Anda di halaman 1dari 15

DAFTAR ISI Kata Pengantar........................................................................................................................... 0 Daftar Isi.................................................................................................................................... 1 Pendahuluan............................................................................................................................... 2 Pembahasan Definisi........................................................................................................................... 4 Klasifikasi........................................................................................................................4 Patofisiologi.....................................................................................................................5 Diagnosa Tanda dan Gejala.............................................................................................................

8 Pemeriksaan Fisik dan Penunjang...................................................................................8 Diagnosa Banding...........................................................................................................9 Komplikasi......................................................................................................................9 Terapi..........................................................................................................................................11 Daftar Pustaka............................................................................................................................14

PENDAHULUAN Leukemia merupakan kanker dari sel-sel darah yang mula-mula dijelaskan oleh Virchow pada tahun 1847 sebagai darah putih, adalah penyakit neoplastik yang dia tandai oleh proliferasi abnormal dari sel-sel hematopoietik. Klasifikasi akut atau kronik sesuai dengan jenis sel yang terlibat dan kematangan sel tersebut. Sel darah putih berasal dari sel stem di sumsum tulang. Leukemia terjadi jika proses pematangan dari stem sel menjadi sel darah putih mengalami gangguan dan menghasilkan perubahan ke arah keganasan. Perubahan tersebut sering kali melibatkan penyusunan kembali bagian dari kromosom. Penyusunan kembali kromosom (translokasi kromosom) menggangu pengendalian normal dari pembelahan sel, sehingga sel membelah tak terkendali dan menjadi ganas. Pada akhirnya sel-sel ini menguasai sumsum tulang dan menggantikan tempat ke sel-sel yang menghasilkan sel-sel darah yang normal. Kanker ini juga bisa menyusup ke dalam organ lainnya, termasuk hati, limpa, kelenjar getah bening, ginjal dan otak. Terdapat 4 jenis utama leukemia, yang diberi nama berdasarkan kecepatan perkembangan penyakit dan jenis sel darah putih yang terkena : Leukemia Limfositik Akut Leukemia Mieloid Akut Leukemia Limfositik Kronik Leukemia Mielositik Kronik Klasifikasi leukemia kronik didasarkan pada ditemukannya sel darah putih matang yang menyolok granulosit (leukemia granulositik/mielositik) atau limfosit (leukemia limfositik). Leukemia mielositik (mieloid, mielogenous, granulositik, LMK) adalah suatu penyakit dimana sebuah sel di dalam sumsum tulang berubah menjadi ganas dan menghasilkan sejumlah besar granulosit (salah satu jenis sel darah putih ) yang abnormal. LMK disebabkan oleh defek genetik dapatan atau abnormalitas sitogenik yang didapatkan pada 85% kasus, terdapat kelainan kromosom yang disebut kromosom Philadelphia (Ph). Kromosom Philadelphia ini merupakan suatu translokasi dari bagian kromosom 22 yang panjang ke kromosom 9. Translokasi, disingkat t, yaitu bila sebagian dari sebuah kromosom berpindah ke kromosom lain. Pada tahun 1980, Heisterkamp dkk melaporkan bahwa gen-abl (abelson leukemia) pada kromosom 9 dan gen bcr (breakpoint cluster region) pada kromosom 22 melakukan fusi sehingga terjadi onkongen BCR_ABL dengan aktivitas tirosin kinase yang tinggi.
2

