Anda di halaman 1dari 19

TUGAS STASE ILMU PENYAKIT MATA

IRIDOSIKLITIS & HIFEMA


Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Pendidikan Profesi Dokter

Dokter Pembimbing : Dr. Suyatno, Sp.M

Diajukan Oleh : Dian Restu Amalia, S.Ked J500070047

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2012

IRIDOSIKLITIS
A. Definisi Uveitis anterior atau iridosiklitis merupakan peradangan iris dan bagian depan korpus siliare (pars plikata), kadang-kadang menyertai peradangan bagian belakang bola mata, kornea dan sklera. Peradangan ini sulit menemukan penyebabnya, sedangkan gambaran kliniknya mudah diketahui dengan jelas. Penyakit ini dihubungkan dengan trauma bola mata, dan juga karena berbagai penyakit sistemik seperti juvenile rheumatoid, artritis, ankylosing spondilitis, Sindrom Reiter, sarcoidosis, herpes zoster, dan sifilis.

B. Patofisiologi Penyakit peradangan traktus uvealis umumnya unilateral, biasanya terjadi pada oreng dewasa dan usia pertengahan. Pada kebanyakan kasus penyebabnya tidak diketahui. Berdasarkan patologi dapat dibedakan dua jenis besar uveitis: yang non-granulomatosa (lebih umum) dan granulomatosa. Uveitis non-granulomatosa terutama timbul di bagian anterior traktus ini, yaitu iris dan korpus siliaris. Terdapat reaksi radang, dengan terlihatnya infiltrat sel-sel limfosit dan sel plasma dengan jumlah cukup banyak dan sedikit mononuklear. Pada kasus berat dapat terbentuk bekuan fibrin besar atau hipopion di kamera okuli anterior. Badan siliar berfungsi sebagai pembentuk cairan bilik mata (humor aqueus) yang memberi makanan kepada lensa dan kornea. Dengan adanya peradangan di iris dan badan siliar, maka timbullah hiperemi yang aktif, pembuluh darah melebar, pembentukan cairan bertambah, sehingga dapat menyebabkan glaukoma sekunder. Selain oleh cairan bilik mata, dinding pembuluh darah dapat juga dilalui oleh sel darah putih, sel darah merah, dan eksudat yang akan mengakibatkan tekanan osmose cairan bilik mata bertambah dan dapat mengakibatkan glaukoma. Cairan dengan lain-lainya ini, dari bilik mata belakang melalui celah antar lensa iris, dan pupil ke kamera okuli anterior. Di kamera okuli anterior, oleh karena iris banyak mengandung pembuluh darah, maka suhunya meningkat dan berat jenis cairan berkurang, sehingga cairan akan bergerak ke atas. Di daerah kornea karena tidak

mengandung pembuluh darah, suhu menurun dan berat jenis cairan bertambah, sehingga di sini cairan akan bergerak ke bawah. Sambil turun sel-sel radang dan fibrin dapat melekat pada endotel kornea, membentuk keratik presipitat yang dari depan tampak sebagai segitiga dengan endapan yang makin ke bawah semakin besar. Di sudut kamera okuli anterior cairan melalui trabekula masuk ke dalam kanalis Schlemn untuk menuju ke pembuluh darah episklera. Bila keluar masuknya cairan ini masih seimbang maka tekanan mata akan berada pada batas normal 1520 mmHg. Sel radang dan fibrin dapat pula menyumbat sudut kamera okuli anterior, sehingga alirannya terhambat dan terjadilah glaukoma sekunder. Galukoma juga bisa terjadi akibat trabekula yang meradang atau sakit. Elemen darah dapat berkumpuk di kamera okuli anteror dan timbullah hifema (bila banyak mengandung sel darah merah) dan hipopion (yang terkumpul banyak mengandung sel darah putihnya). Elemen-elemen radang yang

mengandung fibrin yang menempel pada pupil dapat juga menagalami organisasi, sehingga melekatkan ujung iris pada lensa. Perlekatan ini disebut sinekia posterior. Bila seluruh iris menempel pada lensa, disebut seklusio pupil sehingga cairan yang dari kamera okuli posterior tidak dapat melalui pupil untuk masuk ke kamera okuli anterior, iris terdorong ke depan, disebut iris bombe dan menyebabkan sudut kamera okuli anterior menyempit, dan timbullah glaukoma sekunder. Perlekatanperlekatan iris pada lens menyebabkan bentuk pupil tidak teratur. Pupil dapat pula diisi oleh sel-sel radang yang menyebabkan organisasi jaringan dan terjadi oklusi pupil. Peradangan badan siliar dapat pula menyebabkan kekeruhan pada badan kaca, yang tampak seperti kekeruhan karena debu. Dengan adanya peradangan ini maka metabolisme pada lensa terganggu dan dapat mengakibatkan katarak. Pada kasus yang sudah lanjut, kekeruhan badan kaca pun dapat mengakibtakan organisasi jaringan yang tampak sebagai membrana yang terdiri dari jaringan ikat dengan neurovaskularisasi dari retina yang disebut retinitis proloferans. Pada kasus yang lebih lanjut lagi dapat mengakibatkan ablasi retina.

