Anda di halaman 1dari 15

Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara

Pengertian, Asas-asas, dan Kompetensi PTUN A. Pengertian Hukum Acara PTUN Menurut Rozali Abdullah, Hukum Acara PTUN adalah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orrang harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalanya peraturan Hukum Tata Usaha Negara (Hukum Administrasi Negara). Dengan kata lain hukum yang mengatur tentang cara-cara bersengketa di peradilan Tata Usaha Negara serta mengatur hak dan kewajiban pihak-pihak yang terikat dalam proses penyelesaian sengketa tersebut. Pada Umumnya secara teoritis cara pengaturan terhadap hukum formal dapat digolongkan menjadi dua bagian, yaitu : 1. Ketentuan prosedur berperkara diatur bersama-sama dengan hukum materilnya atau dengan susunan, kompetensi dari badan-badan yang melakukan peradilan dalam potensi dari badan yang melakukan peradilan dalam bentuk undang-undang atau peraturan lainya. 2. Ketentuan prosedur berperkara diatur tersendiri masing-masing dalam bentuk undang-undang atau bentuk peraturan lainya. B. ASAS-ASAS HUKUM ACARA PTUN Satjipto Rahardjo berpendapat bahwa Asas hukum merupakan jantungnya peraturan hukum, dikarenakan merupakan landasan yang paling luasbagi lahirnya suatu peraturan hukum, bahwa peraturan-peraturan hukum itu pada akhirnya bisa dikembalikan kepada asas-asas tersebut, asas hukum ini layak disebut sebagai alasan lahirnya peraturan hukum, kemudian Satjipto Rahardjo menambahakan bahwa dengan adanya asas hukum, hukum itu bukan sekedar kumpulan peraturan-peraturan, maka hal itu disebabkan oleh karena asas itu mengandung nilai-nilai dan tuntutan etis. Adapun menurut Scholten memberikan definisi asas hukum adalah pikiran-pikiran dasar yang terdapat di dalam dan di belakang sistem hukum masing-masing dirumuskan dalam aturanaturan hakim, yang berkenan dengannya ketentuan-ketentuan dan keputusan-keputusan individual dapat dipandang sabagai penjabaranya. Asas hukum yang terdapa di dalam Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara :

1. 2.

Asas praduga rechtmatig. Asas ini menyatakan setiap tindakan pemerintahan selalu dianggap rechtmatig samapai ada pembatalan (pasal 67ayat (1) UU PTUN). Asas gugatan pada dasarnya tidak dapat menunda pelaksanaan keputusan tata usaha Negara (KTUN) yang disengketakan, kecuali ada kepentingan yang mendesak dari penggugat (pasal 67 ayat 1 dan ayat 4 huruf a).

3. Asas para pihak harus didengar. Maksudnya para pihak mempunyai kedudukan yang sama dan harus diperlakukan dan di perhatikan secara adil. Hakim tidak dibenarkan hanya memperhatikan alat bukti, keterangan atau penjelasan salah satu pihak saja. 4. 5. Asas kesatuan beracara dalam perkara sejenis. Maksudnya baik pemeriksaan di judex feeti maupun di Mahkamah Agung. Asas penyelengaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka. Maksudnya bebas dari campur tangan pihak lain baik secara langsung maupun tidak bermaksud untuk mempengaruhi keputusan pengadilan. 6. 7. Asas peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat dan biaya ringan. Maksudnya sederhana dalam hukum acara, waktu yang relatif cepat dalam waktu dan murah dalam biaya ringan. Asas hakim aktif.maksudnya ada rapat permusyawarahan untuk menentukan gugatan dapat diterima atau tidak yg disertai pertimbangan-pertimbangan, pemeriksaan persiapan untuk memeriksa kejelasan gugatan, hakim dapat memeritahkan tergugat memberikan info-info yang dibutuhkan penggugat. 8. Asas sidang terbuka untuk umum. Maksudnya asas ini membawa konsekuensi bahwa semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam siding terbuka untuk umum. 9. Asas peradilan berjenjang. Maksudnya Jenjang peradilan dimulai dari tingkat yang terbawah yaitu Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), kemudian Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN), dan puncaknya adalah Mahkamah Agung (MA). Dengan dianutnya Asas ini, maka kesalahan dalam putusan yang lebih rendah dapat dikoreksi oleh pengadilan yang lebih tinggi. Terhadap putusan yang belum mempunyai kekuatan hukum tetap dapat diajukan upaya hukum banding kepada PTTUN dan kasasi ke MA. Sedangkan keputusan yang mempunyai kekuatan Hukum tetap dapat diajukan upaya permohonan peninjauan kembali kepada MA. 10. Asas pengadilan sebagai upaya terakhir untuk mendapatkan keadilan (ultimum remedium). Maksudnya Sengketa administrasi sedapat mungkin diupayakan dulu penyelesaiannya melalui

