Anda di halaman 1dari 23

MODEL PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL Munculnya pembelajaran kontekstual di latarbelakangi oleh rendahnya mutu keluara n atau hasil pembelajaran yang

ditandai dengan ketidakmampuan sebagian siswa men ghubungkan apa yang telah mereka pelajari dengan cara pemanfaatan pengetahuan te rsebut pada saat ini dan di kemudian hari dalam kehidupan siswa .Oleh karena itu ,perlu pembelajaran yang mampu mengaitkan isi materi dengan dunia nyata siswa,di antaranya melalui penerapan contextual teaching dan learning. A. Pengertian Pembelajaran Konstekstual 1. Menurut Blanchard(2001:1),Berns dan Erikson(2001:2) Pembelajaran kontekstual merupakan konsep belajar dan mengajar yang membantu gur u mengaitkan antara materi yang di ajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan pene rapan dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga,warga negara,dan pekerja. 2. Menurut Hull s dan Sounders(1996:3) Di dalam pembelajaran kontekstual,siswa menemukan hubungan penuh antara ide-ide abstrak dengan penerapan praktis di dalam konteks dunia nyata.Siswa menginternal isasi konsep melalui penemuan,penguatan,dan keterhubungan.Pembelajaran kontekstu al menghendaki kerja sama dalam sebuah tim,baik di kelas,laboratorium,tempat bek erja maupun bank.Pembelajaran kontekstual menuntut guru mendesign lingkungan bel ajar yang merupakan gabungan beberapa bentuk pengalaman untuk mencapai hasil yan g di inginkan. 3. Johnson(2002:24) Pembelajaran kontekstual memungkinkan siswa menghubungkan isi materi dengan kont eks kehidupan sehari-hari untuk menemukan makna. Dari beberapa definisi pembelajaran kontekstual dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kontekstual adalah pendekatan pembelajaran yang mengaitkan antara m ateri yang dipelajari dengan kehidupan nyata siswa sehari-hari,baik dalam lingku ngan sekolah,masyarakat maupun warga Negara,dengan tujuan untuk menemukan makna materi tersebut bagi kehidupanya. B. Model Pembelajaran Kontekstual Pembelajaran kontekstual sebagai suatu pendekatan pembelajaran masih harus dijab arkan lebih lanjut ke dalam strategi dan model pembelajaran tertentu,sehingga mu dah dipraktikan di sekolah.Berdasarkan hasil wawancara guru di lapangan ditemuka n bahwa permasalahan tentang kebingungan guru dalam mempraktikan kontekstual,kar ena belum ada penjabaran yang jelas tentang strategi dan model pembelajaran kont ekstual.Oleh karena itu,perlu diklarifikasikan strategi pembelajaran dalam pembe lajaran kontekstual dan model-model pembelajaran berbasis kontekstual yang bisa dikembangkan guru di sekolah. 1.Pengertian Pendekatan,Strategi,Metode,Teknik dan Model pembelajaran. Dalam proses pembelajaran dikenal beberapa istilah yang memliliki kemiripan makn a,sehingga sering kali orang merasa bingung untuk membedakanya.Istilah tersebut adalah: (1) pendekatan pembeljaran; (2) strategi pembelajaran;(3) metode pembela jaran; (4) teknik pembelajaran; (5) taktik pembelajaran; dan (6) model pembelaja ran.Berikut ini akan dipaparkan istilah-istilah tersebut,dengan harapan dapat me mberikan kejelasan tentang penggunaan istilah tersebut. Pendekatan Pembelajaran diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran,yang merujuk pada pandangan tentang terjadiny a suatu proses yang sifatnya masih sangat umum,di dalamnya mewadahi,menginspiras i,menguatkan,dan melatari metode pembelajaran dengan cakupan teoritis tertentu.D ilihat dari pendekatannya,terdapat dua jenis pendekatan pembelajaran,yaitu : (1) pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada siswa(student cent ered approach) dan pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada guru(teacher centered approach). Komalasari (2008) mengelompokkan pendekatan pembelajaran ke dalam pendek atan kontekstual dan pendekatan. konvensional/tradisional.Pendekatan kontekstual menempatkan siswa dalam konteks bermakna yang menghubungkan pengetahuan awal si swa dengan materi yang sedang dipelajari dan sekaligus memperhatikan faktor kebu

tuhan individual siswa dan peran guru. Dari pendekatan pembelajaran yang telah ditetapkan selanjutnya diturunka n ke dalam strategi pembelajaran.Newman dan logan (Makmun,2003) mengemukakan emp at unsur strategi dari setiap usaha,yaitu: 1. Mengidentifikasikan dan menetapkan spesifikasi serta kualifikasi hasil(o utput) dan sasaran (target) yang harus dicapai,dengan mempertimbangkan aspirasi dan selera masyarakat yang memerlukanya. 2. Mempertimbangkan dan memilih jalan pendekatan utama(basic way) yang pali ng efektif untuk mencapai sasaran. 3. Mempertimbangkan dan menetapkan langkah-langkah(steps) yang akan ditempu h sejak titik awal sampai dengan sasaran. 4. Mempertimbangkan dan menetapkan tolak ukur(criteria) dan patokan ukuran( standard) untuk mengukur dan menilai tarif keberhasilan(achievement) usaha. Jika kita terapkan dalam konteks pembelajaran,keempat unsur tersebut adalah: 1. Menetapkan spesifikasi dan kualifikasi tujuan pembelajaran yakni perubah an profil perilaku dan pribadi peserta didik. 2. Mempertimbangkan dan memilih sistem pendekatan pembelajaran yang dipanda ng efektif. 3. Mempertimbangkan dan meneptakan langkah-langkah atau prosedur,metode dan teknik pembelajaran.] 4. Menetapkan norma-norma dan batas minimum ukuran keberhasilan atau kriter ia dan ukuran baku keberhasilan. Sementara itu,Kemp(Sanjaya,2008)mengemukakan bahwa strategi Pembelajaran adalah suatu kegiatan pembelajaran yang harus dikerjakan guru dan siswa agar tujuan pem belajaran dapat dicapai secara efektif dan efisien.Selanjutnya,dengan mengutip p emikiran J.R.David,Sanjaya(2008) disebutkan bahwa dalam strategi pembelajaran te rkandung makna perencanaa.Artinya,bahwa strategi pada dasarnya masih bersifat ko nseptual tentang keputusan-keputusan yang akan di ambil dalam suatu pelaksanaan pembelajaran.Dilihat dari strateginya,pembelajaran dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian pula,yaitu: (1)exposition-discovery learning dan (2)group-individual learning (Rowntree dalam Wina Senjaya,2008).Ditinjau dari cara penyajian dan car a pengolahanya,strategi pembelajaran dapat dibedakan antara strategi pembelajara n induktif dan strategi pembelajaran deduktif. Sehubungan dengan itu pendekatan pembelajaran kontekstual diturunkan ke dalam beberapa strategi pembelajaran.Ditjen Dikdasmen(2003:4-8) mengelompokkan 7 strategi pembelajaran kontekstual,yaitu: (1) belajar berbasis masalah (problembased learning), (2) pengajaran autentik (authentic instruction), (3) belajar be rbasis inquiri (inquiri-based learning),(4) belajar berbasis proyek/tugas terstr uktur (project-based learning),(5) belajar berbasis kerja (work-based learning), (6) Belajar jasa layanan (service learning),(7) belajar kooperatif (cooperative learning).Hal ini sejalan dengan lima strategi yang dikemukakan Bern dan Erikso n (2001 :5-11),yaitu: (1)pembelajaran berbasis masalah (problem-based learning), (2) pembelajaran kooperatif (cooperative learning),(3) Pembelajaran berbasis pro yek (project-based learning),(4)Pembelajaran pelayanan (service learning),dan (5 ) pembelajaran berbasis kerja(work-based learning). Dari berbagai strategi pembelajaran kontekstual yang paling dikemukan oleh Bern dan Erickson serta depdiknas,maka penulis meramunya ke dalam beberapa strategi p embelajaran kontekstual dalam pembelajaran pendidikan kewarganegaraan yaitu pemb elajaran berbasis masalah,pembelajaran berbasis masalah,pembelajaran kooperatif, pembelajaran berbasis proyek,pembelajaran pelayanan ,pembelajaran berbasis kerja ,ditambah dengan pembelajaran nilai,karena esensi dari Pendididka Kewarganegara n sebagai value-based education. Strategi pembelajaran sifatnya masih konseptual dan untuk mengimplementa sikan digunakan berbagai metode pembelajaran tertentu.Dengan kata lain,strategi merupakan a plan of operation achieving something ,sedangkan metode adalah a way in achieving something (sanjaya:2008).Jadi,metode pembelajaran dapat diartikan sebaga i cara yang digunakan untuk mengimplementasikan renana yang sudah disusun dalam bentuk kegiatan nyata dan praktis untuk mencapai tujuan pembelajaran.Terdapat me tode pembeljaran yang dapat digunakan untuk mengimplemtasikan strategi pembelaja ran yang dapat digunakan diantaranya:ceramah,demokrasi,diskusi,simulasi,laborato

