Anda di halaman 1dari 16

Jurnal Geoaplika (2006) Volume 1, Nomor 1, hal.

015 030
S. Azan L. M. Hutasoit A. M. Ramdhan

Penentuan Daerah Resapan Sumber Mataair Daerah Sibolangit, Sumatera Utara

Diterima : 8 Februari 2006 Disetujui : 15 Maret 2006 Dipresentasikan : 13 April 2006 Geoaplika 2006

S. Azan Alumni Magister Teknik Geologi, Program Pascasarjana ITB L. M. Hutasoit* KK Geologi Terapan FIKTM ITB Jl. Ganesha 10, Bandung 40132 E-mail : lambok@gc.itb.ac.id A. M. Ramdhan KK Geologi Terapan FIKTM ITB Jl. Ganesha 10, Bandung 40132

* Alamat korespondensi

Abstrak - Mataair di daerah Sibolangit, Provinsi Sumatera Utara, menarik untuk diteliti dengan tujuan untuk mengetahui di mana daerah resapan mataair tersebut. Studi terhadap mataair yang umumnya berada pada daerah kaki G. Sibayak, adalah dengan menganalisis data geologi dan hidrogeologi serta data isotop stabil. Data geologi ditekankan pada karakter hidrolikanya sebagai media aliran airtanah secara kualitatif, sedangkan analisis isotop air hujan telah dilakukan oleh BATAN tahun 1998 dan menghasilkan garis air meteorik lokal. Kedua data isotop air tersebut digunakan untuk mencari elevasi asal air dari mataair. Hasil analisis data kandungan isotop stabil dari 18 O dan 2H menunjukkan bahwa air mataair Sibolangit (500 m dpl) berasal dari elevasi 632 m hingga 866 m dpl. Dari studi geologi, unsur litologi dan kekar memegang peranan yang sangat penting dalam mengontrol aliran airtanah dari daerah resapan ke lokasi mataair. Dari hubungan luas total daerah resapan dengan luas daerah resapan di daerah penelitian, diperkirakan bahwa luas daerah resapan dari daerah penelitian masih merupakan sebahagian (3743%) dari total daerah resapan, sehingga disimpulkan masih ada daerah di luar daerah penelitian yang merupakan daerah resapan air mataair Sibolangit.

Abstract Springs at Sibolangit area, North Sumatra Province,were investigated for the purpose to determine their recharge area. The study of springs that are located on Gunung Sibayak foot has been done by analyzing geologicalhydrogeological data, and stable isotope. The geologic data were used mainly to describe hydraulic characteristic qualitatively. The stable isotope data of 18O and 2H from the springs were analyzed to obtain elevation of the recharge area. Local meteoric water line is obtained from rainwater analysis by BATAN, Jakarta in 1998. Both data were used in order to determine the elevation of the recharge area. On the basis of the analysis of stable isotope data of 18O and 2H, the elevation of the water of Sibolangit springs (500 m asl) ranges from 632 866 m asl. Result of the geologic analysis, shows that lithology and joint have an important role to control groundwater flow from recharge area to the springs location. From the relationship between the total recharge area and spring discharge in the research area, it is estimated that the recharge area comprises 3743% of the total recharge area. Therefore, it is concluded that there is an area outside the research area which acts as the recharge area for the Sibolangit springs.

Pendahuluan Latar Belakang Masalah Masalah utama yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah mengenai penentuan daerah sumber air mataair Sibolangit atau daerah resapannya. Daerah yang lebih tinggi dari letak kelompok mataair ini dikenal sebagai Daerah Tangkapan Air (DTA) Sibolangit dan merupakan bagian dari DAS Deli. Keberadaan mataair dan sungai tersebut sangat bergantung pada kelestarian kawasan hutan, baik yang ada di sekitar DTA Sibolangit itu sendiri maupun yang berada di wilayah hulu DAS Deli. Akhir-akhir ini eksistensi hutan konservasi tersebut mulai terganggu dengan adanya kegiatan penebangan liar, perambahan hutan, pengambilan humus dan perburuan satwa (Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara, 2001). Selain itu dalam periode dua hingga satu dasawarsa yang lalu sampai saat ini telah diperoleh data adanya gejala penurunan yang simultan secara perlahan menuju titik debit produksi terendah dari mataair Sibolangit (Sungkono, 2001). Mengingat faktor air dan keseimbangan tata air DAS Deli merupakan faktor penting, terutama sebagai sumber air minum PDAM Tirtanadi untuk kebutuhan penduduk Medan dan sekitarnya (Kabupaten Deli Serdang) maupun sebagai faktor penyebab banjir, maka untuk daerah hulu yang mempunyai fungsi sebagai kawasan lindung, seyogyanya ditata dengan sebaik mungkin. Penentuan daerah resapan mataair Sibolangit sampai saat ini belum ada yang mempelajari dengan cukup rinci. Dengan asumsi kontrol topografi dan karakteristik geologi, daerah resapan meliputi daerah puncak gunungapi Sibayak dan Bandarbaru di sebelah selatanbaratdaya mataair. Daerah ini ditempati oleh satuan batuan vulkanik (Satuan Mentar dan Satuan Singkut) yang sifatnya berpori dan permeabel (Tarigan, 1994). Daerah Penelitian Daerah penelitian adalah di Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang, Provinsi Sumatera Utara. Secara administratif batas daerah penelitian meliputi desa-desa yang termasuk dalam Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang di sebelah utara -

timurlaut dan termasuk dalam Kabupaten Tanah Karo di Desa Doulu, Kecamatan Berastagi di sebelah selatan - baratdaya. Secara geografis daerah penelitian terletak pada koordinat 983000- 983800 BT dan 030900032100 LU (Gambar 1). Mataair Sibolangit merupakan kelompok mataair yang terletak pada ketinggian sekitar 500 m dpl. Daerah penelitian dibatasi mulai dari mataair tersebut hingga puncak G.Sibayak.

