Anda di halaman 1dari 32

1

Referat

BRONCHI ECTASIS SPONDYLOLISTHESIS

Penyaji Roi Holan Ambarita, S.Ked 0718011080

Pembimbing dr. Haryadi, Sp. Rad

KEPANITERAAN KLINIK RADIOLOGI SMF RADIOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG RSUD dr. H. ABDUL MOELOEK BANDAR LAMPUNG DESEMBER 2012

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat Nya penulis dapat menyelesaikan Referat yang berjudul BRONCHI ECTASIS, SPONDYLOLISTHESIS, yang merupakan salah satu tugas di dalam kepaniteraan klinik SMF Radiologi. Penulis ucapkan terima kasih kepada: 1. dr. Haryadi, Sp.Rad selaku pembimbing penulis di dalam kepaniteraan klinik SMF Radiologi RS Abdul Moeloek Bandar Lampung 2. Kedua orang tua penulis 3. Kepada teman-teman yang turut membantu dalam penyelesaian Referat ini.

Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan Referat ini, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk memperbaiki penulisan berikutnya. Semoga penulisan Referat ini bermanfaat bagi semua yang membacanya.

Bandar Lampung, 16 Desember 2012

Penulis

DAFTAR ISI

Halaman Kata Pengantar........................................................................................... Daftar Isi I. BRONCHI ECTASIS A. Definisi B. Epidemiologi....................................................................................... C. Etiologi............................................................................................... D. Anatomi.............................................................................................. E. Patofisiologi. F. Diagnosis.............................................................. i ii 1 1 1 2 3 5 7

G. Diagnosis Banding 16 H. Pengobatan 16 I. Prognosis... 17 Kepustakaan.. 18

II. SPONDYLOLISTHESIS............................................................................. 19 A. Definisi................................................................................................... 19 B. Etiopatofisiologi..... 19 C. Epidemiologi... 20

D. Gejala Klinis 21 E. Diagnosis 22 F. Pemeriksaan Penunjang.. 24 G. Penatalaksanaan.. 25 H. Komplikasi.. 26 I. Prognosis. 27 Kepustakaan.. .............. 28

I. BRONCHI ECTASIS

A. DEFINISI Bronkiektasis adalah suatu penyakit yang ditandai dengan adanya dilatasi (ektasi) dan distorsi bronkus lokal yang bersifat patologis dan berjalan kronik, persisten dan irreversible. Kelainan bronkus tersebut disebabkan oleh perubahanperubahan dalam dinding bronkus berupa destruksi elemen-elemen elastis, otototot polos bronkus, tulang rawan dan pembuluh darah, bronkus yang terkena adalah bronkus kecil (Rahmatullah, 2007). Sehingga dilatasi tersebut menyebabkan berkurangnya aliran udara dari dan ke paru-paru. Dengan alasan ini, bronkiektasis digolongkan dalam penyakit paru obstruktif kronik, yang bermanifestasi sebagai peradangan saluran pernafasan dan mudah kolaps, lalu menyebabkan obstruksi aliran udara dan menimbulkan sesak, gangguan pembersihan mukus yang biasanya disertai dengan batuk dan kadang-kadang hemoptisis (ORegan & Berman, 2004).

B. EPIDEMIOLOGI Bronkiektasis merupakan penyebab utama kematian pada negara-negara berkembang terutama pada negara yang sarana medis dan terapi antibiotika terbatas. Bronkiektasis umumnya terjadi pada penderita dengan umur rata-rata 39 tahun, terbanyak pada usia 60-80 tahun dan prevalensinya lebih tinggi pada penduduk dengan golongan sosioekonomi yang rendah. Sebab kematian yang terbanyak pada bronkiektasis adalah karena gagal napas. Lebih sering terjadi pada perempuan daripada laki-laki, dan yang bukan perokok (Sari, 2007).

Angka kejadian yang sebenarnya dari bronkiektasis tidak diketahui pasti. Di negara-negara Barat, insidens bronkiektasis diperkirakan sebanyak 1,3% diantara populasi. Insidensinya cenderung menurun dengan adanya kemajuan pengobatan antibiotika. Akan tetapi, perlu diingat bahwa insidens ini juga dipengaruhi oleh kebiasaan merokok, polusi udara dan kelainan kongenital. Di Indonesia belum ada laporan tentang angka-angka yang pasti mengenai penyakit ini. Data terakhir yang diperoleh dari RSUD Dr. Soetomo tahun 1990 menempatkan bronkiektasis pada urutan ke-7 terbanyak. Dengan kata lain didapatkan 221 penderita dari 11.018 (1.01%) pasien rawat inap (Siampa, 2010).

