Anda di halaman 1dari 22

Pendahuluan

Trauma adalah keadaan yang disebabkan oleh luka atau cedera. Definisi ini memberikan gambaran superfisial dari respons fisik terhadap cedera. Trauma juga mempunyai dampak psikologis dan sosial. Pada kenyataannya, trauma adalah kejadian yang bersifat holistik dan dapat menyebabkan hilangnya produktivitas seseorang. Trauma lebih kompleks dari sekadar cedera. Fraktur jari tangan pada seorang pemain piano atau seorang ahli bedah, dampaknya sangat berat dan dapat menghentikan kariernya; sementara cedera yang sama pada orang berprofesi lain merupakan gangguan yang ringan. Risalah tertua tentang trauma terdapat pada Edwin Smith Papyrus yang ditulis antara 3000 sampai 1600 SM, sedangkan kata trauma pertama kali dipakai pada zaman Hippocrates. Penanggulangan trauma berkembang pada zaman kerajaan Mesir dan mencapai puncaknya pada 3500 SM. Teknik operasi rekonstruksi hidung sangat berkembang dan masih dipakai sampai sekarang. Pada masa awal ilmu kedokteran Cina (2600 SM) telah mulai dikembangkan teknik debridemen yang juga masih dipakai pada masa kini. Perkembangan penanggulangan trauma dalam ilmu bedah modern dimulai oleh Ambroise Pare (1545) yang melarang memasukkan obat-obatan ke dalam luka dan membiarkan penyembuhan secara alami; hal ini diungkapkannya dalam kata-katanya : I dressed him, and God healed him. John Hunter membedakan antara primary healing dan secondary healing. Ilmu ini berkembang sejalan dengan terjadinya berbagai peperangan, mulai dari zaman Napoleon sampai ke Perang Teluk dan Perang Afganistan. Pada yang terakhir ini, konsep ATLS

( Advance Trauma Life Support ) dalam pertempuran mulai diterapkan dan pengetahuan tentang patofisiologi trauma sampai ke tingkat seluler sudah lebih dipahami sehingga kematian akibat trauma dapat ditekan. Semua yang dipelajari dalam peperangan banyak dimanfaatkan dalam penanggulangan trauma dalam kehidupan sipil. Untuk menilai kualitas penanggulangan trauma dikembangkan sistem skoring seperti revised trauma score yang berkembang dari trauma score untuk menilai keadaan fisiologis,sedangkan abbreviated injury scale(AIS) berkembang menjadi Injury Severity Score(ISS) yang menilai secara anatomis. Kombinasi RTS, ISS, umur pasien, dan tipe cedera menjadi metode TRISS. Dengan metode ini dapat dihitung kemungkinan ketahanan hidup (probability of suvival, Ps) secara retrospektif. Triase (triage) juga berkembang baik pada fase pre-RS maupun pada fase RS. Triase dapat dimanfaatkan pada satu pasien untuk mencari masalah yang dihadapi pasien tersebut, tetapi dapat juga pada banyak pasien (korban massal) untuk mengelompokkan pasien sesuai dengan beratnya

cedera. Dalam kedua keadaan ini dipakai prinsip ATLS, yaitu A, B, C, D dan E untuk menilai apa yang jadi masalah dan apa yang harus ditanggulangi lebih dahulu. Trauma merupakan penyebab kematian utama pada kelompok umur di bawah 35 tahun. Di Indonesia, trauma merupakan penyebab kematian nomor empat, tetapi pada kelompok umur 15-25 tahun, merupakan penyebab kematian utama. Sejak lama trauma merupakan suatu masalah medis yang terabaikan (neglected disease)oleh para dokter, masyarakat, maupun pemerintah di seluruh dunia. Pasien trauma ditangani oleh tiap-tiap spesialisasi sesuai dengan cederanya, tidak secara komprehensif-sistematik. Diperlukan sikap holistik dari berbagai spesialisasi untuk bekerja sama sebagai suatu system penanggulangan trauma. Perubahan mulai terjadi setelah para veteran perang Vietnam kembali ke Amerika Serikat dengan dikembangkannya penanggulangan trauma yang lebih baik pada fase pra-RS (Ambulans Gawat Darurat, AGD) maupun pada fase RS berupa unit gawat darurat atau trauma center. Seorang ahli bedah ortopedi Amerika Serikat yang bersama keluarganya mengalami kecelakaan dengan pesawat pribadinya telah memulai kursus Advanced Trauma Life Support(ATLS) di bagian Bedah Universitas Nebraska setelah merasa kecewa dengan penanggulangan trauma yang diterimanya. Kursus ini kemudian menyebar ke seluruh dunia dan mulai diterapkan oleh Komisi Trauma Ikatan Ahli Bedah Indonesia pada tahun 1995. Konsep ATLS mempengaruhi pola pikir untuk berbagai kursus lain, seperti Prehospital Life Support (PHTLS) dan Basic Trauma Life Support (BTLS).Konsep A (airway), B (breathing), C (circulation), D (disability), dan E (exposure) sudah menjadi bahasa universal dalam penanggulangan penderita trauma dan pasien gawat darurat lainnya, baik pada fase pra-RS maupun pada fase RS. Dewasa ini trauma melanda dunia bagaikan wabah karena dalam kehidupan modern penggunaan kendaraan automotif dan senjata api semakin luas. Sayangnya, penyakit akibat trauma sering ditelantarkan sehingga trauma merupakan penyebab kematian utama pada kelompok usia muda dan produktif di seluruh dunia. Angka kematian ini dapat diturunkan melalui upaya pencegahan trauma dan penanggulangan optimal yang diberikan sedini mungkin pada korbannya. Perlu diingat bahwa penanggulangan trauma bukan hanya masalah di rumah sakit, tetapi mencakup penanggulangan menyeluruh yang dimulai di tempat kejadian, dalam perjalanan ke rumah sakit dan di rumah sakit. Trauma dapat menyebabkan perubahan fisiologi sehingga terjadi gangguan metabolisme kelainan imunologi,dan gangguan faal berbagai organ. Penderita trauma berat mengalami gangguan faal yang penting, seperti kegagalan fungsi membran sel, gangguan integritas endotel, kelainan sistem imunologi, dan dapat pula terjadi koagulasi intravascular menyeluruh (Disseminated Intravascular Coagulation = DIC).