Gambar 1. Peta Indeks Daerah Penelitian (Modifikasi dari BAKOSURTANAL, 1982) Maksud dan Tujuan Maksud penelitian ini adalah untuk mempelajari secara khusus tentang mataair di daerah Sibolangit dalam kerangka geologi, hidrogeologi dan isotop air. Tujuannya adalah untuk menentukan kawasan/daerah resapan air sebagai sumber mataair Sibolangit dengan lebih cermat. Metodologi Penelitian ini menggunakan tiga pendekatan dalam menentukan daerah resapan; yaitu topografi, geologi dan analisis isotop stabil Oksigen-18 dan deuterium (Hidrogen-2) dalam contoh air mataair. Ketiga pendekatan tersebut telah pernah dilakukan oleh Meyboom dan Toth (1966, dalam Freeze & Cherry, 1979) dalam menentukan daerah resapan di Kanada. Di Indonesia, penggunaan analisis data isotop telah beberapa kali digunakan dalam menduga daerah resapan seperti di Bandung oleh Geyh (1990) dan Juanda & Sunarwan (1998), di Lembah Baliem Irian Jaya oleh Hutasoit & Ashari

16

(1998) dan di Dieng, Jawa Tengah oleh Abidin et al. (1995). Penelitian diawali dengan hipotesa penentuan batas-batas perkiraan daerah tangkapan air bagi mataair Sibolangit dengan membuat penampang-penampang topografi/geologi hipotetik. Kemudian dilanjutkan dengan pengambilan data lapangan meliputi data geologi, hidrogeologi dan pengambilan contoh

air mataair untuk analisa laboratorium (Gambar 2). Langkah selanjutnya adalah melakukan analisa data lapangan dan data laboratorium serta interpretasi. Pengambilan kesimpulan (deduksi) dilakukan setelah melalui pembuktian-pembuktian dan analisa dari datadata tersebut dan akhirnya dibuat batas-batas daerah resapan (tangkapan air) di atas peta dasar.

Gambar 2. Peta Lokasi Pengamatan

17

Penentuan daerah resapan dengan metode isotop stabil ini didasarkan pada kenyataan bahwa variasi kandungan isotop 18O dan D merupakan fungsi dari ketinggian. Kandungan isotop airtanah berhubungan dengan distribusi produk konsentrasi isotop air hujan yang terinfiltrasi di daerah resapan pada ketinggian tertentu (Fritz dan Fontes, 1980). Geologi dan Hidrogeologi Morfologi Secara umum daerah penelitian merupakan kawasan yang terdiri dari puncak perbukitan dan punggungan-punggungan yang berarah timurlaut baratdaya. Puncak gunung yang tertinggi adalah 2012 m (G. Pintau) dan

perbukitan dengan ketinggian sekitar 875 m dpl., dan punggungan-punggungan mulai dari ketinggian 875 m hingga ketinggian sekitar 300 m. Punggungan perbukitan tersebut menjalur sepanjang kira-kira 15 km mulai dari lereng G. Sibayak (2094 m) melalui Bandarbaru hingga Sembahe. Satuan morfologi daerah penelitian dapat dibagi menjadi tiga (Gambar 3), yaitu : a. Satuan Morfologi Kerucut Gunungapi Muda. b. Satuan Morfologi Perbukitan Lereng Terjal. c. Satuan Morfologi Perbukitan Bergelombang Landai. Pola aliran sungai yang terbentuk adalah radial dan paralel (Gambar 4).

Gambar 3. Morfologi Daerah Penelitian

18

Gambar 4. Pola Aliran Sungai Daerah Penelitian Stratigrafi Stratigrafi daerah penelitian disusun berdasarkan Peta Geologi Lembar Medan skala 1 : 250.000 oleh Cameron et al. (1982) (Gambar 5). Berdasarkan ciri-ciri litologi dan lokasi keterdapatannya, maka litologi di daerah penelitian terdiri dari Satuan Mentar (QTvm), Satuan Singkut (Qvbs), Satuan Binjai (Qvbj) dan Satuan Sibayak (Qvba). Satuan Mentar merupakan produk erupsi dari Pusat TakurTakur sedangkan Satuan Singkut, Satuan Binjai dan Satuan Sibayak adalah produk erupsi dari Pusat Sibayak. Satuan Mentar Satuan Mentar di daerah penelitian menempati daerah Sembahe, Batumbelin, L. Bengkelewang Hilir, Batulayang, Tanguran dan Rumah Kinangkong. Litologinya terdiri dari batuan piroklastik batuapung, dengan komposisi batuapung dan fragmen-fragmen batuan beku berukuran antara beberapa cm hingga 40 cm, warna coklat kekuningan berbintik hitam, berbutir sangat kasar, massa dasar debu gunungapi. Fragmen-fragmen batuapung berwarna putih kecoklatan berbintik hitam dan struktur skoria. Satuan ini berumur PlioPleistosen (Cameron et al., 1982). Melihat dari karakteristik litologinya, Satuan Mentar bersifat berpori dan permeabel. Satuan Singkut Singkapan batuan Satuan Singkut dapat terlihat pada tebing-tebing terjal di daerah-daerah L.Puangaja (Sta.33), L. Kaban (Sta.17), L. Bengkelewang (Sta.24), L. Rumah Sumbul (Sta.34), Desa Batulayang (Sta.37), dan L. Petani (Sta.2) di Bandarbaru. Satuan ini menempati hampir 50% dari luas daerah penelitian yang di permukaannya ditutupi oleh tanah pelapukan. Satuan ini tersusun oleh tuf batuapung dan piroklastik. Tuf batuapung berwarna abu-abu cerah, putih kekuningan

