Anda di halaman 1dari 34

ASKEP SINDROM GUILLAIN BARRE

31 Oktober 2009

Sindroma Guillain Barre Definisi Sindroma Guillain Barre (SGB) merupakan suatu sindroma klinis yang ditandai adanya paralisis flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus kranialis. ( Bosch, 1998 ) SGB mempunyai banyak sinonim, antara lain :

polineuritis akut pasca infeksi polineuritis akut toksik polineuritis febril poliradikulopati,dan acute ascending paralysis.

Sejarah Pada tahun 1859, seorang neurolog Perancis, Jean-Baptiste Landry pertama kali menulis tentang penyakit ini, sedangkan istilah landry ascending paralysis diperkenalkan oleh Westphal. Osler menyatakan terdapatnya hubungan SGB dengan kejadian infeksi akut. Pada tahun 1916, Guillain, Barre dan Strohl menjelaskan tentang adanya perubahan khas berupa peninggian protein cairan serebrospinal (CSS) tanpa disertai peninggian jumlah sel. Keadaan ini disebut sebagai disosiasi sitoalbuminik. Nama SGB dipopulerkan oleh Draganescu dan Claudian. Menurut Lambert dan Murder mengatakan bahwa untuk menegakkan diagnosa SGB selain berdasarkan gejala klinis,pemeriksaan CSS, juga adanya kelainan pada pemeriksaan EMG dapat membantu menegakkan diagnosa. Terdapat perlambatan kecepatan hantar saraf pada EMG. Epidemiologi Penyakit ini terjadi di seluruh dunia, kejadiannya pada semua musim. Dowling dkk mendapatkan frekwensi tersering pada akhir musim panas dan musim gugur dimana terjadi peningkatan kasus influenza. Pada penelitian Zhao Baoxun didapatkan bahwa penyakit ini hampir terjadi pada setiap saat dari setiap bulan dalam setahun, sekalipun demikian tampak bahwa 60% kasus terjadi antara bulan Juli s/d Oktober yaitu pada akhir musim panas dan musim gugur. Insidensi sindroma Guillain-Barre bervariasi antara 0.6 sampai 1.9 kasus per 100.000 orang pertahun. Selama periode 42 tahun Central Medical Mayo Clinic melakukan penelitian mendapatkan insidensi rate 1.7 per 100.000 orang.

Terjadi puncak insidensi antara usia 15-35 tahun dan antara 50-74 tahun. Jarang mengenai usia dibawah 2 tahun. Usia termuda yang pernah dilaporkan adalah 3 bulan dan paling tua usia 95 tahun. Laki-laki dan wanita sama jumlahnya. Dari pengelompokan ras didapatkan bahwa 83% penderita adalah kulit putih, 7% kulit hitam, 5% Hispanic, 1% Asia dan 4% pada kelompok ras yang tidak spesifik. Data di Indonesia mengenai gambaran epidemiologi belum banyak. Penelitian Chandra menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah dekade I, II, III (dibawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-laki dan wanita hampir sama. Sedangkan penelitian di Bandung menyebutkan bahwa perbandingan laki-laki dan wanita 3 : 1 dengan usia rata-rata 23,5 tahun. Insiden tertinggi pada bulan April s/d Mei dimana terjadi pergantian musim hujan dan kemarau. Etiologi Etiologi SGB sampai saat ini masih belum dapat diketahui dengan pasti penyebabnya dan masih menjadi bahan perdebatan. Beberapa keadaan/penyakit yang mendahului dan mungkin ada hubungannya dengan terjadinya SGB, antara lain:
1. 2. 3. 4. 5.

Infeksi Vaksinasi Pembedahan Penyakit sistematik: Keganasan, systemic lupus erythematosus, tiroiditis, penyakit Addison Kehamilan atau dalam masa nifas

SGB sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik. Insidensi kasus SGB yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% 80%, yaitu 1 sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran pernafasan atas atau infeksi gastrointestinal Salah satu hipotis menyatakan bahwa infeksi virus menyebabkan reaksi autoimun yang menyerang mielin saraf perifer. Infeksi akut yang berhubungan dengan SGB
Infeksi Virus Definite CMVEBV Probable Possible

HIVVaricellaInfluenzaMeaslesMumps zosterVaccinia/smallpox

Rubella Hepatitis Coxsackie Echo

Bakteri

CampylobacterJejeniMycoplasma Typhoid

Borrelia BParatyphoidBrucellosis

Pneumonia Chlamydia Legionella Listeria Patogenesa Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada sindroma ini adalah melalui mekanisme imunlogi. Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah:
1. didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (celi mediated immunity) terhadap agen infeksious pada saraf tepi. 2. adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi 3. didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi saraf tepi.

Proses demyelinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon imunitas seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya, yang paling sering adalah infeksi virus.

Peran imunitas seluler Dalam sistem kekebalan seluler, sel limposit T memegang peranan penting disamping peran makrofag. Prekursor sel limposit berasal dari sumsum tulang (bone marrow) steam cell yang mengalami pendewasaan sebelum dilepaskan kedalam jaringan limfoid dan peredaran. Sebelum respon imunitas seluler ini terjadi pada saraf tepi antigen harus dikenalkan pada limposit T (CD4) melalui makrofag. Makrofag yang telah menelan (fagositosis) antigen/terangsang oleh virus, allergen atau bahan imunogen lain akan memproses antigen tersebut oleh penyaji antigen (antigen presenting cell = APC). Kemudian antigen tersebut akan dikenalkan pada limposit T (CD4). Setelah itu limposit T tersebut menjadi aktif karena aktivasi marker dan pelepasan substansi interlekuin (IL2), gamma interferon serta alfa TNF.