rium,pengalaman lapangan,brainstormin,debat,symposium dan sebagainya. Selanjutnya metode pembelajaran dijabarkan ke dalam teknik dan gaya pemb elajaran.Dengan demikian,Teknik Pembelajaran dapat diartikan sebagai cara yang d ilakukan seseorang dalam mengimplementasikan suatu metode secara spesfik.Misalny a,penggunaan metode ceramah dalam kelas dengan jumlah siswa yang relatif banyak membutuhkan teknik tersendiri,dengan penggunaan metode diskusi,perlu digunakan t eknik yang berbeda pada kelas yang tergolong aktif dengan kelas yang siswanya te rgolong pasif.Dalam hal ini,gurupun dapat berganti-ganti teknik meskipun dalam k oridor metode yang sama. Sementara taktik pembelajaran merupakan gaya seseorang dalam melaksanaka n metode atau teknik pembelajaran tertentu yang sifatnya individual.Misalkan,ter dapat dua orang yang sama-sama menggunakan metode ceramah,tetapi mungkin akan sn gat berbeda dalam taktik yang digunakanya.Dalam penyajiannya,yang satu enderung banyak diselingi dengan humor karena memang dia memiliki sense of humor yang tin ggi,sementara yang satunya lagi kurang memiliki sense of humor,tetapi lebih bany ak menggunakan alat bantu elektronik karena dia memang sangat menguasai bidang i tu.Dalam hal gaya pembelajaran akan tampak keunikan atau kekhasan dari masing-ma sing guru,sesuai dengan kemampuan,pengalaman,dan tipe kepribadian guru yang bers angkutan.Dalam taktik ini,pembelajaran akan menjadi sebuah ilmu sekaligus sebuah seni(kiat). Apabila antara pendekatan,strategi,metode,teknik,dan bahkan taktik pembe lajaran sudah terangkai menjadi datu kesatuan utuh maka terbentuklah apa yang di sebut dengan model pembelajaran.Jadi ,model pembelajarann pada dasarnya merupaka n bentuk pembelajaran yang tergambar dari awal sampai akhir yang disajikan seara khas oleh guru.Dengan kata lain,model pembelajaran merupakan bungkus atau bingk ai dari penerapan suatu pendekatan,metode dan teknik pembelajaran. Gambar Diluar istilah-istilah tersebut,dalam proses pembelajaran dikenal juga desain pe mbelajaran.Jika strategi pembelajaran lebih berkenaan dengan pola umum dan prose dur umum aktivitas pembelajaran,sedangkan desain pembelajaran lebih menunjuk kep ada cara-cara merencanakan suatu system lingkunga belajar tertentu setelah ditet apkan strategi pembelajaran tertentu.Jika dianalogikan dengan pembuatan rumah,st rategi membicarakan tentangberbagai kemungkinan tipe atau data jenis rumah yang hendak dibangun(rumah joglo,rumah gadang,rumah modern,dan sebagainya),masing-mas ing akan menampilkan kesan dan pesan yang berbeda dan unik yang akan dibangun be serta bahan-bahan yang diperlukan dan urutan-urutan langkah konstruksinya,ataupu n kriteria penyelesaiannya,mulai dari tahap awal sampai dengan tahap akhir,setel ah ditetapkan tipe rumah yang akan dibangun. Berdasarkan uraian di atas,maka untuk dapat melaksanakantugasnya secara propesional,seorang guru dituntut dapat memahami dan memiliki ketermpilan yang m emadai dalam mengembangkan berbagai model pembelajaran yang efektif,kreaif dan m enyenangkan ,sebagaiman diisyaratkan dalam kurikukulum tingkat satuan pendidikan .Mencermati upaya reformasi pembelajaran yang sedang dikembangkan di Indonesia,p ara guru atau calon guru saat ini banyak ditawari dengan aneka pilihan model pem belajaran,yang kadang-kadang untuk kepentingan penelitian(penelitian akademik at aupun penelitian tindakan)sangat sulit menemukan sumber-sumber literaturnya.Namu n,jika para guru (calon guru) telah dapat memahami konsep atau teori dasar pembe lajaran yang meujuk pada proses (beserta dan teori)pembelajaran sebagaimana dike mukakan di atas,maka pada dasarnya guru pun dapat secara kreatif mencobakan dan mengembangakan model pembelajaran tersendiri yang khas,sesuai dengan kondisi nya ta ditempat kerja masing-masing,sehingga pada giliranya akan muncul model-model pembelajaran versi guru yang bersangkutan ,yang tentnya semakin memperkaya khaza nah model pembelajaran yang telah ada. pemecahan masalah, Berta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensi Bar i mata pembelajaran. Balam hal in siswa terlibat Balam penyelidikan untuk pemeca han masalah yang mengintegrasikan keterampilan dan konsep Bari berbagai isi mate ri pelajaran. Strategi ini rnencakup pengumpulan informasi berkaitan dengan pert anyaan, menyintesa, Ban mempresentasikan penemuannya kepaBa orang lain. (Depdikn as, 2003: 4) Bern Ban Erickson (2001: 5) menegaskan bahwa pembelajaran berbasis masalah (prob

lem-based learning) merupakan strategi pembelajaran yang rnelibatkan siswa Balam memecahkan masalah Bengan mengintegrasikan berbagai konsep Ban keterampilan Bar i berbagai disiplin ilmu. Strategi ini meliputi mengumpulkan Ban menyatukan info rmasi, dan mempresentasikan penemuan. Model-model pembelajaran berbasis masalah meliputi: 1. Problem-based Introduction (PBI) Problem Based Instruction (PBI) memusatkan paBa masalah kehiBupannya yang bermak na bagi siswa, peran guru menyajikan rnasalah, mengajukan pertanyaan dan memfasi litasi penyelidikan Ban dialog. Langkah-langkah: a. Guru menjelaskan kompetensi yang ingin dicapai dan menyebutkan sarana at au alat pendukung yang dibutuhkan. Memotivasi siswa untuk terlibat Balam aktivit as pemecahan masalah yang b. Guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar y ang berhubungan dengan masalah tersebut (menetapkan topik, tugas, jaBwal, dli.) c. Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, eksperime n untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah, pengumpulan data, hipotesi s, pemecahan masalah. d. Guru membantu siswa Balam merencanakan menyiapkan karya yang sesuai sepe rti laporan dan membantu mereka berbagi tugas dengan temannya, e. Guru membantu siswa untuk melakukan refieksi atau evaluasi terhadap eksperimen mereka dan proses-proses yang mereka gunakan, 2. Debate Debat merupakan salah satu model pembelajaran yang sangat penting untuk meningka tkan kemampuan akademik siswa. Materi ajar dipilih dan disusun menjadi paket pro dan kontra. Siswa dibagi ke dalam beberapa kelompok clan setiap kelompok terdir i dari empat orang. Di dalam kelompoknya, siswa (dua prang mengambil posisi pro dan dua orang lainnya dalam posisi kontra) melakukan perdebatan tentang topik ya ng ditugaskan. Laporan masing-masing kelompok yang menyangkut kedua posisi pro d an kontra diberikan kepada guru. Selanjutnya guru dapat mengevaluasi setiap sisw a tentang penguasaan materi yang meliputi kedua posisi tersebut dan mengevaluasi seberapa efektif siswa terlibat dalam prosedur debat. Langkah-langkah: a. Guru membagi 2 kelompok peserta debat yang satu pro dan yang lainnya kon tra. b. Guru memberikan tugas untuk membaca materi yang akan didebatkan oleh ked ua kelompok di atas. c. Setelah selesai membaca materi, guru menunjuk salah satu anggota kelompo k pro untuk berbicara saat itu, kemudian ditanggapi oleh kelompok {contra. Demik ian seterusnya sampai sebagian besar siswa bisa mengemukakan pendapatnya. d. Sementara siswa menyampaikan gagasannya, guru menulis inti/ideide dari se tiap pembicaraan sampai mendapatkan sejumlah ide yang diharapkan. e. Guru menambahkan konsep/ide yang belum terungkap. f. Dari data-data yang diungkapkan tersebut, guru mengajak siswa membuat kesimpulan/rangkuman yang mengacu pada topik yang ingin dicapai. 3. Controversial Issues Isu kontroversial adalah sesuatu yang mudah diterima oleh seseorang atau kelompo k tetapi juga mudah ditolak oleh prang atau kelompok lain (Muessig, 1975: 4). Ke cenderungan seseorang atau kelompok untuk memihak didasari oleh pertimbangan-per timbangan pemikiran tertentu. Langkah-langkah pembelajaran dengan menggunakan isu kontroversial seperti dikemuk akan oleh 1-lasan (1996: 203-204) adalah sebagai berikut: Langkah pertama, guru menyajikan materi yang mengandung isu kontroversial. Penyajian ini dapat ditakuk an melalui penjelasan guru, atau siswa membaca dan mendengar isu kontroversial y ang telah disiapkan guru. Langkah kedua, guru mengundang berbagai pendapat diser tai argumentasi clan' siswa mengenai isu tersebut. Pendapat-pendapat berbeda dii dentifikasi sebagai isu kontroversial. Langkah ketiga, isu kontroversial yang su dah dapat diidentifikasi dijadikan bahan diskusi. Setiap orang dapat menjadi pem bela atau penyerang suatu pendapat. Diskusi yang dilakukan ini untuk melihat kek uatan dan kelemahan pendapat masing-masing. Kegiatan kelas tidak perlu diarahkan

