Anda di halaman 1dari 59

CEDERA KEPALA

Lebih dari separuh kematian karena cedera, cedera kepala berperan nyata atas outcome. Pada pasien dengan adalah bagian yang paling cedera berganda, kepala sering mengalami cedera, dan pada

kecelakaan lalu-lintas yang fatal, otopsi memperlihatkan bahwa cedera otak ditemukan pada 75% penderita. Untuk setiap kematian, terdapat dua kasus dengan cacad tetap, biasanya sekunder terhadap cedera kepala (Narayan, 1991).

PENYEBAB
Cedera kepala biasa terjadi pada dewasa muda antara 15-44 tahun. Pada umumnya rata-rata usia adalah sekitar 30 tahun. Laki-laki dua kali lebih sering mengalaminya (Kalsbeek, 1980). Kecelakaan kendaraan bermotor penyebab paling sering dari cedera kepala, sekitar 49% dari kasus. Biasanya dengan derajat cedera kepala yang lebih berat dan lebih sering mengenai usia 15-24 tahun. Sedangkan jatuh terjadi lebih sering pada anak-anak serta biasanya dalam derajat yang kurang berat. Pasien dengan kecelakaan kendaraan bermotor biasa disertai cedera berganda. Lebih dari 50% penderita cedera kepala berat disertai oleh cedera sistemik berat (Miller, 1978). Walau insiden keseluruhan hematoma intrakranial setelah cedera kepala hanya 2%, sekitar setengah pasien yang tidak sadar yang dibawa ke rumah sakit akibat cedera kepala memiliki hematoma intrakranial yang berat (Narayan, 1989). Walau banyak kesepakatan telah dicapai dalam cedera susunan saraf pusat, baik pada tingkat selular maupun klinis, kebanyakan masih tetap kontroversial.

KLASIFIKASI
Cedera kepala bisa diklasifikasikan atas berbagai hal. Untuk kegunaan praktis, tiga jenis klasifikasi akan sangat berguna, yaitu

berdasar mekanisme, tingkat beratnya cedera kepala serta berdasar morfologi. Tabel 1 Klasifikasi cedera kepala ------------------------------------------------------A. Berdasarkan mekanisme 1 Tertutup 2 Penetrans B. Berdasarkan beratnya 1 Skor Skala Koma Glasgow 2 Ringan, sedang, berat C. Berdasarkan morfologi 1 Fraktura tengkorak a Kalvaria 1 Linear atau stelata 2 Depressed atau nondepressed b Basilar 2 Lesi intrakranial a Fokal 1 Epidural 2 Subdural 3 Intraserebral b Difusa 1 Konkusi ringan 2 Konkusi klasik 3 Cedera aksonal difusa BERDASAR MEKANISME Cedera kepala secara luas diklasifikasikan sebagai tertutup dan penetrans. Walau istilah ini luas digunakan dan berguna untuk membedakan titik pandang, namun sebetulnya tidak benar-benar dapat dipisahkan. Misalnya fraktura tengkorak depres dapat dimasukkan ke

salah satu golongan

tersebut, tergantung kedalaman

dan

parahnya

cedera tulang. Sekalipun demikian, untuk kegunaan klinis, istilah cedera kepala tertutup biasanya dihubungkan dengan kecelakaan kendaraan, jatuh dan pukulan, dan cedera kepala penetrans lebih sering dikaitkan dengan luka tembak dan luka tusuk. Karena pengelolaan kedua kelompok besar ini sedikit berbeda, dipertahankanlah pengelompokan ini untuk keperluan deskriptif. BERDASAR BERATNYA Sebelum 1974, penulis berbeda menggunakan terminologi dengan konotasi bermacam-macam untuk menjelaskan pasien dengan cedera kepala, dengan akibat betul-betul tidak mungkin untuk membandingkan kelompok pasien dari senter yang berbeda. Pada tahun 1974 Teasdale dan Jennet, dengan mempelajari tanda-tanda yang tampaknya lebih dapat dipercaya dalam memprediksi outcome dan yang mana tampaknya mempunyai variasi yang kecil antar pengamat, merancang hal yang sekarang dikenal sebagai Skala Koma Glasgow. Pengenalan SKG berakibat timbulnya keseragaman dan kedisiplinan dalam literatur cedera kepala. Skala ini telah mencapai penggunaan yang luas untuk menjelaskan pasien dengan cedera kepala dan selanjutnya sudah diadopsi untuk mendeskripsikan penderita dengan perubahan tingkat kesadaran karena sebab lain. Jennett dan Teasdale menentukan koma sebagai ketidakmampuan untuk menuruti perintah, mengucapkan kata-kata dan membuka mata. Pada pasien yang tidak mempunyai ketiga aspek pada definisi tersebut tidak dianggap sebagai koma. Pasien yang bisa membuka mata secara spontan, dapat mengikuti perintah serta mempunyai orientasi, mempunyai skor total 15 poin, sedang pasien yang flaksid, dimana tidak bisa membuka mata atau berbicara mempunyai skor minimum yaitu 3. Tidak ada skor tunggal antara 3 dan 15 menentukan titik mutlak untuk koma. Bagaimanapun 90% pasien dengan skor total delapan atau kurang, dan tidak untuk yang mempunyai skor 9 atau lebih, dijumpai dalam keadaan koma sesuai dengan definisi terdahulu. Untuk kegunaan

praktis, skor total SKG 8 atau kurang menjadi definisi yang sudah umum diterima sebagai pasien koma. Perbedaan antara pasien dengan cedera kepala berat dan dengan cedera kepala sedang atau ringan karenanya menjadi sangat jelas. Namun perbedaan antara cedera kepala sedang dan berat lebih sering memiliki masalah. Beberapa menyatakan bahwa pasien cedera kepala dengan jumlah skor 9 hingga 12 dikelompokkan sebagai cedera kepala sedang, dan skor SKG 13 hingga 15 sebagai ringan. Williams, Levin dan Eisenberg baru-baru ini melaporkan defisit neurologis penderita dengan cedera kepala ringan (SKG 12 hingga 15) dengan lesi massa intrakranial pada CT pertama adalah sesuai dengan pasien dengan cedera kepala sedang (SKG 9 hingga 11). Pasien dengan cedera kepala ringan tanpa dengan komplikasi lesi intrakranial pada CT jelas lebih baik. Tanpa memperdulikan nilai SKG, pasien digolongkan sebagai penderita cedera kepala berat bila : 1. Pupil tak ekual 2. Pemeriksaan motor tak ekual 3. Cedera kepala terbuka dengan bocornya CSS atau adanya jaringan otak yang terbuka. 4. Perburukan neurologik. 5. Fraktura tengkorak depressed. BERDASAR MORFOLOGI Hadirnya CT Scanning menimbulkan revolusi dalam klasifikasi dan pengelolaan cedera kepala. Walau pada pasien tertentu yang mengalami perburukan secara cepat mungkin dioperasi tanpa CT scan, kebanyakan pasien cedera berat sangat diuntungkan oleh CT scan sebelum kepala sering dioperasi. Karenanya tindak lanjut CT scan berulang sangat penting karena gambaran morfologis pada pasien cedera mengalami evolusi yang nyata dalam beberapa jam pertama, beberapa hari, dan bahkan beberapa minggu setelah cedera. Secara morfologi, cedera kepala mungkin secara umum digolongkan ke dalam dua kelompok utama : fraktura tengkorak dan lesi intrakranial.

Fraktura Tengkorak Fraktura tengkorak mungkin tampak pada kalvaria atau basis, mungkin linear atau stelata, mungkin depressed atau nondepressed. Fraktura tengkorak basal sulit tampak pada foto sinar-x polos dan biasanya perlu CT scan dengan setelan jendelatulang untuk memperlihatkan lokasinya. Adanya tanda klinis fraktura tengkorak basal mempertinggi indeks kemungkinan dan membantu identifikasinya. Sebagai pegangan umum, depressed fragmen lebih dari ketebalan tengkorak memerlukan operasi elevasi. Fraktura tengkorak terbuka atau compound berakibat hubungan langsung antara laserasi scalp dan permukaan serebral karena duranya robek, dan fraktura ini memerlukan operasi perbaikan segera. Mengutip Jennett dan Teasdale, "Untuk mendasari pemikiran, dan terutama untuk membenarkan pemikiran, fraktura tengkorak adalah pertanda keparahan yang nyata setelah cedera kepala. Beribu-ribu kepala disinar-x di ruang gawat darurat, kasus dari seratus yang memiliki menulisi kertas berdasarkan namun hanya dua atau tiga

fraktura; mengakibatkan radiologis

pengiriman yang tidak benar dan menuntut klinisi mengerjakan triase yang lebih baik sebelum sinar-x dikerjakan. Dokter bedah saraf telah lama menjelaskan bahwa penaksiran tingkat kesadaran lebih penting dari sinar-x tengkorak, dan ini secara salah ditafsirkan bahwa menaruh perhatian untuk melacak adanya fraktura adalah tidak penting, terutama setelah cedera kepala yang agak ringan. Kenyataannya, pada pasien dengan kesadaran tak terganggu yang mungkin dipulangkan setelah kecelakaan ringan, adanya fraktura adalah sangat berarti, infeksi". Frekuensi karena mewaspadakan klinisi intrakranial atau bervariasi, lebih banyak terhadap risiko komplikasi seperti hematoma

fraktura tengkorak

fraktura ditemukan bila penelitian dilakukan pada populasi yang lebih banyak mempunyai cedera berat. Fraktura kalvaria linear

mempertinggi risiko hematoma intrakranial sebesar 400 kali pada pasien yang sadar dan 20 kali pada pasien yang tidak sadar. Untuk alasan ini, adanya fraktura tengkorak mengharuskan pasien untuk dirawat di rumah sakit untuk pengamatan, tidak peduli bagaimana baiknya tampak pasien tersebut. Lesi Intrakranial Mungkin dapat diklasifikasikan sebagai fokal atau difusa, walau kedua bentuk cedera ini sering terjadi bersamaan. Lesi fokal termasuk hematoma epidural, hematoma subdural, dan kontusi (atau hematoma intraserebral). Pasien pada kelompok cedera otak difusa, secara umum, menunjukkan CT scan normal namun menunjukkan perubahan sensorium atau bahkan koma dalam. Basis selular cedera otak difusa menjadi lebih jelas pada tahuntahun terakhir ini. Lesi Fokal Hematoma Epidural Klot terletak diluar dura namun di dalam tengkorak. Paling sering terletak di regio temporal atau temporal-parietal dan sering akibat robeknya pembuluh meningeal media. Klot biasanya dianggap berasal arterial, namun mungkin sekunder dari perdarahan vena pada sepertiga kasus. Kadang-kadang, hematoma epidural mungkin akibat robeknya sinus vena, terutama di regio parietal-oksipital atau fossa posterior. Walau hematoma epidural relatif tidak terlalu sering (0.5% dari keseluruhan atau 9% dari pasien koma cedera kepala), harus selalu diingat saat menegakkan diagnosis dan ditindak segera. Bila ditindak segera, prognosis biasanya baik karena cedera otak disekitarnya biasanya masih terbatas. Outcome langsung bergantung pada status pasien sebelum operasi. Mortalitas dari hematoma epidural sekitar 0% pada pasien tidak koma, 9% pada pasien obtundan, dan 20% pada pasien koma dalam.

Hematoma Subdural Sangat lebih sering dari paling sering akibat hematoma epidural, ditemukan sekitar 30% penderita dengan cedera kepala berat. Terjadi robeknya vena bridging antara korteks serebral dan sinus draining. Namun ia juga dapat berkaitan dengan laserasi permukaan atau substansi otak. Fraktura tengkorak mungkin ada atau tidak. Selain itu, kerusakan otak yang mendasari hematoma subdural akuta biasanya sangat lebih berat dan prognosisnya lebih buruk dari hematoma epidural. Mortalitas umumnya 60%, namun mungkin diperkecil oleh tindakan operasi yang sangat segera dan pengelolaan medis agresif. Kontusi dan hematoma intraserebral Kontusi serebral sejati terjadi cukup sering. Frekuensinya lebih nyata sejak kualitas dan jumlah CT scanner meningkat. Selanjutnya, kontusi otak hampir selalu berkaitan dengan hematoma subdural. Majoritas terbesar kontusi terjadi di lobus frontal dan temporal, walau dapat terjadi pada setiap tempat termasuk serebelum dan batang otak. Perbedaan antara kontusi dan hematoma intraserebral traumatika tetap tidak jelas batasannya. Lesi jenis 'salt-andpepper' klasik jelas suatu kontusi, dan hematoma yang besar jelas bukan. Bagaimanapun, terdapat zona peralihan, dan kontusi dapat secara lambat laun menjadi hematoma intraserebral dalam beberapa hari. Cedera difusa Cedera otak difusa membentuk kerusakan otak berat progresif yang berkelanjutan, disebabkan oleh meningkatnya jumlah cedera akselerasi-deselerasi otak. Pada bentuk murni, cedera otak difusa adalah jenis cedera kepala yang paling sering.

Konkusi Ringan Konkusi ringan cedera dimana kesadaran tidak terganggu namun terdapat suatu tingkat disfungsi neurologis temporer. Cedera ini sering terjadi dan karena derajatnya ringan, sering tidak dibawa ke pusat medik. Bentuk paling ringan konkusi berakibat konfusi dan disorientasi tanpa amnesia. Sindrom ini biasanya pulih sempurna dan tanpa disertai adanya sekuele major. Cedera kepala yang sedikit lebih berat menyebabkan konfusi dengan baik amnesia retrograd maupun posttraumatika. Konkusi Serebral Klasik Konkusi serebral klasik adalah keadaan pasca trauma dengan akibat hilangnya kesadaran. Keadaan ini selalu disertai suatu tingkat amnesia retrograd dan posttraumatika, dan lamanya amnesia posttraumatika adalah pengukur yang baik atas beratnya cedera. Hilangnya kesadaran adalah sementara dan dapat pulih. Menurut definisi yang tidak terlalu ketat, pasien kembali sadar sempurna dalam enam jam, walau biasanya sangat awal. Kebanyakan pasien setelah konkusi serebral klasik tidak mempunyai sekuele kecuali amnesia atas kejadian yang berkaitan dengan cedera, namun kadang-kadang sangat ringan. Cedera Aksonal Difusa (CAD) Cedera aksonal difusa (Diffuse Axonal Injury, DAI) adalah istilah untuk menjelaskan koma pasca traumatika yang lama yang tidak dikarenakan lesi massa atau kerusakan iskhemik. Kehilangan kesadaran sejak saat cedera berlanjut diluar enam jam. Fenomena ini mungkin dipisahkan menjadi kategori ringan, sedang dan berat. CAD ringan relatif jarang dan dibatasi pada kelompok dengan koma yang berakhir pada 6 hingga 24 jam, dan pasien mulai dapat ikut perintah setelah 24 jam. CAD beberapa pasien mempunyai defisit neurologis yang berjalan lama, walau

sedang dibatasi pada koma yang berakhir lebih dari 24 jam tanpa tanda-tanda batang otak yang menonjol. Ini bentuk CAD yang paling sering dan merupakan 45% dari semua pasien dengan CAD. CAD berat biasanya terjadi pada kecelakaan kendaraan dan bentuk yang paling mematikan. Merupakan 36% dari semua pasien dengan CAD. Pasien menampakkan koma dalam dan menetap untuk waktu yang lama. Sering menunjukkan tanda dekortikasi atau deserebrasi dan sering

dengan cacad berat yang menetap bila penderita tidak mati. Pasien sering menunjukkan disfungsi otonom seperti hipertensi, hiperhidrosis dan hiperpireksia dan sebelumnya tampak mempunyai cedera batang otak primer. Sekarang dipercaya bahwa CAD umumnya lebih banyak berdasarkan pada fisiologi atas gambaran klinik yang terjadi.

