Anda di halaman 1dari 14

Peter Kasenda

Pemuda dalam Lintasan Sejarah Kebangsaan Dari Pergerakan Menuju NKRI

Berikan saya seribu orang tua saya akan memindahkan gunung Berikan saya sepuluh anak muda saya akan mengguncangkan dunia Soekarno, 1931

Pemuda punya tempat istimewa dalam narasi sejarah dan politik Indonesia Sepertinya tidak ada peristiwa penting di negeri ini yang tidak melibatkan pemuda, mulai dari pembentukan Budi Utomo 1908, Sumpah Pemuda 1928, Revolusi Agustus 1945. Mereka hadir sebagai kekuatan yang berjasa menyelamatkan negeri dari marahbahaya dan mengantar masyarakat ke gerbang kehidupan yang adil dan makmur. Narasi seperti ini biasanya menguat di masa krisis ketika kekuatan-kekuatan sosial lain seperti buruh dan tani atau borjuasi dan kelas menengah tidak mampu mengendalikan keadaan. Klaim tersebut tersebut tentu saja mengandung kebenaran. Dalam semua peristiwa politik yang disebutkan di atas peran pemuda memang sangat menonjol, jauh melampui kekuatan-kekuatan sosial lain, apalagi partai politik. Namun. Orang kerap lupa bahwa keadaan itu tidak selalu direncanakan. Tidak semua pemuda ingin memenuhi panggilan sejarah. Keterlibatan dalam politik atau perjuangan bukan karena ada kualitas tertentu yang inherren dalam diri setiap pemuda, tapi karena situasi tertentu. Bobot dan peran besar yang sering melekat pada kata pemuda misalnya, pemuda harapan bangsa itu diberikan oleh pihak lain dan belum tentu meresap dalam kesadaran para pemuda sendiri. Mereka yang angkat senajata melawan Belanda mungkin punya mimpi sama sekali berbeda. Hanya keadaan yang mendorong mereka untuk bertempur, seperti tersua
1

dalam beberapa cerita pendek Pramodya Ananta Toer tentang masa revolusi di Indonesia. ***** Pada bulan Januari 1901 Ratu Wilhelmina mengumumkan di depan Parlemen program pemerintah Belanda yang baru saja terpilih. Pemerintah mengakui bahwa sementara di masa lalu banyak perusahaan dan orangorang Belanda telah memperoleh keuntungan yang berlimpah-limpah dari Hindia Belanda, penduduk di tanah jajahan itu sendiri menjadi semakin miskin. Tujuan utama pemerintahan jajahan di masa mendatang ialah memperbaiki kesejahteraan rakyat. Ratu Wilhelmina menambahkan bahwa bahwa bangsa Belanda telah berhutang budi kepada rakyat Hindia Belanda. Dengan bernaung di bawah apa yang kemudian dikenal sebagai politik etis, pemerintah Hindia Belanda perlahan-lahan memperluas kesempatan bagi anak-anak Indonesia dari golongan atas untuk mengikuti Sekolah-sekolah Berbahasa Belanda tingkat dasar dan menengah. Sampai akhir Perang Dunia Pertama kebijaksanaan yang baru dalam bidang pendidikan tersebut menghasilkan lulusan yang jumlahnya semakin meningkat. Namun demikian, sampai saat itu fasilitas pendidikan tinggi di wilayah jajahan sedikit sekali dan tak satu pun menyediakan status professional secara penuh. Hadirnya STOVIA dan berbagai lembaga pendidikan membuat kaum muda pribumi mendapat pendidikan Barat. Hasil pendidikan Barat ini membuat golongan priyayi yang menduduki kelasnya berdasatrkan tradisi terdesak golongan priyayi berkat pendidikan. Posisi seseorang ditentukan dari pencapaian, bukan lagi tergantung dari warisan. Bahkan, jebolan STOVIA pun masih bisa mendapat terhormat di pemerintahan. Keadaan tak membuat rasa aman terancam, guncangan batin pun terjadilah, apalagi ditambah sutuasi kota yang selalu menjadi pusat kegaiatan. Rasa tidak aman itu mendorong kaum priyayi mengelompok, mendirikan berbagai perkumpulan, organisasi, yang bertujuan memperbaiki diri dengan menggunakan konsep dan kategori pemikiran Barat dalam meneropong aneka masalah yang mereka hadapi. Boleh dikata, pada situasi itu pendidikan telah melahirkan perrgerakan.