untuk mendapatkan kesepakatan-kesepakatan. DaJan', nienarik kesimpulan guru dan siswa melihat kelemahan dan keunggulan masing-masing pendapat. Ketika kita pertama kali menggunakan pembelajaran isu kontoversial, sebaiknya gu ru tidak terlalu banyak mengungkapkan banyak isu yang berbeda. Dua atau tiga isu yang berbeda sudah dianggap cukup. Semakin lama semakin mampu siswa berbeda pen dapat dengan baik, maka jumlah isu kontroversial pun dapat ditingkatkan. Wiriaatmadja (2001: 2) mengemukakan langkah-langkah pembelajaran dengan menggunak an isu kontroversial adalah sebagai berikut: a. Guru dan siswa melakukan brainstorming mengenai isu-isu kontroversial ya ng akan dibahas. b. Siswa berkelompok memilih salah satu kasus untuk dikaji. c. Sis.wa melakukan inkuiri, mengundang narasumber, membaca buku, mengumpul kan informasi lain. d. Siswa menyajikan/mendiskusikan hasil inkuiri, mengajukan argumentasi, mendengarkan counter-argument atau opini lain. e. Siswa menerapkan konsep, generalisasi, teori ilmu sosial untuk secar a akademis menganalisis permasalahan. 4. Example Non-Examples Membelajarkan kepekaan siswa terhadap permasalahan yang ada di sekitarnya melalu i analisis contoh-contoh berupa gambar-gambar/foto/kasus yang bermuatan masalah. Siswa diarahkan untuk mengidentifikasi masalah, mencari alternatif pemecahan ma salah, dan menentukan cara pemecahan masalah yang paling efektif, serta melakuka n tindak lanjut. Langkah-langkah: a. Guru mempersiapkan gambar-gambar tentang permasalahan yang sesuai dengan tujuan pembelajaran. b. Guru menempelkan gambar di papan atau ditayangkan melalui OHP. c. Guru memberi petunjuk dan memberi kesempatan pada siswa untuk memerhatik an/menganalisis permasalahan yang ada dalam gambar. d. Melalui diskusi kelompok 2-3 orang siswa, hasil diskusi dari analisis ma salah dalam gambar tersebut dicatat pada kertas. e. Tiap kelompok diberi kesempatan membacakan hasil diskusinya. f. Mulai dari komentar/hasil diskusi siswa, guru mulai menjelaskan materi s esuai tujuan yang ingin dicapai. g. Kesimpulan. C. Pembelajaran Kooperatif (Cooperative Learning) Pembelajaran kooperatif (cooperative learning) merupakan strategi pembelajaran m elalui kelompok kecil siswa yang saling bekerja sama dalam memaksimalkan kondisi belajar untuk mencapai tujuan belajar (Depdiknas, 2003: 5). Bern dan Erickson ( 2001:5) mengemukakan bahwa cooperative learning (pembelajaran kooperatif) merupa kan strategi pembelajaran yang mengorganisir pembelajaran dengan menggunakan kel ompok belajar kecil di mana siswa bekerja bersama untuk mencapai tujuan pembelaja ran. Pembelajaran kooperatif adalah suatu strategi pembelajaran di mana siswa be lajar dan bekerja dalam kelompokkelompok kecil secara kotaboratif yang anggotanya terdiri dari 2 sampai 5 orang, dengan struktur ketompoknya yang bersifat hetero gen. Keberhasitan belajar dari kelompok tergantung pada kemampuan dan aktivitas anggota kelompok, balk secara individual maupun secara kelompok (Slavin, 1984). Sehubungan dengan pengertian tersebut, Johnson, et al., 1994; Hamid Hasan, 1996, menegaskan bahwa belajar kooperatif adalah pemanfaatan kelompok kecil (2-5 oran g) dalam pembelajaran yang memungkinkan siswa bekerja bersama untuk memaksimalka n belajar mereka dan belajar anggota lainnya dalam kelompok. Model-model pembelajaran kooperatif meliputi kepala bernomor, skrip kooperatif, tim siswa kelompok prestasi, berpikir berpasangan berbagi, model Jigsaw, melempa r bola salju, tim TGT, kooperatif terpadu membaca dan menulis, dan dua tinggal d ua tamu. 1. Numbered Heads Together (Kepata Bernomor) dari Spencer Kagan ( 1992) Model pembelajaran di mana setiap siswa diberi nomor kemudian dibuat suatu kelom pok kemudian secara acak guru memanggil nomor dari siswa. Langkah-langkah pembel ajaran:

a. Siswa clibagi dalam kelompok, setiap siswa dalam setiap kelompok mendapa t nomor. b. Guru memberikan tugas dan masing-masing kelompok mengerjakannya. c. Kelompok mendiskusikan jawaban yang benar dan memastikan tiap anggota ke lompok dapat mengerjakannya/mengetahui jawabannya. d. Guru memanggil salah satu nomor siswa dan nomor yang dipanggil melaporka n hasil kerja sama mereka. e. Tanggapan dari teman yang lain, kemudian guru menunjuk nomor yang lain. f. Kesimpulan. 2. Cooperative Script (Skrip Kooperatif) dari Dansereau CS (1985) Metode belajar di mana siswa bekerja berpasangan, dan secara lisan bergantian me ngikhtisarkan bagian-bagian dari materi yang dipelajari. Langkah-langkah pembela jaran: a. Guru membagi siswa untuk berpasangan. b. Guru membagikan wacana/materi tiap siswa untuk dibaca dan membuat ringka san. c. Guru dan siswa menetapkan siapa yang pertama berperan sebagai pembicara dan siapa yang berperan sebagai pendengar. d. Pembicara membacakan ringkasannya selengkap mungkin, dengan memasukkan i de-ide pokok dalam ringkasannya. e. Sementara pendengar menyimak/mengoreksi/menunjukkan ide-ide pokok yang k urang lengkap dan membantu mengingat/menghafal ideide pokok dengan menghubungkan materi sebelumnya atau dengan materi lainnya. f. Bertukar peran, semula sebagai pembicara ditukar menjadi pendengar dan sebaliknya, serta lakukan seperti di atas. g. Kesimpulan siswa bersama-sama dengan guru. h. Penutup. 3. Student Teams Achievement Divisions (STAD) (Tim Siswa Kelompok Prestasi) dari Stavin (1995) Model pembelajaran yang mengelompokkan siswa secara heterogen, kemudian siswa ya ng pandai menjelaskan pada anggota lain sampai mengerti. Langkah-langkah pembela jaran: a. Membentuk kelompok yang beranggota 4 orang secara heterogen (campuran me nurut prestasi, jenis kelamin, suku, dll.). b. Guru menyajikan pelajaran. c. Guru memberi tugas kepada kelompok untuk dikerjakan oleh anggota-anggota kelompok. Anggota yang sudah mengerti dapat menjelaskan pada anggota lainnya sa mpai semua anggota dalam kelompok itu mengerti. d. Guru memberi kuis/pertanyaan kepada seluruh siswa. Pada saat menjawab ku is tidak boleh saling membantu. e. Memberi evaluasi. f. Kesimpulan. 4. Think Pair and Share (Frank Lyman, 1985) Strategi think pair share (TPS) atau berpikir berpasangan berbagi merupakan jeni s pembelajaran kooperatif yang dirancang untuk memengaruhi pola interaksi siswa. Strategi think pair share ini berkembang dari penelitian belajar kooperatif dan waktu tunggu. Pertama kali dikembangkan oleh Frang Lyman dan koleganya di Unive rsitas Maryland sesuai yang dikutip Arends (1997) yang menyatakan bahwa think-pa ir-share merupakan suatu cara yang efektif untuk membuat variasi suasana pola di skusi kelas. Dengan asumsi bahwa semua resitasi atau diskusi membutuhkan pengatu ran untuk mengendalikan kelas secara keseluruhan, dan prosedur yang digunakan da lam think-pair-share dapat memberi siswa lebih banyak waktu berpikir, untuk mere spon dan saling membantu. Guru memperkirakan hanya melengkapi penyajian singkat atau siswa membaca tugas, atau situasi yang menjadi tanda tanya. Sekarang guru m enginginkan siswa mempertimbangkan lebih banyak apa yang telah dijelaskan dan dia lami. Guru memilih menggunakan think-pair-share untuk membandingkan tanya jawab kelompok keseluruhan. Guru menggunakan langkah-langkah (fase) berikut: Langkah 1 : Berpikir (thinking)

Guru mengajukan suatu pertanyaan atau masalah yang dikaitkan dengan pelajaran, d an meminta siswa menggunakan waktu beberapa menit untuk berpikir sencliri jawaba n atas masalah. Langkah 2: Berpasangan (pairing) Selanjutnya guru meminta siswa untuk berpasangan clan mendiskusikan apa yang tela h mereka peroleh. Interaksi selama waktudisediakan dapat menyatukan jawaban jika suatu pertanyaan yang diajukan menyatukan gagasan suatu masalah khusus yang dil dentifikasi. Secara normal guru memberi waktu lidak lebih dari 4 atau 5 menit un tuk berpasangan.disediakan dapat menyatukan jawaban jika suatu pertanyaan yang d iajukan menyatukan gagasan suatu masalah khusus yang dildentifikasi. Secara norm al guru memberi waktu lidak lebih dari 4 atau 5 menit untuk berpasangan. Langkah 3: Berbagi (sharing) Pada langkah akhir, guru meminta pasangan-pasangan untuk berbagi dengan keseluru han kolas yang telah mereka bicarakan. Hal ini efektif untuk berkeliling ruangan dari pasangan ke pasangan dan melanjutkan sampai sekitar sebagian pasangan mend apat kesempatan untuk melaporkan. (Arends, 1997, disadur Tjokrodihardjo, 2003). 5. Jigsaw (Model Tim Ahli) dart Aronson, Blaney, Stephen, Sikes, dan Snapp (1978 ) Pada dasarnya, dalam model ini guru membagi satuan informasi yang besar menjadi komponen-komponen lebih kecil. Seianjutnya guru membagi siswa ke kelompok belaja r kooperatif yang terdiri dari empat orang siswa sehingga setiap anggota bertang gung jawab terhadap penguasaan setiap komponen/subtopik yang ditugaskan guru den gan sebaik-baiknya. Siswa dari masing-masing kelompok yang bertanggung jawab ter hadap subtopik yang sama membentuk kelompok lagi yang terdiri dari dua atau tiga orang. Siswa-siswa ini bekerja sama untuk menyelesaikan tugas kooperatifnya dalam: (a) belajar dan menjadi ahli dalam subtopik bagiannya, (b) merencanakan bagaimana me ngajarkan subtopik bagiannya kepada anggota kelompoknya semula. Setelah itu sisw a tersebut kembali lagi ke kelompok masing-masing sebagai "ahli" dalam subtopikn ya dan mengajarkan informasi penting dalam subtopik tersebut kepada tcmannya. Ah li dalam subtopik lainnya juga bertindak serupa sehingga seluruh siswa bertanggu ng jawab untuk menunjukkan penguasaannya terhadap seluruh materi yang ditugaskan oleh guru. Dengan demikian, setiap siswa dalam kelompok harus menguasai topik s ecara keseluruhan. Langkah-langkah pembelajaran: a. Siswa dikelompokkan ke dalam = 4 anggota tim. b. Tiap orang dalam tim diberi bagian materi yang berbeda. c. Tiap orang dalam tim diberi bagian materi yang ditugaskan. d. Anggota dari tim yang berbeda yangtelah mempelajari bagian/subbab yang s ama bertemu dalam kelompok Baru (kelompok ahli) untuk mendiskusikan subbab merek a