19

berbintik hitam dan fragmen-fragmen batuapung serta batuan beku dalam berbagai ukuran. Di daerah Sibolangit antara lain di L. Kaban, L. Puangaja dan L. Bengklewang, batuan-batuan ini banyak tersingkap dengan

rekahan-rekahan sebagai jalan keluarnya mataair. Hal ini menunjukkan batuan tuf batuapung Satuan Singkut memiliki permeabilitas rekahan dan daya resap airtanah yang tinggi.

Gambar 5. Peta Geologi Daerah Penelitian (Cameron, et al., 1982)

20

Satuan Binjai Satuan Binjai menempati daerah penelitian pada ketinggian sekitar 1000 m sampai sekitar 1250 m dpl.. Satuan ini dapat diamati di tebing-tebing jalan raya Medan-Brastagi setelah melewati daerah Bandarbaru (ke arah selatan/baratdaya). Satuan Binjai di daerah penelitian (Sta. 3,4,5) tersusun oleh breksi aliran (lahar) dengan fragmen-fragmen campuran lepas berupa bongkah-bongkah maupun blok-blok besar batuan beku berbentuk menyudut hingga membulat tanggung, berukuran diameter 5 cm hingga 75 cm, terdapat debu dan pasir serta sortasi buruk. Breksi lahar tersebut terlihat sangat berpori dan permeabel dengan butiranbutiran berada dalam keams terbuka, dan terdapatnya aliran berupa mataair kecil akibat dari resapannya dari permukaan tanah. Melihat karakteristik fisik ini, daerah-daerah yang ditempati oleh batuan breksi Satuan Binjai sangat memenuhi syarat sebagai daerah resapan. Satuan Sibayak Satuan Sibayak terdiri dari lava, piroklastik dan tuf yang menyebar menempati daerah-daerah sekitar lereng, kaldera dan puncak. Satuan Sibayak yang menempati lereng Gunung Sibayak berupa lava, tersingkap di Dg. Sempulenangin (Sta.5), bersifat masif dan sangat keras, warna hitam, tidak bersifat lulus air. Satuan Sibayak berupa lava dengan struktur kekar kolom dapat dijumpai pada dinding terjal air terjun Sikulikap di bawah Dg. Sempulenangin dengan ciri-ciri masif, sangat keras. Batuan ini diperkirakan bisa bertindak sebagai media resapan air hujan dan airtanah melalui pola rekahan vertikal yang terbentuk. Bagian puncak dan kawah G.Sibayak ditempati oleh lava andesit yang masif dan kedap air dan hancuran-hancuran berupa bongkah-bongkah yang diperkirakan dapat juga bertindak sebagai media resapan karena bersifat tidak kompak. Struktur Geologi Struktur geologi daerah penelitian mengacu pada interpretasi citra landsat dan kajian foto udara G. Sibayak G.Sinabun Sumatera Utara yang dilakukan oleh Pertamina (1989), serta analisis data pengamatan di lapangan. Di daerah penelitian terdapat kelurusan-kelurusan yang mungkin berkaitan dengan sesar (Gambar 6). Kelurusan-kelurusan itu antara lain yang

