Anda di halaman 1dari 18

BAB I PENDAHULUAN

A. Judul Praktikum Pemeriksaan fungsi/faal paru dengan Spirometer B. Waktu, Tanggal Praktikum Rabu, 13 Maret 2013 C. Tujuan Mahasiswa dapat : a. Menjelaskan pemeriksaan spirometri b. Melakukan pemeriksaan spirometri c. Menganalisa hasil pemeriksaan D. Dasar Teori Sebagian besar jaringan di tubuh manusia membutuhkan O2 untuk menghasilkan energi, sehingga penyediaan O2 harus tersedia agar jaringanjaringan tersebut dapat melakukan fungsi mereka secara normal. CO2 merupakan produk dari metabolisme aerobik, dan harus dikeluarkan dari jaringan tubuh. Sistem pernapasan mempunyai fungsi utama yaitu mengambil O2 dari atmosfer ke dalam sel dan untuk mengeluarkan CO2 yang dihasilkan oleh metabolisme sel (Levitzky, 2007). Proses tersebut biasa disebut dengan proses respirasi. Menurut Ganong (2009), respirasi meliputi dua proses, yaitu: 1. Respirasi eksternal Proses ini berupa penyerapan O2 dan pengeluaran CO2 dari tubuh.

Respirasi eksternal ini masih dibagi menjadi 2 tahapan, yaitu: a. Ventilasi pulmonari Ventilasi pulmonari merupakan tahapan dimana udara dapat bergerak dan mengalir di antara atmosfer dan alveoli paru. Pada dasarnya udara mengalir masuk dan keluar dari paru-paru karena adanya perbedaan tekanan. Dalam kondisi normal, udara atmosfir bertekanan 760mmHg sehingga dibutuhkan mekanisme ventilasi paru yang mencakup 2 fase. Fase-fase tersebut diperlukan agar

terjadi perbedaan tekanan gradien antara atmosfir dan alveolus (Asih, 2004). Fase- fase terpenting itu adalah 1) Inspirasi Inspirasi merupakan bagian dari proses pernapasan. Inspirasi diprakarsai oleh kontrol pernapasan di medula

oblongata. Medula oblongata merangsang saraf- saraf pernafasan sehingga menyebabkan kontraksi otot diafragma dan interkostal . Hal tersebut dapat menyebabkan bertambah luasnya rongga dada dan terjadi penurunan tekanan di rongga pleura. Diafragma

merupakan struktur berbentuk kubah yang memisahkan rongga dada dan perut . Otot ini jga paling penting dalam proses inspirasi. Ketika mengkontraksi, diafragma bergerak ke bawah dan berbentuk mendatar.hal tersebut akan memperluas rongga thoraks. Otot-otot interkostalis eksternal menghubungkan tulang rusuk yang berdekatan sehingga ketika otot tersebut berkontraksi maka tulang rusuk pun tertarik ke atas dan ke depan. Hal ini menyebabkan peningkatan volume rongga thoraks. Akibatnya tekanan di dalam rongga thoraks menjadi lebih rendah dari tekanan di atmosfer dan udara dari atmofer pun mengalir menuju ke alveolus (Richardson, 2003). 2) Ekspirasi Ekspirasi secara normal tanpa memerlukan kontraksi otot karena adanya elastic recoil pada paru-paru. Fase isi terjadi ketika otot diafragma dan intercostalis externus mengalami relaksasi. Namun, otot-otot interkostal internal dan otot ekspirasi lainnya dapat berkontraksi jika terjadi ekspirasi maksimum (Richardson, 2003).

Gambar 1. (Faller, 2004)

b.

Pertukaran gas antara alveolus dan kapiler paru Alveolus paru berbatasan dengan kapiler. Tekanan O2 alveolus rata-rata sebesar 104 mmHg dan tekanan O2 pada kapiler paru 40mmHg. Perbedaan tekanan tersebut akan menyebabkan oksigen berdifusi ke dalam kapiler paru. Sedangkan didalam kapiler paru tekanan CO2 darah yang masuk di kapiler paru sebesar 45 mmHg sedangkan Tekanan CO2 di alveolus 40 mmHg. Perbedaan tekanan itupun mengakibatkan CO2 dari kapiler dapat berdifusi ke dalam alveolus (Guyton, 2009).