Penyebab
Trauma dapat disebabkan oleh benda tajam, benda tumpul, atau peluru. Luka tusuk dan luka tembak pada suatu rongga dapat dikelompokkan dalam kategori luka tembus. Untuk mengetahui bagian tubuh yang terkena, organ apa yang cedera, dan bagaimana derajat kerusakannya, perlu diketahui biomekanik trauma. Cedera pada trauma dapat terjadi akibat tenaga dari luar berupa benturan, perlambatan(deselarisasi), dan kompresi, baik oleh benda tajam, benda tumpul, peluru, ledakan, panas,maupun zat kimia. Akibat cedera ini dapat berupa memar, luka jaringan lunak, cedera muskuloskeletal, dan kerusakan organ.

Trauma Tumpul

Trauma tumpul kadang tidak menimbulkan kelainan yang jelas pada permukaan tubuh,tetapi dapat mengakibatkan kontusi atau laserasi jaringan atau organ di bawahnya. Trauma tumpul dapat berupa benturan benda tumpul, perlambatan (deselarisasi), dan kompresi. Benturan benda tumpul pada toraks dapat menimbulkan cedera berupa patah tulang iga; yang mana menyebabkan terjadinya flail chest yang tampak dalam gerakan nafas dinding dada yang paradoksal yaitu bagian dinding dada yang ke dalam ketika inspirasi dan menonjol keluar sewaktu ekspirasi. Biasanya terjadi juga hematotoraks dan pneumotoraks akibat kerusakan pleura dan jaringan paru. Benturan benda tumpul pada abdomen dapat menimbulkan cedera pada organ berongga berupa perforasi atau organ padat berupa perdarahan.

Cedera deselerasi sering terjadi pada kecelakaan lalu lintas karena setelah tabrakan badan masih melaju dan kemudian tertahan suatu benda keras sedangkan bagian tubuh yang relatif tidak terpancang bergerak terus dan menyebabkan terjadinya robekan pada hilus organ tersebut. Organ yang mungkin robek itu adalah aorta, jantung, bronkus, ginjal, dan limpa. Cedera kompresi terjadi bila orang tertimbun runtuhan atau longsoran yangmenimbulkan tekanan secara tiba-tiba pada rongga dada. Cedera ledak adalah luka atau kerusakan jaringan akibat ledakan granat, bom, atau ledakan dalam air. Kerusakan jaringan dapat disebabkan oleh pecahan logam atau energy yang ditimbulkan oleh ledakan. Korban kecelakaan lalu lintas dapat diduga jenis cederanya dengan meneliti riwayat trauma dengan cermat.

Inisiasi Resusitasi
Selama tahap pre-rumah sakit, pasien trauma harus cepat dinilai dan perawatan diprioritaskan berdasarkan mekanisme cedera dan tanda-tanda vital pasien. Tujuan dari resusitasi adalah untuk meningkatkan perfusi organ dan jaringan sekaligus mengobati kondisi yang mengancam jiwa. Dalam kebanyakan kasus, inisiasi resusitasi pasien dilakukan di daerah resusitasi trauma tetapi ada juga pasien yang dibawa langsung ke ruang operasi untuk diselamatkan. Dalam kedua kasus, Advanced Trauma Life Support (ATLS) primer dan sekunder survey perlu dipraktekkan. Alat pelindung diri (misalnya, masker wajah, pelindung mata, scoop, dan sarung tangan) harus digunakan bahkan ketika mengevaluasi pasien yang memiliki cedera ringan. Obat-obatan yang sering digunakan juga perlu disediakan di daerah resusitasi trauma. Meskipun prinsip-prinsip resusitasi berdasarkan pada survei primer dan sekunder, dokter resusitasi harus diingat bahwa prioritas pengobatan didirikan atas dasar mekanisme pasien cedera, cedera yang jelas, pemeriksaan klinis, dan tanda-tanda vital. Selain itu, dokter dan anggota tim resusitasi trauma mengidentifikasi dan mengobati kondisi yang mengancam jiwa secara bersamaan, namun terus menilai dan menilai kembali status pasien.

Persiapan
Persiapan pasien berlangsung berlangsung dalam 2 fase yang berbeda. Fase pertama adalah fase pra rumah sakit di mana seluruh penanganan pasien sebaiknya berlangsung dalam koordinasi dengan dokter di rumah sakit. Fase kedua adalah fase rumah sakit di mana dilakukan persiapan untuk menerima pasien, sehingga dapat dilakukan resusitasi dalam waktu yang singkat.

Fase Pra Rumah Sakit


Koordinasi yang baik antara dokter di rumah sakit dengan petugas lapangan akan menguntungkan pasien. Sebaiknya rumah sakit sudah diberitahukan sebelum pasien mulai diangkut dari tempat kejadian. Pemberitahuan ini memungkinkan rumah sakit mempersiapkan tim trauma sehingga sudah siap saat pasien sampai rumah sakit. Pada fase pra rumah sakit, dititikberatkan pada penjagaan airway, control perdarahan dan syok, imobilisasi pasien dan segera ke rumah sakit terdekat yang cocok, sebaiknya ke pusat trauma yang diakui. Waktu di tempat kejadian yang lama harus dihindari. Yang penting adalah mengumpulkan keterangan yang nanti dibutuhkan di rumah sakit seperti waktu kejadian, sebab kejadian dan riwayat pasien. Mekanisme kejadian dapat menerangkan jenis dan berat perlukaan.

