Anda di halaman 1dari 14

Sungai Bengawan Solo

Gambar 1. Bengawan Solo di Bojonegoro Bengawan Solo adalah sungai terpanjang di Pulau Jawa, Indonesia dengan mata air dari daerah Pergunungan Kidul, Wonogiri dan menemui laut di daerah Gresik. Sungai ini panjangnya sekitar 548.53 km dan mengaliri dua wilayah iaitu Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kabupaten yang dilalui adalah Wonogiri, Pacitan, Sukoharjo, Klaten, Solo, Sragen, Ngawi, Blora, Bojonegoro, Tuban, Lamongan, dan Gresik[1].

Bagian Sungai
Daerah Hulu
Daerah ini majoritinya meliputi daerah Hulu Kali Tenggar, Hulu Kali Muning, Hulu Waduk Gajah Mungkur serta sebahagian Kabupaten Wonogiri dengan penampang sungai yang berbentuk V. Tanaman pada daerah ini dikuasai oleh tumbuhan akasia. Aktiviti yang banyak dilakukan di dareah ini adalah pertanian, seperti padi dan kacang tanah. Benteng sungai pada daerah ini rata-rata bertebing curam dan tinggi. Disebabkan banyak digunakan untuk pertanian, daerah sekitar sungai pada bahagian ini banyak mengalami hakisan dan mendapan yang cukup tinggi.

Daerah Tengah
Daerah ini majoritinya meliputi daerah Hilir Waduk Gajah Mungkur, sebahagian Kabupaten Wonogiri, Pacitan, Sukoharjo, Klaten, Solo, Sragen, sebahagian Kabupaten Ngawi dan sebahagian Tempuran (hilir) Kali Madiun. Selain itu, daerah ini merupakan daerah yang padat penduduknya. Pada umumnya, kegiatan ekonomi di daerah bahagian sungai ini lebih tinggi berbanding bahagian hulu dan hilir, dan didominasi oleh kegiatan industri. Akibatnya, banyak limbah yang masuk ke sungai dan mencemari tanaman di

daerah ini. Aktiviti masyarakat yang paling menonjol di daerah ini adalah pertanian, penggunaan air sebagai keperluan harian, penternakan dan industri.

Daerah Hilir
Daerah ini majoritinya meliputi daerah sebahagian Tempuran (hilir) Kali Madiun, sebahagian kabupaten Ngawi, Blora, Bojonegoro, Lamongan, Tuban dan berakhir di Desa Ujungpangkah, Gresik.

Lain-lain
Sungai ini dikagumi masyarakat di seluruh dunia khususnya Jepun kerana diilhamkan dari lagu keroncong karangan Gesang berjudul sama, Bengawan Solo. Selain itu tempat ini pernah menjadi tempat utama kemalangan pesawat Garuda Indonesia Penerbangan 421.

Profil DAS Bengawan Solo


1. LATAR BELAKANG
Sungai Bengawan Solo merupakan sebuah sumber air yang sangat potensial bagi usaha-usaha pengelolaan dan pengembangan sumber daya air (SDA), di sepanjang alirannya untuk memenuhi berbagai keperluan dan kebutuhan, antara lain untuk kebutuhan domestik, air baku air minum dan industri, irigasi dan lain-lain. Sungai Bengawan Solo merupakan sungai terbesar di Pulau Jawa, terletak di Propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan luas wilayah sungai 12% dari seluruh wilayah Pulau Jawa pada posisi 110o18 BT sampai 112o45 BT dan 6o49LS sampai 8o08 LS. Wilayah Sungai merupakan suatu wilayah yang bentuk dan sifat alamnya merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak sungai yang melalui wilayah tersebut dalam fungsinya untuk menampung air yang berasal dari hujan dan sumber-sumber air lainna yang penyimpanan dan pengalirannya dihimpun dan ditata berdasarkan hukum-hukum alam sekeliling berdasarkan keseimbangan daerah tersebut. Luas total wilayah sungai (WS) Bengawan Solo 19.778 km2, terdiri dari 4 (empat) Daerah Aliran Sungai (DAS), yaitu DAS Bengawan Solo dengan luas 16.100 km 2, DAS Kali Grindulu dan Kali Lorog di Pacitan seluas 1.517 km 2, DAS kecil di kawasan pantai utara seluas 1.441 km2 dan DAS Kali Lamong seluas 720 km2.