PENGELOLAAN CEDERA KEPALA


A. Cedera Kepala Ringan Definisi: Pasien bangun, dan mungkin bisa berorientasi. Pengelolaan: 1. Riwayat: Jenis dan saat kecelakaan, kehilangan kesadaran, amnesia, nyeri kepala 2. Pemeriksaan umum untuk menegakkan cedera sistemik 3. Pemeriksaan neurologis 4. Radiografi tengkorak 5. Radiografi servikal dan lain-lain atas indikasi 6. Kadar alkohol darah serta urin untuk skrining toksik 7. CT scan idealnya dilakukan bila didapatkan tujuh pertama dari kriteria rawat Kriteria Rawat: 1. Amnesia posttraumatika jelas (lebih dari 1 jam) 2. Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit) 3. Penurunan tingkat kesadaran

4. Nyeri kepala sedang hingga berat 5. Intoksikasi alkohol atau obat 6. Fraktura tengkorak 7. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea 8. Cedera penyerta yang jelas 9. Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggungjawabkan 10. CT scan abnormal Dipulangkan dari UGD: 1. Pasien tidak memiliki kriteria rawat 2. Beritahukan untuk kembali bila timbul masalah dan jelaskan tentang 'lembar peringatan' 3. Rencanakan untuk kontrol dalam 1 minggu Majoritas pasien yang datang ke UGD dengan cedera kepala berada pada kategori ini. Pasien dalam keadaan bangun saat diperiksa dokter namun mungkin amnestik atas kejadian sekitar saat cedera. Mungkin terdapat riwayat kehilangan kesadaran sebentar, yang biasanya sulit untuk dipastikan. Hal tersebut mungkin dikacaukan oleh alkohol atau intoksikans lain. Kebanyakan pasien dengan cedera kepala ringan akan menuju pemulihan tanpa disertai hal-hal yang berarti, terkadang dengan sekuele neurologis yang sangat ringan. Namun sekitar 3% pasien secara tidak disangka memburuk dan gawat neurologis bila kelainan status mentalnya tidak diketahui secara dini. Dalam menghadapi hal ini, pertentangan klasik antara keefektifan biaya dan tindakan terbaik yang mungkin diberikan betul-betul berlaku. Namun tindakan yang dibawah ini optimal untuk pasien dengan cedera kepala ringan. Sinar-x tengkorak dilakukan untuk mencari keadaan : fraktura tengkorak linear atau depressed, posisi kelenjar pineal bila mengalami kalsifikasi, level air-udara dalam sinus, pneumosefalus, fraktura fasial, dan benda asing. Permintaan rutin radiografi sinar-x tengkorak untuk pasien dengan cedera kepala minor, untuk mengurangi pemeriksaan

10

yang bernilai rendah, mengikuti panel yang dirancang berdasarkan pada tingkat risiko: 1. Untuk kelompok dengan risiko rendah, dengan tanda-tanda dan gejala-gejala awal minimal seperti dipertanggung-jawabkan untuk nyeri kepala, pusing, atau dengan tidak laserasi scalp, dianjurkan dipulangkan kelingkungan yang dapat pengamatan, memerlukan radiografi tengkorak. 2. Untuk kelompok dengan risiko sedang, dengan tanda-tanda awal seperti muntah, intoksikasi alkohol atau obat, amnesia posttraumatika, depressed, atau tanda-tanda adanya fraktura basilar atau yang dianjurkan termasuk peningkatan

tindakan

pengamatan ketat, pertimbangan untuk CT scan atau radiografi foto polos serta konsultasi bedah saraf. 3. Untuk kelompok dengan risiko tinggi, dengan gejala-gejala awal paling serius seperti menurun, tanda-tanda tingkat kesadaran yang tertekan atau neurologis fokal atau cedera tembus,

dilakukan konsultasi bedah saraf dan CT scan emergensi. Sekitar 75% pasien termasuk kelompok risiko rendah, 23% kelompok risiko sedang dan 2% kelompok tersebut sekitar tiga perempat memerlukan sinar-x tengkorak. risiko berat. Jadi berdasar panel cedera kepala tidak bahwa pasien dengan

Panel tersebut menekankan

arahannya tidak berarti menyingkirkan pertimbangan klinis. lainnya.

Selain itu

beratnya cedera umumnya berbeda dari rumah-sakit ke rumah-sakit Fraktura yang ditemukan beragam sesuai beratnya cedera, 3% dari pasien UGD dengan cedera kepala ringan (jadi tidak dirawat) hingga 65% pada pasien dengan cedera kepala berat. Kalvaria terkena tiga kali lebih sering dari pada basis. Harus diingat bahwa fraktura basal sering tidak tampak pada foto tengkorak pertama. Tanda klinis basis yang fraktura, hematoma orbital, rhinorrhea atau otorrrhea CSS, hemotimpanum, atau tanda Battle, harus dianggap bukti adanya fraktura basal dan mengharuskan pasien untuk dirawat. Idealnya,

11

CT scan harus dilakukan pada semua pasien, walau dalam prakteknya serta biayanya, tidak mungkin pada kebanyakan rumah sakit. Bila pasien bangun sempurna dan alert serta dapat berada dibawah pengawasan selama 12-24 jam, pemeriksaan ini dapat ditunda atau bila perlu dibatalkan. Dianjurkan, sehubungan dengan kapan CT scan dilakukan pada pasien cedera kepala ringan, CT scan tetap diusahakan. Walau jarang, bisa terjadi pada pasien dengan CT scan pertama yang normal, berkembang lesi massa beberapa jam kemudian. Pengamatan neurologis ketat dilakukan oleh petugas yang peka terhadap kemungkinan perburukan, yang tanpa keraguan dalam menghadapi setiap kemungkinan perubahan yang terjadi. Tulang belakang servikal serta bagian lainnya harus disinar-x bila ada nyeri atau tenderness. Tidak ada obat-obatan yang dianjurkan kecuali analgesik non narkotik seperti Tylenol (parasetamol). Toksoid tetanus diberikan bila terdapat luka terbuka. Tes darah rutin biasanya tidak perlu bila tidak ada cedera sistemik. Kadar alkohol darah dan skrining toksin urin mungkin diindikasikan untuk keperluan medikolegal. Cedera kepala ringan dengan CT scan normal dapat dipulangkan bila ada yang bertanggung jawab dalam pengawasan di rumah dan dengan menyertakan 'lembar peringatan' untuk menempatkan pasien dalam pengamatan ketat sekitar 12 jam dan membawa pasien kembali bila sesuatu terjadi. Bila tidak memiliki relasi yang dapat bertanggungjawab, pasien tetap di UGD selama 12 jam dengan pemeriksaan neurologis setiap setengah jam dan kemudian dipulangkan bila tampak stabil. Bila ditemukan lesi pada CT scan, pasien harus dirawat dan dikelola sesuai perjalanan neurologisnya pada hari-hari berikutnya. CT scan berikutnya dilakukan sebelum pasien dipulangkan, atau lebih awal bila terjadi perburukan neurologis. B. Cedera Kepala Sedang Definisi: Pasien mungkin konfusi atau somnolen namun tetap mampu untuk mengikuti perintah sederhana (SKG 9-12). Pengelolaan:

12

Di Unit Gawat Darurat: 1. Riwayat: jenis dan saat kecelakaan, kehilangan kesadaran, amnesia, nyeri kepala 2. Pemeriksaan umum guna menyingkirkan cedera sistemik 3. Pemeriksaan neurologis 4. Radiograf tengkorak 5. Radiograf tulang belakang leher dan lain-lain bila ada indikasi 6. Kadar alkohol darah dan skrining toksik dari urin 7. Contoh darah untuk penentuan golongan darah 8. Tes darah dasar dan EKG 9. CT scan kepala 10. Rawat untuk pengamatan bahkan bila CT scan normal Setelah dirawat: 1. Pemeriksaan neurologis setiap setengah jam 2. CT scan ulangan hari ketiga atau lebih awal bila ada perburukan neurologis 3. Pengamatan TIK dan pengukuran lain seperti untuk cedera kepala berat akan memperburuk pasien 4. Kontrol setelah pulang biasanya pada 2 minggu, 3 bulan, 6 bulan dan bila perlu 1 tahun setelah cedera. Walau pasien ini tetap mampu mengikuti perintah sederhana, mereka dapat memburuk secara cepat. Karenanya harus ditindak hampir seperti halnya terhadap pasien cedera kepala berat, walau mungkin dengan kewaspadaan yang tidak begitu akut terhadap urgensi. Saat masuk UGD, riwayat singkat diambil dan stabilitas kardiopulmonal dipastikan sebelum menilai status neurologisnya. Tes darah termasuk pemeriksaan rutin, profil koagulasi, kadar alkohol dan contoh untuk bank darah. Film tulang belakang leher diambil, CT scan umumnya diindikasikan. Pasien dirawat untuk pengamatan bahkan bila CT scan normal. C. Cedera Kepala Berat Definisi: Pasien tidak mampu mengikuti bahkan perintah sederhana

13

karena gangguan kesadaran. Pengelolaan: Di Unit Gawat Darurat 1. Riwayat: Usia, jenis dan saat kecelakaan Penggunaan alkohol atau obat-obatan Perjalanan neurologis Perjalanan tanda-tanda vital Muntah, aspirasi, anoksia atau kejang Riwayat penyakit sebelumnya, termasuk obat-obatan yang dipakai serta alergi 2. Stabilisasi Kardiopulmoner: Jalan nafas, intubasi dini Tekanan darah, normalkan segera dengan Salin normal atau darah Foley, tube nasogastrik kateter Film diagnostik: tulang belakang leher, abdomen, pelvis, tengkorak, dada, ekstremiras 3. Pemeriksaan Umum 4. Tindakan Emergensi Untuk Cedera Yang Menyertai: Trakheostomi Tube dada Stabilisasi leher: kolar kaku, tong Gardner-Wells dan traksi Parasentesis abdominal 5. Pemeriksaan Neurologis: Kemampuan membuka mata Respons motor Respons verbal Reaksi cahaya pupil Okulosefalik (dolls) Okulovestibular (kalorik)

14

6. Obat-obat Terapeutik: Bikarbonat sodium Fenitoin(?) Steroid (???) Mannitol Hiperventilasi 7. Tes Diagnostik: (desenden menurut yang diminati) CT scan Ventrikulogram udara Angiogram Di Unit Perawatan Intensif (UPI/ICU) Lihat diagram ! Kelompok ini terdiri dari penderita yang tidak mampu mengikuti perintah sederhana bahkan setelah stabilisasi kardiopulmonal. Walau definisi tersebut memasukan cedera otak dalam spektrum yang luas, ia mengidentifikasikan kelompok dari penderita yang berada pada risiko maksimal atas morbiditas dan mortalitas. Pendekatan 'tunggu dan lihat' sangat mencelakakan dan diagnosis serta tindakan tepat adalah paling penting. Pengelolaan pasien dibagi lima tingkatan : (1) stabilisasi kardiopulmoner (2) pemeriksaan umum (3) pemeriksaan neurologis (4) prosedur diagnostik (5) indikasi operasi. 1. Stabilisasi Kardiopulmoner Cedera otak sering diperburuk oleh kerusakan sekunder. Miller melaporkan pasien dengan cedera otak berat yang dinilai saat masuk UGD, 30% dalam hipoksemik (PO2 < 65 mmHg), 13% dengan hipotensif (TD sistolik < 95 mmHg), dan 12% dengan anemik (hematokrit < 30%). Diperlihatkan bahwa hipotensi saat masuk (TD sistolik <90 mmHg) adalah satu dari tiga faktor pada pasien dengan cedera kepala berat

15

dengan CT scan normal (dua lainnya adalah usia > 40 tahun dan posturing motor) yang bila ditemukan saat masuk, berhubungan dengan akan terjadinya outcome yang peningkatan TIK. TIK tinggi berhubungan untuk dengan lebih buruk. Karenanya wajib menstabilkan

kardiopulmoner segera. a. Jalan Nafas Yang sering bersamaan dengan konkusi adalah terhentinya nafas untuk sementara. Apnea yang lama sering menjadi penyebab kematian yang segera pada suatu dilakukan, dapat kecelakaan. Bila pernafasan buatan segera yang baik. Apnea, atelektasis, dicapai outcome

aspirasi dan sindroma distres respirasi akuta (ARDS) sering bersamaan dengan cedera kepala berat, dan karenanya satu-satunya aspek yang paling penting dalam pengelolaan segera pasien tersebut adalah mempertahankan jalan nafas yang baik. Setiap pasien dengan cedera kepala berat harus diintubasi segera. Kecermatan harus diperhatikan dalam menjamin letak yang benar dari tube endotrakheal, bukan esofageal. Jarang, bila perlu dilakukan trakheostomi emergensi, terutama pada pasien dengan cedera maksilofasial berat dimana intubasi dihindari karena anatomi. Dalam usaha mempertahankan jalan nafas, saluran mulut dan nasal harus bersih dari semua benda asing, sekresi, darah dan muntah. Sekali tube endotrakheal pada tempatnya, balon harus digembungkan untuk mencegah atau mengurangi aspirasi, dan pengisapan seksama dan dilakukan pengaturan saluran trakheal harus dilakukan. Oksigen seratus persen digunakan untuk ventilasi sampai gas darah diperiksa bila penggunaannya kurang dari 48-72 jam. b. Tekanan Darah Hipotensi dan hipoksia adalah musuh yang paling mendasar pada pasien cedera kepala. Sudah diperlihatkan bahwa adanya hipotensi (TD yang cukup atas FIO2. Terdapat sedikit bahaya toksisitas oksigen 100% pembengkakan berat jaringan lunak serta adanya distorsi