berarah timurlaut-baratdaya menjalur diantara G. Sibayak-G.Pintau hingga daerah Martelu di L. Pepe yang ditafsirkan sebagai gejala sesar mendatar. Dari hasil pengamatan lapangan dan interpretasi foto udara, di daerah penelitian diperkirakan terdapat sesar yang dicirikan oleh adanya kelurusan sungai, tebing curam dan air terjun serta adanya kelurusan mataair panas, di antaranya dijumpai di Desa Doulu hingga Semangatgunung (Sta.14), walaupun bidang sesar tidak dijumpai. Sesar lain yang diperkirakan keberadaanya adalah di S. Petani dan L. Pepe dengan ciri adanya kelurusan sungai dan air terjun serta dinding terjal yang mirip dengan gawir-gawir (L. Pepe daerah Martelu)(Gambar 6). Kelurusan lain adalah yang berarah baratlauttenggara di Semangatgunung dan Dg. Sempulenangin-Doulu. Gejala-gejala lain yang dijumpai adalah adanya kelurusan-kelurusan yang pendek yang ditafsirkan sebagai struktur kekar yang menjalur dengan arah baratdayatimurlaut mulai dari L. Petani disebelah timur Bandarbaru 1 hingga sebelah timur Sukamakmur. Kelurusan lain yang ditafsirkan sebagai kekar terdapat pada L. Betimus hilir dengan arah hampir utara-selatan. Berdasarkan hasil interpretasi foto udara tersebut dan kedudukannya yang menempati topografi tinggi maka dapat ditafsirkan bahwa daerah sekitar puncak Sibayak dan lerengnya diduga dapat bertindak sebagai daerah resapan. Berdasarkan kenampakan yang dijumpai di lapangan, bukti-bukti sesar sulit dijumpai. Pada lokasi-lokasi mataair seperti di hulu L. Bengkelewang, kenampakan yang bisa diamati adalah tebing atau gawir terjal yang membentuk lembah di daerah itu yang diduga sebagai gejala sesar normal. Sesar yang diperkirakan ini memotong batuan tuf batuapung dari satuan Singkut. Tebing-tebing terjal ini merupakan tempat dimana terjadi pemunculan mataair yang dapat diamati mulai dari L. Rumah Sumbul, L. Bengkelewang, L. Kaban dan L. Puangaja. Demikian juga halnya di Dg. Sempulenangin dijumpai adanya air terjun Sikulikap yang memotong Satuan Sibayak. Air terjun tersebut diperkirakan sebagai manifestasi sesar sebagaimana yang diinterpretasi dari foto udara dengan arah bidang sesar yang terukur di lapangan adalah N 30o E. Di L.Pepe dijumpai

21

gawir berupa undak-undak yang diindikasikan juga sebagai gejala sesar sebagaimana yang diinterpetasi melalui foto udara. Struktur geologi lain yang banyak terlihat di lapangan adalah kekar pada batuan tuf batuapung dari Satuan Singkut yang umumnya lebih rapat pada lokasi-lokasi mataair baik di L. Bengkelewang, L. Kaban, L. Puangaja, L. Sibungoh (L. Sungsang) dan L. Rumah Sumbul. Analisa kekar di L. Sungsang (Sta.25) dekat Sibolangit menunjukkan arah umum kekar adalah N 65E . Arah umum kekar ini mungkin ada hubungannya dengan arah aliran airtanah menuju mataair di daerah tersebut. Arah

terukur rekahan-rekahan tersebut di L. Rumah Sumbul adalah N 330 E/85, N 205 E/87, N 210 E/88, N 270 E/85 dan N 280 E/86. Di daerah L. Puangaja, kekar yang terukur adalah N320E/87, N360E/80. Banyaknya rekahanrekahan pada tebing curam tersebut berpotensi pula sebagai penyebab terjadinya runtuhan atau longsor sebagaimana terlihat pada tebing-tebing jalan setapak dan jalan raya di sekitar Sibolangit pada waktu musim hujan. Struktur kekar dapat juga teramati pada tebing-tebing jalan melalui Desa Batulayang dan Tanguran serta tebingtebing sungai di L. Pepe dan L. Sibungoh (L. Sungsang).

Gambar 6. Peta Struktur Geologi Daerah Penelitian dan Sekitarnya (Sumber : Pertamina 1989)

22

Hidrogeologi Hidrogeologi Regional Berdasarkan Peta Hidrogeologi Indonesia Lembar Medan (regional) skala 1:250.000 yang dibuat oleh Mudiana et al. (1991), daerah penelitian termasuk ke dalam mandala airtanah gunungapi strato yang dicirikan oleh bentang alam kerucut gunungapi. Curah hujan tahunan pada mandala airtanah ini berkisar antara 2500 3000 mm/tahun. Lahannya berupa hutan lebat, hutan belukar, tanaman keras dan hortikultura. Berdasarkan tipologi sistem akifer endapan gunungapi, Hadiwidjojo (1967) menghubungkan sistem hidrogeologi batuan vulkanik strato dengan morfologi puncak, lereng dan kaki pegunungan. Daerah penelitian merupakan daerah yang berada dalam sistem gunungapi strato, meliputi daerah puncak dan kawah G. Sibayak dengan ketinggian 1500 2212 m, daerah lereng gunungapi dengan ketinggian 1000 1500 m, dan daerah kaki gunungapi dengan ketinggian 500 1000 m. Mataair Mataair dalam kelompok Sibolangit umumnya muncul melalui rekahan-rekahan dan fragmen pada batuan tuf batuapung yang membentuk tebing-tebing terjal . Jumlah total debit dari mataair di daerah Sibolangit yang menyebar pada beberapa lokasi tersebut adalah 898 l/det (Directorate of Water Supply, 1992). Mataair di daerah Lau Kaban dan Lau Puangaja keluar melalui rekahan-rekahan dan celah-celah antar bongkah batuan pada tebing-tebing yang dibentuk oleh batuan tuf batuapung Satuan Singkut. Ketinggian lokasi dari mataair di L. Puangaja adalah sekitar 430 450 m dan di Lau