e. ok asal kuasai f. g. h.

Setelah selesai diskusi sebagai tim ahli, tiap anggota kembali ke kelomp dan bergantian mengajar teman satu tim mereka tentang subbab yang mereka dan tiap anggota lainnya mendengarkan dengan sungguh-sungguh. Tiap tim ahli mempresentasikan hasil diskusi, Guru memberi eyaluasi, Penutup.

6. Snowball Throwing (Melempar Bola Salju) Model pembelajaran yang menggali potensi kepemimpinan siswa dalam kelompok dan k eterampilan membuat-menjawab pertanyaan yang dipadukan melalui suatu permainan i majinatif membentuk dan melempar bola salju. Langkah-langkah: a. Guru menyampaikan materi yang akan disajikan.

b. Guru membentuk kelompok-kelompok dan memanggil masing-masing ketua kelom pok untuk memberikan penjelasan tentang materi. c. Masing-masing ketua kelompok kembali ke kelompoknya masingmasing, kemudia n menjelaskan materi yang disampaikan oleh guru kepada temannya. d. Kemudian masing-masing siswa diberikan satu lembar kertas kerja, untuk m enuliskan satu pertanyaan apa saja yang menyangkut materi yang sudah dijelaskan oleh ketua kelompok. e. Kemudian kertas yang berisi pertanyaan tersebut dibuat seperti bola dan dilempar dari satu siswa ke siswa yang lain selama 15 menit. f. Setelah siswa mendapat satu bola/satu pertanyaan lalu diberikan kesempat an kepada siswa untuk menjawab pertanyaan yang tertulis dalam kertas berbentuk b ola tersebut secara bergantian. g. Evaluasi. h. Penutup. 7. Team Games Tournament (TGT) Model TGT adalah salah satu tipe atau model pembelajaran kooperatif yang mudah d iterapkan, melibatkan aktivitas seluruh siswa tanpa harus ada perbedaan status, melibatkan peran siswa sebagai tutor sebaya dan mengandung unsur permainan serta reinforcement. Aktivitas belajar dengan permainan yang dirancang dalam pembelajaran kooperatif model TGT memungkinkan siswa dapat belajar Iebih relaks di samping menumbuhkan t anggung jawab, kerja sama, persaingan sehat, dan keterlibatan belajar. Ada lima komponen utama dalam TGT, yaitu: a. Penyajian kelas Pada awal pembelajaran, guru menyampaikan materi dalam penyajian kelas, biasanya dilakukan dengan pengajaran Iangsung atau dengan ceramah, diskusi yang dipimpin guru. Pada scat penyajian kelas ini, siswa harus benar-benar memerhatikan dan m emahami materi yang disampaikan guru, karena akan membantu siswa bekerja iebih b alk pada saat kerja kelompok dan pada saat game karena skor game akan menentukan skor kelompok. b. Kelompok (tim) Kelompok biasanya terdiri dari 4 sampai 5 orang siswa yang anggotanya heterogen dilihat dari prestasi akademik, jenis kelamin, dan ras atau etnik. Fungsi kelomp ok adalah untuk lebih mendalami mated bersama teman kelompoknya dan lebih khusus untuk mempersiapkan anggota kelompok agar bekerja dengan balk dan optimal pada saat game. c. Game Game terdiri dari pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk menguji pengetahuan yang didapat siswa dari penyajian kelas dan belajar kelompok. Kebanyakan game t erdiri dari pertanyaanpertanyaan sederhana bernomor. Siswa memilih kartu bernomor clan mencoba menjawab pertanyaan yang sesuai dengan nomor itu. Siswa yang menja wab benar pertanyaan itu akan mendapat skor. Skor ini yang nantinya dikumpulkan siswa untuk turnamen mingguan. d. Turnamen biasanya turnamen dilakukan pada akhir minggu atau pada setiap unit setelah guru melakukan presentasi kelas dan kelompok sudah mengerjakan lembar kerja. Turname n pertama guru membagi siswa ke dalam beberapa meja turnamen. Tiga siswa terting gi prestasinya dikelompokkan pada meja I, tiga siswa selanjutnya pada meja II, c lan seterusnya. e. Team recognize (penghargaan kelompok) Guru kemudian mengumumkan kelompok yang menang, masingmasing tim akan mendapat se rtifikat atau hadiah apabila rata-rata skor memenuhi kriteria yang ditentukan. T im mendapat julukan "Super Team" jika rata-rata skor 45 atau lebih, "Great Team" apabila rata- rata mencapai 40-45 clan "Good Team" apabila rata-ratanya 30-40. 8. Cooperative Integrated Reading and Composition (CIRC) (Kooperatif Terpadu Mem baca dan MenuLis) dari Steven dan Slavin (1995) Model pembelajaran untuk melatih kemampuan siswa secara terpadu antara membaca d an menemukan ide pokok suatu wacana/kliping tertentu dan memberikan tanggapan te rhadap wacana/kliping secara tertulis.

Langkah-Iangkah: a. Membentuk kelompok yang anggotanya 4 orang secara heterogen. b. Guru memberikan wacana/kliping sesuai dengan topik pembelajaran. c. Siswa bekerja sama sating membacakan dan menemukan ide pokok clan member i tanggapan terhadap wacana/kliping dan ditulis pada lembar kertas. d. Mempresentasikan/membacakan hasil kelompok. e. Guru membuat kesimpulan bersama. f. Penutup. 9. Dua Tinggal Dua Tamu (Two Stay Two Stray) Spencer Kagan 1992 Memberi kesernpatan kepada kelompok untuk membagikan hasil dan informasi dengan kelompok lainnya. Caranya: a. Siswa bekerja sama dalam kelornpok yang berjumlah 4 (empat) orang. b. Setelah selesai, dua orang dari masing-masing menjadi tamu kedua kelompo k yang lain. c. Dua orang yang tinggal dalam kelompok bertugas membagikan hasil kerja da n informasi ke tamu mereka. d. Tamu mohon dirt dan kembali ke kelompok mereka sendiri dan, melaporkan t emuan mereka dari kelompok lain. e. Kelompok mencocokkan dan membahas hasil kerja mereka. Pada dasarnya, agar semua model berhasil seperti yang diharapkan pembelajaran ko operatif, setiap model harus melibatkan materi ajar yang memungkinkan siswa sati ng membantu dan mendukung ketika mereka belajar materi dan bekerja sating tergan tung (interdependen) untuk menyelesaikan tugas. Keterampilan sosial yang dibutuh kan dalam usaha berkolaborasi harus dipandang penting dalam keberhasilan menyeles aikan tugas kelompok. Keterampitan ini dapat diajarkan kepada siswa dan peran si swa dapat ditentukan untuk memfasilitasi proses kelompok. Peran tersebut mungkin bermacarn-macam menurut tugas, misalnya, peran pencatat (recorder), pembuat kes irnpulan (summarizer), pengatur materi (material manager), atau fasilitator, dan peran guru bisa sebagai pemonitor proses belajar. D. Model. Pembelajaran Berbasis Proyek (Project- based Learning) Depdiknas (2003: 7) menegaskan bahwa pembelajaran berbasis proyek/ tugas terstru ktur (project-based learning) merupakan pendekatan pembelajaran yang membutuhkan suatu pembelajaran komprehensif di mana lingkungan belajar siswa (kelas) didesa in agar siswa dapat melakukan penyelidikan terhadap masalah autentik termasuk pe ndalaman materi suatu materi pelajaran, dan melaksanakan tugas bermakna lainnya. Pendekatan ini memperkenankan siswa untuk bekerja secara mandiri dalam mengkons truk (membentuk pembelajarannya, dan mengkulminasikannya dalam produk nyata. Ber n dan Erickson (2001: 7) menegaskan bahwa pembelajaran berbasis proyek (projectbased learning) merupakan pendekatan yang memusat pada prinsip dan konsep utama suatu disiplin, melibatkan siswa dalam memecahkan masalah dan tugas penuh makna lainnya, mendorong siswa untuk bekerja mandiri membangun pembelajaran, dan pada akhirnya menghasilkan karya nyata. Model-model pembelajaran berbasis proyek: 1. Pembelajaran Portofolio Pada umumnya portofolio dikenal sebagai model penilaian, yaitu kumpulan hasil ul angan harian, formatif, sumatif, dan nilai tugasterstruktur yang disusun dalam s atu map jepit (binder). Saat ini portofolio dikembangkan pula sebagai model pemb elajaran. Dalam hal ini, diartikan sebagai suatu kumpulan pengalaman-pengalaman belajar siswa dalam aspek pengetahuan (kognitif), keterampilan (skill), ataupun nilai dan sikap (afektif) dengan maksud tertentu dan diseleksi menurut panduan-p anduan yang ditentukan. Portofolio ini biasanya merupakan karya terpilih dari se orang siswa, atau kelompok, atau karya satu kelas secara keseluruhan yang bekerj a secara kooperatif. Langkah-langkah pembelajaran portofolio meliputi: a. Mengidentifikasi masalah yang ada di masyarakat. Untuk melakukan identifikasi masalah, diawali dengan diskusi kelas guna berbagi pengetahuan tentang masalah-masalah di masyarakat. Adapun masalah-masalah di lin