Kelarutan E selectin dan adesi molekul (ICAM) yang dihasilkan oleh aktifasi sel endothelial akan berperan dalam membuka sawar darah saraf, untuk mengaktifkan sel limfosit T dan pengambilan makrofag . Makrofag akan mensekresikan protease yang dapat merusak protein myelin disamping menghasilkan TNF dan komplemen. Patofisiologi

Patologi Pada pemeriksaan makroskopis tidak tampak jelas gambaran pembengkakan saraf tepi. Dengan mikroskop sinar tampak perubahan pada saraf tepi. Perubahan pertama berupa edema yang terjadi pada hari ke tiga atau ke empat, kemudian timbul pembengkakan dan iregularitas selubung myelin pada hari ke lima, terlihat beberapa limfosit pada hari ke sembilan dan makrofag pada hari ke sebelas, poliferasi sel schwan pada hari ke tigabelas. Perubahan pada myelin, akson, dan selubung schwan berjalan secara progresif, sehingga pada hari ke enampuluh enam, sebagian radiks dan saraf tepi telah hancur. Asbury dkk mengemukakan bahwa perubahan pertama yang terjadi adalah infiltrasi sel limfosit yang ekstravasasi dari pembuluh darah kecil pada endo dan epineural. Keadaan ini segera diikuti demyelinisasi segmental. Bila peradangannya berat akan berkembang menjadi degenerasi Wallerian. Kerusakan myelin disebabkan makrofag yang menembus membran basalis dan melepaskan selubung myelin dari sel schwan dan akson. Klasifikasi Beberapa varian dari sindroma Guillan-Barre dapat diklasifikasikan, yaitu: 1. Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy 2. Subacute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy 3. Acute motor axonal neuropathy 4. Acute motor sensory axonal neuropathy 5. Fishers syndrome 6. Acute pandysautonomia

Gambaran Klinis Penyakit infeksi dan keadaan prodromal : Pada 60-70 % penderita gejala klinis SGB didahului oleh infeksi ringan saluran nafas atau saluran pencernaan, 1-3 minggu sebelumnya . Sisanya oleh keadaan seperti berikut : setelah suatu pembedahan, infeksi virus lain atau eksantema pada kulit, infeksi bakteria, infeksi jamur, penyakit limfoma dan setelah vaksinasi influensa . Masa laten Waktu antara terjadi infeksi atau keadaan prodromal yang mendahuluinya dan saat timbulnya gejala neurologis. Lamanya masa laten ini berkisar antara satu sampai 28 hari, rata-rata 9 hari (4). Pada masa laten ini belum ada gejala klinis yang timbul. Keluhan utama Keluhan utama penderita adalah prestasi pada ujung-ujung ekstremitas, kelumpuhan ekstremitas atau keduanya. Kelumpuhan bisa pada kedua ekstremitas bawah saja atau terjadi serentak pada keempat anggota gerak. Gejala Klinis 1.Kelumpuhan Manifestasi klinis utama adalah kelumpuhan otot-otot ekstremitas tipe lower motor neurone. Pada sebagian besar penderita kelumpuhan dimulai dari kedua ekstremitas bawah kemudian menyebar secara asenderen ke badan, anggota gerak atas dan saraf kranialis. Kadang-kadang juga bisa keempat anggota gerak dikenai secara serentak, kemudian menyebar ke badan dan saraf kranialis. Kelumpuhan otot-otot ini simetris dan diikuti oleh hiporefleksia atau arefleksia. Biasanya derajat kelumpuhan otot-otot bagian proksimal lebih berat dari bagian distal, tapi dapat juga sama beratnya, atau bagian distal lebih berat dari bagian proksimal (2,4). 2.Gangguan sensibilitas Parestesi biasanya lebih jelas pada bagian distal ekstremitas, muka juga bisa dikenai dengan distribusi sirkumoral . Defisit sensoris objektif biasanya minimal dan sering dengan distribusi seperti pola kaus kaki dan sarung tangan. Sensibilitas ekstroseptif lebih sering dikenal dari pada sensibilitas proprioseptif. Rasa nyeri otot sering ditemui seperti rasa nyeri setelah suatu aktifitas fisik. 3.Saraf Kranialis

Saraf kranialis yang paling sering dikenal adalah N.VII. Kelumpuhan otot-otot muka sering dimulai pada satu sisi tapi kemudian segera menjadi bilateral, sehingga bisa ditemukan berat antara kedua sisi. Semua saraf kranialis bisa dikenai kecuali N.I dan N.VIII. Diplopia bisa terjadi akibat terkenanya N.IV atau N.III. Bila N.IX dan N.X terkena akan menyebabkan gangguan berupa sukar menelan, disfonia dan pada kasus yang berat menyebabkan kegagalan pernafasan karena paralisis n. laringeus. 4.Gangguan fungsi otonom Gangguan fungsi otonom dijumpai pada 25 % penderita SGB9 . Gangguan tersebut berupa sinus takikardi atau lebih jarang sinus bradikardi, muka jadi merah (facial flushing), hipertensi atau hipotensi yang berfluktuasi, hilangnya keringat atau episodic profuse diaphoresis. Retensi urin atau inkontinensia urin jarang dijumpai . Gangguan otonom ini jarang yang menetap lebih dari satu atau dua minggu. 5.Kegagalan pernafasan Kegagalan pernafasan merupakan komplikasi utama yang dapat berakibat fatal bila tidak ditangani dengan baik. Kegagalan pernafasan ini disebabkan oleh paralisis diafragma dan kelumpuhan otot-otot pernafasan, yang dijumpai pada 10-33 persen penderita .

6.Papiledema Kadang-kadang dijumpai papiledema, penyebabnya belum diketahui dengan pasti. Diduga karena peninggian kadar protein dalam cairan otot yang menyebabkan penyumbatan villi arachoidales sehingga absorbsi cairan otak berkurang . 7.Perjalanan penyakit Perjalan penyakit ini terdiri dari 3 fase, seperti pada gambar 1. Fase progresif dimulai dari onset penyakit, dimana selama fase ini kelumpuhan bertambah berat sampai mencapai maksimal. Fase ini berlangsung beberapa dari sampai 4 minggu, jarang yang melebihi 8 minggu . Segera setelah fase progresif diikuti oleh fase plateau, dimana kelumpuhan telah mencapai maksimal dan menetap. Fase ini bisa pendek selama 2 hari, paling sering selama 3 minggu, tapi jarang yang melebihi 7 minggu . Fase rekonvalesen ditandai oleh timbulnya perbaikan kelumpuhan ektremitas yang berlangsung selama beberapa bulan. Seluruh perjalanan penyakit SGB ini berlangsung dalam waktu yang kurang dari 6 bulan.