Kaban sekitar 480 500 m. Melihat ciri-ciri di lapangan maka mataair di Lau Kaban dan Lau Puangaja penulis golongkan kepada jenis mataair joint springs atau fracture springs menurut klasifikasi Fetter (1994). Data Isotop dan Analisis Daerah Resapan Data Isotop Pengambilan contoh-contoh air dari mataair pada lokasi-lokasi tertentu diharapkan mewakili untuk tujuan penelitian dengan memperhatikan sistem recharge dan discharge aliran airtanah. Contoh air mataair diambil pada lokasi-lokasi Lau Kaban, Lau Puangaja, Lau Bengkelewang dan Lau Rumah Sumbul (Gambar 2). Contoh-contoh air selanjutnya dianalisis di Laboratorium Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi Badan Tenaga Nuklir Nasional (PAIR BATAN) di Jakarta untuk mengetahui kandungan rasio relatif massa 18O dan D. Pengukuran dilakukan dengan menggunakan spektrometer massa model Nier, VG isogas yang ketelitiannya o mencapai 0,01 /oo. Hasil analisis laboratorium kandungan isotop air mataair disajikan pada Tabel 1 dan data isotop air hujan (BATAN , 1998) disajikan pada Tabel 2. Hubungan 18O () dan 2H () dan Garis Air Meteorik Lokal Garis air meteorik lokal daerah penelitian telah didapatkan dari plot hubungan 18O () dan 2H (deuterium, D) () air hujan daerah Sibolangit Berastagi (BATAN, 1998) dengan persamaan: 2H = 8,0273* O+14,791 (Gambar 7)

Tabel 1. Hasil analisis Isotop unsur Oksigen-18 dan Deuterium (2H) dari contoh-contoh air daerah penelitian
November 97 Lokasi Elevasi (m) 720 1320 1310 1510 Hujan (mm) 305.9 224.6 336.7 269.4
18 O (0/00)

Desember 97 D (0/00) -72.1 -86.2 -83.3 -80.9 Hujan (mm) 119.3 105.1 123.1 104.7
18 O (0/00)

Januari 97 D (0/00) Hujan (mm) 250.1 87.5 109.5 93.5


18 O (0/00)

D (0/00) -32.2 -46.1 -56.1 -56.2

Sibolangit Knt. Pabum Base Camp Brastagi II

-10.97 -12.56 -15.56 -12.11

-5.57 -7.35 -8.55 -8.7

-13.2 -46.1 -56.1 -56.2

-5.79 -7.48 -9.23 -7.69

23

Tabel 2. Kandungan isotop rata-rata 18O dan D dari contoh air hujan daerah Sibayak, Sumatera Utara (Sumber : BATAN, 1998) No. 1 2 3 4 Stasiun curah hujan Sibolangit Knt. Pabum Base camp Brastagi II Elevasi (m) 720 1320 1310 1510
18

O (0/00)

D (0/00) -50.10 -67.65 -73.24 -68.85

-8.10 -10.18 -10.99 -10.47

Persamaan tersebut tidak jauh berbeda dengan persamaan Garis Air Meteorik Global (Global Meteoric Water Line) yang diperoleh Dansgaard (1964); 2H = 818O+10. Grafik tersebut menunjukkan bahwa titik-titik plot kandungan isotop air mataair terletak dekat dengan garis air meteorik lokal. Menurut Drever (1988), jika plot komposisi airtanah berkedudukan dekat dengan garis air meteorik yang merupakan posisi dari air hujan sekarang pada daerah sama, maka air tanah tersebut berasal dari air meteorik. Jadi air mataair yang terdapat di daerah penelitian merupakan air yang berasal dari air meteorik.

didapatkan persamaan garis linier 18O dengan elevasi : Elevasi (m) = -246,92 * 18O 1237,6, dengan koefisien determinasi (R2) = 0,913. Dari analisis D didapatkan persamaan garis linear D dengan elevasi : Elevasi (m) = 31,354 * D 817,92, dengan koefisien determinasi (R2 ) = 0,921. Dari garis hubungan 18O dengan elevasi, didapatkan perubahan sekitar -0,3 bagi 18O untuk setiap kenaikan 100 m atau gradien -0,3 /100 m. Untuk D didapatkan gradien sekitar 3 /100 m.

Gambar 8. Grafik Hubungan 18O Air Hujan terhadap Elevasi Daerah Sibolangit - G. Sibayak (Sumber : BATAN, 1998)

Gambar 7. Grafik Hubungan D vs O Mataair pada Garis Air Meteorik Lokal Daerah Sibolangit Hubungan 18O () dan D () Dengan Elevasi dan Perkiraan Daerah Resapan Dari analisis kandungan isotop stabil 18O dan D pada 4 stasiun pengamat air hujan daerah Sibolangit Sibayak (BATAN,1998), didapatkan hubungan 18O dan D dengan elevasi (ketinggian) di daerah penelitian (Gambar 8 dan Gambar 9). Dari analisis 18O

Gambar 9. Grafik Hubungan D Air Hujan terhadap Elevasi Daerah Sibolangit G. Sibayak (Sumber : BATAN, 1998)

24

Dengan melakukan substitusi nilai-nilai 18O0,2 () dan D2 () dari hasil analisis contoh air mataair pada kedua persamaan tersebut, maka didapatkan kisaran elevasi asal dari mataair (Tabel 3 dan Tabel 4). Keenam contoh air mataair Sibolangit di atas menunjukkan bahwa elevasi asal dari contoh-

contoh air tersebut berasal dari ketinggian 632 m hingga 866 m (Gambar 10). Daerah-daerah yang terletak pada ketinggian ini adalah Bumi Perkemahan Pramuka Sibolangit, Bandarbaru 2, Sikebon, Ketengkuhan, Sukasama, Sukamakmur, Rumah Pilpil Kenjahe, Betimus Baru, Dunansiruguh, Rumah Pilpil Kenjulu, Betimus Dekah dan Batulayang.