musyawarah mufakat (upaya administratif), apabila musyawarah tidak mencapai mufakat, maka barulah penyelesaian melalui PTUN dilakukan. 11. Asas Obyektifitas. Maksudnya hakim atau panitera, apabila terikat hubungan sedarah, semenda sampai derajat ketiga atau hubungan suami istri meskipun telah bercerai dengan tergugat, penggugat, penasihat hukum atau antara hakim dengan panitera atau hakim dan panitera tersebut mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan sengketanya. C. KOMPETENSI PERADILAN TATA USAHA NEGARA Kompetensi dari suatu pengadilan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara berkaitan dengan jenis dan tingkatan pengadilan yang ada berdasarkan peraturan perundangundangan yang berlaku. Berdasarkan jenisnya lingkungan pengadilan dibedakan atas pengadilan umum, pengadilan militer, pengadilan agama, pengadilan tata usaha Negara (pengadilan administras), sedangkan berdasarkan tingkatanya pengadilan terdiri atas pengadilan tingkat pertama,pengadilan tinggi (pengadilan tingkat banding), mahkamah agung (pengadilan tingkat kasasi). Dilihat dari pokok sengketanya, apabila pokok sengketanya terletak di dalam lapangan hukum privat, maka sudah tentu yang berkompetensi adalah hakim biasa (hakim pengadilan umum). Apabila pokok sengketanya terletak dalam lapangan hukum publik, maka sudah tentu yang berkompetensi adalah administrasi Negara yang berkuasa (hakim PTUN) Pembagian kompetensi atas atribusi dan delegasi dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Atribusi, yang berkaitan dengan pemberian wewenang yang bersifat bulat (absolut) mengenai materinya, yang dapat dibedakan: secara horizontal, yaitu wewenang yang bersifat bulat dan melekat dari suatu jenis pengadilan terhadap jenis pengadilan lainnya, yang mempunyai kedudukan sederajat / setingkat, Contoh : Pengadilan Administrasi terhadap pengadilan Negri (umum), Pengadilan agama atau pengadilan militer. Secara vertical, yaitu wewenang yang bersifat bulat dan melekat dari suatu jenis pengadilan terhadap jenis pengadilan lainnya, yang secara berjenjang atau hirarkis mempunyai kedudukan lebih tinggi. Contoh : Pengadilan negri (umum) terhadap pengadilan Tinggi di Mahkamah Agung.