Gambar 1. Perjalanan alamiah SGB skala waktu dan beratnya kelumpuhan bervariasi antara berbagai penderita SGB . 1.Variasi klinis Di samping penyakit SGB yang klasik seperti di atas, kita temui berbagai variasi klinis seperti yang dikemukakan oleh panitia ad hoc dari The National Institute of Neurological and Communicate Disorders and Stroke (NINCDS) pada tahun 1981 adalah sebagai berikut :

Sindroma Miller-Fisher Defisit sensoris kranialis Pandisautonomia murni Chronic acquired demyyelinative neuropathy

2.Pemeriksaan laboratorium Gambaran laboratorium yang menonjol adalah peninggian kadar protein dalam cairan otak : > 0,5 mg% tanpa diikuti oleh peninggian jumlah sel dalam cairan otak, hal ini disebut disosiasi sito-albuminik. Peninggian kadar protein dalam cairan otak ini dimulai pada minggu 1-2 dari onset penyakit dan mencapai puncaknya setelah 3-6 minggu . Jumlah sel mononuklear < 10 sel/mm3. Walaupun demikian pada sebagian kecil penderita tidak ditemukan peninggian kadar protein dalam cairan otak. Imunoglobulin serum bisa meningkat. Bisa timbul hiponatremia pada beberapa penderita yang disebabkan oleh SIADH (Sindroma Inapproriate Antidiuretik Hormone). 3.Pemeriksaan elektrofisiologi (EMG) Gambaran elektrodiagnostik yang mendukung diagnosis SGB adalah :

Kecepatan hantaran saraf motorik dan sensorik melambat Distal motor retensi memanjang Kecepatan hantaran gelombang-f melambat, menunjukkan perlambatan pada segmen proksimal dan radiks saraf. Di samping itu untuk mendukung diagnosis pemeriksaan elektrofisiologis juga berguna untuk menentukan prognosis penyakit : bila ditemukan potensial denervasi menunjukkan bahwa penyembuhan penyakit lebih lama dan tidak sembuh sempurna .

Terapi Sindroma Guillain-Barre dipertimbangkan sebagai kedaruratan medis dan pasien diatasi di unit intensif care. Pasien yang mengalami masalah pernapasan memerlukan ventilator yang kadangkadang dalam waktu yang lama. Pada sebagian besar penderita dapat sembuh sendir. Pengobatan secara umum bersifat simtomik. Meskipun dikatakan bahwa penyakit ini dapat sembuh sendiri, perlu dipikirkan waktu perawatan yang cukup lama dan angka kecacatan (gejala sisa) cukup tinggi sehingga pengobatan tetap harus

diberikan. Tujuan terapi khusus adalah mengurangi beratnya penyakit dan mempercepat penyembuhan melalui sistem imunitas (imunoterapi). Kortikosteroid Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid tidak mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi SGB. Plasmaparesis Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor autoantibodi yang beredar. Pemakain plasmaparesis pada SGB memperlihatkan hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu nafas yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang lebih pendek. Pengobatan dilakukan dengan mengganti 200-250 ml plasma/kg BB dalam 7-14 hari. Plasmaparesis lebih bermanfaat bila diberikan saat awal onset gejala (minggu pertama). Pengobatan imunosupresan: 1. Imunoglobulin IV Pengobatan dengan gamma globulin intervena lebih menguntungkan dibandingkan plasmaparesis karena efek samping/komplikasi lebih ringan. Dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari selama 3 hari dilanjutkan dengan dosis maintenance 0.4 gr/kg BB/hari tiap 15 hari sampai sembuh. 2. Obat sitotoksik Pemberian obat sitoksik yang dianjurkan adalah:

6 merkaptopurin (6-MP) Azathioprine cyclophosphamid

Efek samping dari obat-obat ini adalah: alopecia, muntah, mual dan sakit kepala. Prognosa Pada umumnya penderita mempunyai prognosa yang baik tetapi pada sebagian kecil penderita dapat meninggal atau mempunyai gejala sisa. 95% terjadi penyembuhan tanpa gejala sisa dalam waktu 3 bulan bila dengankeadaan antara lian: pada pemeriksaan NCV-EMG relatif normal mendapat terapi plasmaparesis dalam 4 minggu mulai saat onset progresifitas penyakit lambat dan pendek

pada penderita berusia 30-60 tahun

ASUHAN KEPERAWATAN 1. Pengkajian Data subjektif: Bangun tidur di pagi hari mengeluh tidak bisa berjalan Sebelumnya dia mengalami diare-diare dan demam kira-kira 1 minggu sebelumnya Tidak mampu menelan air liurnya Sebelum sakit sangat aktif baik dalam pekerjaannya, olahraga lari pagi, berkebun, mengendarai kendaraan dan merawat dirinya Data Objektif: Hasil pemeriksaan fisik tidak ditemukan tanda-tanda objektif yang menunjukakan stroke Kelemahan pada kedua ekstrmitas atasnya dan akhirnya menggunakan alat bantu pernapasan (ventilator) Hasil lumbal pungsi cairan serebrospinal ditemukan protein tinggi dan tekanan meningkat, leukositosis

Analisa Data Data DS: DO: DS: Bangun tidur di pagi hari mengeluh tidak bisa berjalan Pernapasan cepat , dangkal, dan ireguler Bunyi paru wheezing +/+ Pengembangan dada tidak maksimal GDA kurang dari normal menggunakan ventilator imobilisasi Paralisis Tidak mampu menelan air liurnya Masalah Pola napas dan pertukaran gas tidak efektif Etiologi Kelemahan otototot bantu pernapasan

DO: Kelemahan pada kedua ekstremitas atasnya

Kekuatan otot 11 1 1

2. Diagnosa Keperawatan 1). Pola napas dan pertukaran gas tidak efektif b.d Kelemahan otot-otot pernapasan 2). Kerusakan Mobilitas fusik b.d kerusakan neuromuskuler 3. Rencana Tindakan Keperawatan Rencana asuhan keperawatan 1. Pola napas dan pertukaran gas tidak efektif b.d Kelemahan otot pernapasan Tujuan : Membuat / mempertahankan pola pernafasan efektif melalui ventilator Kriteria Hasil : Tidak terdapat sianosis , Saturasi oksigen dalam rentang normal Tindakan keperawatan Selidiki Etiologi gagal pernapasan R/ Pemahaman penyebab masalah pernapasan penting untuk perawatan pasien Observasi pola napas. Catat frekuensi pernapasan , jarak antara pernafasan spontan dan napas ventilator R/ Pasien pada ventilator dapat mengalami hiperventilasi /hipoventilasi , dispnea / lapar udara dan berupaya memperbaiki kekurangan dengan bernapas berlebihan Auskultasi dada secara periodik catat adanya / tak adanya dan kualitas bunyi napas , bunyi napas tambahan , juga simetrisitas gerakan dada R/ Memberikan informasi tentang aliran udara melalui trakeobronkial dan adanya /tidak adanya cairan Periksa selang terhadap obstr,uksi . Contoh terlipat atau akumulasi air . Alirkan selang sesuai indikasi , hindari aliran ke pasien atau kembali kedalam wadah R/ Lipatan selang mencegah penerimaan volume adekuat dan meningkatkan tekanan jalan napas . Air mencegah distribusi gas dan pencetus pertumbuhan bakteri Periksa fungsi alaram Ventilator, Jangan matikan alaram , meskipun untuk penghisapan, Yakinkan bahwa alaram terdengar ke kantor perawat

