Anda di halaman 1dari 44

1.

PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang Proses menua dianggap sebagai suatu proses normal dan tidak selalu menyebabkan gangguan fungsi organ dan genetik. Berbagai faktor seperti faktor genetik, gaya hidup, dan lingkungan, mungkin lebih besar mengakibatkan gangguan fungsi, daripada penambahan usia itu sendiri. Di sisi lain, hubungan antara usia dan penyakit amatlah erat. Laju kematian untuk banyak penyakit meningkat seiring dengan menuanya seseorang, terutama disebabkan oleh menurunnya kemampuan orang usia lanjut berespons terhadap stres baik fisik mahupun psikologik. 1.2 Tujuan a) Memperdalam ilmu dalam melakukan proses anamnesis dengan betul dalam mendapatkan maklumat yang tepat dan benar sehingga dapat memperoleh diagnosis yang tepat. b) Mempelajari gambaran klinis penyakit lansia serta komplikasinya. c) Mempelajari pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang yang terlibat dalam membantu WD (working diagnosis). d) Mempelajari etiologi penyebab penyakit demam lansia dan patofisiologi mekanisme abnormal yang terjadi dalam tubuh sehingga timbulnya penyakit yang diduga. e) Mempelajari penatalaksanaan yang perlu dilakukan terhadap pasien yang menderita penyakit lansia, dilakukan. f) Mengetahui langkah-langkah pencegahan yang dapat dilakukan. serta mengetahui prognosis terhadap penatalaksanaan yang

2. ISI
PROBLEM Vertigo Demensia DM tipe II terkontrol Parkinson Hipoperfusi orthostatik Lansia

2.1 Vertigo
Vertigo merupakan suatu sensasi berputar, pasien merasa bahwa dia ataupun lingkungannya berputar. Seringkala vertigo terjadi dengan seketika, kadang-kadang, dan ketika berat umumnya disertai dengan mual, muntah, dan jalan terhuyung-huyung. Vertigo merupakan tipe dizziness yang paling banyak ditemukan pada perawatan primer sebanyak 54%. 1 Di perawatan primer jenis vertigonya 93% benign paroxymal positional vertigo (BPPV), neuronitis vestibular akut, atau penyakit Meniere. Penyebab lain adalah obat-obatan (alkohol, aminoglikosida, antikejang), antidepresan, antihipertensi, barbiturat, kokain, diuretik, nitrogliserin, kuinin, salisilat, penyakit serebrovaskular, migrain, libirinitis akut, multipel sklerosis, dan neoplasma intrakranial. Penyebab vertigo bisa perifer, atau sentral.1 ANAMNESIS Dari kasus didapatkan anamnesa bahwa pasien waktu berjalan pandangan berputar-putar dan rasa mual-mual.

PEMERIKSAAN Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan awal mencakup pemeriksaan ortostatik, kardiovaskular, neurootologik, tajam penglihatan, hiperventilasi selama 2 menit, tes Romberg, tes langkah tandem, pemijatan sinus karotis, manuver Hallpike, status kognitif, simptom depresi, dan ansietas. Hipotensi ortostatik adalah penurunan tekanan darak sistolik 20 mmHg (atau 20%) dengan atau tanpa gejala segera setelah berdiri atau setelah 2 menit berdiri (setelah 5 menit dalam posisi terlentang) Pemeriksaan kardiovaskular dilakukan untuk mencari kemungkinan aritmia, kelainan katup jantung, dan bruit karotis.

Pemeriksaan neurotologik mencakup pemeriksaan telinga termasuk saraf kranial, evaluasi telinga luar, dan tengan dan tes fistula. Tes fistula dilakukan dengan memberikan tekanan ke telinga, dan dievaluasi terjadinya vertigo & nistigmus. Hasil positif menunjukkan adanya fistula dari libirin bisa karena kolesteatoma, atau infeksi. Tes Romberg, dan tes karotis dilakukan di bawah pengawasan yang ketat, diperlukan monitoring elektrokardiografi (EKG). Kontra indikasi pemijatan sinus karotis bila terdapat karotid bruit, atau terdapat tanda stenosis aorta. Untuk mengevaluasi status kognitif dapat digunakan Mini-Mental Examination (MMSE), skor total dari MMSE adalah 30 umumnya angka dibawah 24 suggestiv demensia atau delirium. Untuk memastikan simptom dari depresi dapat digunakan the Centre for Epidemiologic Studies-Depression test (CES-D) yang terdiri dari 20 pernyataan. Sedangkan untuk evaluasi dari ansietas dapat digunakan the Hamilton Anxiety Scale (HAS) yang terdiri dari 14 items, nilai dari rentang skala dari nol sampai empat: nol tidak ada ansietas, satu ansietas ringan, dua ansietas sedang, tiga ansietas berat, empat ansietas sangat berat. Tujuh psychic anxiety item untuk mendapatkan nilai psychic anxiety dengan rentang 0 sampai 28, tujuh items sisanya untuk menampilkan nilai somatic anxiety jugak mempunyai rentang 0 sampai 28. Nilai total mulai dari rentang 0 sampai 56.1 Pemeriksaan Penunjuang Pemeriksaan rutin termasuk EKG, gula darah, dan darah rutin. Pemeriksaan lain jugak diperlukan untuk menegakkan diagnosis, tetapi pemeriksaan tersebut harus berdasarkan pendekatan sistematis bukan hanya pendekatan shotgun. Audiogram harus lengkap dilakukan pada pasien dengan gangguan pendengaran disertai vertigo dan terdapat kelainan pada pemeriksaan neurootologik. Elektro-nistagmografi (ENG) adalah pemeriksaan yang dapat membantu membedakan disfungsi vestibuler sentral dan perifer. ENG dilakukan pada pasien dengan keluhan vertigo atau terdapat temuan dalam pemeriksaan neurootologik seperti nistigmus. Auditory brainstem-evoked responses dilakukan pada pasien dengan asymmetric sensorineural hearing loss untuk menyingkirkan neuroma akustik. Pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI) dari tulang temporal sering dikerjakan pada pasien yang dicurigai dengan neuroma akustik atau cerebellopontine angle masses.

Computed tomography (CT) dari tulang temporal juga dapat dikerjakan bila dicurigai terdapat kolesteatoma atau lesi pada telinga tengah. Brainstem evoked response auditory (BERA) atau brainstem auditory evoked potential (BAEP) suatu pemeriksaan neurologis dari fungsi batang otak auditori terhadap respon dari stimulus auditori dilakukan pada pasien dengan kondisi seperti:
1. Asymmetric sensorineural hearing loss untuk menyingkirkan neuroma akustik.

2. Evaluasi dari hilangnya pendengaran dengan gangguan keseimbangan, tidak stabil saat melangkah, atau simptom lain yang berhubungan dengan lesi pada sistem auditori. 3. Evaluasi dari simptom yang mengarah ke penyakit Meniere. 4. Evaluasi dari dizziness setelah penyebab-penyebab lain sudah disingkirkan 5. Evaluasi dari dizziness yang terus berlanjut walaupun penyebabnya sudah mendapat terapi 6. Evaluasi dari true vertigo Pemeriksaan magnetic resonance imaging (MRI) dari tulang temporal sering dikerjakan pada pasien yang dicurigai dengan neuroma akustik atau cerebellopontine angle masses. Computed tomography (CT) dari tulang temporal juga dapat dikerjakan bila dicurigai terdapat kolesteatoma atau lesi pada telinga tengah. Rontgen cervical dilakukan pada pasien dengan kecurigaan cervical dizziness. Pemeriksaan ekokardiogram, dopler karotis, dan arteri vertebral, tilt-table testing, dan 24 jam Holter monitoring dikerjakan bila didiagnosis presinkop.1

WORKING DIAGNOSIS Vertigo

ETIOLOGI

Penyebab vertigo perifer A. Benign Paroxymal Positional Vertigo/ Benign Positional Vertigo (BPPV) Benign paroxymal positional vertigo umumnya penyebab tunggal dizziness pada lansia. BPV merupakan kondisi episodik, sembuh sendiri, dicetuskan oleh gerakan kepala mendadak atau perubahan pada posisi tubuh seperti berguling di tempat tidur. BPV disebabkan oleh akumulasi debris dalam kanal semisirkular. Pergerakan dari debris menstimulasi mekanisme vestibular menghasilkan simptom pada pasien. BPV kadang-kadang berkaitan temporer dengan penyakit viral, dan menghasilkan inflamasi. Diagnosis BPV dapat ditegakkan dengan tes Dix-Hallpike. Terapi dari BPV saat ini adalah manuver Epley ataupun senam vertigo, yang bertujuan untuk merelokasi debris yang melayang bebas di kanal semisirkular posterior kedalam vestibula dari vestibular labirin agar tidak vertigo lagi saat menggerakkan kepala, atau untuk desentasi.1 B. Labirintitis Labirintitis merupakan penyebab lain dizziness karena vestibuler perifer, kelainan ini sembuh dengan sendirinya. Umumnya kelainan ini akan berakhir pada hitungan dari atau beberapa minggu. Labirintitis diperkirakan terjadi karena adanya inflamasi pada saraf vestibular. C. Penyakit Meniere Sindrom ini biasanya terjadi pada usia muda dan bukan penyebab umum dizziness pada lanjut usia. Episode penyakit ini biasanya sembuh sendiri, tetapi seringkali berulang. Pada akhirnya tercapai suatu fase kronik burned out yang ditandai oleh hilangnya pendengaran makin jelas, tetapi episode dizziness berkurang. Penyebab Vertigo Sentral Dizziness karena penyebab sentral biasanya jarang, prevalensi pada lanjut usia kurang dari 10 persen. Iskemik serebrovaskular merupakan penyebab dizziness yang makin sering seiring peningkatan usia. Pasien dengan penyebab sentral jarang mengeluh dizziness sebagai gejala tunggal. Dizziness yang awitannya baru terjadi disertai dengan simptom lain (sakit kepala, gangguan visus, atau simptom neurologis) harus dipikirkan kemungkinan gangguan sistem

saraf pusat yang serius. Evaluasi lebih lanjut termasuk pencitraan sistem saraf pusat biasanya diperlukan. Investigasi Penyebab Dizziness RIWAYAT PENYAKIT Yang perlu diperhatikan pada riwayat penyakit adalah : (1) Awitan, dan perjalanan dari simptom. (2) Simptom dari dizziness dijelaskan oleh pasien sendiri. Simptom yang dijelaskan oleh pasien sendiri. Simptom yang dijelaskan menurut perkataan pasien sendiri penting karena penelitian yang dilakukan oleh Kwong dan Pimlott menunjukkan diagnosis umumnya dapat ditegakkan bila pasien menjelaskan dizziness-nya berdasarkan perkataannya sendiri. (3) Subetipe dari dizziness. (4) Terapi/obat-obatan yang dikonsumsi oleh pasien.1

