Anda di halaman 1dari 13

PENDAHULUAN

Keseimbangan hormon penting untuk menjaga fungsi tubuh tetap normal. Jika terganggu, akan terjadi masalah kesehatan, termasuk penyakit gondok. Fungsi kelenjar gondok yang membesar dan metabolisme tubuh yang meningkat (hipermetabolisme) juga terkadang disertai kelelahan, jari-jari gemetar atau tremor dan mata menonjol. Terjadinya goiter atau penyakit gondok memang terkait kelainan yang menyerang kelenjar tiroid yang letaknya di depan leher di bawah jakun. Kelenjar ini menghasilkan hormon tiroid yang fungsinya mengendalikan kecepatan metabolisme tubuh seseorang. Jika kelenjar kurang aktif memproduksi hormon, terjadilah defisiensi hormon. Begitu juga jika terlalu aktif, hormon yang dihasilkan akan berlebihan. Dua kondisi ketidaknormalan ini memicu perbesaran kelenjar yang hasil akhirnya antara lain penyakit gondok (struma endemik). Gangguan Akibat Kekurangan Yodium (GAKY) merupakan salah satu masalah gizi utama di Indonesia, dan tersebar hampir di seluruh provinsi. Survei Pemetaan GAKY tahun 1997/1998 menemukan 354 kecamatan di Indonesia merupakan daerah endemik berat. Kekurangan iodium ini tidak hanya memicu pembesaran kelenjar gondok, bisa juga timbul kelainan lain seperti kretinisme (kerdil), bisu, tuli, gangguan mental, dan gangguan neuromotor. Untuk itu, penting menerapkan pola makan sadar iodium sejak dini. TINJAUAN PUSTAKA A. ANATOMI KELENJAR TIROID Kelenjar tiroid merupakan salah satu bagian dari sistem endokrin. Kelenjar tiroid terletak di leher depan, terdiri atas dua lobus, yang dihubungkan oleh ismus yang menutupi cincin trakea 2 dan 3. Kapsul fibrosa menggantungkan kelenjar ini pada fasia pratrakea sehingga pada setiap gerakan menelan selalu diikuti dengan gerakan terangkatnya kelenjar tiroid ke arah kranial, yang merupakan ciri khas kelenjar tiroid.

Setiap lobus tiroid berukuran panjang 2,5-4 cm, lebar 1,5-2 cm dan tebal 1-1,5 cm. Berat kelenjar tiroid dipengaruhi oleh berat badan dan masukan iodium. Pada orang dewasa beratnya berkisar antara 10-20 gram.

Gambar 1: Kelenjar tiroid dan struktur disekitarnya Sumber : Sobotta Atlas antomi manusia Kelenjar tiroid merupakan organ yang kaya akan vaskularisasi, berasal dari a. Tiroidea superior kanan dan kiri merupakan cabang dari a. Carotis eksterna, dan a. Tiroidea inferior kanan dan kiri dari a. Subklavia, dan a. Tiroidea ima yang berasal dari a. Brakiosefalik salah satu cabang dari arkus aorta. Sistem vena berasal dari pleksus perifolikular yang menyatu dipermukaan membentuk vena tiroidea superior, lateral dan inferior. Aliran darah ke kelenjar tiroid diperkirakan 5ml/gram. Pembuluh getah bening kelenjar tiroid berhubungan secara bebas dengan pleksus trakealis. Selanjutnya dari pleksus ini ke arah nodus pralaring yang tepat berada diatas ismus menuju ke kelenjar getah bening brakiosefalik dan sebagian ada yang langsung ke duktus torasikus. Persarafan kelenjar tiroid berasal dari ganglion cervivalis superior, media dan inferior. Saraf-saraf ini mencapai glandula tiroid melalui n. Cardiacus, n. Laryngeus superior dan n. Laryngeus inferior. Terdapat dua saraf yang mempersarafi laring dengan pita suara yaitu n. Rekurens dan cabang dari n. Laryngeus superior.