16

sistolik < 90 mmHg) pada pasien cedera kepala berat mempertinggi tingkat mortalitas dari 27% ke 50%. Selain itu, ditemukan bahwa 35% pasien yang datang pada rumah sakit besar adalah hipotensif. Bila jalan nafas sudah diperbaiki, nadi dan tekanan darah pasien diperiksa dan siapkan jalur vena. Minimum dua jalur vena (gunakan Jelcos 14 atau 16) harus terpasang baik. Umumnya digunakan kateter vena infraklavikular perkutaneus subklavian atau jugular, walau kadang-kadang pembukaan vena safena atau brakhial diperlukan untuk mendapat jalur vena yang memadai. Pada titik ini, darah bisa diambil untuk pemeriksaan gas darah arterial. Bila pasien hipotensif, sangat penting untuk memperbaikinya sesegera mungkin. Hipotensi biasanya tidak karena cedera kepala semata, kecuali pada fase terminal dimana sudah terjadi kegagalan medullari. Jauh lebih umum, hipotensi adalah pertanda kehilangan darah banyak, yang mana bisa tampak atau tersembunyi, atau keduanya. Pada pasien cedera dengan hipotensif, pertama harus dipikirkan cedera cord spinal yang terjadi (dengan kuadriplegia atau paraplegia) serta kontusi atau tamponade kardiak dan pneumotoraks tension sebagai penyebabnya. Selama upaya mencari penyebab hipotensi, penggantian volume harus dimulai dengan menggunakan salin normal atau plasmanat. Transfusi darah harus dilakukan sesegera mungkin bila tekanan darah tidak bereaksi memadai terhadap penggantian cairan atau bila kadar hemoglobin kurang dari 10 gm% (HCT 30%). Darah kelompok O Rh negatif mungkin bisa digunakan selama belum tersedianya darah yang telah dibanding silang. Pentingnya parasentesis abdominal rutin pada pasien koma dengan hipotensif sudah terbukti. Harus ditekankan bahwa pemeriksaan neurologis tidak berarti sepanjang pasien dalam hipotensif. Pasien yang tidak responsif terhadap stimulasi saat hipotensif, sering kembali ke pemeriksaan neurologis yang mendekati normal segera setelah tekanan darah diperbaiki. rutin, skrining koagulasi, kadar alkohol serum, contoh untuk bank darah serta

17

c. Kateter Kateter Foley ( 16-18 French untuk dewasa) diinsersikan dengan hati-hati dan urine dikirimkan untuk pemeriksaan urinalisis dan skrining toksik (bila tersedia). Hematuria gross mengarah pada cedera renal dan ini indikasi untuk IVP emergensi. Hematuria ringan mungkin sekunder atas kateterisasi traumatika, kontusi renal atau jarang-jarang aneurisma aortik dissekting. Perhatian khusus harus diberikan atas catatan masukan dan keluaran cairan, terutama pada anak dan orang tua. Sebagai tambahan membantu renal. Tabel 2. Penyebab umum kehilangan darah pada pasien cedera multipel ------------------------------------------------------Tampak Laserasi scalp Cedera maksilofasial Fraktura compound Cedera jaringan lunak lain Tersembunyi Intraperitoneal atau retroperitoneal Hemotoraks Perdarahan pelvik Perdarahan pada ekstremitas pada sisi fraktura tulang panjang Hematoma subgaleal atau ekstradural pada bayi Ruptura traumatika aorta ------------------------------------------------------Tube nasogastrik, lebih disukai kateter plastik lumen ganda, diinsersikan dan dihubungkan ke penghisap dinding. Komplikasi potensial tindakan ini seperti masuknya tube intrakranial sebagai akibat sekunder fraktura tengkorak basal, harus selalu diingat. Pada pasien dengan untuk menjamin keseimbangan darah cairan, setiap catatan penaksiran kehilangan serta pengamatan perfusi

18

fraktura tengkorak basal anterior mungkin

memasukkan

tube dalam

penampakan langsung dengan laringoskop atau melalukannya per orum.

d. Sinar-X Diagnostik Segera dilakukan setelah stabilisasi kardiopulmoner, sebagai yang diuraikan berikut ini : Tulang Belakang Leher (Lateral Lintas-Meja & Anteroposterior) Adalah film pertama yang harus diambil pada pasien dengan cedera kepala berat dan harus dibaca oleh spesialis bedah saraf atau yang radiologist sebelum leher harus dicari adalah atau (2) fraktura pasien dipindahkan. Gambaran (1) hilangnya alignment korpus kompresi tulang, (3) hilangnya lunak C3 untuk

vertebral, alignment adalah

sendi faset, dan (4) pembengkakan jaringan Setiap usaha harus dilakukan

prevertebral (lebih dari 5 mm di seberang korpus vertebral bermakna).

menampilkan tingkat servikal bawah (C6 hingga C7, C7 hingga T1) karena sering terhalang oleh bahu, terutama pada pasien besar. Fraktura subluksasi pada tingkat ini mungkin tidak tampak bila film tidak diulang dengan traksi kaudad kedua lengan disertai penetrasi sinar-x yang lebih kuat. Bila manuver ini gagal juga, tampilan 'swimmer' bisa dilakukan. Bila film menunjukkan kelainan diatas, leher harus tetap dalam immobilisasi dengan kolar keras (Philadelphia) Dada Film penting ini berguna memastikan : (1) malposisi tube endotrakheal, (2) pneumotoraks, (3) hemotoraks, (4) kontusi paru-paru, (5) hemoperikardium, sementara menunggu pemeriksaan lain (/I>CT scan resolusi tinggi atau politomogram).

19

(6) fraktura iga, (7) fraktura tulang belakang toraks, dan (8) kelainan patologi toraks lainnya yang mungkin akan mendasari tindakan terhadap pasien. Tengkorak (Anteroposterior dan Lateral) Seperti dijelaskan dimuka, berguna walau nilainya terkadang agak dibawah CT scanning. Ia membantu mengidentifikasikan cedera maksilofasial, fraktura tengkorak depressed, dan cedera penetrasi. Adanya udara intrakranial (pneumosefalus) atau level udara-cairan pada sinus mewaspadakan pemeriksa akan adanya fraktura tengkorak basal yang mungkin tidak terdeteksi. Abdominal Film abdominal anteroposterior kasar) hematoma retroperitoneal udara subdiafragmatika. Pelvik. Film pelvik anteroposterior darah yang berarti. Ekstremitas Bila diindikasikan untuk mencari fraktura atau subluksasi. 2. Pemeriksaan Umum Selama proses penstabilan kardiopulmoner, dilakukan pemeriksaan umum secara cepat untuk mencari cedera lain. Lebih dari 50% pasien cedera kepala berat disertai cedera sistemik major lainnya, memerlukan penanganan oleh spesialis lain. Perhatian khusus diberikan pada : 1. Cedera kepala dan leher: laserasi, tempat perdarahan, otorrhea, rhinorrhea, mata racoon (ekhimosis periorbital). 2. Cedera toraks : fraktura iga, pneumotoraks atau hemotoraks, dan lateral biasanya dilakukan untuk mencari cedera pelvik yang merupakan tempat kehilangan tunggal (KUB) biasanya diambil pada pasien trauma. Ini membantu memastikan (secara luas, fraktura tulang belakang lumbosakral, viscera yang mengalami distensi, dan kemungkinan

20

tamponade kardiak, (dengan bunyi jantung lemah, distensi vena jugular, dan hipotensi), aspirasi, atau ARDS. 3. Cedera abdominal: terutama laserasi hati, limpa atau ginjal. Perdarahan biasanya berakibat tenderness, guarding atau distensi abdominal. Namun tanda-tanda ini mungkin tidak muncul dini dan mungkin tersembunyi pada pasien koma. Adanya bising usus biasanya pertanda tenang. 4. Cedera pelvik: Cedera pada pasien yang tidak koma bisa ditetapkan secara klinis. Konfirmasi radiologis biasanya diperlukan. Pemeriksaan rektal mungkin berguna. Cedera pelvik sering bersamaan dengan kehilangan darah tersembunyi dalam jumlah besar. 5. Cedera tulang belakang: Trauma kepala dan tulang belakang mungkin bersamaan, dan kombinasi tersebut harus selalu dicari walau kejadiannya hanya 2 hingga 5% dari pasien cedera kepala berat. Tulang belakang leher paling sering dikenai. 6. Cedera ekstremitas: Mungkin terjadi kerusakan tulang atau jaringan lunak (otot, saraf, pembuluh darah). Fraktura pada pasien gelisah harus dibidai segera untuk mencegah kerusakan saraf dan pembuluh bersangkutan. Tindakan definitif pada kebanyakan pasien cedera ekstremitas dapat ditunda hingga setelah tindakan terhadap masalah yang mengancam nyawa. 3. Pemeriksaan Neurologis Segera setelah status kardiopulmoner distabilkan, pemeriksaan neurologis cepat dan terarah dilaksanakan (Tabel). Walau berbagai faktor dapat menghalangi penilaian akurat dari status neurologis pasien pada saat tersebut (hipotensi, hipoksia, atau intoksikasi), data yang berharga dapat diperoleh. Antara alert penuh dan koma dalam, terjadi perubahan kesadaran yang sinambung hingga sulit untuk melakukan penilaian secara objektif. Sebagai dikemukakan didepan, untuk keperluan ini SKG digunakan secara luas.

21

Bila

pasien menunjukkan respons yang bervariasi terhadap

stimulasi, atau responsnya berbeda pada setiap sisi, tampilan respons yang terbaik lebih merupakan indikator prognostik yang lebih akurat dibanding respons yang terburuk. Untuk mengikuti kecenderungan arah perjalanan penyakit, lebih baik melaporkan baik respons terbaik maupun terburuk. Dengan kata lain, respons motor sisi kiri dan kanan dicatat terpisah. Sebagai stimulus nyeri standar adalah penekanan dalam terhadap bed kuku. Pemeriksaan tidak hanya terbatas pada parameter ketidaksadaran yang digunakan dalam SKG (kemampuan membuka mata, respons motor serta respons verbal), namun hal yang sama pentingnya dalam menaksir pasien dengan gangguan kesadaran adalah usia, tanda-tanda vital, respons pupil, dan gerakan mata. SKG memberikan grading sederhana dari arousal dan kapasitas fungsional korteks serebral, dan respons pupil serta gerakan mata digunakan untuk menilai fungsi batang otak. Usia lanjut, hipotensi, dan hipoksia semuanya mempengaruhi buruknya outcome. Semua faktor tersebut berpengaruh dalam penentuan prognosis pada cedera kepala berat. Tabel 4. Pemeriksaan neurologis awal pada cedera kepala ------------------------------------------------------1. Skala Koma Glasgow 2. Respons pupil terhadap cahaya 3. Gerakan mata a. Okulosefalik (dolls) b. Okulovestibular (kalorik) 4. Kekuatan motor 5. Pemeriksaan sensori sederhana ------------------------------------------------------a. Pupil Pemeriksaan teliti ukuran pupil serta reaksinya terhadap cahaya adalah paling penting pada pemeriksaan pertama. Tanda dini herniasi lobus temporal yang diketahui dengan baik adalah dilatasi ringan pupil

22

serta respons cahaya pupil yang lambat. Baik kompresi maupun distorsi saraf okulomotor saat herniasi tentorial-unkal mengganggu fungsi akson parasimpatetik yang menghantarkan sinyal eferen untuk konstriksi pupil, berakibat dilatasi pupil ringan. Namun miotik pupil bilateral terjadi pada tingkat awal dari herniasi sefalik sentral. Ini karena terganggunya jalur simpatetik pupilomotor bilateral yang berasal dari hipotalamus, memungkinkan tonus parasimpatetik predominan dan konstriksi pupil. Herniasi yang berlanjut berakibat bertambahnya dilatasi pupil serta paralisis refleks cahayanya. Dengan midriasis lengkap (pupil 8-9 mm), ptosis dan paresis rektus medial dan otot okular lainnya yang dipersarafi oleh saraf okulomotor terjadi. Sinar yang terang selalu diperlukan untuk menentukan respons cahaya pupil. Lensa yang kuat seperti plus 20diopter dari oftalmoskop standar sangat bermanfaat untuk membedakan respons cahaya pupil yang lemah dan tiadanya reaksi, terutama bila pupilnya kecil. Mencari kelainan pupil lain yang dapat terjadi pada pasien tidak sadar sangat perlu pada pasien cedera kepala. Hippus adalah fenomena yang tidak bisa diterangkan yaitu dilatasi dan kontraksi pupil spontan, dan sering dijumpai pada pasien dengan respirasi Cheyne-Stoke. Selain menunjukkan fungsi yang terganggu, ia diduga lebih menunjukkan integritas fungsional jalur simpatetik-parasimpatetik pupil. Terputusnya lengkung aferen refleks cahaya pupil didalam saraf optik diperiksa dengan menggunakan tes swinging flashlight. Cahaya lampu senter diayunkan dari mata normal ke mata yang ditunjukkan oleh respons terganggu, cedera pada saraf optik paradoksal pupil : yaitu dilatasi, bukannya

konstriksi. Terbukti bahwa sinyal cahaya yang dihantarkan ke nukleus Edinger-Westphal di otak tengah melalui saraf optik yang rusak tidak cukup untuk mempertahankan konstriksi yang disebabkan oleh illuminasi pada mata normal. Dilatasi pupil paradoks diamati saat cahaya digerakkan dari mata normal ke mata abnormal dan disebut defek pupil aferen atau pupil Marcus-Gunn, dan tiadanya opasifikasi media okular adalah bukti cedera saraf optik.

23

Pupil kecil bilateral menunjukkan pasien menggunakan obat tertentu, terutama opiat, atau mengalami satu atau beberapa ensefalopati metabolik atau lesi destruktif dari pons. Dalam hal ini refleks cahaya pupil biasanya dapat dilihat bila diperiksa dengan lensa kuat. Miosis yang terjadi pada lesi pontin adalah akibat inaktifasi struktural atau fisiologikal jalur simpatetik yang turun dari hipotalamus melalui sistem aktifasi retikular ke cord spinal. Pupil Horner bilateral kadang-kadang terlihat pada lesi batang otak, tapi pada pasien trauma perhatian harus diberikan atas kemungkinan putusnya jalur simpatetik eferen pada apeks paruparu, di dasar leher, atau selubung karotid ipsilateral. Pupil posisi tengah dengan respons cahaya variabel dapat ditemukan pada setiap tingkat dari koma. Cedera saraf okulomotor traumatika adalah diagnosis untuk pasien dengan riwayat dilatasi pupil sejak onset cedera, dengan perbaikan derajat kesadaran, dan dengan kelemahan otot okular yang sesuai. Pupil midriatik (6 mm atau lebih) terjadi kadang-kadang akibat trauma langsung pada bola mata. Midriasis traumatika ini biasanya unilateral dan tidak disertai paresis otot okular. Jarang ditemukan pupil korektopik yang berhubungan dengan kelainan otak tengah. Pada tanda ini, bukaan pupil tampak bermigrasi di dalam stroma iris karena pada sektor yang berbeda dari otot iris berkontraksi dan berrelaksasi secara tidak sinkron. Akhirnya, pupil yang berdilatasi dan fixed bilateral pada pasien dengan cedera kepala mungkin akibat perfusi vaskular serebral yang inadekuat. Keadaan ini mungkin akibat hipotensi sekunder terhadap kehilangan darah atau oleh peninggian tekanan intrakranial pada tingkat yang mengganggu aliran darah serebral. Kembalinya respons pupil mungkin terjadi segera setelah perbaikan aliran darah bila masa perfusi yang inadekuat tidak terlalu lama. b. Gerakan Mata Gerakan okular adalah indeks yang penting dari aktifitas fungsional yang berada pada formasi retikular batang otak. Bila pasien cukup alert untuk mengikuti perintah sederhana, pergerakan mata lengkap mudah