PENATALAKSANAAN Terapi rehabilitasi vestibular (vestibular rehabilitation therapy/TPR) merupakan terapi fisik untuk menyembuhkan vertigo. Tujuan terapi ini adalah untuk mengurangi pusing, meningkatkan keseimbangan, dan mencegah jatuh dengan mengembalikan fungsi sistem vestibular. Pada VTR, pasien melakukan latihan agar otak dapat menyesuaikan dan menggantikan penyebab vertigo. Keberhasilan terapi ini bergantung pada beberapa faktor pasien yang meliputi usia, fungsi kognitif, kemampuan kordinasi dan gerak, dan kesehatan pasien secara keseluruhan serta kekuatan fisik. Dalam VTR, pasien yang datang ke dokter akan menjalani beberapa latihan dalam tingkat yang lebih tinggi, meliputi gerakan kepala, gerakan mata dan berjalan. Teknik reposisi kanalith merupakan metode yang paling efektif untuk BPPV yang disebabkan pleh kristal kalsium di telinga bagian kanal posterior. Pada prosedur ini, terapis akan meminta pasien untuk menggerakkan kepala dan tubuh. Kemudian kristal kalsium akan keluar dari kanal posterior, dan masuk ke dalam kanal telinga bagian dalam yang akan diabsorpsi tubuh. Infeksi telinga (misalnya otitis media, libirinitis) yang disebabkan bakteri dapat diterapi menggunakan antibiotik. Infeksi telinga kronik dapat menggunakan metode pembedahan miringotomi. BPPV yang tidak menunjukkan perbaikan dengan reposisi kanalit dapat diterapi
7

dengan pemberian meklizin. Namun, meklizin dapan menyebabkan kantuk, mulut kering, dan penglihatan kabur. Jika meklizin tidak efektif, benzodiazepin seperti klonazepam dapat diresepkan, atau antihistamin seperti prometazin dapat diberikan pada seorang yang mengalami vertigo. Prometazin dapat meyebabkan kantuk, lelah, sulit tidur dan tremor. Vertigo akibat penyakit Meniere dapat diatasi dengan diuretika serta mengurangi asupan garam. Kortikosteroid dapat diresepkan di awal penyakit yang mengurangi peradangan dan menstabilkan pendengaran. Antibiotik dapat digunakan ke telinga tengah untuk mengobati vertigo yang disebabkan penyakut Meniere. Vertigo yang disebabkan karena migrain, terkadang dapat diatasi dengan obat. Gangguan pembuluh darah otak, tumor, maupun multiple sclerosis dapat diupayakan penyembuhannya dengan cara menggunakan obat, radiasi, maupun pembedahan.1

2.2 DEMENSIA
Demensia adalah gangguan fungsi intelektual dan memori didapat yang disebabkan oleh penyakit otak, yang tidak berhubungan dengan gangguan tingkat kesadaran. Demensia merujuk pada sindrom klinis yang mempunyai bermacam penyebab. Demensia menunjukkan penurunan progresif dan tidak dapat pulih. Demensia dapat terjadi mendadak misalnya pasca strok atau cedera kepala. Beberapa penyebab demensia dapat pulih sepenuhnya bila diatasi dengan cepat dan tepat. Demensia dapat muncul pada usia berapa pun meskipun umumnya setelah usia 65 tahun.2 ANAMNESIS Dari kasus hasil anamnesis didapatkan bahwa pasien bila menceritakan riwayat hidup dan pekerjaan masa lalu cukup jelas, tetapi peristiwa yang baru terjadi minggu-minggu lalu sering lupa dan mudah tersinggung PEMERIKSAAN Pemeriksaan fisis dan neurologis Pemeriksaaan fisis dan neurologis pada pasien demensia dilakukan untuk mencari keterlibatan sistem saraf dan penyakit sistemik yang mungkin dapat dihubungkan dengan gangguan kognitifnya. Umumnya penyakit Alzheimer tidak menunjukkan gangguan sistem motorik kecuali pada tahap lanjut. Kekakuan motorik dan bagian tubuh aksial, hemiparesis, parkinsonisme, mioklonus, atau berbagai gangguan motorik lain umumnya timbul pada FTD, DLB atau dementia multi-infark. Penyebab sistemik seperti defisiensi vitamin B12, intoksikasi logam berat dan hipotiroidisme dapat menunjukkan gejala-gejala yang khas. Yang tidak boleh dilupakan adalah adanya gangguan pendengaran dan peglihatan yang

menimbulkan kebingungan dan disorientasi pada pasien yang sering disalahartikan sebagai demensia. Pada usia lanjut, defisit sensorik seperti ini sering terjadi. Pemeriksaan kognitif dan neuropsikiatrik Pemeriksaan untuk evaluasi dan konfirmasi penurunan fungsi kognitif adalah the mini mental status examination (MMSE) yang dapat pula digunakan untuk memantau perjalanan penyakit. MMSE merupakan pemeriksaan yang mudah dan cepat diekrjakan, berupa 30 point test terhadap fungsi kognitif dan berisikan pula uji orientasi, memori kerja dan memori episodik, komprehensi bahasa, menyebutkan kata, dan mengulang kata. Sebagai contoh pasien dengan demensia vaskuler sering menunjukan campuran defisit eksekutif frontal dan visuospasial. Pengkajian status fungsional harus juga dilakukan. Dokter harus menentukan dampak kelainan terhadap memori pasien, hubungan di komunitas, hobi, penilaian, berpakaian, dan makan. Pengetahuan mengenai status fungsional pasien sehari-hari akan membantu mengatur pendekatan terapi dengan keluarga. Pemeriksaan penunjang Tes laboratorium pada pasien demensia tidak dilakukan dengan serta merta pada semua kasus. Penyebab yang reversibel dan dapat diatasi seharusnya tidak boleh terlewat. Pemeriksaan fungsi tiroid, kadar vitamin B12, darah lengkap, elektrolit dan VDRL direkomendasikan untuk diperiksa secara rutin. Pemeriksaan tambahan yang perlu dipertimbangkan adalah piungsi lumbal, fungsi hati, fungsi ginjal, pemeriksaan toksin di urin/ darah, dan Apolipoprotein E.2 Selain itu pemeriksaan penunjang lain yang dianjurkan adalah CT/MRI kepala. Pemeriksaan ini dapat mengidentifikasi tumor primer/sekunder, lokasi area infark, hematoma subdural dan memperkirakan adanya hidrosefalus bertekanan normal atau penyakit white matter yang luas. Abnormalitas white matter yang luas berkorelasi dengan demensia vaskuler. SPECT dan PET scanning dapat menunjukkan hipofungsi atau hipometabolisme temporal-parietal pada penyakit Alzheimer, namun masih dalam penelitian.

10

WORKING DIAGNOSIS Demensia Diagnosis demensia ditegakkan berdasarkan kriteria diagnostik yang sesuai dengan Diagnosis and Statistical Manual of Mental Disorders, edisi ke 4 (DSM-IV). Adapun kriterianya adalah: - munculnya defisit kognitif multipel yang bermanifestasi pada kedua keadaan berikut : a. gangguan memori b. satu atau lebih gangguan kognitif seperti afasia, apraksia, agnosia, dan gangguan fungsi eksekutif. - defisit kognitif yang terdapat pada kriteria diatas menyebabkan gangguan bermakna pada fungsi sosial dan okupasi serta menunjukkan penurunan yang bermakna dari fungsi sebelumnya. Defisit yang terjadi bukan terjadi khusus saat timbulnya delirium.2

EPIDEMIOLOGI Insidensi demensia meningkat secara bermakna seiring meningkatnya usia. Penyebab tersering demensia di Amerika Serikat dan Eropa adalah penyakit Alzheimer, sedangkan di Asia diperkirakan demensia vaskular merupakan penyebab tersering demensia. Tipe demensia lain yang lebih jarang adalah demensia tipe Lewy body, demensia fronto-temporal (FTD) dan demensia pada penyakit Parkinson. Secara umum dapat dikatakan bahwa frekuensi penyakit Alzheimer meningkat seiring usia, dan mencapai 20-40% populasi berusia 85 tahun atau lebih. Proporsi perempuan yang
11

mengalami penyakit Alzheimer lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Antara faktor risiko penyebab Alzheimer adalah tingkat pendidikan rendah, hipertensi, DM, dislipidemia, serta berbagai faktor risiko timbulnya aterosklerosis dan gangguan sirkulasi pembuluh darah.