DAS Bengawan Solo merupakan DAS terluas di WS Bengawan Solo yang meliputi Sub DAS Bengawan Solo Hulu, Sub DAS Kali Madiun dan Sub DAS Bengawan Solo Hilir. Sub DAS Bengawan Solo Hulu dan sub DAS Kali Madiun dengan luas masing-masing

6.072 km2 dan 3.755 km2. Bengawan Solo Hulu dan Kali Madiun mengalirkan air dari lereng gunung berbentuk kerucut yakni Gunung Merapi ( 2.914 m), Gunung Merbabu ( 3.142 m) dan Gunung Lawu ( 3.265 m), sedangkan luas Sub DAS Bengawan Solo Hilir adalah 6.273 km2.
Secara administratif WS Bengawan Solo mencakup 17 (tujuh belas) kabupaten dan 3 (tiga) kota, yaitu: Kabupaten : Boyolali, Klaten, Sukoharjo, Wonogiri, Karanganyar, Sragen, Blora, Rembang,Ponorogo, Madiun, Magetan, Ngawi, Bojonegoro, Tuban. Lamongan, Gresik dan Pacitan. Kota : Surakarta, Madiun dan Surabaya

Pengelolaan sumber daya air merupakan suatu kegiatan yang kompleks karena menyangkut semua sektor kehidupan, sehingga harus melibatkan semua pihak baik pembuat aturan (regulator), pengguna (user) dan pengembang (developer) maupun pengelola (operator). Oleh karena itu, diperlukan upaya bersama untuk mulai menerapkan dan menggunakan pendekatan one river basin, one plan and one integrated management, sehingga keterpaduan dalam perencanaan dan pelaksanaan serta pengendalian dapat diwujudkan. Dalam pengelolaan WS Bengawan Solo Arah dan Kebijakan yang diambil adalah: Memperhatikan keserasian antara konservasi dan pendayagunaan, pengelolaan kuantitas dan kualitas air untuk menjamin ketersediaan air baik untuk saat ini maupun masa datang. Pengendalian daya rusak air terutama dalam hal penanggulangan banjir dilakukan dengan pendekatan konstruksi (penyelesaian pelaksanaan pembangunan sarana

pengendali banjir) dan non-konstruksi (konservasi sumber daya air dan pengelolaan daerah aliran sungai dengan memperhatikan keterpaduan dengan tata ruang wilayah). Pengembangan dan pengelolaan sumber daya air memerlukan penataan kelembagaan melalui pengaturan kembali kewenangan dan tanggung jawab masing-masing pemangku kepentingan.

2. Balai Besar Wilayah Sungai Bengawan Solo


Balai Besar WS Bengawan Solo sebagai pengelola Pengelolaan Sumber Daya Air yang bertugas dalam perencanaan, pelaksanaan konstruksi, o & p dalam rangka konservasi sumberdaya air, pengembangan sumberdaya air, pendayagunaan sumberdaya air dan pengendalian daya rusak air pada Wilayah Sungai Bengawan Solo. Dalam rangka menjalankan tugas tersebut, Balai Besar WS Bengawan Solo memiliki fungsi : 1. Penyusunan pola dan rencana pengelolaan sumberdaya air pada wilayah sungai 2. Penyusunan rencana dan pelaksanaan pengelolaan kawasan lindung sumber air pada wilayah sungai 3. Pengelolaan sumberdaya air yang meliputi konservasi sumber daya air, pengembangan sumber air, pendayagunaan sumberdaya air dan pengendalian daya rusak air. 4. Penyiapan rekomendasi teknis dalam pemberian ijin atas penyediaan, peruntukan, penggunaan dan pengusahaan sumberdaya air pada wilayah sungai. 5. Operasi dan pemeliharaan sumberdaya air pada wilayah sungai 6. Pengelolaan sistem hidrologi 7. Penyelenggaraan data dan informasi sumberdaya air. 8. Fasilitasi kegiatan tim koordinasi pengelolaaan sumberdaya air pada wilayah sungai 9. Pemberdayaan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya air. 10. Pelaksanaan ketatausahaan balai besar wilayah sungai. Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 11A/PRT/M/2006 Juni 2006, WS Bengawan Solo dikategorikan sebagai WS lintas propinsi yang didasarkan pada penilaian: WS Bengawan Solo adalah WS lintas propinsi, yaitu berada di wilayah Propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ukuran dan besarnya potensi sumber daya air yang tersedia, ketersediaan air sebesar 18,61 miliar m. Banyaknya sektor yang terkait dengan sumber daya air WS Bengawan Solo, jumlah penduduk mencapai 16,03 juta jiwa pada tahun 2005. Besarnya dampak sosial, lingkungan dan ekonomi terhadap pembangunan nasional. Besarnya dampak negatif akibat daya rusak air terhadap pertumbuhanekonomi nasional dan regional. Karena WS Bengawan Solo dipandang sebagai WS lintas propinsi, maka pengelolaan sumber daya air ini berada di dalam kewenangan Pemerintah Pusat.

