1) FAKTA HUKUM
Pulau sipadan-ligitan merupakan objek sengketa internasional antara indonesia dan malaysia. Pulau sipadan dengan luas 10,4 ha terletak 15 mil laut (sekitar 24 km) dari pantai sabah (malaysia) dan 40 mil laut (sekitar 64 km) dari pantai pulau sebatik (Indonesia). Sedangkan pulau ligitan dengan luas 7,9 ha terletak sekitar 21 mil laut (seikitar 34 km) dari pantai sabah (malaysia) dan 57,6 mil laut (sekitar 93 km) dari pantai pulau sebatik.1 Terjadi pada tahun 1969 Terjadi pada awal 1966, ketika Indonesia bekerja bekerja sama dengan Japex (Japan Exploration Company Limited) untuk mengeksplorasi di wilayah Sipadan. Pada tahun 1968, Malaysia bereaksi terhadap perjanjian kerja sama Indonesia-Japex, negara itu juga melakukan kerja sama dengan Sabah Teiseki Oil Company di wilayah Sipadan. Pada tahun 1969, Malaysia mulai melakukan klaim terhadapan Sipadan-Lingitan sebagai wilayahnya. Hal ini ditolak oleh Pemerintah Indonesia. Kedua negara kemudian merundingkan batas landas kontinen. Dalam Peta Malaysia, Pulau Sipadan dan Ligitan merupakan bagian dari wilayah Republik Indonesia, namun tidak tertera pada lampiran Perpu No. 4/1960. Kedua belah pihak sepakat menyatakan dua pulau tersebut dalam status quo.2 Pada tahun 1978, Traktat Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara atau TAC (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia) dalam KTT pertama ASEAN di Bali menyebutkan bahwa akan membentuk Dewan Tinggi ASEAN untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara sesama anggota ASEAN akan tetapi pihak Malaysia menolak, negara itu beralasan karena melibatkan pula sengketa dengan wilayah negara tetangga lainnya. Pada tahun 1992, Kedua negara sepakat menyelesaikan masalah Sipadan-Ligitan secara bilateral, diawali dengan pertemuan pejabat tinggi kedua negara. Hasil pertemuan menyepakati dibentuknya Komisi Bersama (Joint Commission/JC) dan Kelompok Kerja Bersama (Joint Working Groups/JWG). Serangkaian pertemuan JC dan JWG yang dilaksanakan pun tidak membawa hasil. Pemerintah RI menunjuk Mensesneg Moerdiono dan Malaysia menunjuk Wakil PM Anwar Ibrahim sebagai Wakil Khusus pemerintah untuk mencairkan kebuntuan forum JC/JWG. Namun, dari empat kali pertemuan juga tidak pernah mencapai hasil kesepakatan.3
1 2
Mirza Satria Buana, Hukum International Teori dan Praktek, Bandung, Nusamedia, 2007 hlm133-134 http://belajarilmuhukumindonesia.blogspot.com/2013/01/sengketa-pulau-sipadan-dan-ligitan.html 3 ibid
Pada tanggal 7 Oktober 1996, Presiden Republik Indonesia dengan Perdana Menteri Malaysia di Kuala Lumpur menyepakati untuk menyelesaikan penentuan status kepemilikan Pulau Ligitan dan Pulau Sipadan melalui Mahkamah Internasional. Pada tanggal 31 Mei 1997, Pemerintah Republik Indonesia telah menandatangani Persetujuan antara Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Malaysia mengenai Special Agreement for Submission to the International Court of Justice of the Dispute between Indonesia and Malaysia Concerning Sovereignty over Pulau Ligitan and Pulau Sipadan, sebagai hasil perundingan antara delegasi delegasi Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Malaysia. Pada tanggal 19 November 1997, Pemerintah Malaysia meratifikasi Special Agreement for Submission to the International Court of Justice of the Dispute between Indonesia and Malaysia Concerning Sovereignty over Pulau Ligitan and Pulau Sipadan. Pada tanggal 29 Desember 1997, Indonesia meratifikasi tanggal Special Agreement for Submission to the International Court of Justice of the Dispute between Indonesia and Malaysia Concerning Sovereignty over Pulau Ligitan and Pulau Sipadan dengan Keppres Nomor 49 Tahun 1997. Pada tanggal 2 November 1998, Special Agreement disampaikan secara resmi ke Mahkamah International (MI). Proses hukum di MI berlangsung kurang lebih 3 tahun. Dalam menghadapi dan menyiapkan materi, Indonesia membentuk satuan tugas khusus yang terdiri dari: Deplu, Depdagri, Dephan, Mabes TNI, Dep. Energi dan SDM, Dishidros TNI AL, Bupati Nunukan, pakar kelautan dan pakar hukum laut International. Indonesia mengangkat co agent RI di MI/ICJ (International Court of Justice) yaitu Dirjen Pol Deplu, dan Dubes RI untuk Belanda. Indonesia juga mengangkat Tim Penasehat Hukum Internationl (International Counsels). Pada tanggal 17 Desember 2002, Pembacaan amar putusan Mahkamah Internasional. Hasil voting hakim Mahkamah Internasional pada kasus sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan, 16 hakim menyatakan dua pulai tersebut milik Malaysia, sementara hanya satu hakim yang menyatakan milik Indonesia.
