Anda di halaman 1dari 16

TUGAS FARMAKOTERAPI TERAPAN

PENATALAKSANAAN TERAPI PADA ANSIETAS DAN GANGGUAN TIDUR DENGAN METODE SOAP

KELOMPOK II

NI PUTU PARWATININGHATI I GEDE DWIJA BAWA TEMAJA ANGGY ANGGRAENI WAHYUDHIE NI PUTU DIAN PRIYATNA SARI

(1208515009) (1208515017) (1208515019) (1208515025)

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI APOTEKER JURUSAN FARMASI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS UDAYANA 2012

BAB I LATAR BELAKANG

Gangguan ansietas adalah gangguan psikis berupa kecemasan dan disertai dengan respons perilaku, emosional dan fisiologis yang berlebihan. Gangguan ansietas merupakan gangguan emosional yang paling sering terjadi di Amerika Serikat. Setidaknya 17% individu dewasa di Amerika Serikat menunjukkan satu gangguan ansietas atau lebih dalam satu tahun. Gangguan ansietas lebih sering dialami oleh wanita, individu berusia kurang dari 45 tahun, individu yang bercerai atau berpisah dan individu yang berasal dari status sosioekonomi rendah serta semakin meningkat dengan bertambahnya umur (Fauci et al., 2008; Videbeck, 2008). Timbulnya ansietas dapat ditandai dengan adanya kelelahan, merasa tidak tenang, ketegangan otot, konsentrasi yang buruk dan yang paling sering terjadi adalah gangguan tidur. Gangguan tidur atau insomnia merupakan suatu kondisi yang dicirikan dengan gangguan dalam jumlah, kualitas atau waktu tidur pada seorang individu (Haryono dkk., 2009). Di Amerika Serikat, prevalensi gangguan tidur mencapai 52,1% pada orang dewasa baik pada laki-laki maupun perempuan, dimana penyakit ini dapat mempengaruhi pekerjaan, aktivitas sosial dan status kesehatan penderitanya (Videbeck, 2008). Pada penyakit insomnia terjadi ketidakmampuan memenuhi kebutuhan tidur, baik secara kualitas maupun kuantitas, akibatnya penderita insomnia biasanya mengalami rasa mengantuk yang berlebihan di siang hari, kesulitan untuk memulai tidur, sering terbangun pada malam hari ataupun di tengah-tengah tidur. Pada orang normal, insomnia yang berkepanjangan akan mengakibatkan perubahan pada siklus tidur biologis, menurunnya daya tahan tubuh, depresi, berkurangnya konsentrasi dan kelelahan, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi keselamatan diri sendiri dan orang lain (Japardi, 2002). Tujuan utama dilakukannya farmakoterapi terhadap pasien ansietas dan insomnia yaitu menurunkan tingkat keparahan, lamanya dan frekuensi gejala, mengembalikan aktivitas normal penderita, meningkatkan keterlibatan dalam aktivitas sosial dan meningkatkan kualitas hidup penderita. Dengan dilakukannya pengobatan maka dapat dihindari dampak negatif dari ansietas dan insomnia seperti terjadinya kecemasan yang berulang, kekhawatiran yang sulit dikendalikan, perasaan cemas atau gelisah sebelum sesuatu terjadi dan sulit berkonsentrasi. Farmakoterapi yang cocok untuk tiap penderita akan berbeda tergantung dari kondisi yang dialami oleh individu itu sendiri. Oleh karena itu dalam melakukan farmakoterapi sangatlah penting untuk mengetahui etiologi, patofisiologi, serta gejala klinis yang dialami oleh pasien sehingga dapat dilakukan terapi yang efektif dan efisien sesuai dengan kondisi pasien dan dapat diperoleh hasil pengobatan yang optimal.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Etiologi Pada keadaan tidur, terjadi dua fase utama yaitu Non Rapid Eye Movement (NREM) dan Rapid Eye Movement (REM). Fase awal tidur didahului oleh fase NREM kemudian diikuti dengan fase REM. Proporsi fase NREM adalah 75% (stadium 1= 5%; stadium 2= 45%; stadium 3= 12%; stadium 4= 13%) dan fase REM adalah 25% dari total sleep time (TST). Keadaan tidur normal antara fase NREM dan REM terjadi secara bergantian antara 4-7 kali siklus setiap malam. Pada fase NREM fungsi fisiologis menurun, sedangkan pada fase REM terjadi peningkatan aktivitas obat dan fisiologis yang mirip dengan keadaan terjaga. Tipe NREM dibagi menjadi empat stadium yaitu: a. Tidur stadium 1 Fase ini merupakan fase antara terjaga dan fase awal tidur. Pada fase ini terjadi pengurangan aktivitas fisiologis dimulai dengan penutupan kelopak mata, tonus otot berkurang dan tampak gerakan bola mata ke kanan dan ke kiri. Fase ini hanya berlangsung 3-5 menit dan mudah sekali terbangun oleh stimulus sensori seperti suara. b. Tidur stadium 2 Pada fase ini bola mata berhenti bergerak, pernafasan dan detak jantung melambat, penurunan suhu tubuh dan tidur lebih dalam dari fase pertama. Fase ini berlangsung 10-20 menit. c. Tidur stadium 3 Fase ini merupakan tahap awal dari tidur yang dalam, dimana orang yang tidur akan sulit dibangunkan dan jarang bergerak. Tonus otot dalam keadaan rileks, pernafasan dan detak jantung menurun dengan teratur dan fase ini berlangsung selama 15-30 menit. d. Tidur stadium 4 Fase ini merupakan tahap tidur yang sangat dalam, pernafasan mulai teratur dan sukar dibangunkan. Tahap ini dianggap sebagai tidur dalam atau deep sleep dan merupakan bagian tidur yang sangat penting dan diperlukan untuk merasa cukup istirahat dan energik di siang hari. Fase tidur NREM biasanya berlangsung antara 70-100 menit, setelah itu akan masuk ke fase REM. Fase REM ditandai dengan gerakan bola mata yang cepat, tonus otot yang sangat rendah, peningkatan detak jantung dan pernafasan yang cepat. Tidur REM tidak senyenyak tidur NREM dan sebagian besar mimpi terjadi pada tahap ini. Otak cenderung aktif selama tidur REM dan metabolisme meningkat hingga 20%. Pada tahap ini individu sulit untuk

