Anda di halaman 1dari 9

PEDOMAN TEKNIS KEGIATAN PENATAAN RUMAH POTONG HEWAN (RPH) TAHUN ANGGARAN 2010

DIREKTORAT KESEHATAN MASYARAKAT VETERINER DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DEPARTEMEN PERTANIAN 2010

KATA PENGANTAR

Disadari bahwa penyediaan daging yang aman, sehat, utuh dan halal (ASUH) sudah merupakan tuntutan kebutuhan masyarakat. Sementara kondisi sarana prasarana dan proses produksi daging di Rumah Potong Hewan (RPH) yang ada di Indonesia mayoritas dalam kondisi kurang layak dalam pemenuhan persyaratan teknis untuk menghasilkan daging yang ASUH. Guna memperbaiki kondisi tersebut, Pemerintah mengadakan kegiatan Pengembangan RPH melalui fasilitasi sarana prasarana berdasarkan skala kebutuhan prioritas dengan mengutamakan persyaratan teknis yang ditetapkan. Berkenaan dengan hal itu maka disusunlah Pedoman ini sebagai acuan pelaksanaan kegiatan Pengembangan RPH dan dapat pula sebagai acuan bagi semua pihak yang berpentingan dalam pengelolaan RPH. Semoga bermanfaat.

Jakarta,

Februari 2010

Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner

Drh. Turni Rusli Syamsudin, MM NIP. 19530417 198203 1 001

PEDOMAN TEKNIS PENATAAN RUMAH POTONG HEWAN (RPH)

I.

PENDAHULUAN Rumah Potong Hewan (RPH) adalah kompleks bangunan dengan desain dan konstruksi khusus yang memenuhi persyaratan teknis dan higiene tertentu yang digunakan sebagai tempat memotong hewan potong untuk memenuhi kebutuhan konsumsi daging bagi masyarakat. Sebagai sarana pelayanan masyarakat (public service) dalam penyediaan daging yang Aman, Sehat, Utuh dan Halal (ASUH), maka pemerintah berkewajiban melaksanakan kontrol terhadap fungsi RPH melalui pemeriksaan ante-mortem dan postmortem. Hal tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 1983 tentang Kesehatan Masyarakat Veteriner, yang pada prinsipnya telah mengatur hal-hal sebagai berikut : 1. Setiap hewan potong yang akan dipotong harus sehat dan telah diperiksa kesehatannya oleh petugas pemeriksa yang berwenang. 2. Pemotongan hewan harus dilaksanakan di RPH atau tempat pemotongan hewan lainnya yang ditunjuk oleh pejabat yang berwenang. 3. Pemotongan hewan potong untuk keperluan keluarga, upacara adat dan keagamaan serta penyembelihan hewan potong secara darurat dapat dilaksanakan diluar RPH tetapi harus dengan mendapat izin terlebih dahulu dari Bupati/ Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II yang bersangkutan atau pejabat yang ditunjuknya. 4. Syarat-syarat rumah pemotongan hewan, pekerja, cara pemeriksaan kesehatan, pelaksanaan pemotongan dan pemotongan harus memenuhi ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri. Berkenaan dengan hal tersebut diatas, untuk dapat menghasilkan daging yang ASUH maka proses produksi daging di RPH harus memenuhi persyaratan teknis baik fisik (bangunan dan peralatan), sumberdaya manusia serta prosedur teknis pelaksanaannya. Sementara, berdasarkan hasil evaluasi dan pemantauan sebagian besar kondisi RPH di Indonesia saat ini cukup memprihatinkan dan tidak memenuhi persyaratan teknis, oleh karenanya perlu penataan RPH melalui upaya relokasi, renovasi ataupun rehabilitasi RPH. Disadari dalam hal penataan fisik diperlukan biaya tinggi, untuk itu disamping sumber anggaran pemerintah baik Pusat ataupun Daerah diharapkan peran aktif masyarakat dan swasta, sedangkan Direktorat Jenderal Peternakan cq. Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner akan memfasilitasi bimbingan dan konsultasi teknis. Guna efektifnya pelaksanaan kegiatan maka disusunlah pedoman ini sebagai acuan kerja teknis di daerah terutama untuk perbaikan sarana dan prasarana RPH secara bertahap dengan skala prioritas dalam rehabilitasi bangunan fisik dan peralatan yang memenuhi persyaratan minimal teknis higiene-sanitasi RPH.