Gambar 2. (Faller, 2004) 2. Respirasi internal Respirasi internal merupakan pertukaran O2 dan CO2 antara kapiler sistemik dengan jaringan.ketika darah arteri sampai ke jaringan perifer. Tekanan O2 dalam kapiler masih 95 mmHg. Sedangkan dalam jaringan rata-rata hanya 40 mmHg. Perbedaan tekanan awal ini akan menyebabkan O2 berdifusi secara cepat dari darah kapiler ke dalam jaringan. O2 yang berdifusi terlalu cepat tersebut mengakibatkan tekanan O2 kapiler turun hingga 40mmHg. CO2 pun meresap kearah yang bertentangan karena adanya perbedaan tekanan pada arteri yang masuk jaringan kira-kira 46mmHg dan vena yang meninggalkan jaringan 40mmHg (Guyton, 2009).

Gambar 3. (Guyton, 2009)

Gambar 4. (Guyton, 2009)

Perubahan pada volume paru statik dan dinamik yang terjadi selama pernafasan dapat diukur dengan menggunakan spirometer. Hasil pengukuran tersebut disebut spirogram. Pada pengukuran tersebut

inspirasi digambarkan sebagai defleksi ke atas sedangkan ekspirasi digambarkan sebagai defleksi ke bawah (Sheerwood, 2011). Menurut Guyton (2009), volume dan kapasitas paru, dapat diklasifikasikan sebagai berikut: a. Volume tidal (VT) adalah volume udara yang dapat diinspirasi atau diekspirasi pada pernafasan normal. Pada laki-laki dewasa nilainya berkisar 500 ml. b. Volume cadangan inspirasi (VIC) adalah volume udara maksimal yang dapat diinspirasikan setelah volume tidal normal bila dilakukan dengan inspirasi maksimum. Nilainya biasanya dapat mencapai 3000 ml. c. Volume cadangan ekspirasi (VEC) adalah volume udara maksimal yang dapat diekspirasikan melalui ekspirasi kuat/ maksimal pada akhir ekspirasi tidal normal.Nilai normalnya biasanya sekitar 1100 ml d. Volume residual (VR) adalah volume udara yang tersisia dalam paru setelah melakukan ekspirasi kuat. Volume ini besarnya kira-kira 1200 ml . e. Kapasitas inspirasi (KI) adalah jumlah udara yang dapat dihirup seseorang , dan dimulai dari ekspirasi normal hingga pengembangan paru pada jumlah maksimum. Besarnya didapatkan dengan penambahan volume tidal dan volume cadangan inspirasi

(KV=VT+VCI) dan nilai rata-ratanya 3500 ml. f. Kapasitas residual fungsional (KFR) adalah jumlah udara yan masih tersisa dalam paru pada akhir ekspirasi normal. Jumlah udara ini didapatkan dengan penambahan volume residual dan volume cadangan ekspirasi (KFR=VR+VCE) dan nilai rata-ratanya 2300 ml. g. Kapasitas vital (KV) adalah jumlah maksimum udara yang dapat dikeluarkan dari paru setelah inspirasi maksimum. Jumlah tersebut dapat dihitung dari Volume tidal + Volume cadangan ekspirasi + Volume cadangan inspirasi dengan nilai rata-rata 4600 ml.

h.

Kapasitas paru total (KPT) adalah volume udara maksimum yang dapat ditampung paru dengan inspirasi sekuat mungkin . Jumlah ini dihitung dari inspirasi dan nilai rata-ratanya 5700 ml. Volume dan kapasitas paru pada wanita kira-kira 20-25% lebih

kecil jika dibandingkan dengan laik-laki (Guyton, 2009).

