Anda di halaman 1dari 14

TINJAUAN PUSTAKA Lerak (Sapindus rarak) Lerak (S.

rarak) merupakan jenis tumbuhan yang berasal dari Asia Tenggara yang dapat tumbuh dengan baik pada hampir semua jenis tanah dan keadaan iklim, dari daratan rendah sampai pegunungan dengan ketinggian 450-1500 m dari permukaan laut. Menurut Afriastini (1990), bahwa lerak (S. rarak) diklasifikasikan sebagai berikut. Taksonomi tanaman lerak yaitu: Divisi Sub divisi Kelas Sub kelas Bangsa Suku Marga Jenis : : : : : : : : Spermatophyta Angiospermae Dicotyledons Rosidae Sapindales Sapindaceae S a p in d u s Sapindus mukorossi Gambar 1. Buah Tanaman Lerak (Plantus, 2008) Bentuk daun lerak bundar telur, perbungaan majemuk, malai, terdapat di ujung batang warna putih kekuningan. Bentuk buah seperti kelereng kalau sudah tua atau masak, warnanya coklat kehitaman, permukaan buah licin atau mengkilat, bijinya bundar berwarna hitam. Daging buah sedikit berlendir dan aromanya wangi (Plantus, 2008). Pengujian secara kualitatif senyawa yang terdapat pada daging buah diantaranya adalah triterpen, alkaloid, steroid, antrakinon, tanin, fenol, flavonoid, dan minyak atsiri (Sunaryadi, 1999). Wina et al. (2005) menyatakan bahwa kulit buah, biji, kulit batang dan daun lerak mengandung saponin dan flavonoid, sedangkan kulit buah juga mengandung alkaloida dan polifenol. Kulit batang dan daun tanaman lerak mengandung tanin. Senyawa aktif yang telah diketahui dari buah lerak adalah senyawasenyawa dari golongan saponin dan sesquiterpen.

16

Saponin Berdasarkan struktur kimianya, saponin dikelompokkan menjadi tiga kelas utama yaitu kelas streroid, kelas steroid alkaloid, dan kelas triterpenoid (Wallace et al., 2002). Saponin yang merupakan suatu glikosida banyak terdapat pada beberapa tanaman. Saponin ada pada seluruh tanaman dengan konsentrasi tinggi pada bagian-bagian tertentu, dan dipengaruhi oleh varietas dan tahap pertumbuhan. Sifat yang khas dari saponin antara lain berasa pahit, berbusa dalam air, mempunyai sifat detergen yang baik, beracun bagi binatang berdarah dingin, mempunyai aktivitas hemolisis (merusak sel darah merah), tidak beracun bagi binatang berdarah panas, mempunyai sifat anti eksudatif dan mempunyai sifat anti inflamatori. Beberapa jenis saponin tertentu bekerja sebagai antimikroba, saponin tertentu menjadi penting dan dapat diperoleh dari beberapa tumbuhan yang digunakan sebagai bahan baku untuk sintesis hormon steroid yang digunakan dalam bidang kesehatan (Robinson, 1995). Saponin sebagian besar terkandung dalam tanaman, namun saponin juga terkandung dalam beberapa jenis hewan seperti sea cucumber. Saponin yang terkandung dalam tanaman banyak ditemukan pada bagian akar, umbi, kulit pohon, biji dan buah. Mayoritas saponin yang terdapat di alam terutama pada tumbuhan jenis saponin triterpen. Saponin terdapat pada berbagai spesies tanaman, baik tanaman liar maupun tanaman budidaya. Saponin juga banyak ditemukan dalam tanaman yang digunakan sebagai hijauan pakan ternak ruminansia dan jenis tanaman lain yang berpotensi sebagai macam spesies Sapindus (Wina et al., 2005). Spesies tanaman Sapindus seperti Sapindus saponaria, S. rarak, S. emarginatus, S. drummonii dan S. delavay pada umumnya mempunyai kandungan saponin yang tinggi. Salah satu jenis Sapindus yang mempunyai kandungan saponin tinggi dan dapat dimanfaatkan sebagai imbuhan pakan pada ruminansia adalah S. rarak (lerak). Buah dalam bentuk hasil ekstraksi dengan metanol telah dilaporkan mengandung saponin dengan kadar tinggi daripada buahnya yang tanpa diekstrak (Thalib, 2004), hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Suharti et al. (2009) yang menggunakan buah lerak (S. rarak) yang diekstraksi dengan air pada konsentrasi 3 dan 5% kandungan saponinnya dan buah lerak yang diekstraksi dengan metanol dengan kandungan saponin 81,5%. Buah lerak dalam ekstraksi metanol dapat mematikan hampir seluruh populasi protozoa uji dalam waktu 30 menit, sedangkan pada konsentrasi 3% ekstrak air tepung lerak dapat menurunkan populasi protozoa sampai 89%. Namun demikian, ekstrak air tepung lerak dengan konsentrasi 5% sudah efektif mematikan hampir seluruh protozoa pada waktu 60 menit, hal ini membuktikan bahwa lerak dalam

bentuk ekstrak air tepung lerak dengan konsentrasi 5% dapat dijadikan agen defaunasi pada protozoa rumen. Menurut Sunaryadi (1999) mengandung saponin total hasil ekstraksi tanaman lerak banyak terdapat di bagian daging buah yaitu sekitar 48,87%.