2. Distribusi, yang berkaitan dengan pembagian wewenang, yang bersifat terinci (relatif) di antara badan-badan yang sejenis mengenai wilayah hukum. Contoh : antara Pengadilan Negri Bandung dengan Pengadilan Negri antara lain di Garut, Tasikmalaya, Ciamis. Pembagian yang lain adalah pembagian atas kompetensi absolut dan kompetensi relatif. Kompetensi absolut adalah menyangkut kewenagan badan peradilan apa untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara. Kompetensi absolut dari peradilan umum adalah memeriksa, mengadili, memutuskan, perkara pidana yang dilakukan oleh orang-orang sipil dan perkara perdata, kecuali suatu peraturan perundang-undangan menentukan lain. Adapun kompetensi relatif adalah kewenagan dari pengadilan sejenis yang mana yang berwenang untuk memeriksa,mengadili, dan memutus suatu perkara yang bersangkutan. Dalam kaitanya di dalam peradialan tata usaha Negara, maka kempetensi relatifnya adalah menyangkut kewenagan pengadilan tata usaha mengadili, dan memutus perkara tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut, maka di atas pasal 54 UU PTUN menyebutkan gugatan dapat diajukan kepada PTUN tempat kedudukan (domisisli) tergugat. Apabila tergugatnya lebih dari satu, maka gugatan dapat diajukan kepada PTUN dari tempat kedududkan salah satu tergugat. Gugatan dapat juga diajukan melalui PTUN tempat kedudukan penggugat untuk di teruskan kepada PTUN tempat kedudukan (domosili) dari tergugat. Apabila penggugat dan tergugat berdomisisli di luar negri, sedangkan apabila tergugat berkedudukan di dalam negri, sedangkan penggugat berkedudukan di luar negri, maka gugatan dapat diajukan kepada PTUN tempat kedudukan tergugat. Pengadilan harus menyatakan tidak berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara tersebut, apabila bukan menjadi kompetensinya baik secara absolute maupun secara relatif. Kesalahan dalam mengajukan gugatan akan sangat merugikan penggugat tidak hanya dari segi waktu, dan biaya, tetapi jauh lebih penting adalah dapat berakibat gugatan menjadi daluarsa. Sebagaimana diketahui tenggang waktu mengajukan gugatan berdasarkan Pasal 44 UU PTUN hanya dalam tenggang waktu 90 hari sejak saat diterimanya atau di umumkannya keputusan badan atau pejabat tata usaha Negara. Berkaitan dengan kompetensi PTUN tersebut diatas, dalam pasal 77 UU PTUN disebutkan : 1. Eksepsi tentang kewenagan absolut pengadilan dapat diajuakan setiap waktu selama pemeriksaan, dan meskipun tidak ada eksepsi tentang kewenangan absolut pengadilan apabila hakim mengetahui hal itu, ia karena jabatanya wajib menyatakan bahwa pengadilan tidak berwenang mengadili sengketa yang bersangkutan.

2. 3.

Eksepsi tentang kewenagan relatif pengadilan diajukan sebelum disampaikan jawaban atas pokok sengketa dan eksepsi tersebut harus diputus sebelum pokok sengketa diperiksa. Eksepsi lain yang tidak mengenai kewenagan pengadilan yang dapat diputus bersama dengan pokok sengketa. Dengan demikian, eksepsi terhadap kompetensi relatif dari PTUN, harus disampaikan tergugat sebelum memberikan jawaban pokok sengketa, apabila eksepsi itu disampaikan setelah memberikan jawaban atas pokok sengketa maka eksepsi tersebut tidak lagi dapat diterima.

PERSAMAAN DAN PERBEDAAN HUKUM ACARA PTUN DENGAN HUKUM ACARA PERDATA Terdapat beberapa persamaan dan perbedaan antara hukum acara peradilan tata usaha Negara dengan hukum acara perdata. A. Persamaan antara Hukum Acara Pengadilan TUN dengan Hukum Acara Perdata. 1. Pengajuan gugatan Pengajuan gugatan menurut hukum acara PTUN diatur dalam apasal 54 UU PTUN, sedangkan menurut hukum acara perdata diatur dalam pasal 118 HIR. Hukum acara TUN maupun Hukum acara perdata sama-sama menganut asas bahwa gugatan diajukan ke pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan atau tempat tinggal tergugat. 2. Isi Gugatan Isi gugatan pada pokoknya harus memuat, pertama, identitas para pihak (penggugat dan tergugat), kedua dalil-dalil konkrit tentang adanya hubungan hukum yang merupakan dasar serta alasan-alasan dari pada tuntutan atau yang lebih dikenal dengan sebutan fundamentum petendi atau posita (atau dasar tuntutan yag biasanya terdiri dari dua bagian, yaitu bagian yang menguraikan tentang kejadian-kejadian atau peristiwanya dan bagian yang menguraikan