Gambar. 5 (Guyton, 2009) Spirometri adalah metode untuk menilai fungsi paru-paru dengan mengukur volume udara yang pasien mampu mengusir dari paru-paru setelah inspirasi maksimal. Ini adalah metode yang dapat diandalkan membedakan antara gangguan saluran napas obstruktif (misalnya PPOK, asma) dan penyakit restriktif (dimana ukuran paru-paru berkurang, misalnya fibrotik paru-paru penyakit). Fungsi dilakukanya spirometri yaitu : 1. 2. 3. 4. 5. Mengetahui fungsi faal paru Sebagai pemeriksaan penunjang untuk penegakan diagnosis Pemeriksaan sebelum pembedahan Mengetahui respon terapi Mengetahui progresifitas penyakit

Indikasi dan kontraindikasi pemeriksaan spirometri INDIKASI Deteksi penyakit paru Riwayat penyakit paru Sakit dada atau ortopneu Kelainan dinding dada KONTRAINDIKASI Hemoptosis Pneumothorak Status kardiovaskular tidak stabil Infark miokard

Sianosis Clubbing finger Penderita produktif Evaluasi perokok > 40 tahun Penderajatan asma akut Akan menjalani pembedahan Pemeriksaan berkala untuk batuk kronik

Emboli paru Aneurisma serebri dan Pasca bedah mata

Aneurisma toraks kecemasan

progresifitas penyakit Pasien yang akan melakukan reseksi paru Syarat syarat pemeriksaan spirometri dikatakan valid,yaitu 1. 2. 3. 4. 5. Awalan pemeriksaan harus tegas Pemeriksaan sampai selesai Ekspirasi minimal 6 detik Cepat mencapai puncak Ada 3 hasil yang repodusibel

Syarat syarat pasien sebelum pemeriksaan spirometri : 1. 2. 3. 4. Tidak boleh memakai baju ketat Tidak boleh terlalu kenyang Tidak boleh merokok 2 jam sebelum pemeriksaan Tidak boleh memakai bronchodilator 8-24 jam

E. Alat dan Bahan 1. Spirometer 2. Tisu 3. Tinta spirometri 4. Mouth piece dispossable 5. Penjepit hidung F. Cara Kerja Pemeriksaan Kapasitas Vital Paru a. Siapkan alat pencatatan atau spirometri.

b. Jelaskan tujuan dan cara kerja pemeriksaan kepada probandus, posisi probandus menghadap alat. c. Nyalakan alat (power on). Masukan/atur data probandus berupa nama dan umur. d. Hubungkan probandus dengan alat dengan cara menyuruh probandus memasukan mounth piece ke dalam mulutnya dan tutuplah hidung dengan penjepit hidung. e. Intruksikan probandus untuk bernapas tenang terlebih dahulu untuk beradaptasi dengan alat. f. Tekan tombol start alat spirometri untuk memulai pengukuran. g. Mulai dengan pernapasan tenang sampai timbul perintah dari alat untuk ekspresi maksimal (tidak terputus). Bila dilakukan secara benar akan keluar data dan kurva di layar spirometri. h. Bila perlu tanpa melepaskan mounth piece, ulangi pengukuran dengan inspirasi dalam dan ekspirasi yang maksimal. i. Setelah selesai lepaskan mounth piece, periksa data dan kurva dilanjutkan dengan mencetak hasil perekaman (tekan tombol print).

Pemeriksaan Kapasitas Vital Paksa Paru (FVC=Force Vital Capacity) a. Siapkan alat pencatatan atau spirometri. b. Jelaskan tujuan dan cara kerja pemeriksaan kepada probandus, posisi probandus menghadap alat. c. Nyalakan alat (power on). Masukan/atur data probandus berupa nama dan umur. d. Intruksikan probandus untuk inspirasi dalam dari luar alat. e. Segera setelah siap, tekan tombol start dilanjutkan dengan ekspirasi dengan kuat melalui alat. f. Bila perlu tanpa melepaskan mounth piece, ulangi pengukuran dengan inspirasi dalam dan ekspirasi yang maksimal. g. Setelah selesai lepaskan mounth piece, periksa data dan kurva dilanjutkan dengan mencetak hasil perekaman (tekan tombol print).

BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Praktikum

Nama Probandus : Fadlil Azka Umur Tinggi badan Berat badan : 19 tahun : 170 cm : 70 kg

Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, didapatkan dua kurva pemeriksaan yaitu kurva kapasitas vital paru dan kapasitas vital paksa paru. Pada hasil pemeriksaan kapasitas vital paru didapatkan nilai kapasitas vital sebesar 78%. Volume total 0.85, volume cadangan inspirasi 1.59, volume cadangan ekspirasi 1.62, kapasitas inspirasi 2.44.