Gambar 2 : Anatomi kelenjar tiroid tampak depan dan potongan melintang Sumber : Schwartzs principles Of Surgery Dari sudut histologis, kelenjar tiroid terdiri dari nodula-nodula yang tersusun dari folikel-folikel kecil yang dipisahkan satu dengan yang lainnya oleh suatu jaringan penyambung. Folikel-folikel tiroid dibatasi oleh epitel kubis dan lumennya terisi koloid. Sel-sel epitel folikel merupakan tempat sintesis hormon tiroid dan mengaktifkan pelepasannya ke dalam sirkulasi. Dua hormon utama yang dihasilkan folikel-folikel hormon tiroid adalah tiroksin (T4) dan triyodotironin (T3). Kelenjar tiroid juga memiliki memiliki sel C (Parafolikular) yang terdapat pada dasar folikel yang berhubungan dengan membran folikel. Sel C ini mensekresi kalsitonin.

Gambar 3 : Histologi normal kelenjar tiroid Sumber : Schwartzs principles Of Surgery B. FISIOLOGI KELENJAR TIROID Fungsi kelenjar tiroid adalah menghasilkan hormon tiroid (T3 dan T4), selain itu juga menghasilkan kalsitonin yang berfungsi mengatur kalsium dalam darah. Fungsi tiroid ini diatur dan dikontrol olehglikoprotein hipofisis TSH (tirotropin) yang diatur pula oleh hormon dari hipotalamus yaitu TRH. Tiroksin

menunjukkan umpan balik negatif dari sekresi TSH dengan bekerja langsung pada tirotropin hipofisis. Biosintesis hormon tiroid merupakan suatu urutan proses yang diatur oleh enzim-enzim tertentu. Prosesnya sebagai berikut : Penangkapan iodide Penangkapan iodide oleh sel-sel folikel tiroid merupakan suatu proses aktif yang membutuhkan energi, yang didapatkan dari metabolisme aktif dalam kelenjar. Iodide yang tersedia sebagai bahan baku berasal dari makanan, air, iodide yang dilepaskan pada de-iodinasi hormon tiroid. Tiroid mengambil dan mengkonsentrasikannya hingga 30-40 kali kadarnya dalam plasma. Oksidasi iodide menjadi iodium Proses ini dikatalisir oleh enzim iodide peroksidase. Organifikasi iodium menjadi mono-iodotirosin dan di-iodotirosin. Pada proses ini iodium digabungkan dengan molekul tirosin sehingga menjadi MIT dan DIT. Proses ini terjadi pada interfase sel koloid. Proses penggabungan prekursor yang teriodinasi, dan Penyimpanan.

C. EFEK METABOLIK DAN FISIOLOGIK HORMON TIROID Hormon tiroid diperlukan oleh hampir semua proses tubuh termasuk proses metabolisme, sehingga perubahan hipertiroidisme atau hipotiroidisme berpengaruh atas berbagai proses.2 Efek metabolik, sebagai berikut : Termoregulasi dan kalorigenik Metabolisme protein, dalam dosis fisiologik kerjanya bersifat anabolik, tetapi dalam dosis besar bersifat katabolik. Metabolisme karbohidrat, bersifat diabetogenik karena resopsi intestinal meningkat, cadangan glikogen hati menipis demikian pula glikogen otot menipis dan degradasi insulin meningkat. Metabolisme lemak, pada hiperfungsi tiroid maka kolesterol rendah, dan sebaliknya pada hipotiroidisme.