24

didapat, dan integritas sistem motor okular keseluruhan didalam batang otak dapat dipastikan. Pada keadaan kesadaran yang tertekan, gerak mata volunter menghilang, ini neural okulovestibular digunakan mungkin disfungsi pengaktifasi struktur atau menentukan ada atau tidaknya gerakan mata. Pada keadaan ini respons okulosefalik untuk

gangguan gerak mata. Untuk melakukan tes ini, harus mengerti hubungan anatomi respons yang normal. Anatomi : Klinisi sudah lama mengetahui bahwa pusat conjugate gaze mengatur gerak mata cepat horizontal (saccades) dan respons vestibular terdapat di dalam formasi retikular pontin paramedian bawah. Regio ini termasuk pengatur denyut untuk gerak mata cepat dan integrator saraf yang menentukan posisi diam mata. Penelitian terakhir pada kucing memperlihatkan bagian kaudal pusat horizontal gaze meluas ke bagian kaudal nukleus prepositus hipoglossi pada rostral medulla dan ia jelas berperanserta pada gerak mata lambat vestibular dan volunter saccadic. Jadi penelitian klinis dan hewan menunjukkan bahwa jalur bersama akhir dari semua gerak mata horizontal konjugata ipsilateral terletak pada tegmentum sambungan pontomedullari paramedian. Dari sini, sinyal untuk gerak mata horizontal dihantarkan ke nukleus abdusen ipsilateral berdekatan dan menyilang garis tengah diregio para-abdusen untuk naik di fasikulus longitudinal medial kontralateral ke neuron dinukleus okulomotor. Respons okulosefalik. Pada pasien cedera kepala tidak sadar, hilangnya gerak mata horizontal menunjukkan perlunya pemeriksaan diagnostik yang mendesak. Bila fraktura leher sudah disingkirkan, fungsi pusat gaze pontin harus segera ditentukan dengan manuver okulosefalik. Kepala ditinggikan 300 dari posisi baring dan dengan cepat diputar to and fro pada bidang horizontal. Pada respons doll's eye normal, setiap mata cenderung mempertahankan posisinya terhadap ruangan dengan gerak berlawanan terhadap rotasi kepala dan secara horizontal menuju posisi lateral dan medial yang sesuai pada orbita. Ketika manuver ini dilakukan, kelopak rektus medial

25

mata mungkin harus diretraksi secara manual untuk melihat gerak bola mata lebih baik. Impuls aferen dari akar saraf leher dan kanal semisirkuler berperan pada refleks kompensasi normal yang menggeser mata pada arah berlawanan dengan rotasi kepala. Terganggunya atau tiadanya respons okulosefalik mungkin akibat malposisi atau pemutaran kepala yang inadekuat. Beberapa pasien dengan gangguan respons okulosefalik terganggu atau tiada, akan memiliki respons kalorik normal. Karenanya, semua pasien dengan gangguan respons okulosefalik, dan juga dimana fraktura leher belum bisa ditentukan hingga tidak bisa diperiksa tes respons tersebut, harus dilakukan stimulasi kalorik dari jalur okulovestibuler. Respons okulovestibuler. Stimulasi dilakukan dengan air es dan hanya membutuhkan sedikit waktu. Obstruksi didalam kanal auditori eksternal oleh darah atau serumen harus dibersihkan. Terbatasnya gerak otot mata terjadi pada pasien dengan edema orbital. Pembengkakan intraorbital biasanya jelas tampak namun tidak menghalangi pemeriksaan tes okulosefalik atau kalorik. Banyaknya informasi tetap menguntungkan. Gerakan endolimfe didalam kanal semisirkuler horizontal bekerja terutama terhadap gerak konjugasi dari otot rektus medial dan lateral. Untuk mendapatkan pergeseran maksimal cairan ini selama stimulasi kalorik, kanal horizontal diletakkan pada bidang vertikal dengan meninggikan kepala pasien 30o dari posisi baring. Gradien suhu antara cairan irigasi dan endolimfe menimbulkan gerakan endolimfe dalam kanal semisirkuler. Dalam keadaan normal, terjadi dalam 20 hingga 60 detik dan berakhir dalam beberapa menit. Irigasi air hangat kanal eksternal menyebabkan naiknya cairan endolimfatik, menimbulkan deviasi tonik kontralateral dari mata. Irigasi air dingin menyebabkan turunnya endolimfe, menimbulkan deviasi gaze tonik ipsilateral. Walau hubungan langsung antara neuron vestibuler dan okuler telah diketahui, deviasi mata tonik setelah stimulasi kalorik barangkali disebabkan oleh interaksi yang kompleks didalam sistem kontrol gerak

26

mata di sistem retikuler pontomedullari. Pada pasien alert, stimulasi kalorik dingin menyebabkan nistagmus fase cepat pada arah berlawanan dari deviasi mata tonik. Pada keadaan ini dekenal mnemonik 'cows', cold opposite, warm same. Namun pada pasien koma, supresi fungsional sistem aktivasi retikuler ditunjukkan oleh tiadanya nistagmus sebagai respons terhadap stimulasi kalorik, jadi hanya deviasi mata tonik yang tampak (cold same). Dengan 20 ml air es sudah cukup, tapi bila tak terjadi respons dalam satu menit, tes terbaik diulang dengan volume yang lebih besar. Bila irigasi kedua tidak menimbulkan gerak mata, manuver okulosefalik simultan dapat dilakukan untuk memperkuat stimulus. Untuk menyingkirkan cedera kanal semisirkuler atau saraf vestibuler sebagai penyebab tiadanya respons kalorik dingin, respons kalorik air hangat normal pada telinga berlawanan dapat dilakukan. Respons okulosefalik lengkap pada pasien tidak sadar menunjukkan bahwa proses yang menyebabkan koma menyisakan formasi retikular pontin, fasikulus longitudinal medial, dan nuklei okulomotor serta abdusen dengan akar-akar sarafnya. Selanjutnya, supresi sistem aktivasi retikuler bertanggung-jawab atas hilangnya kesadaran diduga yang bekerja rostral dari struktur pontin dan otak tengah. Respons antara, yaitu tiadanya respons okulosefalik namun respons kalorik intak, dapat terjadi pada lesi supratentorial. Tiadanya kedua respons tersebut menunjukkan proses patologis berat yang meluas ke pons yang lebih bawah. Saat tes okulosefalik dan kalorik dilakukan, kelainan motilitas okular infranuklir, internuklir dan supranuklir dapat ditemukan. Lesi destruktif dari baik frontal maupun pusat gaze pontin berakibat overaksi tonik dari aksis frontal-pontin sisi berlawanan untuk gerak mata horizontal. Deviasi tonik mata terjadi akibat aksi sistem frontal-pontin yang masih utuh. frontal dan yang Overaksi ini berakibat deviasi ipsilateral pada lesi lobus deviasi gaze kontralateral pada lesi pontin. Pada koma dalam, deviasi gaze akibat keseimbangan berlebihan tidak harus terjadi. Untuk membedakan antara kemungkinan lesi frontal atau pontin pada pasien dengan atau tanpa deviasi gaze

27

diperlukan tes okulosefalik atau kalorik. Pada deviasi gaze akibat lesi lobus frontal, refleks okulosefalik dan kalorik tetap intak karena input utuh. Lesi pontin vestibular formasi retikular pontin paramedian tetap

memutuskan interaksi formasi retikular pontin para median okulovestibular dan okulosefalik hingga rotasi kepala menuju mata yang mengalami deviasi atau irigasi air dingin pada telinga kontralateral deviasi gaze, tidak mengatasi deviasi gaze. Gaze horizontal konjugata tak lengkap atau paretik setelah stimulasi kalorik yang memadai menunjukkan kerusakan partial pusat gaze pontin. Respons okulosefalik dan okulovestibuler diskonjugata diakibatkan baik oleh palsi saraf kranial ketiga dan keenam atau oftalmoplegia internuklir bila hanya satu otot horizontal yang paretik. Bila setiap otot horizontal untuk gaze konjugata paretik tapi yang satu melebihi lainnya, tampak palsi gaze pontin bentuk terbalik. Deviasi miring adalah divergensi mata pada bidang vertikal dan adalah tanda adanya lesi dalam batang otak. Penjelasan atas deviasi tonik dan vertikal satu atau kedua mata tidak diketahui. Pada deviasi miring, lokalisasi neuroanatomik dalam batang otak tidak selalu bisa ditentukan baik dengan adanya mata yang kebawah atau hipometrik, atau mata yang keatas atau hipermetrik. Secara umum, palsi saraf ketiga dan keenam tidak sulit untuk ditemukan pada pasien dengan cedera kepala. Palsi saraf keempat tak selalu dapat diidentifikasi pada koma karena aksi yang terbatas dari otot oblik superior. Pada pasien alert dan perbaikan, paresis oblik superior menimbulkan penglihatan ganda yang menyusahkan, terutama dengan gaze kebawah dan kedalam. Peninggian kepala arah berlawanan dengan sisi otot yang paretik mengurangi penglihatan ganda, sedang pengangkatan kepala ipsilateral menambah diplopia. Oftalmoplegia internuklir ditunjukkan oleh paresis adduksi terbatas tanpa gangguan tambahan pada pupil, kelopak, atau otot vertikal yang dipesarafi saraf ketiga. Oftalmoplegia ini disebabkan disrupsi fasikulus longitudinal medial ipsilateral yang menghubungkan subnukleus okulomotor untuk nukleus rektus medial ke pusat gaze horizontal kontralateral. Baik oftalmoplegia

28

internuklir bilateral maupun unilateral mungkin tampak, tergantung pada sampai mana cedera batang otaknya. Sedikit yang diketahui tentang insidens palsi gaze vertikal pada keadaan koma. Deviasi mata ke bawah jarang pada cedera kepala namun mungkin berhubungan dengan perdarahan talamik posterior. Gangguan gaze keatas terkadang tampak pada pasien dengan hematoma subdural bilateral atau hidrosefalus, dan diduga karena adanya kompresi pada pelat tektal. Dengan tes kalorik dingin unilateral, deviasi mata kebawah ditemukan pada koma disebabkan intoksikasi obat. Gaze vertikal dites dengan merotasikan kepala secara manual pada bidang vertikal. Manuver ini normalnya menimbulkan gaze keatas dan ke bawah kompensatori. Irigasi simultan kedua telinga mengaktifkan kanal semisirkuler untuk menimbulkan respons vertikal; tes air dingin bilateral menimbulkan gerakan mata tonik keatas, dan tes air hangat bilateral menimbulkan gaze tonik kebawah. c. Fungsi Motor Pemeriksaan dasar dilengkapi dengan pemeriksaan motor sederhana karena pasien dengan cedera kepala berat responsif terhadap setiap nilai digunakan secara internasional : Kekuatan normal Kelemahan sedang Kelemahan berat (antigravity) Kelemahan berat (not antigravity) Gerakan trace Tak ada gerakan 4. Prosedur Diagnostik Segera setelah keadaan kardiorespiratori distabilkan dan pemeriksaan neurologis pendahuluan dilengkapkan, segera ditentukan adanya lesi massa intrakranial. Pasien diintubasi dan diparalisakan 5 4 3 2 1 0 pemeriksaan hingga tidak cukup dapat dipercaya.

Setiap ekstremitas diperiksa dan dinilai dengan skala berikut yang

29

memakai pankuronium (Pavulon) atau obat sejenis dan dipasang ventilasi mekanik. Manuver ini mencegah pasien menggeliat atau bergerak, yang berarti mencegah terjadinya peninggian TIK dan secara nyata menambah kualitas pemeriksaan diagnostik. CT scanning mengungguli semua tes yang lebih kuno. Namun tes lain digunakan juga baik sebagai pengganti CT scanning, atau tes angiografi untuk melengkapi data tertentu. Ventrikulografi Sebelum berkembangnya CT scanning, ventrikulografi udara dan angiografi merupakan tes radiologis emergensi paling penting untuk menilai pasien cedera kepala dengan koma. Yang pertama disukai karena bisa didapat dalam waktu singkat, bahkan walaupun yang terakhir lebih banyak memberikan informasi. Ventrikulografi memberi dua bagian informasi penting : derajat pergeseran otak supratentorial dan tekanan intrakranial. Bila prosedur ini dilakukan dalam metoda dan tampilan standar, ventrikel hampir selalu dapat dikanulasi yang akan memberikan pengukuran TIK yang baik serta pemeriksaan udara, bahkan bila pasien dengan pergeseran ventrikular akibat sekunder dari kompresi. Tehnik Bila tak ada tanda fokal yang sering sebagai pertanda lesi massa unilateral, dipilih sisi kanan. Bila ada alasan adanya massa pada suatu sisi, sisi yang berlawanan digunakan lebih mudah untuk mengkanulasi ventrikel yang kurang terkompres. Scalp dicukur luas pada daerah sutura koronal. Setelah menpersiapkan area tersebut dengan larutan betadin dan menutup dengan kain steril, dibuat insisi 1 sm pada scalp tepat didepan sutura koronal pada garis pupil tengah. Dengan mata bor 9/64 pada bor puntir, dibuat lubang kecil melalui tengkorak pada tempat tersebut. Bor diarahkan pada nasion, dan pada bidang sagittal mengarah telinga berlawanan. Panjang mata bor diatur 2 hingga 2.5 sm untuk mencegahnya amblas kejaringan otak. Segera setelah bor menembus tengkorak , yang bisa 'dirasa', bor ditarik. Dura terbaik ditembus dengan mata bor yang berat atau ventrikular dalam slit-like

30

dipegang dengan tangan dengan gerakan memuntir. Manometer diisi salin steril pada tingkat sekitar 300 mm air dan dihubungkan ke tube fleksibel menggunakan stopkok. Kanula otak no.16 atau tube ventrikulostomi dilewatkan melalui lubang menuju ventrikel lateral. Porosnya seperti dikatakan, mengarah nasion dan telinga seberang. Bila ventrikel tidak tercapai dengan cara ini, aksis dimiringkan menuju pupil ipsilateral dan kemudian lebih dalam. Sekali ditujukan pada pupil kontralateral pada dua stilet dicabut sedikit untuk tembusan berikutnya. Ventrikel ditembus sekitar 7-8 sm; tidak dianjurkan kanula tembus, memastikan masuknya keventrikel. Bila kanul sudah pada ventrikel, CSS akan tampak mengalir keluar saat stilet dicabut. Hati-hati jangan sampai lebih dari satu atau dua tetes CSS terbuang saat mencabut stilet dan menghubungkannya ketube manometer, hingga didapat bacaan TIK yang paling akurat. Bila ketiga jalur pada satu sisi gagal mencapai ventrikel, prosedur diulang pada sisi lainnya. Bila gagal juga, prosedur dibatalkan. Sekali manometer telah dihubungkan dengan kanula, stopkok dibuka dan TIK diukur dengan pasien berbaring datar pada punggungnya. Foramen Monro digunakan sebagai titik referensi. Harus diingat bahwa hipotensi arterial mungkin berakibat bacaan TIK yang rendah dan bahwa hiperkarbia dan hipoksia cenderung meninggikan TIK. Setelah mengukur tekanan, sekitar 7 cc udara secara hati-hati ditukar dengan CSS, kepala ditinggikan dari sisi ke sisi, dan sinar-x tengkorak posisi Towne anteroposterior dilakukan setelah kanula diangkat serta insisi scalp dijahit dengan jahitan tunggal. TIK normal pada pasien relaks atau paralisa yang tidak dengan hipotensif atau hiperkarbik/hipoksik adalah 10 mmHg (136 mmH2O) atau kurang. Walau tekanan bervariasi antara 10 hingga 20 mmHg (136 hingga 272 mmH2O) mungkin terjadi dengan gangguan sedang volume intrakranial , tekanan yang lebih tinggi dari ini memperingatkan hematoma intrakranial yang luas, cedera otak diffusa berat, atau keduanya. Perubahan besar dinamika tekanan-volume intrakranial diperlukan untuk meninggikan TIK hingga taraf tersebut.