Pengaruh Saponin terhadap Sistem Rumen Pemanfaatan tanaman yang mengandung saponin akhir-akhir ini sudah mulai berkembang sebagai alternatif penggunaan bahan-bahan kimia industri/sintetik untuk menekan populasi protozoa dalam rumen (Thalib, 2004). Saponin mempunyai pengaruh yang lebih menguntungkan pada ternak ruminansia dibandingkan pada ternak non ruminansia. Pemberian bahan yang mengandung saponin dapat meningkatkan pertumbuhan, efisiensi pakan dan kesehatan ternak. Saponin dapat meningkatkan sintesis protein mikroba rumen dan menurunkan degradabilitas protein dalam rumen. Penurunan degradasi protein dalam rumen dapat terjadi karena terbentuknya kompleks protein-tanin yang sedikit tercerna dan terkait dengan kemampuan saponin sebagai agen defaunasi yang menyebabkan penurunan total populasi prozoa rumen. Saponin dapat mengganggu perkembangan protozoa dengan terjadinya ikatan antara saponin dengan sterol pada permukaan membran sel protozoa, menyebabkan membran pecah, sel lisis dan mati. Keberadaan kolesterol pada membran sel eukariotik (termasuk protozoa) dan tidak terdapat pada sel bakteri prokariotik, memungkinkan protozoa rumen lebih rentan terhadap saponin karena saponin mempunyai daya tarik menarik terhadap kolesterol. Populasi bakteri rumen tidak mengalami gangguan karena disamping bakteri tidak mempunyai sterol yang dapat berikatan dengan saponin, bakteri mempunyai kemampuan untuk memetabolisme faktor antiprotozoa tersebut yang menghilangkan rantai karbohidtrat (Suparjo, 2008). Secara kimia saponin memiliki diversifikasi struktur yang luas dan senyawa-senyawa saponin tertentu dengan sifat surfaktannya dapat menyebabkan terjadinya lisis pada dinding sel protozoa, dengan demikian dapat digunakan untuk defaunasi protozoa. Penelitian Thalib (2004) menyatakan bahwa ekstrak buah Sapindus rarak digunakan untuk menghambat produksi gas CH4, dan efektivitasnya sebagai inhibitor metanogenesis Mikroba Rumen Mikroba yang terdapat dalam rumen dibagi menjadi empat jenis mikroorganisme anaerob yaitu bakteri, protozoa, fungi dan mikroorganisme lainnya seperti virus. Penghuni rumen yang fungsional paling penting adalah bakteri, dalam 1 ml cairan rumen terkandung 109 sampai 1010 sel dan merupakan 5-10% masa kering isi perut besar (Schlegel, 1994).

Jumlah protozoa dalam rumen lebih sedikit bila dibanding dengan jumlah bakteri yaitu sekitar 106 sel/ml. Ukuran tubuhnya lebih besar dengan panjang tubuh berkisar antara 20-200 mikron, oleh karena biomassa total dari protozoa hampir sama dengan biomassa total bakteri (McDonald et al., 2002). Faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan dan aktifitas populasi mikroba rumen adalah temperatur, pH, kapasitas buffer, tekanan osmotik, kandungan bahan kering dan potensial oksidasi reduksi (Dehority, 2004). Pola pertumbuhan bakteri dan protozoa rumen dipengaruhi oleh pola fermentasi yang ditunjukkan oleh proporsi molar VFA dan pH rumen. Perkembangan populasi mikroba rumen terutama bakteri rumen akan dibatasi oleh kadar amonia, karena amonia sangat diperlukan oleh bakteri sebagai sumber N untuk membangun selnya dan sifat predasi dari protozoa (Preston dan Leng, 1987). Kekurangan mineral sulfur (S) dapat menyebabkan terganggunya keseimbangan mikroba terutama fungi yang keberadaannya bergantung pada keberadaan sulfida. Indikasi kebutuhan mineral fospor (P) untuk bakteri selulolitik lebih tinggi dibandingkan dengan jenis bakteri lainnya, kemungkinan kekurangan P akan mengurangi keseluruhan populasi mikroba rumen. Kalsium dan magnesium diperlukan untuk pertumbuhan bakteri (Bakrie et al., 1996). Protozoa Rumen Protozoa merupakan mikroorganisme yang ada dalam rumen dengan jumlah lebih sedikit jika dibandingkan dengan bakteri yaitu sekitar 1 juta/ml (McDonal et al., 2002). Pada ruminansia, protozoa yang bersilia berkembang di dalam rumen dan membantu pencernaan zatzat makanan dari rumput-rumputan yang kaya akan serat kasar. Protozoa jenis Holotrica terutama memecah gula terlarut seperti glukosa, maltosa, sukrosa dan pati terlarut dan melepaskan asam asetat, asam butirat, asam laktat, CO2, H2 dan amilopektin. Amilopektin sebagai simpanan energi bagi protozoa digunakan apabila substrat dalam lingkungan rumen berkurang. Keadaan kelaparan atau kekurangan makanan jangka lama merupakan faktor utama penyebab berkurangannya jumlah protozoa secara drastis. Protozoa mempunyai kemampuan sangat kecil untuk mensintesa asam amino dan vitamin B kompleks. Protozoa memperoleh dua golongan zat makanan tersebut dari bakteri dan dapat menghidrogenasi asamasam lemak tak jenuh menjadi asam lemak jenuh (Arora, 1989). Sebagian besar protozoa memakan bakteri untuk memperoleh sumber nitrogen dan mengubah protein bakteri menjadi protein protozoa, bersama dengan itu memperoleh tambahan sumber protein dan pati dari ingesta rumen.