R/ Sangat penting apabila terdapat tanda- tanda distres pernafasan atau henti napas Pertahankan tas resusitasi disamping tempat tidur dan ventilasi manual kapanpun diindikasikan R/ Memberikan / menyediakan ventilasi adekuat bila pasien atau masalah menuntut pasien sementara dilepas dari ventilator Kolaborasi Kaji susunan ventilator secra rutin dan yakinkan sesuai indikasi R/ Mengontrol /menyusun alat sehubungan dengan penyakit utama pasien dan hasil pemeriksaan diagnostik untuk mempertahankan parameter dalam batas benar Cbservasi persentasi konsentrasi oksigen , yakinkan bahwa aliran olsigen tepat , awasi analisa oksigen atau lakukan analisa oksigen periodik R/ Nilai untuk mempertahankan persentase oksigen yang dapat diterima dan saturasi untuk kondisi pasien ( 21% sampai 100% ) . Karena mesin tidak selalu akurat, analiser oksigen dapat digunakan untuk memastikan apakah pasien menerima konsentrasi oksigen yang diinginkan Kaji volume tidal ( 10-15 ml /kg ) Yakinkan fungsi spirometer baik . Catat perubahan dari pemberian volume yang terbaca pada komputer R/ Mengawasi jumlah udara inspirasi dan ekspirasi . Perubahan dapat menunjukkan gannguan komplain paru atau kebocoran melalui mesin. 2. Diagnosa keperawatan : Kerusakan Mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan Neuromuskuler Tujuan Untuk mempertahankan posisi fungsi dengan tak ada komplikasi ( kontraktur , dekubitus ) Kriteria Hasil ; Klien dapat meningkatkan kekuatan dan fungsi bagian yang sakit Tindakan keperawatan Kaji kekuatan motorik / kemampuan secara fungsional dengan menggunakan skala 0-5. R/ Menentukan perkembangan/ munculnya kembali tanda yang menghambat tercapainya tujuan / harapan pasien Berikan posisi pasien yang menimbulkan rasa nyaman . Lakukan perubahan posisi dengan jadwal yang teratur sesuai kebutuhan secara individual

R/ Menurunkan kelelahan , meningkatkan relaksasi . Menurunkan resiko terjadinya iskemia / kerusakan pada kulit Sokong ekstrimitas dan persendian dengan bantal R/ Mempertahankan ekstrimitas dalam posisi fisiologis , mencegah kontraktur. Lakkukan latihan rentang gerak pasif . Hindari latihan aktif selama fase akut R/ Menstimulasi sirkulasi., meningkatkan tonus otot dan meningkatkan mobilisasi sendi Koordinasikan asuhan yang diberikan dan periode istirahat tanpa gangguan R/Penggunaan otot secara berlebihan dapat meningkatkan waktu yang diperlukan untuk remielinisasi , arenanya dapat memperpanjang waktu untuk penyembuhan Anjurkan untuk melakukan latihan yang terus dikembangkan dan bergantung pada toleransi secara individual R/ Kegiatan latihan pada bagian tubuh yang terkena yang ditingkatkan secara bertahap / terprogram , meningkatkan fungsi organ secara normal dan memiliki efek psikologis yang positif Berikan lubrikasi / minyak artifisial sesui kebutuhan R/ Mencegah dari kekeringan tubub klien. Kolaborasi Konfirmasikan dengan / rujuk kebagian terapi fisik / terapi okupasi R/ Bermanfaat dalam menciptakan kekuatan otot secara individual /latihan terkondisi dan program latihan berjalan dan mengidentifikasi alat bantu untuk mempertahankan mobilisasi dan kemandirian dalam melakukan aktivitas sehari- hari

http://srigalajantan.wordpress.com/2009/10/31/askep-sindrom-guillain-barre/

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Guillain Bare Syndrom ( SGB/GBS) Adalah syndrom klinis yang ditunjukkan oleh awutan akut dari gejala-gejala yang mengenai saraf perifer dan kranial. Proses penyakit mencakup demielinasi dan degenasi selaput myelin dari saratf perifer dan kranial. Etiologinya tidak diketahui, tetapi respon alergi atau respon auto imun sangat mungkin sekali. Beberapa peneliti berkeyakinan bahwa syindrom tersebut menpunyai asal virus, tetapi tidak ada virus yang dapat diisolasi sampai sejauh ini. Guillain Bare tyerjadi dengan frekwensi yang sama pada kedua jenis kelamin dan pada semua ras. Puncak yang agak tinggi terjadi pada kelompok usia 16-25 tahun, tetapi mungkin bisa berkembang pada setiap golongan usia. Sekitar setengah dari korban mempunyai penyalit febris ringan 2 sampai 3 minggu sebelum awitan, infeksi febris biasanya berasal dari pernapasan atau gastrointestinal.

1.2 Rumusan Masalah Bagaimana konsep dasar penyakit? Bagaimana Konsep Dasar Keperawatan? - Pengertian - Pengkajian - ETIOLOGI - Diagnosa keperawatan - PATOFISIOLOGI - Intervensi - Insiden - Manifestasi Klinis - Pemeriksaan Diagnostik - Diagnosa Banding - Komplikasi - Penatalaksanaan medis

1.3 Tujuan Tujuan dan maksud dari pembutan makalah ini, adalah: kami bermaksud membahas dan berbagi pengetahuan tentang GUILLAIN BARRE SYNDROM / GBS seperti yang tertera pada rumusan masalah di atas. Kami bertujuan & berharap semoga makalah ini dapat menjadi referensi dan berguna bagi para pembaca dan khususnya bagi mahasiswa FIK Unmuh Ponorogo, serta kalangan medis lainya. Sehingga kita mengerti, memahami, serta menambah pengetahuan kita tentang GUILLAIN BARRE SYNDROM / GBS Serta penanganannya. BAB II PEMBAHASAN

