Sejak berdiri pada tanggal 1 Januari 1995, WTO telah menjadi salah satu organisasi internasional yang cukup memiliki
peranan penting dalam perdagangan dunia. Walaupun dengan berbagai tekanan yang dihadapi dari berbagai kalangan,
tidak dapat dipungkiri bahwa WTO tetap memiliki aturan yang masih diperlukan oleh berbagai negara untuk menjaga
kepastian hukum dan prosedur sehubungan dengan perdagangan internasional.
Selain sekumpulan aturan yang telah mengakar di dalam masyarakat dagang internasional, WTO juga membuat regulasi
sehubungan dengan penyelesaian sengketa perdagangan internasional.yang dikenal dengan WTO Dispute Settlement.
Secara historis, WTO-DS diawali dengan Dispute Settlement Understanding (DSU) yang mengadaptasi GATT yang
tercantum dalam pasal 22 dan 23 GATT 1947. Dan WTO-DS pada akhirnya mengambil alih fungsi yang telah sebelumnya
dibentuk oleh sistem GATT.
Pada dasarnya WTO-DS sendiri adalah sebuah sistem penyelesaian sengketa dagang internasional yang terintegrasi—
integrasi di sini maksudnya adalah segala sesuatunya diselesaikan di dalam satu panel mulai dari tahapan pertama sampai
dengan implementasi—dan memiliki sifat yang quasi-judicial—karakternya non-yuridis, lebih memiliki sifat diplomatis.
Namun, walaupun karakternya non-yuridis, WTO memiliki yurisdiksi limpahan yang diberikan oleh International Court of
Justice untuk menjadi media penyelesaian sengketa dagang internasional.
Sesuai dengan prosedural, sesuatu yang memang merupakan kekuatan WTO dalam
melaksanakan aktivitasnya, maka World Trade Organization’s Dispute Settlement pun
memiliki tahapan-tahapan perlakuan.
WTO-DS memiliki beberapa tahapan, di antaranya yakni: ronde konsultasi, pembahasan dan rekomendasi Panel dan
Dewan Appellate (yang memiliki hak dan kewajiban untuk mendengarkan keterangan masing-masing pihak dalam kasus),
pengadopsian rekomendasi Dewan Appellate oleh WTO Dispute Settlement Body (WTO-DSB), dan terakhir, implementasi.
Konsultasi
Dapat diawali dengan permohonan untuk melakukan konsultasi secara tertulis dari para pihak yang
menyebutkan duduk perkara dan landasan hukum dalam melakukan gugatan (klaim).
Negara lain, selain dari pada pihak, dapat mengajukan permohonan untuk ikut campur dalam tahapan konsultasi
ini sesuai dengan Pasal 22 GATT. Permohonan ini harus disampaikan selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari,
dihitung mulai dari hari pertama permohonan konsultasi masuk ke lembaga ini.
Jawaban permohonan konsultasi akan diperoleh dalam waktu maksimal 10 (sepuluh) hari, dan masa konsultasi
maksimal telah dimulai 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal masuknya permohonan konsultasi.
Kasus diajukan di muka panel dalam bentuk Terms of Reference (ToR). ToR ini sendiri terdiri atas 2 (dua) jenis,
yakni ToR yang biasa dan ToR yang khusus.
Sedangkan Panel tersebut sendiri harus bersifat netral dan terdiri atas beberapa elemen, seperti: individu-individu
yang dinilai kompeten yang berasal dari institusi pemerintahan ataupun privat, pihak secretariat lembaga,
individu-individu khusus (undangan), dan juga ad-hoc dari masing-masing pihak yang bersengketa.
Panel harus membuat analisis objektif dari permasalahan (kasus) yang ditanganinya dan juga telah membuat
prakiraan pelaksanaan / eksekusi dari keputusan yang kemudian diputuskan.
Panel harus sudah dapat membuat rekomendasi maksimal 6 (enam) bulan setelah ToR diterima—dan 9
(sembilan) bulan dari pembentukan panel, rekomendasi harus sudah dapat diadopsi oleh DSB—dan 12 (dua
belas) bulan dari waktu yang sama, laporan pelaksanaan penyelesaian sengketa harus sudah dapat diterima
kembali oleh DSB.
Rekomendasi ini pun harus dipublikasikan kepada negara-negara anggota dan rekomendasi itu baru dapat
diadopsi oleh DSB setelah 20 (dua puluh) hari dipublikasikan.
Kesemua tenggat waktu itu terkecuali apabila terdapat ketidak sepakatan lebih lanjut.
Dewan Appellate membahas kembali rekomendasi panel, apabila terdapat sengketa lanjutan dengan
penunjukkan dari DSB. Walaupun negara-negara anggota dapat melibatkan dirinya ke dalam sengketa, namun
yang dapat mengajukan sengketa lanjutan hanyalah pihak-pihak yang bersengketa. Hal-hal yang dapat
disengketakan pun terbatas pada kesesuaian aturan dan penafsiran, dan tidak ada lagi pengumpulan fakta atau
investigasi lanjutan.
Di dalam Dewan Appellate, terdapat prosedur tambahan, yang harus diikuti apabila terdapat sengketa lanjutan.
Yang pertama yakni pemberitahuan atas Nota Sengketa, kemudian pihak yang mengajukan harus mengisi
Permohonan Tertulis, kemudian diadakan Dengar Pendapat (Sidang Lisan), kemudian penjelasan atas apa-apa
saja yang disengketakan dan penyelesaiannya, dan diakhiri dengan publikasi dari hasil semua apa yang telh
dijelaskan di atas.
Yang dihasilkan oleh Dewan Appellate adalah rekomendasi, yang dapat saja merubah, memodifikasi, dan/atau
menguatkan hasil dari panel.
DSB
Rekomendasi yang dibuat oleh Panel dan/atau Dewan Appellate tidak memiliki kekuatan hukum sebelum
diadopsi oleh DSB. Setelah rekomendasi ini dikuatkan dengan adanya keputusan dari DSB, maka rekomendasi
tersebut adalah legally binding dan dapat dipaksakan eksekusinya.
Implementasi
Hasil dari rekomendasi yang telah ditetapkan kekuatan hukumnya oleh DSB harus dilaksanakan. Harus di sini
yakni dengan adanya sanksi bagi pihak yang tidak melaksanakan bagiannya.
Namun dengan banyaknya anggota WTO dan telah mengakarnya aturan-aturan yang dibuat oleh WTO dalam dunia
perdagangan internasional, maka WTO-DS dipercaya untuk menyelesaikan sengketa dagang yang rumit sekalipun,
terutama dengan adanya limpaha yurisdiksi dari International Court of Justice.
Sebagai salah satu cara penyelesaian sengketa alternatif, banyak yang dapat dipelajari dari prosedur WTO, terutama yakni
Panel yang terintegrasi dan pengaturan waktu yang tidak dapat ditawar, sehingga para pihak yang
bersengketa pun merasa aman untuk mendapatkan penyelesaian yang pasti dengan WTO-DS.