tentang kejadian-kejadian atau peristiwanya dan bagian yang menguraikan tentang hukumnya), ketiga, petitum atau tuntutan ialah apa yang oleh penggugat diminta atau diharapkan agar diputuskan oleh hakim. 3. Pendaftaran perkara Gugatan diajukan ke pengadilan yang berwenang baik secara kompetensi absolut maupun relatif. Dalam mengajukan gugatan, penggugat diwajibkan membayar uang muka biaya perkara. Uang muka biaya perkara ini meliputi biaya pemanggilan dan pemberitahuan kepada para pihak, biaya taksi, biaya administrasi kepaniteraan, yang semuanya akan di perhitungkan kemudian setelah perkara diputus. Selain itu kepada penggugat yang tidak mampu membayar biaya perkara, dibuka kemungkinan untuk mengajuakan permohonan berperkara tanpa biaya. Permohonan tersebut diajukan bersamaan pada saat mengajukan gugatan yang di sertai dengan surat keterngan tidak mampu dari kepala desa atau lurah setempat. 4. Penetapan Hari Sidang Setelah surat gugatan di daftarkan dalam buku daftar perkara dan telah dianggap cukup lengkap, pengadilan menentukan hari dan jam siding di pengadilan. Dalam menentukan hari sidang ini, hakim harus mempertimbangkan jarak antara tempat tinggal para pihak yang berperkara dengan pengadilan tempat persidangan. 5. Pemanggilan Para Pihak Pemanggilan para pihak dilakukan setelah gugatan dianggap sempurna dan sudah di catat. Dalam hukum acara TUN, jangka waktu antara pemanggilan dan hari sidang tidak boleh kurang dari 6 (enam) hari, kecuali dalam hal sengketa tersebut harus di periksa dengan acara cepat. 6. Pemberian Kuasa Apabila di kehendaki, para pihak dapat diwakili atau didampingi oleh seorang kuasa atau beberapa orang kuasa. Pemberian kuasa ini dapat dilakukan sebelum atau selama perkara diperiksa. Pemberian surat kuasa yang dilakukan sebelum perkara diperiksa harus secara tertulis

dengan membuat surat kuasa khusus. Dengan pemberian suarat kuasa ini, si penerima kuasa bisa melakukan tindakan-tindakan yang berkaitan dengan jalannya pemeriksaan perkara untuk dan atas nama si pemberi kuasa. Sedangkan pemberian kuasa yang dilakukan di persidangan bisa dilakukan secara lisan. 7. Hakim Majelis Pemeriksaan perkara dalam hukum acara PTUN dan hukum acara perdata dilakukan dengan hakim majelis (tiga orang hakim), yang terdiri atas satu orang bertindak selaku hakim ketua dan dua orang lagi bertindak selaku hakim anggota. Namun dalam hal-hal tertentu dimungkinkan untuk menempuh prosedur pemeriksaan dengan hakim tunggal (unus judex). Dalam hukum acara TUN hal ini dapat dilakukan dalam hal pemeriksaan dengan acara cepat (pasal 99 ayat 1). 8. Persidangan terbuka untuk umum Dengan demikian setiap orang dapat untuk hadir dan mendengarkan jalannya pemeriksaan perkara tersebut. Apabila putusan diucapkan dalam sidang yang tidak dinyatakan terbuka untuk umum berarti putusan itu tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum serta mengakibatkan batalnya putusan itu menurut hukum. 9. Mendengar Kedua Belah Pihak Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan orang. Dengan demikian ketentuan pasal ini mengandung asas kedua belah pihak haruslah diperlakukan sama, tidak memihak, dan kedua belah pihak didengar dengan adil. Hakim tidak diperkenankan hanya mendengarkan atau memperhatikan keterangan salah satu pihak saja. 10. Pencabutan dan perubahan Guagatan. Penggugat sewaktu-waktu dapat mencabut gugatannya, sebelum tergugat memberikan jawaban. Apabila tergugat sudah memberikan jawaban atas gugatan yang diajukan, maka akan dikabulkan oleh hakim, apabila mendapat persetujuan tergugat. 11. Hak Ingkar