Fase Rumah Sakit


Harus dilakukan perencanaan sebelum pasien tiba. Sebaiknya ada ruangan/ daerah khusus resusitasu untuk pasien trauma. Perlengkapan airway (laringoskop, endotracheal tube dsb) sudah dipersiapkan, dicoba dan diletakkan di tempat yang mudah terjangkau. Cairan kristalloid (misalnya Ringers Lactate) yang sudah dihangatkan disiapkan dan diletakkan pada tempat yang mudah dicapai. Perlengkapan monitoring yang diperlukan sudah dipersiapkan. Suatu system pemanggilan tenaga medic tambahan harus ada, demikian juga tenaga laboratorium dan radiologi. Juga dipersiapkan formulir rujukan ke pusat trauma. Sebaiknya ada pelaporan periodic yang dikaji secara multi disiplin. Semua tenaga medic yang berhubungan dengan pasien harus dihindarkan dari kemungkinan penularan penyakit menular terutama hepatitis dan AIDS. Harus dianjurkan pemakaian alat-alat protektif seperti masker, proteksi mata, baju kedap air, sepatu dan sarung tangan kedap air, bila ada kontak dengan cairan tubuh pasien.

TRIASE
Triase adalah cara pemilahan pasien berdasarkan kebutuhan terapi dan sumberdaya yang tersedia. Terapi berdasarkan pada prioritas ABC. Triase juga berlaku untuk pemilahan pasien di lapangan dan rumah sakit yang akan dirujuk. Merupakan tanggungjawab bagi tenaga pra rumah sakit untuk dikirim ke rumah sakit yang sesuai.

PRIMARY SURVEY
Penilaian keadaan pasien dan prioritas terapi berdasarkan jenis perlukaan, tanda vital dan mekanisme trauma. Pengelolaan pasien berupa primary survey yang cepat, kemudian resusitasi, secondary survey dan akhirnya terapi definitive. ABCDE merupakan metode primary survey yang sistematis untuk secara bersamaan mengidentifikasi dan mengobati kondisi yang mengancam jiwa. A Airway, menjaga airway dengan control servikal (cervical spine control) B Breathing, menjaga pernafasan dengan ventilasi C Circulation dengan control perdarahan (hemorrhage control) D Disability : status neurologis E Exposure/ environmental control : buka baju pasien tapi cegah hipotermia.

Selama primary survey, keadaan yang mengancam nyawa harus dikenali dan resusitasinya dilakukan pada saat itu juga. Prioritas pada pasien anak, pada dasarnya sama dengan orang dewasa. Walupun jumlah darah, cairan, obat, ukuran anak, kehilangan panas dan pola perlukaan dapat berbeda, namun prioritas penilaian dan resusitasi adalah sama seperti orang dewasa.

Airway
Airway manajemen ini bisa dibilang yang paling penting diajarkan untuk dan dimiliki oleh darurat dokter. Ini merupakan "A" dari mnemonic ABC (Airway, Breathing, Circulation), yang membentuk landasan untuk resusitasi pada pasien sakit kritis dan cedera. Manajemen Airway meliputi penilaian, pembentukan dan perlindungan saluran udara dalam kombinasi dengan oksigenasi dan ventilasi yang efektif. Jalan napas terdiri dari hidung dan rongga mulut. Rongga hidung memanjang dari lubang hidung ke nares posterior atau choana. Nasofaring memanjang dari akhir dari rongga hidung ke tingkat yang palatum. Rongga mulut dibatasi oleh gigi anterior, palatum dan lidah. Orofaring, yang menghubungkan rongga mulut dengan nasofaring, memanjang dari palatum ke ujung epiglotis. Lanjutan orofaring yaitu laryngopharynx (hipofaring), memanjang dari epiglotis ke perbatasan atas kartilago krikoid (cervical, C6). Laring terletak di antara laryngopharynx dan trakea. Epiglotis, yang berasal dari tulang hyoid dan pangkal lidah, meliputi para glottis,mencegah aspirasi saat menelan. Selama laringoskopi, epiglotis berfungsi untuk identifikasi jalan napas dan posisi laringoskop. Vallecula adalah ruang di pangkal lidah posterior dibentuk oleh epiglotis dan faring anterior.

Gambar 1. Anatomi Jalan Napas. 6

Kelancaran jalan napas yang pertama-tama dinilai meliputi pemeriksaan adanya obstruksi jalan napas yang disebabkan benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur mandibula atau maksila, fraktur laring atau trakea. Usaha untuk membebaskan jalan napas harus melindungi vertebra servikal. Dalam hal ini, dapat dimulai dengan melakukan chin lift atau jaw thrust. Pada pasien yang dapat berbicara, dapat dianggap jalan napas bersih, walaupun demikian penilaian ulang terhadap airway harus tetap dilakukan. Pasien dengan gangguan kesadaran atau GCS 8 biasanya memerlukan pemasangan airway yang definitive. Selama memeriksa dan memperbaiki airway, harus diperhatikan tidak berlebihan dalam ekstensi, fleksi dan rotasi leher. Kecurigaan adanya kelainan vertebra servikalis didasarkan pada riwayat perlukaan dan dapat dilihat dengan foto lateral. Dalam keberadaan kecurigaan fraktur servikal, harus dipakai alat imobilisasi. Anggaplah ada fraktur servikal pada setiap pasien multi-trauma, gangguan kesadaran dan cedera di atas klavikula. Tanda Sumbatan Airway Gangguan airway dapat timbul secara mendadak dan total, perlahan-lahan dan sebagian atau progresif dan berulang. Oleh karena itu, penting untuk dilakukan penilaian ulang terhadap patensi airway dan kecukupan ventilasi. Tanda sumbatan airway dapat diketahui dengan look, listen, feel. Lihat (look) apakah pasien mengalami agitasi atau kesadarannya menurun, tanda hipoksia atau hiperkarbia. Sianosis menunjukkan hipoksemia yang disebabkan oleh kurangnya oksigenasi dan dapat dilihat dengan melihat pada kuku dan kulit sekitar mulut. Tidak adanya retraksi dan penggunaan otot-otot nafas tambahan. Dengar (listen) adanya suara-suara pernafasan yang abnormal antaranya, suara mendengkur (snoring), berkumur (gurgling) dan bersiul (crowing, stridor) yang mungkin berhubungan dengan sumbatan parsial pada faring atau laring. Suara parau (hoarseness, dysphonia) menunjukkan sumbatan pada laring, pasien yang gaduh gelisah karena hipoksia. Raba (feel) lokasi trakea dan dengan cepat tentukan apakah trakea di tengah atau terdeviasi. Teknik Mempertahankan Airway Bila pasien mengalami penurunan tingkat kesadaran, maka lidah mungkin jatuh ke belakang dan menghambat hipofaring. Perlu dilakukan chin lift maneuver atau jaw thrust maneuver. Gambar 2. Chin Lift Maneuver.