C. Gambaran Klinis 1. Gejala Subyektif Gejala subyektif uveitis anterior dapat berupa rasa nyeri, fotofobia , lakrimasi, dan mata kabur.

2. Gejala Obyektif Pemeriksaan dilakukan dengan lampu celah, oftalmoskopik direk dan indirek, bila diperlukan angiografi fluoresen atau ultrasonografi. a. Hiperemi Pemeriksaan dilakukan dengan iluminasi fokal dalam ruang gelap. Merupakan gambaran bendungan pembuluh darah sekitar kornea atau limbus. Gambaran merupakan hiperemi pembuluh darah siliar 360 sekitar limbus, berwarna ungu. b. Keratik presipitat Terjadi karena pengendapan agregasi sel radang dalam bilik mata depan pada endotel kornea akibat aliran konveksi aquos humor, gaya berat dan perbedaan potensial listrik endotel kornea. Lokalisasi dapat di bagian tengah dan bawah dan juga difus. c. Edema kornea disebabkan oleh perubahan endotel dan membran Descemet dan neovaskularisasi kornea. d. Kekeruhan bilik mata depan dapat disebabkan oleh meningkatnya kadar protein, sel, dan fibrin. e. Efek tyndal menunjukkan ada atau menetapnya peradangan dalam bola mata. f. Hipopion Merupakan pengendapan sel radang pada sudut bilik mata depan bawah. g. Hiperemi iris. h. Miosis pupil. Pupil mengecil karena edema dan pembengkakan stroma iris karena iritasi akibat peradangan langsung pada sfingter pupil. Reaksi pupil terhadap cahaya lambat disertai nyeri. i. Sinekia posterior. Merupakan perlengketan iris dengan kapsul depan lensa. Perlengketan dapat berbentuk benang atau dengan dasar luas dan tebal. Bila luas akan menutupi pupil, dengan pemberian midriatika akan berbentuk bunga. Bila eksudasi fibrin membentuk sinekia seperti cinein, bila seklusi sempurna akan memblokade pupil (iris bombe). j. Oklusi pupil. Ditandai dengan adanya blok pupil oleh seklusi dengan membran radang pada pinggir pupil.

k. Atrofi iris. Merupakan degenerasi tingkat stroma dan epitcl pigmen belakang. l. Pengendapan sel radang. Akibat eksudasi ke dalam akuos di atas kapsul lensa terjadi pengendapan pada kapsul lensa. Pada pemeriksaan lampu celah ditemui kekeruhan kecil putih keabuan, bulat, menimbul, tersendiri atau berkelompok pada permukaan lensa. m. Pengendapan pigmen. Bila terdapat kelompok pigmen yang besar pada permukaan kapsul depan lensa, menunjukkan bekas sinekia posterior yangtelah lepas. n. Perubahan kejernihan lensa. Kekeruhan lensa disebabkan oleh toksik metabolik akibat peradangan uvea dan proses degenerasi-proliferatif karena pembentukan sinekia posterior. Luas kekeruhan tergantung pada tingkat perlengketan lensa-iris, hebat dan lamanya penyakit. o. Perubahan tekanan bola mata. Tekanan bola mata pada uveitis anterior dapat rendah (hipotoni), normal atau meningkat (hipertoni).

Tabel 2. Perbedaan Uveitis Granulomatosa dan Non Granulomatosa Non granulomatosa Onset Sakit Fotofobia Penglihatan kabur Merah sirkumkorneal Presipitat keratik Pupil Akut Nyata Nyata Sedang Nyata Putih halus Kecil dan tak tratur Granulomatosa Tersembunyi Tak ada atau ringan Ringan Nyata Ringan Kelabu besar Kecil dan tak teratur

(bervariasi) Sinekia posterior Nodul iris Tempat Perjalanan Rekurensi Kadang-kadang Kadang-kadang Uvea anterior Akut Sering Kadang-kadang Kadang-kadang Uvea anterior dan posterior Menahun Kadang-kadang

D. Pemeriksaan Penunjang 1. Radiografi thorak untuk Sarkoidosis dan TB 2. Tes darah rutin untuk membedakan penyebab bakteri atau virus dan mengetahui keganasan seperti limfoma dan leukimia. 3. FTA-ABS test untuk Sifilis 4. VRDL untuk sifilis 5. Purified protein derivative (PPD) test untuk TB 6. Angiotensin-converting enzyme (ACE) test untuk Sarkoidosis 7. Antinuclear antibody (ANA) untuk SLE dan juvenile rheumatoid arthritis. 8. HLA-B27 typing untuk ankylosing spondilytis, sindrom

Reiter, inflammantory bowel disease,psoriasis artritis, sindrom Behcet. 9. Gallium scan untuk Sarkoidosis 10. Anergy evaluation untuk Sarkoidosis 11. Toxoplasmosis enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) 12. MRI pada kepala akan membantu dalam penegakan cases of

intraocular (CNS) lymphoma. 13. Pada pasien dengan indikasi sarkoidosis dan pada pemeriksaan radiografi thorak negatif, pemeriksaan CT thorak untuk mengetahui hilar adenopathy.