Protozoa berpengaruh pada pola fermentasi rumen dengan cara mencerna partikelpartikel pati yang menyebabkan kadar VFA rendah dan menyebabkan perubahan rasio butirat dan propionat juga berubah (Arora, 1989). Faktor-faktor yang mempengaruhi populasi protozoa adalah jenis pakan, bangsa ternak, konsentrasi NH3, VFA rumen, pH rumen dan sintesis pemberian pakan (Arora, 1989) dan frekuensi pemberian pakan (Dehority 2001). Suharti et al. (2009) menyatakan bahwa buah biji lerak yang diekstrasikan dengan metanol mengandung senyawa aktif saponin yang sangat tinggi yaitu sebesar 81,5% BK. Senyawa saponin diketahui dapat memodifikasi mikroba rumen dengan menekan pertumbuhan protozoa (defaunasi) secara parsial. Pemberian ekstrak lerak 200 mg/kg BB pada sapi potong yang mendapatkan ransum hijauan tinggi (70%) menurunkan populasi protozoa dan kosentrasi NH3 dalam rumen pada fermentasi in vivo. Penurunan populasi protozoa mempunyai beberapa implikasi yaitu perubahan keragaman bakteri rumen karena penurunan populasi protozoa dengan penambahan ektrak lerak. Sensitifitas protozoa terhadap ekstrak lerak dapat dikarenakan kemampuan saponin dari ekstrak lerak dalam mengikat sterol sehingga saponin tersebut akan mengikat sterol pada membran protozoa dan menyebabkan kerusakan membran yang menyebabkan lisis atau kematian. Bakteri Rumen Bakteri merupakan biomassa terbesar di dalam rumen, terdapat sekitar 50% dari total bakteri hidup bebas dalam cairan rumen dan sekitar 30-40% menempel pada partikel makanan. Beberapa jenis bakteri dari spesies Micrococcus, Staphylococcus, Streptococcus, Corynebacterium, Lactobacillus, Fusobacterium dan Propionibacteriun menempel pada epitel dinding rumen, disamping itu terdapat spesies bakteri metanogen yang hidup menempel pada protozoa (Dehority, 2004). Spesies-spesies bakteri dan protozoa yang berbeda saling berinteraksi melalui hubungan simbiosa dan menghasilkan produk-produk yang khas seperti selulosa, hemiselulosa, dan pati melalui pencernaan polimer tumbuhan. Bakteri rumen spesies tertentu seperti Ruminococcus flavifaciens, R. albus, Butyrivibrio fibrisolvens, dan Selenomonas ruminantium bertanggung jawab dalam fermentasi pregastrik membentuk asetat, propionat, butirat, CO2 dan H2. Fermentasi akan diikuti meningkatnya pertumbuhan mikroba dan sintesis protein sel sebagai sumber protein untuk ternak. Bakteri dalam rumen mampu mensintesis vitamin-vitamin golongan B komplek (Arora, 1989). Berbagai macam tipe bakteri terdapat di dalam rumen dan masing-masing memiliki fungsi berbeda sehingga berbagai karbohidrat kompleks dapat diubah menjadi asam organik dan dapat dimanfaatkan oleh ternak