Konversi provitamin A menjadi vitamin A di hati. Lain-lain : gangguan metabolisme kreatin fosfat menyebabkan miopati dan tonus traktus intestinal meningkat. Efek fisiologik, sebagai berikut : Pertumbuhan fetus, tidak cukupnya hormon tiroid menyebabkan lahirnya bayi kreatin. Efek konsumsi oksigen, panas dan pembentukan radikal bebas, dirangsang oleh T3 melalui Na+K+ATPase disemua jaringan kecuali otak, testis dan limpa. Efek kardiovaskular, secara klinis terlihat sebagai naiknya curah jantung dan takikardia. Efek simpatik, sensitifitas terhadap katekolamin amat tinggi pada

hipertiroidisme dan sebaliknya pada hipotiroidisme. Efek Hematopoetik, kebutuhan akan oksigen meningkat pada hipertiroidisme menyebabkan eritropoisis dan produksi eritropoitin meningkat Efek gastrointestinal, metabolisme usus meningkat pada hipertiroidisme dan terjadi sebaliknya pada hipotiroidisme.

D. DEFINISI Struma adalah pembesaran kelenjar tiroid. Toksik dan non toksik merujuk pada ada tidaknya kelainan fisiologi seperti hipertiroidisme. Nodusa atau diffusa merupakan gambaran anatomi struma. Struma nodusa non toxic adalah pembesaran kelenjar tiroid berbatas jelas yang tanpa disertai dengan hipertiroidisme.

E. ETIOLOGI Penyebab kelainan ini bermacam-macam. Pada setiap orang dapat dijumpai masa dimana kebutuhan terhadap tiroksin bertambah, terutama masa

pertumbuhan, pubertas, menstruasi, kehamilan, laktasi, menopause, infeksi atau stres lain. Pada msa tersebut dapat ditemui hiperplasia dan involusi kelenjar tiroid. Perubahan ini dapat menimbulkan nodularitas kelenjar tiroid serta kelainan

arsitektur yang dapat berlanjut dengan berkurangnya aliran darah di daerah tersebut sehingga terjadi iskemia. Penyebab struma nodusa non toxic antara lain: 1. Kekurangan iodium Pembentukan struma terjadi pada difesiensi sedang yodium yang kurang dari 50 mcg/d. Sedangkan defisiensi berat iodium adalah kurang dari 25 mcg/d dihubungkan dengan hypothyroidism dan cretinism. 2. Kelebihan yodium: jarang dan pada umumnya terjadi pada preexisting penyakit tiroid autoimun 3. Goitrogen :
o

Obat : Propylthiouracil, litium, phenylbutazone, aminoglutethimide, expectorants yang mengandung yodium

Agen lingkungan : Phenolic dan phthalate ester derivative dan resorcinol berasal dari tambang batu dan batubara.

Makanan, Sayur-Mayur jenis Brassica (misalnya, kubis, lobak cina, brussels kecambah), padi-padian millet, singkong, dan goitrin dalam rumput liar.

4. Dishormonogenesis: Kerusakan dalam jalur biosynthetic hormon kelejar tiroid 5. Riwayat radiasi kepala dan leher : Riwayat radiasi selama masa kanak-kanak mengakibatkan nodul benigna dan maligna Pada beberapa penderita struma nodosa, di dalam kelenjar tiroid timbul kelainan pada sistem enzim yang dibutuhkan untuk pembentukan hormon tiroid. Di antara kelainan-kelainan yang dapat dijumpai adalah: 1. Defisiensi mekanisme pengikatan iodida, sehingga iodium dipompakan ke dalam sel jumlahnya tidak adekuat. 2. Defisiensi sistem peroksidase, di mana iodida tidak dioksidasi menjadi iodium. 3. Defisiensi penggandengan tirosin teriodinasi di dalam molekul tiroglobulin, sehingga bentuk akhir dari hormon tiroid tidak terbentuk. 4. Defisiensi enzim deiodinase, yang mencegah pulihnya iodium dari tirosin teriodinasi, yang tidak mengalami penggandengan untuk membentuk hormon tiroid, sehingga menyebabkan defisiensi iodium.