dibangunkan atau justru dapat bangun dengan tiba-tiba. Tahap ini terjadi rata-rata selama 20 menit (Japardi, 2002). Dalam menjalankan terapi gangguan tidur atau insomnia, maka cara yang paling tepat adalah mengetahui penyebabnya terlebih dahulu. Jika penyebabnya sudah dikenali, maka akan lebih mudah untuk menentukan terapi yang sesuai bagi penderita insomnia. Pada dasarnya, insomnia sebenarnya merupakan penyakit yang tidak disebabkan oleh satu faktor, melainkan banyak faktor (Sudarno, 2009). Dalam temuan para ahli, setidaknya ada empat faktor penyebab insomnia: 2.2.1 Predisposisi psikologis dan biologis Faktor psikologis dan biologis merupakan dua faktor utama yang seringkali menyatu menjadi bentuk psikomatis, yang berarti bahwa persoalan psikologis berdampak terhadap biologis dan sebaliknya. Aspek psikis dan biologis ini berkombinasi membentuk ikatan yang saling mempengaruhi. Sebagai contoh, seseorang yang jantungnya mudah berdebar-debar dan suhu tubuhnya lebih hangat dari biasanya akan berkecenderungan untuk sulit tidur. Demikian juga jika seseorang memiliki masalah psikis yang menyita perhatian, seperti tekanan pekerjaan, masa depan serta sejumlah masalah keluarga yang menimbulkan kegelisahan. Pikiran-pikiran tersebut akan membuat saraf terus menegang sehingga terjadi insomnia (Japardi, 2002). Secara khusus, faktor psikologis merupakan faktor yang memegang peranan utama terhadap kecenderungan terjadinya insomnia. Hal ini disebabkan oleh ketegangan pikiran seseorang terhadap sesuatu yang kemudian akan mempengaruhi sistem saraf pusat sehingga kondisi fisik senantiasa siaga. Pada aspek psikologis, faktor kecemasan dan ketegangan merupakan hal utama yang dapat menyebabkan gangguan insomnia. Pada insomnia yang diakibatkan oleh kecemasan, terdapat peningkatan noradrenalin serum, peningkatan ACTH dan kortisol, juga penurunan produksi melatonin. Hormon melatonin yang dikeluarkan oleh kelenjar pineal merupakan hormon yang diproduksi oleh tubuh hanya pada malam hari dan berfungsi untuk merangsang proses reparasi sel. Penurunan produksi hormon melatonin pada tubuh dapat menyebabkan proses perbaikan sel-sel tubuh tidak berjalan dengan sempurna sehingga daya tahan tubuh dapat menurun (Schmitz et al., 2009; Stringer, 2008). 2.2.2 Penggunaan obat-obatan dan alkohol Banyak orang yang menganggap bahwa obat-obatan tidak mungkin menimbulkan kesulitan dalam tidur. Justru sebaliknya, sebagian besar dari obat-obatan tersebut dapat menyebabkan kantuk. Sejumlah obat memang mengandung zat yang bisa melemaskan saraf dan membuat orang mengantuk, tetapi ada beberapa jenis obat tertentu yang malah merangsang saraf-saraf otak sehingga dapat menunda kantuk, misalnya obat untuk

