Anda di halaman 1dari 37

BAB I PENDAHULUAN Neuralgia pasca herpes didefinisikan sebagai nyeri yang dirasakan di tempat penyembuhan ruam, terjadi sekitar

9-15% pasien herpes zoster yang tidak diobati. Dan pada pasien yang berumur tua memiliki resiko yang lebih tinggi.1 Herpes Zoster dikenal pula sebagai shingles dapat menginfeksi sistem saraf dengan reaktivasi dari virus ini. Infeksi ini menimbulkan erupsi kulit sepanjang distribusi dermatomal yang terkena. Fenomena nyeri yang timbul dikenal sebagai neuralgia paska herpetika. Biasanya gangguan sensorik dikarakteristikan sebagai nyeri radikular dengan rasa terbakar, gatal, dan dapat sangat mengganggu kehidupan penderitanya.2 Reaktivasi virus ini biasanya terjadi pada orang tua dan penderita dengan imunitas menurun seperti pada kasus transplantasi organ atau kemoterapi untuk kanker dan penderita HIV.2

BAB II ANATOMI DAN FISIOLOGI Sistem sensorik berfungsi untuk menghantarkan informasi dari internal dan external tubuh ke otak. Sistem ini berawal dari reseptor yang sesuai dengan jenis rangsang informasinya, berjalan dengan jalur saraf khusus serta berakhir di tempat yang khusus tergantung jenis informasi yang disampaikan.4,5 Berdasarkan asal informasinya, sensoric pathway dapat dibedakan menjadi 4 macam: Superficial information(sensation), meliputi tekanan, nyeri, suhu, serta membedakan 2 titik. Deep sensation, meliputi propiosepsi, nyeri otot-otot dalam, vibration sense. Visceral sensation yang diperantarai jaras otonom afferent yang dapat berupa rasa lapar, pusing, serta nyeri organ dalam. Special sense, meliputi penciuman, penglihatan, pendengaran, rasa, serta keseimbangan, sensasi ini diperantarai oleh nervus kranialis. Jaras secara umum Secara umum impuls diawali dari reseptor, kemudian berjalan melalui jalur persarafan dan berakhir di otak.4 Reseptor Reseptor merupakan bagian dari sistem saraf yang berfungsi sebagai alat penerima sensor. Reseptor bekerja dengan cara merubah energi stimulus dari dalam dan luar tubuh kedalam satu unit bahasa yang mampu ditranmisikan oleh sistem saraf. Stimulus dapat mempengaruhi sistem saraf dengan adanya interaksi stimulus dengan reseptor. Stimulus
2

tersebut harus melewati ambang rangsang agar dapat menimbulkan rangsangan ke saraf. Cara kerja reseptor secara mudah dapat digambarkan sebagai berikut :4 Reseptor dapat dibagi berdasarkan energi stimulus yang merangsangnya, yaitu : o Mechanoreseptor Ditemukan di kulit, otot, sendi, serta organ-organ dalam. Mekanoreseptor ini sensitif terhadap perubahan mekanis pada jaringan dan membran sel. Perubahan mekanis ini dapat berupa banyak hal, meliputi penekanan, regangan dan pergerakan rambut. Mekanoreseptor ini dapat mendeteksi perubahan mekanis sebagai berikut :5 Sentuhan ringan oleh reseptor Meissner corpuscle, Merkel's disk, dan hair root plexus. Deep pressur eoleh reseptor Pacinian corpuscle. Tekanan (sentuhan kuat/kasar) oleh reseptor krause's end bulb. Panjang otot, posisi ekstremitas dan tendon oleh golgi tendon, dan joint/kinesthetic receptor. Pendengaran dan keseimbangan oleh sel rambut. Tekanan darah oleh baroreseptor aortic dan carotis.

Thermoreceptor Sensasi panas dan dingin dikonversi oleh thermoreceptor, yang dideteksi oleh free nerve ending berupa perubahan panas atau dingin, juga merespon stimulus yang dapat

menyebabkan rasa nyeri. Sedangkan untuk perubahan temperature internal tubuh dideteksi oleh thermostas di hypothalamus.5

Chemoreceptor Sejumlah stimulus kimiawi secara alami dideteksi oleh kemoreseptor. Olfactory receptor cells mendeteksi bau dari lingkungan. Taste receptor cells di lidah mendeteksi substansi yang ada di makanan seperti manis dan asin. Kemoreseptor yang lain mendeteksi perubahan internal di tubuh seperti perubahan kadar oksigen darah yang dideteksi oleh sel sensorik di carotis dan aorta. Perubahan osmolaritas darah dideteksi oleh osmoreseptor yang ada di hypothalamus, sedangkan perubahan kadar glukosa darah dideteksi oleh glucoreceptor di hypothalamus.5

Photoreceptor Retina yang merupakan bagian saraf penglihatan berisi fotoreseptor yang mampu mendeteski energi cahaya dan mengonversinya menjadi potensial aksi. 5

Jalur Persarafan Setelah energi dari lingkungan dikonversi oleh reseptor menjadi potensial aksi, selanjutnya potensial aksi tersebut akan berjalan di nervus menuju medula spinalis dan otak. Perjanalan ini melewati jalur-jalur saraf yang biasa dikenal dengan jalur persarafan. Pada penghantaran potensial aksi melalui jalur persarafan ini dikenal adanya "doctrin of specific nerve energy" yang mengatakan bahwa setiap serabut saraf hanya akan menghantarkan satu jenis stimulus, diduga hal ini karena setiap serabut saraf hanya berhubungan dengan satu jenis reseptor saja. Kondisi ini mungkin yang menyebabkan bagaimana sistem saraf mampu membedakan setiap jenis rangsang yang dideteksi oleh
4

sistem saraf sehingga otak dapat mempersepsi stimulus tersebut. Perjalanan impuls ini pada saraf dapat dibagi menjadi 3 tempat :5 First order neuron, berawal dari reseptor sampai ganglia dorsalis medula spinalis atau ganglion somatic afferent pada nervus kranialis. Second order neuron, badan sel second order neuron berada pada neuraxis (diantara medulla spinalis dan batang otak). Axon second order neuron biasanya menyilang dan berakhir di thalamus. Third order neuron, badan selnya yang berada di thalamus (sebagian besar) selanjutnya memproyeksikan potensial aksi ke korteks serebri. Selanjutnya jaringan saraf di korteks mengolah potensial aksi ini untuk menentukan lokasi, kualitas, dan intensitas untuk selanjutkan menentukan respon tubuh. Jalur Sensorik Multipel neuron dari sejumlah reseptor yang sama akan membentuk traktus yang selanjutnya akan menjadi jalur sensorik. Jalur sensorik akan berjalan ke otak. Sejumlah jalur sensorik tersebut dapat dilihat sebagai berikut :6,7

