Anda di halaman 1dari 40

REFERAT

PENAGANAN CEDERA KEPALA


Pembimbing : dr. Gumar Jaya Saleh Sp.BS

ERSHINE VILLANY 030.05.087

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN BEDAH PERIODE 22MAret- 29 Mei 2010 RUMAH SAKIT OTORITA BATAM UNIVERSITAS TRISAKTI JAKARTA 2010

LEMBAR PENGESAHAN
Referat dengan judul : Penanganan Cedera Kepala Telah diterima dan disetujui pada tanggal Mei 2010 oleh

pembimbing sebagai salah satu syarat menyelesaikan kepaniteraan klinik ilmu kesehatan anak di RS Otorita Batam

Jakarta, Mei 2010

(dr. Gumar Jaya Saleh Sp.BS)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada TUHAN Yang Maha Esa atas rahmatNya sehingga referat yang berjudul Penanganan Cedera Kepala ini dapat terselesaikan. Referat ini ditulis sebagai salah satu tugas dalam kepaniteraan klinik Ilmu Kesehatan Anak di Rumah Sakit Otorita Batam pada periode 22 Maret 2010 29 Mei 2010. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada dr. Gumar Jaya Saleh r], Sp.BS selaku pembimbing dalam penyusunan referat ini. Penulis juga menyadari bahwa masih banyak terdapat kekurangan dalam penyusunan referat ini, oleh sebab itu saran dan kritik yang membangun sangat diharapkan. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih dan semoga referat ini dapat berguna bagi para pembacanya.

Batam,Mei 2010

Penulis

DAFTAR ISI 3

LEMBARPENGESAHAN.......i KATA PENGANTAR... .....ii DAFTAR ISI......iii BAB I : PENDAHULUAN. .1 BAB II : .... .2

ANATOMI KEPALA.........................................................................2 PATOFISIOLOGI...............................................................................5 KLASIFIKASI CEDERA KEPALA..................................................10 PENGELOLAAN CEDERAKEPALA DI UGD...............................15 PRINSIP PENANGANAN CEDERA KEPALA...............................20 KOMPLIKASI CEDERA KEPALA..................................................30 PROGNOSIS CEDERA KEPALA.....................................................32 BAB III : KESIMPULAN............................34 DAFTAR PUSTAKA...

BAB I PENDAHULUAN
4

Statistik dari negara-negara yang sudah maju menunjukkan bahwa cedera kepala mencakup 26% dan jumlah segala macam kecelakaan yang mengakibatkan seorang tidak bisa bekerja lebih dari satu hari sampai selama jangka panjang kurang lebih 33% kecelakaan yang berakhir pada kematian menyangkut cedera kapitis. Di luar medan peperangan lebih dari 50% dari cedera kapitis terjadi karena kecelakaan lalu lintas, selebihnya dikarenakan pukulan atau jatuh. Orang-orang yang mati karena kecelakaan antara 40% sampai 50% meninggal sebelum mereka tiba di rumah sakit. Dan mereka yang dimasukkan dalam keadaan masih hidup 40% meninggal dalam satu hari dan 35 % meninggal dalam satu minggu dalam perawatan Jika kita meneliti sebab dari kematian dan cacat yang menetap akibat cedera kapitis, maka 50% ternyata disebabkan oleh cedera secara langsung dan 50% yang tersisa disebabkan oleh gangguan peredaran darah sebagai komplikasi yang terkait secara tidak langsung pada cedera. Cedera kepala baik terbuka maupun tertutup dapat mengganggu fungsi otak, yang pada akhirnya mungkin dapat menyebabkan kematian atau meninggalkan kecacatan. Berbagai macam akibat dari cedera kepala telah dikenal, misalnya komosio serebri, kontusio serebri, perdarahan epidura, perdarahan subdura, perdarahan intraserebral dan laserasi serebri. Dengan istilah komosio dan kontusio masalah gangguan kesadaran, sedangkan bentuk-bentuk perdarahan menyangkutkan masalah massa yang pada penanganannya nanti bila memang diperlukan akan melibatkan ahli bedah saraf. Dalam kaitannya dengan gangguan kesadaran ini, telah dikenal istilah-istilah somnolen, sopor, koma dan sebagainya yang kesemuanya tadi adalah merupakan penilaian yang bersifat kualitatif, sehingga masih memungkinkan terjadinya perbedaan penilaian antara pemeriksa yang satu dengan yang lain. Dengan adanya Glasgow Coma Scale sebagai pengukur derajat gangguan kesadaran yang telah dipakai sejak 20 tahun yang lalu dan bersifat kuantitatif, maka penilaian gangguan kesadaran menjadi lebih obyektif. Dalam manajemen cedera kepala, penilaian gangguan kesadaran dengan Glasgow Coma Scale ini memegang peran utama. 5

Untuk keperluan klinis, berdasarkan skala ini cedera kepala dibedakan menjadi cedera kepala ringan, sedang dan berat yang penanganannya akan diuraikan secara singkat dalam makalah ini.

BAB II

ANATOMI KEPALA
A. Kulit Kepala Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin atau kulit, connective tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau galea aponeurotika, loose conective tissue atau jaringan penunjang longgar dan pericranium. 3,4

B. Tulang Tengkorak Tulang tengkorak terdiri dari kubah (kalvaria) dan basis kranii 5,6. Tulang tengkorak terdiri dari beberapa tulang yaitu frontal, parietal, temporal dan oksipital. Kalvaria khususnya di regio temporal adalah tipis, namun di sini dilapisi oleh otot temporalis. Basis kranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi dan deselerasi. Rongga tengkorak dasar dibagi atas 3 fosa yaitu : fosa anterior tempat lobus frontalis, fosa media tempat temporalis dan fosa posterior ruang bagi bagian bawah batang otak dan serebelum.

C. Meningen Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3 lapisan yaitu : 1. Duramater Duramater secara konvensional terdiri atas dua lapisan yaitu lapisan endosteal dan lapisan meningeal. Duramater merupakan selaput yang keras, terdiri atas jaringan ikat fibrisa yang melekat erat pada permukaan dalam dari kranium. Karena tidak melekat pada selaput arachnoid di bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (ruang subdura) yang terletak antara duramater dan arachnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural. Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut Bridging Veins, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan subdural. Sinus sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus sigmoideus. Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat. Arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam dari kranium (ruang epidural). 7

Adanya fraktur dari tulang kepala dapat menyebabkan laserasi pada arteri-arteri ini dan menyebabkan perdarahan epidural. Yang paling sering mengalami cedera adalah arteri meningea media yang terletak pada fosa temporalis (fosa media).

2. Selaput Arakhnoid Selaput arakhnoid merupakan lapisan yang tipis dan tembus pandang.Selaput arakhnoid terletak antara pia mater sebelah dalam dan dura mater sebelah luar yang meliputi otak. Selaput ini dipisahkan dari dura mater oleh ruang potensial, disebut spatium subdural dan dari pia mater oleh spatium subarakhnoid yang terisi oleh liquor serebrospinalis. Perdarahan sub arakhnoid umumnya disebabkan akibat cedera kepala.