gkungan masyarakat yang dapat dibahas di antaranya: 1) Kebersihan lingkungan. 2) Keamanan lingkungan. 3) pencemaran lingkungan. 4) Praktik main hakim sendiri. 5) Masalah kedisiplinan masyarakat. b. Memilih masalah untuk kajian kelas. Setelah kelas memiliki cukup informasi tentang masalah-masalah yang akan dikaji, maka langkah selanjuinya adalah membuat daftar masalah dan menentukan salah sat u di antaranya untuk bahan kajian kelas. Misalnya dari daftar masalah di atas, k elas memilih masalah kebersihan lingkungan. c. Mengumpulkan informasi tentang masalah yang akan dikaji oleh kelas. Mengident ifikasi sumber-sumber informasi terkait dengan kebersihan lingkungan. Setelah ke las memutuskan sumber-sumber informasi yang akan digunakan, kelas hendaknya diba gi ke daiam tim-tim peneliti. Setiap tim hendaknya bertanggung jawab untuk mengu mpulkan informasi dari berbagai sumber yang berbeda, misalnya perpustakaan, biro kliping, petugas kebersihan, kepolisian, kepala desa, tokoh agama, ketua RT/RW, dan sebagainya. d. Mengembangkan portofolio kelas. Jika informasi telah dirasakan cukup, mulailah mengembangkan portofolio kelas te ntang masalah kebersihan lingkungan. Portofolio yang dikembangkan meliputi dua s eksi, yaitu portofolio seksi penayangan dan seksi dokumentasi. Portofolio seksi penayangan adalah portofolio yang akan ditayangkan sebagai bahan presentasi kela s pada saat showcase. Adapun portofolio seksi dokumentasi adalah portofolio yang disimpan pada sebuah map jepit (binder) yang berisi data dan informasi lengkap setiap kelompok portofolio. Pada saat mengembangkan portofolio kelas, siswa dibagi ke dalam empat kelompok p ortofolio. Masing-masing kelompok ditugasi untuk membuat salah satu bagian dari portofolio kelas. Berikut ini adalah tugas-tugas setiap kelompok portofolio. Kelompok portofolio satu: menjelaskan masalah kebersihan lingkungan Kelompok portofolio dua: mengkaji kebijakan alternatif untuk mengatasi masalah k ebersihan lingkungan. Kelompok portofolio tiga: mengusulkan kebijakan publik untuk mengatasi masalah k ebersihan lingkungan. Kelompok portofolio empat: membuat rencana tindakan selanjutnya untuk menjaga ke bersihan lingkungan. e. Penyajian portofolio (show-case) Setelah portofolio kelas selesai dibuat, kelas dapat menyajikannya dalam kegiatan showcase (gelar kasusYdi hadapan dewan juri (judges). Dewan juri adala h orang dewasa yang merupakan tokoh yang mewakili sekolah dan masyarakat, jumlah nya yang ideal sekitar tiga orang. Dewan juri ini akan menilai penyajian para si swa atas dasar kriteria yang sama seperti yang digunakan untuk membuat portofoli o kelas. Dalam penyajian portofolio, guru bersama siswa harus menyiapkan ruangan yang cukup representatif untuk melaksanakan kegiatan penyajian portofolio ini. S elain itu, tatalah ruangan sesuai dengan keperluan penyajian portofolio. Perhati kanlah contoh berikut ini.

Adapun langkah-langkah dalam penyajian portofolio adalah (1) pembukaan, (2) penyajian lisan kelompok portofolio, (3) tanya jawab, (4) selingan, biasanya diisi dengan penampilan kreativitas seni, (5) tanggapan undangan, dan (6) pengu muman dewan iuri terhadap hasil penampilan siswa.

Gambar 3.4. Siswa sedang melaksanakan show case dalam pembelajaran portofolio (Sumber: dokumen pribadi) 2. Inquiry Inquiry merupakan model pembelajaran yang berupaya menanamkan dasar-dasa r berpikir ilmiah pada diri siswa, sehingga dalam proses pembelajaran ini siswa lebih banyak belajar sendiri, mengernbangkan kreativitas dalam memahami konsep d an memccahkan masalah. Walaupun dalam praktiknya aplikasi metode pembelajaran in quiry sangat berg gam, tergantung pada situasi dan kondisi sekolah, namun dapat disebutkan bahwa pembelajaran dengan metode inquiry memiliki 5 komponen yang umu m, yaitu Question, Student Engangement, Cooperative Interaction, Performance Eval uation, dan Variety of Resources (Garton, 2005). Question. Pembelajaran biasanya dimulai dengan sebuah pertanyaan pembuka yang memancing rasa ingin tahu siswa dan atau kekaguman siswa akan suatu fenome na. Siswa diberi kesempatan untuk bertanya, yang dimaksudkan sebagai pengarah ke pertanyaan inti yang-akan dipecahkan oleh siswa. Selanjutnya, guru menyampaikan pertanyaan inti atau masalah inti yang harus dipecahkan oleh siswa. Untuk menja wab pertanyaan ini sesuai dengan Taxonomy Bloom siswa dituntut untuk melakukan b eberapa langkah seperti evaluasi, sintesis, dan analisis. Jawaban dari pertanyaa n inti tidak dapat clitemukan misalnya di dalam buku teks, melainkan harus dibua t atau dikonstruksi. Student Engangement. Dalam metode inquiry, keterlibatan aktif siswa meru pakan suatu keharusan, sedangkan peran guru adalah sebagai fasilitator. Siswa ti dal< secara pasif menuliskan jawaban pertanyaan pada kolom isian atau menjawab s oal-soal pada akhir bab sebuah buku, tetapi dituntut terlibat dalam menciptakan sebuah produk yang menunjukkan pemahaman siswa terhadap konsep yang dipelajari a tau dalam melakukan sebuah investigasi. Cooperative Interaction. Siswa diminta untuk berkomunikasi, bekerja berp asangan atau dalam kelompok, dan mendiskusikan berbagai gagasan. Dalam hal ini, siswa bukan sedang berkompetisi. Jawaban dari permasalahan yang diajukan guru da pat muncul dalam berbagai bentuk, dan mungkin saja semua jawaban benar. Performance Evaluation. Dalam menjawab permasalahan, biasanya siswa dimi nta untuk membuat sebuah produk yang dapat menggambarkan pengetahuannya mengenai permasalahan yang sedang dipecahkan. Bentuk produk ini dapat berupa slide prese ntasi, grafik, poster, karangan, dan lain- lain. Melalui produk-produk ini guru melakukan evaluasi. Variety of Resources. Siswa dapat menggunakan bermacam-macam sumber bela jar, misalnya buku teks, website, televisi, video, poster, wawancara dengan ahli , dan lain sebagainya. Langkah-langkah pembelajaran model Inquiry: a. Merumuskan masalah. b. Mengamati atau melakukan observasi lapangan. c. Membaca buku atau sumber lain untuk mendapatkan informasi pendukung. Men gamati dan mengumpulkan data sebanyak-banyaknya dari sumber atau objek yang diam ati. d. Menganalisis dan menyajikan hasil dalam tulisan, gambar, laporan, bagan, tabel dan karya lainnya. e. Mengomunikasikan atau menyajikan hasil karya pada pembaca, teman sekelas , guru, atau audien lainnya. Karya siswa disampaikan kepada teman sekelas atau kepada orang banyak un tuk mendapatkan masukan. Bertanya jawab dengan teman. Memunculkan ide-ide baru.M elakukan refleksi. Menempelkan gambar, karya tulis, peta, dan sejenisnya di dind ing sekolah, majalah dinding, majalah sekolah, clan sebagainya. 3. Group Investigation (Sharan, 1992) Model investigasi kelompok sering dipandang sebagai model yang paling ko mpleks dan paling sulit untuk dilaksanakan dalam pembelajaran. Metode ini meliba tkan siswa sejak perencanaan, balk dalam menentukan topik maupun cara untuk memp elajarinya melalui investigasi. Metode ini menuntut para siswa untuk memiliki ke mampuan yang balk dalam berkomunikasi ataupun dalam keterampilan proses kelompok (group process skills). Para guru yang menggunakan metode investigasi kelompok u