Salah satu unsur penting dalam mitologi negara adalah kebangkitan bangsa Indonesia di sini dibayangkan sebagai jiwa yang terlelap dan akhirnya bangkit dari tidur panjangnya pada awal abad ke-20. Momen kebangkitan ini adalah pembentukan Budi Utomo, organisasi priyayi Jawa yang juga disebut sebagai organisasi pribumi pertama di Hindia Belanda. Kunci kebangkitannya adalah pendidikan yang membuka mata kaum muda dan membuat mereka bisa mengenali diri dan sekelilingnya dengan cara pandang baru. Menguatnya frasa pemuda dalam tataran politik di Hindia Belanda tahun 1920-an menunjukan kelekatannya sebagai dominasi kaum terpelajar yang mengisi dunia pergerakan setelah kehancuran gerakan komunis di Hindia Belanda. Pendek kata, pemuda adalah kata lain dari sifat terpelajar para pemimpin yang lahir dalam pentas pergerakan saat itu. Peristiwa Kongres Pemuda di Batavia pada 27-28 Oktober 1928 menjadi sebuah momen yang mewakili bentuk baru politik pergerakan di Hindia Belanda akhir tahun 1920-an. Penegasan keyakinan tentang sebuah masyarakat bertanah, berbahasa, dan bebangsa satu sebagai ikrar penutup kongres diiringi pengenal kali pertama lagu Indonesia Raya dengan gesekan sebuah biola merupakan hasil perkembangan tak terelakkan akan suasana politik yang telah berkembang sejak Soekarno tampil memimpin pergerakan dan membentk Kelompok Studi Umum dan kemudian mendirikan PNI pada 4 Juli 1927. Dalam kongres itu sebagian besar wakil delegasi meminta maaf kepada hadirin karena berpidato dalam bahasa Indonesia terpatah-patah. Mereka kemudian melanjutkan dalam bahasa Belanda. Jelas di sini ada perbedaan tajam di antara mereka dengan generasi pergerakan sebelumnya seperti Semaoen, Marco Kartodikromo dan Haji Misbasch yang banyak berbicara di depan massa, menulis di koran-koran partai, dan memaparkan gagasan politik mereka dengan menggunakan bahasa Melayu. Di sini kita mendapatkan ironi getir tentang suasana politik akhir tahun 1920-an. Terlepas dari sinyalemen corak kehidupan dan gagasan intelektual para pemuda terpelajar itu berjarak cukup lebar dengan massa rakyat, kita mendapatkan sebuah konsepsi cukup matang tentang bangsa sebagaimana diwakili dalam kongres pemuda 1928.