3. Pia mater Pia mater melekat erat pada permukaan korteks serebri.. Pia mater adarah membrana vaskular yang dengan erat membungkus otak, meliputi gyri dan masuk kedalam sulci yang paling dalam. Membrana ini membungkus saraf otak dan menyatu dengan epineuriumnya. Arteri-arteri yang masuk kedalam substansi otak juga diliputi oleh pia mater.5

D. Otak Otak merupakan suatu struktur gelatin yang mana berat pada orang dewasa sekitar 14 kg. Otak terdiri dari beberapa bagian yaitu; proensefalon (otak depan) terdiri dari serebrum dan diensefalon, mesensefalon (otak tengah) dan rhombensefalon (otak belakang) terdiri dari pons, medula oblongata dan serebellum. Fisura membagi otak menjadi beberapa lobus.7 Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan pusat ekspresi bicara. Lobus parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Lobus temporal mengatur fungsi memori tertentu. Lobus oksipital bertanggung jawab dalam proses penglihatan. Mesensefalon dan pons bagian atas berisi sistem aktivasi retikular yang berfungsi dalam kesadaran dan kewapadaan. Pada medula oblongata terdapat pusat kardiorespiratorik. Serebellum bertanggung jawab dalam fungsi koordinasi dan keseimbangan.

E. Cairan serebrospinalis Cairan serebrospinal (CSS) dihasilkan oleh plexus khoroideus dengan kecepatan produksi sebanyak 20 ml/jam. CSS mengalir dari dari ventrikel lateral melalui foramen monro menuju ventrikel III, dari akuaduktus sylvius menuju ventrikel IV. CSS akan direabsorbsi ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang terdapat pada sinus sagitalis superior. Adanya darah dalam CSS dapat menyumbat granulasio arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan takanan intracranial.3 Angka rata-rata pada kelompok populasi dewasa volume CSS sekitar 150 ml dan dihasilkan sekitar 500 ml CSS per hari.9

PATOFISIOLOGI
Cedera kepala dapat terjadi akibat benturan langsung atau tanpa benturan langsung pada kepala. Kelainan dapat berupa cedera otak fokal atau difus dengan atau tanpa fraktur tulang tengkorak. Cedera fokal dapat menyebabkan memar otak, hematom epidural, subdural dan intraserebral. Cedera difus dapat mengakibatkan gangguan fungsi saja, yaitu

gegar otak atau cedera struktural yang difus. Dari tempat benturan, gelombang kejut disebar ke seluruh arah. Gelombang ini mengubah tekanan jaringan dan bila tekanan cukup besar, akan terjadi kerusakan jaringan Jika terjadi trauma kepala dengan kekuatan/gaya akeselereasi, deselerasi dan rotatorik akan menimbulkan lesi atau perdarahan di berbagai tempat sehingga timbul gejala deficit neurologist berupa babinski yang positif dan GCS kurang dari 15 (Sindrom Otak Organik). Dari trauma kepala tersebut juga bisa terjadi pergerakan, penekanan dan pengembangan gaya kompresi yang destruktif sehingga otak akan membentang batang otak dengan sangat kuat dan terjadi blokade reversible terhadap lintasan assendens retikularis difus serta berakibat otak tidak mendapatkan input afferent yang akhirnya kesadaran hilang selama blockade tersebut berlangsung. Dari trauma kepala tersebut juga bisa berdampak pada sistem tubuh yang lainnya.

DAMPAK PADA SISTEM TUBUH LAINNYA

1.Sistem Kardiovaskuler Trauma kepala bisa menyebabkan perubahan fungsi jantung mencakup aktivitas atipikal miokardial, perubahan tekanan vaskuler dan edema paru. Perubahan otonom pada fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T, P dan disritmia, vibrilisi atrium serta ventrikel takhikardia. Akiba t adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana penurunan tekanan vaskuler pembuluh darah arteriol berkontraksi. Aktivitas myokard berubah termasuk peningkatan frekuensi jantung dan menurunnya stroke work dimana pembacaan pembacaan CVP abnormal. Tidak adanya stimulus endogen saraf simpatis mempengaruhi penurunan kontraktilitas ventrikel. Hal ini bisa menyebabkan terjadinya penurunan curah jantung dan meningkatkan atrium kiri, sehingga tubuh akan berkompensasi dengan meningkatkan tekanan sistolik. Pengaruh dari adanya peningkatan tekanan atrium kiri adalah edema paru.

2.Sistem Respirasi Adanya edema paru pada trauma kepala dan vasokonstriksi paru atau hipertensi paru menyebabkan hiperapneu dan bronkho kontriksi. Terjadinya pernafasan chynestoke dihubungkan dengan adanya sensitivitas yang menigkat pada mekanisme terhadap karbondioksida dan episode pasca hiperventilasi apneu. Konsenterasi oksigen dan karbondioksida dalam darah arteri mempengaruhi aliran darah. Bila tekanan oksigen rendah, aliran darah bertambah karena terjadi vasodilatasi, jika terjadi penurunan tekanan karbondioksida akan menimbulkan alkalosis sehingga terjadi vasokontriksi dan penurunan CBF (Cerebral Blood Fluid). Bila tekanan karbondioksida bertambah akibat gangguan sistem pernafasan akan menyebabkan asidosis dan vasodilatasi. Hal tersebut menyebabkan penambahan CBF yang kemudian terjadi peningkatan tingginya TIK. Edema otak akibat trauma adalah bentuk vasogenik. Pada kontusio otak terjadi robekan pada pembuluh kapiler atau cairan traumatic yang mengandung protein yang berisi albumin. Albumin pada cairan interstisial otak normal tidak didapatkan. Edema otak terjadi karena penekanan pembuluh darah dan jaringan sekitarnya. Edema otak ini dapat menyebabkan kematian otak (iskemia) dan tingginya TIK yang dapat menyebabkan terjadinya herniasi dan penekanan batang otak atau medula oblongata. Akibat penekanan pada medulla oblongata menyebabkan pernafasan ataksia dimana

10

ditandai dengan irama nafas tidak teratur atau pola nafas tidak efektif.

3.Sistem Genito-Urinaria

Pada trauma kepala terjadi perubahan metabolisme yaitu kecenderungan retensi natrium dan air serta hilangnya sejumlah nitrogen. sedikit dan Meningkatnya Retensi Cairan Trauma Haluaran Urin

Pelepasan ADH konsentrasi elektrolit.

Retensi natrium juga disebabkan karena adanya stimulus terhadap hipotalamus, yang menyebabkan pelepasan ACTH dan sekresi aldosteron. Ginjal mengambil peran dalam proses hemodinamik ginjal untuk mengatasi retensi cairan dan natrium. Setelah tiga sampai 4 hari retensi cairan dan natrium mulai berkurang dan pasca trauma dapat timbul hiponatremia. Untuk itu, selama 3-4 hari tidak perlu dilakukan pemberian hidrasi. Hal tersebut dapat dilihat dari haluaran urin. Pemeberian cairan harus hati hati untuk mencegah TTIK. Demikian pula sangatlah penting melakukan pemeriksaan serum elektrolit. Hal ini untuk mengantisipasi agar tiadk terjadi kelainan pada kardiovaskuler. Peningkatan hilangnya nitrogen adalah signifikan dengan respon metabolic terhadap trauma, karena dengan adanya trauma tubuh memerlukan energi untuk menangani perubahan perubahan seluruh sistem tubuh. Namun masukan makanan kurang, maka akan terjadi pengahncuran protein otot sebagai sumber nitrogen utama. Hal ini menambah terjadinya asidosis metabolik karena adanya metabolisme anaerob glukosa. Dalam hal ini diperlukan masukan makanan yang disesuaikan dengan perubahan metabolisme yang terjadi pada trauma. Pemasukan makanan pada trauma kepala harus mempertimbangkan tingkat kesadaran pasien atau kemampuan melakukan reflek menelan.