Gambar 3. Jaw Thrust Maneuver.

Airway selanjutnya dapat dipertahankan dengan airway oropharingeal atau nasofaringeal airway. Tindak-tindakan yang digunakan untuk membuka airway dapat menyebabkan dan memperburuk cedera spinal. Oleh karena itu, selama mengerjakan prosedur ini harus dilakukan imobilisasi.

Gambar 4. Oropharyngeal dan Nasopharyngeal Airway. Oropharyngeal airway tidak boleh dilakukan pada pasien yang sedar karena dapat menyebabkan sumbatan, muntah dan aspirasi. Nasopharyngeal airway harus dimasukkan lewat hidung ke orofaring dengan hati-hati. Bila terdapat hambatan, jangan diteruskan. Laryngeal Mask Airway (LMA) sangat bermanfaat pada pertolongan pasien dengan airway yang terutama bila usaha intubasi endotrakeal atau bag mask gagal. Bila seorang pasien tiba ke IGD dengan LMA terpasang, harus direncanakan airway definitive.

Gambar 5. Cara Pemasangan LMA. Multilumen Esophageal Airway diguna oleh petugas pra rumah sakit untuk memperoleh suatu jalan napas untuk mengetahui bagian yang menyumbat esophagus dan yang mana bagian yang member udara pada trakea. Gambar 6. Multilumen Esophageal Airway.

Airway definitive terdapat tiga macam yaitu, pipa orotrakeal, pipa nasotrakeal dan airway surgical (krikotiroidotomi atau trakeostomi). Pemasangan airway definitive bila ditemukan; Apneu ketidakmampuan mempertahankan airway dengan cara lain kebutuhan melindungi airway dari aspirasi darah atau vomitus potensi sumbatan airway akibat fraktur tulang wajah, hematoma retrofaringeal atau kejang yang berkepanjangan adanya cedera kepala tertutup yang memerlukan bantuan napas (GCS 8) ketidakmampuan mempertahankan oksigenasi yang adekuat dengan pemberian oksigen.

Intubasi Endotrakeal (Endotrakeal Tube, ETT). Penting untuk memastikan ada atau tidaknya fraktur ruas tulang leher. Pasien yang mempunyai GCS 8 harus segera diintubasi. Apabila tidak diperlukan intubasi segera, pemeriksaan foto cervical dapat dilakukan. ETT memerlukan pasien yang masih bernafas spontan, kontraindikasi pada pasien apnu. Adanya fraktur wajahm fraktur sinus frontalis, fraktur basis crania dan fraktur lamina cribriformis, merupakan kontraindikasi relative untuk ETT. Tanda-tandanya yaitu adanya fraktur nasalis, racoon eyes, battle sign, ekimosis retroaurikular dan kemungkinan kebocoran cairan serebrospinalis (rinorrhea atau otorhea). Ketidakmampuan melakukan intubasi trakea merupakan indikasi yang jelas untuk membuat airway surgical. Apabila terdapat edema pada glottis, fraktur laring atau perdarahan oropharingeal berat, maka airway surgical harus dibuat. Krikotiroidotomi lebih dianjurkan dari trakeostomi karena lebih mudah, perdarahan lebih sedikit dan lebih cepar dikerjakan. Pada krikotiroidotomi, jarum ditusuk atau insisi dilakukan melalui membrane krikotiroid. Penyulit needle krikotiroidotomi adalah ventilasi yang tidak adekuat akan menimbulkan hipoksia, aspirasi darah, laserasi esofageal, hematoma, perforasi dinding posterior trakea, emfisema subkutan atau perforasi tiroid.

Breathing
Airway yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Pertukaran gas yang terjadi pada saat bernafas adalah pertukarannoksigen dan mengeluarkan CO2 dari tubuh. Ventilasi yang baik meliputi fungsi yang baik dari paru, dinding dada dan diafragma. Setiap komponen ini harus dievaluasi dengan cepat. Inspeksi dan palpasi dapat memperlihatkan kelainan dinding dada yang mungkin mengganggu ventilasi. Dada pasien harus dibuka untuk melihat ekspansi pernafasan. Auskultasi dilakukan untuk memastikan masuknya udara ke dalam paru. Cedera yang mengakibatkan gangguan ventilasi yang berat adalah tension pneumothoraks, flail chest dengan contusion paru dan open pneumothoraks. Keadaan ini harus dikenali saat primary survey. 9

Tanda-tanda ventilasi yang tidak adekuat dapat diketahui dengan look, listen, feel. Lihat (look) naik turunnya dada yang simetris dan pergerakan dinding dada yang adekuat. Asimetris menunjukkan adanya flail chest. Dilihat juga apakah tiap pernafasan yang dilakukan susah atau tidak. Dengan (listen) adanya pergerakan udara pada kedua sisi paru. Hati-hati dengan laju pernafasan yang cepat, takipnu mungkin menunjukkan kekurangan oksigen. Raba (feel) pergerakan dada saat pernafasan. Dada dan leher pasien harus diperiksa secara menyeluruh untuk menilai pernafasan dan vena leher. Pergerakan dan kualitas respirasi dinilai dengan observasi, palpasi dan pendengaran suara napas. Table 1. Trauma Toraks, Tanda dan Penatalaksanaan. Trauma Tension pneumotoraks Tanda -Nyeri dada, air hunger, distress nafas, takikardia, hipotensi, deviasi trakea, hilang suara napas unilateral, distensi vena leher, sianosis. Open pneumothorax Flail Chest dan kontusio paru -Gerak nafas asimetris, krepitasi tulang iga -Defek luas dinding toraks Penatalaksanaan -Dekompresi : Needle Thoracocentesis simple pneumothorax -Chest tube pada IC 5 setinggi papilla mammae -Occlusive dressing (jendela 3 sisi) -Chest tube -Ventilasi, pemberian O2 humidifikasi dan resusitasi cairan

Tanda trauma toraks atau hipoksia yang penting adalah peningkatan kecepatan pernafasan dan perubahan pola pernafasan. Sianosis adalah tanda lanjut hipoksia pada pasien trauma. Trauma toraks dapat menyebabkan gangguan pernafasan dan harus ditangani saat primary survey termasuk adanya tension pneumotoraks, flail chest, kontusio paru, dan hemotoraks masif.