3) PUTUSAN
Pembacaan amar putusan Mahkamah Internasional. Hasil voting hakim Mahkamah Internasional pada kasus sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan, 16 hakim menyatakan dua pulai tersebut milik Malaysia, sementara hanya satu hakim yang menyatakan milik Indonesia. 4 Alasan hakim memenangkan Malaysia, berdasarkan pertimbangan effectivity (tanpa memutuskan pada pertanyaan dari perairan teritorial dan batas-batas maritim), yaitu pemerintah kolonial Inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan operasi mercusuar sejak 1960-an. Sementara itu, kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia tidak menjadi pertimbangan, serta penolakan berdasarkan chain of title (rangkaian kepemilikan dari Sultan Sulu) akan tetapi gagal dalam menentukan batas di perbatasan laut antara Malaysia dan Indonesia di selat Makassar.5 Mahkamah menyatakan bahwa, ukuran obyektif dalam menentukan kepemilikan pulaupulau tersebut adalah dengan menerapakan doktrin effective occupation.6 Dua aspek penting dalam penentuan effective occupation ini adalah keputusan adannya cut-off date atau sering disebut critical date dan bukti-bukti hukum yang ada. Critical date yang ditentukan oleh Mahkamah Internasional adalah tahun 1969. Artinya adalah semua kegiatan setelah tahun 1969 seperti pembangunan resort dianggap tidak berdampak hukum sama sekali. Dalam mengkaji bukti-bukti hukum sebelum 1969 yang menunjukkan adanya effective occupation atas pulaupulau Sipadan-Ligitan, Mahkamah mempertimbangkan bukti-bukti yang diajukan kedua negara, yakni: Berkaitan dengan pembuktian effectivities Indonesia, Mahkamah menyimpulkan bahwa tidak ada bukti-bukti kuat yang dapat mewujudkan kedaulatan oleh Belanda atau Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Begitu pula halnya, tidak ada bukti-bukti dan dokumen otentik yang dapat menunjukkan adanya bentuk dan wujud pelaksanaan kedaulatan Indonesia atas kedua pulau dimaksud hingga tahun 1969. Mahkamah tidak dapat mengabaikan fakta bahwa UU No. 4/Prp/1960 tentang Perairan yang ditetapkan pada 18 Pebruari 1960 merupakan produk hukum awal bagi penegasan konsep kewilayahan Wawasan Nusantara, juga tidak memasukkan Sipadan-Ligitan ke dalam wilayah NKRI. Berkaitan dengan pembuktian effectivities Malaysia, Mahkamah menyimpulkan bahwa sejumlah dokumen yang diajukan menunjukkan adanya beragam tindakan pengelolaan yang berkesinambungan dan damai yang dilakukan pemerintah kolonial Inggris sejak 1917. Serangkaian upaya Inggris tersebut terwujud dalam bentuk tindakan legislasi, quasi yudisial, dan administrasi atas kedua pulau sengketa, seperti:
4 5
http://id.wikipedia.org/wiki/Sengketa_Sipadan_dan_Ligitan diakses pada tanggal 22 Maret 2013 http://merdekainfo.com/kronologi/item/601-lepasnya-pulau-sipadan-dan-ligitan 6 Mirza Satria Buana, Op.Cit hlm 144
Pengutipan pajak terhadap kegiatan penangkapan penyu dan pengumpulan telur penyu sejak 1917. Penyelesaian sengketa dalam kegiatan pengumpulan telur penyu di P. Sipadan pada tahun 1930an; Penetapan P. Sipadan sebagai cagar burung, dan Pembangunan serta pemeliharaan mercusuar sejak tahun 1962 di P. Sipadan dan pada tahun 1963 di P. Ligitan Mahkamah berpandangan bahwa berbeda dengan Indonesia yang mengajukan bukti berupa sejumlah kegiatan Belanda dan rakyat nelayan, Malaysia mengajukan bukti berupa sejumlah ketentuan-ketentuan hukum. Mahkamah menyatakan bahwa berbagai peraturan Inggris tersebut menunjukkan adanya suatu regulatory and administrative assertions of authority over territory which is specified by name. Esensi keputusan ini yang terpenting adalah apakah ada suatu pengaturan hukum atau instrumen hukum, regulasi atau kegiatan administratif lainnya tentang pulau tersebut terlepas dari isi kegiatannya.