menanggulangi hidung tersumbat yaitu dekongestan. Bahkan tidak sedikit obat flu yang dijual di pasaran mengandung fenilpropanolamin atau kandungan lain yang justru membuat pasien tetap terjaga (Japardi, 2002). Sementara itu, alkohol awalnya memang dapat menyebabkan kantuk, namun dapat mengganggu tidur. Mengkonsumsi alkohol pada malam hari dapat merangsang tubuh melakukan proses metabolisme sehingga menimbulkan kesulitan tidur. Di samping itu, alkohol dapat menguras vitamin B yang mendukung sistem saraf sehingga walaupun mengantuk, pasien tidak akan dapat tidur dengan nyenyak (Japardi, 2002). 2.2.3 Lingkungan yang mengganggu Adapun yang dimaksud dengan lingkungan mencakup dua hal yaitu lingkungan tempat tinggal dan situasi di dalam rumah. Bagi masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan yang tenang dan tenteram, lingkungan tidak pernah menjadi masalah serius yang dapat mengganggu tidur. Tetapi bagi masyarakat yang berdomisili di kota, suasana tenang dan tentram yang dapat mendukung tercapainya ketenangan dalam beristirahat. Sementara itu, situasi di dalam rumah yang nyaman merupakan faktor yang mendukung untuk menimbulkan kantuk. Sebaliknya, situasi rumah yang bising dapat menyebabkan gangguan sehingga pikiran tidak tenang dan tidur menjadi tidak nyaman (Japardi, 2002). Selain situasi lingkungan, suhu juga menjadi salah satu faktor penyebab gangguan tidur. Banyak orang yang tidak bisa tidur pada suhu yang terlalu ekstrim. Orang yang biasa tinggal di daerah panas tidak akan bisa tidur pulas di daerah yang suhunya sangat dingin. Demikian juga sebaliknya (Japardi, 2002). 2.2.4 Kebiasaan buruk mengkonsumsi rokok dan kopi Merokok dan konsumsi kopi yang terlalu sering dapat dikategorikan sebagai kebiasaan buruk yang dapat menyebabkan sulit tidur. Hal ini disebabkan karena kandungan nikotin dan kafein yang bersifat neurostimulan yang justru akan dapat meningkatkan denyut jantung dan membangkitkan semangat (Japardi, 2002).

2.3 Patofisiologi 2.3.1 Insomnia Adanya gangguan pola tidur atau insomnia tergantung pada sistem ARAS (Ascending Reticulary Activity System). ARAS akan meningkat ketika dalam keadaan terjaga dan akan menurun ketika tidur. Aktivitas ARAS sangat dipengaruhi oleh aktivitas neurotransmiter. Kerja sistem neurotransmiter ini diatur oleh kelenjar pituitari melalui hipotalamus. Kekacauan sistem neurotransmiter inilah yang dapat menyebabkan mekanisme tidur dapat terganggu (Japardi, 2002).

2.3.2 Ansietas Model noradrenergik Model ini menunjukkan bahwa sistem saraf otonomik pada penderita ansietas hipersensitif dan bereaksi berlebihan terhadap berbagai rangsangan. Locus keruleus mempunyai peranan dalam mengatur ansietas yaitu dengan mengaktivasi pelepasan norepinephrine (NE) dan merangsang sistem saraf simpatik dan parasimpatik. Aktivitas berlebihan NE ini yang menyebabkan terjadinya ansietas. Model reseptor asam -aminobutyrate (GABA). GABA adalah neurotransmiter inhibitor utama di sistem saraf pusat (SSP). Umumnya target/ sasaran obat-obat antiansietas adalah reseptor GABAA. Ansietas berhubungan dengan penurunan aktivitas sistem GABA atau penurunan jumlah reseptor pusat BZ. Model serotonin (5-HT). Gejala-gejala Gangguan Kecemasan Umum (GAD) menggambarkan transmisi 5-HT yang berlebihan atau rangsangan berlebihan pada jalur stimulasi 5-HT. Peranan 5-HT pada gangguan kepanikan tidak jelas, tetapi mungkin berperan pada perkembangan anticipatory anxiety yaitu keadaan dimana seseorang mengalami peningkatan kecemasan dengan berpikir tentang suatu peristiwa atau situasi di masa depan.