Gambar 1. Skematik somatosensoric pathway Traktus columna dorsalis Traktus ini merupakan bagian sistem lemniscus medialis. Menghantarkan impul sentuhan ringan, getaran, membedakan 2 titik, serta propriosepsi. Traktus ini naik tanpa menyilang, berjalan ipsilateral di bagian posterior medula spinalis ke batang otak bagian bawah. 6,7 Fascilculus gracilis berada di bagian posterolateral medula spinalis membawa impuls dari setengah bagian bawah tubuh dengan bagian yang paling distal berada di paling medial. Fascilculus cuneatus berada diantara fasciculus gracilis dan columna dorsalis, membawa impuls dari setengah tubuh bagian atas, dengan serabut yang berasal dari bagian bawah (thorakalis) berada lebih medial dibandingkan serabut yang berasal dari bagian atas (cervikalis). Dengan demikian columna dorsalis membawa impuls dari seluruh bagian tubuh secara ipsilateral dan tersusun secara somatotopic fashion dari medial ke lateral.5,7 Fascilulus gracilis dan cuneatus yang berjalan ascenden berakhir di bagian
6

paling bawah medula oblongata tepatnya di nukleus gracilis dan nukelus cuneatus (nukleus columna dorsalis). Kemudian second order neuron berjalan menyilang sebagai lemniscus decusation (traktus arcuata interna) dan berjalan keatas sebagai lemniscus medialis ke thalamus tepatnya di nukleus ventro posterlateral thalamus. Informasi sensoris kemudian dikirim ke kortek somatosensoris di girus

postcentralis.5,7 Traktur spinothalamikus. Traktus Spinothalamikus memasuki cornu dorsalis, kumpulan serabut yang menyilang ini disebut fasciculus dorsolateralis atau Lissaeur's tract, kemudian bersinaps di dorsal column neuron terutama di lamina I, II dan V. Setelah naik satu atau dua segmen, serabut ini menyeberangi medulla spinalis kemudian naik ke thalamus menjadi traktus spinothalamikus atau ventrolateral system.5,7 Traktus spinotalamikus terdiri atas 2 bagian, yaitu traktus spinothalamikus anterior yang berjalan di anterior cornu anterior untuk menghantarkan impuls sentuhan, tekanan dan getaran. Bagian yang lain adalah traktus spinothalamikus lateral yang berjalan di lateral cornu anterion untuk menghantarkan impuls nyeri dan temperatur. Pada saat traktur spinothalamikus berjalan naik, serabut ini akan bergabung dengan serabut dari segmen medula spinalis diatasnya dengan meletakkan penambahan di bagian medial. Sehingga pada segmen servikalis serabur sakral merupakan serabur yang terletak di sisi lateral.5 Pada peralihan antara medulla spinalis dan medula oblongata traktus spinothalamikus anterior dan lateral bergabung menjadi satu sebagai traktus spinothalamikus, kemudian di medula oblongata bergabung dengan traktus spinoretikularis menjadi lemniscus medialis dan berjalan ke atas menenembus
7

mesencephalon berakhir di thalamus tepatnya di nucleus ventral posterolateral atau intralaminar thalamic nuclei.1,5,7 Dari thalamus menyebar third order neuron sebagai somatic radiation yang memproyeksikan impuls sensorik ke gyrus post centralis. Pada semua tempat pemberhentian jalur sensoris, impuls sensorik disaring dan diintergrasikan sehingga impuls yang datang ke korteks merupkan impuls yang tinggal mengalami proses "fine tuning".5,6

Gambar 2. Traktus Talamikus Akson-akson first order neuron memasuki medulla spinalis melalui cornu dorsalis dan berakhir di substansia grisea medulla spinalis. Selanjutnya second order neuron akan berjalan keatas dan berakhir di formation retikularis. Sebagian besar serabut ini tidak menyilang dan berakhir dengan cara bersinaps dengan neuron-neuron formation retikularis di medulla oblongata, pons dan mesencephalon. Traktus spinoretikularis berperan dalam sensasi nyeri terutama nyeri dalam. Traktus
8

spinoretikularis memberikan lintasan aferen untuk formatio retikularis yang berperan penting dalam tingkat kesadaran.7 Traktus spinocerebellaris. Beberapa impuls aferen berjalan dari sistem musculoskeletal melalui traktus spinocerebellaris dan berakhir di cerebellum yang salah satu fungsinya untuk keseimbangan dan koordinasi. Di medulla spinalis traktus spinocerebellaris terdapat 2 macam, satu di anterior dan satu di posterior.7

Traktus spinocerebellaris posterior Serabut aferen yang berasal dari otot dan kulit memasuki medulla spinalis melalui cornu dorsalis setinggi T1 sampai L2 dan bersinap dengan second order neuron di nucleus dorsalis (Clarke's column). Serabut aferen tersebut berjalan ascenden setelah memasuki cornu dorsalis dan mencapai nucleus dorsalis yang terbawah. Pada segmen C8 keatas tidak terdapat nucleus dorsalis,digantikan oleh nucleus cuneatus aksesorius. Serabut saraf aferen pada level cervical bersinaps dengan second order neuron di nucleus cuneatus aksesorius.7 Second order neuron dari nukleus dorsalis membentuk traktus

spinocerebellaris posterior. Sedangkan second order neuron dari nukleua cuneatus aksesorius membentuk traktus cuneocerebellaris. Kedua traktus tersebut berjalan ascenden secara ipsilateral kemudian memasuki cerebellum melalui pedunkulus cerebellaris inferior dan berakhir di kortek paleocerebellar dibagian vermis cerebellar.6,7

Gambar 3. Skematis spinocerebellaris anterior.