A. KONSEP DASAR PENYAKIT 2.1 Pengertian Guillain Bare Syndrom ( SGB/GBS) Adalah syndrom klinis yang ditunjukkan oleh awitan akut dari gejala-gejala yang mengenai saraf perifer dan kranial. Proses penyakit mencakup demielinasi dan degenasi selaput myelin dari saraf perifer dan kranial yang Etiologinya tidak diketahui. ( Hudak & Gallo: 287)

Guillain Bare Syndrom adalah Gangguan degeneratif terkomplikasi yang sifatnya dapat akut atau kronis. Etiologi belum jelas, meskipun gangguan ini mempunyai kaitan dengan mekanisme autoimun sel dan humoral beberapa hari sampai 3 minggu setelah infeksi saluaran pernapasan atas ringan. (Lynda Juall C: 298)

Guillain Bare Syndrom adalah ganguan kelemahan neuro-muskular akut yang memburuk secara progresif yang dapat mengarah pada kelumpuhan total, tatapi biasanya paralisis sementara. ( Doenges:369)

2.2 Etiologi Etiologi / Penyebab Guillain Bare Syndrom tidak jelas/ tidak diketahui. Sebagian besar pasien-pasien dengan Sindroma Guillain-Barre (SGB) ini ditimbulkan oleh adanya infeksi (pernapasan atau gastrointestinal) 1-4 minggu sebelum terjadi serangan neurologik. Pada beberapa keadaan dapat terjadi setelah vaksinasi atau pembedahan. Hal ini diakibatkan oleh infeksi virus primer, reaksi imun, dan bebeparapa proses lain atau sebuah kombinasi suatu proses. Beberapa peneliti berkeyakinan bahwa syindrom tersebut menpunyai asal virus, tetapi tidak ada virus yang dapat diisolasi sampai sejauh ini.

2.3 Patofisiologi Pada GBS, Selaput myelin yang mengelilingi akson hilang. Selaput myelin cukup rentan terhadap cidera karena banyak agen dan kondisi, termasik trauma fisik, hipoksemia, toksik kimia, insufisiensi vascular, dan reaksi imunologi. Demielinasi adalah respon umum dari jaringan saraf terhadap banyak kondisi yang merudikan ini. Akson bermielin mengkonduksi impuls saraf lebih cepat di banding akson tak bermielin. Sepanjang perjalanan serabut bermielin terganggu dalam selaput ( Nodus Ranvier ) tempat kontaklangsung antara membran sel akson dengan cairan eksraseluler.Membran sangat

permiabel pada nodus tersebut, sehingga konduksi menjadi baik. Gerakan-gerakan masuk dan keluar akson dapat terjadi dengan cepat hanya pada nodus ranvier ( Gbr. 31-9) sehingga impuls saraf sepanjang serabut bermielin dapat melompat dari satu nodus ke nodus lain (konduksi saltatori) dengan cukup kuat. Kehilangan selaput mielin pada GBS membuat konduksi saltatori tidak mungkin terjadi, dan trasnmisi impuls saraf dibatalkan. Temuan patofisiologis pada gangguan ini multipel dan bervariasi meliputi imflamasi, demielinasi dari saraf perifer, kehilangan badan granular, dan degenarasi membaran basalis sel Swhann, mengakibatkan paralisis flaksid simetrik asenden dan kehilangan funsi saraf kranial. ( Murray,1993)

2.4 Insiden Sindrom ini menyerang semua kelompok umur , ras, dan kedua jenis kelamin; telah terjadi pada semua negara; dan dianggap sindrom-bukan musiman. Statistik menujukkan bahwa 5% pasien akan meninggal karena komplikasi pernapasankardiovaskuler., 20% akan menderita parastesia distal takdapat pulih ( anastesia tangan dan kaki ) dan 75% akan membaik tanpa defisit residual.

2.5 Manifestasi Klinis Flasid, simetris, paralisis asending dengan cepat berkembang. Otot pernapasan dapat saja terkena, mengakibatkan insufisiensi pernapasan. Gangguan otonomi seperti retensi urine dan hipotensi postural kadang terjadi. Rekleks-refleks superfisial dan tendon dalam dapat hilang. Biasanya tidak terjadi kehilangan massa otot karena paralisis yang flasid terjadi dengan cepat. Ada pasien yang mengalami nyeri tekan dan nyeri pada tekanan dalam atau gerakan beberapa otot. Gejalagajala parastesia termasuk semutan jarum dan peniti dan kebas dapat terjadi

secra sementara, jika saraf kranial terkena, maka maka saraf fasial ( VII) lebih sering terserang. Tanda dan gejala disfungsi saraf fasial termasuk ketidak mampuan dalam tersenyum , bersiul, atau cemberut. GBS tidak mengenai LOC ( tingkat kesadaran ), tanda tanda pupil, atau fugsi serebral. Gejala-gejala biasanya memuncak dalam satu minngu, tatapi dapat berkembnag selama beberapa minggu. Tingkat paralisis dapat saja terhenti setiap saat. Fugsi motorik kembali dalam gaya desending. Demielinasi terjadi dengan cepat, tetapi kecepatan remielinasi sekitar 1 sampai 2 mm perhari.

2.6 Pemeriksaan dan Diagnostik 1. Anamnesa : - adanya faktor pencetus - perjalanan penyakitnya (nyeri radikuler kemudian diikuti kelumpuhan progresif, > 1 tungkai, simetris, menjalar ke lengan (asenderen) 2. Pemeriksaan Neurologis : - kelumpuhan tipe flacid terutama otot proksimal - simetris - gejala motorik lebih nyata daripada sensorik 3. Pada Lumbal Pungsi : - didapatkan kenaikan protein tanpa diikuti kenaikan sel (dissosiasi sitoalbumin) pada minggu II 4. Pemeriksaan EMNG (Elekto Myo Neuro Grafi) : - penurunan kecepatan hantar saraf /lambatnya laju konduksi saraf

5. Darah Lengkap - Terlihat adanya leukositosis pada fase awal. 6. Foto ronsen - Dapat memperlihatkan berkembangnya tanda-tanda dari gangguan pernapasan , seperti atelektasis, pneumonia. 7. Pemeriksaan fungsi paru - Dapat menunjukkan adanya penurunan kapasitas vital, volume tidal, dan kemampuan inspirasi

7. Diagnosa Banding 1. Polineuropathy karena defisiensi 3. Myasthenia Gravis 2. Hipokalemi

7. Komplikasi

Gagal pernapasan Penyimpangan Kardiovaskuler Komplikasi Plasmafaresis

7. Penatalaksanaan Medis Tujuan utama dalam merawat pasien dengn GBS adalah untuk memberikan pemeliharaan fungsi system tubuh, dengan cepat mengatasi krisis-krisis yang

mengancam jiwa, mencegah infeksi dan komplikasi imobilitas, dan memberikan dukungan psikologis untuk pasien dan keluarga.