Ketika pemerintah kolonial memperketat kontrol dengan memisahkan aktivisme politik pemimipin pergerakan dengan massa perkotaaan dan pedesaan melalui kehadiran polisi di mana-mana, keterbatasan tersebut justru melahirkan gagasan baru dalam dunia politik yang membuat kata Indonesia menjadi menjadi sebuah konsepsi yang penting dan menjadikan isme-isme politik dalam periode sebelumnya sebagai bentuk masyarakat baru, lebih besar dibandingkan kelompok suku-suku di Hndia Belanda pada saat itu. Wawasan serta pergaulan sehari-hari di sekolah dan organisasi organisasi kepemudaan justru menjadi lahan subur bagi persemaian gagasan sebuah bangsa dengan nasib sama menghadapi kolonialisme di Hindia Belanda. Walaupun sebagian besar menyampaikan pidato dalam bahasa Indonesia terpatah-patah, tak dapat disangkal semangat lebih menekankan sifat keindonenesian dalam tindakan politik mereka memberi kontribusi besar yang mengarahkan perjuangan antikoloninial dengan orientasi baru politik kebangsaan. Salah satu sebab mengapa Pemuda 1908 dan 1928 dapat berperan dan berpengaruh demikian besar dalam masyarakat Indonesia, sehingga tindakan mereka masing-masing disebut awal dari Kebangkitan Nasional dan cikal bakal eksistensi bangsa Indonesia sendiri, adalah struktur pendidikan. Struktur pendidikan dan alam pendidikan masyarakat pada zaman sebelum 1945 menempatkan para pelajar Indonesia pada lembaga-lembaga pendidikan Barat dalam kedudukan istimewa. Bayangkan, dalam suatu masyarakat yang sebagian besar hidup dalam alam agraris-religius/spiritual, buta huruf dan terisolasi, dimana koran belum tersebar. Film belum ada dan hubungan-hubungan dengan kota masih sedikit, muncul sejumlah orang Indonesia yang menyerap ide-ide bari. Pemuda-pemuda ini adalah orang Indonesia yang pertama mendapat pendidikan Barat, yang pertama kali berhubungan dengan dunia dan menjelaskan secara lain daripada lazim yang dilihat. Angkatan 1908 dan 1928 adalah contoh klasik bagaimana segolongan cendikiawan muda dapat mendinamiskan kehidupan politik. Ide-ide golongan ini di terima oleh dunia dewasa, diperlunak dan menut beberapa orang dijinakkan ke arah konservatisme. Ini jelas terjadi dengan ide-ode Angkatan 1908 pada Kongres Budi Utomo pada tahun berikutnya yang dipimpin oleh para bupati dan priyayi tinggi lainnya. Namun, gerakan ini ke arah kebangkitan tetap berjalan.

Demikian juga yang terjadi dengan Angkatan 1928. Kekuatan tersendiri tidak pernah timbul dari tindakan cendikiawan muda ini, tetapi ide-ide mereka diserap ke dunia politik dewasa. Tanggapan politisi tua terhadap ide-ide muda ini dimungkinkan karena sebenarnya kedua-duanya merupakan oposisi terhadap pemerintah kolonial dan memang dunia dewasa sudah berpikiran ke arah demikian. Tindakan Angkatan 1908 dan 1928 tidak menjadi lembaga-lembaga sendiri seperti gerakan kaum muda di Sumatra Barat, tetapi menjadi bagian dari sejarah gerakan nasional Indonesia. Terakhir, mengenai pemuda sebelum Angkatan 1945 ini, harus dicatat bahwa mereka menunaikan tugasnya sebagai intelgensia sangat baik. Baik mereka yang belajar di kedokteran, teknik, ilmu hukum dan ekonomi tidak menyempitkan diri dalam bidang-bidang mereka, akan tetapi bacaan dan pendalaman pengetahuan mereka yang luas menyebabkan sadar kan isyuisyu besar zaman mereka seperti kolonialisme, imperialisme dan hubungan internasional dan lain-lain. Generasi itu memang istimewa, berrani menentang kolonialisme, menyodorkan suatu keadaan lain dari yang ada, yakni suatu Indonesia merdeka. Dalam hal itu, sampai kini belum ada yang menyamainya. ***** Dominasi pemuda terpelajar dalam politik mulai ditantang oleh kehadiran balatentara Jepang pada awal 1942. Secara statistik jumlah pemuda terpelajar sangat sedikit. Dari sekitar lima juta orang berusia antara 15 20 tahun pada 1940, tidak lebih dari dari dua ribu orang pernah mengenyam pendidikan menengah dan hanya 637 orang berpendidikan tinggi. Ada hal cukup menarik untuk dicermati tentang posisi dan sikap pemuda terhadap pemerintah pendudukan Jepang di Indonesia yang tetap masih terjajah, sejak penjajahan Belanda sampai dengan awal tahun 1942. Namun, sikap setiap pemuda, baik individual maupun kelompok, merupakan bagian dari taktik-strategi mereka mencari alternatif untuk membebaskan bangsanegeri dari cengkraman penjajahan yang sekarang dilakukan Jepang. Dalam kaitan itu, mereka yang telah berjuang sejak periode pergerakan nasional mempunyai dua pilihan. Ada yang bersedia menjalin hubungan kerjasama dengan pemerintah pendudukan fasis-kolonialis, dan mereka
5