C. ETIOLOGI Penyebab bronkiektasis sampai saat ini belum diketahui dengan jelas. Namun diduga bronkiektasis dapat timbul secara kongenital maupun didapat. 1. Kelainan kongenital Dalam hal ini, bronkiektasis terjadi sejak individu masih dalam kandungan. Faktor genetik atau faktor pertumbuhan dan perkembangan memegang peranan penting. Bronkiektasis yang timbul kongenital biasanya mengenai hampir seluruh cabang bronkus pada satu atau kedua bronkus. Selain itu, bronkiektasis kongenital biasanya menyertai penyakit-penyakit kongenital seperti Fibrosis kistik, Sindroma Kertagener, William Campbell syndrome, Mounier-Kuhn syndrome, dan lain sebagainya. 2. Kelainan didapat Bronkiektasis paling sering disebabkan karena infeksi dan obstruksi bronkus seperti korpus alienum, karsinoma bronkus, atau tekanan dari luar lainya terhadap bronkus (Rahmatullah, 2007).

D. ANATOMI Gambar dibawah ini menunjukkan anatomi dari sistem respirasi.

Gambar 1: Anatomi bronkus.

Dari gambar dapat kita lihat bahwa cabang utama bronkus kanan dan kiri akan bercabang menjadi bronkus lobaris dan bronkus segmentalis. Percabangan ini berjalan terus-menerus menjadi bronkus yang ukurannya semakin kecil sampai akhirnya menjadi bronkiolus terminalis, yaitu bronkiolus yang tidak mengandung alveoli. Bronkiolus terminalis mempunyai diameter kurang lebih 1 mm. Bronkiolus tidak diperkuat oleh kartilago tetapi dikelilingi oleh otot polos sehingga ukurannya dapat berubah. Seluruh saluran udara sampai pada tingkat ini disebut saluran penghantar udara karena fungsinya menghantarkan udara ke tempat pertukaran gas terjadi. Setelah bronkiolus terdapat asinus yang merupakan unit fungsional dari paruparu. Asinus terdiri atas bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris dan sakkus alveolaris terminalis. Asinus atau kadang disebut lobulus primer memiliki

diameter 0,5 sampai 1 cm. Terdapat sekitar 23 percabangan mulai dari trakea sampai sakkus alveolaris terminalis. Alveolus dipisahkan dari alveolus di dekatnya oleh septum. Lubang pada dinding ini dinamakan pori-pori Kohn yang memungkinkan komunikasi antara sakkus. Alveolus hanya selapis sel saja, namun jika seluruh alveolus yang berjumlah sekitar 300 juta itu dibentangkan akan seluas satu lapangan tennis. Alveolus pada hakikatnya merupakan gelembung yang dikelilingi oleh kapilerkapiler darah. Batas antara cairan dengan gas akan membentuk suatu tegangan permukaan yang cenderung mencegah ekspansi pada saat inspirasi dan cenderung kolaps saat ekspirasi. Di sinilah letak peranan surfaktan sebagai lipoprotein yang mengurangi tegangan permukaan dan mengurangi resistensi saat inspirasi sekaligus mencegah kolaps saat ekspirasi. Pembentukan surfaktan oleh sel pembatas alveolus dipengaruhi oleh kematangan sel-sel alveolus, enzim biosintetik utamanya alfa anti tripsin, kecepatan regenerasi, ventilasi yang adekuat serta perfusi ke dinding alveolus. Defisiensi surfaktan, enzim biosintesis serta mekanisme inflamasi yang berjung pada pelepasan produk yang mempengaruhi elastisitas paru menjadi dasar patogenesis emphysema, dan penyakit lainnya (Wilson, 2006). Bronkus merupakan percabangan dari trachea. Terdiri dari bronkus dextra dan bronkus sinistra. 1. Bronkus Dextra, mempunyai bentuk yang lebih besar, lebih pendek dan letaknya lebih vertikal daripada bronkus sinistra. Hal ini disebabkan oleh desakan dari arcus aortae pada ujung caudal trachea ke arah kanan, sehingga benda-benda asing mudah masuk ke dalam bronkus dextra. Panjangnya kirakira 2,5 cm dan masuk kedalam hilus pulmonis setinggi vertebra thoracalis VI. Vena Azygos melengkung di sebelah cranialnya. Ateria pulmonalis pada mulanya berada di sebelah inferior, kemudian berada di sebelah ventralnya. Membentuk tiga cabang (bronkus sekunder), masing-masing menuju ke lobus

superior, lobus medius, dan lobus inferior. Bronkus sekunder yang menuju ke ke lobus superior letaknya di sebelah cranial a.pulmonalis dan disebut bronkus eparterialis. Cabang bronkus yang menuju ke lobus medius dan lobus inferior berada di sebelah caudal a.pulmonalis disebut bronkus hyparterialis. Selanjutnya bronkus sekunder tersebut mempercabangkan bronkus tertier yang menuju ke segmen pulmo. 2. Bronkus Sinistra, mempunyai diameter yang lebih kecil, tetapi bentuknya lebih panjang daripada bronkus dextra. Berada di sebelah caudal arcus aortae, menyilang di sebelah ventral oesophagus, ductus thoracicus, dan aorta thoracalis. Pada mulanya berada di sebelah superior arteri pulmonalis, lalu di sebelah dorsalnya dan akhirnya berada di sebelah inferiornya sebelum bronkus bercabang menuju ke lobus superior dan lobus inferior, disebut letak bronkus hyparterialis. Pada tepi lateral batas trachea dan bronkus terdapat lymphonodus tracheobronchialis superior dan pada bifurcatio trachea (di sebelah caudal) terdapat lymphonodus tracheobronchialis inferior. Bronkus memperoleh vascularisasi dari a.thyroidea inferior. Innervasinya berasal dari n.vagus, n.recurrens, dan truncus sympathicus (Siampa, 2010).