31

Lesi massa intrakranial unilateral paling berbahaya adalah bila menggeser garis tengah sebesar 5 mm atau lebih.Ini selalu berhubungan dengan peninggian TIK tengah minimal, kecuali disertai kebocoran CSS. Lesi lobus tinggi dan ventrikel temporal yang nyata mungkin hanya menyebabkan pergeseran garis namun TIK biasanya menjadi ketiga, bila tampak, sering bergeser melebihi ventrikel lateral. Bila pergeseran garis tengah tidak ada atau sedikit, TIK meninggi, dan pasien tidak hiperkarbik, maka terdapat baik lesi massa bilateral atau cedera otak diffusa serius. CT scan akan memecahkan masalah ini, namun bila ini tidak tersedia maka pasien harus memiliki angiogram untuk menentukan hamatoma bilateral yang balans atau kontusi yang mungkin memerlu-kan intervensi operatif. Trefinasi Bor-puntir Mahoney melaporkan percobaannya dengan trefinasi bor-puntir di UGD pada pasien dengan sindroma herniasi unkal progresif cepat walau setelah terapi medikal progresif. Ini dapat digunakan bila terdapat Ketepatannya 81% untuk keterlambatan dalam mendapatkan hasil CT scan, walau terkadang lebih disukai menggunakan ventrikulogram udara. melebar, dua jari diatas arkus ada atau tidaknya hematoma. Trefinasi dilakukan pada sisi pupil yang zigoma dan dua jari anterior telinga, menggunakan bor tangan bergaris tengah 15/64 inci. Dura dibuka, dan evakuasi parsial dari hematoma dilakukan dengan penghisap. Andrews juga melakukan eksploratori burr-holes pada pasien dengan tanda klinik herniasi tentorial atau disfungsi batang otak saat pasien masuk UGD. Pasien langsung masuk kamar operasi setelah intubasi dan resusitasi, dan dilakukan burr-hole. pada Eksplorasi lengkap mencakup lubang di ekstraserebral ditemukan 56%. yang temporal, frontal dan parietal. Massa Eksplorasi hematoma yang bermakna.

38% negatif dan dari CT scan tidak didapatkan Pada 6%, hematoma ekstra-aksial

harus dioperasi terlalaikan. Pilihan ini perlu dipikirkan bila CT scan tidak segera dapat disediakan atau pasien jelas dalam herniasi.

32

Angiografi Indikasi Angiografi dilakukan pada pasien cedera kepala akut bila CT scanning tidak tersedia. Bila tersedia, angiografi kadang-kadang diindikasikan misalnya bila ada efek massa yang tampak pada CT scan namun tidak ada hematoma yang tampak (diagnosis diferensialnya adalah hematoma isodens dan pembengkakan parenkhimal akuta), bila cedera vaskuler diduga, atau bila temuan CT scan tidak sesuai dengan status neurologikal pasien. Laporan terakhir menyebutkan pada 24 pasien dengan diseksi arteria karotid traumatika didapatkan tanda sindroma Horner, disfasia, hemiparesis, obtundasi, dan monoparesis. Bila diduga hematoma subdural isodens, keberadaannya dapat dipertegas dengan mengubah jendela CT scan atau menggunakan pemeriksaan dengan penguatan kontras, sebelum melakukan angiografi. Tehnik Selain memerlukan waktu untuk mempersiapkannya, pemeriksaan ini memerlukan keahlian tersendiri dalam usaha agar pelaksanaannya aman dan efektif. Bila dilakukan oleh ahli, kateterisasi transfemoral adalah pilihan. Ini memberikan informasi terbanyak, namun karena memerlukan waktu yang lebih lama dan lebih sulit secara tehnis, tidak banyak digunakan pada pasien cedera kepala. Angiogram yang didapat di UGD biasanya dilakukan dengan suntikan langsung pada arteria cegah sinus carotid dan plak karotid komunis atau internal. Pada setiap kasus, harus hati-hati agar tidak menusuk daerah bifurkasio, jadi ateroma. Jarum no. 18 digunakan untuk tindakan ini. Tangan kiri

menahan arteri karotid pada badan vertebral menggunakan telunjuk dan jari tengah. Jarum angiografi diinsersikan antara kedua jari penahan dan ditujukan miring kedinding arteri. Dinding pembuluh dapat juga ditembus tegak-lurus dalam mencegah tergelincirnya jarum dan setelah tembus jarum diarahkan paralel dinding pembuluh. Siring 20 ml dengan stopkok dan tube penghubung diisi dengan salin dan dalam keadaan siap. Media

33

kontras iodin larut air nonionik (misal Omnipaque 300) dimasukkan siring 10 ml dan dihubungkan kestopkok. Sekali tube penghubung terhubung dengan jarum, aliran darah yang baik dibuktikan dengan siring salin. Stopkok diputar dan media sebelum siring kosong, kontras disuntikkan secara cepat. Tepat mengambil foto. Angiografi radiografer mulai

biplane dengan pengganti film otomatis adalah ideal. Namun bila ini tidak tersedia, tiga film AP dan tiga film lateral biasanya memberikan data yang lengkap. Pengisian sisi berlawanan bisa didapat dengan mengkompresi arteria karotid komunis kontralateral saat penyuntikan material kontras. Tehnik Seldinger mungkin digunakan dalam kateterisasi karotid. Ini adalah penetrasi arteri karotid komunis pada leher bagian bawah dengan jarum no. 18 dan memasukkan penuntun Seldinger panjang 50 sm melalui jarum tersebut. Jarum kemudian dilepas saat penuntun 3 sm diluar ujungnya. Kateter 30 sm (PE 160) dimasukkan melalui penuntun dan dengan gerak puntir didorong ke pembuluh. Penuntun kemudian ditarik. Aliran darah yang baik harus dipastikan sebelum menyuntikkan kontras. Bila diduga adanya diseksi karotid, pemeriksaan transfemoral harus dilakukan, karena penyuntikan karotid langsung membawa risiko arah lumen yang salah. Interpretasi Lesi massa supratentorial biasanya menyebabkan pergeseran kontralateral arteria serebral anterior dan vena serebral internal. Yang terakhir, menjadi lebih dekat ke titik tengah kranium, kurang terpengaruh oleh pemutaran film, yang biasa pemutaran kepala ke setiap sisi. Walau pergeseran pembuluh tidak memberikan perbedaan antara pembengkakan parenkhimal dan hematoma, pemeriksaan pola dapat membantu letaknya lesi. Lesi frontal menyebabkan lengkungan arteria serebral anterior, hingga disebut 'rounded shift', dengan pergeseran terbatas dari menyebabkan vena serebral internal. Lesi parietal cenderung 'square shift' arteria serebral anterior, primer karena merupakan masalah umum akibat

34

pelebaran falks serebral yang kaku ke posterior, dan vena serebral internal tergeser lebih nyata. Lesi lobus temporal berakibat pergeseran medial bifurkasi arteria karotid internal dan pergeseran ke atas yang khas grup arteria serebral media. Ini mungkin juga tampak pada pandangan lateral, namun kurang dapat dipertanggung-jawabkan karena bahkan rotasi yang ringan dari kepala dapat memprojeksikan lengkungan ke atas yang jelas. Ini harus diingat bahwa lesi parietal mungkin tidak menyebabkan pergeseran garis tengah bilateral dalam keadaan yang seimbang. Lesi massa infratentorial sulit terdeteksi secara angiografi, dan penyuntikan vertebral jarang dilakukan untuk keperluan ini. Massa fossa posterior mungkin dan pelengkungan diduga bila terbukti adanya hidrosefalus pada film kelateral pembuluh talamostriata pada film karotid (yaitu pergeseran keatas dari arteria perikalosal pada film lateral anteroposterior). Herniasi transtentorial tampak pada angiogram karotid anteroposterior dan lateral khoroidal anterior sebagai sebagai peregangan yang jelas arteria akibat pergeseran unkal kemedial. Bila yang nyata bila lesi massa

arteria komunikating posterior tampak, ia juga tampak terregang dan terkadang terkompres terhadap prosesus klinoid posterior. Arteria serebral posterior tergeser ke inferior pada film tampak lateral dan tampak bergeser kemedial bersama kedua arteria serebelar superior pada film antero-posterior karena herniasi girus hipokampal. Lesi massa sendiri tampak sebagai area avaskular pada angiogrfi. Tampilan klasik hematoma ekstra-aksial pada film AP tampak sebagai ruang yang jelas antara tabula interna tengkorak dan pembuluh kecil pada permukaan otak yang tampak pada fase vena. Bila klot terletak dekat verteks, film oblik diperlukan untuk memperlihatkan keberadaannya, walau pergeseran sinus vena menjauhi tulang mungkin tampak pada tampilan lateral pada beberapa kasus dimana klot mencapai verteks. Klot subfrontal diduga bila bagian proksimal arteria serebral anterior tergeser keatas dan kebelakang. Perbedaan ekstradural pada angiogram antara hematoma subdural dan sulit dipastikan dan agak memerlukan

35

pengalaman akademis. Kelainan pada waktu transit, spasme pembuluh intrakranial, dan bentuk lain cedera vaskular mungkin tampak pada pasien cedera kepala. Tomografi Terkomputer Indikasi CT scanning jelas merupakan prosedur pilihan dalam mengevaluasi pasien cedera kepala dan kemungkinan memperbaiki secara jelas outcome pasien dengan cedera kepala. Setiap kali muncul scanner generasi baru, selalu disertai dengan perbaikan informasi yang diberikan. Namun perencanaan terpenting yang berkaitan dengan pengelolaan pasien adalah berlandaskan pada temuan dasar tertentu. Dianjurkan sekali bahwa CT scan emergensi harus dilakukan sesegera mungkin (dalam setengah jam) setelah pasien dengan cedera kepala berat datang. Rumah sakit harus memiliki tehnisi CT yang siap 24 jam atau mudah dicari dalam keadaan darurat. Dianjurkan CT scan ulang bila terjadi perubahan status klinis pasien atau terjadi peninggian TIK yang tak dapat dijelaskan. Selanjutnya temuan CT scan dinilai untuk bila perlu dilakukan monitoring TIK. Tehnik Segera setelah status pulmonari distabilkan, pasien didorong kekamar CT. Pada saat ini, kamar operasi diperingatkan akan kenungkinan akan dilakukannya kraniotomi, dan bila perlu persiapan lain diambil untuk memastikan kesiapan pasien untuk operasi. Ini termasuk penentuan golongan serta x-matching darah serta menghubungi keluarga yang bertanggungjawab atas izin operasi. Pasien diikuti kekamar CT oleh dokter karena pasien dalam sakit parah dan sering memburuk dengan mendadak. Biasanya pasien kekamar CT sudah dalam intubasi, paralisis, dan dengan ventilasi mekanik. Tidak bijaksana untuk bersikap pasif pada saat ini, diharuskan melakukan pengamatan yang berulang dari tanda vital dan reaksi pupil.

36

Bila CT scan menampakkan adanya lesi massa operabel, pasien didorong kekamar operasi. Manipulasi jendela scanner selama scanning kadang-kadang diperlukan untuk melihat hematoma yang relatif isodens.

Interpretasi 70% CT scan pasien mempunyai kelainan : lesi densitas rendah 10%, lesi non operatif densitas tinggi 19%, lesi densitas tinggi yang harus operasi 41% (Narayan). Lesi densitas rendah, bila tampak pada tiadanya lesi densitas tinggi, diinterpretasikan sebagai edema atau infarksi. Lesi densitas tinggi non operatif adalah kontusio atau hematoma yang menyebabkan pergeseran garis tengah kurang dari 5 mm. Lesi densitas tinggi (hematoma epidural, subdural, intraserebral) dianggap memerlukan tindakan operasi dekompresi bila menyebabkan pergeseran garis tengah 5 mm atau lebih. Dengan kata lain, dasar pemikiran ditekankan pada derajat pergeseran garis tengah dalam menentukan pasien mana yang harus dioperasi. Pergeseran garis tengah yang bermakna pada pasien cedera kepala sudah dibuktikan ada kaitannya dengan tingkat kesadaran. Densitas CT scan diukur dengan skala yang mula-mula diperkenalkan oleh Hounsfield dan selanjutnya dimodifikasi dengan faktor dua. Pada skala ini, koefisien absorpsi air (Nomor Hounsfield, atau H) adalah 0, udara -1000, dan tulang +1000. Nomor H untuk struktur intrakranial sebagai berikut : Udara Lemak Air CSS Substansi putih Substansi kelabu Darah yang ekstravasasi Tulang atau kalsifikasi -1000 -100 0 4-10 22-36 32-46 50-90 800-1000

37

Pada CT scan, edema tampak sebagai zona densitas rendah dengan nilai penguatan berkisar antara 16 dan 24 H, bila dibandingkan dengan nilai substansi putih 22 hingga 36 H. Berkaitan dengan densitas rendah ini, efek lesi massa terhadap ventrikel berdekatan mungkin bisa disaksikan, menunjukkan adanya kompresi, distorsi, dan pergeseran sistem ventrikular. Edema mungkin fokal, multi fokal atau diffusa. Dengan edema serebral difusa, mungkin sulit untuk memastikan densitas yang lebih rendah karena tidak ada area otak normal sebagai pembandingnya. Pada setiap kasus dengan kompresi ventrikular bilateral, yang mungkin sangat hebat hingga berakibat sistem ventrikular tidak dapat disaksikan, terutama pada anak-anak. Diperdebatkan apakah gambaran pembengkakan otak diffusa disebabkan oleh edema atau bendungan vaskular. Walau nomor penguatan bisa diharapkan untuk membedakan kedua keadaan, hal tersebut tetap rumit karena adanya perubahan lemak otak setelah cedera. Miller dan Corales menyimpulkan bahwa konsep edema otak morfologis. Kontusi serebral tampak sebagai area densitas tinggi yang tak homogen yang tersebar diantara area densitas rendah, dengan nilai penguatan berkisar antara 50 hingga 60 H. Tampilan CT akibat area perdarahan kecil multipel dalam substansi otak, berhubungan dengan area edema. Tepinya biasanya susah ditentukan. edema, dan perjalanan waktu, Efek massa sering tampak, walau mungkin minimal. Tergantung luasnya perdarahan, derajat kontusi mungkin tampak menjadi operatif (kontusi) predominan dens atau lusen. Outcome pasien yang menunjukkan baik lesi densitas rendah atau lesi densitas tinggi non keseluruhan morfologisnya adalah berhubungan erat. Walau tidak selalu mungkin membedakan antara hematoma subdural dan epidural pada CT scan, yang terakhir ini khas dengan bentuk bikonveks atau lentikular, karena perlekatan yang erat antara dura adalah sangat serupa, perkiraan selanjutnya menunjukkan bahwa secara pasca trauma terlalu berlebihan, dan mereka perubahan vaskular dalam genesis dari menitikgambaran beratkan peran