4. Sistem Pencernaan Setelah trauma kepala ( 3 hari) terdapat respon tubuh yang merangsang aktivitas hipotalamus dan stimulus vagal. Hal ini akan merangsang lambung untuk terjadi hiperasiditas. Hipotalamus merangsang anterior hipofise untuk mengeluarkan steroid adrenal. Hal ini adalah kompensasi tubuh untuk menangani edema serebral, namun pengaruhnya terhadap lambung adalah terjadinya peningkatan ekskresi asam lambung yang menyebabkan hiperasiditas. Selain itu juga hiperasiditas terjadi karena adanya peningkatan pengeluaran katekolamin dalam menangani stress yang 11

mempengaruhi produksi asam lambung. Jika hiperasiditas ini tidak segera ditangani, akan menyebabkan perdarah lambung.

5. Sistem Muskuloskeletal Akibat utama dari cederaotak berat dapat mempengaruhi gerakan tubuh. Hemisfer atau hemiplegia dapat terjadi sebagai akibat dari kerusakan pada area motorik otak. Selain itu, pasien dapat mempunyai control vaolunter terhadap gerakan dalam menghadapi kesulitan perawatan diri dan kehidupan sehari hari yang berhubungan dengan postur, spastisitas atau kontraktur. Gerakan volunter terjadi sebagai akibat dari hubungan sinapsis dari 2 kelompok neuron yang besar. Sel saraf pada kelompok pertama muncul pada bagian posterior lobus frontalis yang disebut girus presentral atau strip motorik . Di sini kedua bagian saraf itu bersinaps dengannkelompok neuron neuron motorik bawah yang berjalan dari batang otak atau medulla spinalis atau otot otot tertentu. Masing masing dari kelompok neuron ini mentransmisikan informasi tertentu pada gerakan. Sehingga ,pasien akan menunjukan gejala khusus jika ada salah satu dari jaras neuron ini cidera. Pada disfungsi hemisfer bilateral atau disfungsi pada tingkat batang otak, terdapat kehilangan penghambatan serebral dari gerakan involunter. Terdapat gangguan tonus otot dan penamilan postur abnormal, yang pada saatny dapat membuat komplikasi seperti peningkatan saptisitas dan kontraktur.

12

Cedera kepala TIK Respon biologi

Odema hematoma

Hipoksemia Kelainan metabolisme

Cedera otak primer

cedera otak sekunder

Kontusio cerebri

Kerusakan ced otak

Gangguan autoregulasi Aliran darah ke otak

rangsangan simpatis tahanan vaskuler Sistemik &TD tek pemb. Darah

stress katekolamin sekresi asam lambung

O2 gg. Metabolisme

mual, muntah

Asam laktat

tekanan hidrostatik

asupan nutrisi

Odema otak

kebocoran cairan kapiler

Gangguan perfusi jaringan Cerebral

Odema paru Difusi O2 terhambat ggn. Perfusi jaringan Ggn. Pola napas hipoksemia, hiperkapnea

KLASIFIKASI CEDERA KEPALA 13

1. Simple Head Injury Diagnosa simple head injury dapat ditegakkan berdasarkan: Ada riwayat trauma kapitis Tidak pingsan Gejala sakit kepala dan pusing Umumnya tidak memerlukan perawatan khusus, cukup diberi obat simptomatik dan cukup istirahat. 2. Commotio Cerebri Commotio cerebri (geger otak) adalah keadaan pingsan yang berlangsung tidak lebih dari 10 menit akibat trauma kepala, yang tidak disertai kerusakan jaringan otak. Pasien mungkin mengeluh nyeri kepala,

vertigo, mungkin muntah dan tampak pucat. Vertigo dan muntah mungkin disebabkan gegar pada labirin atau terangsangnya pusat-pusat dalam batang otak. Pada commotio cerebri

mungkin pula terdapat amnesia retrograde, yaitu hilangnya ingatan sepanjang masa yang terbatas sebelum terjadinya kecelakaan. Amnesia ini timbul akibat terhapusnya rekaman kejadian di lobus temporalis. Pemeriksaan tambahan yang selalu dibuat adalah foto tengkorak, EEG, pemeriksaan memori. Terapi simptomatis, perawatan selama 3-5 hari untuk observasi kemungkinan terjadinya komplikasi dan mobilisasi bertahap.

3. Contusio Cerebri Pada contusio cerebri (memar otak) terjadi perdarahan-perdarahan di dalam jaringan otak tanpa adanya robekan jaringanyang kasat mata, meskipun neuron-neuron mengalami kerusakan atau terputus. Yang penting untuk

terjadinya lesi contusion ialah adanya akselerasi kepala yang seketika itu juga menimbulkan pergeseran otak serta pengembangan gaya kompresi yang destruktif. Akselerasi yang kuat berarti pula hiperekstensi kepala. Oleh

karena itu, otak membentang batang otak terlalu kuat, sehingga menimbulkan blockade reversible terhadap lintasan asendens retikularis difus. Akibat

blockade itu, otak tidak mendapat input aferen dan karena itu, kesadaran hilang selama blockade reversible berlangsung. Timbulnya lesi contusio di daerah coup , contrecoup, dan intermediatemenimbulkan gejala deficit neurologik yang bisa berupa 14

refleks babinsky yang positif dan kelumpuhan UMN. Setelah kesadaran puli kembali, si penderita biasanya menunjukkan organic brain syndrome. Akibat gaya yang dikembangkan oleh mekanisme-mekanisme yang beroperasi pada trauma kapitis tersebut di atas, autoregulasi pembuluh darah cerebral terganggu, sehingga terjadi vasoparalitis. Tekanan darah menjadi

rendah dan nadi menjadi lambat, atau menjadi cepat dan lemah. Juga karena pusat vegetatif terlibat, maka rasa mual, muntah dan gangguan pernafasan bisa timbul. Pemeriksaan penunjang seperti CT-Scan berguna untuk melihat letak lesi dan adanya kemungkinan komplikasi jangka pendek. Terapi dengan

antiserebral edem, anti perdarahan, simptomatik, neurotropik dan perawatan 7-10 hari. 4. Laceratio Cerebri Dikatakan laceratio cerebri jika kerusakan tersebut disertai dengan robekan piamater. Laceratio biasanya berkaitan dengan adanya perdarahan subaraknoid traumatika, subdural akut dan intercerebral. dibedakan atas laceratio langsung dan tidak langsung. Laceratio langsung disebabkan oleh luka tembus kepala yang disebabkan oleh benda asing atau penetrasi fragmen fraktur terutama pada fraktur depressed terbuka. Sedangkan laceratio tidak langsung disebabkan Laceratio dapat

oleh deformitas jaringan yang hebat akibat kekuatan mekanis.

5. Fracture Basis Cranii Fractur basis cranii bisa mengenai fossa anterior, fossa media dan fossa posterior. yang terkena. Fraktur pada fossa anterior menimbulkan gejala: Hematom kacamata tanpa disertai subkonjungtival bleeding Epistaksis Rhinorrhoe Fraktur pada fossa media menimbulkan gejala: Hematom retroaurikuler, Ottorhoe Perdarahan dari telinga Gejala yang timbul tergantung pada letak atau fossa mana

15

Diagnosa ditegakkan berdasarkan gejala klinik dan X-foto basis kranii. Komplikasi : Gangguan pendengaran Parese N.VII perifer Meningitis purulenta akibat robeknya duramater Fraktur basis kranii bisa disertai commotio ataupun contusio, jadi terapinya harus disesuaikan. Pemberian antibiotik dosis tinggi untuk mencegah infeksi. Tindakan operatif bila adanya liquorrhoe yang berlangsung lebih dari 6 hari.