E. PATOFISIOLOGI Berdasarkan definisinya, bronkiektasis menggambarkan suatu keadaan dimana terjadi dilatasi bronkus yang ireversibel (> 2 mm dalam diameter) yang merupakan akibat dari destruksi komponen muskular dan elastis pada dinding bronkus. Rusaknya kedua komponen tersebut adalah akibat dari suatu proses infeksi, dan juga oleh pengaruh cytokine inflamasi, nitrit okside dan netrophilic protease yang dilepaskan oleh system imun tubuh sebagai respon terhadap antigen. Bronkiektasis dapat terjadi pada kerusakan secara langsung dari dinding bronkus atau secara tidak langsung dari intervensi pada pertahanan normal jalan nafas.

10

Pertahanan jalan nafas terdiri dari silia yang berukuran kecil pada jalan nafas. Silia tersebut bergerak berulang-ulang, memindahkan cairan berupa mucus yang normal melapisi jalan nafas. Partikel yang berbahaya dan bakteri yang terperangkap pada lapisan mukus tersebut akan dipindahkan naik ke tenggorokan dan kemudian batukkan keluar atau tertelan. Terlepas dari apakah kerusakan tersebut diakibatkan secara langsung atau tidak langsung, daerah dinding bronkus mengalami kerusakan dan menjadi inflamasi yang kronik. Bronkus yang mengalami inflamasi akan kehilangan keelastisannya, sehingga bronkus akan menjadi lebar dan lembek serta membentuk kantung atau saccus yang menyerupai balon yang kecil. Inflamasi juga meningkatkan sekresi mukus. Karena sel yang bersilia mengalami kerusakan, sekret yang dihasilkan akan menumpuk dan memenuhi jalan nafas dan menjadi tempat berkembangnya bakteri. Yang pada akhirnya bakteri-bakteri tersebut akan merusak dinding bronkus, sehingga menjadi lingkaran setan antara infeksi dan kerusakan jalan nafas (Siampa, 2010).

Gambar 2: Pada bronkiektasis, produksi mukus meningkat, silia mengalami kerusakan dan daerah bronkus mengalami inflamasi kronik dan mengalami kerusakan.

11

F. DIAGNOSIS 1. Gambaran Klinis Manifestasi klasik dari bronkiektasis adalah batuk dan produksi sputum harian yang mukopurulen sering berlangsung bulanan sampai tahunan. Sputum yang bercampur darah atau hemoptisis dapat menjadi akibat dari kerusakan jalan nafas dengan infeksi akut. Variasi yang jarang dari bronkiektasis kering yakni hemoptisis episodik dengan sedikit atau tanpa produksi sputum. Bronkiektasis kering biasanya merupakan sekuele (gejala sisa) dari tuberculosis dan biasanya ditemukan pada lobus atas. Gejala spesifik yang jarang ditemukan antara lain dyspnea, nyeri dada pleuritik, wheezing, demam, mudah lelah dan berat badan menurun. Pasien relatif mengalami episode berulang dari bronkitis atau infeksi paru, yang merupakan eksaserbasi dari bronkiektasis dan sering membutuhkan antibiotik. Infeksi bakteri yang akut ini sering diperberat dengan onsetnya oleh peningkatan produksi sputum yang berlebihan, peningkatan kekentalan sputum, dan kadang-kadang disertai dengan sputum yang berbau (Siampa, 2010). Batuk kronik yang produktif merupakan gejala yang menonjol. Terjadi hampir 90% pasien. Beberapa pasien hanya menghasilkan sputum dengan infeksi saluran pernafasan atas yang akut. Tetapi sebaliknya, pasien-pasien itu mengalami infeksi yang diam. Sputum yang dihasilkan dapat berbagai macam, tergantung berat ringannya penyakit dan ada tidaknya infeksi sekunder. Sputum dapat berupa mukoid, mukopurulen, kental dan purulen. Jika terjadi infeksi berulang, sputum menjadi purulen dengan bau yang tidak sedap. Dahulu, jumlah total sputum harian digunakan untuk membagi karakteristik berat ringannya bronkiektasis. Sputum yang kurang dari 10 ml