ruminansia. Bakteri menempel pada partikel pakan kasar dan perlahan-lahan mengikis material tercerna (Arora, 1989). Interaksi antara mikroorganisme juga terjadi dalam rumen yang tergantung pada kondisi pakan. Pada ransum yang bahan dasarnya pakan serat bermutu rendah, protozoa cenderung memangsa bakteri. Protozoa dan bakteri di dalam rumen selalu bersaing dalam menggunakan beberapa nutrien yang diberikan. Apabila kondisi suplai makanan kurang menguntungkan, protozoa akan memakan bakteri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehingga populasi bakteri dalam rumen akan berkurang. Hal ini karena peranan bakteri rumen memiliki fungsi yang sangat penting terhadap fermentasi serat dan tanaman berpolimer (Arora, 1989). Beberapa penelitian yang mengevaluasi tanaman sumber saponin untuk menekan populasi protozoa juga telah banyak dilaporkan. Wang et al. (1998) melaporkan adanya aktivitas antiprotozoa dari ekstrak Yucca dalam percobaan dengan Rusitec dan adanya peningkatan aktivitas protease mikroba rumen. Thalib et al. (1996) melaporkan bahwa ekstrak methanol buah lerak menyebabkan 57% penurunan jumlah protozoa dan 69% meningkatkan populasi bakteri yang mengakibatkan perbaikan efisiensi konversi pakan dan pertumbuhan bobot hidup ternak domba. Senyawa tersebut dapat digunakan sebagai bahan suplemen dalam mengendalikan pertumbuhan protozoa rumen untuk meningkatkan efisiensi penggunaan pakan. Diperkirakan ekstrak saponin buah lerak berdaya defaunasi sangat tinggi sehingga takaran pemakaian ppm (mg/kg) cukup efektif untuk mengurangi populasi protozoa, tanpa merugikan aktifitas fermentasi bakteri rumen (Sunaryadi, 1999). Sementara itu, protozoa sering memangsa bakteri rumen untuk memenuhi kebutuhan proteinnya (Hart et al., 2008).

pH Rumen Kondisi dalam rumen adalah anaerobik dengan temperature 38-420C. Tekanan osmosis pada rumen mirip dengan tekanan aliran darah, pH dipertahankan oleh adanya absorpsi asam lemak dan amonia. Saliva yang masuk kedalam rumen berfungsi sebagai buffer dan membantu mempertahankan pH tetap pada 6,8. Saliva bertipe cair, berfungsi sebagai penyangga (buffer), hasil fermentasi mikroba rumen. Selain itu juga saliva merupakan zat pelumas dan merupakan surfactant yang membantu didalam proses mastikasi dan ruminasi. Saliva mengandung elektrolit-elektrolit tertentu seperti Na, K, Ca, Mg, P, dan urea yang mempertinggi kecepatan fermentasi mikroba. Sekresi saliva dipengaruhi oleh

bentuk fisik pakan, kandungan bahan kering, volume cairan isi perut dan stimulasi psikologis ( Arora, 1989 ). Sunaryadi (1999) menyatakan bahwa pada pH cairan rumen lebih kecil dari 6,2 maka kecernaan serat mulai terganggu. Penurunan pH diduga karena perlakuan defaunasi mengurangi populasi protozoa, sehingga pemanfaatan produk fermentasi rumen tertentu asam laktat menjadi berkurang, mengakibatkan terjadinya akumulasi asam laktat yang diproduksi oleh bakteri pembentukan asam laktat, sehingga pH cairan rumen menjadi turun. Volatile Fatty Acid (VFA) Proses pencernaan karbohidrat di dalam rumen ternak ruminansia akan menghasilkan energi barupa asam-asam lemak atsiri (VFA) antara lain yang utama yaitu asetat, propionat, butirat, valerat dan format dengan perbandingan di dalam rumen berkisar pada 50-70% asetat, 17-21% propionat, 14-20% butirat, valerat dan format hanya terdapat dalam jumlah kecil (Schlegel, 1994). VFA dapat diperoleh dari proses hidrolisis lemak oleh bakteri lipolitik manjadi asam lemak dan glikserol, kemudian gliserol tersebut difermentasikan lebih lanjut menjadi asetat, propionat, butirat dan valerat. VFA juga merupakan produk akhir fermentasi karbohidrat dan merupakan sumber energi utama ruminansia asal rumen. Peningkatan jumlah VFA menunjukkan mudah atau tidaknya pakan tersebut didegradasi oleh mikroba rumen. Komposisi VFA di dalam rumen berubah dengan adanya perbedaan bentuk fisik, komposisi pakan, taraf dan frekuensi pemberian pakan, serta pengolahan. Produksi VFA yang tinggi merupakan kecukupan energi bagi ternak (Sakinah, 2005). Produksi VFA di dalam cairan rumen dapat digunakan sebagai batas ukur fermentabilitas pakan (Hartati, 1998). Ransum yang diberikan kepada ternak ruminansia sebagian besar terdiri dari karbohidrat. Polisakarida di dalam rumen dihidrolisa menjadi monosakarida, seperti glukosa difermentasi menjadi VFA berupa asetat, propionat, butirat, dan gas CH 4 serta CO2. VFA diserap melalui dinding rumen melalui penonjolan-penonjolan yang menyerupai jari yang disebut vili. Sekitar 75% dari total VFA yang diproduksi akan diserap langsung retikulorumen yang masuk ke darah, sekitar 20% diserap di abomasum dan omasum, dan sisanya 5% diserap di usus halus (McDonal et al., 2002). Proses metabolisme karbohidrat dan pembentukan VFA pada ternak ruminansia disajikan pada Gambar 3. Parakkasi (1999) menyatakan bahwa sebagian besar VFA diserap langsung melalui dinding rumen, hanya sedikit asetat, beberapa propionat dan sebagian besar butirat termetabolisme dalam dinding rumen. VFA yang terbentuk merupakan sumber energi yang merupakan salah satu ciri khas enzim mikroba (S) dan sebagian lagi di omasum. Selanjutnya