E. Penatalaksanaan Tujuan terapi uveitis anterior, antara lain: 1. Mengembalikan tajam penglihatan 2. Mengurangi rasa nyeri di mata 3. Mengeliminasi peadangan atau penyebab pradangan 4. Mencegah terjadinya sinekia iris 5. Mengendalikan tekanan intraokular. Sedangkan prinsip pengobatan uveitis antara lain: 1. Menekan peradangan 2. Mengeliminir agen penyebab 3. Menghindari efek samping obat yang merugikan pada mata dan organ tubuh di luar mata.

Terapi Non Spesifik 1. Midriatik-sikloplegik Semua sikloplegik merupakan agen antagonis kolinergik yang bekerja dengan menghambat neurotransmiter pada reseptor sfingter iris dan korpus silier. Pada pengobatan uveitis anterior sikloplegik bekerja dengan 3 cara yaitu: a. b. Mengurangi nyeri karena imobilisasi iris Mencegah adesi iris ke kapsula lensa anterior (sinekia posterior), yang dapat meningkatkan tekanan intraokular dan menyebabkan glaukoma sekunder. c. Menyetabilkan blood-aqueous barrier dan mencegah terjadinya flare. Agen sikloplegik yang digunakan dalam terapi uveitis anterior antara lain Atropine, Homatropin, Scopolamine, Cyclopentolate. 2. Kortikosteroid Semua orang setuju bahwa kortikosteroid merupakan terapi non spesifik yang bermanfaat pada uveitis. a. Lokal Pengobatan uveitis anterior dengan steroid dan midriatik sikloplegik lokal adalah paling logis dan efektif. Dosis maksimal dapat dicapai dengan efek samping yang minimal. Dan apabilaterjadi komplikasi, maka obat ini dapat segera distop.

Tetes mata

Peradangan pada kornea bagian dalam dan uveitis diberikan preparat dexametason, betametason dan prednisolon karena penetrasi intra okular baik, sedangkan preparat medryson, fluorometolon dan hidrokortison hanya dipakai pada peradangan pada palpebra, konjungtiva dan kornea superfisial. Pemakaian steroid tetes mata akan mengakibatkan komplikasi seperti: Glaukoma, katarak, penebalan kornea, aktivasi infeksi, midriasis pupil, pseudoptosis dan lain-lain.

Injeksi peri-okular diberikan dalam bentuk long acting berupa Depo maupun

Dapat

bentuk short acting berupa solutio. Keuntungan injeksi peri-okular adalah dicapainya efek anti peradangan secara maksimal di mata dengan efek samping sistemik yang minimal.

Indikasi injeksi peri-okular adalah : 1) Apabila pasien tidak responsif terhadap pengobatan tetes mata, maka injeksi peri-okular dapat dianjurkan. 2) Uveitis unilateral. 3) Pre operasi pada pasien yang akan dilakukan operasi mata. 4) Anak-anak. 5) Komplikasi edema sistoid makula pada pars planitis. Penyuntikan steroid peri-okular merupakan kontra indikasi pada uveitis infeksi (toxoplasmosis) dan skleritis. Komplikasi injeksi peri-okular : 1) Perforasi bola mata. 2) Injeksi yang berulang menyebabkan proptosis, fibrosis otot ektra okular dan katarak sub-kapsular posterior. 3) Glaukoma yang persisten terhadap pengobatan, terutama dalam bentuk Depo di mana dibutuhkan tindakan bedah untuk mengangkat steroid tersebut dari bola mata. 4) Astrofi lemak sub-dermal pada teknik injeksi via palpebra. b. Sistemik Pengobatan kortikosteroid bertujuan mengurangi cacat akibat peradangan dan perpanjangan periode remisi. Banyak dipakai preparat prednison dengan dosis awal antara 12 mg/kg BB/hari, yang selanjutnya diturunkan perlahan selang sehari (alternating single dose). Dosis prednison

diturunkan sebesar 20% dosis awal selama 2 minggu pengobatan, sedangkan preparat prednison dan dexametaxon dosis diturunkan tiap 1 mg dari dosis awal selama 2 minggu. Pada uveitis kronis dan anak-anak bisa terjadi komplikasi serius seperti supresi kelenjar adrenal dan gangguan pertumbuhan badan, maka diberikan dengan cara alternating single dose. Pemakaian kortikosteroid dalam jangka waktu yang lama akan terjadi efek samping yang tidak diingini seperti Sindrom Cushing, hipertensi, Diabetes mellitus, osteoporosis, tukak lambung, infeksi, hambatan pertumbuhan anak, hirsutisme, dan lain-lain. 3. Imunosupresan

a.