12

digolongkan sebagai bronkiektasis ringan, sputum dengan jumlah 10-150 ml perhari digolongkan sebagai bronkiektasis moderat dan sputum lebih dari 150 ml digolongkan sebagai bronkiektasis berat. Namun sekarang, berat ringannya bronkiektasis dikalsifikasikan berdasarkan temuan radiologis. Pada pasien fibrosis kistik, volume sputum pada umumnya lebih banyak dibanding penyakit penyebab bronkiektasis lainnya (Barker, 2002). Hemoptisis terjadi pada 56-92% pasien dengan bronkiektasis. Hemoptisis mungkin terjadi masif dan berbahaya bila terjadi perdarahan pada arteri bronkial. hemoptisis biasanya terjadi pada bronkiektasis kering, walaupun angka kejadian dari bronkiektasis tipe ini jarang ditemukan. Dyspnea terjadi pada kurang lebih 72% pasien bronkiektasis tapi bukan merupakan temuan yang universal. Biasanya terjadi pada pasien dengan bronkiektasis luas yang terlihat pada gambaran radiologisnya. Wheezing sering dilaporkan dan mungkin akibat obstruksi jalan nafas yang diikuti oleh destruksi dari cabang bronkus. Seperti dyspnea, ini juga mungkin merupakan kondisi yang mengiringi, seperti asma. Nyeri dada pleuritik kadang-kadang ditemukan, terjadi pada 46% pasien pada sekali observasi. Paling sering merupakan akibat sekunder pada batuk kronik, tetapi juga terjadi pada eksaserbasi akut (ORegan & Berman, 2004). Penurunan berat badan sering terjadi pada pasien dengan bronkiektasis yang berat. Hal ini terjadi sekunder akibat peningkatan kebutuhan kalori berkaitan dengan peningkatan kerja pada batuk dan pembersihan sekret pada jalan nafas. Namun, pada umumnya semua penyakit kronik disertai dengan penurunan berat badan. Demam biasanya terjadi akibat infeksi yang berulang (Siampa, 2010).

13

2. Gambaran Radiologis Foto thorax Dengan pemeriksaan foto thoraks, maka pada bronkiektasis dapat ditemukan gambaran seperti dibawah ini: Ring shadow Terdapat bayangan seperti cincin dengan berbagai ukuran (dapat mencapai diameter 1 cm) dengan jumlah satu atau lebih bayangan cincin sehingga membentuk gambaran honeycomb appearance atau bounches of grapes. Bayangan cincin tersebut menunjukkan kelainan yang terjadi pada bronkus (Kusumawidjaja, 2006).

Gambar 3: Tampak Ring Shadow yang pada bagian bawah paru yang menandakan adanya dilatasi bonkus.

14

Gambar 4: Tampak dilatasi bronkus yang ditunjukkan oleh anak panah.

Gambar 5: Tampak Ring Shadow yang menandakan adanya dilatasi bonkus.

15

Tramline shadow Gambaran ini dapat terlihat pada bagian perifer paru-paru. Bayangan ini terlihat terdiri atas dua garis paralel yang putih dan tebal yang dipisahkan oleh daerah berwarna hitam. Gambaran seperti ini sebenarnya normal ditemukan pada daerah parahilus. Tramline shadow yang sebenarnya terlihat lebih tebal dan bukan pada daerah parahilus (Kusumawidjaja, 2006).

Gambar 6: Tramline shadow terlihat diantara bayangan jantung. Tubular shadow Ini merupakan bayangan yang putih dan tebal. Lebarnya dapat mencapai 8 mm. Gambaran ini sebenarnya menunjukkan bronkus yang penuh dengan sekret. Gambaran ini jarang ditemukan, namun gambaran ini khas untuk bronkiektasis.

16

Glove finger shadow Gambaran ini menunjukkan bayangan sekelompok tubulus yang terlihat seperti jari-jari pada sarung tangan (Sutton, 2003). Bronkografi Bronkografi merupakan pemeriksaan foto dengan pengisian media kontras ke dalam sistem saluran bronkus pada berbagai posisi (AP, Lateral, Oblik). Pemeriksaan ini selain dapat menentukan adanya bronkiektasis, juga dapat menentukan bentuk-bentuk bronkiektasis yang dibedakan dalam bentuk silindris (tubulus, fusiformis), sakuler (kistik) dan varikosis. Pemeriksaan bronkografi juga dilakukan pada penderita bronkiektasis yang akan dilakukan pembedahan pengangkatan untuk menentukan luasnya paru yang mengalami bronkiektasis yang akan diangkat (Kusumawidjaja, 2006). Pemeriksaan bronkografi saat ini mulai jarang dilakukan oleh karena prosedurnya yang kurang menyenangkan terutama bagi pasien dengan gangguan ventilasi, alergi dan reaksi tubuh terhadap kontras media (Siampa, 2010). .

17

18

CT-Scan thorax CT-Scan dengan resolusi tinggi menjadi pemeriksaan penunjang terbaik untuk mendiagnosis bronkiektasis, mengklarifikasi temuan dari foto thorax dan melihat letak kelainan jalan nafas yang tidak dapat terlihat pada foto polos thorax. CT-Scan resolusi tinggi mempunyai sensitivitas sebesar 97% dan spesifisitas sebesar 93%. CT-Scan resolusi tinggi akan memperlihatkan dilatasi bronkus dan penebalan dinding bronkus. Modalitas ini juga mampu mengetahui lobus mana yang terkena, terutama penting untuk menentukan apakah diperlukan pembedahan (Barker, 2002).

