerti bahwa untuk meningkatkan kelestarian
lingkungan Kembang Tanjong, kebijakan bidang lainnya pun diperlukan. Misalnya,
diperlukan pula kebijakan ekonomi untuk memberikan reward bagi kegiatan yang
ramah lingkungan dan punishment bagi kegiatan polutif, yang bisa dilakukan dengan
pendekatan instrumen pasar (market based instruments) seperti pajak polusi,
ataupun pendekatan regulasi pengendalian (command and control) seperti
pencabutan izin bagi kegiatan polutif yang melebihi ambang batas (lihat misalnya
Tietenberg 1996).
Kesimpulan
Ada beberapa hal yang dapat dipetik dari pengalaman penyusunan RDTR Kecamatan
Kembang Tanjong ini:
1. Membantu masyarakat untuk menumbuhkan kemampuan mengevaluasi
pembangunan umumnya, dan penataan ruang khususnya, dapat dilakukan sejak
tahap perencanaan tata ruang. Meskipun tidak dituntut dalam KAK, penyusunan
RDTR Kecamatan Kembang Tanjong telah membuktikan bahwa hal ini bisa dilakukan,
sekaligus sebagai bagian dari pendekatan partisipatif dalam perencanaan. Untuk ini,
perencana harus menyiapkan suatu proposisi berdasarkan studi literatur dan
pengenalan awal terhadap wilayah perencanaannya. Proposisi ini tidak hanya
bermanfaat sebagai kerangka perencanaan, tapi juga menjadi arahan bagi
penyerapan aspirasi masyarakat yang bisa sangat beragam, dan juga arahan untuk
pembelajaran kepada masyarakat yang merupakan bagian penting dari perencanaan
partisipatif.
2. Pendekatan partisipatif yang mampu menumbuhkan kemampuan evaluasi dari
masyarakat ini mempunyai beberapa keuntungan. Pertama, masyarakat
mendapatkan rasa memiliki rencana tata ruang, karena aspirasi mereka tertampung
dalam visi ke depan yang hendak dicapai dari RDTR tersebut. Hal ini akan sukar
didapat melalui pendekatan nonpartisipatif yang cenderung kurang memberi tempat
kepada aspirasi masyarakat. Kedua, masyarakat mampu memahami bagaimana
setiap item rencana tata ruang yang ada dalam RDTR mempunyai andil dalam
137
Seminar Nasional tentang Keberlanjutan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan
Sub Tema : Praktek dan Pengalaman Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan : kasus-kasus
pencapaian cita-cita mereka itu. Ketiga, masyarakat sadar bahwa RDTR ini harus
dilaksanakan, dan secara kapabilitas mereka mampu mengawal pelaksanaannya
melalui evaluasi keadaan yang bisa dilakukan setiap tahun6. Ini suatu hal yang
mungkin tidak bisa didapat pada perencanaan partisipatif yang tidak menumbuhkan
kemampuan evaluasi dari masyarakat.
3. Mekanisme evaluasi penataan ruang oleh masyarakat Kembang Tanjong sementara
ini bisa melalui mekanisme pembangunan yang sudah ada, yaitu melalui Musyawarah
Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Kecamatan setiap tahunnya. Masyarakat
bisa mengajukan hasil evaluasi mereka atas keadaan wilayah pada Musrenbang dan
menilai apakah hasil ini masih sesuai dengan arah pembangunan menuju visi lima
tahun mendatang, untuk kemudian mengusulkan penyesuaian dan perbaikan pada
program-program pembangunan tahunan.
Meskipun demikian, kembali lagi kepada hakikat tujuan partisipasi masyarakat, yaitu
agar masyarakat memiliki kekuasaan manajerial, maka masyarakat Kembang Tanjong
harus difasilitasi agar kemampuan evaluasinya dapat dilaksanakan dalam mekanisme
pembangunan yang ada. Mekanisme perencanaan tata ruang dan Musrenbang dengan
formatnya yang ada saat ini agaknya belum dapat menjamin kekuasaan menajerial
penuh masyarakat. Pendampingan lembaga-lembaga nonpemerintah untuk
pemberdayaan masyarakat kiranya boleh membantu, dan akan lebih baik kalau bisa
dititipi misi ini. Demikian pula, perbaikan kualitas dari mekanisme yang sudah berjalan
dapat terus diupayakan untuk meningkatkan kadar partisipasi masyarakat menuju ke
arah yang lebih baik, termasuk mekanisme lokal yang spesifik seperti dalam sistem
kepemimpinan geuchik-imam mukim yang ada di Aceh ini.