Tabel 3. Elevasi recharge dari contoh air mataair Sibolangit yang diplot pada garis elevasi (Elevasi= -246,92 * 18O 1237,6) berdasarkan nilai 18O 0 () dan 18O 0,2 ()
Contoh air MA-1 MA-2 MA-3 MA-4 MA-5 MA-6 Lokasi L. Kaban bron I L. Kaban bron III L. Puangaja II L. Puangaja atas L. Bengkelewang L. Rumah Sumbul 18 O + 0 (0/00) -8.30 -8.19 -8.02 -8.04 -8.32 -8.29 Elevasi asal 811.8360 784.6748 742.6984 747.6368 816.7744 809.3668 18 O -0,2 (0/00) -8.50 -8.39 -8.22 -8.24 -8.52 -8.49 Elevasi asal 861.2200 834.0588 792.0824 797.0208 866.1584 858.7508 18 O + 0,2 (0/00) -8.10 -7.99 -7.82 -7.84 -8.12 -8.09 Elevasi asal 762.4520 735.2908 693.3144 698.2528 767.3904 759.9828

Tabel 4. Elevasi recharge dari contoh air mataair Sibolangit yang diplot pada garis linier elevasi (elevasi (m) = 31,354 * D 817,92) berdasarkan nilai D 0 () dan D 0,2 ()
Contoh air MA-1 MA-2 MA-3 MA-4 MA-5 MA-6 Lokasi L. Kaban bron I L. Kaban bron III L. Puangaja II L. Puangaja atas L. Bengkelewang L. Rumah Sumbul D+0 (0/00) -50.2 -48.4 -50.6 -50.3 -48 -48.9 Elevasi asal -761.771 706.502 774.053 -764.841 64.22 721.8545 D -2 (0/00) -52.2 -50.4 -52.6 -52.3 -50 -50.9 Elevasi asal 823.181 767.912 835.463 826.2515 755.63 783.2645 D +0,2 (0/00) -48.2 -46.4 -48.6 -48.3 -46 -46.9 Elevasi asal 700.361 645.092 712.643 703.4315 632.81 660.4445

Evaluasi Faktor Geologi Daerah Resapan Daerah resapan yang ditentukan berdasarkan analisa isotop ditempati oleh batuan dari Satuan Singkut (Qvbs) dan Satuan Mentar (Qtvm) (Gambar 11). Hampir seluruh permukaan daerah resapan ditutupi oleh Satuan Singkut. Satuan ini tersusun oleh batuan piroklastik, andesit, dasit dan tuf (Cameron et al., 1982). Satuan Singkut yang terdiri dari tuf batuapung menutupi permukaan daerah Sibolangit dengan ketebalan sekitar 150 200 m. Bagian atasnya tersusun oleh welded tuff, keras dan kekar kolom. Di daerah resapan (Sta. 37), tuf batuapung Satuan Singkut dapat teramati dengan struktur kekar-kekar. Dengan adanya batuapung dan kekar-kekar pada batuan tersebut, diperkirakan batuan ini bersifat porous dan permeabel. Tanah pelapukan dari Satuan Singkut merupakan batuan yang permeabel dengan ketebalan hanya beberapa meter (3-5 meter). Nilai-nilai tahanan jenis batuan yang

diperoleh dari pengukuran geolistrik melalui daerah resapan (titik-titik duga S.34, S. 33, dan S. 32) diinterpretasikan merupakan lava andesit (Deptamben Sumut, 1985). Ini menunjukkan bahwa kemungkinan bagian bawah dari daerah resapan di sekitar lintasan geolistrik tersebut merupakan batuan yang tidak lulus air. Peta penyebaran rekahan (Pertamina, 1989) menunjukkan bahwa Satuan Singkut banyak mengalami rekahan pada bagian timur, tengah dan barat daerah resapan. Tuf batuapung yang mengalami rekahan dapat dilihat pada lembahlembah depresi topografi di daerah Batulayang (Sta. 37). Struktur rekahan ini sangat penting bagi media resapan dan dalam mengontrol aliran airtanah di daerah Sibolangit. Di daerah sebelah timur (Desa Batulayang, Sibolangit) batuan tuf batuapung memperlihatkan kekar-kekar gerus dan kekar kolom. Di bagian barat daerah resapan, struktur

25

rekahan juga terdapat pada satuan ini yang diharapkan dapat bertindak sebagai daerah tangkapan air. Satuan Mentar menempati daerah resapan sebelah timur. Satuan ini tersusun oleh batuan piroklastik batuapung dasitan dan lahar (Cameron et al., 1982). Dari karakteristik litologinya, satuan piroklastik batuapung dasitan dan lahar ini bersifat berpori dan permeabel.

Peta penyebaran struktur (Pertamina, 1989) menggambarkan Satuan Mentar yang menempati daerah resapan di bagian timur terkena struktur rekahan, sehingga diperkirakan satuan ini bersifat lebih berpori dan permeabel. Demikian juga Satuan Mentar yang berada di sebelah timur daerah resapan yang terkena struktur rekahan, kemungkinan bisa menjadi sumber tangkapan air yang bisa mengalirkan air tanah ke arah mataair Sibolangit.

