Anda di halaman 1dari 8

CROUP ( Laringotrakeobronkitis Akut) Kiagus Yangtjik, Dwi Wastoro Dadiyanto

Sindrom croup, adalah sindrom klinis yang di tandai dengan suara serak, batuk menggonggong, stridor inspirasi, dengan atau tanpa adanya stres pernapasan. Penyakit ini sering terjadi pada anak. Croup berasal dari bahasa Anglo-saxon yang berarti tangisan keras. Pada ini pertama kali dikenal pada tahun 1928. Istilah lain untuk croup ini adalah laringitis akut yang menunjukkan lokasi inflamasi, yang jika meluas hingga trakea disebut laringotrakeitis, dan jika sampai ke bronkus digunakan istilah laringotrakeobronkitis. Sindrom croup adalah laringotrakeobronkitis akut disebabkan oleh virus yang menyerang saluran respiratori atas. Penyakit ini dapat menimbulkan obstruksi saluran respiratori. Obstruksi yang terjadi dapat bersifat ringan hingga berat. Sifat penyakit ini adalah self-limited, tetapi kadang-kadang cenderung menjadi berat bahkan fatal. Sebelum kortikosteroid digunakan secara luas, 30% kasus croup harus dirawat di RS dan 1,7% memerlukan intubasi endotrakea. Akan tetapi, setelah kortikosteroid digunakan secara luas, kasus croup yang memerlukan perawatan di RS menurun drastis, dan intubasi endotrakea jarang dilakukan. Di alberta, lebih dari 60% anak di diagnosis croup derajat ringan, 4% (satu dari 170 anak memerlukan perawatan di RS) dan 4% (satu dari 4.500 anak) harus diintubasi.

Definisi
Croup adalah terminologi umum yang mencakup suatu grup penyakit heterogen yang mengenai laring, infra/subglotis, trakea dan bronkus. Karakteristik sindrom croup adalah batuk yang menggonggong , suara serak, stridor inspirasi, dengan atau tanpa adanya obstruksi jalan napas. Secara umum croup dikelompokkan dalam 2 kelompok yaitu : 1. Viral croup : ditandai oleh gejala prodromal infeksi respiratori;gejala obstruksi saluran respiratori berlangsung selama 3-5 hari. Beberapa penulis menyebutkan kelompok ini laringotrakeobronkitis.

2. Spasmatic croup : spasmodic cough, terdapat faktor atopik, tanpa gejala prodromal;anak dapat tiba-tiba mengalami gejala obstruksi saluran respiratori, biasanya pada waktu malam menjelang tidur, serangan terjadi sebentar, kemudian normal kembali. Berdasarkan derajat kegawatan, croup dibagi menjadi empat kategori. 1. Ringan;ditandai dengan adanya batuk keras menggonggong yang kadang-kadang muncul, stridor yang tidak terdengar ketika pasien beristirahat/tidak beraktivitas, dan retraksi ringan dinding dada. a. Sedang;ditandai dengan batuk menggonggong yang sering timbul, stridor ``yang mudah di dengar ketika pasien beristirahat/tidak beraktivitas, retraksi dinding dada yang sedikit terlihat, tetapi tidak ada gawat napas (respiratory distress). 2. Berat;ditandai dengan batuk menggonggong yang sering timbul, stridor inspirasi yang sering terdengar jelas ketika pasien beristirahat, dan kadang-kadang disertai dengan stridor ekspirasi, retraksi dinding dada, dan gawat napas. 3. Gagal napas mengancam;batuk kadang-kadang tidask jelas, terdengar stridor (kadangkadang sangat jelas ketika pasien beristirahat), gangguan kesadaran, dan letargi.

Epidemiologi
Sindrom croup biasanya terjadi pada anak berusia 6 bulan-6 tahun, dengan puncaknya pada usia 1-2 tahun. Akan tetapi, croup juga dapat terjadi pada anak berusia 3 bulan dan di atas 5 tahun. Penyakit ini lebih sering terjadi pada anak laki-laki daripada anak perempuan, dengan rasio 3:2. Angka kejadiannya meningkat pada musim dingin dan musim gugur, tetapi penyakit dapat terjadi sepanjang tahun. Pasien croup merupakan 15% dari seluruh pasien dengan respiratori yang berkunjung ke dokter. Kekambuhan sering terjadi pada usia 3-6 tahun dan berkurang sejalan dengan pematangan struktur anatomi saluran respiratori atas. Hampir 15% pasien sindrom croup mempunyai keluarga dengan riwayat penyakit yang sama.