Catatan:
1
Penulis adalah Pimpinan Tim (Team Leader) penyusunan Rencana Detail Tata Ruang Kecamatan
Kembang Tanjong 2008-2017. Penulis ingin secara khusus mengucapkan terimakasih kepada Dr.
Erwin Fahmi selaku Direktur Penataan Ruang, BRR NAD-Nias yang pernah mendorong penulis
untuk menuangkan ini dalam bentuk artikel. This is it. Adapun semua kesalahan dan kekurangan
dalam artikel ini menjadi tanggungjawab penulis sepenuhnya.
2
Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang menerapkan keadilan (equity)
sedemikian hingga baik hasil maupun kesempatan terdistribusikan secara berkeadilan (equitably)
di dalam generasi sementara tetap menjaga kemampuan dan kapabilitas generasi-generasi
mendatang untuk melakukan hal yang sama (Sugiri 2005).
3
Pengalaman pemukiman kembali para korban bencana tsunami 2004 di Geunteng Timur dan
Geunteng Barat, Kabupaten Pidie, dengan pendekatan gerakan masyarakat (community driven)
menunjukkan hal ini. Ketika itu masyarakat memegang kontrol manajerial penuh terhadap
pembangunan perumahan mereka sendiri (Manaf 2007).
4
Wawancara dan diskusi penulis dengan para tokoh masyarakat Kembang Tanjong, 14 September
2007.
5
Di Aceh, desa disebut gampong dan dipimpin oleh seorang geuchik. Beberapa gampong
membentuk suatu mukim (semacam subkecamatan) dan dikepalai oleh seorang imam mukim.
6
Antusiasme masyarakat Kembang Tanjong agar RDTR ini dapat benar-benar terlaksana terlihat
jelas bukan saja dalam kegiatan diskusi, pengamatan lapangan bersama dan FGD, tapi juga dari
kehadiran sebagian besar tokoh masyarakat dan keaktifan mereka dalam Seminar Draft RDTR di
Kota Sigli (ibukota Kabupaten Pidie).
138
Seminar Nasional tentang Keberlanjutan Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan
Sub Tema : Praktek dan Pengalaman Partisipasi Masyarakat dalam Pembangunan : kasus-kasus
Bibliography
Arnstein, S.R. 1969. A Ladder of Citizen Participation, Journal of American Institute of
Planners, 35(4), 216-24.
BRR (Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi) NAD-Nias, 2007. Rencana Detail Tata Ruang
Kecamatan Kembang Tanjong, Kabupaten Pidie, Nanggroe Aceh Darussalam,
Laporan Akhir.
Forester, J. 1999. The Deliberative Practitioner: Encouraging Participatory Planning
Processes, Massachusetts: The MIT Press.
Krohe Jr., J. 2006. The People’s Plan, Planning, 72(3), 8-9.
Kurtz, H.E. 2007. Environmental Justice, Citizen Participation and Hurricane Katrina,
Southeastern Geographer, 47(1), 111-3.
Manaf, A. 2007. Enhancing Sustainability through Community Driven Development
Approach: Lessons Learned from Post Disaster Reconstruction Activities in Pidie
District, Nanggroe Aceh Darussalam, Indonesia, Makalah Seminar, International
Summer School 2007: “Techniques and Technologies for Sustainability”, 19-31
Agustus, Berlin, Jerman.
Piercy, N. dan W. Giles. 1990. The Logic of Being Illogical in Strategic Marketing Planning,
The Journal of Services Marketing, 4(3), 27-37.
Roberts, N. 2004. Public Deliberation in an Age of Direct Citizen Participation, American
Review of Public Administration, 34(4), 315-53.
Sugiri, A. 2005. Equity Failure Issues in Natural Resource-Rich Regions: Sustainability,
Globalisation and Decentralisation in East Kalimantan, Makalah Seminar, 27
Agustus, School of Geography, Planning and Architecture, the University of
Queensland, Australia.
Tietenberg, T. 1996. Environmental and Natural Resource Economics, fourth edition, New
York: Harper Collins.
WCED, 1987. Our Common Future, Oxford: Oxford University Press.
139