3. Pemanfaatn Ruang di WS. Bengawan Solo


Pemanfaatan ruang WS Bengawan Solo yang telah dikompilasikan dari RTRW Propinsi Jawa Timur dan Jawa Tengah adalah sebagai berikut : a. Pengelolaan Kawasan Lindung

Pengelolaan kawasan lindung bertujuan untuk mencegah kerusakan fungsi lingkungan. Sedangkan pengelolaan kawasan budidaya bertujuan untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna pemanfaatan ruang, menjaga kelestarian lingkungan serta menghindari konflik pemanfaatan ruang. a) Kawasan Perlindungan Bawahan Kawasan perlindungan bawahan diperuntukkan untuk menjamin terselenggaranya fungsi lindung hidroorologis bagi kegiatan pemanfaatan lahan. Kawasan ini meliputi kawasan hutan lindung dan kawasan resapan air. Kawasan Hutan Lindung Arahan pengelolaan kawasan hutan lindung, khususnya yang berkaitan dengan pemanfaatan kawasan budidaya, berada di lokasi : Kabupaten Boyolali, Kabupaten Klaten, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Magetan, Kabupaten Pacitan, Kabupaten Madiun dan Kabupaten Ngawi. Kawasan Resapan Air Kawasan resapan air diperuntukkan bagi kegiatan pemanfaatan tanah yang dapat menjaga kelestarian ketersediaan air bagi daerah yang terletak di wilayah bawahannya. Kawasan resapan air tersebar di Kabupaten Boyolali, Kabupaten Klaten, Kabupaten Wonogiri, Kabupaten Karanganyar, Kabupaten Sragen, Kabupaten Blora, Kabupaten Rembang, Kabupaten Pacitan, Kabupaten Ponorogo dan Tuban. b) Kawasan Suaka Alam Beberapa sub kawasan termasuk di dalam kawasan suaka alam, pelestarian alam dan cagar budaya, suaka alam laut dan perairan, kawasan pantai berhutan bakau, taman wisata alam serta kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan. c) Kawasan Rawan Bencana Kawasan rawan bencana alam adalah kawasan yang sering atau berpotensi tinggi mengalami bencana alam. Kawasan rawan banjir Kawasan rawan bencana banjir adalah tempat-tempat yang setiap musim hujan mengalami genangan lebih dari enam jam pada saat hujan turun dalam keadaan normal. Kawasan tersebut yaitu di Kabupaten Sragen dan Kabupaten Blora. Kawasan rawan bencana longsor Kawasan rawan bencana alam rawan longsor merupakan wilayah yang kondisi permukaan tanahnya mudah longsor karena terdapat zona yang bergerak akibat adanya patahan atau pergeseran batuan induk pembentuk tanah. Lokasi kawasan rawan bencana longsor terdapat di Kabupaten Boyolali (lereng timur G.. Merbabu dan lereng timur G. Merapi), Kabupaten Wonogiri (lereng selatan G. Lawu, perbukitan selatan dan timur Sungai Keduwang, serta bagian selatan dan barat daya Kabupaten), Kabupaten Karanganyar (lereng barat G. Lawu), Kabupaten Sragen (Sangiran dan Gemolong (G. Butak Manyar)), Kabupaten Blora (di daerah Ngawen, Todanan dan Jepon), Kabupaten Rembang terutama di bagian selatan dan timur dan Kabupaten Magetan. Kawasan rawan bencana gunung berapi

Kawasan rawan bencana alam gunung berapi merupakan wilayah sekitar puncak gunung berapi yang rawan terhadap luncuran gas beracun, lahar panas dan dingin, luncuran awan panas dan semburan api, dan tempat lalunya tumpahan benda-benda lain akibat letusan gunung berapi. Lokasi kawasan rawan bencana gunung berapi yaitu di Kabupaten Boyolali, Kabupaten Klaten, Kabupaten Ngawi (G. Lawu), Kabupaten Magetan (G. Lawu), Kabupaten Madiun (G. Liman & G. Wilis) dan Kabupaten Ponorogo (G. Liman & G. Wilis). Kawasan rawan bencana gempa Lokasi rawan bencana gempa yaitu di Kabupaten Boyolali, Kabupaten Klaten, Kabupaten Ngawi, Kabupaten Magetan, Kabupaten Madiun dan Ponorogo.