Gambar 7. Flail Chest.

10

Gambar 8. Tension Penumothorax.

Gambar 9. Chest Tube. Selain itu, ada juga emfisema subkutan, yaitu emfisema interstisial yang ditandai dengan adanya udara dalam jaringan subkutan, biasanya disebabkan oleh cedera intratoraks dan pada kebanyakan kasus disertai dengan pneumotoraks dan pneumomediatinum. Emfisema subkutis 11

spontan dapat terjadi karena peningkatan tekanan udara di paru yang menyebabkan rupture pada alveoli. Udara berpindah dari alveoli yang rupture tadi menuju intersisium dan sepanjang pembuluh darah paru, menuju mediastinum dan ke jaringan. Gejala klinis tergantung penyebabnya. Tapi, sering muncul gejala pembengkakan pada bagian leher dan nyeri dada. Dan juga bisa terjadi suara serak, nyeri leher, sulit menelan, wheezing dan sulit untuk bernafas. Pada pemeriksaan fisik, teraba adanya gelembung-gelembung udara seperti kertas tissue atau Rice Krispies. Emfisema subkutis tidak memerlukan terapi khusus. Tindakan dilakukan apabila jumlah udara dalam jaringan subkutis sangat banyak dan mempengaruhi pernafasan pasien. Hal pertama yang harus dilakukan adalah memasang chest tube dan memastikan chest tube tersebut berfungsi baik (bila penyebabnya adalah pneumothorax). Pemasangan kateter atau insisi kecil pada kulit dapat membantu mengeluarkan udara dari jaringan subkutan.

Gambar 10. Emfisema Subkutan.

Jika terdapat henti napas : Hal yang dapat dilakukan antara lain Resusitasi Paru, bisa dilakukan melalui : a. Mouth to mouth b. Mouth to mask c. Bag to mask (Ambu bag). Jika menggunakan ventilator oksigen dapat diberikan melalui : a. Kanul. Pemberian Oksigen melaui kanul hanya mampu memberikan oksigen 24-44 %. Sementara saturasi oksigen bebas sebesar 21 %. b. Face mask/ rebreathing mask. Saturasi oksigen melalui face mask hanya sebesar 35-60%. c. Non-rebreathing mask. Pemberian oksigen melalui non-rebreathing mask inilah pilihan utama pada pasien cyanosis. Konsentrasi oksigen yang diantarkannya sebesar 80-90%. Perbedaan antara rebreathing mask dan non-rebreathing mask terletak pada adanya valve yang mencegah udara ekspirasa terinhalasi kembali. 12

Pada pasien pneumotorok perhatikan adanya keadaan pergesaran mediastinum yang tampak pada pergeseran trakea, peningkatan tekanan vena jugularis, dan kemungkinan timbul tamponade jantung.

Circulation
Yang dibicarakan adalah volume darah dan cardiac output serta perdarahan. Perdarahan merupakan penyebab utama kematian pasca trauma yang mungkin dapat diatasi dengan terapi yang cepat dan tepat di rumah sakit. Suatu keadaan hipotensi pada pasien trauma harus dianggap disebabkan hipovolemia. Dengan demikian, maka diperlukan penilaian yang cepat dari status hemodinamik. Ada 3 penemuan klinis dalam hitungan detik dapat memberikan informasi mengenai keadaan hemodinamik pasien yaitu, tingkat kesadaran, warna kulit dan nadi. Bila volume darah menurun, perfusi otak dapat berkurang, yang akan mengakibatkan penurunan kesadaran, walaubagaimanapun, pasien sedar belum tentu normovolemik. Warna kulit juga dapat membantu diagnosis hipovolemia. Pasien trauma yang yang kulitnya kemerahan terutama pada wajah dan akstremitas jarang hipovolemia. Sebaliknya, jika wajah yang pucat keabu-abuan dan kulit pada ekstremitas yang pucat merupakan tanda hipovolemia. Nadi bisa diperiksa pada pembuluh darah yang besar seperti a.femoralis atau a.carotis, ang dinilai kekuatan nadi, kecepatan dan irama regularitas. Nadi yang tidak cepat, kuat dan teratur biasanya merupakan tanda-tanda normovolemia (jika pasien tidak minum obat beta-blocker). Nadi yang cepat dan kecil atau tidak teraba pada a.radialis atau a.dorsalis pedis, merupakan tanda hipovolemia walaupon dapat disebabkan keadaan yang lain. Tidak teraba akibat adanya deplesi volume. Kecepatan nadi yang normal belum tentu normovolemia. Nadi yang tidak teratur biasanya ada tanda gangguan jantung. Jika tidak ditemukannya pulsasi dari arteri besar pada pasien, jadi perlu diberikan resusitasi segera untuk perbaikan volume dan cardiac output. Pada bayi, meraba denyut nadi adalah pada A.Brachialis, yakni pada sisi medial lengan atas. Frekuensi denyut jantung pada orang dewasa adalah 60-100 kali/menit. Bila kurang dari 50 kali/menit disebut bradikardi dan lebih dari 100 kali/menit disebut takikardi. Bradikardi normal sering ditemukan pada atlit yang terlatih. Pada bayi frekuensi denyut jantung adalah 85-200 kali/menit sedangkan pada anak-anak adalah 60-140 kali/menit. Pada syok bila ditemukan bradikardi merupakan tanda diagnostic yang buruk. Jika ditemukan perdarahan terbuka segera tutup dengan bebat tekan. Cegah bertambahnya jumlah darah yang keluar. Tourniqet sebaiknya jangan dipakai karena merusak jaringan dan