Sitostatika Pengobatan sitostatika digunakan pada uveitis kronis yang refrakter terhadap steroid. Di RSCM telah dipakai preparat klorambusil 0,10,2 mg/kg BB/hari, dosis klorambusil ini dipertahankan selama 23 bulan lalu diturunkan sampai 58 mg selama 3 bulan dan dosis maintenance kurang dari 5 mg/hari, sampai 612 bulan. Selain itu juga dipakai preparat Kolkhisindosis 0,5 mg1 mg/peroral/2 kali/hari. Dosis letak adalah 7 mg/hari. Preparat sitostatika ini menekan respons imun lebih spesifik dibandingkan kortikosteroid, tetapi pengobatan sitostatika ini mempunyai risiko terjadinya diskrasia darah, alopesia, gangguangastrointestinal, sistitis hemoragik, azoospermia, infeksi oportunistik, keganasan dan kerusakan kromosom. Indikasi sitostatika: Pengobatan steroid inefektif atau intolerable, Penyakit Behcet, Oftalmia simpatika, Uveitis pada JRA (Juvenile rheumatoid arthritis) Kontra indikasi sitostatika: Uveitis dengan etiologi infeksi. Bila tidak ada : Internist/hematologist, monitoring sumsum tulang, penanganan efek samping akut

b.

Siklosporin A Siklosporin A (CsA) adalah salah satu obat imunosupresan yang relatif baik yang tidak menimbulkan efek samping terlalu berat dan bekerja lebih selektif terhadap sel limfosit T tanpa menekan seluruh imunitas tubuh; pada pemakaian kortikosteroid dan sitostatik akan terjadi penekanan dari sebagian besar sistem imunitas, seperti menghambat fungsi sel makrofag, sel monosit dan sel neutrofil. Selain itu CsA tidak menyebabkan depresi sumsum tulang dan tidak mengakibatkan efek mutagenik seperti obat sitostatika.

Terapi Spesifik 1. Toxoplasmosis. Pengobatan anti toxoplasma yang paling ideal adalah terapi kombinasi. a. Sulfadiazin atau trisulfa : Dosis 4 kali 0.51 gr/hari selama 36 minggu.

b.

Pirimetamin : Dosis awal 75100 mg pada hari pertama, selanjutnya 2 kali 25 mg/hari selama 36 minggu.

c.

Trimethoprim-sulfamethoxazol (Bactrim)

Dosis

kali

tablet Bactrim selama 46 minggu. Untuk mencegah depresi sumsum tulang diberikan preparat tablet asam folinat 5 mg tiap 2 hari. d. Klindamisin : Sebagai pengganti pirimetamin, yang bekerja sinergik dengan preparat sulfa. Secara invivo pada experimen obat ini dapat menghancurkan kista toxoplasma pada jaringan retina. Dosis: 3 kali 150 300 mg/hari/oral. Pemberian sub-konjungtiva klindamisin 50 mg

dilaporkan memberi hasil baik. e. Spiramisin : Diberikan pada wanita hamil dan anak-anak karena efek samping yang minimal. Obat ini kurang efektif dalam mencegah rekurensi. f. Minosiklin : Dosis 12 kapsul sehari selama 46 minggu.

Fotokoagulasi dengan laser apabila tidak ada respon terapi medikamentosa. 2. Herpes simplex : Pada keratouveitis Herpes simplex diberikan topikal antivirus seperti asiklovir dan sikloplegik. Apabila epitel kornea intact/sembuh maka dapat diberikan topikal steroid bersama antivirus. Diberikan juga asiklovir 5 kali 200 mg/hari selama 23 minggu yang kemudian diturunkan 2 atau 3 tablet/hari. Pada kasus retinitis Herpes simplex dan ARN (Acute retinal necrosis) diberikan asiklovir intravena dengan dosis awal 5 mg/kgBB/kali yang dapat diberikan 3 kali per hari. 3. Herpes zoster : Diberikan asiklovir 5 kali 400 mg pada keadaan akut selama 1014 hari. Kortikosteroid sistemik diberikan pada orang tua untuk mencegah terjadi post herpetic neuralgia. Pada uveitis anterior diberikan steroid dan sikloplegik topikal. 4. Sitomegalovirus : DHPG (Gancyclovir) 5 mg/kgBB/dalam 2 kali pemberian intravena Foscarnet: 20 mg/kgBB/perinfus.