6. Epidural Hematoma

Timbulnya perdarahan / hematoma diruangan antara tengkorak dan duramater yang disebabkan oleh rupturnya arteri meningea media sehingga terjadi kompresi otak. Sering terjadi pada daerah temporal. Ditemukan adanya lusid interval pada 50% kasus yaitu pada saat kejadian pasien tidak pingsan/ pingsan sebentar/ hanya nyeri kepala sebentar lalu membaik dengan sendirinya, tetapi beberapa jam kemudian gejala menjadi progresif, nyeri kepala , pusing, kesadaran menurun hingga koma. Gejala klinis : Gejala fokal, akibat herniasi tentorial timbul hemiparese, monoparese, tonus meninggi, refleks patologi (+) pada daerah kontralateral midriasis yang homolateral akibat penekanan N. III, refleks cahaya direct / indirect (-). Nadi bisa bradikardi karena adanya peningkatan TIK Pemeriksaan fundus : pupil N. II yang homolateral slight oedema. LP : jernih dengan TIK yang tinggi (hati-hati karena bahaya herniasi

7. Subdural hematoma

Yaitu perdarahan yang terjadi antara ruang duramater dengan araknoid akibat trauma kapitis. Merupakan perdarahan venous dari permukaan otak yang berjalan menuju sinus venosus didalam duramater. Gejala-gejala, akut seperti epidural bleeding, bila mengenai vena yang besar atau merupakan 16

perdarahan dari sinus. Bila perdarahan tidak terlalu besar gejala permulaan ringan. Darah akan membeku dan mengalami organisasi, kemudian akan dilapisi oleh kapsel. Gumpalan darah lama akan mencair dan menarik cairan dari sekitarnya sehingga menjadi lebih gembung. Inilah yang menimbulkan gejala-gejala menyerupai tumor serebri/ proses intrakranial yang meninggi. Gejala klinis : menyerupai tumor serebri dimana ditemukan peninggian tekanan intrakranial. Timbul pelan-pelan beberapa minggu sesudah trauma Nyeri kepala timbul yang makin lama makin hebat disertai mual muntah Midriasis homolateral,gangguan visus. Bisa ditemukan adanya tanda-tanda hiperefleksi, hemiparese. Refleks patologi (+) Adanya gangguan psikis seperti mudah tersinggung. Hati-hati melakukan LP karena TIK meninggi.

8. Subarachnoid hematoma

Yaitu perdarahan yang terjadi didalam ruang subarachnoid akibat trauma kapitis yang sering disebabkan oleh kontusio serebri.

Gejala klinis : o timbulnya nyeri kepala di daerah suboksipital secara tiba-tiba o Pusing, mual, muntah o Kesadaran menurun hingga koma o Kaku kuduk (+) o Suhu tubuh meninggi o Refleks patologi (+) o Umumnya terjadi gejala diffus, sekali-sekali bisa o timbul kejang atau gejala fokal

17

9. Intraserebral hematoma Hematoma intraserebral adalah perdarahan yang terjadi di korteks yang menimbulkan lesi desak ruang dan menimbulkan edema kolateral. Terbanyak pada lobus temporalis, selain itu bisa pula pada lobus frontalis dan parietalis, kadangkadang pada serebellum. Asal perdarahan dari arteri. Umumnya penderita tidak

tertolong, perdarahan arteri cepat masuk ke ventrikel dan menekan batang otak, bila hematoma berasal dari vena biasanya dapat tertolong.

Adapun pembagian cedera kepala lainnya: Cedera Kepala Ringan (CKR) termasuk didalamnya Laseratio dan Commotio Cerebri o Skor GCS 13-15 o Tidak ada kehilangan kesadaran, atau jika ada tidak lebih dari 10 menit o Pasien mengeluh pusing, sakit kepala o Ada muntah, ada amnesia retrogad dan tidak ditemukan kelainan pada pemeriksaan neurologist. Cedera Kepala Sedang (CKS) o Skor GCS 9-12 o Ada pingsan lebih dari 10 menit o Ada sakit kepala, muntah, kejang dan amnesia retrogad o Pemeriksaan neurologis terdapat lelumpuhan saraf dan anggota gerak. Cedera Kepala Berat (CKB) o Skor GCS <8 o Gejalnya serupa dengan CKS, hanya dalam tingkat yang lebih berat o Terjadinya penurunan kesadaran secara progesif o Adanya fraktur tulang tengkorak dan jaringan otak yang terlepas.

18

PENGELOLAAN CEDERA KEPALA DI UNIT GAWAT DARURAT

1. Cedera Kepala Ringan ( GCS 13-15)

a. Pasien dalam keadaan sadar Tanpa deficit neurology perawatan luka Pemeriksaan radiology hanya atas indikasi Pasien dipulangkan & keluarga diminta observasi kesadaran bila curiga kesadaran menurun , segera kembali ke RS

b. Kesadaran terganggu sesaat Pasien mengalami penurunan kesadaran sesaat setelah sadar kembali saat diperiksa. Dibuat foto kepala. Rawat luka

Pasien pulang observasi bila curiga kesadaran menurun segera kembali ke RS

c. Keasadaran menurun Perubahan orientasi tanpa deficit fokal Dilakukan pemeriksaan fisik, rawat luka, foto kepala Istrahat baring mobilisasi bertahap terapi simptomatik Observasi minimal 24 jam di RS bila curiga hematoma skennig Otak

Kriteria Rawat: 1. Amnesia posttraumatika jelas (lebih dari 1 jam) 2. Riwayat kehilangan kesadaran (lebih dari 15 menit) 3. Penurunan tingkat kesadaran 4. Nyeri kepala sedang hingga berat 5. Intoksikasi alkohol atau obat 6. Fraktura tengkorak 7. Kebocoran CSS, otorrhea atau rhinorrhea 19

8. Cedera penyerta yang jelas 9. Tidak punya orang serumah yang dapat dipertanggungjawabkan 10. CT scan abnormal

2. Cedera Kepala Sedang

Definisi: Pasien mungkin konfusi atau somnolen namun tetap mampu untu mengikuti perintah sederhana (SKG 9-12). 1. 2.

Periksa & atasi gangguan Airway, Breathing, Circulation. Riwayat: jenis dan saat kecelakaan, kehilangan kesadaran, amnesia, nyeri kepala

3. 4. 5. 6.

Pemeriksaan umum guna menyingkirkan cedera sistemik Pemeriksaan neurologis Radiograf tengkorak Radiograf tulang belakang leher dan lain-lain bila ada indikasi

7. 8. 9. 10.