13

menyebabkan iskemia distal, sehingga hanya dipakai bila ada amputasi traumatik. Sumber perdarahan internal adalah perdarahan dalam rongga thorax, abdomen, sekitar fraktur dari tulang panjang, retroperitoneal akibat fraktur pelvis atau sebagai akibat dari luka tebus dada/perut. Penanganan luka secara baik dilakukan setelah korban stabil. Vena leher dinilai akan adanya distensi atau tidak. Vena leher tidak mengalami distensi pada pasien hipovolemia, tension pneumotoraks, tamponade jantung atau trauma diafragma. Trauma toraks utama yang mempengaruhi sirkulasi termasuk hemotoraks masif dan tamponade jantung. Hemotoraks masif terjadi akibat akumulasi cepat lebih dari 1500mL darah atau satu pertiga atau lebih volume darah dalam rongga toraks. Biasanya terjadi akibat luka tembus yang merobek pembuluh darah sistemik atau hilar. Hemotoraks masif juga dapat terjadi akibat trauma tumpul. Perdarahan akan disertai hipoksia, vena leher akan ditemui datar akibat adanya hipovolemia berat atau akan mengalami distensi akibat adanya tension pneumotoraks. Hemotoraks masif dijumpai bila syok yang berhubungan dengan hilangnya suara nafas atau perkusi redup pada salah satu sisi hemitoraks. Tabel 2. Besar dan Penanganan Hemotoraks. Besarnya Ukuran Kecil Sedang Besar Bayangan foto rontgen 0-15% 15-35% >35% Pemeriksaan Fisik Perkusi pekak sampai iga IX Perkusi pekak sampai iga VI Perkusi pekak sampai kranial, iga IV Gerakan aktif (fisioterapi) Aspirasi dan transfusi Chest Tube + transfusi Penanganan

Selain itu, tamponade jantung juga menyebabkan gangguan sirkulasi, biasanya akibat dari luka tembus yang menyebabkan pericardium terisi darah yang berasal dari jantung. Triad Becks yaitu peningkatan tekanan vena, penurunan tekanan arteri dan suara jantung menjauh. Tanda Kussmaul (peningkatan tekanan vena pada inspirasi saat bernafas spontan) merupakan gangguan tekanan vena paradoksal yang berhubungan dengan tamponade. Metode diagnostic meliputi ekokardiogram, focused assessment sonogram in trauma (FAST) atau pericardial window. FAST merupakan metode cepat dan akurat untuk pencitraan jantung dan pericardium. Tingkat akurasinya mencapai 90% dalam mendeteksi adanya cairan pericardium.

14

Tabel 3. Class of Hemorrhage shock.

Waspada terhadap terjadinya shock. Langkah awal dalam mengelola syok pada penderita trauma adalah mengetahui tanda-tanda klinisnya. Tidak ada tanda laboratorium yang dapat mendiagnosis syok. Diagnosis awal didasarkan pada gejala dan tanda klinisnya yang timbul akibat dari perfusi organ oksigenasi jaringan yang tidak adekuat. Definisi syok adalah ketidaknormalan dari sistem peredaran darah yang mengakibatkan perfusi organ dan oksigenasi jaringan yang tidak adekuat, juga menjadi perangkat utnuk diagnosis dan terapi. Langkah kedua dalam pengelolaan awal terhadap syok adalah mencari penyebab syok, yang untuk penderita trauma berhubungan dnegan mekanisme cedera. Kebanyakan penderita trauma akan mengalami syok hipovolemik, tetapi akan mengalami syok kardiogenik, neurogenik dan bahkan kadang-kadang syok septik. Mungkin juga tension pneumothorax dapat mengurangi pengembalian darah ke jantung dan mengakibatkan syok. Diagnosis ini harus dipertimbangkan dalam hal penderita yang mungkin cedera diatas diafragma. Syok neurogenik diakibatkan oleh cedera berat pada sistem saraf pusat atau pada medula spinalis. Sebagai pedoman praktis, syok tidak akan disebabkan oleh cedera otak saja. Syok septik jarang ditemukan namun harus dipertimbangkan bagi penderita yang tiba terlambat di fasilitas gawat darurat. Respon dini terhadap kehilangan darah adalah kompensasi tubuh sebagai contoh adalah vasokonstriksi progresif dari kulit, otot dan sirkulasi viseral untuk menjamin arus darah ke ginjal jantung dan otak. Karena ada cedera, respon terhadap berkurangnya volume darah adalah peningkatan denyut jantung sebagai usaha untuk meningkatkan output jantung.

15

Hampir selalu takikardia merupakan respon awal syok. Cara yang paling baik untk memulihkan cardiac output dan perfusi organ adalah dengan memulihkan pengembalian darah ke batas normal dengan memperbaiki volumenya. Penatalaksaan syok diarahkan pada pemulihan perfusi seluler dan organ dengan darah yang dioksigenasi dnegan adekuat. Dalam syok hemoragik hal ini berarti menambah preload atau memulihkan secara adekuat volume darah yang beredar dan bukan hanya mengembalikan tekanan darah dan denyut nadi menjadi normal. Perlu dilakukan monitoring teratur dari indikator-indikator perfusi penderita, agar dapat dilakukan evaluasi respon terhadap terapi dan untuk mengetahui sedini mungkin kalau keadaannya memburuk. Kebanyakan penderita trauma dnegan syok hipovolemik memerlukan intervensi pembedahan utnuk mengatasi keadaan syok. Karena itu adanya syok pada penderita trauma menuntut keterlibatan ahli bedah dengan segera. Tidak ada respons terhadap pemberian cairan dan darah menandakan perlunya tindakan intervensi secepatnya untuk menghentikan perdarahan. Tabel 4. Respons Pasien Terhadap Resusitasi Cairan Dini.