Gambar 10. Peta elevasi daerah resapan mataair Sibolangit

26

Gambar 11. Peta Daerah Resapan Mataair Sibolangit Penyebaran struktur kekar/rekahan memberi petunjuk bagi prioritas utama daerah perlindungan airtanah. Prioritas perlindungan ini terutama pada satuan litologi yang berpori dan permeabel. Daerah-daerah penting bagi perlindungan airtanah ini adalah daerah-daerah yang terkekarkan di sebelah timur, tengah dan barat daerah resapan, meliputi Batulayang, Rumah Pilpil Kenjahe, Sukamakmur, Bandarbaru, Sukasama hingga Ketengkuhan. Besarnya debit suatu mataair tergantung pada luas daerah resapan yang mengkontribusi akifer dan besarnya resapan tersebut (Todd, 1980). Hubungan antara ketiga parameter tersebut dapat dihitung secara grafis (Gambar 12). Luas

27

daerah resapan berdasarkan batas-batas daerah penelitian dari ketinggian 632 m hingga 866 m diperkirakan sekitar 26 km2. Dengan debit mataair Sibolangit sekitar 900 l/s (Directorate of Water Supply, 1992), dan curah hujan selama setahun sebesar 2500 3000 mm (Mudiana, et al. 1991), serta koefisien resapan dari batuan yang berada pada zona resapan adalah 0.20 (Directorate of Water Supply, 1992), maka besarnya resapan tahunan (annual

recharge) adalah 0.20 x 2500 mm hingga 0.20 x 3000 mm. Dari grafik tersebut didapatkan luas daerah resapan secara teoritis adalah berkisar dari 60 km2 hingga 70 km2. Jadi, daerah resapan yang terhitung dalam penelitian ini hanya sekitar 37-43% dari luas total yang diperkirakan. Diperkirakan masih terdapat daerah resapan seluas 57-63% lagi di luar daerah penelitian yang tidak teranalisis dari studi ini.

Gambar 12. Hubungan antara luas daerah tangkapan air dan besarnya resapan tahunan terhadap besarnya debit mataair (dari: Todd, 1980) Diskusi dan Kesimpulan Diskusi Penentuan elevasi asal air mataair dengan metode isotop merupakan metode yang cukup efektif dalam menentukan daerah resapan airtanah. Data analisa isotop 18O dan 2H air mataair dan air hujan bisa menunjukkan asal air serta ketinggiannya. Analisa data isotop 18O dan 2 H air mataair dalam penelitian ini menunjukkan masih terdapat perbedaan ketinggian asal dari air mataair tersebut. Selisih perbedaan ketinggian asal air dari 6 contoh air dalam penelitian ini bervariasi antara satu contoh air dengan contoh air yang lain dengan nilai yang berkisar antara 5 - 150 m. Perbedaan ini masih merupakan diskusi dalam penelitian ini. Selanjutnya yang perlu didiskusikan dalam penelitian ini adalah mengenai luas daerah resapan. Walaupun analisis isotop mendapatkan kisaran ketinggian asal dari air mataair tersebut,

28

tapi tidak seluruh daerah pada kisaran tersebut dapat bertindak sebagai daerah resapan. Faktor geologi, terutama struktur rekahan dan butiran berpori, memainkan peranan penting bagi berlangsungnya resapan airtanah. Dalam hal ini perlu penelitian lebih lanjut mengenai dimensi atau luas penyebaran struktur rekahan atau butiran permeabel yang efektif sebagai daerah resapan. Penggunaan metode penentuan luas daerah resapan berdasarkan metode grafis (Todd, 1980) dalam penelitian ini masih memerlukan kajian lebih lanjut, terutama mengenai perbandingan kondisi akifer antara daerah penelitian dengan kondisi yang dipakai dalam metode tersebut. Penulis masih melihat bahwa metode tersebut masih merupakan satu-satunya metode perhitungan luas daerah resapan yang cukup baik sampai saat ini. Untuk penelitian hidrogeologi lebih lanjut disarankan agar melakukan uji kuantitatif (pengukuran permeabilitas di lapangan) untuk mengetahui karakter fisik hidrolika batuan permukaan, baik sifat fisik hidrolika antar butir dan peran media rekahan yang memperbesar porositas dan permeabilitasnya.

Kesimpulan Dari hasil penelitian ini dapat ditarik beberapa kesimpulan: 1. Daerah resapan yang ditemukan dari analisa isotop 18O dan 2H adalah daerah yang berketinggian dari 632 m hingga 866 m (dpl). 2. Faktor pengontrol yang penting dalam fungsi daerah resapan ini diduga adalah faktor litologi dan kekar. 3. Secara administratif maka daerah-daerah yang berada pada ketinggian tersebut meliputi Desa Batulayang, Betimus Dekah, Rumah Pilpil Kenjahe, Rumah Pilpil Kenjulu, Sukamakmur, Beranti, Bandarbaru 2 (bawah), Bumi Perkemahan Pramuka, Sukasama, Sikebon, Ketengkuhan dan Martelu. 4. Berdasarkan perhitungan, daerah resapan yang ditemukan masih sebahagian (3743%) dari luas total diperkirakan, sehingga masih ada seluas 57-63% lagi daerah resapan di luar daerah penelitian.