Contoh darah untuk penentuan golongan darah Tes darah dasar dan EKG CT scan kepala Rawat untuk pengamatan bahkan bila CT scan normal

Setelah dirawat: 1. 2. Pemeriksaan neurologis setiap jam CT scan ulangan hari ketiga atau lebih awal bila ada perburukan neurologis. 3. Pengamatan TIK dan pengukuran lain seperti untuk cedera kepala berat akan memperburuk pasien 4. Kontrol setelah pulang biasanya pada 2 minggu, 3 bulan, 6 bulan dan bila perlu 1 tahun setelah cedera

20

3. Cedera Kepala Berat Definisi: Pasien tidak mampu mengikuti bahkan perintah sederhana karena gangguan kesadaran.

Di Unit Gawat Darurat 1. Riwayat: Usia, jenis dan saat kecelakaan Penggunaan alkohol atau obat-obatan Perjalanan neurologis Perjalanan tanda-tanda vital Muntah, aspirasi, anoksia atau kejang Riwayat penyakit sebelumnya, termasuk obat-obatan yang dipakai serta alergi 2. Stabilisasi Kardiopulmoner: Jalan nafas, intubasi dini Tekanan darah, normalkan segera dengan Salin normal atau darah Foley, tube nasogastrik kateter Film diagnostik: tulang belakang leher, abdomen, pelvis, tengkorak, dada, ekstremiras 3. Pemeriksaan Umum 4. Tindakan Emergensi Untuk Cedera Yang Menyertai: Trakheostomi Tube dada Stabilisasi leher: kolar kaku, tong Gardner-Wells dan traksi Parasentesis abdominal 5. Pemeriksaan Neurologis: Kemampuan membuka mata Respons motor Respons verbal Reaksi cahaya pupil 21

6. Obat-obat Terapeutik: Bikarbonat sodium Fenitoin Steroid Mannitol Hiperventilasi 7. Tes Diagnostik CT scan

22

GCS 8
yes

surgery as indicated

Insert ICP monitor

Maintain CPP
(Age appropriate)

Yes

No

ICP
yes

Sedation & analgesia


Yes No

ICP

Drain CSF if Ventriculotomy present


Consider sepeating CT scan Yes No

ICP Neoromuscular blockade


Yes No

careffuly withdraw ICP treatment

ICP
yes

Mannitol

Hyperosmolar therapy
yes No

ICP
yes

Mild hyperventilation ( Pa CO2 30-35 mmHg)


yes No

ICP
Yes

Second tier theraphy

23

PRINSIP PENANGANAN CEDERA KEPALA

1 . Anamnesis Diagnosis cedera kepala biasanya tidak sulit ditegakkan riwayat kecelakaan lalu lintas, kecelakaan kerja atau perkelahian hampir selalu ditemukan. Pada orang tua dengan kecelakaan yang terjadi di rumah, misalnya jatuh dari tangga, jatuh di kamar mandi atau sehabis bangun tidur, harus dipikirkan kemungkinan gangguan pembuluh darah otak (stroke) karena keluarga kadang-kadang tak mengetahui pasti urutan kejadiannya : jatuh kemudian tidak sadar atau kehilangan kesadaran lebih dahulu sebelum jatuh.

Anamnesis yang lebih terperinci meliputi : 1. 2. 3. Sifat kecelakaan. Saat terjadinya, beberapa jam/hari sebelum dibawa ke rumah sakit. Ada tidaknya benturan kepala langsung.

4. Keadaan penderita saat kecelakaan dan perubahan kesadaran sampai saat diperiksa. Bila si pasien dapat diajak berbicara, tanyakan urutan peris tiwanya sejak sebelum terjadinya kecelakaan, sampai saat tiba di rumah sakit untuk mengetahui kemungkinan adanya amnesia retrograd. Muntah dapat disebabkan oleh tingginya tekanan intrakranial. Pasien tidak selalu dalam keadaan pingsan (hilang/ turun kesadarannya), tapi dapat kelihatan bingung/disorientasi (kesadaran berubah)

2.

Pemeriksaan fisik

Hal terpenting yang pertama kali dinilai ialah status fungsi vital dan status kesadaran pasien. Ini tiaras dilakukan sesegera mungkin bahkan mendahului anamnesis yang teliti. 1. Status fungsi vital 24

Seperti halnya dengan kasus kedaruratan lainnya, hal terpenting yang dinilai ialah : a.Jalan nafas airway b.Pernafasan breathing c.Nadi clan tekanan darah cireulation

Jalan nafas harus segera dibersihkan dari benda asing, lendir atau darah, bila perlu segera dipasang pipa naso/orofaring; diikuti dengan pemberian oksigen. Manipulasi leher hams berhati-hati bila ada riwayat/dugaan trauma servikal (whiplash injury), jamb dengan kepala di bawah atau trauma tengkuk. Gangguan yang mungkin ditemukan dapat berupa : a.Pernafasan Cheyne Stokes. b.Pernafasan Biot/hiperventilasi. c.Pernafasan ataksik.

yang menggambarkan makin memburuknya tingkat kesadaran. Pemantauan fungsi sirkulasi dilakukan untuk menduga adanya shock, terutama bila terdapat juga trauma di tempat lain, misalnya trauma thorax, trauma abdomen, fraktur ekstremitas. Selain itu peninggian tekanan darah yang disertai dengan melambatnya frekuensi nadi dapat merupakan gejala awal peninggian tekanan intrakranial, yang biasanya dalam fase akut disebabkan oleh hematoma epidural.

3. Pemeriksaan Umum

Selama proses penstabilan kardiopulmoner, dilakukan pemeriksaan umum secara cepat untuk mencari cedera lain. Perhatian khusus diberikan pada:

1.Cedera kepala dan leher: laserasi, tempat perdarahan, otorrhea, rhinorrhea, mata racoon (ekkhimosis periorbital). 2.Cedera toraks: fraktura iga, pneumotoraks kardiak, (dengan bunyi jantung atau hemotoraks, tamponad

lemah, distensi vena jugular, dan

hipotensi), aspirasi, atau ARDS.

25

3.Cedera abdominal: terutama laserasi hati, limpa atau ginjal.

Perdarahan

biasanya berakibat tenderness,guarding atau distensi abdominal. Namun tanda-tanda ini mungkin tidak muncul dini dan mungkin tersembunyi pada pasien koma. Adanya bising usus biasanya pertanda tenang. 4.Cedera pelvik: Cedera pada pasien yang tidak koma bisa ditetapkan secara klinis. Konfirmasi radiologis biasanya diperlukan. Pemeriksaan rektal mungkin berguna. Cedera pelvik sering bersamaan dengan kehilangan

darah tersembunyi dalam jumlah besar. 5.Cedera tulang belakang: Trauma kepala dan tulang belakang mungkin bersamaan, dan kombinasi tersebut harus selalu dicari walau kejadiannya hanya 2 hingga 5% dari pasien cedera kepala berat. Tulang belakang leher paling sering dikenai. 6. Cedera ekstremitas: Mungkin terjadi kerusakan tulang atau jaringan lunak (otot, saraf, pembuluh darah). Fraktura pada pasien gelisah harus dibidai segera untuk mencegah kerusakan saraf dan pembuluh bersangkutan. Tindakan definitif pada kebanyakan pasien cedera ekstremitas dapat ditunda hingga setelah tindakan terhadap masalah yang mengancam nyawa.

4. Pemeriksaan Neurologis

Tabel 4. Pemeriksaan neurologis awal pada cedera kepala ------------------------------------------------------1. Skala Koma Glasgow 2. Respons pupil terhadap cahaya 3. Gerakan mata 4. Kekuatan motor 5. Pemeriksaan sensori sederhana -------------------------------------------------------

1. Glasgow Coma Seale (GCS) Memberikan 3 bidang fungsi neurologik, memberikan gambaran pada tingkat responsif pasien dan dapat digunakan dalam pencarian yang luas pada saat mengevaluasi status neurologik pasien yang mengalami cedera kepala. Evaluasi

26

ini hanya terbatas pada mengevaluasi motorik pasien, verbal dan respon membuka mata.