Kronik leukemia ditemukan 1,2% dari semua jenia kanker, selain itu LMK ditemukan kira-kira 15%dari semua leukemia. Penyakit ini bisa mengenai semua kelompok umur, baik pria, maupun wanita; umur rata-rata 45-55 tahun, 12-30% berumur 60 tahun ke atas. tetapi jarang ditemukan pada anak-anak berumur kurang dari 10 tahun. Pada LMK, sel-selnya terdiri dari sel yang sangat muda sampai sel yang matang; sedangkan pada LMA hanya ditemukan sel muda. Granulosit leukemia cenderung menggeser sel-sel normal di dalam sumsum tulang dan seringkali menyebabkan terbentuknya sejumlah besar jaringan fibrosa yang menggantungkan sumsum tulang yang normal. LMK terbagi atas 3 fase, yaitu fase kronik, fase akselerasi dan fase blast crisis. Fase kronik ditandai dengan proliferasi sel mieloid yang menunjukkan maturasi dan proses penyakitnya mudah dikontrol. Pada fase ini mudah dikontrol dengan pengobatan. Kebanyakan kasus (85%) didiagnosis pada fase kronik. Selama perjalanan penyakit ini semakin banyak granulosit muda yang masuk ke dalam aliran darah dan sumsum tulang (fase akselerasi). Pada fase tersebut, terjadi anemia dan trombositopenia (penurunan jumlah trombosit) dan proporsi sel darah putih muda (sel blast) meningkat secara dramastis. Kadang granulosit leukemia mengalami lebih banyak perubahan dan penyakit berkembang menjadi krisis blast. Pada krisis blast, sel stem yang ganas hanya menghasilkan granulosit muda saja, suatu petanda bahwa penyakit semakin memburuk. Pada stadium awal, LMK bisa tidak menimbulkan gejala. Tanda dan gejala berkaitan dengan keadaan hipermetabolik- kelelahan, kehilangan berat badan, diaforesis meningkat, dan tidak tahan panas. Limpa membesar pada 90% kasus yang mengakibatkan perasaan penuh pada abdomen dan mudah merasa kenyang. Lama-lama penderita menjadi sangat sakit karena jumlah sel darah merah dan trombosit semakin berkurang sehingga penderita tampak pucat, mudah memar dan mudah mengalami perdarahan. Demam, pembesaran kelenjar getah bening dan pembentukan benjolan kulit yang terisi dengan granulosit leukemik (kloroma) merupakan petanda buruk. Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan leukositosis lebih dari 50.000/mm3, pergeseran kekiri pada hiting jenis, trombositopenia, kromosom philadelphia, kadar fosfatase alkali leukosit rendah atau sama sekali tidak ada, dan kenaikan kadar vitamin B12 dalam darah. Pada pemeriksaan sumsum tulang didapatkan keadaan hiperselular dengan peningkatan jumlah megakariosit dan aktivitas granulopoiesis.
3

I.2 Insiden CML lebih sering terjadi pada orang dewasa dan bertanggung jawab hanya untuk 3% dari kasus leukemia pada masa kanak-kanak.1 Penyebab dari CML pada anak-anak belum diketahui. Tidak ada bukti klinis yang jelas tentang faktor predisposisi keturunan. Juga tidak dijumpai peningkatan resiko terhadap CML pada gangguan kromosom preleukemik seperti pada anemia Fanconi dan Down syndrome. Pada kebanyakan kasus, tidak terdapat faktor predisposisi. Pada kasus tertentu, hubungan CML dengan paparan radiasi telah dijelaskan, terutama pada anak umur 5 tahun, seperti yang telah dilaporkan di Jepang pada saat adanya ledakan hebat pada tahun 1940. Juga telah dilaporkan CML terjadi pada anak-anak dengan immunosuppresed, termasuk anak dengan infeksi HIV, dan imunosupresi pada transplantasi ginjal. 1.3 Etiologi Walaupun penyebab dasar leukemia tidak diketahui, predisposisi genetic maupun factor lingkungan memainkan peranannya. Jarang ditemukan leukemia familial, tetapi insiden leukemia lebih tinggi pada saudara kandung dan yang kembar identik mempunyai factor resiko 20% terkena leukemia. Factor lingkungan berupa pajanan radiasi pergion dosis tinggi disertai manifestasi leukemia yang timbul kemudian. Zat kimia seperti benzene, pestisida, fenilbutazone, dan agen antineoplatik.