pengelolaan privat Sultan Sulu dengan Sen-Overbeck/BNBC/Inggris/Malaysia. Mahkamah juga menolak argumentasi Malaysia bahwa kedua pulau termasuk dalam wilayah Sulu/Spanyol/AS/Inggris yang kemudian diserahkan kepada Malaysia berdasarkan terori rantai kepemilikan (Chain of Title Theory). Menurut Mahkamah tidak satupun dokumen hukum atau pembuktian yang diajukan Malaysia berdasarkan dalil penyerahan kedaulatan secara estafet ini memuat referensi yang secara tegas merujuk kedua pulau sengketa. MI juga menolak argumentasi Indonesia bahwa kedua pulau sengketa merupakan wilayah berada di bawah kekuasaan Belanda berdasarkan penafsiran atas pasal IV Konvensi 1891. Penafsiran Indonesia terhadap garis batas 4 10' LU yang memotong P. Sebatik sebagai allocation line dan berlanjut terus ke arah timur hingga menyentuh kedua pulau sengketa juga tidak dapat di terima Mahkamah. Kejelasan perihal status kepemilikan kedua pulau tersebut juga tidak terdapat dalam Memori van Toelichting. Peta Memori van Toelichting yang memberikan ilustrasi sebagaimana penafsiran Indonesia atas pasal IV tersebut dinilai tidak memiliki kekuatan hukum karena tidak menjadi bagian dari konvensi 1891. mahkamah juga menolak dalil alternatif Indonesia mengingat kedua pulau sengketa tidak disebutkan di dalam perjanjian kontrak 1850 dan 1878 sebagai bagian dari wilayah Kesultanan Bulungan yang diserahkan kepada Pemerintah Kolonial Belanda. Penguasaan efektif dipertimbangkan sebagai masalah yang berdiri sendiri dengan tahun 1969 sebagai critical date mengingat argumentasi hukum RI maupun argumentasi hukum Malaysia tidak dapat membuktikan klaim kepemilikan masing-masing atas kedua pula yang bersengketa. Berkaitan dengan pembuktian effectivities Indonesia, Mahkamah menyimpulkan bahwa tidak ada bukti-bukti kuat yang dapat mewujudkan kedaulatan oleh Belanda atau Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Begitu pula halnya, tidak ada bukti-bukti dan dokumen otentik yang dapat menunjukkan adanya bentuk dan wujud pelaksanaan kedaulatan Indonesia atas kedua pulau dimaksud hingga tahun 1969. Mahkamah tidak dapat mengabaikan fakta bahwa UU No. 4/Prp/1960 tentang Perairan yang ditetapkan pada 18 Pebruari 1960-yang merupakan produk hukum awal bagi penegasan konsep kewilayahan Wawasan Nusantara, juga tidak memasukkan Sipadan-Ligitan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Berkaitan dengan pembuktian effectivities Malaysia, Mahkamah menyimpulkan bahwa sejumlah dokumen yang diajukan menunjukkan adanya beragam tindakan pengelolaan yang berkesinambungan dan damai yang dilakukan pemerintah kolonial Inggris sejak 1917. Serangkaian upaya Inggris tersebut terwujud dalam bentuk tindakan legislasi, quasi yudisial, dan administrasi atas kedua pulau sengketa, seperti : a. Pengutipan pajak terhadap kegiatan penangkapan penyu dan pengumpulan telur penyu sejak 1917. b. Penyelesaian sengketa dalam kegiatan pengumpulan telur penyu di P. Sipadan pada tahun 1930-an; c. Penetapan P. Sipadan sebagai cagar burung, dan d. Pembangunan dan pemeliharaan mercusuar sejak tahun 1962 di P. Sipadan dan pada tahun 1963 di P. Ligitan