Skala GCS : Membuka mata : Spontan Dengan perintah Dengan Nyeri Tidak berespon Motorik : Dengan Perintah Melokalisasi nyeri Menarik area yang nyeri Fleksi abnormal Ekstensi Tidak berespon Verbal : Berorientasi Bicara membingungkan Kata-kata tidak tepat

4 3 2 1 6 5 4 3 2 1 5 4 3

Suara tidak dapat dimengerti 2 Tidak ada respons 1

2. Pupil

Pemeriksaan teliti ukuran pupil serta reaksinya terhadap cahaya adalah paling penting pada pemeriksaan pertama. Tanda dini herniasi lobus temporal yang diketahui dengan baik adalah dilatasi ringan pupil serta respons cahaya pupil yang lambat. Baik kompresi maupun distorsi saraf okulomotor saat herniasi tentorial-unkal mengganggu fungsi akson parasimpatetik yang menghantarkan sinyal eferen untuk konstriksi pupil, berakibat dilatasi pupil ringan. Mencari kelainan pupil lain yang dapat terjadi pada pasien tidak sadar sangat perlu pada pasien cedera kepala. Pupil kecil bilateral menunjukkan

pasien menggunakan obat tertentu, terutama opiat, atau mengalami satu atau beberapa ensefalopati metabolik atau lesi destruktif dari pons. Dalam hal ini refleks cahaya pupil. Akhirnya, pupil yang berdilatasi dan fixed bilateral 27

pada pasien dengan cedera kepala mungkin akibat perfusi vaskular serebral yang inadekuat. Keadaan kehilangan darah ini mungkin akibat hipotensi sekunder terhadap

atau oleh peninggian tekanan intrakranial pada tingkat

yang mengganggu aliran darah serebral. Kembalinya respons pupil mungkin terjadi segera setelah perbaikan aliran darah bila masa perfusi yang inadekuat tidak terlalu lama.

3. Gerakan Mata Gerakan bola mata merupakan indeks yang paling penting untuk penilaian aktivitas fungsional batang otak (formatio retikularis). Penderita yang sadar penuh, dan mempunyai gerakan bola mata yang baik menandakan intaknya sistem motorik okuler di batang otak.

4. Fungsi Motor

Pemeriksaan dasar dilengkapi dengan pemeriksaan motor sederhana karena pasien dengan cedera kepala berat setiap nilai pemeriksaan hingga tidak cukup responsif terhadap ekstremitas

dapat dipercaya. Setiap

diperiksa dan dinilai dengan skala berikut internasional:

yang digunakan secara

Kekuatan normal Kelemahan sedang Kelemahan berat (antigravity) Kelemahan berat (not antigravity) Gerakan trace Tak ada gerakan

5 4 3 2 1 0

5. Fungsi sensorik Tujuan pemeriksaan sensorik Menetapkan adanya gangguan sensorik. Mengetahui modalitasnya. Menetapkan polanya. 28

Menyimpulkan jenis dan lokasi lesi yang mendasari gangguan sensorik yang akhirnya dinilai bersama sama dengan pemeriksaan motorik

Pemeriksaan Tambahan

A. RONTGEN Peranan foto rontgen tengkorak banyak diperdebatkan manfaatnya, meskipun beberapa rumah sakit melakukannya secara rutin. Selain indikasi medik, foto Rontgen tengkorak dapat dilakukan atas dasar indikasi legal/hukum. Foto R tengkorak biasa (AP dan Lateral) umumnya dilakukan pada keadaan : Defisit neurologik fokal. Liquorrhoe. Dugaan trauma tembus/fraktur impresi. Hematoma luas di daerah kepala. Pada keadaan tertentu diperlukan proyeksi khusus, seperti proyeksi tangensial pada dugaan fraktur impresi, proyeksi basis path dugaan fraktur basis dan proyeksi khusus lain pada dugaan fraktur tulang wajah.

B. CT SCAN

Indikasi. CT scanning jelas merupakan prosedur pilihan dalam mengevaluasi pasien cedera kepala dan kemungkinan jelas outcome pasien generasi baru, memperbaiki secara

dengan cedera kepala. Setiap kali muncul scanner yang diberikan.

selalu disertai dengan perbaikan informasi

Dianjurkan sekali bahwa CT scan emergensi harus dilakukan sesegera mungkin (dalam setengah jam) setelah pasien dengan cedera kepala berat

datang. Lesi densitas tinggi (hematoma epidural, subdural, intraserebral) dianggap memerlukan tindakan operasi dekompresi bila menyebabkan

pergeseran garis tengah 5 mm atau lebih. Dengan kata lain, dasar pemikiran ditekankan pada derajat pergeseran garis tengah dalam menentukan pasien mana yang harus dioperasi. Pergeseran garis tengah yang bermakna pada

pasien cedera kepala sudah dibuktikan ada kaitannya dengan tingkat kesadaran. 29

Pada CT scan, edema tampak sebagai zona densitas rendah. Edema mungkin fokal, multi fokal atau diffusa. Dengan edema serebral difusa,

mungkin sulit untuk memastikan densitas yang lebih rendah karena tidak ada area otak normal sebagai pembandingnya. Kontusi serebral tampak sebagai area densitas tinggi yang tak homogen yang tersebar diantara area densitas rendah. Walau tidak selalu

mungkin membedakan antara hematoma subdural dan epidural pada CT scan, yang terakhir ini khas dengan bentuk bikonveks atau lentikular, karena yang erat antara dura dengan tabula interna mencegah

perlekatan

hematoma mengalami penyebaran. Hematoma subdural yang khas cenderung menjadi lebih difus

dibanding hematoma epidural dan memiliki tepi dalam yang konkaf yang mengikuti permukaan otak. Perbedaan antara lesi akuta, subakuta dan kronik agak tidak pasti. Hematoma intraserebral traumatika biasanya berlokasi dilobus

frontal dan temporal anterior, walau bisa terjadi dimana saja. Infarksi iskemik akuta mungkin tampak sebagai area densitas rendah dibanding otak sekitarnya. Infarksi dapat dideteksi CT scan dalam 24 jam dari onsetnya, dan lebih dari 60% jelas tampak pada hari ketujuh.

6. Pembedahan (8)

Yang ingin dicapai dari operasi adalah kembalinya pergeseran garis tengah, kembalinya tekanan intrakanial ke dalam batas normal, kontrol pendarahan dan mencegah pendarahan ulang. Indikasi operasi pada cedera kepala harus mempertimbangkan hal dibawah ini : Status neurologis Status radiologis Pengukuran tekanan intrakranial

Secara umum indikasi operasi pada hematoma intrakranial : Massa hematoma kira-kira 40 cc 30

Massa dengan pergeseran garis tengah lebih dari 5 mm EDH dan SDH ketebalan lebih dari 5 mm dan pergeseran Baris tengah dengan GCS 8 atau kurang. Konstusio cerebri dengan diameter 2 cm dengan efek massa yang jelas atau pergeseran garis tengah lebih dari 5 mm. Pasien-pasien yang menurun kesadarannya dikemudian waktu disertai berkembangnya tanda-tanda lokal dan peningkatan tekanan intraknial lebih dari 25 mm Hg.

Indikasi BWT hole eksplorasi dilakukan bila pemeriksaan CT Scan tidak memungkinkan dan didapat : Dilatasi pupil ipsilateral Hemiparese kontralateral Lucid interval/penurunan GCS tiba-tiba. Indikasi operasi pada faktur depres : Lebih dari satu tabula Adanya defisit yang berhubungan dengan bagian otak dibawahnya LCS leakage Fraktur depres terbuka Preventif growing fracture pada anak.