PEMBAHASAN

DEFINISI Chronic Myelogenous Leukemia (CML) adalah kelainan genetik yang melibatkan sel induk hematopoietic (Stem cell). Hal ini ditandai oleh penyimpangan genetika terdiri dari translokasi spesifik pada kromosom 22 dan 9; t (9; 22). Translokasi ini mendekatkan gen BCR (Breakpoint Cluster Region) pada kromosom 22 pada ABL (Diatasnamakan dari Abelson Murine Leukimia) virus ) kromosom 19, Hal ini dijelaskan oleh Nowell dan Hungerford dan selanjutnya disebut Philadelphia (Ph) kromosom. Apabila tidak diobati penyakit ini memiliki karakteristik transisi dari fase kronik ke fase akselerasi dan menuju fase Blast Crisis dalam waktu rata-rata 4 tahun. KLASIFIKASI Pembagian sindroma nefrotik berdasarkan karakteristik klinis dan hasil laboratorium: 1. Fase Kronis 85% pasien dengan CML berada pada tahapan fase kronik pada saat mereka didiagnosa dengan CML. Selama fase ini, pasien selalu tidak mengeluhkan gejala atau hanya ada gejala ringan seperti cepat lelah dan perut terasa penuh. Lamanya fase kronik bervariasi dan tergantung sebearapa dini penyakit tersebut telah didiagnosa dan terapi yang digunakan pada saat itu juga. Tanpa adanya pengobatan yang adekuat, penyakit dapat berkembang menuju ke fase akselerasi 2. Fase Akselerasi Pada fase akselerasi hitung leukosit menjadi sulit dikendalikan dan abnormalitas sitogenik tambahan mungkin timbul. Kriteria diagnosa dimana fase kronik berubah menjadi tahapan fase akselerasi bervariasi. Kriteria yang banyak digunakan adalah kriteria yang digunakan di MD Anderson Cancer Center dan kriteria dari WHO. Kriteria WHO untuk mendiagnosa CML, yaitu : 10-19% myeloblasts di dalam darah atau pada sum-sum tulang. >20% basofil di dalam darah atau sum-sum tulang. Trombosit 100.000, tidak respon terhadap terapi. Evolusi sitogenik dengan adanya abnormal gen yaitu kromosom philadelphia. Splenomegali atau jumlah leukosit yang meningkat.

Pasien diduga berada pada fase akselerasi berdasarkan adanya tanda-tanda yang telah disebutkan di atas. Fase akselerasi sangat signifikan karena perubahan dan perubahan menjadi krisis blast berjarak berdekatan. 3. Fase Blast Crisis Krisis blast adalah fase akhir dari CML, dan gejalanya mirip seperti leukemia akut, dengan progresifitas yang cepat dan dalam jangka waktu yang pendek. Krisis blast didiagnosa apabila ada tanda-tanda sebagai berikut pada pasien CML : >20% myeloblasts atau lymphoblasts di dalam darah atau sum-sum tulang. Sekelompok besar dari sel blast pada biopsi sum-sum tulang. Perkembangan dari chloroma. PATOFISIOLOGI Leukemia kronis myelogenous (CML) adalah kelainan diperoleh yang melibatkan sel induk hematopoietic. Hal ini ditandai oleh penyimpangan sitogenetika terdiri dari translokasi timbal balik antara lengan panjang kromosom 22 dan 9; t (9; 22). Hasil translokasi ini dalam kromosom diperpendek 22, observasi terlebih dahulu dijelaskan oleh Nowell dan Hungerford dan selanjutnya disebut Philadelphia (Ph) Kromosom Translokasi ini berpindah lokasi onkogen yang disebut ABL dari lengan panjang kromosom 9 ke lengan panjang kromosom 22 di wilayah BCR. Pada BCR yang dihasilkan / gen fusi ABL mengkode protein chimeric dengan aktivitas tirosin kinase yang kuat. Ekspresi protein ini mengarah ke pengembangan myelogenous leukemia kronis (CML) fenotip melalui proses yang belum sepenuhnya dipahami. Kehadiran BCR / penataan ABL adalah ciri khas leukemia myelogenous kronis (CML), meskipun penataan ulang ini juga telah dijelaskan dalam penyakit lain. Hal ini dianggap diagnostik ketika ada pada pasien dengan manifestasi klinis CML. Chronic myeloid leukemia adalah malignansi pertama yang dihubungkan dengan gen yang abnormal, translokasi kromosom tersebut diketahui sebagai Philadelphia kromosom yang merupakan translokasi kromosom 9 dan 22. Pada CML juga ditandai oleh hiperplasia mieloid dengan kenaikan jumlah sel mieloid yang berdiferensiasi dalam darah dan sum-sum tulang.