mumnya membagi kelas menjadi beberapa kelompok yang beranggotakan 5 hingga 6 sisw a dengan karakteristik yang heterogen. Pembagian kelompok dapat juga didasarkan atas kesenangan berteman atau kesamaan minat terhadap suatu topik tertentu. Para siswa memilih topik yang ingin dipelajari, mengikuti investigasi mendalam terha dap berbagai subtopik yang telah dipilih, kemudian menyiapkan dan menyajikan sua tu laporan di depan kelas secara keseiuruhan. Adapun deskripsi mengenai langkahlangkah metode investigasi kelompok dapat dikemukakan sebagai berikut: a. Seleksi topik. Para siswa memilih berbagai subtopik dalam suatu wilayah masalah umum yang biasa nya digamba-fkan lebih dahulu oleh guru. Para siswa selanjutnya diorganisasikan menjadi kelompok-kelompok yang berorientasi pada tugas (task oriented groups) ya ng beranggotakan 2 hingga 6 orang. Komposisi kelompok heterogen, balk dalam jeni s kelamin, etnik, maupun kemampuan akademik. b. Merencanakan kerja sama. Para siswa beserta guru merencanakan berbagai prosedur belajar khusus, tugas dan tujuan umum yang konsisten dengan berbagai topik dan subtopik yang telah dipili h dari langkah a) di atas. c. implementasi. Para siswa melaksanakan rencana yang telah dirumuskan pada langkah b). Pembelaja ran harus melibatkan berbagai aktivitas dan keterampilan dengan variasi yang lua s dan mendorong para siswa untuk menggunakan berbagai sumber, balk yang terdapat di dalam maupun di luar sekolah. Guru secara terus-menerus mengikuti kemajuan t iap kelompok dan memberikan bantuan jika diperlukan. d. Analisis dan sintesis. Para siswa menganalisis dan menyintesis berbagai informasi yang diperoleh pada l angkah c) dan merencanakan agar dapat diringkaskan dalam suatu penyajian yang me narik di depan kelas. e. Penyajian hasil akhir. Semua kelompok menyajikan suatu presentasi yang menarik clari berbagai topik yan g telah dipelajari agar semua siswa dalam kelas saling terlibat dan mencapai sua tu perspektif yang luas mengenai topik tersebut. Presentasi kelompok dikoordinir oleh guru. f. Evaluasi. Guru beserta siswa melakukan evaluasi mengenai kontribusi tiap kelompok terhadap pekerjaan kelas sebagai suatu keseluruhan. Evaluasi dapat mencakup tiap siswa s ecara individu atau kelompok, atau keduanya. 4. Karyawisata Model karyawisata adalah model pembelajaran yang mengajak siswa untuk mengunjung i objek-objek tertentu dalam rangka menambah dan memperluas wawasan terhadap obj ek yang clipelajari. Misalnya untuk pelajaran IPS siswa dapat diajak ke museum, Taman Mini Indonesia Indah, dan sebagainya. Untuk pelajaran IPA, siswa pergi ke museum geologi, kebun binatang, teropong bintang (planetarium), dan sebagainya. Fungsi karyawisata adalah (a) mendekatkan dunia sekolah dan dunia kenyataan, (b) mempelajari konsep/teori dengan kenyataan dan sebaliknya, (c) membekali pengala man nyata pada siswa. Langkah-langkah studi karyawisata: a. Persiapan: (1) pembentukan panitia pelaksana, (2) penyusunan proposal, (3 ) mengurus izin perjalanan. b. Pelaksanaan: (1) pembagian kelompok dan penjelasan tugas, (2) pelaksanaa n di lapangan sesuai dengan proposal. c. Siswa membuat laporan kegiatan karyawisata. d. Siswa mernpresentasikan laporan kegiatan karyawisata. e. Guru bersama siswa mengklarifikasi dan menyimpulkan. f. Evaluasi E. Model Pembelajaran Pelayanan (Service Learning) Pembelajaran pelayanan (service learning), pendekatan yang menyediakan suatu apl ikasi praktis suatu pengembangan pengetahuan dan keterampilan baru untuk kebutuh an di masyarakat melalui proyek dan aktivitas (Bern dan Erickson, 2001: 6). Seme

ntara itu, Depdiknas (2003: 8) mengemukakan bahwa pembelajaran pelayanan memerlu kan penggunaan strategi pembelajaran yang mengombinasikan jasa layanan masyaraka t dengan suatu struktur berbasis sekolah untuk merefleksikan jasa layanan terseb ut. Jadi menekankan hubungan antara pengalaman jasa layanan clan pembelajaran ak ademis. Dengan kata lain, strategi ini menyajikan suatu penerapan praktis dari p engetahuan baru yang diperlukan dan berbagai keterampilan untuk memenuhi kebutuh an di dalam masyarakat melalui proyek/tugas terstruktur dan kegiatan lainnya. Pembelajaran pelayanan (service learning) identik dengan pembelajaran aksi sosia l. Menurut Newmann (1990: 8) model pembelajaran aksi sosial merupakan pola dan a ktivitas belajar siswa, baik di dalam maupun dengan kelompok yang dilakukan deng an keterlibatan masyarakat sebagai aktivitas di mana siswa mendemonstrasikan kep eduliannya terhadap masalah-maslah sosial. Kepedulian kepada masalah-masalah sos ial yang didemonstrasikan dengan menyelenggarakan studi, partisipasi kerja secar a sukarela, aktif mengadakan pendampingan, di dalam atau di luar sekolah, dan ak tivitas nyata siswa untuk memengaruhi kebijakan publik di masyarakat yang dilaku kan di luar sekolah. Definisi di atas dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran aksi sosial merupakan suatu pola pembelajaran yang melibatkan siswa untuk terju n ke masyarakat dalam rangka membantu memecahkan masalah. Tujuan pembelajaran aksi sosial ini, menurut Nasution (1997: 179) adalah membant u anak didik mengembangkan kompetensi sosial/ kewarganegaraan, sehingga dapat me libatkan diri secara aktif dalam perbaikan masyarakat. Langkah-langkah pembelaja ran aksi sosial dimulai dengan mengkaji materi pokok, kemudian sejauh mana mater i pokok tersebut dapat mengundang keterlibatan siswa dalam praktik nyata pemecah an masalah di lingkungannya. Selanjutnya menyusun rencana aksi sosial, melaksana kan, dan menilai kegiatan aksi sosial. Contoh model pembelajaran pelayanan atau aksi sosial adalah bakti sosial, kunjun gan ke panti asuhan, pengabdian pada masyarakat,pemberian sumbangan korban benca na alam, melaksanakan pelayanan K3 (ketertiban, Kebersihan, dan Keindahan) di se kolah. Langkah-langkah Pembelajaran Pelayanan: 1. Guru menjelaskan kompetensi yang akan dicapai. 2. Guru menjelaskan kegiatan pelayanan yang akan dilakukan (bentuk, tempat, dan waktu). 3. Guru menjelaskan tujuan kegiatan pelayanan yang akan dilakukan. 4. Siswa menyiapkan bahan/materi/jasa/tenaga yang bisa disumbangkan untuk k epentingan sekolah/masyarakat. 5. Siswa dengan bimbingan guru melakukan kegiatan pelayanan di sekolah atau masyarakat. 6. Siswa membuat laporan tentang kegiatan pelayanan dan nilai-nilai manfaat dari kegiatan pelayanan yang telah dilakukan. 7. Siswa mempresentasikan laporan di depan kelas. 8. Guru dan siswa mengklarifikasi nilai-nilai positif dari kegiatan pelayanan yang telah dilakukan. 9. Guru bersarna siswa menyimpulkan F. Model Pembelajaran Berbasis Kerja Depdiknas (2003: 11) mengemukakan bahwa belajar berbasis kerja (work- ba sed learning) adalah suatu strategi pembelajaran yang memungkinkan siswa menggun akan konteks tempat kerja untuk mempelajari materi pelajaran berbasis sekolah da n bagaimana materi tersebut dipergunakan kembali di tempat kerja atau sejenisnya dan berbagai aktivitas dipadukan dengan materi pelajaran untuk kepentingan sisw a. Bern dan Erickson (2001: 8) menegaskan bahwa pembelajaran berbasis kerja (wor k-based learning) merupakan suatu pendekatan di mana tempat kerja, atau seperti tempat kerja terintegrasi dengan materi di kelas untuk kepentingan para siswa da lam memahami dunia kerja terkait. Model-model pembelajaran berbasis kerja di ant aranya: 1. Role Playing Role playing adalah suatu model penguasaan bahan-bahan pelajaran melalui pengemb angan imajinasi dan penghayatan siswa. Pengembangan imajinasi dan penghayatan di lakukan siswa dengan memerankannya sebagai tokoh hidup atau benda mati. Permaina n ini pada umumnya dilakukan lebih dari satu orang, hal itu bergantung kepada ap