Gambar 8: CT-Scan Thorax menunjukkan adanya dilatasi bronkus pada lobus inferior kiri.

3. Patologi Anatomi Terdapat berbagai variasi bronkiektasis, baik mengenai jumlah atau luasnya bronkus yang terkena maupun beratnya penyakit.

19

Perubahan morfologis bronkus yang terkena Dinding bronkus Dinding bronkus yang terkena dapat mengalami perubahan berupa proses inflamasi yang sifatnya destruktif dan ireversibel. Pada pemeriksaan patologi anatomi sering ditemukan berbagai tingkatan keaktifan proses inflamasi serta terdapat proses fibrosis. Jaringan bronkus yang mengalami kerusakan selain otot-otot polos bronkus juga elemen-elemen elastis. Mukosa bronkus Mukosa bronkus permukaannya menjadi abnormal, silia pada sel epitel menghilang, terjadi perubahan metaplasia skuamosa, dan terjadi sebukan hebat sel-sel inflamasi. Apabila terjadi eksaserbasi infeksi akut, pada mukosa akan terjadi pengelupasan, ulserasi, dan pernanahan. Jaringan paru peribronkial Pada parenkim paru peribronkial dapat ditemukan kelainan antara lain berupa pneumonia, fibrosis paru atau pleuritis apabila prosesnya dekat pleura. Pada keadaan yang berat, jaringan paru distal bronkiektasis akan diganti jaringan fibrotik dengan kista-kista berisi nanah. Variasi kelainan anatomi bronkiektasis Pada tahun 1950, Reid mengkasifikasikan bronkiektasis sebagai berikut : Bentuk tabung (tubular, cylindrical, fusiform bronchiectasis) Variasi ini merupakan bronkiektasis yang paling ringan. Bentuk ini sering ditemukan pada bronkiektasis yang menyertai bronchitis kronik. Bentuk kantong (saccular bronkiektasis) Merupakan bentuk bronkiektasis yang klasik, ditandai dengan adanya dilatasi dan penyempitan bronkus yang bersifat ireguler. Bentuk ini kadang-kadang berbentuk kista.

20

Varicose bronkiektasis Bentuknya merupakan bentuk diantara bentuk tabung dan kantong. Istilah ini digunakan karena perubahan bentuk bronkus yang menyerupai varises pembuluh vena (Rahmatullah, 2007).

G. DIAGNOSIS BANDING Fibrosis Kistik Kelainan yang ditemukan dapat bervariasi dari pasien yang satu ke pasien yang lain, namun banyak individu yang memiliki gambaran radiografi yang memperlihatkan bronkiektasis kronis disertai fibrosis kistik yang meliputi: hiperinflasi, penebalan dan dilatasi bronkus, peribronkial cuffing, mucoid impaction, kistik radiolusen, peningkatan tanda interstisial dan penyebaran nodul-nodul (Rahmatullah, 2007).

H. PENGOBATAN Pengobatan pasien bronkiektasis terdiri atas 2 kelompok, yaitu : 1. Pengobatan konservatif Pengelolaan umum, meliputi: Menciptakan lingkungan yang baik dan tepat bagi pasien Memperbaiki drainase sekret bronkus Mengontrol infeksi saluran napas, misalnya dengan pemberian antibiotik. Pengelolaan khusus Kemoterapi pada bronkiektasis Drainase sekret dengan bronkoskopi

Pengobatan simtomatik Pengobatan obstruksi bronkus, misalnya dengan obat bronkodilator Pengobatan hipoksia, dengan pemberaian oksigen

21

Pengobatan hemoptisis misalnya dengan obat-obat hemostatik Pengobatan demam, dengan pemberian antibiotik dan antipiretik.

2. Pengobatan Pembedahan Tujuan pembedahan adalah untuk mengangkat (reseksi) segmen atau lobus yang terkena. Indikasinya pada pasien bronkiektasis yang terbatas dan resektabel, yang tidak berespon terhadap tindakan-tindakan konservatif yang adekuat, selain itu juga pada pasien bronkiektasis terbatas, tetapi sering mengalami infeksi berulang atau hemoptisis yang berasal dari daerah tersebut. Pasien dengan hemoptisis masif seperti ini mutlak perlu tindakan operasi (Rahmatullah, 2007).

I.

PROGNOSIS 1. Kelangsungan Hidup Prognosis pasien bronkiektasis tergantung pada berat-ringannya serta luasnya penyakit waktu pasien berobat pertama kali. Pemilihan pengobatan secara tepat (konservatif atau pembedahan) dapat memperbaiki prognosis penyakit. Pada kasus-kasus yang berat dan tidak diobati, prognosisnya jelek, survivalnya tidak akan lebih dari 5-15 tahun. Kematian pasien tersebut biasanya karena pneumonia, empiema, payah jantung kanan, hemoptisis dan lain-lain. Pada kasus-kasus tanpa komplikasi bronkitis kronik berat dan difus biasanya disabilitasnya ringan. 2. Kelangsungan Organ Kelainan pada bronkiektasis biasanya mengenai bronkus dengan ukuran sedang. Adanya peradangan dapat menyebabkan destruksi lapisan muscular dan elastic dari bronkus serta dapat pula menyebabkan kerusakan daerah peribronchial. Kerusakan ini biasanya akan menyebabkan timbulnya daerah fibrosis terutama pada daerah peribronkial (Rahmatullah, 2007).