pakan yang tidak tercerna disalurkan ke dalam abomasum dan dicerna secara hidrolitik oleh enzim-enzim pencernaan sama seperti yang terjadi pada hewan monogastrik. Menurut Abreu et al., (2004), melaporkan bahwa pemberian buah Sapindus saponaria yang mengandung saponin, tidak menurunkan populasi protozoa, namun secara keseluruhan dapat memperbaiki profil VFA, dan efisiensi fermentasi oleh mikroba rumen. Suharti (2010), menyatakan bahwa penambahan ekstrak lerak sebesar 1 mg/ml menurunkan nilai pH sampai 6,25 pada inkubasi 48 jam. Meskipun penggunaan ekstrak lerak tidak mempengaruhi kosentrat VFA total, namun produksi propionat meningkat, sementara produksi asetat, butirat, isovalerat dan valerat menurun. Selulosa Selubiosa Pati Maltosa Isomaltosa

Glukosa-1-phosphat Glukosa-6-phosphat Pektin Asam Uronat

Glukosa

Sukrosa

Hemiselulosa

Pentosa

Fruktosa-6-phosphat

Fruktosa

Fruktan

Pentosa

Fruktan-1,6-diphosphat

Asam Piruvat

Format

Asetil CoA Malonil

Laktan

Oksaloasetat Malat

Metilmalonil CoA

Asetoasetil Laktil CoA CoA

CO2 H2

CoA

Metan

-Hidroksibutiril CoA

Akrilil CoA

Fumarat

Asetil phosphat Krotonil CoA Propionil CoA Suksinat Suksinil CoA

Butiril CoA Asetat Butirat Propionat

Gambar 2. Proses Metabolisme Karbohidrat dalam Rumen Ternak Ruminansia (McDonald et al., 2002). Kondisi tersebut menurunkan proporsi asetat dan butirat dengan pemberian ekstrak lerak 1 mg/ml diduga disebabkan oleh terjadinya perubahan pola fementasi yang mempengaruhi propionat. Pada sistem metabolisme rumen, karbohidrat pakan (termasuk serat pakan) akan diubah menjadi asam piruvat yang selanjutnya terbagi menjadi 2 jalur yaitu diubah manjadi laktat untuk pembentukan propionat dan jalur lain dirubah menjadi asetil koenzim A untuk pembentukan asetat dan butirat. Maka hal tersebut mengakibatkan perubahan komposisi bakteri rumen akibat pemberian ekstrak lerak dapat mengarahkan pembentukan laktat dari piruvat yang selanjutnya dirubah menjadi propionat. Penambahan saponin dan senyawa mirip saponin telah diketahui dapat meningkatkan konsentrasi propionat dan rasio relatifnya terhadap total VFA dalam rumen khususnya ketika saponin dengan konsentrasi tinggi diberikan (Wina et al., 2005). Saponin yang diekstrak dari keseluruhan buah dan biji lerak yang dievaluasi dapat meningkatkan produksi propionat tanpa menurunkan produksi total VFA (Suharti, 2010). Propionat merupakan sumber energi utama bagi ternak pedaging melalui proses glukoneogenesis (Murray et al., 2006), sehingga peningkatan konsentrasi propionat akan memperbaiki efisiensi penggunaan pakan oleh ternak. Amonia (NH3) Seluruh protein yang berasal dari makanan pertama kali dihidrolisa oleh mikroba rumen. Hidrolisa protein menjadi asam amino diikuti oleh proses deaminasi untuk membebaskan amonia (NH3). Sumber lain amonia dalam rumen adalah melalui hidrolisa urea yang dapat berasal dari saliva atau makanan (Arora, 1989). Amonia merupakan sumber nitrogen utama dan penting untuk sistem protein mikroba (Sakina, 2005). Menurut Astuti et al., (1993), sumbangan NH3 pada ternak ruminansia sangat penting mengingat bahwa prekursor protein mikroba adalah amonia dan senyawa sumber karbon, makin tinggi kadar NH3 di rumen maka kemungkinan makin banyak protein mikroba yang terbentuk sebagai sumber protein dalam tubuh. Konsentrasi nitrogen amonia sebesar 5 mg persen setara dengan 3,57 mM sudah mencukupi kebutuhan nitrogen mikroba. Amonia hasil fermentasi tidak semuanya disintesis menjadi protein mikro, sebagian akan diserap ke dalam darah. Amonia yang dikeluarkan melalui urine dan yang lainnya dibawa ke kelenjar saliva. Proses metabolisme protein dan pembentukan amonia (NH 3) ditunjukkan pada Gambar 4.