b. Pengelolaan Kawasan Budidaya


Pengelolaan kawasan budidaya bertujuan untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna sumberdaya serta untuk menghindari konflik pemanfaatan ruang dan kelestarian lingkungan hidup. Kawasan budidaya yang dikelola pemanfaatan ruangnya terdiri dari: Kawasan hutan produksi; Kawasan pertanian; Kawasan pertambangan; Kawasan peruntukan industri; Kawasan pariwisata; Kawasan permukiman; Kawasan perikanan; Kawasan perkebunan; Kawasan peternakan; Kawasan pariwisata; Kawasan permukiman; Kawasan industri; dan Kawasan perdagangan.

c. Kawasan Andalan
Adalah Kawasan kawasan yang mempunyai potensi pengembangan bagi sektor unggulan. WS Bengawan Solo ditetapkan 4 (empat) zona kawasan andalan: 1. Tuban-Lamongan dan sekitarnya Madiun dan sekitarnya Surabaya dan sekitarnya Surakarta-Boyolali-Sukoharjo dan Karanganyar

2. 3. 4.

4. Banjir Bengawan Solo Akhir Tahun 2007


Permasalahan Utama dalam pengelolaan DAS WS Bengawan Solo diantaranya adalah banjir, kekeringan, erosi dan sedimentasi, intruksi air laut, kualitas air dan lain-lain yang disebabkan oleh: Terus menurunnya kondisi hutan. Kerusakan DAS: penebangan liar dan konversi lahan yang menimbulkan kerusakan ekosistem dalam tatanan DAS. Lemahnya penegakan hukum terhadap pembalakan liar ( illegal logging). Masih rendahnya kesadaran masyarakat dalam pemeliharaan lingkungan.

Total lahan kritis di WS Bengawan Solo mulai kategori potensial kritis sampai sangat kritis mencapai luas kurang lebih 11.398 km2 akibat proses erosi yang berlanjut dan kerusakan vegetasi. Luas lahan kritis terbesar terdapat di Kab. Wonogiri (Jawa Tengah) seluas 128.662 ha, Kab. Pacitan seluas 129.598 ha dan Kab. Bojonegoro seluas 172.261 ha (Jawa Timur).

Wilayah Sungai Bengawan Solo mengalami penurunan daya dukung lingkungan. Hal ini antara lain disebabkan oleh penebangan liar dan konversi lahan, sehingga terjadi penurunan luas hutan yang ada yaitu 23 % pada tahun 1998 menjadi 18 % pada tahun 2005. Total lahan kritis di WS Bengawan Solo mulai kategori potensial kritis sampai sangat kritis pada saat ini mencapai luas 11.39 km2, akibat proses erosi yang berkelanjutan dan kerusakan vegetasi. Akibat terjadinya hujan di bagian hulu dengan intensitas tinggi di Sub DAS Bengawan Solo Hulu dan K.Madiun pada tanggal 25 Desember 2007, maka terjadi banjir besar diseluruh DAS Bengawan Solo mulai tanggal 26 Desember 2007, yang menimbulkan kerusakan akibat banjir besar seperti tergenangnya perumahan, fasilitas umum, kantor, tempat ibadah, sawah/tegalan, dan jalan nasional, propinsi, kabupaten di kota dan daerah disekitar sungai Bengawan Solo, dimana kondisi itu mempengaruhi aktifitas masyarakat dan perekonomian. Kejadian banjir besar tersebut melanda kabupaten/kota di sepanjang aliran sungai Bengawan Solo diantaranya yaitu : Solo, Sukoharjo, Sragen, Ponorogo, Madiun, Cepu, Bojonegoro, Tuban, Babat, Lamongan, Gresik dan daerah disekitarnya.