ETIOLOGI Yang paling sering menyebabkan demensia adalah penyakit Alzheimer. Penyebab penyakit Alzheimer tidak diketahui, tetapi diduga melibatkan faktor genetik, karena penyakit ini tampaknya ditemukan dalam beberapa keluarga dan disebabkan atau dipengaruhi oleh beberapa kelainan gen tertentu. Pada penyakit Alzheimer, beberapa bagian otak mengalami kemunduran, sehingga terjadi kerusakan sel dan berkurangnya respon terhadap bahan kimia yang menyalurkan sinyal di dalam otak.Di dalam otak ditemukan jaringan abnormal (disebut plak senilis dan serabut saraf yang semrawut) dan protein abnormal, yang bisa terlihat pada otopsi. Demensia sosok Lewy sangat menyerupai penyakit Alzheimer, tetapi memiliki perbedaan dalam perubahan mikroskopik yang terjadi di dalam otak. Penyebab ke-2 tersering dari demensia adalah serangan stroke yang berturut-turut. Stroke tunggal ukurannya kecil dan menyebabkan kelemahan yang ringan atau kelemahan yang timbul secara perlahan. Stroke kecil ini secara bertahap menyebabkan kerusakan jaringan otak, daerah otak yang mengalami kerusakan akibat tersumbatnya aliran darah disebut infark.Demensia yang berasal dari beberapa stroke kecil disebut demensia multi-infark. Sebagian besar penderitanya memiliki tekanan darah tinggi atau kencing manis, yang keduanya menyebabkan kerusakan pembuluh darah di otak. Demensia juga bisa terjadi setelah seseorang mengalami cedera otak atau cardiac arrest.2 Penyebab lain dari demensia adalah: - Penyakit Pick - Penyakit Parkinson - AIDS - Penyakit Creutzfeldt-Jakob

12

Hidrosefalus bertekanan normal terjadi jika cairan yang secara normal mengelilingi otak dan melindunginya dari cedera, gagal diserap sebagaimana mestinya. Hidrosefalus ini menyebabkan demensia yang tidak biasa, dimana tidak hanya menyebabkan hilangnya fungsi mental tetapi juga terjadi inkontinensia air kemih dan kelainan berjalan. Orang yang menderita cedera kepala berulang (misalnya petinju) seringkali mengalami demensia pugilistika (ensefalopati traumatik progresif kronik); beberapa diantaranya juga menderita hidrosefalus. Usia lanjut yang menderita depresi juga mengalami pseudodemensia. Mereka jarang makan dan tidur serta sering mengeluh tentang ingatannya yang berkurang; sedangkan pada demensia sejati, penderita sering memungkiri hilangnya ingatan mereka.2

GEJALA Demensia biasanya dimulai secara perlahan dan makin lama makin parah, sehingga keadaan ini pada mulanya tidak disadari. Terjadi penurunan dalam ingatan, kemampuan untuk mengingat waktu dan kemampuan untuk mengenali orang, tempat dan benda. Penderita memiliki kesulitan dalam menemukan dan menggunakan kata yang tepat dan dalam pemikiran abstrak (misalnya dalam pemakaian angka). Sering terjadi perubahan kepribadian. Demensia karena penyakit Alzheimer biasanya dimulai secara samar. Gejala awal biasanya adalah lupa akan peristiwa yang baru saja terjadi; tetapi bisa juga bermula sebagai depresi, ketakutan, kecemasan, penurunan emosi atau perubahan kepribadian lainnya. Terjadi perubahan ringan dalam pola berbicara; penderita menggunakan kata-kata yang lebih sederhana, menggunakan kata-kata yang tidak tepat atau tidak mampu menemukan kata-kata yang tepat. Ketidakmampuan mengartikan tanda-tanda bisa menimbulkan kesulitan dalam mengemudikan kendaraan. Pada akhirnya penderita tidak dapat menjalankan fungsi sosialnya. Demensia karena stroke kecil memiliki perjalanan penyakit dengan pola seperti menuruni tangga. Gejalanya memburuk secara tiba-tiba, kemudian agak membaik dan selanjutnya akan memburuk kembali ketika stroke yang berikutnya terjadi. Mengendalikan tekanan darah tinggi dan kencing manis kadang dapat mencegah stroke berikutnya dan kadang terjadi penyembuhan ringan.
13

Beberapa penderita bisa menyembunyikan kekurangan mereka dengan baik. Mereka menghindari aktivitas yang rumit (misalnya membaca atau bekerja). Penderita yang tidak berhasil merubah hidupnya bisa mengalami frustasi karena ketidakmampuannya melakukan tugas sehari-hari. Penderita lupa untuk melakukan tugasnya yang penting atau salah dalam melakukan tugasnya.2

PATOBIOLOGI DAN PATOGENESIS Komponen utama patologi penyakit Alzheimer adalah plak senilis dan neuritik, neurofibrilly tangles, hilangnya neuron/sinaps, degenerasi granulovaskular, dan Hirano bodies. Plak neuritik mengandung b-amyloid ekstraselular yang dikelilingi neuritis distrofik, sementara plak difus adalah istilah yang kadang digunakan untuk deposisi amyloid tanpa abnormalitas neuron. Deteksi adanya Apo E di dalam plak -amyloid dan studi mengenai ikatan highavidity antara Apo E dengan -amyloid menunjukkan bukti hubungan antara amyloidogenesis dan Apo E. Plak neuritik mengandung protein komplemen, mikroglia yang teraktivasi, sitokin-sitokin, dan protein fase-akut, sehingga komponen inflamasi juga diduga terlibat pada patogenesis penyakit Alzheimer. Gen yang mengkode the amyloid precursor protein (APP) terletak pada kromosom 21, menunjukkan hubungan potensial patologi penyakit Alzheimer dengan sindrom Down, yang dideritai oleh semua pasien penyakit Alzheimer yang muncul pada usia 40 tahun. Adanya dan jumlah plak senilis adalah satu gambaran patologis utama yang penting untuk diagnosis penyakit Alzheimer. Jumlah plak meningkat seiring usia, dan plak ini juga muncul di jaringan otak orang usia lanjut yang tidak demensia. Neurofibrillary tangles merupakan struktur intraneuron yang mengandung atau yang terhiperfosforilasi pada pasangan filamen helix. Individu usia lanjut yang normal juga diketahui mempunyai neurofibrillary tangles di beberapa lapisan hipokampus dan korteks entorhinal, tapi struktur ini jarang ditemukan di neokorteks pada seseorang tanpa demensia. Neurofibrillary tangles ini tidak spesifik untuk penyakit Alzheimer dan juga timbul pada

14

penyakit lain, seperti subacute sclerosing panencephalitis (SSPE), demensia pugilistika (boxers dementia), dan the parkinsonian dementia complex of Guam. Pada demensia vaskular patologi yang dominan adalah adanya infark multipel dan abnormalitas substansia alba. Infark jaringan otak yang terjadi pasca strok dapat menyebabkan demensia bergantung pada volume total korteks yang rusak dan bagian mana yang terkena. Umumnya demensia muncul pada strok yang mengenai beberapa bagian otak (multi-infarct dementia) atau hemisfer liri di otak. Semsntara abnormalitas substansia alba (diffuse white matter disease atau leukoaraiosis atau penyakit Binswanger) biasanya substansia alba ini dapat ditemukan pada pemeriksaan MRI pada daerah subkorteks bilateral, berupa gambaran hiperdens abnormal yang umumnya tampak di beberapa tempat. Abnormalitas substansia alba ini dikenal sebagai cerebral autosomal dominant arteriopathy with subaortical infarct and leukoencephalopathy (CADASIL), yang secaa klinis terjadi demensia yang progersif yang muncul pada dekade kelima sampai ketujuh kehidupan pada beberapa anggota keluarga yang mempunyai riwayat migren dan strok berulang tanpa hipertensi. Petanda anatomis pada fronto-temporalis dementia (FTD) adalah terjadinya atrofi yang jelas pada lobus temporal dan/atau frontal, yang dapat dilihat pada pemeriksaan perncitraan saraf seperti MRI dan CT. atrofi yang terjadi terkadang sangat tidak simetris. Secara mikroskopis selalu didapatkan glikosis dan hilangnya neuron, serta pada beberapa kasus terjadi pembengkakan dan penggelembungan neuron yang berisi cytoplasmic inclusion. Sementara pada demensia dengan Lewy body, sesuai dengan namanya, gambaran neuropatologinya adalah adanya Lewy body di seluruh korteks, amigdala, cingulated cortex, dan substansia nigra. Lewy body adalah cytoplasmic inclusion interneuron yang terwarnai dengan periodic acid-Schiff (PAS) dan ubiquitin, yang terdiri dari neurofilamen lurun sepanjang 7 sampai 20 nm yang dikelilingi material amorfik. Lewy body dikenali melalui antigen terhadap protein neurofilamen yang terfosforilasi maupun yang tidak terfosforilasi, ubiquitin, dan protein presinap yang disebut -synuclein. Jika pada seseorang demensia tidak ditemukan gambaran patologis selain adanya Lewy body maka kondisi ini disebut diffuse Lewy body disease, sementara bila ditemukan juga plak amyloid dan neurofibrillary tangles maka disebutkan varian Lewy body dari penyakit Alzheimer. Defisit neurotransmiter utama pada penyakit Alzheimer, juga pada demensia tipe lain, adalag sistem kolinergik. Walaupun sistem noradrenergik dan serotonin, somatostatin-like
15

reactivity, dan corticotropin-releasing factor juga berpengaruh pada penyakit Alzheimer, defisit asetilkolin tetap menjadi proses utama penyakit dan menjadi target sebagian besar terapi yang tersedia saat ini untuk penyakit Alzheimer.2

2.3 DIABETES MELLITUS TIPE II TERKENDALI ANAMNESIS Dari kasus hasil anamnesis mendapatkan bahwa pasien mempunyai riwayat kencing manis diketahui sejak 2 tahun yang lalu. PEMERIKSAAN PENUNJANG I. II. III. Glukosa darah sewaktu Kadar glukosa darah puasa Tes toleransi glukosa
Cek GDS

Kadar darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring diagnosis DM (mg/dl)

Kriteria diagnostik WHO untuk diabetes mellitus pada sedikitnya 2 kali pemeriksaan : 1. Glukosa plasma sewaktu >200 mg/dl (11,1 mmol/L) 2. Glukosa plasma puasa >140 mg/dl (7,8 mmol/L) 3. Glukosa plasma dari sampel yang diambil 2 jam kemudian sesudah mengkonsumsi 75 gr karbohidrat (2 jam post prandial (pp) > 200 mg/dl
16