Dalam mengkaji bukti-bukti hukum sebelum 1969 yang menunjukkan adanya effective occupation atas pulau-pulau Sipadan-Ligitan, Mahkamah mempertimbangkan bukti-bukti yang diajukan kedua negara, yakni: a. Indonesia mengajukan bukti-bukti adanya patroli AL Belanda di kawasan ini dari tahun 1895 hingga 1928, termasuk kehadiran kapal AL Belanda Lynx ke Sipadan pada November-December 1921; dan adanya survei hidrografi kapal Belanda Macasser di perairan Sipadan Ligitan pada Oktober-November 1903. Patroli ini dilanjutkan oleh patroli TNI-AL. Selain itu, bukti yang diajukan adalah adanya kegiatan perikanan nelayan Indonesia pada tahun 1950-1960an dan bahkan awal 1970an. b. Malaysia mengajukan bukti-bukti berupa bukti hukum Inggris yakni Turtle Preservation Ordinance 1917; perijinan kapal nelayan kawasan Sipadan Ligitan; regulasi suaka burung tahun 1933 dan pembangunan suar pada tahun 1962 dan 1963. Semuanya adalah produk hukum pemerintah kolonial Inggris, bukan Malaysia. Sebelum menilai bukti-bukti Indonesia, Mahkamah Internasional menegaskan bahwa UU 4/Prp 1960 tentang negara kepulauan tidak mencantumkan Sipadan-Ligitan sebagai milik Indonesia. Mahkamah berpandangan hal ini relevan terhadap kasus pulau Sipadan-Ligitan karena Indonesia tidak memasukkannya dalam suatu perundang-undangan nasional. Terhadap patroli AL Belanda, Mahkamah berpendapat bahwa hal ini merupakan bagian dari latihan bersama atau kesepakatan bersama dalam memerangi perompakan, sehingga tidak bisa dijadikan dasar pengajuan klaim. Mengenai kegiatan perikanan nelayan Indonesia, Mahkamah berpendapat bahwa activities by private persons cannot be seen as effectivit, if they do not take place on the basis of official regulations or under governmental authority Oleh karena kegiatan tersebut bukan bagian dari pelaksanaan suatu perundang-undangan Indonesia atau di bawah otoritas Pemerintah, maka Mahkamah menyimpulkan bahwa kegiatan ini juga tidak bisa dijadikan dasar sebagai adanya effective occupation. Mahkamah berpandangan bahwa berbeda dengan Indonesia yang mengajukan bukti berupa sejumlah kegiatan Belanda dan rakyat nelayan, Malaysia mengajukan bukti berupa sejumlah ketentuan-ketentuan hukum. Mahkamah menyatakan bahwa berbagai peraturan Inggris tersebut menunjukkan adanya suatu regulatory and administrative assertions of authority over territory which is specified by name. Esensi keputusan ini bukanlah seperti yang dinyatakan sementara kalangan yakni bahwa negara harus memperhatikan lingkungan hidup, pengembangan ekonomi atau bahkan keberadaan orang di suatu pulau terpencil untuk menunjukkan effective occupation, tetapi yang terpenting adalah apakah ada suatu pengaturan hukum atau instrumen hukum, regulasi atau kegiatan administratif lainnya tentang pulau tersebut terlepas dari isi kegiatannya. Keputusan ini juga tidak memberikan makna hukum terhadap pembangunan resort yang dilakukan oleh Malaysia setelah 1969 dan juga kegiatan perikanan nelayan Indonesia yang tidak didasarkan atas peraturan perundang-undangan. Perlu digarisbawahi bahwa bukti-bukti yang diajukan adalah kegiatan Belanda dan Indonesia melawan bukti hukum Inggris. Jadi dari segi kacamata hukum internasional,
Malaysia mendapatkan pulau-pulau tersebut bukan atas kegiatannya sendiri tetapi atas kegiatan hukum Inggris yang dilakukan pada tahun 1917, 1933, 1962 dan 1963 jauh sebelum Federasi Malaysia dengan keanggotaan Sabah dibentuk pada 16 September 1963.