Traktus spinocerebellaris anterior Traktus ini berperan dalam pengontrolan gerakan. First order neuron bersinap dengan second order neuron di lamina Rexed V, VI dan VII pada segemen lumbal dan sacral. Second order neuron berjalan ascenden, kemudian melalui pedunkulus cerebellaris superior, traktus ini berakhir di paleocerebellar kortek. Traktur spinocerebellaris anterior sebagian besar menyilang tetapi ada sebagian kecil yang tidak menyilang.7

Pengolahan informasi somatosensorik di pusat Third order neuron dari thalamus berjalan melalui limbus posterior capsula interna menuju korteks somatosensorik yang terletak di gyrus postcentralis (area 3, 1,

10

dan2). Untuk memudahkan gambaran, maka gyrus postcentralis dapat digambarkan houmunculus sebagai berikut :1,7

Gambar 4. Area sensorik di girus Post centralis Pada homunculus tersebut setiap reseptor terwakili oleh satu lokasi (titik) di gyrus area sensorik. Sehingga dengan demikian setiap rangsangan pada satu reseptor dapat diinterpretasi dengan benar oleh sistem saraf.

11

Gamba 5. Distribusi Dermatom

Gambar 6. Distribusi dermatom tubuh dan wajah

12

BAB III NEURALGIA PASCA HERPETIKA 3.1. Definisi Neuralgia ini dikarakteristikan sebagai nyeri seperti terbakar, teriris atau nyeri disetetik yang bertahan selama berbulan-bulan bahkan dapat sampai tahunan. Dworkin, 1994, mendefinisikan neuralgia paska herpetika sebagai nyeri neuropatik yang menetap setelah onset ruam (atau 3 bulan setelah penyembuhan herpes zoster).2

3.2. Epidemiologi Sebagian besar insidens herpes zoster dan neuralgia paska herpetika didapatkan data dari Eropa dan Amerika Serikat. Sedangkan belum didapatkan angka insiden di Asia, Australia dan Amerika Selatan.2 Pada penderita herpes zoster hampir 100 persen pasien mengalami nyeri, dan 1070 persennya mengalami neuralgia pasca herpetika. Nyeri lebih dari 1 tahun pada penderita berusia lebih dari 70 tahun dilaporkan mencapai 48%. Anak antara usia 5 dan 9 tahun mengambil 50% dari semua kasus, kebanyakan kasus lain timbul antara usia 1 dan 4 tahun serta 10 dan 14 tahun. Sekitar 10% diatas usia 15 tahun. Pada penderita HIV atau dengan leukemia dilaprkan 50-100 kali lebih banyak dibandingkan dengan kelompok sehat usia sama.1,2

3.3. Etiologi

13

Virus zoster merupakan salah satu dari delapan virus herpes yang menginfeksi manusia.Virus ini termasuk dalam famili herpesviridae. Struktur virus terdiri dari sebuah icosahedral nucleocapsid yang dikelilingi oleh selubung lipid. Di tengahnya terdapat DNA untai ganda. Virus varicella zoster memiliki diameter sekitar 180-200 nm.1,3 Analisis endonuklease terbatas atas DNA virus pasien varicella yang kemudian menderita herpes zoster membenarkan identitas molekul dua virus yang bertanggung jawab untuk presentasi klinis yang berbeda ini.3

14

Gambar 7. Virus Varisella zoster, virus ini menyebabkan penyakit varicella dan untuk reaktivasi selanjutnya akan menyebabkan pnyakit zoster.Setelah infeksi primer, virus ini akan tetap berada di dalam akar saraf sensorik untuk hidup. Setelah reaktivasi, virus bermigrasi ke saraf sensoris pada kulit, menyebabkan ruam karakteristik dermatomal yang menyakitkan. Setelah resolusi, banyak individu terus mengalami nyeri pada distribusi dari ruam (postherpetic neuralgia).2

3.4. Faktor Resiko Beberapa faktor resiko terjadinya neuralgia paska herpetika adalah meningkatnya usia, nyeri yang hebat pada fase akut herpes zoster dan beratnya ruam HZ. Dikatakan bahwa ruam berat yang terjadi dalam 3 hari setelah onset herpes zoster, 72% penderitanya mengalami neuralgia paska herpetika. Faktor resiko lain yang mempunyai peranan pula dalam menimbulkan neuralgia paska herpetika adalah gangguan sistem kekebalan tubuh, pasien dengan penyakit keganasan (leukimia,

15

limfoma), lama terjadinya ruam.1

3.5. Patogenesis Periode inkubasi virus Varisella zooster sekitar 14-16 hari setelah paparan awal. Setelah infeksi primer dilalui, virus ini bersarang di ganglia akar dorsal, hidup secara dorman selama bertahun-tahun.8,9

The enveloped virus creates the chickenpox rash and can travel from the skin to sensory nerves. Once in the sensory nerves, the virus moves to the sensory ganglia where it becomes latent. If reactivated, the virus travels from the sensory ganglia back to the skin where it creates the shingles rash. Gambar 8.