Hasil pemeriksaan kapasitas vital paksa paru didapat angka untuk FVC 3.61 sedangkan untuk FEV1 sebesar 2.82. Sehingga FEV1/FVC= 2.82/3.61=78.1%. Pada obstructive lung disease indikasinya adalah apabila FEV1/FVC < 75%. Semakin rendah rasionya semakin parah osbtruksinya. Kemudian apabila restrictive lung disease indikasinya FEV1/FVC normal atau meningkat dari standarnya adalah 75-80%. B. Pembahasan Hasil percobaan didapatkan bahwa kapasitas vital paru sebesar 78% dari kapasitas total paru sehingga diperoleh angka dibawah normal (normal untuk kapasitas vital paru adalah 4800 cc dan 80% dari kapasitas total paru). Dan nilai kapasitas vital paksa paru sebesar 78.1% sehingga didapatkan diagnosa restrictive lung disease. Namun data diatas merupakan data hasil pengamatan pada praktikum status yang status fungsional pada probandus Eropa.

diperbandingkan

dengan

fungsional

populasi

Ketidaksesuaian dalam penggunaan pembanding (pembanding tidak sesuai karena tidak menggambarkan karakteristik populasi rata-rata yang diamati) hal ini dapat sangat berbeda dalam beberapa faktor seperti faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi : genetik, umur, jenis kelamin, ras, tinggi badan dan berat badan. Faktor eksternal meliputi : lingkungan (iklim, pekerjaan) dan gaya hidup (pola hidup, olahraga). Diketahui bahwa faktor internal maupun faktor eksternal dari populasi Eropa dan Asia sangat berbeda, sehingga nilai standarnya pun akan berbeda, sehingga secara tidak langsung standar dari hasil pengukuran itu kurang tepat digunakan pada populasi Asia. Maka akan lebih baik digunakan pembanding yang sesuai. Hasil penelitian TIM Penumobile Project Indonesia 1992 (UNAIR, UI, Lembaga penelitian UI, field training programe WHO, Oregon university) yang disajikan dalam bentuk tabel berikut : FEV1(prediksi untuk warga indonesia) 4223 ml 3759 ml FEV1(Actual) 2030 ml 660 ml Persentasi (%) 48.07 17.55

10

Nilai perbandingan probandus menurun, hal ini dapat disebabkan karena : 1. Terjadi reaksi patologi pada saluran pernapasan probandus. 2. Kesalahan teknik pada saat melakukan pengukuran. Kesalahan prosedur yang dapat mempengaruhi hasil dari grafik spirogram adalah 1. Inadequate saat ekspirasi. 2. Saat ekspirasi terlalu cepat berhenti. 3. Awal mula ekspirasi tidak pas/terlambat mulai sehingga grafik tidak mulai dari nol. 4. Ketika proses ekspirasi kemudian batuk. 5. Ada napas tambahan (inspirasi) saat ekspirasi FEV1 atau Force Expiration Volume in 1 second adalah jumlah udara yang dihembuskan paksa saat detik pertama. Individu yang sehat dapat mengekspirasi sekitar 80% dari kapasitas vital dalam detik pertama. Pada penyakit paru obstruktif seperti asma dan emfisema, ekspirasi biasanya mengalami gangguan sehingga volume udara yang dihembuskan paksa pada detik pertama berkurang. Pada individu yang mengalami restriksi jalan napas, FEV1 cenderung normal tetapi kapasitas vital paru berkurang (Corwin, 2009). Rasio antara FEV1 dan FVC (Forced Vital Capacity) diinterpretasikan dalam spirometri sebagai FEV1-0%. Rasio FEV1 dengan FVC normalnya 7075%. Apabila menurun, orang tersebut mengalami obstruksi saluran napas dan jika naik orang tersebut mengalami restriksi jalan napas. Hasil tersebut bisa berubah karena berbagai faktor, yaitu: 1. 2. Validitas alat Probandus yang ragu-ragu Walaupun nilai normal yang diperkirakan telah ditentukan untuk berbagai populasi, nilai tersebut perlu disesuaikan secara berkala, bergantung dari perubahan status sosioekonomi suatu negara (Jeyaratnam & Koh, 2010). C. Aplikasi Klinis Kelainan Restriktif

11

1.