kerap disebut sebagai kolaborator (Jepang). Pimpinan pergerakan kelompok ini sangat anti Belanda. Pada masa penjajahan Belanda dengan partai politik masing-masing seperti Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Indonesia (Partindo), dan PNI-Pendidikan, mereka menempuh jalan nonkooperasi. Usia mereka rata-rata di atas 40 tahun sering pula disebut kelompok tua. Soekarno dan Mohammad Hatta masuk dalam kelompok itu. Di sisi lain, ada beberapa golongan anti fasisme Jepang. Dalam kelompok ini terdapat sejumlah tokoh yang dianggap pemuda dan atau tergolong muda seperti Sutan Sjahrir, Amir Sjarifuddin, Adam Malik, Soekarni, Chaerul Saleh, dan lain-lain. Sebagian di antara mereka menjalin hubungan dekat dengan beberapa pemuda yang tergabung dalam Heiho, Giyugun, dan Peta. Berbeda dengan Kasman Singodimedjo, misalnya, yang diangkat sebagai daidancho (setingkat battalyon) karena ketokohannya sebagai pemimpin umat Islam. Golongan pemuda yang menentang fasisme Jepang dengan melakukan gerakan bawah tanah umumnya adalah pemuda yang menjadi bagian dari pergerakan nasional dengan landasan ideologi tertentu. Karena lebih banyak bergerak di bawah tanah, gerakan mereka tidak terpengaruh saat pendudukan Jepang membubarkan hampir semua organisasi dan partai politik pada awal 1942. Keadaan demikian terus berlanjut dan berakhir ketika Sekutu menjatuhkan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki pada Agustus 1945. Jepang memang memberi perhatian khusus pada pengorganisasian dan indoktrinasi pemuda. Selain menjalankan indoktrinasi intensif di semua tingkat, Jepang juga membentuk sejumlah organisasi pemuda. Organisasi pemuda terbesar dan terpenting bentukan pemerintah pendudukan Jepang adalah Barisan Pemuda (Seinendan). Selain memiliki cabang-cabang hingga tingkat kecamatan, organisasi itu juga mempunyai cabang tambahan di kantor-kantor pemerintahan dan swasta. Jumlah anggota Seinendan di Jawa sangat banyak, sekitar setengah juta pemuda. Upaya pemerintah pendudukan Jepang membentuk organisasi kepemudaan melalui sekolah-sekolah merupakan salah satu strategi penanaman psikologi kebencian terhadap orang Belanda dan orang kulit putih. Penanaman rasa benci terhadap orang kulit putih diharapkan akan mudah mencapai tujuannya bila indoktrinasi warga muda-belia. Dilakukan sejak dini. Barisan Pelajar (Gakutotai) dibentuk di tingkat sekolah menengah pertama dan menengah atas serta sekolah kejuruan. Organisasi pemuda
6