2.4 Gejala dan Data Klinik Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder IV (2000) menunjukkan beberapa gejala seseorang dapat didiagnosis menderita insomnia yaitu: 1. Kesulitan untuk memulai, mempertahankan tidur dan tidak dapat memperbaiki kualitas tidur yang mencakup sulit untuk tidur, sering bangun di malam hari dan mengalami kesulitan untuk tidur kembali, bangun terlalu pagi, sering mengantuk pada siang hari atau sering merasa lelah setelah bangun tidur. 2. Secara umum, insomnia menyebabkan penderita menjadi cepat merasa lelah, stres, lekas marah dan bermasalah dengan daya konsentrasi atau memori sehingga dapat mengganggu fungsi sosial, pekerjaan atau fungsi penting yang lainnya.

2.5 Penatalaksanaan Terapi 2.5.1 Terapi non farmakologi Insomnia merupakan gangguan tidur yang memerlukan evaluasi serius dalam pengatasannya (Japardi, 2002). Proses penyembuhan insomnia tergantung pada seberapa serius gejala yang dialami penderita. Insomnia ringan tidak memerlukan pengobatan karena peristiwanya biasanya akan berlalu kurang dari sehari. Penderita mungkin hanya perlu

mengubah jadwal tidur dan bangun atau menyetel ulang jam biologisnya sehingga dapat kembali ke keadaan normal (Rafiudin, 2004). Sebelum memulai terapi, sangatlah penting untuk mengetahui faktor penyebab terjadianya insomnia. Secara non farmakologi, insomnia yang terjadi karena faktor psikologis paling baik diterapi dengan psikoterapi karena penyebabnya berupa faktor-faktor psikologis. Penting bagi penderita insomnia untuk secara terbuka menjelaskan mengenai awal mula penyebab insomnia sehingga dapat ditentukan terapi yang sebaiknya diberikan. Pemahaman mengenai penyebab insomnia dan pemahaman yang didapat melalui perspektif yang objektif atau tinjauan psikologis mengenai masalah yang dialami akan mengarahkan penderita pada sikap, strategi dan pola pikir yang benar sehingga dapat diperoleh persepsi masalah dan solusi yang tepat. Adapun beberapa usaha sederhana lebih lanjut yang dapat dilakukan penderita diantaranya: 1. Berolahraga teratur. Beberapa penelitian menyebutkan berolah raga secara teratur dapat membantu penderita gangguan tidur atau insomnia. Olahraga sebaiknya dilakukan pada pagi hari. Dengan berolahraga, kualitas kesehatan menjadi lebih optimal sehingga tubuh dapat melawan perasaan stres yang muncul dengan lebih baik. 2. Menghindari makan dan minum yang terlalu banyak menjelang tidur. Makanan yang terlalu banyak akan menyebabkan perut menjadi tidak nyaman, sementara minum yang terlalu banyak akan menyebabkan frekuensi untuk buang air kecil meningkat. Hal ini akan semakin mengganggu proses tidur penderita. 3. Tidur dalam lingkungan yang nyaman. 4. Mengurangi konsumsi hal-hal yang bersifat stimulan seperti teh, kopi, alkohol dan rokok. 5. Mandi dengan air hangat 30 menit atau satu jam sebelum tidur. Mandi air hangat akan menyebabkan efek sedasi atau merangsang tidur. Selain itu, mandi air hangat juga dapat mengurangi ketegangan tubuh. 6. Melakukan aktivitas relaksasi secara rutin. Mendengarkan musik atau melatih pernafasan akan membuat tubuh lebih santai sehingga akan mempermudah tidur. 7. Menjernihkan pikiran dan sebisa mungkin mengenyahkan segala kekhawatiran. 8. Tidur dan bangun dalam periode waktu yang teratur setiap hari. Hal ini dilakukan untuk mencegah kekacauan pada waktu tidur. (Sudarno, 2009; Kee and Hayes, 1996)