Patogenesis terjadinya herpes zoster disebabkan oleh reaktivasi dari virus varisella zoster yang hidup secara dorman di ganglion. Imunitas seluler berperan dalam pencegahan pemunculan klinis berulang virus varicella zoster dengan mekanisme tidak diketahui. Hilangnya imunitas seluler terhadap virus dengan bertambahnya usia atau status imunokompromis dihubungkan dengan reaktivasi klinis. Saat terjadi reaktivasi, virus berjalan di sepanjang akson menuju ke kulit. Pada
16

kulit terjadi proses peradangan dan telah mengalami denervasi secara parsial. Di selsel epidermal, virus ini bereplikasi menyebabkan pembengkakan, vakuolisasi dan lisis sel sehingga hasil dari proses ini terbentuk vesikel yang dikenal dengan namaLipschutz inclusion body. Pada ganglion kornu dorsalis terjadi proses peradangan, nekrosis hemoragik, dan hilangnya sel-sel saraf. Inflamasi pada saraf perifer dapat berlangsung beberapa minggu sampai beberapa bulan dan dapat menimbulkan demielinisasi, degenerasi wallerian dan proses sklerosis. Proses perjalanan virus ini menyebabkan kerusakan pada saraf. Beberapa perubahan patologi yang dapat ditemukan pada infeksi virus varisella zoster:9 1. Reaksi inflamatorik pada beberapa unilateral ganglion sensorik di saraf spinal atau saraf kranial sehingga terjadi nekrosis dengan atau tanpa tanda perdarahan. 2. Reaksi inflamatorik pada akar spinal dan saraf perifer beserta ganglionnya. 3. Gambaran poliomielitis yang mirip dengan akut anterior poliomielitis, yang dapat dibedakan dengan lokalisasi segmental, unilateral dan keterlibatan dorsal horn, akar dan ganglion. 4. Gambaran leptomeningitis ringan yang terbatas pada segmen spinal, kranial dan akar saraf yang terlibat.

17

Gambar 9. Infeksi yang dilakukan oleh virus Varissela zooster

Mekanisme nyeri Proses terjadinya nyeri secara umum dapat dibagi menjadi 3 jenis: 1. Proses stimulasi singkat10 2. Proses stimulasi yang berkepanjangan sehingga menyebabkan lesi atau inflamasi jaringan 3. Proses yang terjadi akibat lesi dari sistem saraf Pada jenis I, pukulan, cubitan pada tubuh dan lain sebagainya akan menyebabkan timbulnya persepsi nyeri. Bila stimulasi yang terjadi tidak menyebabkan terjadinya lesi, maka rasa nyeri yang terjadi hanya dalam waktu singkat. Pada jenis II, adalah jenis nyeri oleh karena terjadinya inflamasi jaringan atau dikenal
18

sebagai nyeri nosiseptif. Ciri khas dari inflamasi ialah terjadinya kalor, rubor, dolor dan fungsiolaesa. Pada Jenis III, dikenal sebagai nyeri neuropatik. Lesi saraf tepi atau sentral akan mengakibatkan hilangnya fungsi seluruh atau sebagian dari sistem saraf tersebut. Lesi saraf menyebabkan perubahan fungsi neuron sensorik yang dalam keadaan normal dipertahankan secara aktif oleh keseimbangan antara neuron dengan lingkungannya. Gangguan yang terjadi dapat berupa gangguan keseimbangan neuron sensorik, melalui perubahan molekuler, sehingga aktivitas sistem saraf aferen menjadi abnormal (mekanisme perifer) yang selanjutnya menyebabkan gangguan nosiseptif sentral (sensitisasi sentral). 4 mekanisme penyebab timbulnya aktivitas abnormal sistem saraf aferen akibat lesi, yaitu:10 1. aktivitas ektopik 2. sensitisasi nosiseptor 3. interaksi abnormal antar serabut saraf 4. hipersensitifitas terhadap katekolamin Allodinia adalah nyeri yang disebabkan oleh stimulus normal (secara normal semestinya tidak menimbulkan nyeri). Impuls yang dijalarkan serabut A yang biasanya berupa sentuhan halus atau raba normal dirasakan normal, tetapi pada allodinia dirasakan sebagai nyeri. Mekanisme terjadinya allodinia disebabkan oleh adanya: 1,10,11 1. sensitisasi sentral, dimana terjadinya peningkatan jumlah potensial aksi sebagai rangsan respon terhadap stimuli noksius dan penurunan nilai ambang sehingga stimuli non noksius mampu menimbulkan rasa nyeri.
19

2. perubahan serabut A dimana serabut ini mengeluarkan substansia P. Pada nyeri neuropatik hal ini berlangsung terus dikarenakan sumber impuls datang dari perifer berupa ectopic discharge 3. hilangnya kontrol inhibisi. Neurotransmitter inhibisi seperti GABA atau glycin berfungsi untuk mempertahankan potensial membran mendekati potensial istirahat. Tetapi pada nyeri neuropatik terdapat penurunan aktivitas inhibisi (hal ini diperkirakan oleh karena kematian sel-sel inhibisi) .Sehingga terjadi eksitasi berlebihan. Nyeri yang berhubungan dengan zoster akut dan neuralgia postherpetik merupakan tipe nyeri neuropatik akibat kerusakan pada saraf tepi dan perubahan proses signal sistem saraf pusat. Aktivasi simpatis (sistem saraf otonom) yang intens pada area kulit yang terlibat merupakan akibat dari proses inflamasi (peradangan) akut yang menyebabkan vasokonstriksi (penciutan pembuluh darah), trombosis

intravaskuler (penyumbatan pembuluh darah) dan iskemia (kukurangan aliran darah) dari saraf tersebut.10 Pasca cedera saraf, terjadi pelepasan impuls saraf tepi secara spontan, ambang aktivasi yang rendah dan respon berlebih terhadap rangsangan. Pertumbuhan akson (serat saraf) baru setelah cedera tersebut membentuk saraf baru yang justru memiliki kecenderungan memprovokasi pelepasan impuls berlebih. Aktivitas perifer (saraf tepi) yang berlebihan tersebut diduga sebagai pencetus perubahan sifat saraf, sebagai akibatnya, terjadi respon sistem saraf pusat yang berlebihan terhadap segala rangsang. Perubahan yang terjadi ini sangat kompleks sehingga mungkin tidak dapat diatasi dengan satu jenis terapi saja.11 Sympathetically Maintained Pain (SMP). SMP didefinisikan sebagai nyeri yang dipertahankan oleh sistem saraf otonom (simpatis) atau oleh hormon