II. TUJUAN Tujuan Pengembangan RPH adalah untuk memperbaiki dan menata kembali kondisi RPH di kabupaten/kota melalui fasilitasi sarana bangunan dan peralatan yang sesuai persyaratan teknis higiene sanitasi dalam upaya meningkatkan kualitas pengelolaaan RPH untuk penyediaan daging ASUH. III. SASARAN Sasaran kegiatan Penataan RPH di kabupaten/kota sebanyak 35 (tiga puluh lima) unit yang tersebar di kabupaten/kota sesuai dengan alokasi dana APBN Tugas Pembantuan Tahun 2010 yang telah ditetapkan. IV. KEBIJAKAN PENATAAN RPH Kebijakan Penataan RPH yang diimplementasikan melalui Program Pengembangan RPH adalah kebijakan Direktorat Jenderal Peternakan dalam upaya mengoptimalkan fungsi dan potensi RPH dalam rangka menghasilkan daging ASUH sebagai upaya penjaminan keamanan dan kehalalan daging kepada masyarakat konsumen. V. PERENCANAAN Langkah awal sebelum pengembangan RPH adalah melakukan perencanaan yang meliputi identifikasi lokasi dan identifikasi kebutuhan/permintaan dan pola operasional yang beroperasi di RPH tersebut. 5.1 Identitifikasi Lokasi Lokasi yang akan digunakan untuk membangun RPH harus memenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut : Karakteristik lokasi terpilih harus sesuai dengan program pembangunan daerah dan pemanfaatannya sesuai dengan RUTR/RDTR/RBWK Berlokasi di daerah yang tidak menimbulkan gangguan atau pencemaran lingkungan Tidak berada di daerah rawan banjir dan tidak tercemar limbah industri Memiliki sumber air dan listrik yang cukup (kuantitas dan kualitas) baik untuk konsumsi maupun untuk proses produksi Memiliki area yang cukup untuk tempat pengolahan limbah Mempertimbangkan kemungkinan untuk mengadakan ekspansi baik peningkatan produksi maupun penambahan jumlah karyawan

5.2 Identifikasi Potensi Populasi Ternak : Memiliki populasi ternak potong khususnya sapi dan kerbau yang dapat menjamin kontinuitas suplai bahan baku dalam operasionalisasi RPH Memiliki daya dukung terhadap usaha peternakan baik sumberdaya alam, sumberdaya manusia maupun sistem kelembagaan usaha peternakan di sektor hulu

Memiliki dukungan potensi ternak wilayah sekitarnya yang relatif terjangkau sebagai suplai bahan baku secara proposional

5.3 Identifikasi Kapasitas Pemotongan Jumlah pemotongan hewan di RPH setiap hari dalam skala prioritas yang disesuaikan dengan tingkat kebutuhan pasar setempat. Jumlah pemotongan hewan sesuai dengan kapasitas potong terpasang di RPH serta sesuai sarana prasarana yang dimiliki Untuk pemotongan hewan yang bersumber bahan baku lokal harus mempertimbangkan kelangsungan populasi hewan di daerah setempat