F. PATOGENESIS STRUMA Struma terjadi akibat kekurangan yodium yang dapat menghambat pembentukan hormon tiroid oleh kelenjar tiroid sehingga terjadi pula penghambatan dalam pembentukan TSH oleh hipofisis anterior. Hal tersebut memungkinkan hipofisis mensekresikan TSH dalam jumlah yang berlebihan. TSH kemudian menyebabkan sel-sel tiroid mensekresikan tiroglobulin dalam jumlah yang besar (kolid) ke dalam folikel, dan kelenjar tumbuh makin lama makin bertambah besar. Akibat kekurangan yodium maka tidak terjadi peningkatan pembentukan T4 dan T3, ukuran folikel menjadi lebih besar dan kelenjar tiroid dapat bertambah berat sekitar 300-500 gram. Selain itu struma dapat disebabkan kelainan metabolik kongenital yang menghambat sintesa hormon tiroid, penghambatan sintesa hormon oleh zat kimia (goitrogenic agent), proses peradangan atau gangguan autoimun seperti penyakit Graves. Pembesaran yang didasari oleh suatu tumor atau neoplasma dan penghambatan sintesa hormon tiroid oleh obat-obatan misalnya thiocarbamide, sulfonylurea dan litium, gangguan metabolik misalnya struma kolid dan struma non toksik (struma endemik).

G. KLASIFIKASI STRUMA Menurut American society for Study of Goiter membagi : 1. Struma Non Toxic Diffusa 2. Struma Non Toxic Nodusa 3. Stuma Toxic Diffusa 4. Struma Toxic Nodusa Istilah Toksik dan Non Toksik dipakai karena adanya perubahan dari segi fungsi fisiologis kelenjar tiroid seperti hipertiroid dan hipotyroid, sedangkan istilah nodusa dan diffusa lebih kepada perubahan bentuk anatomi. Struma dikenal beberapa morfologi (konsistensi) berdasarkan gambaran makroskopis yang diketahui dengan palpasi atau auskultasi :

1. Bentuk kista : Struma kistik


Mengenai 1 lobus Bulat, batas tegas, permukaan licin, sebesar kepalan Kadang Multilobaris Fluktuasi (+)

2. Bentuk Noduler : Struma nodusa


Batas Jelas Konsistensi kenyal sampai keras Bila keras curiga neoplasma, umumnya berupa adenocarcinoma tiroidea

3. Bentuk difusa : Struma difusa


batas tidak jelas Konsistensi biasanya kenyal, lebih kearah lembek

4. Bentuk vaskuler : Struma vaskulosa


Tampak pembuluh darah Berdenyut Auskultasi : Bruit pada neoplasma dan struma vaskulosa Kelejar getah bening : Para trakheal dan jugular vein

H. TANDA DAN GEJALA Tanda : 1. Pada penyakit struma nodosa nontoksik tyroid membesar dengan lambat 2. Awalnya kelenjar ini membesar secara difus dan permukaan licin 3. Batas jelas 4. Konsistensi kenyal sampai keras

Gejala : 1. Jika struma cukup besar, akan menekan area trakea yang dapat mengakibatkan gangguan pada respirasi 2. Esofagus tertekan sehingga terjadi gangguan menelan. 3. Biasanya tanpa nyeri

I. DIAGNOSIS Anamnesa Sejak kapan benjolan timbul, rasa nyeri spontan atau tidak spontan, berpindah atau tetap, cara membesarkanya : cepat atau lambat, pada awalnya berupa satu benjolan yang membesar menjadi beberapa benjolan atau hanya pembesaran leher saja. Riwayat keluarga, Riwayat penyinaran daerah pada waktu kecil/muda, Perubahan suara, Gangguan menelan ,sesak nafas, Penurunan berat badan dan adanya Pemeriksaan keluhan tirotoksikosis. fisik