WORKING DIAGNOSIS Diabetes Mellitus tipe 2 terkendali. EPIDEMIOLOGI Diabetes mellitus tipe 2 adalah jenis yang paling banyak ditemukan (lebih dari 90%). Timbul makin sering setelah umur 40 dengan catatan pada decade ke 7 kekerapan diabetes mencapau 3 sampai 4 kali lebuh tinggi daripada rata-rata orang dewasa. Pada keadaan dengan kadar glukosa tidak terlalu tinggi atau belum ada komplikasi, biasanya pasien tidak berobat ke rumah sakit atau ke dokter. Ada juga yang didiagnosis sebagai diabetes tetapi karena kekurangan biasanya pasien tidak berobat lagi. Hal ini menyebabkan jumlah pasien diabetes yang tidak terdiagnosis lebih banyak daripada yang terdiagnosis. Tanpa intervensi yang efektif, kekerapan DM tipe 2 akan meningkat dengan disebabkan oleh berbagai hal misalnya bertambahnya usia harapan hidup, berkurangnya kematian akibat infeksi dan meningkatnya faktor resiko yang disebabkan oleh karena gaya hidup yang salah seperti kegemukan, kurang gerak dan pola makan tidak sehat. ETIOLOGI Beberapa ahli berpendapat bahwa dengan bertambahnya umur, intoleransi terhadap glukosa juga meningkat, jadi untuk golongan usia lanjut diperlukan batas glukosa darah yang lebih tinggi daripada orang dewasa non usia lanjut. Pada NIDDM, intoleransi glukosa pada lansia berkaitan dengan obesitas, aktivitas fisik yang berkurang,kurangnya massa otot, penyakit penyerta, penggunaaan obat-obatan, disamping karena pada lansia terjadi penurunan sekresi insulin dan insulin resisten. Lebih dari 50% lansia diatas 60 tahun yang tanpa keluhan, ditemukan hasil Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) yang abnormal. Intoleransi glukosa ini masih belum dapat dikatakan sebagai

17

diabetes. Pada usia lanjut terjadi penurunan maupun kemampuan insulin terutama pada post reseptor. Beberapa faktor yang berkaitan dengan penyebab diabetes mellitus pada lansia:
1.

Umur yang berkaitan dengan penurunan fungsi sel pankreas dan sekresi Umur yang berkaitan dengan resistensi insulin akibat kurangnya massa otot Obesitas, banyak makan. Aktivitas fisik yang kurang Penggunaan obat yang bermacam-macam. Keturunan Keberadaan penyakit lain, sering menderita stress

insulin.
2.

dan perubahan vaskuler.


3. 4. 5. 6. 7.

GEJALA DAN TANDA KLINIS Keluhan umum pasien DM seperti poliuria, polidipsia, polifagia pada DM umumnya tidak ada. Sebaliknya yang sering mengganggu pasien adalah keluhan akibat komplikasi degeneratif kronik pada pembuluh darah dan saraf. Pada DM lansia terdapat perubahan patofisiologi akibat proses menua, sehingga gambaran klinisnya bervariasi dari kasus tanpa gejala sampai kasus dengan komplikasi yang luas. Keluhan yang sering muncul adalah adanya gangguan penglihatan karena katarak, rasa kesemutan pada tungkai serta kelemahan otot (neuropati perifer) dan luka pada tungkai yang sukar sembuh dengan pengobatanlazim., gejala-gejala akibat DM pada lansua yang sering ditemukan adalah : 1. Katarak 2. Glaukoma 3. Retinopati 4. Gatal seluruh badan 5. Pruritus Vulvae 6. Infeksi bakteri kulit 7. Infeksi jamur di kulit 8. Dermatopati 9. Neuropati perifer 10.Neuropati viseral 11.Amiotropi
18

12.Ulkus Neurotropik 13.Penyakit ginjal 14.Penyakit pembuluh darah perifer 15.Penyakit koroner 16.Penyakit pembuluh darah otak 17.Hipertensi PATOFISIOLOGI Patofisiologi diabetes melitus pada usia lanjut belum dapat diterangkan seluruhnya, namun didasarkan atas faktor-faktor yang muncul oleh perubahan proses menuanya sendiri. Faktor-faktor tersebut antara lain perubahan komposisi tubuh, menurunnya aktifitas fisik, perubahan life style, faktor perubahan neurohormonal khusunya penurunan kadar DHES dan IGF-1 plasma, serta meningkatnya stres oksidatif. Pada usia lanjut diduga terjadi age related metabolic adaptation, oleh karena itu munculnya diabetes pada usia lanjut kemungkinan karena aged related insulin resistance atau aged related insulin sebagai hasil dari preserved insulin action despite age.3 Berbagai faktor yang mengganggu homeostasis glukosa antara lain faktor genetik, lingkungan dan nutrisi. Berdasarkan pada faktor-faktor yang mempengaruhi proses menua, yaitu faktor intrinsik yang terdiri atas faktor genetikdan biologik serta faktor ekstrinsik seperti faktor gaya hidup, lingkungan, kultur dan sosial ekonomi, maka timbulnya DM pada lanjut usia bersifat muktifaktorial yang dapat mempengaruhi baik sekresi insulin maupun aksi insulin pada jaringan sasaran.4 Faktor resiko diabetes melitus akibat proses menua:4,5 Penurunan aktifitas fisik Peningkatan lemak Efek penuaan pada kerja insulin Obat-obatan Genetik Penyakit lain yang ada Efek penuaan pada sel

19

Menyebabkan resistensi insulin dan penurunan sekresi insulin gangguan toleransi glukosa dan diabetes melitus tipe 2. Perubahan progresif metabolisme karbohidrat pada lanjut usia meliputi perubahan pelepasan insulin yang dipengaruhi glukosa dan hambatan pelepasan glukosa yang diperantarai insulin. Besarnya penurunan sekresi insulin lebihtampak pada respon pemberian glukosa secara oral dibandingkan dengan pemberian intravena. Perubahan metabolisme karbohidrat ini antara lain berupa hilangnya fase pertama pelepsan insulin. Pada lanjut usia sering terjadi hiperglikemia (kadar glukosa darah >200 mg/dl) pada 2 jam setelah pembebanan glukosa dengan kadar gula darah puasa normal (<126 mg/dl) yang disebutIsolated Postchallenge Hyperglikemia (IPH) 1

PENATALAKSANAAN Langkah I: Menentukan tujuan pelaksanaan, yaitu:


20

1. Mempertahankan kesehatan badan dan kualitas hidup 2. Meniadakan hiperglikemi dan gejalanya 3. Mengkaji dan menerapi penyakit komorbid seperti hipertensi, penyakit kardiovaskuler, Alhzeimer, dan lain-lain 4. Meniadakan efek samping obat terutama hipoglikemi 5. Membuat berat badan menjadi ideal 6. Mencegah kalau mungkin dan menerapi komplikasi 7. Mengenali disabilitas dan mengurangi hendaya sosial yang terjadi

Langkah II: Melakukan assesement untuk mengetahui kapasitas penderita baik fisik, psikologis, fungsional, lingkungan, sosial dan ekonomi. Pemeriksaan mulai dari anamnesis, pemeriksaan fisik, psikologis, fungsional, pemeriksaan penunjang sebaiknya dilakukan oleh suatu tim multidisiplin yang bekerja secara interdisiplin dan terpadu. Langkah III: Melakukan terapi dan rehabilitasi pada penderita DM usia lanjut. Target yang ingin dicapai tetap dama dengan usia dewasa muda yaitu HbA1c <7%, dan ini sangat sulit pada lansia karena terdapat berbagai macam kendala seperti: Adanya berbagai penurunan fungsi organ karena proses menua Adanya penyakit komorbid Penuruan kapasitas fungsional yang menyebabkan penurunan aktifitas fisik Penurunan fungsi kognitif penderita meningkatnya resiko hipoglikemi Adanya polifarmasi meningkatkan efek samping dan interaksi obat lain dengan obatobat antihiperglikemik Pilihan utama terapi diabetes pada lansia adalah terapi tanpa obat atau sering disebut sebagai perubahan gaya hidup yang meliputi: 1. Diet

21

Diberikan diet dengan jumlah kalori sesuai BMI, dengan pembatasan sesuai penyakit komorbid atau faktor resiko atherosklerosis lain yang ada. Komposisi normal biasanya 6065% karbohidrat komplek, 20% protein dan 15-20% lemak. Disamping itu juga diberikan suplemen dan vitamin A, C, B komplek, E, Ca, selenium, zinc dan besi. Untuk hasil yang baik pada terapi diet ini perlu perhatian khusus pemberian makanan pada lansia dengan diabetes: Akses terhadap makanan: Disabilitas fungsional Keterampilan menyapkan makanan yang kurang/jelek Dukungan formal maupun informal yang buruk untuk mendapatkan makanan

Sumber daya keuangan yang terbatas o Asupan makanan: Apresiasi terhadap bau dan rasa yang menurun Gigi yang buruk dan atau xerostomia

Kebiasaan makan yang sudah berakar Kesukaan atas makanan masa lalu atau masakan tradisional 2. Olahraga Disesuaikan dengan kapasitas fungsionalnya. Bila masih bisa berjalan disuruh berjalan, bila hanya bisa duduk olahraga dengan duduk. Apabila tidak dapat, bisa dilakukan dengan gerakan atau latihan pasif di tempat tidur. Prinsip terapi olahraga adalah dengan memperbaiki aktifitas fisik, menurunkan kadar gula darah, mencegah terjadinya imobilitas yang mempercepat munculnya kompliasi makrovaskuler diabetes. Apabila dengan terapi tanpa obat di atas gula darah atau HbA1c belum turun atau terkendali, sesuai dengan target makan diberikan terapi dengan obat antihiperglikemik. 3. Obat