20

katekolamin yang bersirkulasi. Nyeri neuropatik didiagnosis sebagai tipe SMP bila ditemukan respon positif terhadap suatu simpatolisis (blok simpatis, tindakan pemberian obat bius lokal). Terdapat beragam nyeri neuropatik yang bisa mencakup SMP ini, diantaranya phantom pain, complex regional pain syndrome, neuropati metabolik, neuralgia dan herpes zoster sendiri. Namun bagaimana mekanisme SMP terjadi, sampai sekarang masih belum dapat dijelaskan walau telah banyak hipotesis yang dilontarkan oleh para ahli.1,2 Nyeri pada neuralgia paska herpetika merupakan nyeri neuropatik yang diakibatkan dari perlukaan saraf perifer sehingga terjadi perubahan proses pengolahan sinyal pada sistem saraf pusat. Saraf perifer yang sudah rusak memiliki ambang aktivasi yang lebih rendah sehingga menunjukkan respon berlebihan terhadap

stimulus. Regenerasi akson setelah perlukaan menimbulkan percabangan saraf yang juga mengalami perubahan kepekaan. Aktivitas saraf perifer yang berlebihan tersebut menimbulkan perubahan berupa hipereksitabilitas kornu dorsalis sehingga pada akhirnya menimbulkan respon sistem saraf pusat yang berlebihan terhadap semua rangsang masukan/ sensorik. Perubahan ini berjalan dalam berbagai macam proses sehingga dapat dimengerti bila pendekatan terapeutik neuralgia paska herpetika memerlukan beberapa macam pendekatan pula.1,2 Menurut Fields, terdapat dua tipe penilaian terhadap derajat dan luasnya gangguan sensorik pada pasien neuralgia paska herpetika. Fase iritasi, dimana gangguan sensorik (allodinia / hilangnya sensorik) terbatas pada lesi kulit dan fase deaferentasi dimana gangguan sensorik meluas dari batas lesi kulit. Pada fase iritasi, penggunaan terapi anastetik lokal intra dermal lebih berguna dibandingkan dengan tipe deaferentasi.2,3

21

Pada otopsi pasien yang pernah mengalami herpes zoster dan neuralgia paska herpetika ditemukan atrofi kornu dorsalis, sedangkan pada pasien yang mengalami herpes zoster tetapi tidak mengalami neuralgia paska herpetika tidak ditemukan atrofi kornu dorsalis.1 3.6. Manifestasi Klinis [4] Manifestasi klinis klasik yang terjadi pada herpes zoster adalah gejala prodromal rasa terbakar, gatal dengan derajat ringan sampai sedang pada kulit sesuai dengan dermatom yang terkena. Biasanya keluhan penderita disertai dengan rasa demam, sakit kepala, mual, lemah tubuh. 48-72 jam kemudian, setelah gejala prodromal timbul lesi makulopapular eritematosa unilateral mengikuti dermatom kulit dan dengan cepat berubah bentuk menjadi lesi vesikular.12,13

Gambar 10. Reaktivasi infeksi virus Varicella zoster

22

Gambar 11. perjalanan infeksi oleh virus Varicella zooster Menurut lokasi lesinya, herpes zoster dibagi menjadi : 1. Herpes zoster oftalmikus

Herpes zoster oftalmikus merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai bagian ganglion gasseri yang menerima serabut saraf dari cabang ophtalmicus saraf trigeminus (N.V), ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit. Infeksi diawali dengan nyeri kulit pada satu sisi kepala dan wajah disertai gejala konstitusi seperti lesu, demam ringan. Gejala prodromal berlangsug 1 sampai 4 hari sebelum kelainan kulit timbul. Fotofobia, banyak kelar air mata, kelopak mata

23

Gambar 12. Herpes zoster oftalmikus sinistra.

2. Herpes zoster fasialis

Herpes zoster fasialis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai bagian ganglion gasseri yang menerima serabut saraf fasialis (N.VII), ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.13

Gambar 13. Herpes zoster fasialis dekstra. 3. Herpes zoster brakialis Herpes zoster brakialis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai pleksus brakialis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.13

24

Gambar 14. Herpes zoster brakialis sinistra.

1. Herpes zoster torakalis Herpes zoster torakalis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai pleksus torakalis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.13

Gambar 15. Herpes zoster torakalis sinistra.

25

Gambar 16. Rash hipopigmentasi pada lesi postherpetik dermatome torakalis

5. Herpes zoster lumbalis Herpes zoster lumbalis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai pleksus lumbalis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.13

Gambar 17. Herpes zooster lumbal dekstra

6. Herpes zoster sakralis


26

Herpes zoster sakralis merupakan infeksi virus herpes zoster yang mengenai pleksus sakralis yang ditandai erupsi herpetik unilateral pada kulit.13

Gambar 18. Herpes zoster sakralis dekstra.

Nyeri yang timbul mempunyai intensitas bervariasi dari ringan sampai berat sehingga sentuhan ringan saja menimbulkan nyeri yang begitu mengganggu penderitanya. Setelah 3-5 hari dari awal lesi kulit, biasanya lesi akan mulai mengering. Durasi penyakit biasanya 7-10 hari, tetapi biasanya untuk lesi kulit kembali normal dibutuhkan waktu sampai berminggu-minggu. Intensitas dan durasi dari erupsi kulit oleh karena infeksi herpes zoster dapat dikurangi dengan pemberian acyclovir (5x800mg/hari) atau dengan famciclovir atau valacyclovir.12.13 Manifestasi klinis neuralgia paska herpetika adalah penyakit yang dapat sangat mengganggu penderitanya. Gangguan sensorik yang ditimbulkan diperberat oleh rangsangan pada kulit dengan hasil hiperestesia, allodinia dan hiperalgesia. Nyeri yang dirasakan dapat mengacaukan pekerjaan si penderita, tidur bahkan sampai mood sehingga nyeri ini dapat mempengaruhi kualitas hidup jangka pendek maupun jangka panjang pasien. Nyeri dapat dirasakan beberapa hari atau beberapa minggu sebelum timbulnya erupsi kulit. Keluhan yang paling sering dilaporkan adalah nyeri seperti
27