Hasil 1. EDH: bila cepat dioperasi mortality kurang dari 10% 2. SDH: Serlig et al : operasi dalam 4 jam pertama mortality 30% operasi setelah 4 jam mortality 90% Hasselberger et al : pasien koma kurang dari 2 jam mortality 47% pasien koma lebih dari 2 jasm mortality 80%

3. ICH: mortality 27% -50%

31

7. Terapi konservatif

Cairan intravena : pertahankan status cairan euvolemik, hindari dehidrasi, jangan menggunakan cairan hipotonis / glukosa. Cairan garam hipertonis : cairan NaCl 0,9 %, 3%-27%. Kureshi dan Suarez menunjukkan penggunaan saline hipertonis efektif pada neuro trauma dengan hasil pengkerutan otak sehingga menurunkan tekanan intrakranial, mempertahankan volume intravaskular euvolume.Dengan akses vena sentral diberikan NaCl 3% 75 cc/jam dengan Cl 50%, asetat 50% target natrium 145150 dengan monitor pemeriksaan natrium setiap 4-6 jam. Setelah target tercapai dilanjutkan dengan NaCl fisiologis sampai 4-5 hari

Hiperventilasi fase akut Bila tidak ada tanda-tanda peninggian tekanan intrakranial, hiperventilasi jangka panjang (PaCO2 25 mm Hg) setelah cedera otak traumatika harus dicegah. Hiperventilasi profilaktik (PaCO2 35 mm Hg) 24 jam pertama setelah cedera otak traumatika harus dicegah karena memperburuk perfusi saat aliran darah serebral berkurang. Hiperventilasi mungkin perlu untuk masa yang singkat bila terjadi perburukan neurologis akut, atau untuk jangka yang lebih lama pada hipertensi intrakranial yang kebal terhadap sedatif, paralisis, drainase cairan serebrospinal dan diuretik osmotik.

Terapi hiperosmoler -manitol Merupakan osmosis diuretis. Efek ekspansi plasma, menghasilkan gradient osmotik dalam waktu yang cepat dalam beberapa menit. Memberikan efek optimalisasi reologi dengan menurunkan hematokrit, menurunkan viskositas darah, meningkatkan aliran darah serebral, meningkatkan mikrosirkulasi dan tekanan perfusi serebral yang akan meningkatkan penghantaran oksigen dengan efek samping reboun peningkatan tekanan intrakranial pada disfungsi sawar darah otak terjadi skuestrasi serebral, overload cairan, hiponatremi dilusi, takipilaksis dan gagal ginjal (bila osmolalitas >320 ml osmol/L. Manitol diberikan pada pasien koma, pupil reaktif kemudian menjadi dilatasi dengan atau tanpa gangguan motorik, pasien dengan pupil dilatasi bilateral non reaktif dengan hemodinamik normal dosis bolus 1 g/kgBB dilanjutkan dengan rumatan 0,25- 1 g/kgBB Usahakan pertahankan volume intravaskuler dengan

32

mempertahankan osmolalitas serum < 320 ml osmol/L.

barbiturat Dosis tinggi dipertimbangkan bagi pasien cedera kepala berat dengan hipertensi intrakranial dan hemodinamik stabil, yang refrakter terhadap tindakan medis atau bedah untuk menurunkan tekanan intrakranial. Namun risiko dan komplikasi membatasi penggunaannya bagi keadaan yang ekstrim dan dilakukan dengan memonitor hemodinamik secara ketat untuk mencegah atau menindak ketidakstabilan hemodinamik. Pentobarbital diberikan dengan dosis awal (loading) 10 mg/kg dalam 30 menit atau 5 mg/kg setiap jam untuk 3 pemberian, diikuti dosis pemeliharaan 1 mg/kg/jam. Tidak diberikan untuk profilaksi. menekan metabolism serebral, menurunkan aliran darah ke otak dan volume darah serebral, merubah tonus vaskuler, menahan radikal bebas dari peroksidasi lipid mengakibatkan supresi burst.

Kortikosteroid Tidak direkomendasikan penggunaan glukokortikoid untuk menurunkan tekanan intrakranial baik dengan methyl prednisolon maupun dexamethason. Dearden dan Lamb meneliti dengan dosis > 100 mg/hari tidak memberikan perbedaan signifikan pada tekanan intracranial dan setelah 1-6 bulan tidak ada perbedaan outcome yang signifikan. Efek samping yang dapat terjadi hiperglikemia (50%), perdarahan traktus gastrointestinal (85%).

Nutrisi

Dalam 2 minggu pertama pasien mengalami hipermetabolik, kehilangan kurang lebih 15% berat badan tubuh per minggu. Penurunan berat badan melebihi 30% akan meningkatkan mortalitas. diberikan kebutuhan metabolism istirahat dengan 140% kalori/ hari dengan formula berisi protein > 15% diberikan selama 7 hari. Pilihan enteral feeding dapat mencegah kejadian hiperglikemi, infeksi. Kebutuhan Nutrisi: Kalori 25 30 Kcal/KgBB/Hr Protein 1,5 2 gr/KgBB/Hr Karbohidrat 75 100 gr/Hr (7,2 gr/KgBB/Hr) Lipid 10 40 % kebutuhan kalori / hari 33

Kebutuhan energi rata-rata pada cedera kranio serebral berat meningkat ratarata 40%.

Terapi prevensi kejang Pada kejang awal dapat mencegah cedera lebih lanjut, peningkatan TIK, penghantaran dan konsumsi oksigen, pelepasan neuro transmiter yang dapat mencegah berkembangnya kejang onset lambat (mencegah efek kindling). Pemberian terapi profilaksis dengan fenitoin, karbamazepin efektif pada minggu pertama. Harus dievaluasi adanya faktor-faktor yang lain misalnya: hipoglikemi, gangguan elektrolit, infeksi.

Komplikasi Cedera Kepala

1.Kejang pasca trauma. Merupakan salah satu komplikasi serius. Insidensinya 10 %, terjadi di awal cedera 425% (dalam 7 hari cedera), terjadi terlambat 9-42% (setelah 7 hari trauma). Faktor risikonya adalah trauma penetrasi, hematom (subdural, epidural, parenkim), fraktur depresi kranium, kontusio serebri, GCS <10.

2.Demam dan mengigil : Demam dan mengigil akan meningkatkan kebutuhan metabolism dan memperburuk outcome. Sering terjadi akibat kekurangan cairan, infeksi, efek sentral. Penatalaksanaan dengan asetaminofen, neuro muscular paralisis. Penanganan lain dengan cairan hipertonik, koma barbiturat, asetazolamid.

3.Hidrosefalus: Berdasar lokasi penyebab obstruksi dibagi menjadi komunikan dan non komunikan. Hidrosefalus komunikan lebih sering terjadi pada cedera kepala dengan obstruksi, Hidrosefalus non komunikan terjadi sekunder akibat penyumbatan di sistem ventrikel. Gejala klinis hidrosefalus ditandai dengan muntah, nyeri kepala, papil udema, dimensia, ataksia, gangguan miksi.

34

4.Spastisitas : Spastisitas adalah fungsi tonus yang meningkat tergantung pada kecepatan gerakan. Merupakan gambaran lesi pada UMN. Membentuk ekstrimitas pada posisi ekstensi. Beberapa penanganan ditujukan pada : Pembatasan fungsi gerak, Nyeri, Pencegahan kontraktur, Bantuan dalam posisioning. Terapi primer dengan koreksi posisi dan latihan ROM, terapi sekunder dengan splinting, casting, farmakologi: dantrolen, baklofen, tizanidin, botulinum, benzodiasepin

5. Agitasi Agitasi pasca cedera kepala terjadi > 1/3 pasien pada stadium awal dalam bentuk delirium, agresi, akatisia, disinhibisi, dan emosi labil. Agitasi juga sering terjadi akibat nyeri dan penggunaan obat-obat yang berpotensi sentral. Penanganan farmakologi antara lain dengan menggunakan antikonvulsan, antihipertensi, antipsikotik, buspiron, stimulant, benzodisepin dan terapi modifikasi lingkungan.