Etiologi
Virus tersering sindrom croup (sekitar 60% kasus) adalah human Parainfluenza virus type 1 (HPV-1), HPIV-2,3 dan 4, virus influenza A dan B, Adenovirus, respiratory syncytial virus (RSV), dan virus campak. Meskipun jarang, pernah juga ditemukan Mycoplasma pneumonia.

Patogenesis
Seperti infeksi respiratori pada umumnya, infeksi virus pada laringotrakeitis, laringotrakeobronkitis, dan laringotrakeobronkopneumonia dimulai dari nasofaring dan menyebar ke epitelium trakea dan laring. Peradangan difus, eritema, dan edema yang terjadi pada dinding trakea menyebabkan terganggunya mobilitas pita suara serta area subglotis mengalami iritasi. Hal ini menyebabkan suara pasien menjadi serak (parau). Aliran udara yang melewati saluran respiratori atas mengalami turbulensi sehingga menimbulkan stridor, diikuti dengan retraksi dinding dada (selama inspirasi). Pergerakan dinding dada dan abdomen yang tidak teratur menyebabkan pasien kelelahan serta mengalami hipoksia dan hiperkapnea. Pada keadaan ini dapat terjadi gagal napas atau bahkan henti napas.

Manifestasi klinis dan perjalanan penyakit Manifestasi klinis biasanya didahului dengan demam yang tidak yang begitu tinggi selama 12-72 jam, hidung berair, nyeri menelan, dan batuk ringan. Kondisi ini akan berkembang menjadi batuk ringan, suara menjadi parau dan kasar. Gejala sistemik yang menyertai seperti demam, malaise. Bila keadaan berat dapat terjadi sesak napas, stridor inspiratorik yan berat, retraksi, dan anak tampak gelisah, dan akan bertambah berat pada malam hari. Gejala puncak terjadi pada 24 jam pertama hingga 48 jam. Biasanya perbaikan akan tampak dalam waktu satu minggu. Anak akan sering menangis, rewel, dan akan merasa nyaman jika duduk di tempat tidur atau digendong.

Diagnosis
Diagnosis klinis ditegakkan berdasarkan gejala klinis yang timbul. Pada pemeriksaan fisis ditemukan suara serak, hidung berair, peradangan faring, dan frekuensi napas yang sedikit meningkat. Kondisi pasien bervariasi sesuai dengan derajat stres pernapasan yang diderita. Pemeriksaan langsung area laring pada pasien croup tidak terlalu diperlukan. Akan tetapi, bila diduga terdapat epiglotis (serangan akut, gawat napas/respiratory distress, disfagia, drooling) maka pemeriksaan tersebut sangat diperlukan.

Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan laboratorium dan radiologi tidak perlu dilakukan karena biasanya diagnosis dapat ditegakkan hanya dengan anamnesis, gejala klinis, dan pemeriksaan fisis. Bila ditemukan peningkatan leukosit > 20.000/mm yang didominasi oleh PMN, kemungkinan telah terjadi superinfeksi, misalnya epiglotitis.

Pemeriksaan radiologis dan CT-scan Pada pemeriksaan radiologis leher posisi postero-anterior ditemukan gambaran udara steeple sign (seperti menara) yang menunjukkan adanya penyempitan columna subglotis. Gambaran radiologis seperti ini hanya dijumpai pada 50% kasus. Melalui pemeriksaan radiologis, croup dapat dibedakan dengan berbagai diagnosis bandingnya. Gambaran foto jaringan lunak ( intensitas rendah) saluran napas atas dapat dijumpai sebagai berikut : 1. Pada trakeitis bakterial, tampang gambaran membran trakea yang compang-camping. 2. Pada epiglotis, tampak gambaran epiglotis yang menebal. 3. Pada abses retrofaringeal, tampak gambaran posterior faring yang menonjol.

Pemeriksaan CT-scan dapat lebih jelas menggambarkan penyebab obstruksi pada pada pasien dengan keadaan klinis yang lebih berat, seperti adanya stridor sejak usia dibawah enam bulan atau stridor saat aktivitas. Selain itu, pemeriksaan ini juga dilakukan bila pada gambaran radiologis dicurigai adanya massa.