Sarkoidosis Sarkoidosis merupakan penyakit yang relatif sering ditemukan dengan etiologi yang tidak diketahui. Penyakit ini ditandai dengan pembentukan granuloma nonkaseosa. Wanita lebih sering terkena dibandingkan dengan laki-laki. Sarkoidosis dapat sepenuhnya bersifat asimptomatik dan hanya ditemukan secara insidental pada saat melakukan otopsi atau ditemukan dalam bentuk adenopati bilateral di daerah hilus pada foto rontgen toraks. Penyakit ini ditandai dengan onset insidius gangguan respirasi atau gejala konstitusional (demam, keringat malam, penurunan berat badan), atau dengan onset agresif yang disertai demam, eritema nodusum, serta poliartritis (Mitchell et al, 2009). Paru-paru merupakan lokasi lesi yang paling sering ditemukan. Granuloma yang difus dan tersebar membentuk pola retikulonoduler pada foto rontgen. Namun, hal ini tidak tampak secara makroskopis kecuali jika sudah terbentuk fokus tempat menyatunya granuloma. Lesi paru cenderung sembuh sehingga hanya terlihat sisa jaringan parut yang mengalami hialiniasi (Mitchell et al, 2009).

2.

Pneumokoniosis Istilah pneumokoniosis berhubungan dengan penyakit paru akibat inhalasi debu mineral. Pneumokoniosis digunakan dalam menyatakan keadaan berikut : a. Kelainan akibat pajanan debu anorganik seperti silika, asbes, dan timah b. Kelainan yang terjadi akibat pekerjaan seperti pneumokoniosis batu bara c. Kelainan yang ditimbulkan oleh debu organik seperti kapas Oleh karena penumpukan debu tersebut, terjadilah reaksi jaringan terhadap debu tersebut. Reaksi utama pajanan debu di paru adalah fibrosis. Pneumokoniosis dibatasi pada kelainan non-neoplasma akibat debu tanpa memasukkan asma dan PPOK lain, meskipun kelainan

12

tersebut dapat terjadi akibat debu dalam jangka waktu lama (Susanto, 2011). 3. Miastenia Gravis Miastenia gravis adalah gangguan sistem saraf perifer yang ditandai dengan pembentukan autoantibodi terhadap reseptor asetilkolin yang terdapat di daerah motor-end plate otot rangka. Autoantibodi IgG secara kompetitif berikatan dengan reseptor asetilkolin, mencegah pengikatan asetilkolin ke reseptor sehingga mencegah kontraksi otot (Corwin, 2009). Dengan demikian, miastenia gravis akan berpengaruh pada otot yang berfungsi dalam pengembangan dada, seperti m. intercostalis interna dan otot diafragma, sehingga akan mempersulit proses inspirasi. 4. Sindrom Guillain Barre Sindrom Guillain Barre adalah penyakit sistem saraf perifer yang ditandai dengan onset mendadak paralisis atau paresis otot. Sindrom ini terjadi akibat serangan autoimun pada mielin yang membungkus saraf perifer. Dengan demikian, akson dapat rusak. Gejala sindrom akan hilang saat serangan autoimun berhenti dan akson mengalami regenerasi. Namun, disabilitas tetap dapat terjadi apabila selama serangan terdapat kerusakan badan sel. Biasanya sindrom ini pertama kali menyerang ekstremitas bawah dan terjadi paralisis yang berkembang ke atas tubuh. Otot pernapasan pun dapat terkena dan akan menyebabkan kolaps pernapasan (Corwin, 2009). Kelainan Obstruktif 1. Asma Asma dapat didiagnosis menggunakan spirometri, alat yang dapat mengukur dan mengidentifikasi penurunan kapasitas vital dan penurunan laju aliran ekspirasi puncak (maksimum). Selama serangan asmatik, volume ekspirasi maksimum dan laju maksimum ekspirasi menurun (Corwin, 2006). 2. Bronkietaksis