rasa terbakar, parestesi yang dapat disertai dengan rasa sakit (disestesi), hiperestesia yang merupakan respon nyeri berlebihan terhadap stimulus, atau nyeri seperti terkena/ tersetrum listrik. Nyeri sendiri dapat diprovokasi antara lain dengan stimulus ringan/ normal (allodinia), rasa gata-gatal yang tidak tertahankan dan nyeri yang terus bertambah dalam menanggapi rangsang yang berulang.1,2,13 Dworkin membagi neuralgia paska herpetika ke dalam tiga fase:1 - Fase akut: fase nyeri timbul bersamaan/ menyertai lesi kulit. Biasanya berlangsung < 4 minggu - Fase subakut: fase nyeri menetap > 30 hari setelah onset lesi kulit tetapi < 4 bulan - Neuralgia paska herpetika: dimana nyeri menetap > 4 bulan setelah onset lesi kulit atau 3 bulan setelah penyembuhan lesi herpes zoster. Nyeri digambarkan sebagai rasa seperti terbakar, teiris tajam, rasa tertusuk-tusuk, rasa tersetrum di sepanjang dermatom yang terkena/ terlibat. Didapatkan pula gangguan allodinia dimana sentuhan ringan seperti pada pakaian atau seprei tempat tidur menimbulkan rasa nyeri tajam yang sangat mengganggu pasien. Gangguan nyeri ini dapat menganggu pasien dalam melakukan aktivitas sehari-hari seperti mandi atau saat berpakaian atau saat tidur. Keluhan sensorik lain yang dapat timbul berupa rasa baal daerah lesi, sensitif terhadap perubahan temperatur. 13

3.7.. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan, yaitu:8,21,25,27

28

1. Pemeriksaan neurologis pada nervus trigeminus dan pemeriksaan neurologis lainnya. 2. Elektromiografi (EMG) untuk melihat aktivitas elektrik pada nervus 3. Cairan cerebrospinal (CSF) abnormal dlm 61% kasus 4. Pleositosis ditemui pada 46% kasus, peningkatan protein 26% dan DNA VZV 22% kasus. 5. Smear vesikel dan PCR untuk konfirmasi infeksi. 6. Kultur viral atau pewarnaan immunofluorescence bisa digunakan untuk membedakan herpes simpleks dengan herpes zoster 7. Mengukur antibodi terhadap herpes zoster. Peningkatan 4 kali lipat mendukung diagnosis herpes zoster subklinis.

3.8. Terapi Tatalaksana terapi neuralgia paska herpetika Secara umum terapi yang dapat kita lakukan terhadap kasus penderita dengan neuralgia paska herpetika dibagi menjadi dua jenis, yaitu terapi farmakologis dan terapi non farmakologis.1 Tiga hal yang perlu menjadi perhatian khusus dalam upaya terapi NPH adalah: (1) memberi analgesia, (2) mengurangi depresi dan kecemasan dan (3) mengurangi insomnia. Strategi terapi selalu difokuskan pada pencegahan, mengingat sekali NPH terjadi maka akan sangat sulit dilakukan terapi. Sejumlah modalitas terapi perlu dipertimbangkan dengan arif dan bijaksana, mengingat beragam variasi pasien terhadap terapi (usia lanjut, efek samping dan komplikasi-komplikasi terapi yang bisa
29

terjadi). Obat-obatan harus dipertimbangkan dengan dosis minimal yang efektif serta follow-up perjalanan nyeri pasien. Kombinasi obat-obatan tetap perlu

dipertimbangkan dengan mengevaluasi keuntungan dan kerugiannya.1 Terapi farmakologis: Analgesik Analgesik non opioid seperti NSAID dan parasetamol mempunyai efek analgesik perifer maupun sentral walaupun efektifitasnya kecil terhadap nyeri neuropatik. Sedangkan penggunaan analgesik opioid memberikan efektifitas lebih baik. Tramadol telah terbukti efektif dalam pengobatan nyeri neuropatik. Bekerja sebagai agonis mu-opioid yang juga menghambat reuptake norepinefrin dan serotonin. Pada sebuah penelitian, jika dosis dititrasi hingga maksimum 400 mg/hari dibagi dalam 4 dosis, tramadol terbukti lebih efektif dibanding plasebo dalam pengobatan NPH. Namun, efek pada sistem saraf pusat dapat menimbulkan terjadinya amnesia pada orang tua. Hal yang harus diperhatikan bahwa pemberian opiat kuat lebih baik dikhususkan pada kasus nyeri yang berat atau refrakter oleh karena efek toleransi dan takifilaksisnya. Oxycodone berdasarkan penelitian menunjukkan efek yang lebih baik dibandingkan plasebo dalam meredakan nyeri, allodinia, gangguan tidur, dan kecacatan. Dosis yang digunakan maksimal 60 mg/hari pada NPH.1,2 Anti epilepsi Mekanisme kerja obat epilepsi ada 3, yakni dengan 1) memodulasi voltagegated sodium channel dan kanal kalsium, 2) meningkatkan efek inhibisi GABA, dan 3) menghambat transmisi glutaminergik yang bersifat eksitatorik.1 Gabapentin bekerja pada akson terminal dengan memodulasi masuknya
30