Dukungan Pernapasan Jika vaskulatur pernapasan terkena, maka mngkin di butuhkan ventilasi mekanik. Mungkin Perlu dilakukan trakeostomi jika pasien tidak dapat di sapih dari ventilator dalam beberapa minngu. Gagal pernapasan harus di antisipasi sampai kemajuan gangguan merata, karena tidak jelas sejauh apa paralisis akan terjadi.

Dukungan Kardiovaskuler Jika sistem saraf otonom yang terkena, maka akan terjadi perubahan drastis dalam tekanan darah ( hipotensi dan hipertensi ) serta frekwensi jantung akan terjadi dan pasien harus dipantau dengan ketat. Identifikasi adanya disritmia dan diobati dengan cepat. Gangguan saraf otonom dapat dipicu oleh valsava manuver, batuk, sucsioning, dan perubahan posisi, sehingga aktivitas-aktivitas ini harus dilakukan secara hati-hati.

Plasmafaresis Untuk menyingkirkan antibidi yang membahayakan dari plasma. Plasma pasien dipisahkan secara selektif dari darah lengkap, dan bhan-bahan abnormal dibersihkan atau plasma digantikan dengan yang normal atau dengan pengantri koloidal.

IVIg = Intra Venous Immunoglobulin dosis tinggi (0,4 mg/kg BB / hari selama 5-7 hari

CSFF = Cerebro Spinal Fluid Filtration

B. KONSEP DASAR KEPERAWATAN 1. PENGKAJIAN AKTIVITAS/ISTIRAHAT Gejala : Adanya kelemahan dan paralisis secara simetris yang biasanya dimulai dari ekstremitas bagian bawah dan selanjutnya berkembang dengan cepat kearah atas.Hilangnya kontrol motorik halus tangan Tanda : Klemahan otot, paralisis flaksid ( simetris) Cara berjalan tidak mantap SIRKULASI Tanda : Perubhan tekanan drah ( hipertensi/hipotensi ) Disritmia, takikardia/bradikardia Wajah kemerahan, diaforesis INTEGRITAS/EGO Gejala : Perasaan cemas dan terlalu berkonsentrasi pada masalah yang dihadapi. Tanda : Tampak takut dan binggung

ELIMINASI Gejala : Adanya perubahan pola eliminasi Tanda : Kelemahan otot-otot abomen. Hilangnya sensasi anal ( anus ) atau berkemih dan refleks sfingter. MAKANAN DAN CAIRAN Gejala : Kesulitan dalam mengunyah dan menelan Tanda : Gangguan pada refleks menelan NEUROSENSORI Gejala : Kebas kesemutan yang dimulai dari kaki atau jari-jari kaki dan selanjutnya terus naik Perubhan rasa terhadap posisi tubuh, vibrasi, sensasi nyeri, sensasi suhu. Perubahan ketajaman penglihatan. Tanda : Hilangnya/ menurunnya refleks tenon dalam. Hilangnya tonus otot, adanya masalah keseimbangan. Adanya kelemahan pada otot-otot wajah, terjadi ptosis kelopak mata- ( keterlibatan saraf kranial) Kehilangan kemampuan untuk berbicara

NYERI/KENYAMANAN

Gejala : Nyeri tekan pada otot; seperti terbakar , sakit, nyeri ( terutama pada bahu, pelvis, pinggang , punggung dan bokong ) Hipersensitif terhadap sentuhan. PERNAPASAN Gejala : Kesulitan dalam bernapas, napas pendek. Tanda : Pernapasan perut, mengunakan otot bantu napas, apnea penurunan/ hilangnya bunyi napas. Menurunnya kapasitas vital paru Pucat/sianosis Gangguan refleks menelan/batuk KEAMANAN Gejala : Infeksi virus nonspesifik ( seperti; infeksi saluran pernapasan atas ) kirakira 2 minggu sebelum munculnya tanda seangan. Adanya riwayat terkena herper zoster, sitomegalovirus. Tanda : Suhu tubuh berfluktuasi ( sangat tergantung pada suhu lingkungan ). Penurunan kekuatan/tonus otot, paralisis atau parastesia. INTERAKSI SOSIAL Tanda : Kehilangan kemampuan untuk berbicara/berkomunikasi.

II. PRIORITAS KEPERAWATAN

1. Mepertahankan/menyokong fungsi pernapasan. 2. Meminimalkan/mencegah komplikasi. 3. Memberikan dukungan emosional terhadap pasien dan orang terdekat/keluarganya. 4. Mengendalikan/menghilangkan nyeri. 5. Memberikan informasi tentang proses penyakit/prognosis dan kebutuhan pengobatan.

III. DIAGNOSA KEPERAWATAN 1. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan paralisis otot, tirah baring, atau nyeri. 2. Resiko terhadap inefektif pola pernapasan; yang berhubungan dengan kelelahan/peralisis otot skeletal dan diafragma. 3. Resiko tinggi perubahan Perfusi Jaringan berhubungan dengan Disfungsi saraf autonomik, Hipovolemia., Berhentinya aliran darah ( Trombosis ) 4. Perubahan Persepsi Sensori berhubungan dengan perubahan status organ indra, Ketidak mampuan berkomunikasi, bicara atau berespon. 5. Resiko terhadap konstipasi yang berhubungan dengan perubahan diit, tirah baring, imobilitas. 6. Ganguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler ( parastesia, disestisia ) 7. Resiko tinggi retensi urine berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler. 8. Resiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler, menurunnya refleks batuk, menelan dan fungsi GI. 9. Resiko terhadap katakutan dan ansietas; yang berhubungan dengan penyakit kritis, paralisis, ketidakmampuan untuk berkomunikasi dan ketidak pastian masa depan.