13

Bronkiektasis adalah suatu penyakit yang ditandai adanya dilatasi bronkus yang bersifat patologis dan dapat berlangsung kronik. Spirometri pada kasus ringan mungkin dapat bersifat normal tetapi pada kasus berat ada kelainan obretuksi dengan penurunan volume ekspirasi paksa 1 menit atau penurunan kapasitas vital, biasanya disertai dengan

insufisiensi pernafasan yang dapat mengakibatkan ketidakseimbangan ventilasi dan perfusi, kenaikan perbedaan tekanan PO2 alveoli-arteri, hipoksemia, hiperkapnia (Corwin,2006). 3. PPOK Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) adalah suatu penyakit yang dikarakteristikkan oleh adanya hambatan aliran udara secara kronis dan perubahan-perubahan patologi pada paru, dimana hambatan aliran udara saluran nafas bersifat progresif dan tidak sepenuhnya reversibel dan berhubungan dengan respon inflamasi yang abnormal dari paru-paru terhadap gas atau partikel yang berbahaya. PPOK yang merupakan inflamasi lokal saluran nafas paru, akan ditandai dengan hipersekresi mucus dan sumbatan aliran udara yang persisten. Gambaran ini muncul dikarenakan adanya pembesaran kelenjar di bronkus pada perokok dan membaik saat merokok dihentikan. Terdapat banyak faktor risiko yang diduga kuat merupakan etiologi dari PPOK. Faktor-faktor risiko yang ada adalah genetik, paparan partikel, pertumbuhan dan perkembangan paru, stres oksidatif, jenis kelamin, umur, infeksi saluran nafas, status sosioekonomi, nutrisi dan

komorbiditas. Setiap individu pasti akan terpapar oleh beragam partikel inhalasi selama hidupnya. Tipe dari suatu partikel, termasuk ukuran dan komposisinya, dapat berkontribusi terhadap perbedaan dari besarnya risiko dan total dari risiko ini akan terintegrasi secara langsung terhadap pejanan inhalasi yang didapat. Dari berbagai macam pejanan inhalasi yang ada selama kehidupan, hanya asap rokok dan debu-debu pada tempat kerja serta zat-zat kimia yang diketahui sebagai penyebab PPOK. Paparan itu sendiri tidak hanya mengenai mereka yang merupakan perokok aktif,

14

bahkan pada perokok pasif atau dengan kata lain environmental smokers itu sendiri pun ternyata risiko menderita PPOK menjadi tinggi juga. Pada perokok pasif didapati penurunan VEP1 tahunan yang cukup bermakna pada orang muda yang bukan perokok. Bahkan yang lebih menarik adalah pengaruh rokok pada bayi jika ibunya perokok aktif atau bapaknya perokok aktif dan ibunya menjadi perokok pasif, selain didapati berat bayi lebih rendah, maka insidensi anak untuk menderita penyakit saluran pernafasan pada 3 tahun pertama menjadi meningkat. Shahab dkk melaporkan hal yang juga amat menarik bahwa ternyata mereka mendapatkan besarnya insidensi PPOK yang telah terlambat didiagnosis, memiliki kebiasaan merokok yang tinggi. PPOK yang berat berdasarkan derajat spirometri, didapatkan hanya sebesar 46,8% ( 95% CI 39,1-54,6) yang mengatakan bahwa mereka menderita penyakit saluran nafas, sisanya tidak mengetahui bahwa mereka menderita penyakit paru dan tetap merokok. Status merokok justru didapatkan pada penderita PPOK sedang dibandingkan dengan derajat keparahan yang lain. Begitu juga mengenai riwayat merokok yang ada, ternyata prevalensinya tetap lebih tinggi pada penderita PPOK yang sedang (7,1%,