2.4.2 Terapi farmakologi Selain dilakukan pengobatan secara kausal untuk mengobati gejala gangguan tidur atau insomnia, penderita insomnia juga dapat diterapi dengan pemberian obat golongan sedatif hipnotik (Japardi, 2002). Sedatif dan hipnotik adalah senyawa yang dapat menekan sistem saraf pusat sehingga menimbulkan efek sedasi lemah sampai tidur pulas. Sedatif adalah senyawa yang menimbulkan sedasi, yaitu suatu keadaan terjadinya penurunan kepekaan terhadap rangsangan dari luar karena adanya penekanan pada sistem saraf pusat. Sedatif digunakan untuk menekan kecemasan yang diakibatkan oleh ketegangan emosi dan tekanan kronik (Siswandono dan Soekardjo, 2008). Hipnotik digunakan untuk pengobatan gangguan tidur seperti insomnia. Kelebihan dosis dapat menimbulkan koma dan kematian karena terjadi depresi pusat medula yang vital di otak. Pengobatan jangka panjang dapat menyebabkan ketergantungan obat (Siswandono dan Soekardjo, 2008). Obat sedatif hipnotik menimbulkan rangkaian efek depresan SSP mulai dari sedasi ringan, meredakan ansietas sampai anestesi dan koma (Katzung, 2011). a. Turunan barbiturat Asam barbiturat adalah hasil kondensasi asam malonat dan urea (Staf Pengajar Departemen Farmakologi, 2009). Turunan barbiturat merupakan sedatif yang banyak digunakan sebelum ditemukannya turunan benzodiazepin. Mekanisme kerja turunan barbiturat yaitu bekerja dengan meningkatkan respon GABA dan meniru kerja GABA dengan membuka saluran klorida pada keadaan tanpa GABA sehingga menghasilkan siatu peningkatan inhibisi SSP (Stringer, 2008). Barbiturat digolongan berdasarkan durasi kerjanya. Tiopental merupakan obat yang bekerja sangat singkat (beberapa menit); pentobarbital, sekobarbital dan amobarbital adalah obat-obat yang bekerja singkat (beberapa jam) dan fenobarbital adalah obat yang bekerja lama (beberapa hari) (Stringer, 2008). b. Turunan non benzodiazepin Turunan non benzodiazepin adalah pilihan obat alternatif yang digunakan untuk pasien yang tidak boleh menerima terapi dari turunan benzodiazepine karena tidak diinginkan timbulnya ketergantungan psikis dan fisik pada penggunaan jangka panjang. Obat-obatan yang termasuk turunan nonbenzodiazepin antara lain antihistamin (difenhidramin, doxylamin, pyrilamin), antidepresan (amitryptilin, doxepin, nortriptyline) dan senyawa-senyawa yang berefek hipnotik seperti benzodiazepin (zolpidem, zaleplon) (Katzung, 2011).

c. Turunan benzodiazepin Turunan benzodiazepin adalah obat pilihan yang banyak digunakan sebagai sedatif hipnotik karena mempunyai efikasi dan batas keamanan yang lebih besar dibandingkan dengan turunan sedatif hipnotik yang lain. Selain efek sedatif hipnotik, benzodiazepin juga mempunyai efek menghilangkan ketegangan, kegelisahan dan insomnia. Penggunaan jangka panjang, terutama dalam dosis tinggi dapat menimbulkan ketergantungan fisik dan mental (Siswandono dan Soekardjo, 2008). Efek farmakologis benzodiazepin merupakan akibat aksi gama aminobutyric acid (GABA) sebagai neurotransmiter penghambat di otak. Benzodiazepin akan meningkatkan kepekaan reseptor GABA terhadap neurotransmitter penghambat sehingga kanal klorida terbuka dan terjadi hiperpolarisasi post sinaptik membran sel dan mendorong post sinaptik membran sel tidak dapat dieksitasi. Hal ini akan menghasilkan efek ansiolisis dan sedasi (Schmitz et al., 2009). Berdasarkan kecepatan metabolismenya, obat benzodizepin dapat dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu zat-zat long acting, short acting dan ultra short acting. Zat long acting antara lain klordiazepoksid, diazepam, nitrazepam dan flurazepam; zat short acting antara lain oksazepam, lorazepam, lormetazepam, temazepam, loprazolam dan zopiclon, sedangkan zat ultra short acting antara lain triazolam, midazolam dan estazolam (Stringer, 2008).

BAB III CASE STUDY DAN ANALISISNYA

3.1 Identitas Pasien Nama Pasien Umur Diagnosa 3.2 Subjektif Keluhan Utama Keluhan Tambahan 3.3 Objektif Tanda-tanda vital dalam batas normal. : Tidak dapat tidur lelap, terbangun dengan rasa lelah keesokan harinya. : Selalu merasa cemas sepanjang hari, mata perih dan berair, tidak fokus pada pekerjaannya, mata tampak berkantung. : Tuan A.G : 40 tahun : Gangguan tidur (insomnia)

3.4 Assesment 3.4.1 Terapi Pasien Berdasarkan diagnosa dari dokter, Tuan A.G menderita penyakit gangguan tidur (insomnia). Insomnia yang dialami oleh Tuan A.G kemungkinan disebabkan oleh adanya tekanan dari pekerjaan yang sedang dia lakukan. Untuk mengobati penyakitnya tersebut, Tuan A.G diberikan terapi diazepam dengan dosis 10 mg sekali sehari pada malam hari.