Untuk menjaga obyektivitas dan keadilan dari putusan hakim, maka hakim atau panitera wajib mengundurkan diri, apabila diantara para hakim, antara hakim dan panitera, antara hakim atau panitera dengan salah satu pihak yang berperkara mempunyai hubungan sedarah atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami isteri meskipun telah bercerai, atau juga hakim atu panitera mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan sengketanya. 12. Pengikut sertaan pihak ketiga. Pada dasarnya di dalam suatu sengketa sekurang-kurangnya terdapat dua pihak yaitu penggugat sebagai pihak yang mengatakan gugatan dan pihak tergugat sebagai pihak yang digugat oleh penggugat. Namun, ada kemungkinan selama pemeriksaan perkara berjalan, baik atas prakarsa sendiri dengan mengajukan permohonan maupun atas prakarsa hakim dapat masuk sebagai pihak ketiga yang membela kepentingannya. 13. Pembuktian Beban pembuktian ada pada kedua belah pihak, hanya Karena yang mengajukan gugatan adalah penggugat, maka penggugatlah yang mendapat kesempatan pertama untuk membuktikanya. Sedangkan kewajiban tergugat untuk membuktikan adalah dalam rangka membantah bukti yang diajukan oleh penggugat dengan mengajukan bukti yang lebih kuat. Yang di buktikan pada dasarnya dalah peristiwanya bukanhukumnya, karena hakim dianggap tahu tentang hukumnya. 14. Pelaksanaan Putusan Pengadilan. Pelaksanaan putusan pengadilan dilakukan setelah adanya putusan. Dan putusan pengadilan yang dapat dilaksanakan adalah terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, yang pelaksanaanya dilakukan atas perintah ketua pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat pertama. PERBEDAAN ANTARA HUKUM ACARA TATA USAHA NEGARA DENGAN HUKUM ACARA PERDATA 1. Obyek Gugatan.

Obyek gugatan atau pangkal sengketa TUN adalah KTUN yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN yang mengandung perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh penguasa, sedangkan hukum acara perdata adalah perbuatan melawan hukum. 2. Kedudukan Para Pihak. Dalam TUN menempatkan seseorang atau badan hukum perdata sebagai pihak penggugat dan badan atau pejabat TUN sebagai pihak tergugat. Di dalam hukum acara perdata adalah para pihak sesame individu, sesama badan hukum perdata, atau antara individu dengan suatu badan hukum perdata. 3. Gugat Rekonvensi. Dalam hukum acara perdata dikenal dengan istilah gugat rekonvensi (gugat balik) yaitu gugatan yang diajukan oleh tergugat terhadap penggugat dalam sengketa yang sedang berjalan antara mereka. Di dalam hukum acara PTUN tidak mungkin dikenal adanya gugat rekonvensi, karena dalam gugat rekonvensi berarti kedudukan para pihak semula menjadi balik. Kedudukan para pihak dalam hukum acara PTUN tidak berubah-ubah. Penggugat tetap merupakan individu atau badan hukum perdata, sedangkan tergugat tetap merupakan badan atau pejabat TUN. Dan yang menjadi obyek gugatan dalam hukum acara PTUN juga tidak berubah,tetap KTUN, tidak boleh yang lain. 4. Tenggang Waktu Pengajuan Gugatan. Dalam hukum acara TUN pengajuan gugatan dapat di lakukan hanya dalam tenggang waktu 90 (Sembilan puluh) hari, yang dihitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya keputusan TUN. Apabila gugatan tersebut diajukan setelah lewat 90 hari, maka pengadilan tidak akan menerima gugatan. Dalam hukum acara perdata, tenggang waktu mengajukan gugatan, yang mengakibatkan gugatan daluwarsa tidak begitu tegas dibanding dengan hukum acara PTUN. Dalam hukum acara perdata, memang dapat saja terjadi gugatan dianggap daluwarsa, tetapi daluwarsa gugatan itu dikarenakan kelalaian penggugat. Dalam acara perdata relative lebih lama dan setiap masalah berbeda tenggang waktunya.