IV. INTERVENSI Diagnosa 1 Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan paralisis otot, tirah baring, atau nyeri Tujuan / Kriteria Hasil : Pasien dapat terbebas dari komplikasi imobilitas yang dapat di cegah mis; ( kontraktur, kerusakan kulit, atelektasis, dropfoot, TVD. Intervensi: 1. Pertahankan ROM sendi. 2. Baringkan dengan posisi yang baik di tempat tidur. 3. Dapatkan konsultasi rehabilitas, terapi fisik dan okupasi. 4. Ubah posisi sedikitnya setiap 2 jam. 5. Pertimbangkan pengunaan tempat tidur kinetik. 6. Hindari melatih otot-otot paasien selama terjadi nyeri, karena mungkin dapat menigkatkan demielinasi. 7. Berikan analgesia sebelum sesi terapi atau sesuai advis dokter. 8. Mulai ajarkan pada keluarga latihan untuk ROM.

Diagnosa 2 Resiko terhadap inefektif pola pernapasan; yang berhubungan dengan kelelahan/peralisis otot skeletal dan diafragma. Tujuan / Kriteria Hasil : Pertukaran gas yang adekuat akan di pertahankan.

Intervensi: 1. Auskultasi bunya napas dengan teratur. 2. Pantau saturasi oksigen dengan oksimetri. 3. Laporkan keluhan subyektif dari kelemahan otot atau kesulitan bernapas. 4. Tetaplah bersama pasien yang mengeluh sesak. 5. sukstion sesuai kebutuhan untuk menjaga patensi jalan napas. 6. Baringka pasien untuk memudahkan pertukaran gas. 7. Cata parimeter pernapasan ( frekwensi, volume, upaya bernapas ) 8. Catat AGD dan perhatikan kecenderungan. 9. Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang intubasi dan ventilator jika hal tersebut akan diperlukan. 10. Pasang alrm ventilator.

Diagnosa 3 Resiko tinggi perubahan Perfusi Jaringan berhubungan dengan Disfungsi saraf autonomik, Hipovolemia., Berhentinya aliran darah ( Trombosis ) Tujuan / Kriteria Hasil : Mempertahankan perfusi dengan tanda vital stabil, disritmia jantung terkontrol/takada. Intervensi: 1. Ukur tekanan darah, catat adanya fluktuasi. Observasi adanya hipotensi postural, Berikan latihan ketika sedang melakukan perubahan posisi pasien. 2. Pantau frekwensi jantung dan iramanya. Dokumentasikan adanya disritmia. 3. Pantau suhu tubuh berikan lingkungan suhu yang nyaman.

4. Catat masukan dan haluaran. 5. Tinggikan kaki sedikit dari tempat tidur. 6. kolaborasi pemberian cairan IV dengan hati-hati sesuai indikasi. 7. Pantau pemeriksaan laboratorium, seperti JDL Hb/Ht, elektrolit serum. 8. Pakailah stiking antiemboli atau pemijat kontinue; lepaskan sesuai jadwal dengan interval tertentu.

Diagnosa 4 Perubahan Persepsi Sensori berhubungan dengan perubahan status organ indra, Ketidak mampuan berkomunikasi, bicara atau berespon. Tujuan / Kriteria Hasil : Mengungkapkan kesadaran tentang defisit sensori Mempertahankan mental/orientasi umum. Mengidentifilkasi intervensi untuk meminimalkan kerusakan komplikasi sensori. Intervensi: 1. Pantau status neurologis secara periodik 2. Berikan alternatif cara untuk berkomunikasi jika pasien tidak dapat berbicara. 3. Berikan lingkungan yang aman ( penghalang tempat tidur, proteksi terhadap trauma termal )

4. Berikan kesempatan untuk istirahat pada daerah yang tidak mengalami gangguan, dan berikan aktivitas lain sesuai dengan kemampuan. 5. Berikan stimulasi sensori yang sesua, meliputi suara misik yang lembut; televisi ( berita/pertujukkan ) bercakap-cakap santai. 6. Sarankan orang terdekat untuk berbicara dan memberikan sentuhan pada pasien untuk memlihara keterikatan.

Diagnosa 5 Resiko terhadap konstipasi yang berhubungan dengan perubahan diit, tirah baring, imobilitas. Tujuan / Kriteria Hasil : Rutinitas BAB pasien dipertahankan sama seperti sebelum dirawat, dan konstipasi tidak terjadi Intervensi: 1. Pastikan hidrasi adekuat; catat masukan dan haluaran. 2. Berikan pelunak feses atau suppositoria sesuai indikasi. 3. Waktu melakukan gragam usus untuk menghasilkan penggunaan refleks gastrokolik setelah makanan. 4. Baringkan pasien dalam posisi tegak untuk melakukan eliminasi.

Diagnosa 6

Ganguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler ( parastesia, disestesia ) Tujuan / Kriteria Hasil : Melaporkan nyeri berkurang /terkontrol Mengungkapkan metode untuk meredakan nyeri. Mendemostrasikan pengguanaan ketrampilan relaksasi sesuai indikasi untuk situasi individu. Intervensi: 1. Ukur derajat nyeri/ rasa tidak nyaman dengan mengunakan skala nyeri 0-10 2. Observasi tanda-tanda nonverbal dari nyeri mis ( wajah tampak menahan skit, menarik diri/menangis. 3. Anjurkan kilen untuk mengungkapkan perasaan mengenai nyeri yang dirasakan. 4. Berikan kompres hangat atau dingin, mandi dengan air hangat, berikan masase atau sentuhn sesuai toleransi pasien. 5. Lakukan perubahan posisi secara teratur, berikan sokongan dengan bantal, busa atrau selimut. 6. Berikan latihan rentang gerak pasif 7. Instruksikan/anjurkan untuk mengunakan teknik relaksasi, imajinasi terbimbing. 8. kolaborasi obat analgesik sesuai kebutuhan.