Local : Nodul tunggal atau majemuk, atau difus, Nyeri tekan, Konsistensi, Permukaan, Perlekatan pada jaringan sekitarnya, Pendesakan atau pendorongan trakea, Pembesaran kelenjar getah bening regional. Langkah diagnosis I : TSHs FT4 Hasil : non toksis Langkah diagnostic H :BAJAH nodul tiroid Hasil : A ganas, B curiga, C jinak, D tak cukup /sediaan tak representative Pemeriksaan Penunjang a. Pemeriksaan sidik tiroid Hasil pemeriksaan dengan radioisotope adalah teraan ukuran, bentuk lokasi, dan yang utama ialah fungsi bagian-bagian tiroid. Pada pemeriksaan ini pasien diberi NaI peroral dan setelah 24 jam secara fotografik ditentukan konsentrasi yadium radioaktif yang ditangkap oleh tiroid. Dari hasil sidik tiroid dapat dibedakan 3 bentuk, yaitu : a) Nodul dingin bila penangkapan yodium nihil atau kurang dibandingkan sekitarnya. Hal ini menunjukkan fungsi yang rendah. b) Nodul panas bila penangkapan yodium lebih banyak dari pada sekitarnya. Keadaan ini memperlihatkan aktivitas yang berlebih. c) Nodul hangat bila penangkapan yodium sama dengan sekitarnya. Ini berarti fungsi nodul sama dengan bagian tiroid yang lain.Pemeriksaan ini tidak dapat membedakan apakah nodul itu ganas atau jinak.

b. Pemeriksaan ultrasonografi (USG). Dengan pemeriksaan USG dapat dibedakan antara yang padat, cair, dan beberapa bentuk kelainan, tetapi belum dapat membedakan dengan pasti apakah suatu nodul ganas atau jinak. Kelainan-kelainan yang dapat didiagnosis dengan USG ialah : a. Kista : kurang lebih bulat, seluruhnya hipoekoik sonolusen, dindingnya tipis. b. Adenoma/nodul padat : iso atau hiperekoik, kadang-kadang disertai halo yaitu suatu lingkaran hipoekonik disekelilingnya. c. Kemungkinan karsinoma : nodul padat, biasanya tanpa halo. d. Tiroiditis hipoekoik, difus, meliputi seluruh kelenjar. Pemeriksaan ini dibandingkan pemeriksaan sidik tiroid lebih

menguntungkan karena dapat dilakukan kapan saja tanpa perlu persiapan, lebih aman, dapat dilakukan pada orang hamil atau anak-anak, dan lebih dapat membedakan antara yang jinak dan ganas. c. Biopsi aspirasi jarum halus. Biopsy ini dilakukan khusus pada keadaan yang mencurigakan suatu keganasan. Biopsy aspirasi jarum halus tidak nyeri, hamper tidak menyebabkan bahaya penyebaran sel-sel ganas. Kerugian pemeriksaan dengan cara ini adalah dapat memberikan hasil negative palsu karena lokasi biopsy kurang tepat, teknik biopsy kurang benar, pembuatan preparat yang kurang baik atau positif palsu karena salah interpretasi aleh ahli sitologi. d. Termografi Termografi adalah metode pemeriksaan berdasarkan pengukuran suhu kulit pada suatu tempat dengan memakai Dynamic Telethermography. Pemeriksaan ini

pada penelitian Alves dkk, didapatkan bahwa pada yang ganas semua hasilnya panas. Pemeriksaan ini paling sensitive dan spesifik bila dibanding dengan