p<0,02).Paparan lainya yang dianggap cukup mengganggu adalah debudebu yang terkait dengan pekerjaan ( occupational dusts) dan bahan-bahan kimia. Meskipun bahan-bahan ini tidak terlalu menjadi sorotan menjadi penyebab tingginya insidensi dan prevalensi PPOK, tetapi debu-debu organic dan inorganik berdasarkan analisa studi populasi NHANESIII didapati hampir 10.000 orang dewasa berumur 30-75 tahun menderita PPOK terkait karena pekerjaan. American Thoracic Society (ATS)sendiri menyimpulkan 10-20% paparan pada pekerjaan memberikan gejala dan kerusakan yang bermakna pada PPOK. Polusi udara dalam ruangan yang dapat berupa kayu-kayuan, kotoran hewan, sisa-sisa serangga, batubara, asap dari kompor juga akan menyebabkan peningkatan insidensi PPOK khususnya pada wanita. Selain itu, polusi udara diluar ruangan juga dapat menyebabkan progresifitas kearah PPOK menjadi tinggi seperti seperti emisi bahan bakar kendaraan

15

bermotor. Kadar sulfur dioksida(SO2) dan nitrogen dioksida (NO2) juga dapat memberikan sumbatan pada saluran nafas kecil (Bronkiolitis) yang semakin memberikan perburukan kepada fungsi paru. Pertumbuhan dan perkembangan paru yang kemudian menyokong kepada terjadinya PPOK pada masa berikutnya lebih mengarah kepada status nutrisi bayi bayi pada saat dalam kandungan, saat lahir, dan dalam masa pertumbuhannya. Dimana pada suatu studi yang besar didapatkan hubungan yang positif antara berat lahir dan VEP1 pada masa dewasanya.

16

BAB III KESIMPULAN

1. Respirasi terdiri dari 3 proses utama, yaitu ventilasi pulmonari, respirasi eksternal, dan respirasi internal. 2. Volume paru terdiri dari 2, volume statis yang terdiri dari volume tidal, volume residu, volume cadangan ekspirasi, volume cadangan inspirasi, dan kapasitas vital, dan volume dinamis yang terdiri dari FEV1 dan FVC. 3. Spirometri adalah teknik pemeriksaan untuk mengetahui fungsi paru, dengan menggunakan spirometer dan hasil pemeriksaan dicantumkan dalam spirogram. 4. Interpretasi dari pemeriksaan spirometri adalah normal, obstructive, restrictive, dan mixed. 5. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan spirometri antara lain adalah faktor probandus, yang meliputi usia, jenis kelamin, genetik, ras, pekerjaan, riwayat penyakit pernapasan, penyakit jantung, & merokok, faktor praktikan, dan faktor alat pengujian.

17

DAFTAR PUSTAKA

Corwin, Elizabeth J. 2006. Buku Saku Patofisiologi Corwin. Jakarta. EGC Corwin, Elizabeth J.. 2009. Buku Saku Patofisiologi Edisi 3. Jakarta : EGC Davis D.E., Wicks J., Powell R.M., Puddicombe S.M., Holgate S.T. 2003. Airway Remodeling in Asthma. New Insights. J Allergy Clin Imunol ;111(2). Faller, Adolf et al. 2004. The Human Body An Introduction to structure and Function.New York: Thieme New York Ganong, William F. 2009. Review of Medical Physiology Ed.23. New York: McGraw-Hill Medical Publishing Division Guyton, Arthur dan John Hall. 2009. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC Jeyaratnam, J., David, Koh. 2010. Buku Ajar Praktik Kedokteran Kerja. Jakarta: EGC Levitzky, Michael G. 2007. Pulmonary Physiology Seventh Edition. USA: The McGraw-Hill Companies, Inc. Mitchell, Richard N., Kumar, Abbas, Fausto. 2009. Buku Saku Dasar Patologis Penyakit. Jakarta : EGC Niluh, Asih., Effendy Christantie. 2004. Keperawatan Medikal Bedah: Klien dengan Gangguan Sistem Pernafasan. Jakarta : EGC Richardson, Marion. 2003. Physiology for Practice : the Mechanisms Controlling Respiration. NT 14 October 2003 vol 99 no41: 48-50 Sherwood, Lauralee. 2011. Fisiologi Manusia: dari Sel ke Sistem Ed. 6. Jakarta: EGC Susanto, Agus Dwi. 2011. Pneumokoniosis. J Indonesian Med Association, Vol : 61 No : 12, Desember 2011.

18

Anda mungkin juga menyukai