Pada translokasi ini, bagian dari dua kromosom yaitu kromosom 9 dan 22 berubah tempat. Hasilnya, bagian dari gen BCR (breakpoint cluster region) dari kromosom 22 bergabung dengan gen ABL pada kromosom. Penyatuan abnormal ini menyebabkan penyatuan protein tyrosine kinase yang meregulasi proliferasi sel, penurunan sel adherens dan apoptosis. Hal ini karena pada bcr-abl produk penyatuan gen adalah juga tyrosine kinase. Penyatuan protein bcr-abl berinteraksi dengan 3beta (c) subunit reseptor. Transkrip bcr-abl aktif secara terus-menerus dan tidak membutuhkan aktivasi oleh protein sel yang lainnya. Bcr-abl mengaktivasi kaskade dari protein yang mengontrol siklus sel, mempercepat pembelahan sel. Kemudian, protein bcr-abl menghambat perbaikan DNA, menyebabkan instabilitas gen dan menyebabkan sel dapat berkembang lebih jauh menjadi gen yang abnormal. Tindakan dari protein bcr-abl adalah penyebab patofisiologi dari chronic myeloid leukemia. Dengan pemahaman tentang protein bcr-abl dan tindakannya sebagai tyrosine kinase, targeted therapy dikembangkan yang secara spesifik menghambat aktifitas dari protein bcr-abl. Inhibitor dari tyrosine kinase dapat menyembuhkan CML, karena bcr-abl tersebut adalah penyebab dari CML.

DIAGNOSA TANDA DAN GEJALA Manifestasi klinis leukemia myelogenous kronis (CML) yang berbahaya dan sering ditemukan secara kebetulan ketika sebuah sel darah putih (WBC) count terungkap dengan hitungan darah rutin atau ketika pembesaran limpa terungkap selama pemeriksaan fisik secara umum. 1. Gejala nonspesifik dari kelelahan, kelelahan, dan penurunan berat badan dapat terjadi lama setelah timbulnya penyakit. Kehilangan energi dan toleransi latihan menurun dapat terjadi selama fase kronis setelah beberapa bulan. 2. Pasien sering memiliki gejala yang berhubungan dengan pembesaran hati, limpa, atau keduanya.

a.

Limpa besar mungkin merambah pada lambung dan menyebabkan rasa kenyang dini dan

asupan makanan berkurang. Waktu nyeri perut bagian atas kuadran digambarkan sebagai "mencekam" mungkin terjadi dari infark limpa. Limpa diperbesar juga dapat dikaitkan dengan keadaan hypermetabolic, demam, penurunan berat badan, dan kelelahan kronis. b. 3. 4. pembesaran hati dapat menyebabkan penurunan berat badan pasien. Beberapa pasien dengan leukemia myelogenous kronis (CML) mungkin demam ringan Penyakit ini memiliki 3 fase klinis, dan leukemia myelogenous kronis (CML) mengikuti

dan berkeringat berlebihan terkait dengan hipermetabolisme. program khas dari sebuah fase kronis awal, selama proses penyakit ini mudah dikendalikan, diikuti oleh program transisi dan tidak stabil (fase percepatan), dan, akhirnya, tentu saja lebih agresif (krisis ledakan), yang biasanya berakibat fatal. 5. Kebanyakan pasien didiagnosa saat masih dalam tahap kronis. Hitungan WBC biasanya dikontrol dengan obat-obatan (remisi hematologi). Fase ini bervariasi dalam durasi tergantung pada terapi perawatan yang digunakan. Ini biasanya berlangsung 2-3 tahun dengan HU (Hydrea) atau terapi busulfan, namun fasa kronis telah berlangsung selama lebih dari 9,5 tahun pada pasien yang merespon dengan baik untuk terapi interferon alfa. Selain itu, penambahan mesylate imatinib dalam beberapa tahun terakhir telah secara dramatis meningkatkan durasi hematologi dan, memang, remisi sitogenetika. 6. Beberapa pasien dengan kemajuan myelogenous kronis (CML) leukemia untuk fase transisi atau cepat, yang dapat berlangsung selama beberapa bulan. Kelangsungan hidup pasien yang didiagnosis pada tahap ini adalah 1-1,5 tahun. Fase ini ditandai dengan kontrol yang buruk dari jumlah darah dengan obat myelosuppressive dan munculnya sel blas perifer ( 15%), promyelocytes ( 30%), basofil ( 20%), dan jumlah trombosit kurang dari 100.000 sel uL / tidak berhubungan dengan terapi. Promyelocytes dan basofil akan ditampilkan pada gambar di bawah. Hapusan darah pada perbesaran 1000x menunjukkan promyelocyte, eosinofil, dan basofil 3. Courtesy of Woermann U., MD, Divisi Media Pembelajaran, Lembaga Pendidikan Kedokteran, Universitas Bern, Swiss. 7. Biasanya, dosis obat perlu ditingkatkan. Splenomegali mungkin tidak dapat dikendalikan oleh pengobatan, dan anemia bisa memburuk. Nyeri tulang dan demam, serta peningkatan
8