38

dengan

tabula interna mencegah hematoma mengalami penyebaran. saat operasi

Sekitar 20% pasien dengan hematoma ekstraserebral ditemukan memiliki perdarahan baik pada rongga subdural maupun epidural dengan CSS, hingga lesi atau otopsi. Terdapat sedikit kemungkinan darah epidural bercampur ini menunjukkan koleksi dens uniform dan jarang-jarang isodens. Ini mungkin terjadi pada tampilan kemudian waktu, terutama setelah evakuasi lesi balans kontralateral. Hematoma subdural yang khas cenderung menjadi lebih difus dibanding hematoma epidural dan memiliki tepi dalam yang konkaf yang mengikuti permukaan otak. Perbedaan antara lesi akuta, subakuta dan kronik agak tidak pasti. Namun dari penelitian diklasifikasikan akuta bila simtomatik untuk 0 hingga 7 hari, subakuta bila simtomatik dalam 7 hingga 22 hari dan kronik bila simtomatik lebih dari 20 hari, 100% kelompok akuta mempunyai lesi hiperdens, 70% kelompok subakuta memiliki lesi isodens dan 76% kelompok kronik memiliki lesi hipodens. Hilangnya sulsi serebral diatas konveksitas dan distorsi ventrikel ipsilateral mungkin merupakan tanda adanya hematoma isodens. Selalu, derajat pergeseran garis tengah merupakan kriteria utama dimana perencanaan operasi evakuasi ditentukan. Hematoma intraserebral traumatika biasanya berlokasi dilobus frontal dan temporal anterior, walau bisa terjadi dimana saja. Kebanyakan hematoma terbentuk segera setelah cedera, namun lesi tertunda bukannya tidak jarang, biasanya terbentuk dalam minggu pertama. Adalah lesi densitas tinggi dengan nilai penguatan antara 70 hingga 90 H dan biasanya dikelilingi zona densitas rendah karena edema. Hematoma traumatika lebih sering multipel dibanding hematoma akibat sebab lain. Perdarahan intraventrikular semula dipercaya mempunyai prognosis yang buruk secara uniform. Ini tidak lagi dianggap benar setelah berkembangnya CT scanning. Ia sering bersamaan dengan perdarahan parenkhimal. Darah menjadi isodens relatif cepat dan sering menghilang sempurna dalam seminggu. Ventrikulostomi diletakkan di ventrikel yang

39

kurang berdarah, dan tube besar (No. 8 French) digunakan saat perdarahan intraventrikular tampak pada CT. Hidrosefalus obstruktif akuta mungkin terbentuk sekunder atas hematoma fossa posterior yang menyumbat jalur ventrikular. Namun hidrosefalus yang timbul kemudian jauh lebih sering, terjadi pada 3 dari 48 pasien dengan cedera kepala berat yang diikuti dengan CT scan serial (Narayan). Hidrosefalus komunikans ini akibat dari darah dirongga subarakhnoid dan biasanya nyata hari ke 14 pasca cedera. Infarksi iskemik akuta mungkin tampak sebagai area densitas rendah dibanding otak sekitarnya. Infarksi dapat dideteksi CT scan dalam 24 jam dari onsetnya, dan lebih dari 60% jelas tampak pada hari ketujuh. Pemberian kontras memperbaiki hasil diagnostik hingga 15%, dan pencitraan resonansi magnetik (MRI) mungkin akan lebih sensitif. 5. Indikasi Operasi Sulit untuk memutuskan secara tegas dan cepat dalam mengelola kelainan cedera kepala yang bentuknya sangat beragam. Ada beberapa petunjuk yang telah terbuktikan berguna 'disaat dalam keterbatasan'. Beberapa berdasarkan pada data, beberapa atas kelainan klinis, dan beberapa atas keinginan yang besar untuk menyederhanakan masalah kompleks yang tidak mengandung harapan. Dalam bentuk yang sederhana, kriteria untuk menyimpulkan suatu lesi massa harus dioperasi adalah pergeseran garis tengah 5 mm atau lebih. Setiap pergeseran dapat dilihat pada CT scan, angiografi, atau ventrikulografi. Semua hematoma epidural, subdural, atau intraserebral yang mempunyai pergeseran garis tengah 5 mm atau lebih harus dievakuasi secara operatif. Kadang-kadang dijumpai pasien dengan hematoma kecil dengan pergeseran ringan yang tetap alert dan tanpa kelainan neurologi. Pendekatan konservatif dilaksanakan pada pasien tersebut, namun bisa terjadi perburukan, dan pengamatan yang ketat sangat diperlukan. Bila terjadi perubahan pada status mental, ulangan harus dilakukan segera.

40

Semua lesi massa dengan pergeseran 5 mm atau lebih harus dioperasi, kecuali pasien dalam mati otak. Dasar pemikiran ini adalah terbukti bahwa beberapa pasien dengan pupil yang non reaktif bilateral, gangguan respons okulosefalik, dan postur deserebrasi sekalipun dapat mengalami perbaikan yang besar. Beberapa yang tandanya sebelumnya diramalkan lain. Pengelolaan kontusi otak agak kurang tegas. Penelitian yeng memberikan tuntunan pada keadaan ini semula dilakukan Galbraith dan Teasdale. Dari 26 pasien dengan hematoma intrakranial traumatika yang dikelola non operatif, semua pasien dengan TIK lebih dari 30 mmHg akan memburuk dan memerlukan operasi. Sebaliknya hanya satu pasien dengan tingkat TIK kurang dari 20 mmHg memburuk. Pasien dengan TIK antara 2 hingga 30 mmHg dikelompokan yang memerlukan dan tidak memerlukan operasi. Penelitian Narayan akhir-akhir ini terhadap 130 pasien cedera kepala dengan kontusi murni yang dilaku- kan CT scan dan, bila perlu, pengamatan TIK di unit perawatan intensif bedah saraf (NICU). Tampak bahwa pasien dengan kontusi otak yang dapat mengikuti perintah saat masuk tidak memerlukan monitoring TIK dan sebagai pegangan, cukup dengan pengamatan sederhana. Namun yang tak perintah (tanpa adanya lesi dapat mengikuti fokal di area bicara) sering mempunyai ditindak maksimal dapat mencapai kategori 'baik' atau 'cacad sedang', walau dari tanda-

hipertensi intrakranial dan patut mendapatkan monitoring TIK. Sebagian besar pasien dengan sisterna basal terkompres memerlukan operasi. Diketahui bahwa algoritma ini sangat berguna dalam mengelola pasien. Sudah disimpulkan bahwa pasien dengan hematoma lobus temporal besar ( lebih dari 30 sk) mempunyai risiko yang lebih besar untuk mengalami herniasi tentorial dibanding yang mempunyai lesi frontal atau oksipital. Hal ini mengharuskan operasi yang dini pada setiap kasus tersebut. Bila CT scan tak dapat dilakukan segera, keputusan operasi diambil berdasarkan ventrikulografi dan pengamatan TIK. Sekali lagi, pergeseran

41

garis tengah 5 mm atau lebih mengindikasikan perlunya tindakan operasi dekompresi segera. Bila tidak ada pergeseran garis tengah namun TIK meninggi hingga sekitar 20 mmHg, angiografi harus dilakukan segera untuk menyingkirkan lesi balans bilateral. Bila angiografi dilakukan pada pasien dengan cedera kepala berat, temuan berikut ini harus diingat sebagai indikasi untuk operasi : 1. Lesi massa intra atau ekstra aksial menyebabkan pergeseran pembuluh serebral anterior menyeberang garis tengah sejauh 5 mm atau lebih. 2. Lesi massa ekstra aksial lebih dari 5mm terhadap tabula interna, bila ia berhubungan dengan pergeseran arteri serebral anterior atau media berapapun jauhnya. 3. Lesi massa ekstra aksial bilateral lebih dari 5 mm terhadap tabula interna. Kecuali untuk pasien dengan atrofi otak yang jelas, setiap massa intrakranial akan menyebabkan peninggian TIK yang nyata. 4. Lesi massa intra aksial lobus temporal menyebabkan pengangkatan nyata dari arteria serebral media atau pergeseran garis tengah berapapun jauhnya. Pasien ini berada dalam posisi yang paling berbahaya, karena hanya pembengkakan yang ringan dapat menyebabkan sindroma herniasi tentorial yang berkembang sangat cepat. Bila pasien sudah diputuskan sebagai kandidat untuk operasi, ia segera dibawa keruang operasi; bila tidak, pasien dibawa ke NSICU. Bila pasien memiliki lesi massa, mannitol (1 hingga 2 g/kg) harus diberikan dalam perjalanan keruang operasi. Sebagai tambahan, pasien harus dihiperventilasi hingga didapat PCO2 arterial 25 hingga 30 mmHg. Untuk semua tindakan yang diambil hingga demikian jauh, waktu adalah essensi. Makin cepat lesi massa dievakuasi, makin besar kemungkinan untuk pemulihan yang lebih baik. Bila, disisi lain, tidak ada lesi yang harus dioperasi ditemukan, pasien diamati secara sungguh-sungguh di NSICU, baik klinis dan dengan berbagai parameter fisiologi, terutama

42

pengamatan TIK dan CT scan serial. Setiap peninggian TIK diatas 20 mmHg yang tidak dapat segera dijelaskan dan tak dapat dikoreksi dan setiap perburukan status neurologis mengharuskan mengulang CT scan segera diikuti perbaikan dalam tindakan yang sesuai.

LEMBAR PERINGATAN

UNTUK PASIEN CEDERA KEPALA RINGAN

___________________________________________________________ PADA SAAT INI KAMI TIDAK MENEMUKAN KELAINAN YANG MENUNJUKKAN BAHWA YANG TIDAK CEDERA KEPALA DAPAT YANG ANDA ALAMI TIMBUL DALAM ADALAH SERIUS. NAMUN, GEJALA YANG BARU DAN KOMPLIKASI DISANGKA-SANGKA BEBERAPA JAM HINGGA BEBERAPA HARI SETELAH CEDERA. 24 JAM PERTAMA ADALAH WAKTU YANG PALING GENTING DAN ANDA HARUS TETAP BERADA DALAM PENGAWASAN KELUARGA ATAU ORANG YANG DAPAT DIPERTANGGUNG-JAWABKAN, PALING TIDAK DALAM PERIODE INI. BILA ADA DARI TANDA-TANDA DIBAWAH INI TERJADI, SEGERA KEMBALI KERUMAH-SAKIT: 1. Mengantuk atau semakin sulit membangunkan pasien (Pasien harus dibangunkan setiap 2 jam selama masa tidur). 2. Mual atau muntah. 3. Kejang-kejang atau sawan. 4. Mengalirnya darah atau cairan dari hidung atau telinga. 5. Nyeri kepala hebat. 6. Kelemahan atau kehilangan rasa dari tungkai atau lengan. 7. Bingung atau berkelakuan asing. 8. Satu pupil (bagian hitam dari mata) lebih lebar dari sisi lainnya; gerakan yang tidak biasa dari bola mata, penglihatan ganda atau gangguan penglihatan lainnya. 9. Denyut nadi yang sangat lambat atau sangat cepat, atau pola pernafasan yang tidak biasa.

43

Bila terdapat pembengkakan pada sisi cedera, gunakan bungkusan es, pastikan bahwa terdapat kain atau handuk antara bungkusan es dan kulit. Bila pembengkakan membesar dengan cepat walaupun menggunakan bungkusan es, kembali ke rumah sakit. Anda dapat makan atau minum seperti apa yang anda inginkan. Namun anda tidak diperkenankan meminum minuman beralkohol paling tidak selama tiga hari sejak cedera. Jangan makan sedatif atau penghilang nyeri jenis apapun yang lebih kuat dari parasetamol, paling tidak dalam 24 jam pertama. Jangan gunakan obat-obat yang mengandung asetosal (aspirin).
/----------------------------------------------------------------------------------------------------------/ | | PADA CT SCAN, VENTRIKULOGRAM ATAU ANGIOGRAM, TEMUAN YANG TERPENTING | | LESI MASSA DAN PERGESERAN GARIS TENGAH. ! ! /--------------------------------/ | LESI MASSA DENGAN MM | | PERGESERAN GARIS TENGAH > 5 MM | /--------------------------------/ | Mannitol 1-2 gm/kg IV ! /----------------------------------/ | UNTUK ATAU SEGERA AKAN DILAKUKAN | | PENGANGKATAN MASSA /----------------------------------/ | | | /--------------------------------------------/ | ICU BEDAH SARAF | | | | | | |------------/ | | | | | + MASSA KECIL /--------------------------------/ | | | /--------------------------------/ |----------------------------------------| PERGESERAN GARIS TENGAH < 5 ADALAH ADANYA

/----------------------------------------------------------------------------------------------------------/

| - Pasien diintubasi dan dalam respirator. | | - Dapatkan pemeriksaan neurologis dasar. | | - Paralisakan dan letakkan pada respirator.| | kecuali pasien dapat mengikuti perintah. | /--------------------------------------------/

/--------------------| - Biarkan efek Pankuronium habis.