6. Mood, tingkah laku dan kognitif Gangguan kognitif dan tingkah laku lebih menonjol dibanding gangguan fisik setelah cedera kepala dalam jangka lama. Penelitian Pons Ford,menunjukkan 2 tahun setelah cedera kepala masih terdapat gangguan kognitif, tingkah laku atau emosi termasuk problem daya ingat pada 74 %, gangguan mudah lelah (fatigue) 72%, gangguan kecepatan berpikir 67%. Sensitif dan Iritabel 64%, gangguan konsentrasi 62%.

Cicerone (2002) meneliti rehabilitasi kognitif berperan penting untuk perbaikan gangguan kognitif. Methyl phenidate sering digunakan pada pasien dengan problem gangguan perhatian, inisiasi dan hipoarousal (Whyte). Dopamine, amantadinae dilaporkan dapat memperbaiki fungsi perhatian dan fungsi luhur. Donepezil dapat memperbaiki daya ingat dan tingkah laku dalam 12 minggu. Depresi mayor dan minor ditemukan 40-50%. Faktor resiko depresi pasca cedera kepala adalah wanita, beratnya cedera kepala, pre morbid dan gangguan tingkah laku dapat membaik dengan antidepresan.

35

7. Sindroma post kontusio Merupakan komplek gejala yang berhubungan dengan cedera kepala 80% pada 1 bulan pertama, 30% pada 3 bulan pertama dan 15% pada tahun pertama: Somatik : nyeri kepala, gangguan tidur, vertigo/dizzines, mual, mudah lelah, sensitif terhadap suara dan cahaya, kognitif: perhatian, konsentrasi, memori, Afektif: iritabel, cemas, depresi, emosi labil.

Prognosis cedera kepala

Mortalitas pasien dengan peningkatan tekanan Intrakranial > 20 mmHg selama perawatan mencapai 47%, sedangkan TIK di bawah 20 mmhg kematiannya 39%. Tujuh belas persen pasien sakit cedera kepala berat mengalami gangguan kejangkejang dalam dua tahun pertama post trauma. Lamanya koma berhubungan signifikan dengan pemulihan amnesia.

Pemeriksaan penunjang preditor prognosis cedera kepala: Skor GCS: Penurunan kesadaran pada saat kejadian, penurunan kesadaran < 30 menit, penurunan kesadaran setelah 30 menit, amnesia < 24 jam.

William, 2001 meneliti 215 cedera kepala : pasien-pasien cedera kepala sedang dengan komplikasi (CT Scan +) terdapat gangguan fungsi neuropsikiatri setelah 6 bulan. Rontgen tulang tidak direkomendasikan untuk evaluasi cedera kepala ringan dan sedang dan sensitifitasnya rendah terhadap adanya lesi intrakranial. Faktor-faktor yang dapat menjadikan Predictor outcome cedera kepala adalah: lamanya koma, durasi amnesia post trauma, area kerusakan cedera pada otak mekanisme cedera dan umur.

Pengukuran outcome: Beberapa pengukuran outcome setelah cedera kepala yang sering digunakan antara lain: 36

Glasgow Outcome Scale (GOS) : Terdiri 5 kategori, meninggal, status vegetative, kecacatan yang berat, kecacaatan sedang (dapat hidup mandiri tetapi tidak dapat kembali ke sekolah dan pekerjaannya), ikembali pulih sempurna (dapat kembali bekerja/sekolah).

Dissabily Rating Scale (DRS) Merupakan skala tunggal untuk melihat progress perbaikan dari koma sampai ke kembali ke lingkungannya. Terdiri dari 8 kategori termasuk komponen kesadaran (GCS), kecacatan (activity of daily living, handicap dalam bekerja).

Fungsional Independent Measure (FIM) Banyak digunakan untuk rehabilitasi terdiri dari 18 items skala yang digunakan untuk mengevalusi tingkat kemandirian mobilitas, perawatan diri, kognitif.

Beberapa pendekatan farmakologi yang digunakan banyak yang tidak efektif. Strategi terapi masa yang akan datang lebih ditujukan pada fase hipoperfusi awal antara lain: induksi hipertensi arterial, terapi farmakologi yang dapat memperbaiki peningkatan resistensi mikrosirkulasi dan terapi hipotermi yang dapat memproteksi neuron akibat iskemik.

37

BAB III KESIMPULAN

Cedera kepala adalah trauma mekanik pada kepala yang terjadi baik secara langsung atau tidak langsung yang kemudian dapat berakibat kepada gangguan fungsi neurologis, fungsi fisik, kognitif, psikososial, bersifat temporer atau permanent.

Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan benturan langsung kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselarasideselarasi gerakan kepala. Cedera sekunder merupakan cedera yang terjadi akibat berbagai proses patologis yang timbul sebagai tahap lanjutan dari kerusakan otak primer, berupa perdarahan, edema otak, kerusakan neuron berkelanjutan, iskemia, peningkatan tekanan intrakranial dan perubahan neurokimiawi

Penatalaksanaan awal penderita cedara kepala pada dasarnya memikili tujuan untuk memantau sedini mungkin dan mencegah cedera kepala sekunder serta memperbaiki keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu penyembuhan sel-sel otak yang sakit. Penatalaksanaan cedera kepala tergantung pada tingkat

keparahannya, berupa cedera kepala ringan, sedang, atau berat. Prinsip penanganan awal meliputi survei primer dan survei sekunder. Dalam penatalaksanaan survei primer hal-hal yang diprioritaskan antara lain airway, breathing, circulation, disability, dan exposure, yang kemudian dilanjutkan dengan resusitasi. Pada penderita cedera kepala khususnya dengan cedera kepala berat survei primer sangatlah penting untuk mencegah cedera otak sekunder dan mencegah homeostasis otak. Tidak semua pasien cedera kepala perlu di rawat inap di rumah sakit. Indikasi rawat antara lain

38

BAB III DAFTAR PUSTAKA


1. Smith ML, Grady MS. Neurosurgery. Schwarrtz Principles of Surgery. 8th ed. McGraw-Hill;2005. 1615-20.

2. . Dunn LT, Teasdale GM. Head Injury. Oxford Textbook of Surgery. 2nd ed. Volume 3. Oxford Press;2000

3. Brain Injury Association of America. Types of Brain Injury. Disitasi dari http://www.biausa.org pada tanggal 13 Juli 2009. Perbaharuan terakhir : Januari 2009.

4. Snell RS. Clinical Anatomy for Medical Student. 6th ed. Sugiharto L, Hartanto H, Listiawati E, Susilawati, Suyono J, Mahatmi T, dkk, penerjemah. Anatomi Klinik Untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 6. Jakarta: EGC: 2006. 740-59

5. David Olson A, MD http://emedicine.medscape.com/article/1163653-overview

6. Evan Fusco,MD www.emedicinehealth.com/head_injury/article_em.htm


7. Saanin S. Cedera Kepala. Disitasi dari : http://www.angelfire.com/nc/neurosurgery.htm pada tanggal 19 Juni 2008. Perbaharuan terakhir : Januari 2008.

8. Iskandar Japardi, Penatalaksanaan cedera kepala secara operatif. Avelaible online at http://library.usu.ac.id/download/fk/bedah-iskandar japardi61

39

40

Anda mungkin juga menyukai