Diagnosa 7 Resiko tinggi retensi urine berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler. Tujuan / Kriteria Hasil :

Mendemontrasikan pengosongan kendung kemih adekuat/tepat waktu tanpa retensi atau infeksi urinarius. Intervensi: 1. Ctat frekuensi dan jumlah berkemih. 2. Lakukan palpasi abdomen ( di atas supra pubik ) untuk mengetahui adanya distensi kandung kemih. 3. Anjurkan pasien intuk minum paling tidak 2000ml/dalam batas toleransi jantung. 4. Lakukan menuver Crede. 5. Kolaborasi kateterisasi pada residu urine sesuai kebutuhan. 6. Pasang/pertahankan kateter indweling sesuai kebutuhan. Diagnosa 8 Resiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler, menurunnya refleks batuk, menelan dan fungsi GI. Tujuan / Kriteria Hasil : Mendemontrasikan berat badan stabil, normalisasi nilai-nilai laboratorium, dan tak ada tanda malnutrisi. Intervensi: 1. Kaji kemmpuan untuk mengunyah, menlan, batuk, pada keadaan teratur. 2. Auskultasi bising usus evaluasi adanya distensi abdoman. 3. Cata masukan kalori setiap hari. 4. Berikan makan setengah padat/cair usahakan yang disukai pasien. 5. Anjurkan untuk makan sendiri jika memungkinkan, dan berikan bantuan bila pasien membutuhkan 6. Anjurkan orang terdekat untuk ikut berpartisipasi 7. Timbang berat badan setiap hari. 8. Kolaborasi pemberian diet TKTP

9. Pasang/pertahankan selan NGT berikan makanan enteral/parenteral. Diagnosa 9 Resiko terhadap katakutan dan ansietas; yang berhubungan dengan penyakit kritis, paralisis, ketidakmampuan untuk berkomunikasi dan ketidak pastian masa depan. Tujuan / Kriteria Hasil : Pasien dan keluarga akan mengungkapkan pengetahuan yang sesuai dengan keadaannya. Menerima dan mendiskusikan rasa takut. Mendemostrasikan rentang perasaan yang tepat dan berkurangnya rasa takut. Tampak rileks dan melaporkan ansietas berkurang sampai tingkat dapat diatasi. Intervensi: 1. Biarkan pasien untuk mengungkapkan perasaan dan ketakutannya. 2. Dorong pasien untuk mengajukan pertanyaan dan bersiaplah untuk memberikan penjelasan. 3. Buat jadwal sehinnga pasien mengetahui perawat akan memeriksanya secara teratur sesuai kebutuhan. 4. Kurangi gangguan sensori dengan berbicara pada pasien dan melibatkan keluarga. BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan

Guillain Bare Syndrom ( SGB/GBS) Adalah syndrom klinis yang ditunjukkan oleh awutan akut dari gejala-gejala yang mengenai saraf perifer dan kranial. Proses penyakit mencakup demielinasi dan degenasi selaput myelin dari saratf perifer dan kranial. Etiologinya tidak diketahui, tetapi respon alergi atau respon auto imun sangat mungkin sekali. Beberapa peneliti berkeyakinan bahwa syindrom tersebut menpunyai asal virus, tetapi tidak ada virus yang dapat diisolasi sampai sejauh ini. Guillain Bare tyerjadi dengan frekwensi yang sama pada kedua jenis kelamin dan pada semua ras. Puncak yang agak tinggi terjadi pada kelompok usia 16-25 tahun, tetapi mungkin bisa berkembang pada setiap golongan usia. Sekitar setengah dari korban mempunyai penyalit febris ringan 2 sampai 3 minggu sebelum awitan, infeksi febris biasanya berasal dari pernapasan atau gastrointestinal. Insiden Sindrom ini menyerang semua kelompok umur , ras, dan kedua jenis kelamin; telah terjadi pada semua negara; dan dianggap sindrom-bukan musiman. Statistik menujukkan bahwa 5% pasien akan meninggal karena komplikasi pernapasankardiovaskuler., 20% akan menderita parastesia distal takdapat pulih ( anastesia tangan dan kaki ) dan 75% akan membaik tanpa defisit residual. Manifestasi Klinis Flasid, simetris, paralisis asending dengan cepat berkembang. Otot pernapasan dapat saja terkena, mengakibatkan insufisiensi pernapasan. Gangguan otonomi seperti retensi urine dan hipotensi postural kadang terjadi. Rekleks-refleks superfisial dan tendon dalam dapat hilang. Biasanya tidak terjadi kehilangan massa otot karena paralisis yang flasid terjadi dengan cepat. Pemeriksaan dan Diagnostik 1. Anamnesa : - adanya faktor pencetus 6. Foto ronsen 2. Pemeriksaan Neurologis 7. Pemeriksaan fungsi paru 3. Pada Lumbal Pungsi :

4. Pemeriksaan EMNG (Elekto Myo Neuro Grafi) 5. Darah Lengkap Komplikasi


Gagal pernapasan - Komplikasi Plasmafaresis Penyimpangan Kardiovaskuler

Penatalaksanaan Medis

Dukungan Pernapasan Dukungan Kardiovaskuler Plasmafaresis

- IVIg - CSFF

PRIORITAS KEPERAWATAN 1. Mepertahankan/menyokong fungsi pernapasan. 2. Meminimalkan/mencegah komplikasi. 3. Memberikan dukungan emosional terhadap pasien dan orang terdekat/keluarganya. 4. Mengendalikan/menghilangkan nyeri. 5. Memberikan informasi tentang proses penyakit/prognosis dan kebutuhan pengobatan.

DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan paralisis otot, tirah baring, atau nyeri. 2. Resiko terhadap inefektif pola pernapasan; yang berhubungan dengan kelelahan/peralisis otot skeletal dan diafragma. 3. Resiko tinggi perubahan Perfusi Jaringan berhubungan dengan Disfungsi saraf autonomik, Hipovolemia., Berhentinya aliran darah ( Trombosis ) 4. Perubahan Persepsi Sensori berhubungan dengan perubahan status organ indra, Ketidak mampuan berkomunikasi, bicara atau berespon. 5. Resiko terhadap konstipasi yang berhubungan dengan perubahan diit, tirah baring, imobilitas. 6. Ganguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler ( parastesia, disestisia ) 7. Resiko tinggi retensi urine berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler. 8. Resiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler, menurunnya refleks batuk, menelan dan fungsi GI. 9. Resiko terhadap katakutan dan ansietas; yang berhubungan dengan penyakit kritis, paralisis, ketidakmampuan untuk berkomunikasi dan ketidak pastian masa depan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Hudak, Carolyn M, Barbara M, Gallo. 1996. Keperawatan Kritis: Pendekatan Holistik. Ed,VI. Vol 1. Jakarta: EGC

2. Doenges, Marlyn E. 1999. Rencana Asuhan keperawatan: Pedoman untuk Perencanaan dan Pedokumentasian Perawatan Pasien. Ed 3. Jakarta: EGC

3. Carpenito, Lynda Juall. 1999. Rencana & Dokumentasi Keperawatan. Ed 2. Jakarta: EGC

4. Robin, dan Kumar. 1995. Patologi 2. Ed 4. Jakarta: EGC

5. Http//www.Perawatpsikiatri.blogspot.com

http://dc245.4shared.com/doc/RX512e_g/preview.html

Anda mungkin juga menyukai