pelajar dengan nama berbeda-beda, yang tidak bertentangan dengan himauan pemerintah fasisme Jepang, di bentuk di pelbagai daerah. Upaya pemerintah pendudukan Jepang membatasi ruang gerak dan kegiatan (politik) pemuda Indonesia tampaknya sia-sia, karena sejak periode awal pergerakan nasional mereka telah menjadi bagian tak terpisahkan dari pergerakan perjuangan kemerdekaan, Hal pasti, para pemuda tersebut memiliki beberanpa langkah taktis-strategis untuk menghadapi pelbagai kemungkinan, baik selama maupun setelah Perang Pasifik usai. Dalam konteks itu, sebagaian besar kaum muda dan pemimpin pemuda melakukan perlawanan di bawah tanah, seperti dilakukan Sutan Sjahrir, Amir Sjarifuddin, Chaerul Saleh, Sukarni, dan lain-lain, termasuk beberapa mahasiswa kedokteran. Pusat gerakan umumnya berada di asrama tempat tinggal mereka, antara lain, asrama Menteng 31, Jakarta. Gerakan pemuda anti Jepang itu muncul ke permukaan menjelang kekalahan Jepang pada 1945. Jauh sebelum tahun 1945, yaitu sejak Sumpah Pemuda tahun 1928 para pemuda sudah menyediakan api yaitu api kemerdekaan Indonesia. Kegiatan-kegiatan di zaman Jepang sebenarnya merupakan kesinambungan dari pergerakan nasional yang dimulai tahun 1920-an. Pada waktu zaman Jepang, para pemuda terutama di kota-kota besar mendapat kesempatan yang luas untuk bergerak. Bagi pemuda bukan pikiran tetapi pengalamanlah yang menjiwai tindakan mereka. Suatu adegan di Jakarta pada tanggal 6 Juli 1945 menjelang kekalahan Jepang cukup menunjukkan pandangan dan sikap pemuda yang sangat berbeda dengan generasi pimpinan tua sebelumnya. Untuk pertama kalinya pemuda seperti Chaerul Saleh, Wikana, BM Diah, Adam Malik, SK Trimurti, dan Asmara Hadi dimasukan sebagai pemimpin di dalam organisasi baru yang namanya Gerakan Rakyat Baru. Di dalam rapat pembentukan anggaran dasar Gerakan Rakyat Baru pimpinan pemuda ingin mencantumkan kata-kata Republik Indonesia di dalam pasal-pasalnya tapi ditolak oleh generasi tua yaitu Soekarno, Moh Hatta, A Subardjo, Muhammad Yamin dan Abikusno yang tidak bisa menerima tuntutan mereka. Pemuda ternyata kalah suara sehingga meninggalkan rapat dan protes bahwa mereka tidak akan ikut serta di dalam organisasi Gerakan Rakyat Baru lagi. Api semangat revolusioner sudah mulai menyala.

***** Sesudah proklamasi pemudalah yang meneruskan nyala api proklamasi, api pertempuran dengan Jepang dan Inggris, api revolusi sosial, api yang menuntut seratus persen merdeka, tanpa berunding tanpa diplomasi, merdeka atau mati . api kebebasan pribadi. Kalau golongan pemuda pelajar sebelum 1945 dimasukan kedalam kategori cendikiawan, karena pendidikan mereka, maka para pemuda tahun 1945 dijadikan pejuang. Revolusi berfungsi sebagai motor mobilitas sosial yang cepat bagi para pemuda. Revolusi mencakup golongan yang lebih luas daripada mereka yang berpendidikan tinggi saja. Struktur umur para Pejuang Angkatan 1945 maksudnya jumlah besar golongan muda yang aktif di dalamnya, menimbulkan julukan Pemuda pada tenaga-tenaga revolusioner 1945 dan konsepsi Revolusi Pemuda Peristiwa penculikan Soekarno-Hatta ini telah menjadi contoh bagi gerakan pemuda di kota-kota di seluruh Jawa. Di daerah generasi tua pada umumnya diwakili oleh pejabat pemerintah yang dulunya pejabat Pangeh Pradja oleh karenanya sikap keragu-raguan terhadap proklamasi tercermin dalam sikap mereka. Ada yang menunggu kedatangan Sekutu, ada yang menunggu majikan lama yaitu Belanda untuk kembali lagi. Malahan ada yang menunggu pengumuman resmi Gunseikan bahwa Jepang sudah menyerah resmi kepada Sekutu. Padahal pengumman ini tidak pernah datang. Golongan ini masih ketakutan akan tindakan Jepang apabila mereka harus menurunkan bendera Hinomaru Jepang. Pemudalah yang memaksa pengibaran Merah Putih dan seringkali merekalah yang menurunkan bendera Jepang, sehingga akhirnya Merah Putih berkibar tanpa bendera Jepang di sampingnya.