a yang diperankan. Kelebihan metode Role Playing: Melibatkan seluruh siswa di mana siswa dapat berpartisipasi dan mempunyai kesemp atan untuk memajukan kemampuannya dalam bekerja sama. a. Siswa bebas mengambil keputusan dan berekspresi secara utuh. b. Permainan merupakan penemuan yang mudah dan dapat digunakan dalam situas i dan waktu yang berbeda. c. Guru dapat mengevaluasi pemahaman tiap siswa melalui pengamatan pada wak tu melakukan permainan. d. Permainan merupakan pengalaman belajar yang menyenangkan bagi anak. Misalnya siswa memerankan tokoh-tokoh yang terlibat dalam proses persidangan (ha kim, jaksa, terdakwa, saksi, pembela, panitera, dan sebagainya) dan memahami fun gsi peran masing-masing tokoh dalam proses persidangan serta memahami alur prose s persidangan. Langkah-langkah: a. Guru menyusun/menyiapkan skenario proses persidangan yang akan ditampilk an. b. Menunjuk beberapa siswa untuk mempelajari skenario dalam waktu beberapa hari sebelum pembeiajaran. c. Guru membentuk kelompok siswa yang beranggotakan 5 orang. d. Memberikan penjelasan tentang kompetensi yang ingin dicapai. e. Memanggil Para siswa yang sudah ditunjuk untuk melakonkan skenario prose s persidangan yang sudah dipersiapkan. f. Masing-masing siswa berada di kelompoknya sambil mengamati skenario pros es persidangan yang sedang diperagakan. g. Setelah selesai ditampilkan, masing-masing siswa diberikan lembar kerja untuk membahas penampilan masing-masing kelompok. h. Masing-masing kelompok menyampaikan hasil kesirnpulannya. i. Guru memberika n kesimpulan secara umum. 2. Mendatangkan Model Pekerja ke Kelas Siswa memahami jenis pekerjaan tertentu beserta fungsi dan perannya seca ra langsung dari pekerja sebagai model yang didatangkan dalam pembelajaran di ke las. Misalnya untuk pembelajaran tentang peraturan perundang-undangan, guru mend atangkan anggota DPRD. Untuk pembelajaran tentang sistem hukum Indonesia, guru m endatangkan hakim atau jaksa. Langkah-langkah: a. Guru menyampaikan kompetensi yang ingin dicapai. b. Guru menyajikan gambaran sekilas materi yang akan disampaikan. c. Guru mengundang pekerja dari instansi terkait untuk mendeskripsikan peke rjaannya. d. Seluruh siswa memerhatikan deskripsi pekerjaan yang dipaparkan dan menga nalisisnya. e. Siswa bertanya jawab dan bertukar pikiran dengan model pekerja. f. Siswa diberi tugas membuat laporan. g. Siswa mengemukakan hasil laporannya. h. Guru membuat kesimpulan. 3. Studi Lapangan Kerja Siswa memahami jenis pekerjaan tertentu beserta fungsi dan perannya seca ra langsung dengan mendatangi lokasi atau instansi tempat bekerja. Misalnya untu k mempelajari tentang pemerintahan desa, siswa melakukan kunjungan ke kantor des a. Untuk mempelajari proses persidangan maka siswa cliajak ke pengadilan negeri. Langkah-langkah pembelajaran: a. Guru menjelaskan kompetensi yang akan dicapai. b. Guru menjelaskan kegiatan studi lapangan kerja yang akan dilakukan (bent uk, tempat, clan waktu). c. Guru menjelaskan tujuan dan prosedur kegiatan studi lapangan kerja yang akan dilakukan. d. Siswa menyiapkan instrumen wawancara dan observasi untuk digunakan siswa dalam studi lapangan kerja. e. Siswa secara berkelompok dengan bimbingan guru melakukan kegiatan studi

lapangan kerja. g. Siswa membuat laporan kelompok tentang kegiatan pelayanan dan nilai-nila i manfaat dari kegiatan pelayanan yang telah dilakukan. Siswa per kelompok mempr esentasikan laporan di depan kelas. h. Siswa kelompok lain menganalisisnya. i. Guru mengklarifikasi hasil diskusi dan presentasi kelompok. j. Guru bersama siswa menyimpulkan. Gambar 3.10. Siswa melakukan studi lapangan ke kantor polisi untuk menggali informasi tentang tugas dan peran kepolisian (Sumber: clokumen pribadi) 4. Aktivitas Ekstrakurikuler dan Pengembangan Diri Aktivitas siswa Dalam berbagai kegiatan ekstrakurikulcr dan pengem-banga n diri merupakan suatu wahana pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Dalam keg iatan ekstrakurikulcr siswa diiaiih berbagai kompetensi kewarganegaraan, misalny a kepemimpinan, tanggung jawab, kerja sama, toleransi, penghargaan terhadap perb edaan pendapat, dan sebagainya. Oleh karena itu, di dalam pembelajaran Pendidika n Kewarganegaraan guru hendaknya memberikan penilaian dan penghargaan terhadap s iswa yang aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler. Kegiatan pengembangan diri merup akan kegiatan pembiasaan nilai, sikap, dan perilaku yang sesuai dengan norma sek olah, agama, dan hukum dalam kehidupan di sekolah. Oleh karena itu, guru hendakn ya memiliki catatan harian tentang sikap dan perilaku siswa. Kegiatan ekstrakuri kuler dan pengembangan diti ini mendukung pencapaian hasil belajar Pendidikan Ke warganegaraan terutama terkait dengan pembentukan civic skills dan civic disposi tion. G. Model Pembelajaran Konsep (Concept Learning) Setiap mata pelajaran mengandung muatan konsep-konsep yang harus dipaham i siswa. Pendekatan kontekstual menghendaki konsep-konsep tersebut dikonstruk da n ditemukan oleh siswa sendiri melalui keterkaitannya dengan realita kehidupan d an pengalaman siswa. Di samping itu, heridaknya guru membelajarkan siswa memaham i konsepkonsep secara aktif, kreatif , efektif, interkatif dan menyenangkan bagi siswa sehingga konsep mudah dipahami dan bertahan lama dalam struktur kognitif s iswa. Terdapat beberapa cara pembelajaran konsep di antaranya sebagai berikut: 1. Scramble Model pembelajaran yang mengajak siswa mencari jawaban terhadap suatu pertanyaan atau pasangan dari suatu konsep secara kreatif dengan cara menyusun huruf-huruf yang disusun secara acak sehingga membentuk suatu jawaban/pasangan konsep yang dimaksud. Langkah-langkah: a. Guru menyajikan materi sesuai kompetensi yang ingin dicapai. b. Membagikan lembar kerja sesuai contoh.

Susunlah huruf-huruf pada kolom sehingga merupakan kata kunci (jawaban) dari per tanyaan kolom A.

SCRAMBLE Langkah-langkah: 1. Guru menyajikan materi sesuai kompetensi yang ingin dicapai 2. Membagikan lembar kerja sesuai contoh

Susunlah huruf-huruf pada kolom sehingga merupakan kata kunci (jawaban) dari per tanyaan kolom A. 1. 2. 3. 4. 5 A B Pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat 1. DOMERIKSA Salah satu contoh pelaksanaan demokrasi adalah 3. LAFISLEGIT DPR melaksanakan fungsi kekuasaan MA dan MK melaksanakan kekuasaan Presiden melaksanakan fungsi kekuasaan

2. 4. 5.

LEMUPI DITIFUKAY KESEKTIFU

Gambar 3.12. Media Scramble(Sumber: dokumen pribadi) 2. Make-A Match (Mencari Pasangan) dari Lorna Curran (1994) Model pembelajaran yang mengajak siswa mcncari jawaban terhadap suatu pertanyaan atau pasangan dari suatu konsep.melalui suatu permainan kartu pasangan. Langkah-langkah : a. Guru menyiapkan beberapa kartu yang berisi beberapa konsep atau topik ya ng cocok untuk sesi review, sebaliknya satu bagian kartu soal dan bagian lainnya kartu jawaban:? b. Setiap siswa mendapat satu buah kartu. c. Tiap siswa memikirkan jawaban/soal dari kartu yang dipegang. d. Setiap siswa mencari pasangan yang mempunyai kartu yang cocok dengan kar tunya (soal jawaban). e. Setiap siswa yang dapat mencocokkan kartunya sebelurn batas Waktu diberi poin. f. Setelah satu babak, kartu dikocok lagi agar tiap siswa mendapat kartu yang berbeda dari sebelumnya. g. Demikian seterusnya. i. Kesimpulan/penutup. 3. Broken Triangle/Square/Heart (Pecahan Segitiga/ Bujursangkar/Hati) Model ini sering kali disebut juga dengan puzzle, siswa mengelompokkan materi ya ng terpisah-pisah (pecah-pecah) ke dalam satu kesatuan konsep materi yang terben tuk dalam segitiga/bujur sangkar/hati. Umumnya digunakan pada materi yang berisi uraian dalam bentuk option-option. Misalnya materi tentang tugas lembaga negara , biasanya masing-masing lembaga negara memiliki tugas lebih dari 3 option. Sisw a hendaknya mengelompokkan option-option tugas masing-masing lembaga negara yang telah dipecah-pecah ke dalam satu kesatuan tugas lembaga negara tertentu, yang terbentuk dalam satu buah bentuk segitiga/bujur sangkar/hati. Langkah-langkah kegiatan: a. Guru menyiapkan beberapa bentuk segitiga/bujur sangkar/hati yang dipecah ke dalam beberapa kartu. Masing-masing kartu berisi satu option uraian dari kon sep materi dan akan membentuk satu kesatuan (utuh) bentuk tertentu segitiga/buju r sangkar/hati. b. Setiap kelompok siswa mendapat beberapa potongan kartu pecahan dari segi tiga/bujur sangkar/hati. c. Setiap kelompok siswa membentuk satu kesatuan kartu ke dalam segitiga/bu jur sangkar/hati yang tepat sehingga membentuk satu kesatuan konsep materi. d. Setiap kelompok siswa yang dapat membentuk satu kesatuan kartu pecahan s egitiga/bujur sangkar/hati sebelum batas waktu diberi poin. e. Perwakilan masing-masing kelompok siswa menempelkan satu kesatuan kartu pecahan segitiga/bujur sangkar/hati di papan tutis. f. Guru dan siswa mengklarifikasi hasil karya siswa dalam membentuk segitig a/bujur sangkar/hati konsep materi. g. Kesimpulan/penutup. H. Model Pembelajaran Nilai (Value Learning)