Berhasil tidaknya pengobatan tergantung oleh daya tahan tubuh serta adanya virulensi dari faktor penyebab iridosiklitis. Oleh karenanya pemberian

kortikosteroid tidak akan berhasil apabila tidak disertai pengobatan penyebabnya. Keadaan umum diperbaiki untuk memperbaiki daya tahan tubuh. Istirahat di tempat tidur, terlindung dari cahaya, tidak boleh membaca, dilarang minum alkohol (dapat menyebabkan hiperemi), memakan makanan yang mudah dicerna, dan memakai kaca mata hitam. Selain itu jangan lupa memeriksa bagian-bagian tubuh yang lain seperti: gigi, telinga, hidung, tenggorokan, traktus urogenitalis, traktus digestivus, kulit, dan bagian lain. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui penyebab dan juga mengobati penyebab tersebut.

F. Komplikasi Ada empat komplikasi utama uveitis anterior antara lain: katarak, glaukoma, band keratopathy, dancystoid macular edema (CME). Katarak

subcapular posterior merupakan salah satu komplikasi dari pengobatan uveitis anterior berupa penggunaan kortikosteroid topikal jangka panjang. Glaukoma sekunder yang terjadi dapat disebabkan oleh beberapa mekanisme, antara lain: 1. Gangguan sirkulasi humor aqueous karena tersumbat oleh sel radang. 2. Sinekia posterior memungkinkan humor aqueous terkumpul di belakang iris. 3. Sinekia anterior peripheral prograsif menutup sudut bilik mata. 4. Cortikosteroid topikal yang digunakan pada terapi dapat meningkatkan tekanan intra okular. 5. Rubeosis iridis menyebabkan neovaskular glaukoma 6. Band keratopathi terjadi pada uveitis yang lama. Terjadi karena penumpukan calsium pada kornea anterior. 7. Edema kistoid makuler dapat terjadi pada uveitis anterior yang lama. CME mungkin disebabkan karena penurunan kadar prostaglandin.

HIFEMA
A. Definisi Hifema adalah keadaan dimana terdapat darah di dalam bilik mata depan. Adanya hifema memiliki beberapa konsekuensi, yaitu peningkatan tekanan intraokuler, kornea terkena darah, pembentukan sinekia posterior atau anterior, dan katarak. Oleh karena hifema dapat menyebabkan penurunan penglihatan yang signifikan, maka setiap dokter mata harus memperhatikan diagnosis, evaluasi, dan tata laksana hifema.

B. Klasifikasi Hifema dapat diklasifikasikan berdasarkan banyaknya darah yang terakumulasi di bilik mata depan. Berikut adalah table klasifikasi hifema. Tabel 1. Klasifikasi Hifema Tingkat I II III IV Ukuran Hifema Kurang dari 1/3 1/3 1/2 hampir total Total

Mikroskopik Hanya beberapa eritrosit, tidak tampak jelas kumpulan darah

C. Patofisiologi Trauma tumpul menyebabkan kompresi bola mata, disertai peregangan limbus, dan perubahan posisi dari iris atau lensa. Hal ini dapat meningkatkan tekanan intraokuler secara akut dan berhubungan dengan kerusakan jaringan pada sudut mata. Perdarahan biasanya terjadi karena adanya robekan pembuluh darah, antara lain arteri-arteri utama dan cabang-cabang dari badan siliar, arteri koroidalis, dan vena-vena badan siliar. Adanya darah pada bilik mata depan memiliki beberapa temuan klinis yang berhubungan. Resesi sudut mata dapat ditemukan setelah trauma tumpul mata. Hal ini menunjukkan terpisahnya serat longitudinal dan sirkular dari otot siliar. Resesi

sudut mata dapat terjadi pada 85 % pasien hifema dan berkaitan dengan timbulnya glaukoma sekunder di kemudian hari. Iritis traumatik, dengan sel-sel radang pada bilik mata depan, dapat ditemukan pada pasien hifema. Pada keadaan ini, terjadi perubahan pigmen iris walaupun darah sudah dikeluarkan. Perubahan pada kornea dapat dijumpai mulai dari abrasi endotel kornea hingga ruptur limbus. Kelainan pupil seperti miosis dan midriasis dapat ditemukan pada 10 % kasus. Tanda lain yang dapat ditemukan adalah siklodialisis, iridodialisis, robekan pupil, subluksasi lensa, dan ruptur zonula zinn. Kelainan pada segmen posterior dapat meliputi perdarahan vitreus, jejas retina (edema, perdarahan, dan robekan), dan ruptur

koroid. Atrofi papil dapat terjadi akibat peninggian tekanan intraokular. Perdarahan pada bilik mata depan mengakibatkan teraktivasinya mekanisme hemostasis dan fibrinolisis. Peningkatan tekanan intraokular, spasme pembuluh darah, dan pembentukan fibrin merupakan mekanisme pembekuan darah yang akan menghentikan perdarahan. Bekuan darah ini dapat meluas dari bilik mata depan ke bilik mata belakang. Bekuan darah ini biasanya berlangsung hingga 4-7 hari. Setelah itu, fibrinolisis akan terjadi. Setelah terjadi bekuan darah pada bilik mata depan, maka plasminogen akan diubah menjadi plasmin oleh aktivator kaskade koagulasi. Plasmin akan memecah fibrin, sehingga bekuan darah yang sudah terjadi mengalami disolusi. Produk hasil degradasi bekuan darah, bersama dengan sel darah merah dan debris peradangan, keluar dari bilik mata depan menuju jalinan trabekular dan aliran uveaskleral.