Konsentrasi amonia yang optimum untuk menunjang sintesis protein mikroba dalam cairan rumen sangat bervariasi, berkisar antara 6-21 mM (McDonald et al., 2002). Konsentrasi amonia berbeda-beda diantara jenis ternak ruminansia tergantung kemampuan mikroba rumennya. Menurut Suharti et al., (2009), menyatakan bahwa secara in vivo konsentrasi NH3 menurun dengan ekstrak lerak pada level 200 mg/kg BB pada sapi potong. Hal ini diduga terkait dengan aktivitas saponin buah lerak sebagai agen defaunasi. Protozoa merupakan proteolitik aktif, sehingga penghambatan populasi protozoa dapat menurunkan konsentrasi NH3. Laju degradasi protein pakan dan N bukan protein juga menentukan kosentrasi NH3 dalam rumen. Selain itu, dengan terhambatnya protozoa diduga penggunaan NH3 oleh bakteri meningkat dan akibatnya konsentrasi dalam rumen akan turun.

Pakan Protein

Endogenous Protein Non-protein N Kelenjar Saliva

Sulit Didegradasi

Mudah Didegradasi

Non-protein N

Enzim protease Peptida Enzim peptidase Deaminasi Asam Amino Amonia Hati NH3 Urea

Protein Mikroba Ginjal Dicerna di Usus Halus (urine) Protein Pakan Endogenous Protein Diekskresikan

Gambar 3. Proses Metabolisme Protein dalam Rumen Ternak Ruminansia (McDonald et al., 2002). Berdasarkan hasil penelitian Thalib (2004) yang menyatakan bahwa suplementasi ekstrak metanol lerak dalam bentuk serbuk (80 mg/ 100 ml dengan kadar saponin 15%) pada ransum domba menghasilkan konsentrasi NH3 yang tidak berbeda dengan kontrol. Namun, Wina et al., (2006) melaporkan bahwa suplementasi ekstrak metanol daging buah lerak

dengan taraf 0,42 dan 0,72 g/kg BB dalam ransum domba yang tersusun dari rumput gajah dan pollard (65:35) nyata menurunkan konsentrasi NH3. Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik Kecernaan in vitro adalah suatu teknik yang dilakukan dengan cara mencampurkan cairan rumen dengan larutan buffer (untuk mensimulasi saliva) dan sampel, seluruh cairan ini ditempatkan dalam tabung fermentor. Kombinasi ini kemudian difermentasi pada temperatur rumen yaitu 39 C selama waktu tertentu biasanya 24 sampai 48 jam (Pond et al., 1995). Tilley dan Terry (1963) memperkenalkan metode two stage, metode ini paling banyak digunakan untuk mengukur kecemaan in vitro. Tahap pertama ialah inkubasi dalam larutan buffer cairan rumen selama 48 jam dalam kondisi anaerob, kemudian dilanjutkan tahap kedua yaitu pemberian pepsin dan inkubasi selama 48 jam (Tilley dan Terry, 1963; McDonald et al., 2002). Menurut Putra (2006), bahwa kecernaan bahan kering dan bahan organik dipengaruhi oleh faktor pakan dan jenis mikroba. Kecernaan adalah perubahan fisik dan kimia yang dialami pakan dalam alat pencernaan, perubahan tersebut berupa penghalusan pakan menjadi butiran-butiran atau partikel kecil. Kecernaan bahan organik merupakan faktor penting yang menentukan kualitas pakan. Kecernaan dinyatakan dengan dasar bahan kering (McDonald et al., 2002). Kecernaan in vitro dipengaruhi oleh pencampuran sampel pakan, cairan rumen, pH, pengaturan suhu fermentasi, lamanya waktu inkubasi, ukuran partikel sampel dan