Gobien, ketepatan diagnosis gabungan biopsy, USG, dan sidik tiroid adalah 98 %

J. PENATALAKSANAAN a. Dengan pemberian kapsul minyak beriodium terutama bagi penduduk di daerah endemik sedang dan berat. b. Edukasi : Program ini bertujuan merubah perilaku masyarakat, dalam hal pola makan dan memasyarakatkan pemakaian garam beriodium. c. Penyuntikan lipidol. Sasaran penyuntikan lipidol adalah penduduk yang tinggal di daerah endemik diberi suntikan 40 % tiga tahun sekali dengan dosis untuk orang dewasa dan anak di atas enam tahun 1 cc, sedangkan untuk anak kurang dari enam tahun diberi 0,2 cc 0,8 cc. d. Penatalaksanaan Bedah Indikasi untuk eksplorasi bedah glandula tiroidea meliputi : 1. Terapi : pengurangan masa fungsional dan pengurangan massa yang menekan. 2. Ekstirpasi : penyakit keganasan. 3. Paliasi : eksisi massa tumor yang tidak dapat disembuhkan, yang menimbulkan gejala penekanan mengganggu. a) Reseksi Subtotal Reseksi subtotal akan dilakukan identik untuk lobus kanan dan kiri, dengan mobilitas sama pada tiap sisi. Reseksi subtotal dilakukan dalam kasus struma multinodular toksik, struma multinodular non toksik. Prinsip reseksi untuk mengeksisi sebagian besar tiap lobus, yang memotong pembuluh darah tiroidea superior, vena + hyroidea media dan vena tiroidea inferior utuh. Bagian kelenjar yang dieksisi merupakan sisi anterolateral tiap lobus, isthmus dan lobus piramidalis. Ligasi pembuluh darah tiroidea superior harus hati-hati untuk tidak mencederai ramus externus nervus laryngeus superior dapat menimbulkan perubahan suara yang bermakna. Sisa thyroidea dari lobus kiri harus sekitar 3 sampai 4 gram. Ini dapat dinilai dengan menilai berbagai ukuran thyroidea pada timbangan. Lobus dapat dieksisi lengkap dengan memotong isthmus atau ia dapat dijaga kontinyu dengan isthmus yang dikupas bebas dari tracea di bawahnya.

b) Lobektomi Total Dilakukan untuk tumor ganas glandula tiroidea dan bila penyakit unilobaris yang mendasari tidak pasti. Bila dilakukan pengupasan suatu lobus, untuk tumor ganas maka pembuluh darah tiroidea superior, vena tiroidea media dan vena tiroidea inferior perlu dipotong. Glandula paratiroidea dan nervus laryngeus diidentifikasi dan dilindungi. Lobus tiroidea diretraksi ke medial dengan dua glandula paratiroidea terlihat dekat cabang terminal fasia (ligamentum Berry). Nervus ini diidentifikasi sebagai struktur putih tipis yang berjalan di bawah ligamentum dan biasanya di bawah cabang terminal arteria tiroidea inferior. Pada sejumlah tumor ganas seperti varian folikularis dan meduler direkomendasikan lobektomi total bilateral dengan pengupasan kelenjar limfe sentral. Pengobatan untuk nodul tiroid yang bukan tiroiditis atau keganasan : - Apabila didapatkan nodul hangat, dapat diberikan preparat lthyroxin selama 4-5 bulan dan kemudian sidik tiroid dapat diulang. Apabila nodul mengecil maka terapi dapat diteruskan namun apabila tidak mengecil dilakukan biopsi aspirasi atau operasi. - Nodul panas dengan diameter < 2,5 cm observasi saja, tetapi kalau > 2,5 mm terapinya ialah operatif karena dikhawatirkan mudah timbul hipertiroidisme.

DAFTAR PUSTAKA

1. Price, Anderson. Patofisiologi konsep klinis proses-proses penyakit edisi 6. Vol 2. Jakarta : EGC. Hal 1225. 2. Sherwood, Lauralee. Sistem endokrin. Dalam : Fisiologi manusia dari sel ke sistem edisi 2. Jakarta : EGC. 2001. Hal 644. 3. Syarif, Amir. Elysabeth. Amubisid. Dalam : Gunawan, Sulistia Gan. Setiabudy, Rianto. Nafrialdi. Farmakologi dan terapi edisi 5. Jakarta : Balai Penerbit UI. 2008. Hal 551-554. 4. Sudoyo, Ayu. Setiyohandi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata, Marcellus. Setiati, Siti . Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi kelima. Jilid III. Jakarta : EGC. Hal 1993. 5. Robbins. Buku ajar Patologi. Edisi ketujuh. Volume 2. Jakarta : EGC. Hal 811.

Anda mungkin juga menyukai