Tatalaksana
Tatalaksana utama bagi pasien croup adalah mengatasi obstruksi jalan napas. Sebagian besar pasien croup tidak perlu dirawat di RS, melainkan cukup dirawat di rumah. Pasien dirawat di RS bila dijumpai salah satu dari gejala-gejala berikut : anak berusia di bawah 6 bulan, terdengar stridor progresif, stridor terdengar ketika sedang beristirahat, terdapat gejala gawat napas, hipoksemia, gelisah, sianosis, gangguan kesadaran, demam tinggi, anak tampak toksik, dan tidak ada respon terhadap terapi.

Terapi inhalasi
Sejak abad ke-19, terapi uap digunakan untuk mengatasi obstruksi jalan napas atas pada sindrom croup. Pemakain uap dingin lebih baik daripada uap panas, karena kulit akan melepuh akibat paparan uap panas. Uap dingin akan melembabkan saluran respiratori, sekaligus memberikan efek yang nyaman dan menenangkan bagi anak. Meskipun terapi uap ini dapat menjadi pilihan yang praktis pada sindrom croup, kelembaban yang ditimbulkan pada terapi uap dapat pula memperberat keadaan pada anak dengan bronkospasme yang disertai dengan mengi, seperti laringotrakeobronkitis atau pneumonia. Saat ini beberapa pusat kesehatan tidak merekomendasikan penggunaan terapi uap. Berdasarkan tiga penelitian yang menggunakan air dingin tersaturasi ( cold water fog), tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa penggunaannnya untuk mengobati croup menguntungkan. Gina dkk. Melakukan penelitian RCT dengan memberikan terapi oksigen lembab (humidified oxygen) pada pasien croup derajat sedang di UGD. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan perbaikan klinis antara kelompok yang diberi terapi oksigen lembab dan yang tidak diberikan.

Epinefrin
Sindrom croup biasanya cukup diatasi dengan terapi uap saja. Tetapi kadang-kadang membutuhkan farmakoterapi. Nebulisasi epinefrin telah digunakan untuk mengatasi sindrom croup selama hampir 30 tahun, dan pengobatan dengan epinefrin ini menyebabkan trakeostomi hampir tidak diperlukan. Nebulisasi epinefrin sebaiknya juga diberikan kepada anak dengan sindrom croup sedang-berat yang disertai dengan stridor saat istirahat dan membutuhkan intubasi, serta pada anak dengan retraksi dan stridor yang tidak mengalami perbaikan setelah setelah diberikan terapi uap dingin. Nebulisasi nefrin akan menurunkan permeabilitas vaskular epitel bronkus dan trakea, memperbaiki edema mukosa laring, dan meningkatkan laju udara pernapasan. Pada penelitian dengan metode double blind, efek terapi nebulisasi epinefrin ini timbul dalam waktu 30 menit dan bertahan selama dua jam.

Epinefrin yang dapat digunakan antara lain adalah sebagai berikut. 1. Racemic epinefrin ( campuran 1:1 isomer d dan 1 epinefrin); dengan rasio 0,5 ml larutan racemic epinephrine 2,25% yang telah dilarutkan dalam 3 ml salin normal. Larutan tersebut diberikan dalam nebulizer selama 20 menit. 2. L-epinephrine 1:1000 sebanyak 5 ml; diberikan melalui nebulizer. Efek terapi terjadi dalam dua jam. Racemic epinephrine, merupakan pilihan utama, efek terapinya lebih besar, dan mempunyai sedikit efek terhadap kardiovaskular seperti takikardi dan hipertensi. Nebulisasi epinephrine masih dapat diberikan pada pasien dengan takikardi dasn kelainan jantung seperti tetralogi fallot.

Kortikosteroid
Kortikosteroid mengurangi edema pada mukosa laring melalui mekanisme antiradang. Uji klinik menunjukkan adanya perbaikan pada pasien laringotrakeitis ringan-sedang yang diobati dengan steroid oral atau parenteral dibandingkan dengan plasebo.