D. Gejala dan tanda Sering terdapat riwayat trauma mata. Pasien dapat mengeluh adanya nyeri pada mata yang terkena, dan penurunan fungsi penglihatan. Harus juga ditanya mengenai adanya kelainan perdarahan, penyakit sickle cell, adanya pemakaian antikoagulan dan kondisi sistemik lain seperti kehamilan, penyakit ginjal dan hati, yang dapat dipengaruhi oleh tatalaksana hifema. Pasien harus ditanyakan ke arah adanya penyakit okular lain seperti glaukoma, yang dapat meningkatkan risiko peningkatan TIO paska trauma. Pemeriksaan mata yang lengkap harus dilakukan pada setiap kasus. Curigai adanya kerusakan mata terbuka sampai terbukti sebaliknya. Setiap kontrol, visus, kerusakan jaringan, luas hifema dan TIO harus dicatat. Slit lamp digunakan untuk

mendeskripsikan detail akumulasi darah. Bekuan harus dibedakan dari sel darah merah yang bebas bersirkulasi.Ukuran hifema dapat dideskripsi tinggi, grade dan posisi berdasar arah jarum jam. Pada pemeriksaan dapat ditemukan penurunan visus dengan sel darah merah tersebar difus pada bilik mata depan (mikrohifema) lapisan darah di inferior atau bilik mata depan yang terisi penuh oleh darah sehingga segmen posteiro tidak dapat dilihat dengan oftalmoskop. Bila hifema luas, mata dapat terlihat terisi darah, berwarna merah gelap dan disebut hifema eight ball. Tekanan intraocular dapat meningkat karena adanya hambatan drainase humor aqueous oleh darah, atau mata dapat melunak karena penurunan produksi humor aqueous sekunder akibat trauma korpus siliaris. Gonioskopi atau penekanan sklera harus dihindari. Pupil sering ireguler dan refleks cahayanya menurun. Hifema traumatik, tidak melihat keparahannya, sering disertai somnolen yang bermakna, terutama pada anak, sehingga neurolog mencurigai adanya komplikasi neurologik. Namun hifema sendiri dapat menjadi penyebab tersendiri dari somnolen ini walaupun adanya kontusio atau kerusakan saraf yang lebih berat harus selalu dipikirkan.

E. Pemeriksaan Penunjang 1. USG Lima persen cedera mata dengan hifema disertai kerusakan struktur segmen posterior. Karenanya penting untuk mengevaluasi adanya perluasan kerusakan di segmen posterior. 2. Pemeriksaan Laboratorium Pada ras tertentu seperti kulit hitam dan Hispanik, perlu dilakukan pemeriksaan ke arah kemungkinan penyakit sickle cell dengan cara pemeriksaan slide darah merah, elektroforesis hemoglobin, fungsi pembekuan darah, fungsi ginjal dan hati (menunda tatalaksana obat-obatan seperti perlunya pemberian

antifibrinolitik atau tidak) 3. Pemeriksaan Radiologik Pemeriksaan radiologik tidak dilakukan secara rutin, namun CT Scan dapat terindikasi pada kerusakan mata terbuka atau kecurigaan fraktur orbita.

F. Tatalaksana: Terapi medis dan suportif harus diarahkan untuk: - Menurunkan angka kejadian perdarahan ulang (rebleeding) - Membersihkan hifema - Memperbaiki kerusakan jaringan yang terkait - Minimalisasi sequelae jangka panjang Pembedahan terindikasi pada: - Peningkatan tekanan intraokuler yang tidak respon terhadap pengobatan - Pewarnaan kornea oleh darah Pasien harus difollow up ketat, pasien dengan sickle cell memerlukan manajemen yang lebih ketat dan agresif. 1. Terapi suportif: a. Bedrest. Kebanyakan studi tidak menemukan perbedaan hasil akhir signifikan pada tirah baring sedang maupun tirah baring total. b. Patching/ proteksi pelindung metal. Biasanya diperlukan untuk mencegah kerusakan mata lebih lanjut pada 5 hari pertama setelah kejadian. c. Elevasi kepala. Mempercepat sedimentasi darah sehingga memfasilitasi pemeriksaan segmen posterior dan pemulihan fungsi penglihatan. 2. Terapi medis: a. Aspirin: efek antiplatelet dan pemanjangan bleeding time. b. Sikloplegik: stabilisasi barier darah-aqueous, meningkatkan kennyamanan pasien terutama pada iritis traumatik, dan memfasilitasi evaluasi segmen posterior. Namun atropin topikal tidak memiliki efek benefisial terhadap rebleeding, resorpsi darah atau perbaikan penglihatan. c. Miotik: dihindari karena cendrung mengeksaserbasi inflamasi dan berakhir pada pembentukan sinekia. d. Antifibrinolitik (c/o asam aminokaproat, asam traneksamat) berfungsi melambatkan laju lisis bekuan. e. Fibrinolitik: TPA40 dosis 10 mg injeksi intrakamera, mungkin berperan pada bekuan yang stagnan. f. Kortikosteroid. Topikal, untuk mencegah terjadinya iritis traumatik dan memberi kenyamanan. Steroid sistemik kadang lebih disukai, berupa prednison 40 mg/hari dalam dosis terbagi efektif menurunkan kejadian