3.4.2 Problem medik dan DRP pasien Problem medik Insomnia (gangguan tidur) Subjektif dan Objektif Terapi Subjektif: Tidak dapat Tablet diazepam 10 tidur lelap, terbangun mg, sekali sehari dengan rasa lelah pada malam hari keesokan harinya, mata perih dan berair, tidak fokus pada pekerjaannya, tampak kantung mata pada bagian bawah mata. Objektif: Ansietas (gangguan Subjektif: selalu merasa kecemasan) cemas sepanjang hari Objektif: DRP Dosis obat yang diberikan terlalu tinggi

3.4.3 Pertimbangan pengatasan DRP Terapi diazepam yang diberikan kepada Tuan A.G untuk mengobati penyakit gangguan tidur (insomnia) yang disertai dengan ansietas sudah rasional, hanya saja pemberian dosis diazepam sebanyak 10 mg dirasa masih kurang tepat karena dosisnya terlalu tinggi. Maka dari itu, dosis diazepam diturunkan menjadi 5 mg/hari pada malam hari atas pertimbangan bahwa terapi diazepam harus dimulai dari dosis terkecil untuk menghindari terjadinya efek ketergantungan dan toleransi obat.

3.5. Plan 3.5.1 Care plan a. Terapi farmakologi Pemberian informasi kepada pasien mengenai dosis obat, cara pemakaian dan waktu pemakaiannya. Pemberian informasi dan konseling mengenai efek samping obat yang mungkin terjadi. b. Terapi non farmakologi Menyarankan pasien untuk merubah life style yang dapat menginduksi insomnia. Menyarankan pasien untuk melakukan terapi psikologis.

3.5.2 Implementasi care plan Diazepam diminum satu kali sehari sebanyak 5 mg dimana pemberiannya dilakukan 15-30 menit sebelum tidur. Obat diazepam dapat menyebabkan efek samping ketergantungan, gangguan mental, deperesi pernapasan, bingung, gangguan saluran cerna dan gangguan penglihatan. Menganjurkan pasien agar tetap pada regimen obat dan tidak menghentikan obat secara mendadak. Menganjurkan pasien agar tidak merokok dan tidak mengkonsumsi kafein karena bersifat stimulan dan dapat mengurangi efektivitas obat. Selain itu, pasien dianjurkan untuk tidak mengkonsumsi alkohol dan obat-obat penekan SSP lain sewaktu menggunakan obat. Menginformasikan pasien mengenai cara-cara untuk mengendalikan stres dan kecemasan yang berlebihan seperti melakukan teknik relaksasi.

3.5.3 Monitoring Tuan A.G diharapkan datang kembali untuk memantau perkembangan penyakitnya setelah diterapi dengan diazepam selama 3 hari. Apabila terapi sudah efektif, maka pengobatan dengan diazepam akan perlahan-lahan dikurangi dengan penurunan dosis. Namun, apabila selama 3 hari pemakaian diazepam Tuan A.G masih mengeluh insomnia dan mengalami kecemasan saat bekerja, maka pengobatan dengan diazepam akan dilanjutkan selama 1-2 minggu dengan dosis dan frekuensi pemberian yang sama. Efektivitas terapi dan efek samping yang terjadi pada pasien, dapat dimonitoring dengan melihat kartu efektivitas dan intensitas efek samping yang harus diisi pasien tiap hari setiap hari setelah pemakaian obat. Monitoring terhadap pengobatan Tuan A.G dapat dilihat sebagai berikut: A. Efektivitas terapi a. Kondisi klinik Efektivitas terapi yang dapat diamati dari penggunaan diazepam oleh pasien adalah dengan adanya perbaikan kualitas tidur serta menurunnya tingkat kecemasan pasien. Hal ini juga nantinya akan berkaitan dengan berkurangnya keluhan mata perih dan berair, terbangun dengan rasa lelah keesokan harinya, tidak fokus pada pekerjaan dan tampak kantung mata pada bagian bawah mata. b. Tanda-tanda vital Tanda-tanda vital yang dapat diamati dan dimonitoring untuk mengetahui efektivitas terapi pada pasien yaitu tekanan darah, suhu tubuh, denyut nadi dan kecepatan pernapasan. c. Laboratorium Pemeriksaan laboratorium yang dapat dijadikan patokan untuk mengetahui efektivitas terapi dari pengobatan insomnia misalnya electroencephalogram (EEG), electromyogram (EMG), electrooculagram (EOG).