larutan penyangga (Selly, 1994). Derajat keasaman pH cairan pencernaan ruminansia, sedangkan faktor yang mempengaruhi degradasi ransum dalam saluran pencernaan ruminansia adalah struktur makanan, ruminasi, produk saliva, dan pH optimum (Anggorodi, 1994). Penelitian Hess et al., (2003) menunjukkan hasil yang sama bahwa kecernaan bahan organik ransum yang disuplementasi ekstrak Sapindus saponaria sebanyak 100 mg/g BK (kandungan saponin 12% BK) ke dalam ransum menunjukkan hasil yang tidak berbeda dengan kontrol. Hal yang sama juga ditunjukkan pada penelitian Thalib (2004), menyatakan bahwa suplementasi ekstrak metanol lerak dalam bentuk serbuk (80 mg/ 100 ml dengan kadar saponin 15%) pada ransum domba menunjukkan nilai kecernaan yang tidak berbeda dengan kontrol. Begitu juga dengan nilai kecernaan bahan kering dari hasil penelitian Kurniawati (2009), menyatakan bahwa ransum yang diberi tambahan ekstrak lerak dengan taraf 0,09% dan 0,18% dalam bentuk pakan blok tidak signifikan mempengaruhi kecernaan bahan kering (KCBK) dan menunjukkan nilai hasil yang sama dengan ransum kontrol. Hal tersebut

menandakan bahwa suplementasi ekstrak lerak tidak mempengaruhi kecernaan pakan dan aktivitas mikroba rumen dalam mencerna pakan.

Sintesis Protein Mikoba Rumen Menurut Suryapratama (2005), bahwa semakin tinggi penggunaan rumput dalam pakan ternak ruminansia, semakin rendah sintesis protein mikroorganismenya. Hal tersebut karena prekursor untuk sintesis protein mikroba semakin berkurang sebagai akibat kualitas rumput lapang lebih rendah daripada konsentrat. Pemberian konsentrat sebagai pakan ternak dalam jumlah tertentu sangat diperlukan sebagai penambah asupan nutrien yang baik dan membantu meningkatkan kecernaan dalam sistem rumen, karena kandungan nutrien utama dalam konsentrat merupakan protein tinggi. Kandungan protein kosentrat mengalami proses degradasi di dalam rumen oleh enzim proteolitik menjadi asam-asam amino, kemudian sebagian besar asam-asam amino mengalami katabolisme menjadi asam-asam organik, amonia dan CO2. Amonia merupakan sumber nitrogen utama bagi mikroba rumen karena amonia yang dibebaskan dalam rumen sebagian dimanfaatkan oleh mikroba untuk sintesis protein mikroba (Arora, 1989). Sekitar 3,5-14 mM amonia (NH3) digunakan oleh mikroba rumen sebagai sumber N untuk proses sintesis selnya. Menurut McDonald et al., (2002) bahwa konsentrasi NH3 yang optimum untuk menunjang sintesis protein mikroba dalam cairan rumen sangat bervariasi, berkisar antara 6-21 mM. Menurut McSweeney (2001) keberadaan amonia dalam rumen dapat meningkatkan sintesis protein mikroba, demikian juga keberadaan penambahan suplemen mineral Sulfur dalam pakan yang berhubungan dengan penambahan urea N juga dapat membantu dalam meningkatkan efisiensi sintesis protein mikroba dalam rumen. Namun suplemen Sulfur yang ditambahkan untuk memaksimalkan pertumbuhan protein mikroba (3.8 mg S l-1) lebih rendah daripada konsentrasi amonia dalam rumen (60-80 mg N l-1) (Kandylis, 1981). Suharti (2010) menyatakan bahwa pemberian ekstrak lerak sampai level 200 mg/kg BB belum dapat meningkatkan sintesis protein mikroba pada sapi potong yang mendapatkan rumput lapang dalam jumlah tinggi. Walaupun pemberian ekstrak lerak sudah dapat meningkatkan produksi VFA yang merupakan sumber energi dan kerangka karbon untuk sintesis bakteri, namun konsentrasi NH3 rumen rendah (4 mM), hal ini menyebabkan kurang seimbangnya rasio protein/energi (P/E) yang sangat menentukan dalam sintesis protein bakteri. Selain itu, proses sintesis protein bakteri juga dipengaruhi oleh konsentrasi trace minerals dan vitamin (Karsli et al., 2000). Mineral sulfur (S) telah diketahui mempengaruhi

pertumbuhan bakteri terutama untuk sintesis metionin dan sintesis yang berkisar antara 0,110,2% dari total pakan dan tergantung pada status ternak. Selain itu, mineral sulfur juga mengakibatkan lignin pada pakan berserat akan terhidrolisis sehingga kecernaan bahan organik akan meningkat. Mineral fosfor juga sangat diperlukan untuk ATP dan sintesis protein oleh mikroba. Suharti (2010) menyatakan bahwa jika hijauan yang digunakan berupa rumput lapang dengan kandungan mineral sulfur dan fosfatnya relatif rendah, maka defisiensi mineral tersebut juga berpengaruh terhadap sintesis protein bakteri. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pengaruh saponin terhadap sintesis protein mikroba sangat bervariasi tergantung pada sumber saponin dan level saponin yang digunakan. Mineral (Ca, P, Mg, dan S) Mineral adalah elemen yang dibutuhkan makhluk hidup sebagai nutrien (Cheeke, 1999). Mineral berperan dalam optimalisasi bioproses dalam rumen dan metabolisme zat-zat makanan. Mineral mikro dan makro di dalam alat pencernaan ternak dapat saling