/----------------------------------------------/ | PENGAMATAN T.I.K. BILA: |

/----------------------------------------------/ | | | PENGAMATAN T.I.K. MUNGKIN DITUNDA ATAU

| - Pasien tidak dapat mengikuti perintah. | | - Pasien telah dilakukan kraniotomi. |

|------------| BAHKAN DIBATALKAN BILA PASIEN DAPAT | | MENGIKUTI PERINTAH DAN TIDAK MEMILIKI

44

| - CT scan saat masuk tidak normal. DIKIRI |

| FAKTOR-FAKTOR RISIKO YANG TERTULIS /----------------------------------------------/

| - CT scan saat masuk normal, namun ditemukan | | dua atau lebih faktor-faktor berikut: | | | - Usia diatas 40 tahun. - TD saat masuk < 90 mmHg. - Posturing motor. | | | |

/----------------------------------------------/ /---------------------/ /-------------------------------------------------/ | | - Reposisi kepala untuk mencegah kompresi leher.|---------------| - CT scan ulang hari ketiga setelah | | - Rekalibrasi pengamat (monitor). | - Cek ABG dan sodium serum. atau| | - Alirkan C.S.S. melalui ventrikulostomi. | - Pastikan pasien tidak terjerat. /-------------------------------------------------/ /-------------------------------------------------/ | BILA TAK ADA REAKSI, BERI MANNITOL DAN ULANGI |-/ | CT SCAN UNTUK MENYINGKIRKAN ADANYA MASSA /-------------------------------------------------/ | /-------------------------------------/ TENGAH YANG BERMAKNA | /-------------------------------------/ ! /-------------------------------------/ PENGAMATAN DAN | | | TERAPI MEDIKAL /-----------------------------------------------/ | /-----------------------------------------------/ ! /-----------------------------------------------/ |-------------------| KEMBALI KE ICU UNTUK | /-----------------------------------------------/ | LESI MASSA DENGAN PERGESERAN > 5 mm |-------------------| TAK ADA PERGESERAN GARIS || | | | pergeseran garis tengah, | ventrikulostomi dapat dilepas. /---------------------------------------/ | | | | | pengaliran C.S.S. dihentikan selama | | tiga jam. | | - Bila tidak ada ventrikulomegali | /---------------------------------------/ | | | BILA T.I.K. TETAP DIBAWAH 20 mmHg: | BILA T.I.K. MENINGGI DIATAS 20 mmHg:

| - Hiperventilasi hingga pCO2 25 hingga 30 mmHg. |

| UNTUK ATAU SEGERA AKAN DILAKUKAN | OPERASI DEKOMPRESI /-------------------------------------/

PERTIMBANGAN UNTUK OPERASI


Anestesia Pertimbangan utama dalam memilih obat anestesi, atau kombinasi obat-abatan anestesi, adalah pengaruhnya terhadap TIK. Karena semua obat yang menyebabkan vasodilatasi serebral mungkin berakibat peninggian TIK, pemakaiannya sedapat mungkin harus dicegah. Satu yang terburuk dalam hal ini adalah ketamin, yang merupakan vasodilator

45

kuat dan karenanya secara umum dicegah penggunaannya pada pasien cedera kepala. Semua obat anestesi inhalasi dapat meninggikan aliran darah serebral secara ringan hingga berat. Obat inhalasi volatil seperti halotan. enfluran dan isofluran, semua meninggikan aliran darah serebral, namun mereka mungkin aman pada konsentrasi rendah. Isofluran paling sedikit kemungkinannya menyebabkan vasodilatasi serebral. Nitrous oksida berefek vasodilatasi ringan yang mungkin secara klinik tidak bermakna, dan karenanya dipertimbangkan sebagai obat yang baik untuk digunakan pada pasien cedera kepala. Kombinasi yang umum digunakan adalah nitrous oksida (50-70 % dengan oksigen), relaksan otot intravena, dan tiopental. Penggunaan hiperventilasi dan mannitol sebelum dan selama induksi dapat mengaburkan efek vasodilatasi dan membatasi hipertensi intrakranial pada batas tertentu saat kranium mulai dibuka. Bila selama operasi pembengkakan otak maligna terjadi, yang digunakan. refraktori terhadap hiperventilasi dan mannitol, tiopental (Pentothal) pada dosis besar (5-10 mg/kg) harus Obat ini dapat menyebabkan hipotensi, terutama pada pasien hipovolemik, karenanya harus digunakan hati-hati. Sebagai pilihan terakhir, penggunaan hipotensi terkontrol, dengan trimetafan (Arfonad) atau nitroprussida (Nipride) dapat dipertimbangkan. Pada setiap keadaan, penting untuk memastikan

penyebab pembengkakan otak, seperti kongesti vena akibat kompresi leher dan adanya hematoma tersembunyi baik ipsi atau kontralateral dari sisi kraniotomi. Hematoma Subdural Subdural hematoma akuta mungkin diakibatkan oleh perdarahan otak yang mengalami laserasi, pembuluh kortikal tulang, atau vena bridging yang mengalami avulsi. Umumnya cedera otak yang nyata, tampak pada lobus frontal inferior dan lobus temporal. Untuk mencapai garis tengah, baik regio frontal, temporal dan parietal, sebaiknya dibuat flap yang luas dalam menindak hematoma subdural akuta. Insisi scalp adalah tanda tanya standar dimulai tepat anterior tragus pada arkus zigomatik, melengkung keposterior diatas telinga kegaris tengah dan turun

46

digaris tengah kesekitar satu sentimeter atau tepat

sebelum batas

rambut. Bila pasien cepat memburuk, dekompresi temporal segera dapat dilakukan melalui kraniektomi kecil. Ini akan mengurangi tekanan pada batang otak dan mungkin dapat mencegah atau memulihkan herniasi tentorial yang telah terjadi. Bila hal ini tercapai, sisa flap dapat dilengkapkan. Perluasan medial kraniotomi adalah sekitar 1.5 sm dari garis tengah untuk mencegah cedera sinus sagittal superior atau salah satu dari lakuna vena atau vena draining. Pada saat yang sama, bukaan flap memungkinkan operator melihat vena draining utama dengan mudah, dan dapat mencapai vena yang mengalami avulsi dekat garis tengah. Perluasan anterior flap tulang mungkin bervariasi, tergantung luasnya kerusaka frontal dan klot darah yang tampak pada CT scan. Kraniektomi subtemporal berguna sebagai katup tekanan. Sudah diperlihatkan bahwa kraniektomi subtemporal luas dapat memudahkan kontrol hipertensi intrakranial pada keadaan dimana semua tindakan medikal gagal. Operatif ultrasound secara rutin digunakan untuk memastikan adanya hematoma intraserebral yang sebelumnya tidak terdeteksi atau lesi massa yang membesar pada sisi lain otak. Kebanyakan pasien dengan hematoma subdural akuta mempunyai kontusi atau hematoma intraserebral. Hematoma Epidural Hematoma epidural yang khas berlokasi di regio temporal dan sering akibat dari robeknya pembuluh meningea media sekunder atas fraktura tulang tengkorak atau berhubungan dengan cedera sinus vena. Umumnya cenderung lebih kecil dan dengan perjalanan yang lebih ringan. Ini mungkin untuk kasus sangat jarang, terutama bila datang ke ahli bedah saraf setelah beberapa jam sejak cedera, lebih aman ditindak non operatif. Namun kebanyakan hematoma epidural merupakan gawat darurat bedah dan harus dievakuasi sesegera mungkin. Karena otak dibawah hematoma epidural umumnya cukup normal, setiap usaha untuk mengurangi tekanan dilakukan sesegera mungkin untuk mencegah kerusakan otak. Outcome dari operasi untuk hematoma epidural sangat

47

tergantung pada keadaan klinis pasien sebelum evakuasi operatif. Bila klotnya besar, atau terdapat keraguan atas luasnya kerusakan otak di bawahnya, dianjurkan membuat flap kraniotomi luas standar. Pada keadaan dimana hematoma epidural jelas terbatas pada satu regio dan dimana tidak disertai adanya perdarahan subdural tampak pada CT scan, flap kraniotomi modifikasi yang lebih kecil dapat digunakan. Hematoma Intraserebral Cedera otak sering merupakan fenomena yang terjadi lambat. CT scan saat masuk sering menjadi buruk setelah beberapa hari, akibat dari apa yang disebut hematoma intraserebral traumatika (DTICH/delayed traumatic intracerebral hematomas). yang menarik ini patogenesisnya tidak jelas dan yang tertunda Fenomena klinis prognosisnya

diperdebatkan. Kontusi paling sering berlokasi pada permukaan anterior dan inferior lobus frontal dan temporal. Kontusi yang berukuran sekitar 2 sm harus segera didebridemen bila menyebabkan efek massa yang nyata. Harus tetap bekerja didaerah yang nekrotik secara hati-hati dan cegah kerusakan jaringan normal sekitarnya. Hal ini tak selalu mudah dilakukan dan memerlukan ketelitian atas pertimbangan klinis. Sebagai patokan debridemen lobus temporal kiri dilakukan lebih konservatif umum,

dibanding debridemen sisi kanan, terutama pada pasien tidak kidal. Hematoma Fossa Posterior Untungnya kurang umum terjadi dibanding lesi supratentorial. Umumnya, pendekatan operatif agresif diambil dalam mengelola lesi ini, karena pasien dapat memburuk secara cepat. Pasien dengan hematoma fossa posterior dapat memburuk dari keadaan resposif ke keadaan koma dalam hitungan menit. Selanjutnya, karena umumnya memerlukan waktu lebih lama untuk mengevakuasi setiap lesi dan karena struktur otak yang terletak difossa posterior yang sangat kritis untuk fungsi vital, operator tidak boleh berlalai-lalai dengan waktu. Posisi telungkup atau tiga perempat telungkup dengan penyangga kepala Mayfield lazim digunakan.

48

Fraktura depressed Fraktura tengkorak dianggap nyata depressed bila tabula luar dari tengkorak terletak dibawah tingkat tabula dalam tulang sekitarnya. Kadang-kadang depresi tidak tampak biasanya jelas tertutup pada pada sinar-x polos, namun CT scan. Fraktura tengkorak depressed dapat

atau terbuka. Kebanyakan fraktura depressed tertutup terjadi

pada anak-anak kecil dan mungkin dengan jenis bola ping pong. Indikasi operasi yang paling umum pada setiap kasus adalah kosmetik, terutama pada fraktura frontal. Pada fraktura depressed terbuka, luka sering kotor dan terkontaminasi. Sering kulit, rambut atau debris asing lainnya terdapat diantara fragmen tulang yang depressed, bahkan bila luka tampak relatif bersih dari luar. Karenanya, kecuali pada cedera yang sangat sederhana, diharuskan merawat setiap fraktura dalam kamar operasi. Sering laserasi dural terjadi dibawah fraktura, dan dengan sangat hati-hati harus ditutup secara primer. tidak berarti tiadanya karenanya harus kontusi Bagaimanapun, dura yang utuh otak dibawahnya. CT scan pra bedah meng- ganti

sangat berguna dalam menentukan luasnya operasi yang

dilakukan. Secara umum dapat diterima untuk

fragmen tulang pada daerah kraniektomi. Infeksi pasca bedah dilaporkan kurang dari 5 persen. Fraktura depressed yang terletak diatas sinus vena utama sulit untuk ditindak. Cedera Kepala Penetrasi Bila disebabkan peluru, beratnya cedera kepala tergantung kaliber senjata, jarak tembak, dan trajek peluru. Sinar-x polos tengkorak dan CT scan tidak ternilai dalam merencanakan pengelolaan setiap kasus. Pada kasus militer dapat dijumpai cedera kecepatan tinggi dari senapan, dan ini lebih mematikan. Luka militer bisa Cedera penetrasi juga juga akibat peluru tabur, yang biasanya berkecepatan rendah karena bentuknya yang tak beraturan. bisa sekunder atas berbagai objek nonmissil, seperti pisau atau gunting, yang menyebabkan kerusakan otak fokal namun dengan sedikit cedera 'shock' diffusa.

49

Pendekatan operatif terhadap cedera kepala penetrans agak berbeda dengan cedera kepala tertutup. Bila objek yang mengalami penetrasi tetap pada tempatnya dan direncanakan untuk dikeluarkan dari tengkorak, dibiarkan tetap ditempatnya hingga pasien betul-betul siap untuk intervensi operatif. Ini untuk mencegah perdarahan yang tidak terkontrol, yang mungkin terjadi cedera setelah pengangkatan setiap objek. membuat Berbeda dengan operasi terhadap cedera kepala tertutup, operasi untuk kepala penetrating biasanya termasuk diantaranya bukaan kranial yang terbatas. Bukaan scalp mungkin Bukaan kedalam kranium mungkin hanya berupa

ekstensi linear atau bentuk S dari luka masuk atau flap bentuk U terbatas. via kraniektomi, atau bila operator fragmen tulang dan menyukai, melalui kraniotomi kecil. Kegunaan utama operasi adalah untuk mendebridemen otak yang nekrotik, membuang benda asing lainnya dari parenkhima otak, menghentikan perdarahan, mengevakuasi semua hematoma, serta akhirnya memastikan penutupan dura yang kedap air serta scalp. harus dilakukan pada sisi Kebijaksanaan Sering fragmen peluru mengalami usaha mengangkat peluru. melakukan reoperasi pasien penetrasi kesisi lain dari otak. Kecuali bila mudah dicapai, operasi tidak lainnya dalam adalah standard tentara

yang luka tembak pelurunya telah ditutup dirumah-sakit garis depan, untuk mengambil semua fragmen tulang. Namun Vietnam Head Injury Study mendemonstrasikan dengan CT scan bahwa hampir semua pasien masih mempunyai sisa kedua dan komplikasi. Pengangkatan lengkap setiap fragmen tulang tidak mungkin dilakukan tanpa merusak otak normal. Karenanya saat ini dipercaya bahwa debridemen dalam tingkat yang dapat dipertanggung-jawabkan dibawah perlindungan peperangan Lebanon. Cedera Sinus Venosus antibiotik adalah pilihan yang aman dan dapat di dipertanggung-jawabkan. Ini juga terbukti dari pengalaman tentara fragmen tulang walau telah dengan operasi peningkatan insidens tampaknya tidak menunjukkan

50

Cedera sinus vena termasuk cedera yang paling sulit yang dihadapi ahli bedah saraf. Sinus utama bisa diligasi atau direkonstruksi. Umumnya dibenarkan bahwa sepertiga anterior sinus sagittal superior aman untuk diligasi, namun ligasi sepertiga posterior paling memungkinkan untuk menyebabkan infark venosa massif otak. Ligasi sepertiga tengah efeknya agak tidak bisa diduga, dan ligasi sinus transversus dominan juga dapat mencelakakan. Bila akan dilakukan reparasi sinus utama, shunt KappGielchinsky merupakan alat yang sangat berguna. Ini suatu shunt vaskular yang khas, namun memiliki balon yang dapat dikembangkan pada kedua ujungnya. Ia bisa digunakan untuk mempertahankan aliran darah vena saat rekonstruksi direncanakan atau dilangsungkan. Seringkali secara tehnik lebih mudah menggunakan flap dural untuk menjahit cedera sinus. Manuver bedah saraf standar lainnya menggunakan penekanan, gelfoam, Surgicel dan sarana hemostatik lainnya mungkin tidak ternilai dalam mengontrol perdarahan. Penggunaan unit autotransfusi cepat dapat mengurangi jumlah kebutuhan transfusi darah, jadi mengurangi beban bank darah dan menekan risiko transfusi darah terhadap pasien.