Tabel efektivitas terapi pengobatan Efektivitas terapi Tingkat Keluhan mata kecemasan perih dan berair menurun berkurang Keluhan terbangun dengan rasa lelah berkurang

Hari/Tgl

Kualitas tidur baik

Keterangan: () : ya atau pengobatan efektif (X) : tidak atau pengobatan tidak efektif

B. Efek samping Keparahan efek samping yang ditimbulkan dari penggunaan obat dapat dilihat dari tabel intensitas efek samping obat. Intensitas efek samping Obat Hari/Tgl Gangguan penglihatan Gangguan pencernaan Depresi pernapasan Vertigo Kelemahan otot

Keterangan: Pengisian intensitas efek samping obat Tidak ada efek samping Efek samping ringan Efek samping sedang Efek samping berat ::+ : ++ : +++

Jika efek samping yang terjadi tergolong kategori berat, maka segera konsultasikan kondisi kesehatan ke dokter.

3.6 Pembahasan Benzodiazepin merupakan golongan obat sedatif-hipnotik yang diindikasikan untuk terapi insomnia disertai ansietas. Diantara obat sedatif-hipnotik, benzodiazepin lebih dipilih dibandingkan golongan lain seperti barbiturat dan alkohol. Peningkatan dosis obat barbiturat dan alkohol lebih dari yang diperlukan untuk hipnosis dapat menimbulkan keadaan anestesi umum. Jika dosis ditingkatkan lagi, maka dapat menekan pusat pernapasan dan pusat fase motor di medula oblongata, menimbulkan koma dan kematian (Katzung, 2011). Diazepam merupakan salah satu contoh obat yang berasal dari golongan benzodiazepin yang memiliki efek sedatif-hipnotik, ansiolitik dan antikonvulsan dengan waktu paruh eliminasi yang panjang yakni 20-50 jam. Obat ini biasanya diberikan pada pasien yang mengalami status epileptikus, ansietas atau insomnia, konvulsi akibat keracunan, kejang demam, dan spasme otot (McEvoy, 2002). Jika diindikasikan untuk mengobati penyakit insomnia akibat ansietas, dosis diazepam yang dapat diberikan kepada pasien adalah 5-15 mg, sekali sehari pada malam hari (IONI, 2008).

Tuan A.G mengalami insomnia yang dapat disebabkan karena pengaruh kecemasan akibat tekanan pekerjaan. Jika dilihat dari keluhan yang dia derita, insomnia yang dialami Tuan A.G masih dapat dikatakan insomnia ringan dan dapat segera hilang apabila penyebabnya teratasi (deadline pekerjaan sudah terlewati). Penggunaan obat benzodiazepin untuk mengatasi insomnia yang diakibatkan oleh ansietas sebaiknya dimulai dari dosis yang paling kecil untuk menghindari terjadinya ketergantungan obat dan risiko toleransi (Sudoyo dkk., 2006). Maka dari itu, dosis diazepam yang diberikan kepada Tuan A.G sebaiknya dimulai dari dosis terkecil yakni 5 mg/hari pada malam hari. Penggunaan diazepam sebanyak satu kali sehari pada malam hari mampu mengatasi gangguan tidur Tuan A.G dan gangguan kecemasan pada keesokan harinya. Hal ini karena waktu paruh eliminasi obat diazepam yang panjang menyebabkan adanya akumulasi obat di dalam tubuh sehingga dihasilkan efek sedasi pada hari berikutnya. Selain itu, frekuensi pemberian dosis obat dengan waktu paruh yang panjang memang perlu dikurangi untuk mencegah rebound diantara pemberian dosis obat (Kee and Hayes, 2000; Dipiro et al., 2009). Monitoring yang ketat perlu dilakukan pada tiga malam pertama penggunaan diazepam. Apabila setelah malam ketiga, kondisi tidur Tuan A.G sudah membaik, maka konsumsi obat dapat perlahan-lahan dikurangi dengan menurunkan dosisnya. Namun, apabila setelah 3 hari kondisinya belum membaik, maka terapi dilanjutkan hingga 1-2 minggu (Kee and Hayes, 2000; Tjay dan Rahardja, 2007).

BAB IV KESIMPULAN

1. Penggunaan diazepam (benzodiazepin) pada kasus Tuan A.G sudah rasional kerena diazepam memiliki indikasi untuk mengobati insomnia yang disertai dengan ansietas. 2. Pemberian diazepam pada Tuan A.G diturunkan dosisnya dari 10 mg/hari menjadi 5 mg/hari pada malam hari karena terapi menggunakan obat golongan benzodiazepine harus dimulai dari dosis terkecil untuk menghindari terjadinya efek ketergantungan dan toleransi obat.