berinteraksi positif atau negatif dan faktor lainnya seperti asam fitat, serat kasar, dan zat-zat lainnya dapat menurunkan ketersediaan mineral (Muhtarudin, 2003 dan Muhtarudin et al., 2003). Hogan (1996) menyatakan bahwa untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan yang optimal, mikroba rumen membutuhkan mineral makro (Ca, P, Mg, dan S). Menurut Maramis dan Evitayani (2001) bahwa suplementasi mineral Ca, P, S dan Mg berpengaruh positif terhadap pertumbuhan dan aktifitas mikroba pencerna dalam rumen. Hal ini sesuai dengan pendapat Komisarczuk dan Durand (1991) bahwa sulfur penting bagi pencernaan serat dalam rumen. Suplai sulfur yang cukup dapat mengoptimalkan degradasi selulosa melalui stimulasi spesifik bakteri selulolitik, aktifitas protozoa ciliata dan fungi anaerob rumen. Maramis dan Evitayani (2009) menyatakan bahwa kombinasi suplementasi mineral Ca, P, Mg dan S yang ditambahkan ke dalam ransum jerami padi 60% dan kosentrat 40%, tidak mempengaruhi pH dan konsentrasi NH3-N, namun memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap peningkatan konsentrasi total VFA. Konsentrasi total VFA pada ransum yang hanya di suplementasi mineral Ca dan P serta yang hanya dikombinasi dengan mineral Mg, P dan S menurunkan konsentrasi VFA. Konsentrasi NH3-N dan total VFA yang tertinggi diperoleh pada ransum jerami padi 60% dan kosentrat 40% dengan penambahan komponen mineral mix (Ca, P, Mg dan S), namun yang memiliki peranan yang cukup baik adalah konsentrasi NH3-N berada diatas konsentrasi optimal untuk pertumbuhan mikroba rumen. Adapun

sumber mineral Ca dan P digunakan CaCO3 dan CaHPO42H2O, untuk Mg digunakan MgO dan sebagai sumber mineral S digunakan Na2SO3. Menurut McSweeney (2007), keberadaan amonia dalam rumen dapat meningkatkan sintesis protein mikroba, demikian juga keberadaan penambahan suplemen mineral Sulfur dalam pakan yang berhubungan dengan penambahan urea N juga dapat membantu dalam meningkatkan efisiensi sintesis protein mikroba dalam rumen. Namun suplemen Sulfur yang ditambahkan untuk memaksimalkan pertumbuhan protein mikroba (3.8 mg S l-1) lebih rendah daripada konsentrasi amonia dalam rumen (60-80 mg N l-1) (Kandylis, 1981). Berdasarkan acuan buku Beef Cattle Animal of Nutrition, bahwa kebutuhan mineral (Ca, P, Mg dan S) untuk sapi potong dalam masa pertumbuhan adalah berturut-turut (0,54; 0,37; 0,23 dan 0,1%) (NRC, 1994). Mekanisme peran mineral kalsium (Ca), posfor (P), magnesium (Mg) dan sulfur (S) sangat diperlukan untuk pertumbuhan sel mikroba rumen dan mencerna serat secara maksimal oleh bakteri selulolitik serta menstimulir produksi VFA. Mineral Ca juga berperan dalam menjaga stabilitas struktur dinding sel, defisiensi mineral ini dapat menyebabkan kerusakan pertumbuhan dan proses-proses metabolisme yang membutuhkan Ca. mineral P esensial untuk semua mikroorganisme karena merupakan bagian integral dari nukleotida dan beberapa koenzim. Sekitar 80 % dari total P dalam bakteri rumen terdapat dalam asam nukleat dan 10 % pada posfolipid. Level 100 mg/liter dari P yang tersedia dalam rumen mencukupi untuk pertumbuhan bakteri dan aktivitas selulolitik. Mineral Mg sangat penting untuk berbagai proses seluler sehingga diperlukan oleh semua mikroorganisme. Sejumlah besar mineral S terdapat dalam asam amino yang mengandung S dalam protein mikroba. Selain itu, mineral S juga esensial bagi bakteri selulolitik untuk memperoleh kecernaan serat yang optimal diperlukan 1020 ppm S dalam cairan rumen (Maramis dan Evitayani, 2009).

Anda mungkin juga menyukai