Beribu-ribu pemuda dan rakyat terbaring bukan saja antara Kerawang dan Bekasi, sebagaimana dikatakan dalam sajak Chairil Anwar, tapi juga di Pekalongan, Semarang, Magelang, Yogyakarta, Bandung, Surabaya, Medan, Aceh dan Sulawesi Selatan. Pertempuran dimulai dengan menyerang garnizum Jepang yang masih tinggal di kota-kota kabupaten dan karesidenan, dengan maksud untuk merebut senjata-senjata Jepang. Walaupun pertempuran itu biasanya berhasil tetapi meminta banyak korban; di Pekalongan pertempuran pertama terjadi pada tanggal 3 Oktober 1945 yang menelan 32 jiwa pemuda, di Yogyakarta 18, sedang di Semarang di mana 300 orang Jepang dibunuh dengan bambu runcing, dibalas oleh Jepang dengan korban 2000 orang Indonesia. Sedang Bandung yang terkenal menjadi lautan api itu bagi pemuda Jawa Timur bukan merupakan kemenangan gemilang sehingga mereka mengirim pemerah bibir kepada pemuda Jawa Barat sebagai cemooh. Justru pertempuran Surabayalah yang menjadi lambang kepahlawanan, pengorbanan dan semangat pemuda revolusioner. Pagi-pagi tanggal 10 November 1945 diserang dengan metraliur, bom dan teng-teng Inggris. Selama tiga minggu pemuda dan rakyat membalas hanya dengan senjata yang sederhana di tanganya. Tahap terakhir perjuangan kemerdekaan Indonesia mulai dengan menyerahnya Jepang dalam bulan Agustus 1945 dan berlangsung sampai penyerahan kedaulatan oleh Belanda pada bulan Desember 1949. Perjuangan ini dilangsungkan di dua bidang diplomasi dan militer. Perundingan antara para pemimpin Indonesia dan Belanda dilangsungkan beberapa kali dalam waktu empat tahun Zaman Revolusi . Akan tetapi perundingan terdahulu tidak menggembirakan kaum nasionalis. Baru setelah perundingan diadakan lagi setelah pernag gerilya yang berlama-lama dalam tahun 1949 diplomasi membawa keberhasilan bagi Indonesia. Walaupun, pasukan-pasukan militer Indonesia tidak pernah benar-benar mengalahkan Belanda di medan pertempuran, tetapi ketidakmampuan Belanda untuk mengalahkan orangorang Indonesialah yang merintis jalan perundingan yang kemudian mengakhiri pemerintah kolonial pada akhir tahun 1949. Pada tanggal 5 Oktober 1945, enam minggu setelah proklamasi, pemerintah republik yang baru itu membentuk apa yang kemudian dikenal sebagai Tentara Nasional Indonesia (TNI). Tentara baru ini terdiri dari kesatuankesatuan setempat yang tersebar di seluruh kepulauan Indonesia yang dalam banyak hal terbentuk secara spontan setelah mendengar berita tentang

kekalahan Jepang, dan yang sering mempersenjatai diri dengan jalan merebut senjata dari orang-orang Jepang. Yang menjadi tulang punggung dari tentara baru itu adalah para pemuda yang memasuki anggota Pembela Tanah Air (PETA) yang dibentuk sewaktu pendudukan Jepang untuk menyediakan bantuan militer Indonesia untuk Jepang apabila Sekutu menyerbu. Para perwira PETA telah diberi latihan sesuai dengan pernan yang dimaksudkan semabagi komandan-komandan batalyon yang berada di bawah komando Jepang. Selain perwira PETA yang berjumlah sekitar 1600 orang tentara baru itu juga mendapat sebagai anggota lebih kurang tiga puluh orang pemuda yang telah direkut untuk masuk tentara Belanda di Hindia Belanda tidak lama sebelum Perang Dunia Kedua dan telah mendapat latihan di Akademi Militer Belanda dengan tingkat yang jauh lebih tinggi daripada perwira-perwira PETA itu. Kemudian pemuda-pemuda lain membentuk kesatuan-kesatuan gerilya mereka sendiri sering dengan dukungan golongan-golongan politik tertentu, yang banyak di antaranya akhirnya juga ditampung dalam TNI. Di samping PETA, pemerintah pendudukan Jepang membentuk organisasi semi militer seperti Giyugun dan Heiho. Heiho adalah tentara pembantu yang tidak mensyaratkan pendidikan, mungkin karena tugas Heiho hanya membantu pekerjaan kasar seperti menggali parit, membangun jembatan dan jalan, menjaga tahanan dan lain-lain. Mereka dilatih selama dua bulan dengan menggunakan senjata kayu atau bambu runcing. Sementara Giyugun di Sumatra dibentuk dengan persyaratan pendidikan tertentu. Mereka mendaftar secara sukarela dan menhgikuti pelatihan selama 3 6 bulan dengan disiplin tinggi. Dalam kaitan dengan lembaga kemiliteran, pemerintah pendudukan Jepang memberi sumbangan bagi terbentuknya cikal-bakal tentara nasional di republik yang baru bertegak itu. Selain itu, juga dalam membela dan mempertahankan kemerdekaan bangsa negara. Beberapa anak muda berusia 15-20 tahun berinsisiatif membentuk pasukan bersenjata sendiri dari puluhan sampai ratusan anggota dengan nama seperti pasukan Bejo, batalyon Mattalata dan lain-lain. Mereka ini biasanya disebut laskar. Beberapa pemuda nasionalis dan Islam di berbagai kota di Indonesia juga membentuk organisasi kelaskaran seperti Laskar Hizbullah-Sabilillah. Latar pendidikan dan pekerjaan anggota laskar sangat beragam. Hal-hal juga perlu dicatat dalam periode mempertahankan kemerdekaan (1945 1949) adalah hadirnya organisasi tentara pelajar seperti Tentara Pelajar (TP) dan Tentara Republik Indonesia Pelajar (TRIP)
10