22

Terutama obat untuk menurunkan gula darah harus dipilih yang bekerja pendek, mempertimbangkan kapasitas ginjal, hepar dan saluran cerna agar tidak terjadi efek samping. Patut juga diperhatikan status sosial ekonomi penderita dalam memilih obat mengingat obat ini biasanya dipakai dalam jangka waktu lama bahkan dapat seumur hidup. Obat yang dipilih apakah obat anti diabetik oral atau insulin disesuaikan dengan klisifikasi DMnya dan keadaan klinisnya seperti penyakit komorbid atau BMI nya. Untuk penderita diabetes lansia gemuk, obat hiperglikemik oral yang dipilih adalah inhibitor alfa Glukosidase (acarbose), biguanide atau thiazolidinedione, karena obat-obat ini selain menurunkan kadar gula darah juga dapat menuurnkan berat badan, tetapi bila terdapat ganguan fungsi hati atau ginjal baik biguanide atau thiazolodinedione tidak boleh dipakai. Sebaliknya penderita yang kurus sebaiknya dipilih terapi dengan insulin karena dapat menungkatkan berat badan. Sulfoniuria dan non sulfoniuria insulin secretagoue (repaglinide/nateglinide) lebih tepat dipilih untuk penderita dengan berat badan normal. Indikasi penggunaan insulin pada penderita diabetes antara lain: DM tipe 1, DM tipe 2 yang tidak bisa dikontol dengan obat oral, DM tipe 2 dengan penyakit akut berulang dan berhubungan dengan hiperglikemi, DM tipe 2 dengan penyakit komorbid yang merupakan kontraindikasi OHO, DM tipe 2 dengan operasi yang lama (pre/pascaoperatif), DM tipe 2 dengan malnutrisi/kurus dan malaise berat, koma diabetik (ketoasidosis diabetik, hiperosmolar nonketotik dan asidosis laktat) dan perempuan hamil. Penatalaksanaan DM pada lanjut usia tidak akan berhasil bila tidak melakukan langkah beriuktnya setelah diet, olahraga dan obat, yaitu melakukan edukasi, evaluasi dan rehabilitasi pada penderita. Edukasi: memberikan penjelasan mengania DM dan komplikasi yang akan terjadi sampai kepada apa yang mesti dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh penderita dan keluarganya. Pada edukasi perlu dibuat komitmen antara dokter, penderita dan keluarganya mengenai tujuan akhir terapi yang diberikan, bukan hanya sekedar mengontrol gula darah tetapi juga mencegah komplikasi dengan mengeliminir semua faktor resiko atherosclerosis yang dimiliki oleh penderita dan sekaligus menerapi komorbid yang ada. Evaluasi: evaluasi harus dilakukan secara berkesinambungan terutama untuk: evaluasi status fungsional penderita, harapan hidup, support social dan financial serta hasrat/ kemauan lansia itu sendiri untuk berobat. Bila tidak memperhatikanhal-hal tersebut biasanya akan terjadi kegagalan terapi atau kebosanan penderita diabetes untuk terus berobat.

23

Rehabilitasi: sangat penting dilakukan dengan program individual untuk tiap penderita, tergantung kepada kapasitas fungsional penderita, komplikasi DM dan penyakit komorbid yang diderita. Pada prinsipnya rehabilitasi harus dilakukan secepatnya tidak perlu menunggu kondisi pasien stabil, tetapi harus sesuai dengan keadaan penderita saat itu. PENCEGAHAN Pencegahan primer : mencegah agar tidak timbul penyakit DM dengan mengetahui faktor yang berpengaruh terjadinya diabetes mellitus antara lain ; a) Keturunan b) Kegiatan jasmani yang kurang c) Kegemukan/distribusi lemak d) Nutrisi berlebih e) Faktor lain, obat-obat dann hormone. Pencegahan sekunder : mencegah agar walaupun sudah timbul penyakit, namun penyulitnya tidak terjadi Pencegahan tersier :usaha mencegah agar tidak terjadi kecacatan lebih lanjut walaupun sudah terjadi penyulit. Usaha pencegahan mencakup : Pendekatan pada penduduk, berusaha mengubah dan memperbaiki gaya hidup agar menguntungkan terhadap tidak timbulnya diabetes mellitus atau penyulitnya. (primer dan sekunder)
-

Pendekatan perorangan pada mereka yang beresiko tinggi untuk mengidap penyakit diabetes mellitus dan pada pasien /penyandang diabetes mellitus (primer, sekunder dan tersier).6

KOMPLIKASI Berbagai komplikasi akibat DM sering diklasifikasikan secara berbeda, antara lain penggolongan antara komplikasi akut (ketoasidosis, koma hiperosmolar non ketotk) dan kronik (retinopati diabetika, neuropati diabetika, nefropati diabetika dan penyakit kardiovaskuler), klasifikasi berdasarkan komplikasi spesifik dari diabetesnya (nephropati, retinopati dan neuropati) dan komplikasi makrovaskuler (penyakit jantung koroner, penyakit serebrovaskuler dan penyakit perifer) yang mungkin terjadi pada penderita non diabetik aan tetapi tampil lebih dini dan lebih berat pada penderita diabetes.

24

2.4 Penyakit Parkinson


ANAMNESIS Dari kasus didapatkan anamnesis bahwa pasien mengalami tremor pada kedua tangan DEFINISI DAN KLASIFIKASI Penyakit Parkinson merupakan 80% dari kasus-kasus Parkinsonism. Terdapat dua istilah yang harus dibedakan yaitu Penyakit Parkinson dan Parkinsonism: Penyakit Parkinson adalah bagian dari Parkinsonism yang sedara patologis ditandai oleh degenerasi ganglia basalis terutama substansia nigra pars compacta disertai adanya inklusi sitoplasmik eosinofilik yang disebut Lewy bodies. Parkinsonism adalah suatu sindrom yang ditandai oleh tremor waktu istirahat, kekakuan, bradikinesia, dan hilangnya refleks postural akibat penurunan kadar dopamin dengan berbagai macam sebab. Sindrom ini disebut sebagai Sindrom Parkinson. Sindrom Parkinson (SP) diklasifikasikan sebagai berikut:7 1. Primer atau idiopatik: Penyebab tidak diketahui Sebagian besar merupakan Penyakit Parkinson Ada peran toksin yang berasal dari lingkungan Ada peran faktor genetik, bersifat sporadis
25

2. Sekunder atau akuisita: -

Timbul setelah terpajan suatu penyakit/zat Infeksi dan pasca infeksi otak (ensefalitis) Terpapar kronis oleh toksin seperti 1-methyl-4-phenyl-1,2,3,6-tetrahydropyridine (MPTP), Mn, CO, sianida, dan lain-lain

Efek samping obat penghambat reseptor dopamin dan obat yang menurunkan cadangan dopamin.

Pasca strok Lain-lain: hipotiroid, hipoparatiroid, tumor/trauma otak, hidrosefalus bertekanan normal.

3. Sindrom Parkinson Plus: Gejala Parkinson timbul bersama gejala neurologi lain seperti: progressive supraneural palsy, multiple system atrophy, cortical-basal ganglionic, degeneration, Parkinsondementia-ALS complex pf Guam, progressive palidal atrophy, diffuse Lewy body disease (DLBD).7
4. Kelainan Degeneratif Diturunkan (heredodegenerative disorder):

Gejala Parkinsonism menyertai penyakit-penyakit yang diduga berhubungan dengan penyakit neurologi lain yang faktor keturunan memegang peran sebagai etiologi, seperti: Penyakit Alzheimer, Penyakit Wilson, Penyakit Hutington, Demensia frontotemporal pada kromosom 17q21, X-linked dystonia parkinsonism.

WORKING DIAGNOSIS Penyakit Parkinson ETIOLOGI

26

Beberapa penelitian pada penderita PP baik penelitian berdasarkan autopsi pasien yang sudah meninggal dan penelitian epidemiologis, maupun penelitian pada hewan primata yang dibuat menderita PP, menghasilkan beberapa dugaan penyebab PP seperti tersebut di bawah ini: 1. Faktor Genetik Ditemukan 3 gen yang menjadi penyebab gangguan degradasi protein dan mengakibatkan protein beracun tak dapat didegradasi di ubiquitin-proteasomal pathway. Kegagalan degradasi ini menyebabkan peningkatan apoptosis di sel-sel SNc sehingga meningkatkan kematian sel neuron di SNc. Inilah yang mendasari terjadinya PP sporadik yang bersifat familial. Pada penelitian didapatkan kadar sub unit alfa dari proteasome 20S menurun secara bermakna pada sel neuron SNc penderita PP, dibandingkan dengan orang normal, demikian jugak didapatkan penurunan sekitar 40% 3 komponen (chymotriptic, trytic dan postacidic) dari proteasome 26S pada sel neuron SNc penderita PP. Peran faktor genetik juga ditemukan dari hasil penelitian terhadap kembar monozigot (MZ) dan dizigot (DZ), dimana angka intrapair concordance pada MZ jauh lebih tinggi dibandingkan DZ.7 2. Faktor Lingkungan Sebagian setuju bahwa bahan-bahan beracun seperti carbon disulfide, manganese, dan pelarut hidrokarbon yang menyebabkan Sindrom Parkinson; demikian juga pasca ensefalitis. Pada penelitian selanjutnya ternyata parkinsonism yang terjadi bukan PP. Saat ini yang paling diterima sebagai etiologi PP adalah proses stres oksidatif yang terjadi di ganglia basalis, apapun penyebabnya. Berbagai penelitian telah dilakukan antara lain peranan xenobiotik (MPTP), pestisida/herbisida, terpapar pekerjaan terutama zat kimia seperti bahan-bahan cat dan logam, kafien, alkohol, diet tinggi protein, merokok, trauma kepala, depresi dan stres; semuanya menunjukkan peranan masing-masing melalui jalan yang berbeda dapat penyebabkan PP maupun sindrom Parkinsom baik pada penelitian epidemiologis maupun eksperimental pada primata. 3. Umur (Proses Menua) Tidak semua orang tua akan menderita PP, tetapi deguaan adanya peranan proses menua terhadap terjadinya PP didasarkan pada penelitian-penelitian epidemiologis tentang kejadian PP. pada penderita PP terdapat suatu tanda reaksi mikroglial pada neuron yang rusak dan
27

tanda ini tidak terdapat pada proses menua yang normal, sehingga disimpulkan bahwa proses menua merupakan faktor risiko yang mempermudah terjadinya proses degenerasi di SNc tetapi memerlukan penyebab lain (biasanya multifaktorial) untuk terjadinya PP. 4. Ras Angka kejadian PP lebih tinggi pada orang kulit putih dibandingkan kulit berwarna. 5. Cedera Kranioserebral Prosesnya belum jelas. Trauma kepala, infeksi, dan tumor di otak lebih berhubungan dengan Sindrom Parkinson daripada PP. 6. Stres Emosional Diduga merupakan salah satu faktor risiko terjadinya PP.7