fibrosis sumsum tulang, merupakan pertanda dari fase terakhir. Jadi, tanda-tanda transformasi atau fase percepatan pada pasien dengan leukemia myelogenous kronis kontrol miskin jumlah darah dengan myelosupresi atau interferon, meningkatkan sel blast di darah perifer dengan basophilia dan trombositopenia tidak berhubungan dengan pengobatan, kelainan sitogenetika baru, dan meningkatkan splenomegali dan myelofibrosis. 8. Fase akut, atau krisis blast, mirip dengan leukemia akut, dan bertahan hidup 3-6 bulan pada tahap ini. Sumsum tulang dan darah perifer blasts sebesar 30% atau lebih karakteristik. Kulit atau jaringan infiltrasi juga mendefinisikan krisis blast. Sitogenetika bukti lain klon Phpositif (ganda) atau evolusi klonal (kelainan sitogenetika lain seperti trisomi 8, 9, 19, atau 21, 17 isochromosome, atau penghapusan kromosom Y) biasanya ada. 9. Pada beberapa pasien yang ada dalam fase, leukemia percepatan, atau akut dari penyakit (melewatkan fase kronis), perdarahan, petechiae, dan ecchymoses mungkin merupakan gejala menonjol. Dalam situasi ini, demam biasanya dikaitkan dengan infeksi. PEMERIKSAAN FISIK & PENUNJANG Umumnya gejala CML pada anak-anak, biasanya tidak spesifik, seperti fatigue, malaise dan penurunan berat badan. Abdominal discomfort, yang disebabkan oleh splenomegali, biasanya juga dijumpai. Gejala biasanya tidak nyata, dan diagnosis sering ditegakkan bila pemeriksaan darah dilakukan atas alasan lain. Penderita mungkin datang dengan splenomegali (yang dapat masif) atau dengan gejala hipermetabolisme, termasuk kehilangan berat badan, anoreksia, dan keringat malam. Gejala leukostasis seperti gangguan pengelihatan atau priapismus, jarang terjadi. Pasien sering asimptomatik pada saat pemeriksaan, hanya ditemukan peningkatan leukosit pada pemerikasaan jumlah leukosit dalam pemeriksaan darah. Pada keadaan ini CML harus dibedakan dari reaksi leukemoid, yang mana pada pemeriksaan darah tepi memiliki gambaran yang serupa. Gejala dari CML adalah malaise, demam, gout atau nyeri sendi, meningkatnya kemungkinan infeksi, anemia, trombositopenia, mudah lebam, dan didapatnya splenomegali pada pemerikasaan fisik. Gambaran Klinis Diagnosis Chronic Myeloid Leukemia
9

Umum : Fatigue Berat badan turun Abdominal discomfort Asimtomatik Jarang : Nyeri tulang Perdarahan Demam Berkeringat Leukositosis Gout Spleen Infark Mayoritas dijumpai splenomegaly, penemuan lain biasanya tidak spesifik. Hepatomegaly teraba (1-2 cm) tetapi hepatomegali hebat dan limfadenopati sangat tidak umum, kecuali penyakit itu sudah fase lanjut atau blast krisis. Tanda leukositosis (e.g. retinal hemoragik, papil edema, priapismus). Biasanya terlihat jika leukosit sangat tinggi (>30010 9/L). Beberapa laporan menduga bahwa tanda-tanda CML lebih umum pada anak-anak daripada dewasa, walaupun dari 40 anak-anak hanya 3 (7,5%) yang mengalami leukositosis. Nodul di kulit akibat deposit leukemic (chloromas) jarang dijumpai, biasanya dihubungkan dengan fase lanjut atau blast krisis. Kelainan laboratorium biasanya mula-mula terbatas pada kenaikan hitung leukosit, yang dapat melebihi 100.000/mm3, dengan semua bentuk sel myeloid tampak di apus darah. CML sering didapat diagnosanya berdasarkan pemeriksaan darah, yang mana menunjukkan peningkatan granulosit dari berbagai jenis, termasuk sel myeloid yang matur. Basofil dan eosinofil biasanya meningkat. Peningkatan ini dapat menjadi indikasi untuk membedakan CML dari reaksi leukemoid. Biopsi sum-sum tulang sering dilakukan sebagai evaluasi dari CML. Pada