kalsium pada kanal kalsium, sehingga terjadi hambatan. Karena bekerja secara sentral, gabapentin dapat menyebabkan kelelahan, konfusi, dan somnolen. Karbamazepin, lamotrigine bekerja pada akson terminal dengan memblokade kanal sodium, sehingga terjadi hambatan.1 Pregabalin bekerja menyerupai gabapentin. Onset kerjanya lebih cepat. Seperti halnya gabapentin, pregabalin bukan merupakan agonis GABA namun berikatan dengan subunit dari voltage-gated calcium channel , sehingga mengurangi influks kalsium dan pelepasan neurotransmiter (glutamat, substance P, dan calcitonin generelated peptide) pada primary afferent nerve terminals. Dikatakan pemberian pregabalin mempunyai efektivitas analgesik baik pada kasus neuralgia paska herpetika, neuropati diabetikorum dan pasien dengan nyeri CNS oleh karena trauma medulla spinalis. Didapatkan pula hasil perbaikan dalam hal tidur dan ansietas.1 Anti depressan Anti depressan trisiklik menunjukkan peran penting pada kasus neuralgia paska herpetika. Obat golongan ini mempunyai mekanisme memblok reuptake (pengambilan kembali) norepinefrin dan serotonin. Obat ini dapat mengurangi nyeri melalui jalur inhibisi saraf spinal yang terlibat dalam persepsi nyeri. Pada beberapa uji klinik obat antidepressan trisiklik amitriptilin, dilaporkan 47-67% oasien mengalami pengurangan nyeri tingkat sedang hingga sangat baik. Amitriptilin menurunkan reuptake saraf baik norepinefrin maupun serotonin. TCA telah terbukti efektif dalam pengobatan nyeri neuropatik dibanding SSRI (selective serotonine reuptake inhibitor ) seperti fluoxetine, paroxetine, sertraline, dan citalopram. Alasannya mungkin dikarenakan TCA menghambat reuptake baik serotonin maupun norepinefrin, sedangkan SSRI hanya menghambat reuptake serotonin.1,2

31

Efek samping TCA berupa sedasi, konfusi, konstipasi, dan efek kardiovaskular seperti blok konduksi, takikardi, dan aritmia ventrikel. Obat ini juga dapat meningkatkan berat badan, menurunkan ambang rangsang kejang, dan hipotensi ortostatik. Anti depressan yang biasa digunakan untuk kasus neuralgia pot herpetika adalah amitriptilin, nortriptiline, imipramine, desipramine dan lainnya.1 Terapi topikal Anestesi lokal memodifikasi konduksi aksonal dengan menghambat voltagegated sodium channels. Inaktivasi menyebabkan hambatan terhadap terjadinya impuls ektopik spontan. Obat ini bekerja lebih baik jika kerusakan pada neuron hanya terjadi sebagian, fungsi nosiseptor tetap ada, dan adanya jumlah kanal sodium yang berlebih. Mekanisme lainnya adalah dengan memodifikasi aktivitas NMDA. Lidokain topikal merupakan obat yang sering diteliti dengan hasil yang baik dalam mengobati nyeri neuropatik. Sebuah studi menunjukkan efek yang baik dengan penggunaan lidocaine patch 5% untuk pengobatan NPH. Obat ini ditempatkan pada daerah simtomatik selama 12 jam dan dilepas untuk 12 jam kemudian. Obat ini dapat digunakan selama bertahun-tahun dan dipakai sebagai pilihan terapi tambahan pada pasien orang tua.1 Penggunaan krim topikal seperti capsaicin cukup banyak dilaporkan. Krim capsaicin sampai saat ini adalah satu-satunya obat yang disetujui FDA untuk neuralgia paska herpetika. Capsaicin berefek pada neuron sensorik serat C (C-fiber). Telah diketahui bahwa neuron ini melepaskan neuropeptida inflamatorik seperti substansia P yang menginisiasi nyeri. Dengan dosis tinggi, capsaicin mendesensitisasi neuron ini. Pada suatu uji klinik acak terkendali melibatkan 143 pasien neuralgia paska herpetika, dilaporkan setelah pengobatan selama 4 minggu, 21% nyeri berkurang pada kelompok yang mendapat terapi capsaicin , sedangkan 6% nyeri berkurang pada kelompok

32

kontrol (p<0.05). Tetapi sayangnya capsaicin mempunyai efek sensasi rasa terbakar yang sering tidak bisa ditoleransi pemakainya ( 1/3 pasien pada uji klinik ini).1,2,3

Terapi non farmakologis Akupunktur Akupunktur banyak digunakan sebagai terapi untuk menghilangkan nyeri. Terdapat beberapa penelitian mengenai terapi akupunktur untuk kasus neuralgia paska herpetika. Namun penelitian-penelitian tersebut masih menggunakan jumlah kasus tidak terlalu banyak dan terapi tersebut dikombinasi pula dengan terapi farmakologis.1 TENS (stimulasi saraf elektris transkutan) Penggunaan TENS dilaporkan dapat mengurangi nyeri secara parsial hingga komplit pada beberapa pasien neuralgia paska herpetik. Tetapi penggunaan TENS-pun dianjurkan hanya sebagai terapi adjuvan/ tambahan disamping terapi farmakologis.1 3.9. Pencegahan neuralgia paska herpetika Perlu diingat, NPH sendiri merupakan komplikasi dari herpes zoster. Jika herpes zoster dapat dicegah, tentunya NPH dapat dihindari. Untuk mencegah herpes zoster, dapat digunakan vaksin.2 Jika penderita telah menderita herpes zoster, terapi sedini dan seagresif mungkin menunjukkan penurunan insidens terjadinya nyeri neuropatik yang sangat serius dan sulit untuk diatasi. Terapi tersebut mencakup pemberian anti virus yang terbukti menurunkan insidens NPH. Dianjurkan pula pemberian amitriptilin yang dimulai dari dua hari setelah ruam muncul.1,13

33

Dari beberapa laporan penelitian didapatkan efektifitas yang cukup baik pada penggunaan kortikosteroid dan antiviral dalam pencegahan timbulnya neuralgia paska herpetika. Kortikosteroid berperanan dalam mengurangi inflamasi zoster dan mencegah kerusakan saraf, sedangkan antiviral (asiklovir) mempunyai manfaat dalam mengurangi nyeri dan eritema, mencegah timbulnya lesi baru dan menyembuhkan kulit lebih cepat.13

3.10. Komplikasi Neuralgia Pasca Herpetik (NPH) sendiri merupakan salah satu komplikasi dari herpes zoster. Yang perlu diperhatikan, NPH tidak berakibat fatal, walaupun penderita merasa nyeri yang dirasa berat sekali, ditambah dengan waktu yang panjang.1,2 Tidak ada komplikasi secara fisik dari NPH. Tetapi tentunya secara sosial NPH sangat mengganggu bagi penderitanya. Nyeri yang dirasakan oleh penderita sangatlah berat sehingga penderita selalu merasa takut telah terjadi sesuatu yang parah pada tubuhnya. Disini pentingnya penjelasan bagi penderita, karena ketakutan malah memperburuk nyeri yang dirasa.1,2