yang mendapatkan pengetahuan bela negara selama periode pendudukan Jepang. Angkatan Bersenjata Indonesia tentunya bukan merupakan tandingan bagi pasukan-pasukan Inggris, dan kemudian pasukan-pasukan Belanda dalam perang konvensional. Kedatangan pasukan-pasukan Inggris pada akhir-akhir tahun 1945 telah mendapat perlawan sengit di beberapa tempat, terutama sekali di Surabaya, akan tetapi akhirnya pasukan-pasukan Inggris dan kemudian pasukan Belanda yang kembali dapat menduduki kota-kota utama. Pasukan-pasukan militer Belanda dipimpin oleh perwira-perwira professional yang sangat terlatih dan berpengalaman mengomandokan pasukan-pasukan yang berdisiplin diperlengkapi dengan pesersenjataan dan peralatan modern. Pasukan-pasukan Indonesia sebaliknya, tidak lebih daripada hanya kumpulan pemuda-pemuda setempat dengan latihan yang terbatas, boleh dikatakan tidak ada pengalaman tempur, dan hanya sedikt senjata. Perjuangan Indonesia dengan demikian berakhir dengan kemenangan. Walaupun pasukan-pasukan militer Indonesia adalah lemah menurut ukuran konvensional, mereka didukung oleh massa rakyat dan sanggup membuat kemenangan Belanda suatu hal yang tidak mungkin, sehingga akhirnya mengundurkan diri. Akan tetapi masa perang gerrilya itu adalah singkat dan Belanda tidak mengalami kekalahan total. Dalam perundingan terakhir Belanda berhasil memperoleh konsesi-konsesi penting. Mereka mendesak sebuah konsitusi federal bagi Indonesia yang mereka harapkan akan dapat membuat unsur-unsur pro-Belanda di daerah-daerah luar Jawa berpengaruh, menciptakan sebuah uni yang bersifat simbolik antara negeri Belanda dan Indonesia di bawah kekuasaan Ratu Belanda, memberikan jaminan bagi para penguasa Belanda dan modal yang mereka tanam di Indonesia, dan menangguhkan penyelesaian masalah status Irian Barat Baru di tahun-tahun kemudian sisa-sisa dari pemerintahan Belanda secara berangsur-angsur dilenyapkan. ***** Pemuda menjadi kekuatan sosial yang menonjol karena tidak ada unsur lain dalam masyarakat yang punya kedudukan kuat. Gerakan buruh dan tani yang dipukul sejak pemeberontakan 1926 belum lagi bangkit dan kembali ditekan
11