PATOFISIOLOGIS
Secara umum dapat dikatakan bahwa Penyakit Parkinson terjadi karena penurunan kadar dopamin akibat kematian neuron di substansia nigra pars compacta (SNc) sebesar 40-50% yang disertai dengan inklusi sitoplasmik eosinofilik (Lewy bodies) dengan penyebab multifaktor. Substransia nigra (black substance), adalah suatu regio kecil di otak yang terletak sedikit di atas medula spinalis. Bagian ini menjadi pusat kontrol/koordinasi dari seluruh pergerakan. Sel-selnya menghasilkan neurotransmiter yang disebut dopamin, yang berfungsi untuk mengatur seluruh pergerakan otot dan keseimbangan badan yang dilakukan oleh sistem saraf pusat. Dopamin diperlukan untuk komunikasi elektrokimia antara sel-sel neuron di otak terutama dalam mengatur pergerakam, keseimbangan dan refleks postural, serta kelancaran komunikasi. Pada PP sel-sel neuron di SNc mengalami degenerasi, sehingga produksi dopamin menurun, akubatnya semua fungsi neuron di sistem saraf pusat (SSP) menurun dan menghasilkan kelambanan gerak (bradikinesia) kelambanan bicara dan berfikir (bradifrenia), tremor, dan kekakuan (rigiditas).7 Hipotesis terbaru proses patologi yang mendasari proses degenerasi neuron SNc adalah stres oksidatif. Stres oksidatif menyebabkan terbentuknya formasi oksiradikal, seperti dopamin duinon yang dapat bereaksi dengan alfa sinuklein (disebut protofibrils). Formasi ini memupuk, tidak dapat di degrasi oleh ubiquitin-proteasomal pathway, sehingga
28

menyebabkan kematian sel-sel SNc. Mekanisme patogenik lain yang perlu dipertimbangkan antara lain:
-

Efek lain dari stres oksidatif adalah terjadinya reaksi antara oksiradikal dengan nitricoxide (NO) yang menghasilkan peroxynitric radical.

Kerusakan mitokondria sebagai akibat penurunan produksi adenosin trifosfat (ATP) dan akumulasi elektro-elektron yang yang memperburuk stres oksidatif, akhirnya menghasilkan peningkatan apoptosis dan kematian sel.

Perubahan akibat proses inflamasi di sel nigra, memproduksi sitokin yang memicu apoptosis sel-sel SNc.

DIAGNOSIS
Penyakit Parkinson Diagnosis PP dibuat dengan ketentuan berdasarkan gambaran klinis, di samping adanya pemeriksaan penunjang seperti CT-scan, MRI, dan PET atau indikasi untuk menyingkirkan diagnosis Sindrom Parkinson selain PP. GAMBARAN KLINIS Umum:
1. Gejala mulai pada satu sisi (hemiparkinsonism)

2. Tremor saat istirahat 3. Tidak didapatkan gejala neurologis lain 4. Tidak dijumpai kelainan laboratorik 5. Perkembangan lambat 6. Respon terhadap levodopa cepat dan dramatis 7. Gangguang refleks postural tidak dijumpai pada awal penyakit. Khusus: gejala motorik pada penyakit parkinson (TRAP):

29

1. Tremor: 1. Llaten, 2. Saat istirahat, 3. Bertahan saat istirahat, 4. Saat gerak disamping adanya tremor saat istirahat. 2. Rigiditas 3. Akinesia/bradikinesia: 1. Kedipan mara berkurang, 2. Wajah seperti topeng, 3. Hipofonia (suara kecil), 4. Air liur menetes, 5. Akatisia/takikinesia (gerakan cepat tidak terkontrol), 6. Mikrografia (tulisan semakin kecil), 7. Cara berjalan: langkah kecil-kecil, 8. Kegelisahan motorik (sulit duduk atau berdiri) 4. Hilangnya refleks postural. Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan sejumlah kriteria: 1. Klinis, 2. Menurut Koller, 3. Menurut Gelb

1. Kriteria Diagnosis Klinis Didapatkan 2 dari 3 tanda kardinal gangguan motorik: tremor, rigiditas, bradikinesia, atau Tuga dari 4 tanda motorik: tremor, rigiditas, bradikinesia, ketidakstabilan postural

2. Kriteria Diagnosis Klinis Modifikasi Diagnosis possible: adalah salah satu gejala: tremor,rigiditas, akinesia atau bradikinesia,gangguan refleks postural. Tanda-tanda minor yang membantu ke arah diagbosos klinis possible: Myerson sign, menghilang atau berkurangnya ayunan lengan, refleks menggenggam. Diagnosis probable: kombinasi dari dua gejala tersebut di atas (termasuk gangguan refleks postural), salah satu dari tiga gejala pertama asimetris. Diagnosis definite: setiap kombinasi 3 dari 4 gejala; pilihan lain: setiap dua dengan satu dari tiga gejala pertama terlihat asimetris. 3. Kriteria Diagnosis Koller Didapati 2 dari 3 tanda kardinal gangguan motorik: tremor istirahat atau gangguan refleks postural, rigiditas, bradikinesia yang berlangsung satu tahun atau lebih.

30

Respons terhadap terapi levodopa yang diberikan sampai perbaikan sedang (minimal 1.000 mg/hari selama1bulan), dan lama perbaikan 1 tahun atau lebih. 4. Kriteria Diagnosis Gelb Diagnosis possible: adanya 2 dari 4 gejala kardinal (resting tremor, bradikinesia, rigiditas, onset asimetrik). Tidak ada gambaran yang menuju ke arah diagnosis lain termasuk halusinasi yang tidak berhubungan dengan obat, demensia supranuclear gaze palsy atau disotonom. Mempunyai respons yang baik terhadap levodopa atau agonis dopamin. Diagnosis probable: terdapat tiga dari 4 gejala kardinal, tidak ada gejala yang mengarah ke diagnosis lain dalam 3 tahun, terdapat respon yang baik terhadap levodopa atau agonis dopamin.7 Diagnosis definite: seperti probable disertai dengan pemeriksaan histopatologis yang positif Untuk menentukan berat ringannya penyakit, digunakan penetapan stadium klinis Penyakit Parkinson berdasarkan Hoehn dan Yahr, sebagai berikut: I. Unilateral, ekspresi wajah berkurang, posisi fleksi lengan yang terkena, tremor, ayunan lengan berkurang. II. Bilateral, postur membungkuk ke depan, gaya jalan lambat dengan langkah kecilkecil, sukar membalikkan badan. III. Gangguan gaya berjalan menonjol, terdapat ketidak stabilan postural IV. Disabilitasnya jelas, berjalan terbatas tanpa bantuan,lebih cenderung jatuh. V. Hanya mampu terbaring atau duduk di kursi roda, tidak mampu berdiri/berjalan meskipun dibantu, bicara tidak jelas, wajah tanpa ekspresi, jarang berkedip. PENATALAKSANAAN Secara garis besar konsep terapi farmakologis maupun pembedahan pada PP dibedakan menjadi 3 hal yaitu: Simptomatis, untuk memperbaiki gejala dan tanda penyakit. Protektif,dengan cara mempengaruhi patofisiologi penyakit

31

Restoratif, mendorong neuron baru atau merangsang pertumbuhan dan fungsi sel neuron yang masih ada.

Pilihan terapi PP dapat dibagi menjadi beberapa pendekatan sebagai berikut:


-

Meningkatkan transmisi dopaminergik dengan jalan: 1) meningkatkan kosentrasi dopamin pada sinap (levodopa), 2). Memberikan agonis dopamin, 3). Meningkatkan pelepasan dopamin, 4) menghambat re-uptake dopamin. 5) menghambat degradasi dopamin.

Memanipulasi neurotransmiter non-dopaminergik dengan obat-obat antikolinergik dan obat-obat lain yang dapat memodulasi sistem non-dopaminergik

Memberikan terapi simtomatik terhadap gejala parkinsonism yang muncul. Memberikan obat-obat neuroprotektif untuk menghambat progresivitas PP dengan mencegah kematian sel-sel neuron.

Terapi pembedahan: ablasi (tallamotomy, pallidotomy). Stimulasi otak dalam, brain grafting (bertujuan untuk memperbaiki atau mengembalikan seperti semula proses patologis yang mendasari).

Terapi pencegahan/preventif: menghilangkan faktor risiko atau penyebab PP.