Disability
Menjelang akhir primary survey dilakukan evaluasi terhadap keadaan neurologis secara cepat. Yang dinilai disini adalah tingkat kesadaran, ukurandan reaksi pupil, tanda-tanda lateralisasi dan tingkat cedera spinal. GCS adalah sistem skoring yang sederhana dan dapat meramal kesudahan penderita.

16

Tabel 5. Glasgow Coma Scale.

Penurunan kesadaran dapat disebabkan penurunan oksigenasi atau dan penurunan perfusi ke otak atau disebabkan trauma langsung ke otak. Penurunan kesadaran menuntut dilakukannya reevaluasi terhadap keadaan oksigenasi, ventilasi dan perfusi. Alkohol dan obat-obatan dapat menggangu tingkat kesadaran penderita. Walaupun demikian bila sudah disingkirkan kemungkinan hipoksia atau hipovolemia sebagai sebab penurunan kesadaran, maka trauma kapitis sebagai penyebab penurunan kesadaran dan alkoholisme dapat disingkirkan.

Exposure
Dilakukan penilaian pemajanan pada pasien dengan membuka baju supaya bebas dari terpajan. Walaubagaimanapon, pasien yang mungkin tiba di IGD dalam keadaan hipotermia, atau menjadi hipotermia karena transfusi masif atau resusitasi cairan. Masalah ini sebaiknya diatasi dengan control perdarahan secepat mungkin, misalnya dengan tindakan operatif ataupon alat kompresi eksternal

17

pada fraktur pelvis. Pencegahan hipotermia harus dipandang sama pentingnya dengan semua tindakan lain saat melakukan resusitasi.

Tambahan Primary Survey


Tambahan Primary Survey meliputi monitoring EKG, kateter gaster dan uretra, monitoring lain seperti laju pernafasan, analisa gas darah, Pulse Oxymetry, tekanan darah, pemeriksaan x-ray dan pemeriksaan tambahan lain. Monitor EKG Monitor EKG dipasang pada semua pasien trauma. Disritmia (termasuk takikardi), fibrilasi atrium atau ekstra-sistol dan perubahan segmen ST yang disebabkan kontusio jantung, tamponade jantung, tension pneumothorax, atau hip[ovolemia berat. Bila ditemukan bradikardia, harus segera curiga adanya hipoksia dan hipoperfusi. Hipotermia berat juga dapat menyebabkan hipotermia. Kateter Urin dan Lambung Harus dilapasang kateter urin dan lambung yang merupakan bagian dari proses resusitasi. Produksi urin merupakan indicator dalam menilai keadaan perfusi ginjal dan hemodinamik pasien. Kateter urin jangan dipasang bila diduga rupture uretra. Kecurigaan rupture uretra ditandai oleh; Adanya darah dari orifisium uretra eksterna (meatal bleeding) Ekimosis di perineum. Hematom di skrotum atau perineum. Pada Rectal Touche, prostat letak tinggi atau tidak teraba. Adanya fraktur pelvis.

Kateter lambung (Nasogastric Tube) dipakai untuk mengurangi distensi lambung dan mengurangi kemungkinan muntah. Isi lambung yang pekat akan mengakibatkan NGT tidak berfungsi dan pemasangannya akan menyebabkan muntah. Bila dari NGT keluar darah, bisa dari darah yang tertelan akibat pemasangan NGT atau cedera gaster. Bila lamina kribrosa patah atau diduga patah (fraktur basis crania), kateter lambung harus dipasang melalui mulut untuk mencegah masuknya NGT ke rongga otak. Monitor Lain Monitoring hasil resusitasi sebaiknya didasarkan pada penemuan klinis seperti laju nafas, nadi, tekanan nadi, tekanan darah. ABG, suhu tubuh dan produksi urin. Pulse Oxymetri dapat mengukur

18

saturasi O2, sekaligus tercatat denyut nadi. Jangan dipasang sensor pulse ovymetri distal dari manset tensimeter karena hasil salah akan didapat pada saat manset dikembangkan.

SECONDARY SURVEY
Secondary Survey baru dilakukan setelah Primary Survey selesai, resusitasi dilakukan dan ABC nya pasien dipastikan membaik. Secondary Survey terdiri dari pemeriksaan head-to-toe, termasuk reevaluasi pemeriksaan tanda vital, dilakukan anamnesis singkat yang terdiri dari AMPLE dan pemeriksaan pemeriksaan tambahan yang lain.

Anamnesis
Setiap pemeriksaan yang lengkap memerlukan anamnesis mengenai riwayat perlukaan. Riwayat AMPLE harus ditanyakan; A Alergi M Medikasi P Past Illness/ Pregnancy L Last Meal E Event/Environment

Mekanisme cedera sangat menentukan keadaan pasien. Trauma biasanya dibagi menjadi 2 jenis yaitu trauma tumpul dan trauma tajam. Cedera lain termasuk cedera termal, yaitu luka bakar dan keracunan bahan berbahaya.

Pemeriksaan Fisik (Head-to-toe Examintion)


Pemeriksaan fisik pada secondary survey dilakukan berurutan mulai dari kepala, maksilo-fasial, servikal dan leher, dada, abdomen, perineum/rectum/vagina, musculoskeletal sampai pemeriksaan neurologis. Kepala Survei Sekunder mulai dengan evaluasi kepala. Seluruh kulit kepala harus diperiksa akan adanya luka, kontusio atau fraktur. Jika ada mata yang bengkak, harus diperiksa ketajaman visus, ukuran pupil, perdarahan konjungtuva dan fundus, luka tembus pada mata, lensa kontak, dislocasi lentis dan jepitan otot bola mata. Ketajaman visus dapat diukur dengan membaca gambar Snellen, membaca huruf pada botol infuse atau bungkus perban. Gerakan bola mata harus diperiksa karena kemungkinan terjepitnya otot mata oleh fraktur orbital. 19