5. Tuntutan Dalam Gugatan. Dalam hukum acara perdata tuntutan pokok selalu disertai tuntutan pengganti. Fungsi tuntutan pengganti untuk menggantikan tuntutan pokok,apabila tuntutan pokok di tolak oleh pengadilan. Dalam hukum acara PTUN, hanya dikenal satu macam tuntutan pokok yang berupa tuntutan agar KTUN yang di gugat itu dinyatakan batal atau tidak sah atau tuntutan KTUN yang dimohonkan oleh penggugat dikeluarkan oleh tergugat. Sedangkan tuntutan tambahan yang diperbolehkan hanya berupa ganti kerugian (untuk bukan sengketa kepegawaian) atau rehabilitasi dengan atau tanpa kompensasi (untuk sengketa kepegawaian). 6. Rapat Permusyawaratan Adalah merupakan suatu prosedur penyelesaian perkara yang disederhanakan, dan prosedur ini tidak dikenal dalam hukum acara perdata. Prosedur ini pada dasarnya memberikan wewenang kepada kepala ketua pengadilan sebelum pokok sengketanya diperiksa memutuskan dengan suatu penetapan yang dilengkapi dengan pertimbangan-pertimbangan bahwa gugatan yang diajukan oleh penggugat tidak diterima atau tidak berdasar. 7. Pemeriksaan Persiapan Hukum PTUN mengenal pemeriksaan persiapan, yang juga tidak dikenal dalam hukum acara perdata. Pemeriksaan persiapan juga dilakukan oleh hakim sebelum pemerisaan pokok sengketa dimulai. Dalam pemeriksaan itu hakim : a. Wajib memberikan nasihat kepada penggugat untuk memperbaiki gugatan dan melengkapinya dengan data yang diperlukan dalam jangka waktu 30 hati. b. Dapat meminta penjelasan kepada badan atau pejabat TUN yang bersangkutan. 8. Putusan Verstek. Adalah pernyataan bahwa tergugat tidak datang pada hari sidang pertama. Putusan verstek di kenal dalm hukum acara perdata dan boleh dijatuhkan pada hari sidang pertama, apabila tergugat tidak datang setelah dipanggil dengan patut. Dan di dalam hukum acara PTUN tidak dikenal dengan putusan verstek, karena badan atau pejabat TUN yang digugat itu tidak mungkin tidak diketahui kedudukannya.

9. Pemeriksaa Acara Cepat. Dalam hukum acara PTUN dikenal dengan pemeriksaan acara cepat, dan pemeriksaan ini tidak dikenal dalam hukum acara perdata. Pemeriksaan dangan acara cepat dapat dilakukan, apabila terdapat kepentingan penggugat yang cukup mendesak. Penggugat dalam gugatanya dapat memohon kepada pengadilan supaya pemeriksaan sengketa di percepat. Ketua pengadilan dalam jangka waktu 14 hari setelah menerima permohonan itu, maka harus mengeluarkan penetapan tentang dikabulkan atau tidak dikabulkanya putusan itu. Terhadap tidak dikabulkannya permohonan tersebut tidak dapat digunakan upaya hukum. 10. Sistem Hukum Pembuktian. Dalam hukum acara perdata dilakukan dalam rangka memperoleh kebenaran formal, sedangkan dalam hukum acara PTUN dilakukan dalam rangka memperoleh kebenaran materiil. 11. Juru Sitra. Pemanggilan para pihak atau wakilnya untuk hadir pada sidang yang telah ditentukan dalam hukum acara perdata oleh panitera atau jurusita, sedangkan dalam hukum acara PTUN berdasarkan pasal 65 UU PTUN dilakukan melalui surat tercatat. 12. Sifat Erga Omnesnya Putusan Pengadilan. Dalam hukum acara PTUN, putusan pengadilan yang telah berkukuatan hukum tetap mengandung sifat erga omne, artinya berlaku untuk siapa saja dan tidak hanya terbatas berlakunya bagi pihak-pihak yang berperkara, seperti halnya dalam hukum acara perdata. Dengan kata lain putusan PTUN yang telah berkekuatan hukum tetap pada dasarnya menupakan keputusan hukum yang bersifat hukum public. Siapapun harus terikat denga putusan PTUN tersebut, baik pihak yang berperkara maupun di luar itu. 13. Pelaksanaan Serta Merta. Berdasarkan ketentuan pasal 115 UU PTUN disebutkan bahwa hanya putusan pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap yang dapat dilaksanakan. Dengan demikian dalam