22

KEPUSTAKAAN

1. Barker, A.F.. 2002. The New English Journal of Medicine: Bronkiektasis. 2. Kusumawidjaja, K.. 2006. Radiologi Diagnostik Edisi Kedua. Editor Iwan Ekayuda. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 3. ORegan A.W. & Berman J.S.. 2004. Baums Textbook of Pulmonary Disease 7 th Edition. Editor James D. Crapo, MD. Lippincott Williams & Walkins. Philadelphia. 4. Rahmatullah, P.. 2007. Bronkiektasis, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Jakarta: FKUI. 5. Sari, I.M.. 2007. Bronkiektasis. www.google.com. Diakses 14 Desember 2012. 6. Siampa, V.N.. 2010. Bronkiektasis. www.google.com. Diakses 14 Desember 2012. 7. Sutton, D.. 2003. Textbook of Radiology and Imaging volume 1. Tottenham: Churchill livingstone. 8. Wilson, L.M.. 2006. Patofisiologi (Proses-Proses Penyakit) Edisi Enam. Editor Hartanto Huriawati, dkk. Jakarta: EGC.

23

II. SPONDYLOLISTHESIS

A. DEFINISI Kata spondylolisthesis berasal dari bahasa Yunani yang terdiri atas kata

spondylo yang berarti tulang belakang (vertebra), dan listhesis yang berarti bergeser. Maka spondilolistesis merupakan istilah deskriptif untuk pergeseran (biasanya ke anterior) dari vertebra relatif terhadap vertebra yang dibawahnya, (Sjamsuhidajat, 2005).

B. ETIOPATOFISIOLOGI Penyebab dari sindrom ini adalah malformasi persimpangan lumbosakral (kecil bagian belakang dan bagian belakang panggul) yang kecil, sendi facet tidak kompeten, yang dapat bersifat kongenital (bawaan), disebut sebagai

spondilolisthesis displastik, atau mungkin terjadi selama masa remaja karena patah tulang atau cedera pada salah satu tulang-tulang belakang darikegiatan olahraga terkait seperti angkat berat, berlari, berenang, atau sepak bola yang menyebabkan seseorang memiliki spondilolisthesisisthmic (Sjamsuhidajat, 2005). Ada lima jenis utama dari Spondilolisthesis dikategorikan oleh sistem klasifikasi Wiltse: 1. Displatik
- Sendi facet memungkinkan pergeseran ke depan - Lengkungan neural biasanya masih utuh

2. Isthmic
- Lesi dari pars

24

- Terdapat 3 subtipe: fraktur stress, pemanjangan dari pars, dan fraktur pars

akut. 3. Degeneratif Spondilolisthesis bisa disebabkan oleh penuaan, umum, dan keausan tulang, jaringan, otot-otot, dan ligamen tulang belakang disebut sebagai

spondilolisthesis degenerative. 4. Trauma Setelah kecelakaan besar atau trauma untuk kembali menghasilkan kondisi yang disebut spondilolisthesis trauma. 5. Patologis Jenis terakhir Spondilolisthesis, yang juga yang paling langka, disebut spondilolisthesis patologis. Jenis Spondilolisthesis terjadi karena kerusakan pada elemen posterior dari metastasis (kanker sel-sel yang menyebar ke bagian lain dari tubuh dan menyebabkan tumor) atau penyakit tulang metabolik. Jenis ini telah dilaporkan dalam kasus-kasus penyakit Paget tulang (dinamai Sir James Paget, seorang ahli bedah Inggris yang menggambarkan gangguan kronis yang biasanya menghasilkan tulang membesar dan cacat), tuberkulosis (penyakit menular mematikan yang biasanya menyerang paruparu tetapi dapat menyebar ke bagian lain dari tubuh), tumor sel raksasa, dan metastasis tumor. Diagnosis yang tepat dan identifikasi jenis atau kategori Spondilolisthesis adalah penting untuk memahami serta keparahan dari pergeseran yang terbagi menjadi 5 kelas sebelum pengobatan yang tepat untuk kondisi tersebut dapat disarankan (Word press, 2011).

C. EPIDEMIOLOGI Insidensi spondilolisthesis tipe ismik berkisar 5% berdasarkan studi otopsi. Spondilolisthesis degeneratif memiliki frekuensi tersering karena secara umum

25

populasi pastinya akan mengalami penuaan. Paling sering melibatkan level L4L5. Sampai 5,8% pria dan 9,1% wanita memiliki listhesis tipe ini (Japardi, 2002).