5.4 Pola Operasional RPH Sistem operasional RPH harus dipertimbangkan dari sosial budaya dan ekonomi dengan tetap mengutamakan aspek persyaratan higiene sanitasi teknis agar hasilnya nanti dapat diterima dan dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat. Pola operasional RPH diarahkan pada pola produksi semi line system yang sudah mempersyaratkan pembagian area bersih dan kotor baik dari aspek sarana prasarana maupun pekerja, sehingga proses produksi dapat memenuhi persyaratan teknis higiene sanitasi. VI. SARANA PRASARANA RPH Secara umum, persyaratan fisik dan peralatan minimal yang diperlukan dalam pengembangan RPH yang memenuhi persyaratan higiene-sanitasi adalah sebagai berikut : i. Persyaratan minimal sarana prasarana fisik dan bangunan yang utama antara lain : Dalam pembangunan atau renovasi bangunan harus mempunyai persyaratan: lantai harus dari beton floor hardener, dengan epoxy dan dinding dengan papan fiber semen dengan tebal minimal 15 mm Tersedianya sumber air bersih yang cukup dengan persediaan 2 (dua) kali jumlah kebutuhan pemotongan per hari (kebutuhan air bersih sapi : 1000 liter/ekor/hari) Tersedianya sumber tenaga listrik yang cukup untuk operasional peralatan dan keperluan pemeriksaan post-mortem Tersedianya kandang penampungan Adanya pemisahan ruangan secara fisik antara ruang kotor dengan ruang bersih. Ruang kotor adalah tempat untuk melaksanakan kegiatan penyembelihan dan pengeluaran darah, pengulitan, ruang kulit kepala, ruang jeroan hijau, ruang jeroan merah, dan tempat pemeriksaan postmortem. Sedangkan ruang bersih adalah ruangan untuk pengerjaan pembagian karkas, penimbangan karkas, pelayuan, dan pengemasan. Lantai, dinding dan atap harus memenuhi ketentuan yang berlaku, antara lain terbuat dari bahan yang kuat, kedap air, mudah dibersihkan dan tahan terhadap desinfeksi. Adanya ruang pelayuan/pendinginan karkas

ii.

Persyaratan minimal sarana prasarana fisik dan bangunan yang pendukung antara lain : Toilet dan loker yang terpisah antara toilet dan loker untuk pekerja di ruang kotor dengan yang untuk pekerja di ruang bersih. Kompleks RPH harus dipagar Adanya sarana pengelolaan limbah Adanya kendaraan khusus pengangkut daging Adanya ruang khusus bagi dokter hewan pengawas kesmavet

(Persyaratan secara rinci merujuk ke SNI 01-6159-1999 tentang Standar RPH)

VII. SARANA PRASARANA MINIMAL (Terkait Alokasi Dana) Sarana prasarana dan peralatan minimal yang harus direalisasikan sesuai dengan alokasi Dana Tugas Pembantuan Direktorat Jenderal Peternakan dan Direktorat Pengolahan, Departemen Pertanian Tahun Anggaran 2010 , adalah : 1. Peralatan Utama, terdiri dari : a. Gang way ( sarana peralatan untuk menggiring ternak ke RPH) b. Restraining Box (sarana peralatan yang berfungsi untuk memfiksasi/ mengendalikan hewan agar memudahkan proses penyembelihan) c. Scradle (sarana alas penopang hewan dalam proses pengulitan agar tidak langsung menyentuh lantai) d. Tempat penampung jeroan (container jeroan) e. Tempat Penampungan daging (container daging) f. Alat pengeluaran isi rumen (evisceration) g. Gerobak kotoran h. Golok pembelah karkas i. Pisau penyembelihan j. Pisau pengkulitan (skinning). 2. Peralatan Pendukung, terdiri dari : a. Genset b. Pompa air Dalam pemanfaatan dana APBN Tugas Pembantuan (APBN-TP) yang sudah dilokasikan di masing-masing kabupaten/kota perlu diperhatikan kebutuhan prioritas berdasarkan standar sarana dan prasarana RPH sesuai dengan ketersediaan dana yang dialokasikan. VIII. PEMBINAAN DAN PEMANTAUAN 8.1. Pemerintah Pusat Tugas pembinaan tingkat pusat meliputi: 1. Menyusun Pedoman Teknis Pembangunan RPH baik aspek teknis maupun manajemen