secara sistematis pada masa pendudukan Jepang. Sementera itu, sebagian elite pribumi terlibat terlalalu jauh dalam praktik tentara pendudukan yang menindas teritama pegerahan tenaga kerja paksa dan perbudakan seksual. Mereka telah kehilangan wibawa di mata penduduk. Sementara gerakan nasionalis masih didominasi golongan tua yang lamban menyikapi situasi yang terus berubah dengan cepat. Keadaan demikian membuat pemuda munculebagai kategori politik yang penting, jika bukan terpenting, semasa revolusi. Knflik kerap terjadi di antara golongan tua yang lambat dengan pemuda yang menginginkan revolusi segera. Dalam beberapa kejadian, konflik politik ini tidak melibatkan letusan senjata. Aksi penculikan, penggedoran, penangkapan, dan tindak kekerasaan ;ainnya kerap terjadi, yang menciptkan imaji baru pemuda radikal dan keras. Telah dicoba ditelusuri perkembangan sejarah pemuda Indonesia dari masa pergerakan nasional hingga menuju Negara Kesatuan Republik Indonesia. Munculnya kekuataan pemuda sebagai pusat perhatian masyarakat bukan terjadi di Indonesia saja, akan tetapi merupakan fenomerna di negara-negara Asia lainnya, yang secara tradisional menempatkan pemuda dalam tingkat rendah sedangkan usia lanjut diveri tempat yang paling terhormat. Cina, sebagai contoh klasik dari keadaan terakhir ini, mengenal Gerakan 4 Mei; gerakan pemuda dari mana kebanyakan pemimpin modern Cina terbentuk dan berada di pihak mana pun juga. Fenomena kepemudaan di Asia membawa dua akibat. Di satu pihak tokoh-tokoh revolusi Asia terpikat padanya. Mao Tse Tung, misalnya, mencari kekuatan untuk revolusi kebudayaannya pada golongan muda, demikian juga Soekarno mengalamatkan pesannya bahwa revolusi belum selesai pada pemuda. Di lain pihak, pemuda menjadi gandrung akan revolusi atau paling sedikit melihat diri sendiri sebagai katalisator perubahan politik.

12

Makalah ini dipresentasikan dalam kegiatan Forum Dialog Antar Generasi dengan Para Pelaku Sejarah mengenai Nilai-nilai Sejarah Kebangsaan di Kalangan Pelajar (SMA) - Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia pada 1 Maret 2013 di Hotel Golden Boutique, Jakarta Pusat. Bibliografi Achdian, Andi. Orang Muda dalam Politik : Dinamika Pergerakan Antikolonial di Indonesia Awal Abad Ke-20. Prisma, Vol. 20, No 2, 2011, Hlm. 13 25. Crouch, Harold, Peran Militer dan Diplomasi Dalam Perjuangan, dalam Colin Wild dan Peter Carey (ed) 1986. Gelora Api Revolusi. Sebuah Antologi Sejarah. Jakarta : BBC Seksi Indonesia dan PT Gramedia, Hlm. 150 156. Farid, Hilmar, Meronta dan Berontak : Pemuda dalam Sastra Indonesia. Prisma, Vol. 20, No 2, 2011, Hlm. 72 82. Gongong, Anhar. Pemuda dan Gerakan Bersenjata. Indonesia Masa Pendudukan Jepang, Prisma, Vol. 20, 2,2011, Hlm. 55 71. Ingelson, John. 1983. Jalan Ke Pengasingan. Pergerakan Nasionalis Indonesia. Jakarta : LP3ES. Kasenda, Peter. 2010. Sukarno Muda. Biografi Pemikiran 1926 1933. Depok : Komunitas Bambu. Lucas, Anton, Pemuda Revolusi , dalam Colin Wild Wild dan Peter Carey (ed) 1986. Gelora Api Revolusi. Sebuah Antologi Sejarah. Jakarta : BBC Seksi Indonesia dan PT Gramedia, Hlm. 156 163. Onghokham. 1983. Rakyat dan Negara. Jakarta : Sinar Harapan.

13

Widiastono, Tonny A, Pendidikan dan Kesadaran Berbangsa, Kompas, 19 Mei 2008.

14

Anda mungkin juga menyukai