D. GEJALA KLINIS Presentasi klinis dapat bermacam-macam, tergantung pada jenis pergeseran dan usia pasien.Selama tahun-tahun awal kehidupan, presentasi klinis dapat berupa nyeri punggung bawah ringan yang sesekali dirasakan pada panggul dan paha posterior, terutama saat beraktivitas. Gejala jarang berkorelasi dengan tingkat pergeseran, meskipun mereka disebabkan ketidakstabilan segmental. Tanda neurologis seringkali berkorelasi dengan tingkat selip dan melibatkan motorik, sensorik, dan perubahan refleks yang sesuai untuk pelampiasan akar saraf (biasanya S1) (Japardi, 2002). Gejala yang paling umum dari spondylolisthesis adalah: 1. Nyeri punggung bawah Hal ini sering lebih memberat dengan latihan terutama dengan ekstensi tulang belakang lumbal. 2. Beberapa pasien dapat mengeluhkan nyeri, mati rasa, kesemutan, atau kelemahan pada kaki karena kompresi saraf. Kompresi parah dari saraf dapat menyebabkan hilangnya kontrol dari usus atau fungsi kandung kemih. 3. Keketatan dari paha belakang dan penurunan jangkauan gerak dari punggung bawah Pasien dengan spondilolistesis degeneratif biasanya lebih tua dan datang dengan nyeri punggung, radikulopati, klaudikasio neurogenik, atau kombinasi dari gejala-gejala tersebut. Pergeseran yang paling umum adalah di L4-5 dan kurang umum di L3-4. Gejala-gejala radikuler sering hasil dari stenosis recessus lateral dari facet dan ligamen hipertrofi dan/ atau disk herniasi. Akar saraf L5 dipengaruhi paling sering dan menyebabkan kelemahan ekstensor halusis longus.

26

Stenosis pusat dan klaudikasio neurogenik bersamaan mungkin atau mungkin tidak ada. Penyebab gejala klaudikasio selama ambulasi adalah multifaktorial. Rasa sakit ini berkurang ketika pasien memfleksikan tulang belakang dengan duduk atau bersandar. Fleksi memperbesar ukuran kanal oleh peregangan ligamentum flavum menonjol, pengurangan lamina utama dan aspek, dan pembesaran foramen tersebut. Hal ini mengurangi tekanan pada akar saraf keluar dan, dengan demikian, mengurangi rasa sakit (Nicrovic, 2009).

E. DIAGNOSIS Pada kebanyakan kasus, jarang ditemukan kelainan pada pemeriksaan fisik pasien spondilolistesis. Pasien biasanya mengeluh nyeri di bagian punggung yang disertai dengan nyeri intermitten pada tungkai. Spondilolistesis sering menyebabkan spasme otot, atau kekakuan pada betis. Spondilolistesis mudah didiagnosis dengan menggunakan foto polos tulang belakang. X-ray lateral akan menunjukkan kelainan apabila terdapat vertebra yang bergeser ke depan dibandingkan dengan vertebra didekatnya.

Spondilolistesis dibagi berdasarkan derajat persentase pergeseran vertebra dibandingkan dengan vertebra didekatnya, yaitu: 1. Derajat I: pergeseran kurang dari 25% 2. Derajat II diantara 26-50% 3. Derajat III diantara 51-75% 4. Derajat IV diantara 76-100% 5. Derajat V, atau spondiloptosis terjadi ketika vertebra telah terlepas dari tempatnya.

27

Gambar 1. Pengukuran Derajat Spondilolisthesis

Gambar 2. Spondilolisthesis Grade I

28

Gambar 3. Spondilolisthesis Traumatik Grade IV.

Jika pasien mengeluh nyeri, kebas-kebas, kelemahan pada tungkai, pemeriksaan penunjang tambahan mungkin diperlukan. Gejala-gejala ini dapat disebabkan stenosis atau penyempitan ruang tempat lewatnya saraf pada tungkai. CT scan atau MRI dapat membantu mengidentifikasi kompresi saraf yang berhubungan dengan spondilolistesis. Pada keadaan tertentu, PET scan dapat membantu menentukan adanya proses akftif pada tulang yang mengalami kelainan. Pemeriksaan ini juga berperan dalam menentuskan terapi pilihan untuk spondilolistesis (Japardi, 2002).

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG Berikut adalah pemeriksaan-pemeriksaan yang menunjang diagnosis

spondilolisthesis: 1. X-ray Pemeriksaan awal untuk spondilolistesis yaitu foto AP, lateral, dan spot view radiograffi dari lumbal dan lumbosacral junction. Foto oblik dapat memberikan informasi tambahan, namun tidak rutin dilakukan. Foto lumbal

29

dapat memberikan gambaran dan derajat spondilolistesis tetapi tidak selalu membuktikan adanya isolated spondilolistesis. 2. Computed tomography (CT) scan CT scan dengan potongan 1 mm, koronal ataupun sagital, dapat memeberikan gambaran yang lebih baik dari spondilolistesis. CT scan juga dapat membantu menegakkan penyebab spondilolistesis yang lebih serius. 3. Magnetic resonance imaging (MRI) MRI dapat memperlihatkan adanya edema pada lesi yang akut. MRI juga dapat menentukan adanya kompresi saraf spinal akibat stenosis dadri kanalis sentralis. 4. EMG EMG dapat mengidentifikasi radikulopati lainnya atau poliradikulopati (stenosis), yang dapat timbul pada spondilolistesis (Shiel Jr, William C).