Daftar Pustaka
Abidin, Z., Wandowo, Indrojono dan Manurung, S., 1995, Peran Isotop Alam di Dalam Konservasi Airtanah, Prosiding Simposium Nasional Pengelolaan Sumberdaya Air di Indonesia, hal. 263-265. BAKOSURTANAL, 1970, Peta Rupa Bumi Indonesia, skala 1:50.000, Lembar 0619-33 PANCURBATU, Edisi 1. BAKOSURTANAL, 1982, Peta Rupa Bumi Indonesia, skala 1:50.000, Lembar 0619-31 BRASTAGI, Edisi 1. BATAN, 1998, Pemantauan Isotop Daerah Sibayak Sumatera Utara, Laporan Akhir (tidak diterbitkan). Cameron, N.R., Aspden, J.A., Bridge, D. McC., Djunuddin A., Ghazali, S.A., Harahap, H., Hariwidjaja, Johari, S., Kartawa, W., Keats, W., Ngabito, H., Rock, N.M.S., Whandoyo, R., 1982, The Geology of The Medan Quadrangle, Sumatra, Geological Research And Development Centre, Bandung. Clayton, R.N., Friedman, I., Graf, D.L., Mayeda, T.K., Meents, W.F., and Shimp, N.F., 1966, The Origin of Saline Formation Waters, J. Geophys. Res., 71(16), 38693882, American Geophysical Union. Dansgaard, W., 1964, Stable Isotopes in Precipitation, Tellus, Swedish Geophysical Society, 436-468. Deptamben Propinsi Sumatera Utara, 1985, Penyelidikan Airtanah Dengan Metode Geolistrik Tahanan Jenis di Daerah Medan dan Sekitarnya Propinsi Sumatera Utara, Laporan Teknik no. 093/3.2/84-84 (tidak diterbitkan). Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Utara, 2001, Peran dan Kebijakan Pemerintah Dalam Pelestarian DTA Sibolangit, Prosiding Seminar Lokakarya Perumusan Strategi Pelestarian Daerah Tangkapan Air Sibolangit. Drever, J.I., 1988, The Geochemistry of Natural Waters, Second Edition, New Jersey, 437 h. Fetter, C.W., 1994, Applied Hydrogeology, Third Edition, Macmillan College Publishing Company, Inc. USA, 691 h. Fritz, P. and Fontes, J.Ch., 1980, Handbook of Environmental Isotope Geochemistry, Vol. 1, Chapter 3, Elsevier Scientific Publishing Company,

29

Amsterdam Oxford New York. Freeze, R.A. & Cherry, J.A., 1979, Groundwater, Prentice Hall, Inc. USA, 604 h. Friedman, I., 1953, Deuterium Content of Natural Waters and Other Substances, Geochim. Cosmochim. Acta, 4(1-2), 89 -103. Geyh, M.A., 1990, Isotop Hydrogeological Study in the Bandung Basin, Indonesia, Directorate of Environmental Geology, Project Report No. 10 (unpublished). Hadiwidjojo, P.M.M., 1967, Hidrogeology of staratovolcanoes, A Geomorphic Approach, International Assocciation of Hidrogeologist, Congress Hannover. Hoefs, J., 1987, Stable Isotope Geochemistry, Third Edition, Gottingen, Germany, 241 h. Hutasoit, L.M. & Ashari, Y.A., 1998, The Origin Of Saline Water In Baliem Valley, Irian Jaya Based On Its Isotopic Composition, Prosiding PIT XXVII IAGI, Yogyakarta, 414 - 4-120.

Juanda, D., & Sunarwan, B., 1998, Variasi Kandungan Isotop Stabil Oksigen 18 (18O) dan Deuterium (2H) Dalam Airtanah Sebagai Alami Guna Mempelajari Perilaku Airtanah Pada Sistem Akifer endapan Volkanik Kawasan Cimahi Padalarang Lembang Kabupaten Bandung Jawa Barat, Prosiding PIT XXVII IAGI, Yogyakarta, 4-14 - 418. Directorate Of Water Supply, 1992, Second Medan Urban Development Project Study Of Water Sources Allocation For Water Supply For Medan Metropolitan Area, Technical Report On Hydrogeology Including Inventory Of Springs And Wells, Government Of The Republic Of Indonesia, Ministry Of Public Works, Directorate General Of Human Settlements; Lotti, C. & Associate Consulting Engineers, PT.Astron Polaris, PT. Makarya Sembada Consultants (unpublished).

Mudiana, W., Denny, B.R., Arief, S., 1991, Peta Hidrogeologi Lembar Medan, Sumatera, Direktorat Geologi Tata Lingkungan, Bandung. Pertamina, 1989, Pengkajian Foto Udara Daerah G. Sibayak G. Sinabun (Sumatera Utara), Dinas Geotermal kerjasama dengan Sarana Multi Karsa Consl. Eng., Laporan Akhir (tidak diterbitkan). Sungkono, H.S., 2001, Kawasan Sibolangit Sebagai Daerah Tangkapan Air Pengelolaan dan Permasalahannya, Direktur Perencanaan dan Produksi Perusahaan Daerah Air Minum Tirtanadi Propinsi Sumatera Utara. Tarigan, J.I., 1994, Hidrogeological Prospective of Sibolangit Block In Groundwater Optimation And Development For Medan Water Supply, Proc. 23rd IAGI Ann. Conv., 679 687. Todd, D.K., 1980, Groundwater Hydrogeology, John Wiley & Sons, New York USA, 535 h.

30

Anda mungkin juga menyukai