hukum acara PTUN tidak dikenal pelaksanaan serta merta sebagaimana yang dikenal dalam hukum acara perdata. Dalam hukum acara PTUN, hanya putusan akhir yang telah berkekuatan hukum tetap saja yang dapat dilaksanakan. 14. Upaya Pemaksa Agar Putusan Dilaksanakan. Dalam hukum acara perdata, apabila pihak yang dikalahkan tidak mau melaksanakan putusan secara sukarela, maka dikenal adanya upaya-upaya pemaksa agar putusan tersebut dilaksanakan. Tujuan dari upaya pelaksanaan ini adalah untuk memenuhi putusan guna kepentingan pihak yang di menangkan. Sedangkan dalam hukum acara PTUN tidak dikenal adanya upaya Pemaksa. Karena, hakikat dari putusan dalam hukum acara PTUN adalah bukan menghukum sebagaimana dalam hukum acara perdata. Hakikat keputusan dalam hukum acara PTUN adalah untuk membatalkan KTUN yang telah dikeluarkan atau memerintahkan agar tergugat mengeluarkan KTUN yang di mohonkan oleh penggugat. 15. Kedudukan Pengadilan Tinggi. Dalam hukum acara perdata, kedudukan pengadilan tinggi selalu sebagai pengadilan tingkat banding, sehingga setiap perkara tidak dapat langsung diperiksa oleh pengadilan tinggi, tetapi harus terlebih dahulu melalui pengadilan tingkat pertama (pengadilan negri). Sedangkan di dalam hukum acara PTUN kedudukan pengadilan tinggi dapat sebagai pengadilan tingkat pertama, dalam hal sebagai berikut : a. Berkedudukan sebagai pengadilan tingkat pertama dan terakhir dalam sengketa mengadili kewenagan mengadili antara PTUN di dalam daerah hukumnya. b. Berkedudukan sebagai pengadilan tingkat pertama dalam hal sengketa telah diselesaikan terlebih dahulu melalui upaya administrasi yang tersedia. 16. Hakim Ad Hoc Hakim Ad Hoc tidak dikenal dalam hukum acara perdata, apabila diperlukan keterangan ahli dalam bidang tertentu, hakim cukup mendengarkan keterangan dari saksi ahli.

Dalam hukum acara PTUN, Hakim Ad Hoc diatur dalam pasal 135 UU PTUN. Apabila memerlukan keahlian khusus, maka ketua pengadilan dapat menunjuk seseorang hakim ad Hoc sebagai anggota majelis.

A. Pangkal Sengketa Tata Usaha Negara Pangkal sengketa tata usaha Negara dapat diketahui dengan menentukan apa yang menjadi tolak ukur sengketa tata usaha Negara. Tolak ukur sengketa tata usaha Negara (administrasi) adalah tolak ukur subyek dan pangkal sengketa. Tolak ukur subyek adalah (para) pihak yang bersengketa di bidang hukum administrasi Negara (tata usaha negara). Sedangkan tolak ukur pangkal sengketa, yaitu sengketa administrasi yang diakibatkan oleh ketetapan sebagai hasil perbuatan administrasi Negara. Sengketa administrasi dapat dibedakan atas sengketa intern dan sengketa ekstern. Sengketa intern atau sengketa antara administrasi negara terjadi di dalam lingkungan administrasi (TUN) itu sendiri, baik yang terjadi dalam satu departemen (instansi) maupun sengketa yang terjadi antar departemen (instansi). Oleh karena itu, sengketa intern adalah menyangkut persoalan kewenangan pejabat TUN yang disengketakan dalam satu departemen (instansi) atau kewenangan suatu departemen terhadap departemen lainnya, yang disebabkan tumpang tindihnya kewenangan, sehingga menimbulkan kekaburan kewenangan. Sengketa ini dapat juga disebut sebagai hukum antar wewenang. Sengketa ekstern atau sengketa antara administrasi Negara dengan rakyat adalah perkara administrasi yang menimbulkan sengketa antara administrasi Negara dengan rakyat sebagai subyek-subyek yang berperkara ditimbulkan oleh unsur dari unsure peradilan administrasi murni yang mensyaratkan adanya minimal dua pihak dan sekurang-kurangnya salah satu pihak harus administrasi negara, yang mencakup administrasi negara di tingkat pusat, administrasi negara di tingkat daerah, maupun administrasi negara yang ada di daerah. Perbuatan administrasi Negara (TUN) dalam dikelompokkan ke dalam 3 (tiga) macam perbuatan, yakni; mengeluarkan keputusan, mengeluarkan peraturan perundang-undangan, dan melakukan perbuatan materiil.