5. Penangulangan Permasalahan Daya Rusak Air


Upaya pengendalian banjir harus dengan keterpaduan antara upaya fisik teknis dan non teknis seperti perilaku manusia dalam mengubah fungsi lingkungan, perubahan tata ruang secara massive di kawasan budidaya yang menyebabkan daya dukung lingkungan menurun drastis, serta pesatnya pertumbuhan permukiman dan industri yang mengubah keseimbangan fungsi lingkungan sehingga menyebabkan kawasan retensi banjir ( retarding basin) berkurang. Aktivitas dan perubahan ini menyebabkan meningkatnya debit air yang masuk ke badan sungai dimana dengan terbatasnya kapasitas tampung dan pengaliran sungai akan berdampak meluapnya air sungai. Karena itu pada masa yang akan datang upaya pengendalian banjir tidak bisa hanya difokuskan pada penanganan fisik saja, namun harus disinergikan juga dengan pembangunan non fisik yang menyediakan ruang lebih luas bagi munculnya keterlibatan atau partisipasi masyarakat, sehingga tercapai suatu sistem pengendalian banjir yang lebih optimal. Sinergi antara penanganan fisik dan non fisik dalam upaya pengendalian banjir dapat diwujudkan melalui beberapa hal sebagai berikut: a. Pengendalian tata ruang. Pengendalian tata ruang dilakukan dengan perencanaan penggunaan ruang sesuai kemampuannya dengan mempertimbangkan permasalahan banjir, pemanfaatan lahan sesuai dengan peruntukannya serta penegakan hukum terhadap pelanggaran rencana tata ruang yang telah memperhitungkan Rencana Induk Pengembangan Wilayah Sungai. b. Pengaturan debit banjir

Pengaturan debit banjir dilakukan melalui kegiatan penanganan fisik berupa pembangunan dan pengaturan bendungan, perbaikan sistem drainase perkotaan, normalisasi sungai dan daerah retensi banjir. Pengaturan daerah rawan banjir Pengaturan daerah rawan banjir dilakukan dengan cara: 1) Pengaturan tata guna lahan dataran banjir (flood plain management). 2) Penataan daerah lingkungan sungai seperti: penetapan garis sempadan sungai, peruntukan lahan di kiri kanan sungai, penertiban bangunan di sepanjang aliran sungai. c. Peningkatan peran masyarakat. Peningkatan peran masyarakat dalam pengendalian banjir diwujudkan dalam: 1) Pengembangan Sistem Peringatan Dini Berbasis Masyarakat 2) Bersama-sama dengan Pemerintah dan Pemerintah Daerah menyusun dan mensosialisasikan program pengendalian banjir. 3) Mentaati peraturan tentang pelestarian sumberdaya air antara lain tidak melakukan kegiatan kecuali dengan ijin dari pejabat yang berwenang untuk: mengubah aliran sungai; mendirikan, mengubah atau membongkar bangunan-bangunan di dalam atau melintas sungai. membuang benda-benda/bahan-bahan padat dan atau cair ataupun yang berupa limbah ke dalam maupun di sekitar sungai yang diperkirakan atau patut diduga akan mengganggu aliran, pengerukan atau penggalian bahan galian golongan C dan atau bahan lainnya. pengaturan untuk mengurangi dampak banjir terhadap masyarakat (melalui Penyediaan informasi dan pendidikan, Rehabilitasi, rekonstruksi dan atau pembangunan fasilitas umum, Melakukan penyelamatan, pengungsian dan tindakan darurat lainnya dan lainlain) d. Pengelolaan Daerah Tangkapan Air Pengelolaan daerah tangkapan air dalam pengendalian banjir antara lain dapat dilakukan melalui kegiatan: 1) Pengaturan dan pengawasan pemanfaatan lahan (tata guna hutan, kawasan budidaya dan kawasan lindung); 2) Rehabilitasi hutan dan lahan yang fungsinya rusak; 3) Konservasi tanah dan air baik melalui metoda vegetatif, kimia, maupun mekanis; 4) Perlindungan/konservasi kawasan - kawasan lindung.

e. Penyediaan Dana Penyediaan dana dapat dilakukan dengan cara: 1) Pengumpulan dana banjir oleh masyarakat secara rutin dan dikelola sendiri oleh masyarakat pada daerah rawan banjir. 2) Penggalangan dana oleh masyarakat umum di luar daerah yang rawan banjir 3) Penyediaan dana pengendalian banjir oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah.

f. Pengembangan Sistem Peringatan Dini Berbasis Masyarakat dan Rencana Tindak Darurat Agar efektif, di masa yang akan datang sistem peringatan dini datangnya banjir di WS Bengawan Solo harus berpusat secara kuat pada masyarakat yang tinggal di daerah rawan banjir mulai hilir sampai hulu. Dengan penerapan sistem ini, akan dapat memberikan informasi lebih dini bagi masyarakat yang kemungkinan akan terkena bencana sehingga ada kesempatan bagi masyarakat untuk menyelamatkan diri atau barang-barang berharganya. Sistem tersebut harus dikembangkan secara menyeluruh sehingga dapat meyakinkan bahwa sistem tersebut dapat berfungsi ketika diperlukan dan peringatan dapat disampaikan secara segera dan mudah dimengerti oleh semua anggota masyarakat dalam berbagai kondisi dan tingkat resiko bencana. Komponen inti sistem peringatan dini datangnya banjir harus berpusat pada masyarakat terdiri dari: Penyatuan dari kombinasi elemen-elemen bottom-up dan top-down; Keterlibatan masyarakat dalam proses peringatan dini; Pendekatan multi bencana; dan Pembangunan kesadaran masyarakat.