10

pemeriksaan sum-sum tulang CML ditandai dengan hipercellular di dalam semua fase. Pada fase kronis terjadi peningkatan terutama hiperplasia dari sel granulocytic. Diagnosa utama dari CML diperoleh dari ditemukannya kromosom philadelphia. Kromosom abnormal yang khas ini dapat didetekesi dari pemerikasaan sitogenetik rutin, dengan hibridisasi fluoresen in situ atau dengan PCR untuk gen bcr-abl yang menyatu. Terdapat kontroversi terhadap Ph-negatif CML, atau kasus terhadap kecurigaan CML dimana kromosom philadelphia tidak dapat dideteksi. Banyak pasien yang faktanya memiliki kromosom abnormal yang kompleks yang menutupi translokasi kromosom 9 dan kromosom 22, atau mempunyai bukti dari translokasi oleh FISH atau oleh RT-PCR sehubungan dengan karyotyping rutin yang normal. DIAGNOSA BANDING Metaplasia Myeloid Agnogenic Dengan Myelofibrosis Myelodysplastic Syndrome Myeloproliferative Disease Polycythemia Vera

Komplikasi

Beberapa masalah dalam penanganan CML : 1. Masalah metabolik Masalah metabolik terjadi akibat cepatnya sitolisis, yang akan mengakibatkan terjadinya hiperurikemia, hiperkalemia dan hiperfosfatemia. Hal tersebut harus di antisipasi, dan di terapi dengan pemberian cairan yang cukup, alkalinisasi dan pemberian allupurinol. 2. Hiperleukositosis Peningkatan ekstrim dari leukosit pada LMK dapat menyebabkan komplikasi leukostatik pada beberapa organ khususnya otak, paru, retina dan penis. Sejak leukosit kurang seimbang dengan eritrosit akan terjadi peningkatan viskositas darah akibat peningkatan fraksi leukosit tersebut. Myeloblas merupakan sel yang lebih kaku dibandingkan sengan leukosit lain, juga meningkatkan viskositas tersebut. Jika hiperleukositosis mencapai > 200 000/mm3 atau > 50 000/mm3, penderita harus diterapi
11

secara simultan dengan obat sitotoksik seperti hidroksiurea 50-75 mg/kgbb/hari dengan infus intravena, transfusi tukar dan transfusi eritrosit. 3. Priapism Nyeri persisten pada penis mungkin merupakan akibat obstruksi oleh leukemia, adanya penyumbatan pada korpora kavernosa akibat tertekannya saraf dan vena oleh pembesaran lien. Aterapi mencakup pemberian analgetik, pemberian cairan yang cukup, kompres hangat, radioterapi (pada penis atau lien) dan pemberian kemoterapi dosis tinggi (50-74 mg/kgbb/hari intravena). 4. Leukemia Meningeal Leukemia meningeal pada CML fase kronis sering tidak diketahui dan jarang dijumpai pada stadium blas. Kejadian komplikasi ini akan meningkat bila penderita bertahan hidup lama pada fase blas. Gejala yang dijumpai berupa paralysis saraf pusat dan udema papil. Diagnosis dibantu dengan ditemukannya sel blas pada cairan cerebrospinal. Terapi adalah dengan memberikan metotreksat, walaupun hasilnya kurang memuaskan. 5. Myelofibrosis CML sering terjadi bersama-sama dengan myelofibrosis dan akan meningkatkan produksi kolagen pada sumsum tulang atau terjadi penurunan degradasi kolagen.