LAMPIRAN

1. Diazepam Indikasi : pemakaian jangka pendek pada ansietas dan insomnia (IONI, 2008). Mekanisme : berikatan dengan reseptor benzodiazepin spesifik di otak untuk menghambat neotransmisi yang dilakukan GABA di sinaps semua saraf otak dan blokade dari pelepasan muatan listrik (Tjay dan Rahardja, 2008). Kontraindikasi : hipersensitivitas pada diazepam, depresi pernafasan, gangguan hati berat, kondisi fobia dan obsesi, glaukoma, serangan asma akut, trimester pertama kehamilan, bayi prematur dan tidak boleh digunakan pada kasus ansietas dengan depresi (IONI, 2008; Lacy et al., 2011). Efek Samping : mengantuk, kelemahan otot, gangguan mental, amnesia, ketergantungan, depresi pernafasan, kadang-kadang terjadi nyeri kepala, vertigo, hipotensi, gangguan saluran cerna, ruam, gangguan penglihatan dan retensi urin (IONI, 2008). Dosis : untuk ansietas 2 mg 3 kali/hari, dinaikkan bila perlu sampai 15-30 mg/hari dalam dosis terbagi. Untuk insomnia yang disertai ansietas, dosis 5-15 mg sebelum tidur (IONI, 2008). Sediaan yang beredar : -Diazepam (generik) tablet 2 mg, 5 mg. -Lovium (Phapros) tablet 2 mg, 5 mg. -Mentalium (Soho) tablet 2 mg, 5 mg, 10 mg. -Paralium (Prafa) cairan injeksi 5 mg/mL. -Trankinon (Combiphar) tablet 2 mg, 5 mg. -Valium (Roche Indonesia) tablet 2 mg, 5 mg. -Validex (Dexa Medica) tablet 2 mg, 5 mg. -Valisanbe (Sanbe) tablet 2 mg, 5 mg. Interaksi Obat : menimbulkan efek aditif bila digunakan bersama obat depresan SSP, alkohol, analgesik opioid, antikonvulsan, dan fenotiazin (Katzung, 2011).

DAFTAR PUSTAKA American Psychiatric Association. 2000. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder. Fourth Edition. Arlington: American Psychiatric Publishing, Inc. BPOM RI. 2008. Informatorium Obat Nasional Indonesia. Jakarta: Badan Pengawas Obat dan Makanan. Dipiro, J. T., B.G. Wells, T.L. Schwinghammer and C.V. Dipiro. 2009. Pharmacotherapy Handbook. Seventh Edition. USA: The McGraw-Hill Companies. Fauci, A.S., D.L. Kasper., E. Braunwald., S.L. Hauser., D.L. Longo., J.L. Jameson., and J. Loscalzo. 2004. Harrisons Principles of Internal Medicine. 17th Edition. The McGrawHill Companies, Inc. Haryono, A., A. Rindiarti, A. Ariyanti, A. Pawitri, A. Ushuluddin, A. Setiawati, A. Reza, C.W. Wawolumaja dan R. Sekartini. 2009. Prevalensi Gangguan Tidur pada Remaja Usia 12-15 tahun di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama. Sari Pediatri 11 (3). Japardi, I. 2002. Gangguan Tidur. Medan: Fakultas Kedokteran Bagian Bedah Universitas Sumatera Utara. Katzung, B.G. 2011. Farmakologi Dasar dan Klinik. Edisi 10. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Kee, J.L. and E.R. Hayes. 2000. Farmakologi: Pendekatan Proses Keperawatan. Lacy, C.F., L.L. Amstrong, M.P. Goldman and L. L. Lance. 2011. Drug Information Handbook. Twentieth Edition. United States: Lexi-Comp Inc. McEvoy, G.K. 2002. AHFS Drug Information. American Society of Health System Pharmcists. United State of America. Rafiudin, R. 2004. Insomnia dan Gangguan Tidur Lainnya. Jakarta: Elex Media Komputindo. Schmitz, G., H. Lepper and M. Heidrich. Farmakologi dan Toksikologi. Edisi Tiga. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Siswandono dan B. Soekardjo. 2008. Kimia Medisinal. Edisi II. Surabaya: Airlangga University Press. Sudarno, P. 2009. Manajemen Terapi Motivasi: Sehat Tanpa Obat. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Sudoyo, A. W., B. Setiyohadi, Idrus Alwi, M. Simadibrata, S. Setiati. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Staf Pengajar Departemen Farmakologi. 2009. Kumpulan Kuliah Farmakologi. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Stringer, J.L. 2008. Konsep Dasar Farmakologi: Panduan Untuk Mahasiswa. Edisi Tiga. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC. Videbeck, S.L. 2008. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Anda mungkin juga menyukai