rebleeding, namun efek sampingnya harus diperhatikan terutama selain pada pasien muda dan sehat yang toleransinya baik. 3. Pembedahan Dibutuhkan pada 5% kasus. Indikasi tradisionalnya berupa: peningkatan TIO >50mmHg selama 5 hari atau >35 mmHg selama 7 hari untuk menghindari kerusakan saraf optik, peningkatan TIO >25 mmHg selama 5 hari pada kasus hifema total/hampir total untuk mencegah pewarnaan kornea oleh darah, atau bekuan stagnan yang besar dan bertahan 10 hari untuk mencegah sinekia anterior perifer. Saat ini pembedahan direkomendasi bila: TIO tidak respon terhadap terapi medis dalam 24 jam, pasien memiliki penyakit sickle cell atau sickle trait. Teknik yang saat ini dipakai: a. Parasentesis/ pembersihan bilik mata depan dari darah. Metode paling sederhana dan paling aman, dapat mengevakuasi sel darah merah yang bersirkulasi. Keuntungannya meliputi: kemudahan pengerjaan, dapat diulang-ulang, aman bagi konjungitfa atau pembedahan filtrasi nantinya, perdarahan intraoperatif terkontrol, penurunan TIO dengan cepat. b. Expression dan pengeluaran bekuan hifema lewat limbus. Memerlukan insisi luas di limbus dan luka pada konjungtiva. Waktu yang ideal untuk melakukan ekspresi limbus adalah pada hari 4-7 (saat konsolidasi dan retraksi bekuan yang maksimal) Manipulasi cermat untuk menghindari kerusakan epitel kornea, iris dan lensa. c. Pemotongan bimanual/ aspirasi hifema yang menggumpal menggunakan probe vitrektomi, efektif dalam mengangkat baik gumpalan hifema dan maupun sel darah yang tersirkulasi. Intervensi bedah lainnya yang diperlukan termasuk: a. Iridektomi perifer dan trabekulektomi untuk glaukoma b. Iridektomi perifer dengan atau tanpa trabekulektomi untuk blok pupil. c. Siklodiatermi d. Emulsifikasi dan aspirasi ultrasonik

G. Terapi Pasien kooperatif dengan mikrohifema atau hifema minimal harus I kontrol setiap hari selama 5-10 hari untuk memeriksa adanya glaukoma, penurunan fungsi penglihatan, staining kornea, dan rebleeding. Terapi berupa sikloplegik (atropin1%3 x1) pada mata yang terkena untuk mencegah kontraksi korpus siliaris dan pupil dan kerusakan lanjut dari pembuluh-pembuluh darah yang rusak. Antibiotik sesuai indikasi 4x1, steroid tetes 4-8x1 untuk mencegah reaksi fibrinosa di bilik mata depan, pelindung mata dan pengurangan aktivitas sehari-hari. Pasien yang tidak kooperatif, orang dewasa yang tidak kompeten atau anak idealnya dirawat selama 5 hari sejak perdarahan pertama. Pasien harus tirah baring, posisi kepala elevasi 30o, dan memakai penutup (bukan balut tekan) pada mata yang terkena. Sikloplegik, antibiotik dan steroid sama halnya seperti pada pasien rawat jalan. Asam aminokaproat sebagai agen antifibrinolitik dalam dosis 50 mg per kg p.o atau i.v setiap 4 jam hingga dosis maksimum 30 g per 24 jam selama 5 hari dapat menurunkan rebleeding. Predison oral 20 mh 2x1 dapat digunakan sebagai alternatif untuk mencegah rebleeding. Glaukoma sekunder ditatalaksana dengan inbitior karbonat anhidrase oral, penghambat beta topikal, penghambat adrenergik alfa, dan obat-obatan penurun tekanan nonmiotik. Tekanan intraokuler dapat terjadi selama lisis bekuan atau dikemudian hari karena adanya debris sel darah merah (ghost cell glaucoma). Tatalaksana sama halnya dengan glaukoma sekunder. Pasien Afrika-amerika harus diskrining terhadap penyakit sickle cell karena dapat menimbulkan atropi paska peningkatan TIO dalam 24 jam. Agen hiperosmotik dikontraindikasi karena menginduksi bekuan/sludging dalam vaskular.