OBAT-OBAT TERAPEUTIK
Kemajuan dalam pendekatan 'intensivist' terhadap kelainan akut berakibat tampilnya metoda yang lebih ilmiah dan sempurna terhadap pasien cedera kepala, dengan masalah berganda yang menyertainya. Pengelolaan agresif setiap masalah, diharapkan, dapat mengurangi insidens kerusakan sekunder. Pertama dapat diharapkan bahwa setiap pendekatan dapat mengurangi kematian disebabkan oleh komplikasi medikal, dan ini telah dikerjakan dalam serial prospektif yang terdokumentasi baik. Penelitian juga memperlihatkan bahwa kebanyakan pasien yang 'diselamatkan' oleh pengelolaan agresif tidak berhubungan dengan derajat beratnya kelainan atau vegetatif, namun nyatanya berjalan menjadi hanya kelainan yang sedang atau membuat pemulihan yang baik. Jadi pendekatan sistematik atau intensif terhadap pengelolaan cedera

51

kepala berat adalah efektif, cukup untuk membenarkan pernyataan sumber-sumber lain dalam tujuan ini. Sayangnya pengalaman dengan terapi obat-obatan sejauh ini kurang memuaskan.Disebabkan oleh keirreversibelan dari beberapa kerusakan dan kerumitan patogenesis cedera kepala, tampaknya tak mungkin akan ditemukan obat ajaib bagaikan penisilin. Tampaknya lebih mungkin bahwa kombinasi beberapa obat serta intervensi, masing-masing dengan efek menguntungkan yang kecil, akan membentuk impak kumulatif yang nyata terhadap outcome. Efek kecil dari masing-masing obat ini sulit untuk diperlihatkan secara tegas ketidakhomogenannya pada pasien cedera kepala, jumlah yang besar dari pasien yang diperlukan untuk melengkapi trial klinik, dan hambatan biaya. Dengan dasar pemikiran ini, kita dapat segera menilai obat-obatan yang umum digunakan dan merenungkan kemungkinan lain yang lebih baik. Antikonvulsan Penggunaan antikonvulsan profilaktik pada pasien dengan cedera kepala berat tetap kontroversial. Penelitian bedah saraf tahun 1972 menunjukkan 40 persen dari mereka tidak menggunakan obatnya secara teratur baik karena ketidak-pastian indikasi atau karena risikonya, sangat tidak mendukung pertimbangan untuk membenarkan pemakaiannya. Janet memelopori penelitian epilepsi pasca cedera dan menemukan bahwa komplikasi ini terjadi sekitar 5 persen dari pasien yang masuk karena cedera kepala non misil dan 15 persen darinya merupakan pasien cedera kepala berat. Ada tiga faktor yang berhubungan dengan insidens yang tinggi dari epilepsi yang muncul kemudian: (1) kejang dini, terjadi dalam minggu pertama (2) hematoma intrakranial (3) fraktura tengkorak depressed Diperkirakan bahwa perawatan dengan fenytoin yang dimulai sesegera mungkin (dalam 24 jam) mungkin mencegah terbentuknya fokus epileptogenik. Young mengadakan penelitian yang memperlihatkan pemberian fenytoin profilaktik tidak mencegah kejang pasca cedera baik

52

dini maupun tunda. Pada penelitian ini konsentrasi plasma dipertahankan antara 10 dan 20 ug/ml. Walau diperingatkan bahwa mempertahankan kadar obat yang tinggi dapat mempengaruhi hasil penelitian, dianjurkan menggunakan antikonvulsan hanya setelah pasien mendapat serangan kejang. McQueen menentukan bahwa karena insidens yang rendah dari kejang pasca cedera (7 % dalam satu tahun;10 % pada dua tahun), penelitian klinis acak harus mencakup 1200 pasien untuk bisa disimpulkan. Karenanya semua penelitian yang dilaporkan adalah terlalu kecil (dengan faktor dari paling tidak enam). Bobot dari pembuktian karenanya terus didukung dengan pemberian rutin antikonvulsan pada kelompok risiko tinggi, namun tidak perlu pada semua pasien dengan cedera kepala. Akhir-akhir ini Temkin melaporkan pada pasien cedera kepala berat yang mendapatkan fenytoin atau plasebo yang dimulai 24 jam dari cedera dan diteruskan untuk satu setelahnya. Saat ini digunakan fenytoin (500 mg intravena dalam 10 menit) pada ruang gawat darurat pada semua pasien dengan cedera kepala berat. Dosis disesuaikan kadar darah terapeutik yang dicapai. Menurut Young, pencapaian kadar darah lebih dari 15-20 ug/ml bisa dipegang. Kebutuhan keseluruhan mungkin diberikan sebagai dosis tunggal perhari. Tak ada ketentuan yang ketat dan cepat untuk bila menghentikan antikonvulsan, walau Temkin akhir-akhir ini memberi batasan untuk menghentikan pengobatan setelah minggu pertama pada kebanyakan kasus. EEG secara umum tak berperan dalam menentukan kebijaksanaan ini. Obat ini harus tapered off bertahap. Terdapat bukti serupa bahwa karbamazepin (Tegretol) lebih disukai untuk pemakaian jangka panjang karena memperbaiki tampilan dalam tes fungsi kognisi. Steroid Walau kortikosteroid tidak terbukti memperlihatkan manfaat pada cedera kepala, beberapa ahli bedah saraf menggunakannya untuk kasus berat. Dua penelitian membuktikan bahwa dosis steroid sangat besar tahun, akan mengurangi insidens kejang selama minggu pertama setelah cedera, namun tidak

53

mungkin mengurangi tingkat mortalitas pada cedera kepala berat. Namun pemeriksaan yang lebih ketat oleh Faupel melaporkan penurunan kematian dicapai sebagai akibat peningkatan yang besar dari pasien yang hidup dengan vegetatif. Bila kelompok outcome dibagi kedalam baik (pemulihan baik dan cacad sedang) dan buruk (cacad berat, vegetatif dan mati), tidak ada perbedaan yang bermakna secara statistik antara kelompok yang diberi steroid dan yang diberi plasebo. Gobiet membandingkan kelompok yang diberi deksametason dosis tinggi (96 mg/hari) dengan kelompok dosis konvensional (16 mg/hari), dan kelompok plasebo. Tidak ada perbedaan yang bermakna secara statistik angka kematian antara kelompok dosis tinggi dan plasebo, namun penelitian ini terbatas karena menjadi non blinded dan sekuensial (semua pasien mendapat pengobatan yang serupa dalam satu tahun). Bagaimanapun harus waspada terhadap kesalahan bentuk II dan kesalahan efek keuntungan aktual karena jumlah sampel yang tidak adekuat. Saul, Ducker, Salcman dan Carro mengira bahwa steroid mungkin menolong sub kelompok tertentu pasien dengan cedera kepala. Pustaka menyajikan beberapa artikel yang mendukung pandangan bahwa kerusakan otak karena cedera, kontras dengan tumor otak, tidak berreaksi baik terhadap steroid, baik dalam arti mengontrol TIK ataupun adalam arti memperbaiki outcome. Terakhir penelitian NASCIS II, memperlihatkan keuntungan efek dari metilprednisolon dosis sangat tinggi pada cedera cord spinal, mungkin memacu lagi perhatian terhadap penggunaan steroid untuk cedera kepala (dosis lihat bab cedera cord tulang belakang). Mannitol Obat ini sekarang luas digunakan untuk mengurangi tekanan intrakranial. Umumnya sediaan yang digunakan adalah larutan 20 persen mannitol (bm 180). Umumnya dipercaya bahwa mannitol mempertahankan gradien osmotik antara plasma dan otak, dengan akibat pergeseran cairan keluar dari otak dan, karenanya, menurunkan TIK. Pembuktiannya agak sulit, dan tentu mungkin ada mekanisme lain dimana mannitol menurunkan TIK. Osmolalitas serum tidak diperbolehkan diatas

54

320 osmol/liter, bila mungkin, dalam usaha mencegah asidosis sistemik dan gagal ginjal. Dosis tepat mannitol berragam. Lazimnya digunakan 1-2 g/kg diberikan intravena secepat mungkin. Bila pasien memperlihatkan perburukan neurologis atau herniasi tentorial, mannitol diberikan sesegera mungkin dalam perjalanan keruang CT scanner. Pasien harus dalam kateter Foley terpasang, karena diharapkan terjadi diuresis. penggunaan yang sinambung, mannitol untuk menimbulkan respons. Urea 30 persen (bm 60) dan gliserol 10 persen sebelumnya digunakan bergantian dengan mannitol pada pemakaian kronik. Obatobat ini mempunyai berat molekul lebih kecil dan cenderung lebih cepat mencapai keseimbangan dengan otak. Urea juga berhubungan dengan insidens yang tinggi dari hemoglobinuria dan pengelupasan kulit yang berat bila ia terinfiltrasi. Wald dan McLaurin melaporkan pemakaian gliserol per oral pada pasien cedera kepala, namun obat-obat oral tidak dipertimbangkan pemakaiannya dalam cedera kepala akut karena beberapa alasan. Lasix Telah dilaporkan penggunaan furosemid, baik sendiri maupun bersama-sama mannitol pada cedera kepala dan dalam berbagai situasi. Schettini, Stahurski dan Young memperlihatkan bahwa diuresis dapat ditingkatkan dengan mengkombinasikan mannitol dan furosemid pada pasien bedah saraf, dengan pengerutan otak yang lebih konsisten dan pasti. Puncak diuresis 17 ml/menit dicapai dalam 30 menit pemberian mannitol, dan penurunan ke 4 ml/menit selama 70 menit berikutnya. Sebaliknya, selama perjalanan waktu yang identik, kombinasi infus ml/menit, dan kemudian mannitol-furosemid menghasilkan tingkat ekskresi air permulaan sebesar 30 ml/menit, diikuti peninggian hingga 42 menurun ke 17 ml/menit. Pasien menerima 1.4 g/kg mannitol + 0.3 mg/kg furosemid. Efek merugikan yang ditemukan pada pemberian kombinasi Dengan intravaskuler akan seimbang

dengan diotak dan kadar darah lebih tinggi yang progresif diperlukan

55

terjadi hanya berupa peninggian kecepatan kehilangan elektrolit yang bisa dikoreksi. Penemuan ini diperkuat oleh Wilkinson dan Rosenfeld. Bikarbonat Sodium Selama dengan hipoksemia, pH arterial yang rendah saat masuk, menunjukkan asidosis sistemik, tidaklah jarang. Bila pasien dalam keadaan shok, biasanya karena asidosis laktik. Bila tekanan CO2 arterial (PaCO2) tinggi, menunjukkan kombinasi asidosis respiratori dan metabolik. Asidosis harus dikoreksi, dan bikarbonat sodium mungkin diberikan dengan dosis 1 mEk/kg setiap 10 menit atau hingga pulih. Harus diingat bahwa pemulihan asidosis ringan dapat terjadi cepat dan spontan bila ventilasi dan perfusi diperbaiki dengan intubasi dan pemulihan tekanan arterial sistemik. Sebagai pegangan umum, pH darah arterial dibawah 7.1 menunjukkan asidosis metabolik berat dan diharuskan pemakaian bikarbonat sodium. Pada tahap ini, fungsi kardiak dirugikan oleh asidosis. Dosis secara kasar dihitung berdasar formula : dosis bikarbonat sodium (mEk) ekual dengan 0,2 kali berat badan (kg) dikali 27 mEk/menit dikurangi tingkat bikarbonat serum pasien. Setengah dari dosis yang dihitung diberikan pertama-kali, dan dosis berikutnya diberikan setelah pengulangan pemeriksaan pH. Tris-hidroksi-metil-aminometan (THAM) Sudah dibuktikan bahwa cedera kepala berhubungan dengan asidosis metabolik seperti ditunjukkan tingkat laktat CSS yang tinggi. Juga telah diperlihatkan bahwa pasien dengan laktat CSS yang tinggi memiliki outcome yang lebih buruk dan bahwa ini dengan perjalanan yang memburuk umumnya memperlihatkan penurunan progresif pH CSS dari 7.3 hingga 7.2 karena asidosis laktik. Beberapa memeriksa peran asidosis prognostik dalam kelompok telah patogenesis kerusakan neuronal.

DeSalles, Kontos dan Becker akhir-akhir ini mempelajari kebermaknaan laktat CSS ventrikular pada cedera kepala berat dan adalah menemukan nilai pH yang lebih rendah pada otak pasien yang mendapatkan operasi atas hematoma subdural akuta. THAM

56

agen penyangga yang mempenetrasi CSS dan karenanya secara teoritis lebih superior dari bikarbonat sodium dalam mengobati asidosis CSS. Akioka menggunakan dog epidural balloon model memperlihatkan manfaat THAM terhadap TIK. Diperkuat oleh Gaab dengan menggunakan coldlession edema model pada tikus. Diikuti Rosner dan Becker yang melaporkan manfaat THAM pada cat fluid percussion model. Mereka menemukan bahwa THAM berhubungan dengan pengurangan morbiditas dan mortalitas seperti juga penurunan TIK setelah cedera perkusi. Penelitian klinis atas obat ini sekarang dipelopori Medical College of Virginia. Barbiturat Penelitian menunjukkan adanya efek protektif barbiturat terhadap otak pada anoksia dan iskemia serebral. Juga telah barbiturat efektif dalam dicatat bahwa mengurangi tekanan intrakranial. Penelitian

Richmond dan Tolonto menunjukkan bahwa tak ada manfaat yang dapat diambil dari pemberian barbiturat dosis tinggi dalam pengendalian TIK maupun outcome. Dalam kedua penelitian barbiturat diberikan sebagai terapi inisial. Pada penelitian mutakhir memakai pentobarbital dosis tinggi yang diberikan setelah semua pengontrol TIK konvensional gagal, didapatkan efek yang nyata bermanfaat terhadap TIK. Karena penelitiannya bersifat silang, tak bisa didapat efek pentobarbital terhadap outcome. Bagaimanapun untuk pasien intrakranial. Protokol pemberian pentobarbital adalah memberikan dosis loading 10 mg/kg dalam 30 menit dan 5 mg/kg setiap jam selama tiga jam, diikuti dosis pemeliharaan 1 mg/kg/jam diatur hingga dicapai kadar serum 3 hingga 4 mg%. Hipotensi adalah faktor penimbul keterbatasan. Nalokson Nalokson adalah antagonis narkotik, terbukti memulihkan hipotensi akibat cedera kepala pada kucing. Diperkirakan bahwa pelepasan opiat endogen bertanggung-jawab atas hipotensi pasca konkusi. Beberapa terbukti bahwa barbiturat harus dicadangkan hipertensi yang gagal terhadap semua bentuk terapi

57

data ada yang mendukung dan membantah nilai obat ini pada cedera kepala. Penelitian terakhir NASCIS II memperlihatkan tidak ada manfaat nalokson pada cedera cord spinal. Hipnotik Aksi Singkat Karena barbiturat cenderung menimbulkan hipotensi dan lamanya pemulihan setelah penghentian, diteliti obat anestetik yang memiliki aksi lebih singkat obat untuk mengontrol hipertensi intrakranial. Althesin, suatu intravena, karena walau di tidak pernah diizinkan sebelum Britania Raya anestetik steroid

penggunaannya di USA, sangat populer produksinya dihentikan Etomidat merupakan pilihan yang baik kepala. Oksigen Hiperbarik

hubungannya dengan anafilaksis. untuk penggunaan anestetik,

namun belum ada data dalam penggunaan jangka panjang pada cedera

Walau Sukoff dan Ragatz melaporkan 1981 bahwa terapi oksigen hiperbarik (HBO) dapat mengurangi TIK dan mungkin mempunyai nilai dalam mengobati edema serebral traumatika, jenis terapi ini tidak digunakan secara luas karena, secara umum, hasilnya tidak terlalu istimewa. Selanjutnya pengobatan ini, dimana dilakukan penyelubungan pasien dalam ruang hiperbarik, sulit dikerjakan pada pasien kritis. Namun telah dibuktikan terjadinya penurunan TIK yang konsisten selama pemakaian oksigen hiperbarik dengan tekanan dua atmosfer serta dilaporkan terjadinya perbaikan neurologis. Terakhir ini, Rockswold, Ford, Bergman dan Anderson melaporkan pada cedera kepala berat. penelitiannya dengan HBO

Ditemukan walau HBO jelas memperbaiki

survival pasien dengan skor SKG 4 hingga 6, ia tidak memperbaiki persentase pasien dengan pemulihan baik. Pembersih Radikal Bebas Peran oksigen radikal dalam patogenesis cedera kepala sudah

58

mendapat perhatian yang sangat besar. Schettini, Lippmann dan Walsh memperlihatkan pengurangan kematian yang dramatik pada dog epidural balloon compression-decompression model dengan menggunakan native superoxide dismutase (SOD) setelah cedera. Karena penelitian ini, SOD dalam bentuk nativ maupun bentuk konyugasinya, mulai diteliti secara klinis.

59

Anda mungkin juga menyukai