Deksametason
Deksametason diberikan dengan dosis 0,6 mg/kgBB per oral/intramuskular sebanyak satu kali, dan dapat diulang dalam 6-24 jam. Efek klinis akan tampak 2-3 jam setelah pengobatan. Tidak ada penelitian yang menyokong keuntungan penambahan dosis. Keuntungan pemakaian kortikosteroid adalah sebagai berikut : Mengurangi rata-rata tindakan intubasi Mengurangi rata-rata lama rawat inap Menurunkan hari perawatan dan derajat penyakit

Selain deksametason, dapat juga diberikan prednison atau prednisolon dengan dosis 1-2 mg/kgBB (E4). Berdasarkan dua penelitian meta analisis (24 RCT) tentang pemakaian kortikosteroid sistemik, dengan pemberian kortikosteroid 6-12 jam, tidak sampai 24 jam, disimpulkan bahwa tidak ada pengaruh dari kortikosteroid sistemik.

Budesonid
Nebulisasi budesonid dipakai sejak tahun 1990, tingkat efeksifitasnya adalah E2 bila dibandingkan dengan plasebo. Larutan 2-4 mg budesonid (2ml) diberikan melalui nebulizer

dan dapat diulang pada 12 dan 48 jam pertama. Efek terapi nebulisasi budesonid terjadi dalam 30 menit, sedangkan kortikosteroid terjadi dalam setu jam. Pemberian terapi ini mungkin akan lebih bermanfaat pada pasien dengan gejala muntah dan gawat napas ( respiratory distress) yang hebat. Budesonid dan epinefrin dapat digunakan secara bersamaan. Sebagian besar kasus pemakaian budesonid tidak lebih baik daripada deksametason oral. Kortikosteroid tidak diberikan pada anak dengan varisela dan TB ( kecuali pada anak yang sedang mendapat OAT). Pemakaian kortikosteroid dalam jangka waktu lama (1 mg/kgBB/hari selama delapan hari) dapat meningkatkan infeksi candida albicans.

Intubasi endotrakeal
Intubasi endotrakeal dilakukan pada pasien sindrom croup yang berat, yang tidak responsif terhadap terapi lain. Intubasi trakeal merupakan terapi alternatif selain trakeostomi untuk mengatasi obstruksi jalan napas. Indikasi melakukan intubasi endotrakeal adalah adanya hiperkarbia dan ancaman gagal napas. Selain itu, intubasi juga diperlukan bila terjadi peningkatan stridor, peningkatan frekuensi napas, peningkatan frekuensi nadi, retraksi dinding dada, sianosis, letargi, atau penurunan kesadaran. Intubasi hanya dibutuhkan untuk jangka waktu yang singkat, yaitu hingga edema laring hilang/teratasi.

Kombinasi oksigen-helium
Kombinasi oksigen helim (heliox) digunakan oleh beberapa sentra untuk mengatasi sindrom croup. Helium bersifat inert, tidak beracun, serta mempunyai densitas dan viskositas yang rendah. Hal ini sangat membantu mengurangi obstruksi jalan napas, yaitu dengan meningkatkan aliran gas dan mengurangi kerja otot-otot respiratori. Bila helium dikombinasikan dengan oksigen, maka oksigenasi darah akan meningkat. Dengan terapi oksigen ini, pasien sindrom croup berat akan merasa nyaman dan kemungkinan besar tidak memerlukan tindakan intubasi. Efek klinis pemberian kombinasi oksigen-helium hampir sama dengan pemberian nebulisasi epinefrin.

Antibiotik
Pemberian antibiotik tidask diperlukan pada pasien sindrom croup, kecuali pasien dengan laringotrakeobronkitis dan laringotrakeopneumonitis yang disertai infeksi bakteri. Pasien diberikan terapi empiris sambil menunggu hasil kultur. Terapi awal dapat menggunakan

sefalosporin generasi ke-2 atau ke-3. Pemberian sedatif dan dekongestan oral tidak dianjurkan pada pasien sindrom croup.

Komplikasi
Pada 15% kasus dilaporkan terjadi komplikasi, misalnya otitis media, dehidrasi, dan pneumonia (jarang terjadi). Sebagian kecil pasien memerlukan tindakan intubasi. Gagal jantung dan gagal napas dapat terjadi pada pasien yang perawatan dan pengobatannya tidak adekuat.

Prognosis
Sindrom croup biasanya bersifat self-limited dengan prognosis yang baik.

Anda mungkin juga menyukai