G. PENATALAKSANAAN 1. Nonoperatif Pengobatan untuk spondilolistesis umumnya konservative. Pengobatan non operative diindikasikan untuk semua pasien tanpa defisit neurologis atau defisit neurologis yang stabil. Hal ini dapat merupakan pengurangan berat badan, stretching exercise, pemakaian brace, pemakain obat anti inflamasi. Hal terpenting dalam manajemen pengobatan spondilolistesis adalah motivasi pasien. 2. Operatif Pasien dengan defisit neurologis atau nyeri yang mengganggu aktifitas, yang gagal dengan non operative manajemen diindikasikan untuk operasi. Bila radiologis tidak stabil atau terjadi progresivitas slip dengan serial x-ray

30

disarankan untuk operasi stabilisasi. Jika progresivitas slip menjadi lebih 50% atau jika slip 50% pada waktu diagnosis, ini indikasi untuk fusi. Pada high grade spondilolistesis walaupun tanpa gejala, fusi tetap harus dilakukan. Dekompresi tanpa fusi adalah logis pada pasien dengan simptom oleh karena neural kompresi. Bila manajemen operative dilakukan pada dewasa muda maka fusi harus dilakukan karena akan terjadi peningkatan slip yang bermakna bila dilakukan operasi tanpa fusi. Jadi indikasi fusi antara lain: usia muda, progresivitas slip lebih besar 25%, pekerja yang sangat aktif, pergeseran 3mm pada fleksi/ekstensi lateral x-ray. Fusi tidak dilakukan bila multi level disease, motivasi rendah, aktivitas rendah, osteoporosis, habitual tobacco abuse. Pada habitual tobacco abuse angka kesuksesan fusi menurun. Brown dkk mencatat pseudoarthrosis (surgical non union) rate 40% pada perokok dan 8% pada tidak perokok. Fusi insitu dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan: a. b. c. anterior approach posterior approach (yang paling sering dilakukan) posterior lateral approach (Irani, Z).

H. KOMPLIKASI Progresifitas dari pergeseran dengan peningkatan tekanan ataupun penarikan (traction) pada saraf spinal, bisa menyebabkan komplikasi. Pada pasien yang membutuhkan penanganan dengan pembedahan untuk menstabilkan

spondilolistesis, dapat terjadi komplikasi seperti nerve root injury (<1%), kebocoran cairan serebrospinal (2%-10%), kegagalan melakukan fusi (5%-25%), infeksi dan perdarahan dari prosedur pembedahan (1%-5%). Pada pasien yang perokok, kemungkinan untuk terjadinya kegagalan pada saat melakukan fusi ialah (>50%). Pasien yang berusia lebih muda memiliki resiko yang lebih tinggi untuk menderita spondilolistesis isthmic atau congenital yang lebih progresif.

31

Radiografi serial dengan posisi lateral harus dilakukan setiap 6 bulan untuk mengetahui perkembangan pasien ini (Japardi, 2002).

I.

PROGNOSIS Pasien dengan fraktur akut dan pergeseran tulang yang minimal kemungkinan akan kembali normal apabila fraktur tersebut membaik. Pasien dengan perubahan vertebra yang progresif dan degenerative kemungkinan akan mengalami gejala yang sifatnya intermiten. Resiko untuk terjadinya spondilolistesis degenerative meningkat seiring dengan bertambahnya usia, dan pergeseran vertebra yang progresif terjadi pada 30% pasien. Bila pergeseran vertebra semakin progresif, foramen neural akan semakin dekat dan menyebabkan penekanan pada saraf (nerve compression) atau sciatica hal ini akan membutuhkan pembedahan dekompresi (Japardi, 2002).

32

KEPUSTAKAAN

1.

Irani,

Z.

Spondylolisthesis

Imaging.

Diunduh

dari [Diakses

http://emedicine.medscape.com/article/396016-overview#showall tanggal 14 Desember 2012]. 2.

Japardi, I. 2002, Spondilolistesis. Dalam USU digital Library. Fakultas Kedokteran, Bagian Bedah, Universitas Sumatera Utara.

3.

Nicrovic, Peter. A. 2009. Back pain in children and adolescents: Overview of causes. UpToDate Systematic review ver. 17.3.

4.

Shiel Jr, William C. Spondylolisthesis. MedicineNet.com. Diunduh dari: http://www.medicinenet.com/spondylolisthesis/page2.htm [Diakses tanggal 14 Desember 2012].

5.

Sjamsuhidajat R, Jong Wd. 2005. Spondilolistesis. Dalam: Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi ke-2. Jakarta: EGC. 835.

6.

Word

press.

2011.

Spondylolisthesis.

Diunduh

dari

http://www.spondylolisthesis.org/ [Diakses tanggal 14 Desember 2012].

Anda mungkin juga menyukai