Mendasari semua hal tersebut di atas harus ada suatu dukungan politis yang kuat, hukum dan perundang-undangan, tugas dan fungsi masing-masing institusi yang jelas serta sumber daya manusia yang terlatih. Oleh karenanya, sistem peringatan dini perlu dibentuk dan didukung sebagai satu kebijakan, sedangkan kesiapan untuk menanggapi harus diciptakan melekat dalam masyarakat. Untuk menciptakan sistem peringatan dini datangnya banjir yang efektif di WS Bengawan Solo, yang berpusat secara kuat pada masyarakat yang tinggal di daerah rawan banjir mulai hilir sampai hulu masih banyak hal-hal yang perlu dilakukan antara lain: Membuat peta rawan banjir yang dapat menunjukkan ketinggian genangan, tempat yang aman untuk berlindung serta rute untuk penyelamatan. Melakukan survei kerentanan masyarakat yang tinggal di lereng bukit yang rawan longsor. Membantu lembaga nasional yang terkait dengan cuaca dengan mengakses data cuaca dan citra satelit internasional/global. Mendukung masyarakat terpencil dengan memasang alat duga muka air elektronis yang sederhana dan sistem siaga untuk memberikan peringatan banjir. Meningkatkan keinginan melakukan penelitian dan pelatihan tentang ilmu pengetahuan dan teknologi peringatan dini modern. Melaksanakan kajian bagaimana masyarakat meng-akses dan menginterpretasikan peringatan dini dan kemudian mengaplikasikannya pada saat proses diseminasi. Mengembangkan, menguji dan menyempurnakan skenario evakuasi untuk berbagai kondisi siaga khususnya di daerah yang padat penduduk. Mengembangkan sistem-sistem berbasis masyarakat untuk menguji anggota masyarakat yang berusia lanjut dan penyandang cacat ketika dilakukan peramalan banjir. Mengembangkan standar dan pedoman untuk berbagai jenis sistem peringatan dini. Penyediaan dana pengendalian banjir oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah.

Pengelolaan kawasan yang berpotensi mendorong perkembangan kawasan sekitar dan/atau berpengaruh terhadap perkembangan wilayah Propinsi secara umum. Pengelolaan kawasan perbatasan dalam satu kesatuan arahan dan kebijakan yang saling bersinergi. Mendorong perkembangan/revitalisasi potensi wilayah yang belum berkembang. Penempatan pengelolaan kawasan diprioritaskan dalam kebijakan utama pembangunan daerah. Mendorong tercapainya tujuan dan sasaran pengelolaan kawasan. Peningkatan kontrol terhadap kawasan yang diprioritaskan. Mendorong terbentuknya badan pengelolaan kawasan yang diprioritaskan.

6. Rekomendasi Aspek Tataruang Dalam Pengelolaan DAS Pemanfaatan ruang di WS Bengawan Solo pada masa yang akan datang diarahkan untuk dapat menyeimbangkan antara fungsi kawasan lindung dan kawasan budidaya. Kawasan lindung memiliki potensi untuk perlindungan, pengawetan, konservasi dan pelestarian fungsi sumber daya alam dan lingkungannya guna mendukung kehidupan secara serasi. Kawasan yang memerlukan perhatian utama adalah kawasan perlindungan setempat yang terdiri dari kawasan sekitar mata air, kawasan sekitar waduk/danau, kawasan sekitar sempadan sungai, pantai, kawasan sekitar sempadan sungai di kawasan permukiman, kawasan pantai berhutan bakau ( mangrove) dan kawasan terbuka hijau. Pengamanan terhadap kawasan sekitar mata air akan memberikan jaminan terhadap penyediaan air jangka panjang Pemetaan dan perlindungan terhadap daerah resapan air tanah yang dilakukan pengelola SDA dan badan perencana masing-masing daerah sehingga pembangunan daerah tidak mengganggu konservasi air tanah Penentuan rencana rinci tataruang kawasan dan arahan peraturan zonasi Penghijauan dengan melibatkan peran serta masyarakat dengan dukungan penuh dari seluruh stakeholder yang terlibat (swasta, badan usaha), role sharing yang jelas antara pemanfaat dan pelaku konservasi, menjadikan kawasan hutan produksi yang mempunyai kemiringan > 45% sebagai kawasan hutan lindung. Mempertahankan vegetasi dan menanam kembali bagian kawasan yang terbuka khususnya pada hutan budidaya dan, role sharing yang jelas antara pemanfaat dan pelaku konservasi. Peningkatan kesadaran masyarakat dalam pemeliharaan lingkungan. Kegiatan penghijauan yang didasarkan pada sinergi antara masyarakat, pemerintah dan badan usaha/swasta. Penegasan aturan hokum dan sangsi terhadap pelanggaran enatan ruang wilayah sungai. Meminimalisasi konflik yang terjadi dengan penerapan kebijakan rencana tata ruang wilayah. Penambahan ruang terbuka hijau sesuai dengan kebijakan tata ruang yang telah ditetapkan. Rehabilitasi pada lahan-lahan kritis atau yang mengalami kerusakan.