TERAPI Pada fase kronis CML diterapi dengan inhibitor tyrosine kinase, yang pertama adalah imatinib mesylate (Gleevec, Glivec). Sebelumnya digunakan antimetabolit (cytarabine, hydroxyurea), alkalysis agent, interferon alfa 2b, dan steroid, tetapi obat-obat ini sekarang telah digantikan oleh imatinib. penggunaan Imatinib telah disetujui oleh FDA Amerika Serikat dan dikhususkan untuk bcr-abl, yang mengaktifkan penyatuan protein tyrosine kinase yang disebabkan oleh translokasi kromosom philadelphia. Imatinib ini dapat ditolerir lebih baik dan lebih efektif dibandingkan terapi sebelumnya. Transplantasi sum-sum tulang juga digunakan sebagai terapi pilihan untuk CML. Pada sindrom tumor lysis diberikan hidrasi, alkalinisasi, dan allopurinol. Pada hiperleukositosis pada CML yang ditandai dengan jumlah leukosit >200.000/mm3 mulai
12

diberikan hydroxyurea 50-75 mg/kgBB/hari. Imatinib mulai diberikan setelah diagnosis dari Phpositif CML telah ditegakkan. Bila terdapat respon yang kurang memuaskan terhadap Imatinib maka digunakan IFN- atau IFN- dan Ara-C 5106 unit/m2 per hari secara subcutan atau intramuskular. Hydroxyurea digunakan untuk menurunkan jumlah leukosit menjadi 10.00020.000 /mm3 dan dapat diturunkan dosisnya secara bertahap dan tidak dilanjutkan kembali. Respon terhadap pengobatan dapat diketahui berdasarkan beberapa kriteria, diantaranya kriteria secara hematologi. Apabila leukosit kurang dari 9000/mm3, tidak dijumpai splenomegali dan morfologi normal maka hal ini menunjukkan adanya respon pengobatan secara keseluruhan (complete response). Bila leukosit kurang dari 20.000/mm3, dijumpai splenomegali maka terdapat respon pengobatan parsial (partial respon). Dikatakan pengobatan gagal apabila leukosit lebih dari 20.000/mm3 dan dijumpai splenomegali. Pengaturan pada CML fase akselerasi tergantung dari pengobatan sebelumnya dan masalah spesifik yang dirasakan si anak. Pada anak yang penyakitnya berkembang menjadi fase akselerasi pada saat menunggu untuk transplantasi sum-sum tulang harus dilakukan tranplantasi secepatnya. Imatinib adalah obat yang paling berguna untuk mengontrol penyakit ini sampai transplantasi tulang dilakukan, untuk anak-anak yang telah relaps terhadap Imatinib dapat menggunakan hydroxycarbamide. Manifestasi yang paling umum dari fase akselerasi adalah splenomegali dan trombositosis. Splenectomy dapat dilakukan untuk splenomegali yang masif. Trombositosis mungkin sulit untuk dikendalikan karena trombositosis kadang-kadang resisten terhadap imatinib dan sering resisten terhadap hydroxycarbamide. Untungnya, walaupun jumlah platelet meningkat biasanya ditolerir dengan baik dengan trombosis dan pendarahan pada anakanak. Prognosa pada krisis blast jelek, walaupun dengan regimen kemoterapi baru-baru ini dan berlawanan denan krisis blast pada limfoid, vincristine dan steroid mempunyai sedikit keuntungan. Beberapa penelitian sekarang menunjukkan 50% dari pasien respon terhadap Imatinib tetapi kurang dari 20% mempunya respon hematologi yang komplit dan respon sitogenik yang sempurna. Pada anak-anak pada CML tahap krisis blast terapi pilihan adalah Imatinib dan kemoterapi tipe AML (Acute myeloid leukemia) seperti daunorubicin, cytarabine
13

atau thioguanine. Tetapi pengobatan ini tidak bersifat menyembuhkan penyakit.3 Pada stadium ini pengobatan yang paling efektif adalah transplantasi sum-sum tulang stelah kemoterapi dosis tinggi.

DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3. 4. 5. Tjokoprawiro A, Boedi P, Pranoto A, Nasronudin, Santoso D, Soegiarto G. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Cet. 1. Airlangga University Press, Surabaya, 2007, 202-203. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadribata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Ed. IV. Departemen IPD UI, Jakarta, 2006, 547-549. Price SA, Wilson LM. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Ed. IV. Buku Kedokteran EGC, Jakarta, 1995, 826-833. Guntur A. Bed Side Teaching Ilmu Penyakit Dalam, ed I. Sebelas Maret University Press, Surakarta, 2006, P: 78-80. Pedoman Diagnosis dan Terapi SMF Ilmu Penyakit Dalam RSUD Dr. Soetomo Surabaya,2008,240 -243

14

15

Anda mungkin juga menyukai