Dalam melakukan perbuatan tersebut tidak jarang terjadi tindakan-tindakan yang menyimpang dan melawan hukum, sehingga dapat menimbulkan berbagai kerugian bagi yang terkena tindakan tersebut. Pertanyaan tentang apakah UU PTUN menganut sengketa ekstern atau intern? Maka, jawabannya bisa dilihat pada pasal 1 angka 4 UU PTUN sebagai berikut: sengketa tata usaha Negara adalah sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha Negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha Negara, baik di pusat maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha Negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dari pasal tersebut dapat diketahui bahwa tolak ukur subyek sengketa tata usaha Negara adalah orang (individu) atau badan hukum perdata di satu pihak dan badan atau pejabat tata usaha Negara di pihak lainnya. Adapun pangkal sengketa TUN adalah akibat dikeluarkannya KTUN. Berdasarkan pasal 1 angka 3 UU PTUN yang dimaksud dengan KTUN adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha Negara yang berisi tindakan hukum tata usaha Negara yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata. Dari pengertian di atas dapat ditarik unsur-unsur KTUN adalah sebagai berikut: Suatu penetapan tertulis Dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha Negara Bersifat konkrit Individual, dan Final Menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata Dari ketentuan pasal 1 angka 4 UU PTUN dapat diketahui bahwa kedudukan para pihak dalam sengketa tata usaha Negara adalah orang (individu) atau badan hukum perdata sebagai pihak penggugat dan badan atau pejabat tata usaha Negara sebagai pihak tergugat.

B. Kedudukan Para Pihak dalam Sengketa Tata Usaha Negara

Tergugat adalah selalu badan atau jabatan TUN yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya. Wewenang tersebut dapat diperoleh secara atributif, delegasi, atau mandat. Penggugat adalah orang atau badan hukum perdata yang dirugikan akibat dikeluarkannya KTUN. Penggugat pada dasarnya dapat digolongkan dalam tiga kelompok: Orang-orang atau badan hukum perdata sebagai alamat yang dituju oleh suatu KTUN Orang-orang atau badan hukum perdata yang dapat disebut sebagai pihak ketiga yang berkepentingan, seperti: individu-individu yang merupakan pihak ketiga yang berkepentingan, dan organisasi-organisasi kemasyarakatan (pecinta lingkungan). Badan atau jabatan TUN yang lain, namun untuk hal ini UU PTUN tidak memberi hak kepada mereka untuk menggugat. C. Jalur Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara Ada dua upaya jalur penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara, upaya administrative dan upaya dari PTTUN. Sebagaimana ketentuan dari pasal 51 ayat 3 yang menyebutkan bahwa PTTUN bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan di tingkat pertama sengketa TUN sebagaimana dimaksud dalam pasal 48, apabila sengketa itu telah diputus dalam tingkat banding administrative, sedangkan apabila upaya administrative yang tersedia hanya berupa keberatan, maka gugatan KTUN yang diputus dalam tingkat upaya keberatan tersebut tidak dapat diajukan langsung kepada PTTUN, tetapi kepada PTUN. Perbedaan penting antara upaya administrative dan PTUN adalah bahwa PTUN hanyalah memeriksa dan menilai dari segi hukumnya saja. Sedangkan penilaian dari segi kebijaksanaan bukan menjadi wewenang PTUN. Beberapa peraturan perundang-undangan yang memuat upaya administrative adalah UU 6/1983 untuk penyelesaian yang menyangkut wajib pajak, PP 30/1980 untuk penyelesaian sengketa kepegawaian, Hinder Ordonansi (Ordonansi Gangguan) untuk penyelesaian sengketa izin HO, P4D (Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah ) dan P4P (Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat) untuk penyelesaian perselisihan perburuhan.

Anda mungkin juga menyukai