2. Mengadakan sosialisasi Program Pembangunan RPH 3. Mengadakan pembinaan kepada petugas di tingkat provinsi dan kabupaten/kota 4. Memfasilitasi konsultasi teknis dalam perencanaan dan pelaksanaan kegiatan serta bimbingan teknis operasionalisasi RPH 5. Mengadakan pemantauan dan evaluasi pengelolaan program pembangunan RPH 8.2. Pemerintah Provinsi Tugas pembinaan tingkat provinsi meliputi: 1. Menyusun Petunjuk Pelaksanaan Pengelolaan Program Pembangunan RPH berdasarkan Pedoman Umum yang diterbitkan oleh pemerintah pusat 2. Mengadakan sosialisasi tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengelolaan Program Pembangunan RPH baik aspek teknis maupun manajemen 3. Mengadakan koordinasi dengan unit kerja pemerintah dan stakeholder terkait di tingkat provinsi 4. Mengadakan pembinaan dan bimbingan pengelolaan Program Pembangunan RPH di tingkat kabupaten/kota 5. Mengadakan pemantauan dan evaluasi pengelolaan program pembangunan RPH di tingkat kabupaten/kota 8.3. Pemerintah Kabupaten/Kota Tugas pembinaan tingkat kabupaten/kota meliputi: 1. Menyusun Petunjuk Teknis Pelaksanaan Program Pembangunan RPH berdasarkan Petunjuk Teknis yang diterbitkan oleh Pemerintah Provinsi 2. Mengadakan sosialisasi tentang Petunjuk Teknis Pembangunan RPH baik aspek teknis maupun manajemen 3. Mengadakan bimbingan dan konsultasi tentang pembangunan RPH kepada pengelola 4. Menyempurnakan pedoman dan petunjuk teknis secara aplikatif sesuai dengan kondisi ekonomi, sosial, dan budaya daerah setempat 5. Mengadakan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan program dan penerapan teknis di tingkat lapang 6. Membuat laporan pelaksanaan pembangunan RPH

IX.

PEMBIAYAAN 1. Anggaran kegiatan Pembangunan RPH bersumber dari anggaran Direktorat Kesehatan Masyarakat Veteriner, Direktorat Jenderal Peternakan, Departemen Pertanian yang dialokasikan ke kabupaten/kota melalui dana Tugas Pembantuan. 2. Alokasi dana Tugas Pembantuan tersebut merupakan pemicu/pendorong dialokasikannya dana APBD oleh Pemerintah Daerah setempat untuk melengkapi dana pembangunan RPH. 3. Pemanfaatan anggaran APBN-TP untuk pembangunan RPH, harus secara konsisten berdasarkan perencanaan yang telah disusun. 4. Dalam rangka optimalisasi program pembangunan RPH dimungkinkan perlu adanya dana pendampingan yang bersumber APBD.

5. Pembiayaan kegiatan yang terkait dengan tahap perencanaan dalam rangka supervisi konsultasi teknis dengan Pusat pada tahap perencanaan merupakan bagian APBNTP.

X. JADWAL PELAKSANAAN Guna mendukung efektifnya pelaksanaan kegiatan program pengembangan RPH diperlukan jadwal pelaksanaan sebagai acuan waktu pelaksanaan kegiatan baik tingkat Pusat maupun Daerah (Jadwal terlampir) XI. PENUTUP Pedoman ini disusun sebagai acuan kegiatan Program Pengembangan RPH baik pelaksana tingkat Pusat maupun Daerah agar dalam pelaksanaan kegiatan dapat terkoordinasi dan dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Lampiran : Peralatan RPH

Alat Pengeluaran Isi Rumen

Alat Penampung Jeroan

Alat Penopang / Scradle

Restraining Box

Anda mungkin juga menyukai