Permasalahan DAS Bengawan Solo DAS Bengawan Solo secara keseluruhan luasnya sekitar 1.873.452 hektar dengan rincian: 742.034,01 Ha di daerah hulu, 670.564,31 Ha di daerah tengah, dan 400.507,23 Ha di daerah Hilir. Panjang sungai utama berkisar 527 km (BPDAS Solo, 2007). DAS Bengawan Solo melintasi 19 kabupaten/kota dengan jumlah penduduk 16.462.997 jiwa

yang meliputi dua provinsi yakni Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kondisi Iklim DAS Bengawan Solo termasuk daerah beriklim tropis dengan suhu rata-rata bulanan di atas 27,40C, kelembaban rata-rata sekitar 65%. Curah hujan rata-rata 2.165 mm/tahun dengan curah hujan rata-rata bulanan 242,3 mm.DAS Bengawan Solo merupakan DAS yang sangat kompleks permasalahannya. Banjir terjadi hampir di seluruh daerah di DAS Bengawan Solo baik di hulu, tengah maupun hilir. Berbagai permasalahan aktual di wilayah DAS Bengawan Solo, yang di duga sebagai penyebab utama kerusakan lingkungan dan penyebab terjadinya banjir dan kekeringan yang berkepanjangan adalah : 1. Perubahan Tutupan Lahan Dari hasil intrepretasi Citra Landsat Tahun 2000 dan 2007 di DAS Bengawan Soloi menunjukan adanya perubahan tutupan lahan yang signifikan dimana terjadi peningkatan luasan tanah terbuka lebih dari 300 % atau tiga kali lipat dari luasan tahun 2000. Terjadi penurunan luasan hutan sebesar 31 %, sedangkan permukiman mengalami kenaikan sebesar 26 %. Hal tersebut akan meningkatkan laju erosi yang kemudian dapat berakibat terjadinya bencana longsor. Dengan memperhatikan status kawasan hutan (perhutani), dapat terlihat bahwa terjadi kenaikan lahan terbuka yang berada dalam wilayah status kawasan hutan (perhutani), yaitu seluas 3.839 Ha pada tahun 2000 bertambah menjadi 20.173 Ha pada tahun 2007 yang berarti terjadi penambahan lahan terbuka secara besarbesaran, yaitu seluas 16.334 Ha selama 7 tahun. Aktivitas penggunaan lahan di bagian hulu kebanyakan tidak sesuai lagi peruntukannya berdasarkan kemiringan lereng. Penyebab utama adalah deforestasi dan perubahan tata guna lahan akibat aktivitas pertanian dan pemabalakan liar. 1. Erosi dan Sedimentasi Pada bendungan Gadjah Mungkur tahun 2001 sedimen sudah mencapai 30% dari tampungan, karena masuknya sedimen dari anak sungai terdekat Intake (kali Keduwang) sedimen sudah menutup hampir separuh tinggi intake, apabila tidak ditangani segera intake akan tersumbat sehingga suplai air ke hilir terhenti dan air dapat melimpah di atas bendungan, banjir besar di hilir. Proses sedimentasi juga sudah mulai berlangsung di saluran induk irigasi (kali Catur, Madiun) penanggulangan yang dapat dilakukan adalah pengerukan/penggalian sedimen, konservasi lahan dan perawatan. Disamping itu bangunan penahan longsor yang kurang memadai menyebabkan sering terjadi longsor, terutama pada lereng-lereng yang curam, stabilitas tanah rendah dengan intensitas hujan yang tinggi. 1. Pesatnya perkembangan budidaya pertanian yang tidak mengindahkan kaidah konservasi, serta semakin padatnya penduduk yang diikuti dengan perkembangan permukiman dan aktivitas ekonomi lainnya seperti industri dan pertambangan menyebabkan rusaknya lingkungan pada bagian tengah DAS Bengawan Solo.Disamping itu, juga akibat tidak terpeliharanya sempadan-sempadan sungai,