Tujuan utama terapi PP adalah memulihkan disabilitas fungsional yang disandang penderita. Biasanya penatalaksanaan dilakukan secara komprohensif baik dengan obat, perbaikan diet dengan mengurangi asupan protein sampai 0,5-0,8 gram/kg BB per hari, terapi fisik berupa latihan teratur untuk mempertahankan penderita tetap dapat berjalan.7 Untuk dapat memahami pemilihan terapi obat kita perlu mengetahui proses degradasi dopamin (DA) di otak. Dopamin memiliki 2 reseptor yaitu D1 yang bersifat eksitatorik dan reseptor D2 yang bersifat inhibitorik. Dalam keadaan normal setelah DA dilepaskan dari ujung saraf nigrostriatum akan merangsang reseptor D1 dan D2. Keberadaan DA bila tidak diperlukan lagi akan dikonversi sebagai:
-

3-0-methyldopa oleh enzim cathecol-0-methyltransferase (COMT) 3-4 dihydroxyphenilacetic acid oleh enzim monoamine axidase (MAO)

32

TERAPI MEDIKAMENTOSA Ada 6 macam obat utama yang dipergunakan untuk penatalaksanaan PP, yaitu: -

Obat yang mengganti dopamin (Levodopa, Carbidopa) Agonis Dopamin (Bromocriptine, Pergolide, Pramipexole, Ropinirol) Antikolinergik (Benztropin, Triheksifenidil, Biperiden) Penghambat Monoamin oxidase/MAO (Selegiline) Amantadin Penghambat Catechol 0-Methyl Transferase/COMT (Tolcapone, Entacapone)

Terapi Pembedahan Ada beberapa tipe prosedur pembedahan yang dikerjakan untuk penderita PP, yaitu: Terapi ablasi lesi di otak Terapi stimulasi otak dalam Transpantasi otak

Terapi rehabilitasi Rehabilitasi penderita PP sangat penting. Tanpa terapi rehabilitasi penderita PP akan kehilangan kemampuan aktivitas kehidupan sehari-hari. Latihan yang diperlukan penderita PP meliputi latihan fisioterapi, okupasi dan psikoterapi. Latihan fisioterapi meliputi: latihan gelang bahu dengan tongkat, latihan ekstensi trunkus, latihan Frenkle, dan latihan isometrik.7 Latihan okupasi yang memerlukan pengkajian aktivitas kehidupan sehari-hari pasien, pengkajian lingkungan tempat tinggal atau pekerjaan. Dalam pelaksanaan latihan dipakai berbagai macam strategi, antara lain: Strategi kognitif Strategi gerak

33

Strategi keseimbangan

2.5 OSTEOATRITIS Oesteoartritis (OA) merupakan penyakit generatif yang berkaitan dengan kerusakan kartilago sendi. Vertebra, panggul, lutut dan pergelangan kaki paling sering terkena OA, prevelansi OA lutut radiologis di indonesia cukup tinggi, yaitu mencapai 15.5% pada pria dan 12.7% pada wanita. Pasien OA biasanya mengeluh saat melakukan aktivitas atau jika ada pembebanan pada sendi yang terkena. Pada derajat yang lebih berat nyeri dapat di rasakan terus-menerus sehingga sangat menganggu mobilitas pasien. Karena prevalensi yang cukup tinggi dan sifatnya kronik progresif,OA mempunyai dampak sosio-ekonomik yang besar, baik di negar maju maupun di negara berkembang. Terapi OA pada umumnya simptomatik, misalya dengan pengendalian faktor-faktor resiko,latihan, intervensi fisioterapi, dan teraoi farmakologis, pada OA fase lanjut sering diperlukan pembedahan. Untuk membantu mengurrangi keluhan nyeri OA, biasanya digunakan analgetik atau obat anti-inflamasi non steroid (OAINS).

ANAMNESIS Dari kasus hasil anamnesis mendapatkan bahwa pasien sakit lutut bila berjalan. Bila bangun dari duduknya lutut sering berbunyi kretek-kretek.

34

PEMERIKSAAN A. Pemeriksaan Fisik Hambatan Gerak Perubahan ini seringkali sudah ada meskipun pada OA yang masih dini (secara radiologis). Biasanya bertambah berat dengan semakin beratnya penyakit, sampai sendi hanya bisa digoyangkan dan menjadi kontraktur. Hambatan gerak dapat konsentris (seluruh arah gerakan) maupun eksentris (salah satu arah gerakan saja). Krepitasi Gejala ini lebih berarti untuk pemeriksaan klinik OA lutut. Pada awalnya hanya berupa perasaan akan adanya sesuatu yang patah atau remuk oleh pasien atau dokter yang memeriksa. Dengan bertambahnya beratnya penyakit, krepitasi dapat terdengar samapi jarak tertentu. Gejala ini mungkin timbul karena gesekan kedua permukaan tulang sendi pada saat sendi digerakan atau secara pasif di manipulasi. Pembengkakan Sendi Yang Sering Asimetris Pembengkakan sendi pada OA dapat timbul karena efusi pada sendi yang biasanya tak banyak (lebih dari 100 cc). Sebab lain ialah karena adanya osteofit, yamg dapat mengubah permukaan sendi. Tanda-Tanda Peradangan Tanda-tanda peradangan pada sendi(nyeri tekan, ganguan gerak, rasa hangat yang merata dan warna kemerahan) mungkin di jumpai pada OA karena adanya sinovitis. Biasanya tandatanda ini tak meninjol dan timbul belakangan,seringkali dijumpai di lutut, pergelangan kaki, dan sendi-sendi kecil tangan dan kaki. Perubahan Bentuk (Deformitas) Sendi Yang Permanen Perubahan ini dapat timbul karena kontraktur sendi yang lama,perubahan permukaan sendi,berbagai kecacatan dan gaya berdiri dan perubahan pada tulang dan permukaan sendi. Perubahan Gaya Berjalan

35

Keadaan ini hamper selalu berhubungan dngan nyeri karena menjadi tumpuan berat badan. Terutama di jumpai pada OA lutut, sendi paha dan OA tulang belakang dengan stenosis spinal. Pada senid-sendi lain, seperti tangan bahu, siku dan pergelangan tangan, osteoarthtitis juga menimbulkan gannguan fungsi.

B. Pemeriksaan Penunjang Radiografis Pada sebagian besar kasus radiografi pada sendi yang terkena osteoarthritis sudah cukup memberikan gambaran diagnostik yang lebih cangih Gambaran radiografi sendi yang menyokong diagnosis OA adalah : Penyempitan celah sendi yang seringkali asimetris (lebih berat pada bagian yang menggung beban) Peningkatan densitas (sclerosis) tulang subkondral Kista tulang Oseofut pada pinggir sendi Perubahan struktur anatomi sendi Berdasarkan perubahan-perubahan radiografi diatas, sevcara radiografi OA dapat digradasi menjadi ringan samapai berat. Harus diingat bahwa pada awal penyakit, radiografi sendi seringkali masih normal.

C. Pemeriksaan Laboratorium Hsil pemeriksaan pada OA biasanya ak banyak berguna. Darah tepi (emoglobin,laju endap darah, leokosit) dalam batas-batas normal, kecuali OA generalisata yang harus dibedakan dengan artritis peradangan. Pemeriksaan immunologi (ANA, rematoid dan komplemen) juga normal. Pada OA yang disetai peradangan, mungkin didapatkan penurunan viskositas, pleositosis ringan sampai sedang peningkatan ringan sel peradangan (<8000/m) dan peningkatan protein.

36

GEJALA KLINIS Nyeri sendi merupakan gejala utama, terutama sendi-sendi penyangga tubuh. Nyeri brsifat khas yaitu meningkat bila untuk aktifitas. Penyebab nyeri pada osteoarthritis bukas disebabkan oleh menipisnya rawan sendi tetapi karena spasme otot periartikuler, mikrofraktur subkondral,iritasi ujung saraf pada sinovitis. Selain nyeri keluhan lain yaitu kaku sendi yang biasanya tidak lebih dari jam, biasanya kaku sendi terjadi setelah istirahat lama pada gerakan sendi sering terdengar bunyi cracking. Pada pemeriksaan fisik dapat di jumpai nyeri tekan dan gerak pada sendi yang terserang, pada fase lanjut didapatkan keterbatasan gerak dan pada perabaan didapatkan krepitus pada saat sedi di gerakan. Pada palpasi didapatkan sendi yang membesar disertai kelemahan otot partikuler. Pada lutut dapat di jumpai genu varus atau valgus. WORKING DIAGNOSIS Osteoatritis EPIDEMIOLOGI/FAKTOR RESIKO OA adalah penyakit sendi yang paling sring ditemukan pada manusia. OA lutut merupakan penyebab utama hendaya (disability) kronik di negara-negara berkembang. Dibawah usia 55 tahun, distribusi sendi OA pada laki-laki dan perempuan sama pada orang yang berusia lebih tua, OA panggul lebih sering pada laki-laki, sedangkan OA sendi antarflang dan pangkal jempol sering terjadi pada perempuan. Terdapat perbedaan prevalens OA dan pola kertelibatan sendi. OA sendi antarflang, dan terutama, OA panggul lebih jarang padaa orang berkulit hitam afrika selatan dari pada kulit putih pada populasi yang sama. Tidak di ketahui apakah karena keturunan genetik atau karena gaya hidup dan perkejaan. Faktor tertinggi OA adalah usia. Peningkatan prigresif prevalensi OA dijumpai seiring dengan peningkatan usia. Pada survai radiografik terdapat perempuan berusia kurang dari 45 tahun hanya 2% menderita OA namun antara, usia 45 dan 65 tahun angkanya 68 %. Pada laki-laki, angkanya serupa tapi sedikit lebih rendah pada kelompok usia tua. Trauma besar dan pengunaan sendi berulang merupakan risiko untuk OA. Kerusakan tulang rawan atau sendi dapat terjadi pada saat cedera atau saat sesudahnya, bahkan tulang rawan yang normal akan mengalami degenerasi bila sedikit tidak stabil.

37

Pola keterlibatan sendi dipengaruhi oleh beban yang berkaitan dengan perkejaan (vokasioanal) atau avokasioanl sebelumnya. Sementara keterkaitan antara kegemukan dan OA lutut telah lama diketahui, hubungan kausal antara keduanya hanya baru-baru ini di buktikan. Untuk orang yang memiliki masa tubuh berada di quintile teritmggi pada pemeriksaan dasar, risiko relatif mengalami OA lutut dalam 36 tahun mendatang adalah 1,5 untuk laki-laki dan 2,1 untuk perempuan. Untuk OA lutu yang parah, resiko relatif menibgkat menjadi 1,9 untuk laki-laki dan 3,2 umtuk perempuan, yamg mengisyaratkan bahwa kegemukan berperan besar dalam etiologi kasus OA lutut yang parah. Sementara nyeri sendi merupakan utama yang menyebabkan pasien OA mencari pengobatan, hubungan antara keparahan patologik OA dan gejala tidak erat. Faktor resiko untuk nyeri dan kecacatan pada pasien belom diketahui. Untuk tingkat keparahan patologi yang sama, gejala lebih besar kemungkinannya timbul pada perempuan dari pada laki-laki, pada mereka yang mendapat santunan daripada yang bekerja. ETIOLOGI a) Usia lebih dari 40 tahun b) Jenis kelamin : kemungkinan wanita terkena lebih besar dari pada pria c) Suku bangsa d) Genetik e) Kegemukan dan penyakit metabolik f) Cedera sendi, pekerjaan, dan olahraga g) Kelainan pertumbuhan h) Kepadatan tulang

PATOGENESIS Patogenensis pada saat ini masih menjadi perdebatan,dahulunya osteoarthtitis dianggap suatu proses degeneratif murni. Pada kenyataannnya proses osteoarthitits didapatkan peran sitokin inflamasi dalam patogenesisnya. OA merupakan penyakit gangguan homeostatis metabolisme rawan sendi dengan kerusakan struktur proteoglikan yang penyebabnya diperkirakan multifaktoral anatara lain karena faktor umur stres mekanis dan khemis, pengunaan sendi yang berlebihan,defek anatomik, obesitas, genetik humoral dan faktor kebudayaan. Mikrofaktor pada permukaan
38

rawan sendi maka akan diikuti dengan menurunya sintesis glikosaminaglikan serta poliferasi kondrosit. Selain berpoliferasi kondrosit merespon suatu trauma rawan sendi dengan memproduksi sitokin antara lain interleukin Berdasarkan patogenesisnya OA dibedakan menjadi OA primer dan OA sekunder. OA primer disebut juga OA idiopatik yaitu OA yang kausanya tidak diketahui dan tidak ada hubungannya dengan penyakit sistemik maupun proses perubahan local pada sendi. OA sekunder adalah OA yang di dasari oleh adanya kelainan edokrin, inflamasi, metabolik, pertumbuhan, herediter, jejas mikro dan makro serta imobilisasi yang terlalu lama. OA primer lebih sering ditemukan dari pada OA sekunder.