H. Komplikasi Rebleeding merupakan kekhawatiran utama yang dapat menyertai hifema traumatik karena berhubungan dengan kejadian komplikasi yang tinggi dibandingkan mata yang tidak mengalami rebleeding. Angka kejadiannya bervariasi 3.5-38%. Waktu krusial terjadinya rebleeding adalah 2-5 hari setelah terjadi trauma inisial ketika lisis dan retraksi bekuan terjadi. Kejadian rebleeding

yang lebih tinggi dihubungkan dengan: hifema yang besar, pasien muda, ras kulit hitam dan Hispanik, pasien yang menggunakan aspirin, dan pasien yang datang lebih dari 24 jam setelah trauma inisial. Glaukoma dapat merupakan komplikasi dini atau lanjut. Sekitar 25% mata mengalami TIO >25 mmHg akut dan 10% TIO >35 mmHg. Peningkatan ini kelihatannya akibat gangguan pasase humor aqueous melalui jalur anyaman trabekular karena obstruksi saluran keluarnya oleh sel darah merah, fibrin/aggregat platelet, dan produk degradasi sel. Kerusakan anyaman trabekular langsung karena trauma dan inflamasi memperburuk keadaan seperti halnya penggunaan steroid topikal atau sistemik. Tatalaksana glaukoma yang menyertai hifema tergantung tingkat elevasi TIO dan apakah pasien memiliki penyakit sickle cell. Mula terapi bila TIO >30 mmHg pada keadaan akut dan elevasi TIO >25 mmHg yang persisten 2 minggu. Terapi utama adalah agen penekan produksi humor aqueous topikal dan oral. Agonis alfa. Agonis prostaglandin Agen hiperosmotik oral atau intravena. Baik pada peningkatan TIO akut/ tinggi. Sikloplegik pada kasus blok pupil, iridektomi laser mungkin dibutuhkan. Terapi yang lebih agresif termasuk intervensi bedah diindikasikan pada pasien dengan risiko tambahan (penyakit sickle cell, glaukoma, kerusakan saraf optik) dan pada mata dengan bekuan besar dan/atau kerusakan endotel kornea. Glaukoma lanjut yang timbul mingguan hingga tahunan setelah hifema terjadi karena penurunan sudut (angle recession), ghost cell atau sinekia anterior perifer. Pewarnaan kornea oleh darah terjadi pada 5% pasien, dan dihubungkan dengan hifema yang besar, rebleeding, durasi bekuan yang panjang, peningkatan TIO dan gangguan fungsi endotel.

I. Rebleeding/ Perdarahan Ulang Terjadi pada 1/3 pasien, biasanya antara 2-5 hari setelah trauma inisial dan selalu bervariasi sebelum 7 hari post-trauma. Rebleeding lebih sering terjadi pada ras kulit hitam dari pada kulit putih. Perdarahan kembali biasanya lebih parah daripada perdarahan mulanya, dan prognosis akan penurunan visus, staining kornea oleh darah, dan glaukoma sekunder lebih jelek. Jika tidak terjadi resorpsi darah

dengan segera, pigmen besi akan memasuki kornea, terutama bila TIO meningkat. Bila endotel kornea tidak sehat, staining oleh darah akan terjadi bahkan tanpa peningkatan TIO. Pigmen ini baru dapat menghilang berbulan-bulan kemudian. Pembersihan terjadi dari perifer ke sent ral ssehingga aksis visual adalah yang terakhir teresorpsi. Staining oleh darah dapat menyebabkan ambliopia deprivasi pada anak yang sangat mud, dan balut tekan mata lainnya dipertimbangkan setelah staining kornea yang satu telah bersih. Peningkatan TIO diatasi dengan penghambat andhidrase karbonat oral dan tetes topikal obat penurunun tekanan nonmiotik. Bila rebleeding terjadi selama perawatan, waktu terjadinya rebleeding dianggap sebagai hari inisial dan pasien harus dirawat lagi hingga hifema bersih dan tidak terjadi rebleeding lebih lanjut dalam waktu 7 hari setelahnya.

Terapi pembedahan Indikasi pada 5-10% pasien untuk mencegah glaukoma sekunder, atrofi optik, sinekia anterior perifer, atau staining kornea oleh darah. Staining darah pada kornea terjadi pada hampir semua hifema total bila tekanan intraokuler lebih dari 25 mmHg selama minimal 6 hari. Kerusakan saraf optik dapat diperkirakan terjadi bila TIO 50 mmHg selama minimal 5 hari atau 35 mmHg selama 7 hari. Pasien dengan penyakit vaskular sklerotik atau hemoglobinopati lebih berisiko karena penurunan toleransi okular terhadap gangguan aliran darah. Sinekia anterior perifer biasanya ditemukan pada hifema total yang berlangsung lebih dari 9 hari.

Anda mungkin juga menyukai