serta fungsi retensi hutan semakin menurun baik yang ada di bagian hulu maupun bagian tengah DAS. 2. Fluktuasi Debit Bengawan Solo Rasio debit (Qmax/Qmin) sungai Bengawan Solo berkisar antara 106 164 sehingga termasuk dalam kategori fluktuasi debit yang tinggi. Curah hujan pada daerah hulu Bengawan Solo mempunyai potensi erovitas tinggi. Sungai dan anak sungai dibagian hulu membentuk pola drainase radial dengan kelerengan yang terjal. Bagian tengah dan hilir membentuk pola drainase rectanguler dengan catchment area dan kelerengan rendah. Akibat dari dua pola ini maka di beberapa tempat terutama pertemuan antara sungai Madiun dan Bengawan Solo selalu akan terjadi Banjir pada bentuk sungai induk yang membentuk meander. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KESIMPULAN 1. Penanganan permasalahan banjir dan kekeringan harus secara komprehensif dan terpadu yang menyangkut aspek struktural dan aspek non-struktural, baik secara lintas sektor (kementerian/lembaga) maupun secara lintas wilayah (provinsi, kabupaten/kota). 2. Belum semua peraturan perundangan yang terkait banjir dan kekeringan ada pada tingkat pusat, telah ditindak-lanjuti dengan peraturan pelaksanaannya untuk pedoman bagi pemerintah provinsi, kabupaten/kota. 3. Hasil Focus Group Discussion (FGD) di daerah mengindikasikan bahwa pembagian tugas dan tanggung-jawab sektor untuk pengendalian banjir dan kekeringan sudah jelas, namun sinkronisasi program dengan indikator pencapaian sasaran secara terpadu belum dilakukan. Demikian halnya dengan pengawasan, pemantauan, dan evaluasi kegiatan, masih dilaksanakan secara sektoral. 4. Partisipasi masyarakat dalam pengendalian banjir dan kekeringan masih sangat terbatas, baik pada aspek struktural maupun aspek non-struktural. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan informasi uyang diperoleh dan pengetahuan masyarakat pada umumnya, terutama menyangkut aspek hukum.

REKOMENDASI: 1. Sejalan dengan kebijakan bidang sumber daya air yang lebih mengutamakan aspek konservasi DAS untuk menjaga kelestarian dan keseimbangan air pada masa kini dan masa mendatang, maka program konservasi lahan dan air perlu lebih ditingkatkan alokasi anggarannya oleh pemerintah dan pemerintah daerah disamping alokasi anggaran untuk aspek struktural dan aspek non-struktural lainnya.

2. Selain itu, pemerintah dan pemerintah daerah juga harus lebih mendorong dunia usaha, BUMN/BUMD dalam upaya konservasi lahan dan air secara lebih sistematis dan terpadu dengan program pemerintah dan pemerintah daerah. 3. Sosialisasi secara intensif dan sistematis kepada masyarakat tentang peran serta yang dapat dilakukan dalam pengendalian banjir dan kekeringan, khususnya menyangkut aspek non-struktural, sangat penting dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah. Diharapkan dengan upaya ini, masyarakat akan berpartisipasi dalam program konservasi, baik secara perorangan/keluarga (sumur resapan, biopori) maupun secara kelompok yang lebih terorganisasi. Demikian pula halnya dalam menghadapi bencana banjir dan kekeringan, masyarakat akan lebih mengetahui tentang SOP (Standard Operating Procedure) yang ditetapkan oleh pemerintah, baik pada tahap pra-bencana; saat tanggap darurat; maupun pada tahap pasca-bencana. 4. Koordinasi program dan sinkronisasi pelaksanaan program pengendalian banjir dankekeringan secara lintas sektor dan lintas wilayah perlu dilakukan sehingga dapat diukur efektifitas pencapaian sasaran program yang telah ditetapkan bersama, baik output (keluaran) maupun pencapaian outcome (hasilnya).

Anda mungkin juga menyukai