Maksilo-fasial Trauma maksilofasial dapat mengganggu airway atau perdarahan yang hebat, yang harus ditangani saat survey sekunder. Pasien dengan fraktur tulang wajah mungkin juga ada fraktur lamina cribrosa. Dalam hal ini, pemakaian kateter lambung harus melalui jalan oral. Vertebra Servikalis dan Leher Pemeriksaan leher meliputi inspeksi, palpasi dan auskultasi. Dinilai adanya cedera tumpul atau tajam, deviasi trakea dan pemakaian otot pernafasan. Dilakukan palpasi untuk adanya nyeri, deformitas, pembengkakan, emfisema subkutan, deviasi trakea, simetri pulsasi dan auskultasi a.karotis akan adanya murmur. Penyumbatan atau diseksi a.karotis dapat terjadi secara lambat tanpa gejala. Angiografi atau Doppler Sonografi dapat menyingkirkan kelainan ini. Bila pasien pakai helm, dan ada kemungkinan fraktur servikal, harus hati-hati sekali saat melepaskan helm. Minta dilakukan foto servikal lateral. Toraks Inspeksi dari depan dan belakang akan menunjukkan adanya flail chest atau open pneumotoraks. Palpasi harus dilakukan pada setiap iga dan klavikula. Penekanan pada sternum dapat nyeri bila ada fraktur sternum atau ada costochondral separation. Kontusi dan hematoma pada dinding dada mungkin disertai kelanan dalam rongga toraks. Kelainan pada toraks mungkin disertai nyeri dan dispnoe serta hipoksia. Evaluasi toraks padat dilakukan dengan pemeriksaan fisik termausk auskultasi disusuli foto roraks. Dilakukan juga auskultasi bunyi jantung selain bunyi nafas. Mediastinum yang melebar atau tanda radiologis lain dapat merupakan tanda rupture aorta. Pada orang tua dan anak, trauma toraks yang ringan dapat berakibat berat. Abdomen Trauma abdomen harus ditangani dengan agresif. Pada saat pasien datang, pemeriksaan abdomen yang normal tidak menyingkirkan diagnosis cedera intraabdomen karena gejala bisa timbul lebih lambat. Diperlukan pemeriksaan ulang dan observasi ketat. Pasien dengan hipotensi yang tidak dapat diterangkan, kelainan neurologis, gangguan kesadaran karena alcohol dan penemuan pemeriksaan fisik yang meragukan harus dipertimbangkan untuk diagnostis peritoneal lavage (DPL), USG abdomen atau CT abdomen dengan kontras. Perineum/Rektum/Vagina Perineum diperiksa akana danya kontusio, hematoma, laserasi dan perdarahan uretra. 20

Colok dubur harus dilakukan sebelum memasang kateter. Harus diteliti akan kemungkinan adanya darah dari lumen rectum, prostat letak tinggi, adanya fraktur pelvis, utuh tidaknya dinding rectum dan tonus m.sfinkter ani. Pada wanita, pemeriksaan colok vagina dapat menentukan adanya darah dalam vagina atau laserasi. Juga harus dilakukan tes kehamilan pada semua wanita usia subur. Muskuloskeletal Ekstremitas diperiksa untuk adanya luka atau deformitas. Fraktur yang kurang jelas dapat ditegakkan dengan memeriksa nyeri, krepitasi dan gerakan abnormal. Penilaian pulsasi dapat menentukan adanya gangguan vascular. Gangguan sensasi dan hilangnya kemampuan kontraksi otot dapat disebabkan kerusakan saraf perifer atau iskemia (termasuk sindrom kompartmen). Neurologis Pemeriksaan neurologis yang teliti meliputi pemeriksaan tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, pemeriksaan motorik dan sensorik. Perubahan dalam status neurologis dapat dihitung dengan Skor GCS. Bila ada cedera kepala, harus segera konsultasi ke bedah syaraf.

Reevaluasi
Penurunan kondisi pasien dapat dinilai apabila dilakukan evaluasi ulang terus menerus. Monitoring tanda vital dan produksi urin penting. Bila perlu lakukan primary survey (ABCDE) dan Resusitasi ulang (ABC).

Penanganan Definitif
Dimulai setelah primary survey dan sekunder selesai. Misalnya menangani keluhan-keluhan pasien lain (selain yang trauma berat). Atau tindakan operatif, serta konsultasi ke dokter spesialis, termasuk dalam tahap ini.

Rekam Medis dan Rujukan


Catat data pasien di rekam medik. Bila fasilitas RS kurang memadai untuk menangani pasien trauma, dapat dirujuk ke RS yang lebih lengkap fasilitasnya.

21

Penutup
Demikianlah makalah ini disusun untuk membantu dan mengingatkan kembali peran dokter yang bekerja di rumah sakit akan pentingnya mengusahakan agar setiap kasus trauma sesegera mungkin mendapat terapi definitive. Urutan pada penanganan pasien multitrauma adalah dari persiapan, triase, primary survey, resusitasi, pertimbangkan rujukan, secondary survey, reevaluasi dan terapi definitive.

Daftar Pustaka
1. American College of Surgeon Committe on Trauma. Advanced Trauma Life Support for Doctors. Ikatan Ahli Bedah Indonesia, penerjemah. Edisi 8. Komisi trauma IKABI, 2012. 2. Ibrahim A. Trauma dan Bencana. In Wim de Jong. Buku Ajar Ilmu Bedah. 2005. Edisi 2. EGC. Jakarta. Pp 89-117. 3. Mahadevan SV, Garmel GM. An Introduction Clinical Emergency Medicine. Cambridge. 2005. Pp 3130. 4. Flint L, Meredith JW, Schwab CW, Trunkey DD, Rue LW, Taheri PA. Trauma : Contemporary Principles and Therapy. Lippincott Williams & Wilkins. 2008. 5. Hamilton GC, Sanders AB, Strange GR, Trott AT. Emergency Medicine : An Approach to Clinical Problem-Solving. Saunders Company. Edisi 2. United States; 2003. 6. Smith ML, Grady MS. Neurosurgery. Dalam: Schwarrtz Principles of Surgery. 8th ed. McGraw-Hill, 2005; 1615-20.

22

Anda mungkin juga menyukai