5) Analisis
Jika dikaitkan dengan salah satu sumber tambahan yakni keputusan dan pendapat para sarjana terkemuka didunia, maka dapat dikatakan bahwa kasus ini sangatlah tepat dikarenakan terdapat suatu doktrin yang dibawa pada saat zaman Romawi yakni Continuous presence, effective occupation, maintenance dan ecology preservation. Effective occupation sendiri adalah doktrin hukum internasional yang berasal dari hukum Romawi kuno. Occupation berasal dari konsep Romawi occupation yang berarti tindakan administratif dan bukan berarti tindakan pendudukan secara fisik. Effective occupation sebagai suatu tindakan administratif penguasaan suatu wilayah hanya bisa diterapkan pada terra nullius atau wilayah baru dan wilayah tak bertuan, atau wilayah yang dianggap tak bertuan dan disengketakan oleh negara. Effective occupation tidak bisa diterapkan kepada wilayah yang diatur oleh perjanjian, keputusan hakim, keputusan arbitrasi, atau registrasi kepemilikan dengan hukum yang jelas. Jelas elemen kuncinya dalam aplikasi doktrin effective occupation adalah ada tidaknya suatu perundang-undangan, peraturan hukum, atau regulasi terkait status wilayah tersebut. Hal ini tentunya sejalan dengan makna dari occupatio (baca okupatio) yang berarti tindakan administratif dan bukan berarti pendudukan secara fisik. Karena temasuk doktrin internasional, effective occupation dikategorikan sebagai sumber hukum materiil atau dapat dikatakan sebagai sumber hukum subsidier yang merujuk pada bahan-bahan/materi yang membentuk atau melahirkan kaidah atau norma yang mempunyai kekuatan mengikat; dan menjadi acuan bagi terjadinya sebuah perbuatan hukum. Berdasarkan keputusan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Internasional tersebut, di dasarkan ataas keputusan yang dilakukan sebelumnya pada kasus mengenai pulau palmas antara amerika dengan belanda, dimana dalam kasus tersebut hakim arbitrase meninjau keputusannya berdasarkan atas: 1. Pulau Palmas merupakan setidaknya sejak tahun 1700 merupakan bagian dua negara pribumi Pulau Sangi (Talaut) 2. Negara pribumi ini sejak 1677 dan seterusnya tergabung dengan VOC, yang dengan demikian Belanda, dengan kontrak suzerainitas, yang memberi kekuasaan membenarkan pendapatnya negara vassal sebagai bagian dari wilayahnya. 3. Perbuatan yang bersifat kekuasaan negara dilakukan oleh negara vassal atau oleh penguasa pada Pulau Palmas telah ada berlaku dalam masa yang berbeda antara tahun 1700 dan 1898 dan juga 1898 dan 19067 Jika dikaitkan dengan kasus tersebut, maka dikatakan bahwa putusan pengadilan pada kasus tersebut dapat juga dijadikan sebagai salah satu dasar atas putusan yang di lakukan
7
pengadilan yang menangani kasus sipadan ligitan. Dikarenakan kasus pulau palmas tersebut memiliki latar belakang yang sama dengan kasus sipadan ligitan dimana kasus tersebut terjadi antara Amerika dengan Belanda dimana Belanda mengklaim wilayah Palmas atau wilayah yang diberikan Spanyol kepada Amerika melalui treaty of paris (perjanjian yan dibuat antara AS dengan Spanyol dimana Amerika Serikat membayar Spanyol AS$20 juta untuk kepemilikan Guam, Puerto Riko, dan Filipina yang telah berpikir untuk membebaskan diri mereka dari pemerintahan kolonial yang kemudian memerangi Amerika Serikat dalam Perang FilipinaAmerika. Puerto Riko dan Guam juga di bawah kuasa Amerika, dan Spanyol melepas klaimnya terhadap Kuba dan kekalahan ini menutup Kekaisaran Spanyol, dan menandakan awal periode kuasa kolonial Amerika Serikat.) dan kemudian dimenangkan oleh Belanda dikarenakan pihak Belanda telah mengeskplor dan mengadakan tindakan administrasi di daerah tersebut.
Walaupun keputusan pengadilan tidak mempunyai kekuatan mengikat, keputusan pengadilan internasional, terutama Mahkamah Internasional Permanen (Permanent Court of International Justice), Mahkamah Internasional (International Court of Justice), Mahkamah Arbitrase Permanent (Permanent Court of Arbitration) mempunyai pengaruh besar dalam perkembangan hukum internasional.8 Hal ini dapat dilihat dalam kasus las Palmas dimana putusan nya berdasarkan pengadilan Arbitrase. Meskipun pada kedua kasus memiliki cara penyelesaian sengketa yang berbeda dimana kasus sipadan ligitan melalui ICJ sedangkan pada kasus pulau Palmas melalui pengadilan Arbitrase, dasar putusan pengadilan yang dilakukan pada kasus pulau Palmas tersebut dapat dijadikan sebagai landasan atau sumber hukum dalam menyelesaikan kasus Sipadan Ligitan dikarenakan salah satu sumber subsidier atau tambahan yakni keputusan pengadilan dan doktrin para Ahli. Berikut adalah gambar atau peta mengenai kasus tersebut:
Mochtar Kusumaadmadja, Pengantar Hukum Internasional, Alumni, Bandung, 2002, hal. 151
http://marliza.blogdetik.com/files/2010/11/peta-ambalat.jpg