KOMPLIKASI Pada umumnya pasien datang dengan keluhan yang brlangsung lama, tetapi berkembang secara perlahan Nyeri Sendi Keluahan ini merupakan keluhan utama yang membawa pasien ke dokter. Nyeri biasanya bertambah dengan gerakan dan sedikit berkurang dengan istirahat. Beberapa gerakan tertentu kadang-kadang menimbulkan rasa nyeri yang lebih di bandingkan dengan gerakan yang lain. Hambatan Gerakan Sendi Gannguan ini niasanya semakin bertambah berat dengan pelan-pelan sejalan dengan bertambahnya rasa nyeri. Kaku Pagi Pada beberapa pasien, nyeri atau kaku sendi dapat timbul setelah imobilitas, seperti duduk di kursi atau mobil dalam waktu yang cukup lama tau bahkan setelah bangun tidur Krepitasi Rasa gemeretak (kadang dapat terdengar) pada sendi yang sakit.
39

Pembesaran Sendi (Deformitas) Pasien mungkin menunjukan bahwa salah satu sendinya secara pelan-pelan membesar. Perubahan Gaya Berjalan Geajala ini merupakan gejala yang menyusahkan pasien. Hampir semua pasien OA pergelangan kaki,tumit, lutut tau panggul berkembang menjadi pincang. Gannguan berjalan dan gangguan fungsi sendi yang lain merupakan ancaman yang besar untuk kemandirian pasien OA yang umumnya tua.

PENATALAKSAAN OSTEOARTHTITIS Prinsip penatalaksaan mengontrol nyeri secara kontinu,mempertahankan fungsi sendi serta memperbaiki kualitas hidup penderita

Langkah 1 : nonfarmakologi a. penyuluhan penderita b. bantuan tenaga sosial profesioanl c. latihan aerobik d. menurunkan berat badan e. terapi kerja, proteksi sendi, mengubah pola kebiasaan, pemakaian sepatu yang nyaman. f. Diet yang bergizi

Langkah 2 : Pengunaan analgesik sederhana acetaminofen, dosis acetaminofen tidak boleh lebih dari 4g/hari atau ibuprofen dosis rendah, ibu profen 3 x 400 mg, pemakaian topikal. Langkah 3:
40

Bila nyeri tidak terkontrol dengan analgesik sederhana maka digunakan NSAID, hati-hati pada umur >65, pemakaian steroid, riwayat ulkus peptikum atau pendarahan lambung. Pada penderita dengan resiko maka dianjurkan memberikan misoprosrol, famotidine atau Omeperazol. Hati-hati pada penderita gangguan fungsi ginjal, hipertensi pemakaian ACE inhibitor sebaiknya memakai golongan COX-2 spesifik inhibitor, bila ada kontra-indikasi pemakaian NSAID ATAU COX-2 maka dianjurkan pemakaian analgesik golongan opiat dosis 200-300 mg. Langkah 4 : Khususnya Pada OA lutut bila ada efusi sendi maka dilakukan aspirasi dan injeksi steroid intraartikuler (triamcinolon exacetonine 40 mg).

Langkah 5 : Bila nyeri tidak terkontrol dengan obat sistemik maka dapat diberikan analgesik topikal misalnya metilsalisilat atau capsaicin. Langkah 6 : Injeksi intraartikuer steroid atau hyaluronan (khusus pada OA lutut)

Nama generik Ibuprofen Ketoprofen Naproksen Diklofonak Etodolak Indometasin Piroksikam

Nama dagang Anafen,bufect Profenid,kaltrofen Naxen,synflex Voltaren,altranac Lodine Dialon Rexil,feldene

Dosis harian 5-40mg/kg 150-300mg 1000-2000mg 100-200mg 600-1200mg 75-200mg 20mg

catatan Aman untuk anak >6th Dosis pd gang,hati,ginjal,lansia Dosis pd gang,hati,ginjal,lansia Dapat enz.tranaminase hati

Digunakan untik terapi PDA Dosis pd gang hati dan lansia

41

Meloksikam Nabumeton Celecoxib etoricoxib

Atrilox,loxinic Goflex Celebrex arcoxia

7.5-15mg 1000-1500mg 200-800mg 60-120mg Lansia: max 1000mg Kl pada alergi sulfonamid

PROGNOSIS Kita harus memutuskan apakah pengobatan osteoarthritis saja akan memperbaiki fungsi sendi yang sakit ataukah pengobatan tentang masalah yang lainnya juga diperlukan. Disamping itu keberadaan penyakit lain (misalnya penyakit renal,ulkus peptikum dan hipertensi ) dapat membuat pengobatan osteoartritis menjadi lebih berbahaya dan sulit dilaksanakan. Pasien harus diberatahu dahulu mengenai sifat penyakitnya dan apa yang bisa diharapkan secara realistik dari pengobatan yang akan didapatkannya.harapan yang tidak realistik dapat menimbulkan frustasi dan depresi disamping kesalahpahaman antara pasien dan dokter. Prognosis osteiartritis kurang baik dalam jangka waktu satu sampai dua tahun.

42

PENUTUP
KESIMPULAN Penuaan merupakan proses yang telah bermula sejak dari dalam uterus lagi. Setiap orang bertanggung jawab atas proses penuaan pada dirinya. Pendedahan pada radiasi, pemilihan makanan yang banyak mengandung bahan awet dan pewarna, kurangnya olahraga dan banyak lagi faktor lain bisa menyebabkan kecepatan proses penuaan. Proses penuaan menyebabkan berbagai penyakit dan masalah psikososial. Masalah psikososial itu sendiri seperti sebuah lingkaran yang menyebabkan penyakit seseorang itu makin berat. Dimensia yang juga dipanggil pikun merupakan suatu gejala yang tidak asing lagi pada lansia yang disebabkan oleh degenerasi pada sel otak. Semakin tua seseorang, semakin rentan ia pada berbagai penyakit karena menurunnya reaksi imunologi dalam tubuh. Fungsi organ lain juga menurun. Fungsi hati yang menurun menyebabkan masalah metabolism manakala fungsi pancreas yang terganggu disebabkan penuaan menyebabkan diabetes mellitus tipe II. Penyembuhan dari suatu penyakit juga lebih lambat. Pemeriksaan pada lansia hendaklah dilakukan secara holistic karena pada lansia, gejalanya tidak spesifik pada 1 penyakit saja. Diagnosis holistik bagi lansia ini disebut asesmen geriatric yang meliputi anamnesa, pemeriksaan fisis, asesmen lingkungan dan daftar masalah. Walaupun proses penuaan tidak dapat diundur atau bersifat irreversible, ia bisa diperlambat dengan mengamalkan cara hidup yang sehat. Sebagai contoh, orang Jepang terkenal dengan gaya hidup dan pola makanannya yang sehat. Walaupun terdapat pendapat bahwa semakin

43

maju sesuatu Negara itu semakin banyak penyakit yang timbul ini terbukti salah oleh Negara maju ini.

Daftar Pustaka 1. Probosuseno, Husni N. A., Rochmah W. Dizziness pada lanjut usia. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, et al (editor). Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi V. Jilid I. Jakarta : Interna Publishing, 2010: 826-36 2. Rochmah W. Demensia. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, et al (editor). Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi V. Jilid I. Jakarta : Interna Publishing, 2010: 837-44 3. Sukadji K. Pentalaksanaan gizi pada diabetes mellitus. Dalam : Soegondo S, et al (editor). Penatalaksanaan diabetes mellitus terpadu. Jakarta : Balai penerbit FKUI 2007: 43-66 4. Rochmah W. Diabetes melitus pada usia lanjut. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, et al (editor). Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi V. Jilid III. Jakarta : Interna Publishing, 2010: 1967-71 5. Waspadji S. Diabetes mellitus, penyulit kronik dan pencegahannya. Dalam : Soegondo S, et al (editor). Penatalaksanaan diabetes mellitus terpadu. Jakarta : Balai penerbit FKUI 2007: 163-74 6. Suyono S. Patofisiologi diabetes mellitus.. Dalam : Soegondo S, et al (editor). Penatalaksanaan diabetes mellitus terpadu. Jakarta : Balai penerbit FKUI 2007: 7-15 7. Rahayu R. A. Penyakit parkinson. Dalam : Sudoyo AW, Setiyohadi B, et al (editor). Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi V. Jilid I. Jakarta : Interna Publishing, 2010: 85158
8. Askandar T., Setiawan P. B., Santoso D., Soegiarto G. 2007. Buku ajar ilmu penyakit

dalam. Airlangga universitas press cetakan pertama. Hal 247-253


44

Anda mungkin juga menyukai