3.11. Prognosis Prognosis ad vitam dikatakan bonam karena neuralgia paska herpetik tidak menyebabkan kematian. Kerusakan yang terjadi bersifat lokal dan hanya mengganggu fungsi sensorik.1,2 Prognosis ad functionam dikatakan bonam karena setelah terapi didapatkan perbaikan nyata, dan pasien dapat beraktivitas baik seperti biasa.1,2

34

Prognosis ad sanactionam dubia ad bonam karena risiko berulangnya HZ masih mungkin terjadi, namun selama pasien mempunyai daya tahan tubuh baik kemungkinan timbul kembali kecil.1,2

BAB IV KESIMPULAN Nyeri yang berhubungan dengan zoster akut dan neuralgia postherpetik merupakan tipe nyeri neuropatik akibat kerusakan pada saraf tepi dan perubahan proses signal sistem saraf pusat Manifestasi klinis klasik yang terjadi pada herpes zoster adalah gejala
35

prodromal rasa terbakar, gatal dengan derajat ringan sampai sedang pada kulit sesuai dengan dermatom yang terkena. Biasanya keluhan penderita disertai dengan rasa demam, sakit kepala, mual, lemah tubuh. 48-72 jam kemudian, setelah gejala prodromal timbul lesi makulopapular eritematosa unilateral mengikuti dermatom kulit dan dengan cepat berubah bentuk menjadi lesi vesikular. Manifestasi klinis neuralgia paska herpetika adalah penyakit yang dapat sangat mengganggu penderitanya. Gangguan sensorik yang ditimbulkan diperberat oleh rangsangan pada kulit dengan hasil hiperestesia, allodinia dan hiperalgesia. yang dapat disertai dengan rasa sakit (disestesi), hiperestesia yang merupakan respon nyeri berlebihan terhadap stimulus, atau nyeri seperti terkena/ tersetrum listrik. Tiga hal yang perlu menjadi perhatian khusus dalam upaya terapi NPH adalah: (1) memberi analgesia, (2) mengurangi depresi dan kecemasan dan (3) mengurangi insomnia. Strategi terapi selalu difokuskan pada pencegahan, mengingat sekali NPH terjadi maka akan sangat sulit dilakukan terapi. Prognosis ad vitam dikatakan bonam karena neuralgia paska herpetik tidak menyebabkan kematian. Prognosis ad functionam dikatakan bonam karena setelah terapi didapatkan perbaikan nyata, dan pasien dapat beraktivitas baik seperti biasa. Prognosis ad sanactionam dubia ad bonam karena risiko berulangnya HZ masih mungkin terjadi, namun selama pasien mempunyai daya tahan tubuh baik kemungkinan timbul kembali kecil.

DAFTAR PUSTAKA 1. 2. Noname. Neuralgia Paska Herpetika. Jakarta 2008 available from: http://perdossijaya.org/perdossijaya/index.php?view=article&catid=43%3Apaper&id Werdiningsih, Retno. Neuralgia Pasca Herpetik.Unifersitas Airlangga. RSU dr. Soetomo, Surabaya 2004 16:3 available from:
36

http://asic.lib.unair.ac.id/journals/abstrak/Berkala%2016%203%202004%20%3B%20 Retno%20%3B%20Neuralgia%202.pdf 3. 4. 5. Mardjono, Mahar, Sidarta, Priguna. Neurologi Klinis Dasar. Penerbit Dian Rakyat. Jakarta: 2004. Hal 21-26. Duus, Peter. Diagnosis Topik Neurologi. EGC. Edisi 2. Jakarta. Hal 29, 44 Snell, S, Richard.Neuroanatomi Klinik. EGC. Edisi 2. Jakarta. Hal 365-383. Lumbantobing, S.M. Neurologi Klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental. Balai Penerbit FKUI : 2000. Hal 115-131.
6.

Snell RS. Neuroanatomi Klinik : Pendahuluan dan Susunan Saraf Pusat. 5th Ed. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC. 2007. p. 1-16. 7. Sherwood L. Human Physiology : The Central Nervous System. 7th ed. Canada: Brooks/ColeCengangeLearning:2010.p.176-79.availablefrom http://www.cumc.columbia.edu/publications/invivo/Vol1_no7_apr15_02/varicella.hl Canadian Paediatric Society. Chickenpox. 2009. Retrived April 6, 2009 available from http://www.cps.ca/caringforkids/immunization/ChickenpoxFacts.htm. University of Maryland Medical Center. 2009 Chicken pox and Shingles. Retrived April 6, 2009 available from:http://www.umm.edu/patiented/articles/how_serious_chickenpox_shingles_0000 82_4.htm Garcia, E.2007. Gender differences in pressure pain threshold in a repeated measures assessment. Psychology, Health and Medicine, 12, 567-579. Available from: http://dx.doi.org/10.1080/13548500701203433 Singer, T Seymour. 2004. Placebo-induced changes in fMRI in the anticipation and experience of pain. Science, 303, 1162-1167. Journal weblink: http://www.sciencemag.org/ Silverthorn. Human Physiology : Homeostatis and Control. 5th Ed. San Fransisco: Pearson;2010. p.449-57. The Fuctional Imaging Lab in London: http://www.fil.ion.ucl.ac.uk/ Djuanda Adhi. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.Jakarta.2005.Harrison.PrinciplesofInternalMedicine.Avilablefrom: http://www.consumersresearchcncl.org/Healthcare/Dermatologists/derma_chapter2.ht ml Vorvick, Linda J. 2010. Encyclopedia and displayimage. Department of Medicine, Massachusetts General Hospital. available from http://www.pennmedicine.org/encyclopedia/em_DisplayImage.aspx? gcid=18069&ptid=2

8. 9.

10.

11.

12.

13.

15.

37

Anda mungkin juga menyukai