Pendidikan Kewarganegaraan beresensikan pendidikan nilai, sehingga Pendidikan Ke warganegaraan harus memberikan perhatiannya kepada pengembangan nilai, moral, da n sikap perilaku siswa. Para pakar telah mengemukakan berbagai teori tentang pen didikan nilai moral. Menurut Hersh, et al. (1980), di antara berbagai teori yang berkembang, ada enam teori yang banyak digunakan, yaitu: pendekatan pengembanga n rasional, pendekatan pertimbangan, pendekatan klarifikasi nilai, pendekatan pe ngembangan moral kognitif, dan pendekatan perilaku sosial. Berbeda dengan klasif ikasi tersebut, Elias (1989) mengklasifikasikan berbagai teori yang berkembang m enjadi tiga, yakni: pendekatan kognitif, pendekatan afektif, dan pendekatan peri laku. Klasifikasi ini menurut Rest (1992) didasarkan pada tiga unsur moralitas, yang biasa menjadi tumpuan kajian psikologi, yakni: perilaku, kognisi, dan afeks i. Uraian tentang pendekatan-pendekatan pendidikan nilai berikut ini akan didasarka n pada pendekatan-pendekatan seperti yang telah dikaji dan dirumuskan tipologiny a dengan jelas oleh Superka, et al. (1976). Ketika menyelesaikan pendidikan ting kat doktor dalam bidang pendidikan menengah di University of California, Berkele y tahun 1973, Superka telah melakukan kajian dan merumuskan tipologi dari berbag ai pendekatan pendidikan nilai yang berkembang dan digunakan dalam dunia pendidi kan. Dalam kajian tersebut dibahas delapan pendekatan pendidikan nilai berdasark an kepada berbagai literatur dalam bidang psikologi, sosiologi, filosofi, dan pe ndidikan yang berhubungan dengan nilai. Namun, selanjutnya berdasarkan kepada ha sil pembahasan dengan para pendidik dan alasanalasan praktis dalam penggunaaannya di lapangan, pendekatan-pendekatan tersebut telah diringkas menjadi lima (Super ka, et al, 1976). Lima pendekatan tersebut adalah: (1) pendekatan penanaman nila i (inculcation approach), (2) pendekatan perkembangan moral kognitif (cognitive moral development approach), (3) pendekatan analisis nilai (values analysis appro ach), (4) pendekatan klarifikasi nilai (values clarification approach), dan (5) pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach). Klasifikasi dan tipo logi dari masing-masing pendekatan tersebut telah divalidasikan juga dengan dua cara. Pertama, ringkasan dari tipologi itu telah dikirimkan kepada sepuluh pakar dalam bidang ini. Enam di antara mereka telah memberikan tanggapannya. Empat di antaranya menyatakan bahwa tipologi itu sangat bermanfaat, dan dapat dibedakan dengan jelas antara yang satu dengan yang lain. Dua orang pakar menyatakan merag ukan kemanfaatannya. Validasi kedua dilakukan dalam suatu aplikasi yang lebih konkret, dengan melibat kan lebih banyak pakar. Dalam dua konferensi yang diselenggarakan ppda bulan Okt ober 1974, 64 orang pakar pendidikan telah diminta untuk menganalisis lebih dari 200 bahan pelajaran pendidikan sosial tingkat sekolah dasar dan sekolah rneneng ah. Selanjutnya mereka diminta untuk mengklasifikasikannya ke dalam pendekatan-p endekatan tersebut, sesuai dengan tipologi yang telah dirumuskan. Untuk setiap b ahan pelajaran telah dilakukan dua kali analisis secara bebas (independent). Has il analisis tersebut membuktikan bahwa sistem klasifikasi tersebut bermanfaat da n memiliki tingkat reliabilitas yang tinggi (Superka, et al, 1976). Uraian lebih lanjut dalam pembahasan ini akan didasarkan pada lima pendekatan te rsebut. Kelima pendekatan ini, selain telah dikaji dan dirumuskan tipologinya de ngan jelas oleh Superka, juga dipandang sesuai dan bermanfaat dalam pelaksanaan Pendidikan Budi Pekerti di Indonesia. 1. Pendekatan Penanaman Nilai Pendekatan penanaman nilai (inculcation approach) adalah .suatu pendekatan yang memberi penekanan pada penanaman nilai-nilai sosial dalam din siswa. Menurut Sup erka et al, (1976), tujum pendidikan nilai menurut pendekatan ini adalah: pertam a, diterimanya nilai-nilai sosial tertentu oleh siswa; kedua, berubahnya nilai-n ilai siswa yang tidal< sesuai dengan nilai-nilai sosial yang diinginkan. Metoda yang digunakan clalam proses pembelajaran menurut pendekatan ini antara lain: ke teladanan, penguatan positif dan negatif, simulasi, permainan peranan, dan lainlain. Pendekatan ini sebenarnya merupakan pendekatan tradisional. Banyak kritik dalam berbagai literatur Barat yang ditujukan kepada pendekatan ini. Pendekatan ini di pandang indoktrinatif, tidak sesuai dengan perkembangan kehidupan demokrasi (Ban ks, 1985; Windmiller, 1976). Pendekatan ini dinilai mengabaikan hak anak untuk r

nemilih nilainya sendiri secara bebas. Menurut Raths et al, (1978) kehidupan man usia berbeda karena perbedaan waktu dan tempat. Kita dapat meramalkan nilai yang sesuai untuk generasi yang akan datang. tvlenurut beliau, setiap proses, supaya mereka dapat menemukan nilai-nilai mereka sendiri, sesuai dengan tempat dan zam annya. Pendekatan penanaman nilai mungkin tidak sesuai dengan alam pendidikan Barat yan g sangat menjunjung tinggi nilai-nilai kebebasan individu. Namun demikian, seper ti dijelaskan oleh Superka, et al, (1976) disadari atau tidak disadari, pendekat an ini digunakan secara meluas dalam berbagai masyarakat, terutamanya dalam pena naman nilai-nilai agama dan nilai-nilai budaya. Para penganut agama memiliki kec enderungan yang kuat untuk menggunakan pendekatan ini dalam pelaksanaan programprogram pendidikan agama. Bagi penganut-penganutnya, agama merupakan ajaran yan g memuat nilai-nilai ideal yang bersifat global dan kebenarannya bersifat mutlak . Nilai-nilai itu harus diterima dan dipercayai. Oleh karena itu, proses pendidi kannya,harus bertitik tolak dari ajaran atau nilai-nilai tersebut. Seperti dipah ami bahwa dalam banyak hal Batas-batas kebenaran dalam ajaran agama sudah jelas, pasti, dan harus di imani. Ajaran agama tentang berbagai aspek kehidupan harus diajarkan, diterima, dan diyakini kebenarannya oleh pemeluk-pemeluknya. Keimanan merupakan dasar penting dalam pendidikan agama. 2. Pendekatan Perkembangan Kognitif Pendekatan ini dikatakan pendekatan perkembangan kognitif karena karakteristikny a memberikan penekanan pada aspek kognitif dan perkembangannya. Pendekatan ini m endorong siswa untuk berpikir aktif tentang masalah-masalah moral dan dalam memb uat keputusan-keputusan moral. Perkembangan moral menurut pendekatan ini di liha t sebagai perkembangan tingkat berpikir dalam membuat pertimbangan moral, dari s uatu tingkat yang, lebih rendah menuju suatu tingkat yang lebih tinggi (Elias, 1 989). Tujuan yang ingin dicapai oleh pendekatan ini ada dua hal yang utama. Pertama, membantu siswa dalam membuat pertimbangan moral yang lebih kompleks berdasarkan kepada nilai yang lebih tinggi. Kedua, mendorong siswa untuk mendiskusikan alasan-alasannya ketika memilih nilai dan posisinya dalam suatu masalah moral (Superka, et al, 1976; Banks, 1985). Proses pengajaran nilai menurut pendekatan ini didasarkan pada dilema moral, dengan menggunakan metoda diskusi kelompok. Diskusi itu dilaksanakan dengan memberi perhatian kepada tiga kondisi penting. Pertama, mendorong siswa menuju tingkat pertimbangan moral yang lebih tinggi. Ke dua, adanya dilema, balk dilema hipotetikal maupun dilema faktual berhubungan de ngan nilai dalam kehidupan seharian. Ketiga, suasana yang dapat mendukung bagi b erlangsungnya diskusi dengan balk (Superka, et al, 1976; Banks, 1985). Proses di skusi dimulai dengan penyajian cerita yang mengandung dilema. Dalam diskusi ters ebut, siswa didorong untuk menentukan posisi apa yang sepatutnya dilakukan oleh orang yang terlibat, apa alasan-alasannya. Siswa diminta mendiskusikan tentang a lasan-alasan itu dengan teman-temannya. Pendekatan perkembangan kognitif pertama kali dikernukakan oleh 'Dewey (Kohlberg 1971, 1977). Selanjutkan dikembangkan lagi oleh Peaget dan Kohlberg (Freankel, 1977; Hersh, et al, 1980). Dewey membagi perkembangan moral anak menjadi tiga ta hap (level) sebagai berikut: (1) Tahap "premoral" atau "preconventional". Dalam tahap ini tingkah laku seseorang didorong oleh desakan yang bersifat fisikal ata u social. (2) Tahap "conventional". Dalam tahap ini seseorang mulai menerima nil ai dengan sedikit kritis, berdasarkan kepada kriteria kelompoknya. (3) Tahap "aut onomous". Dalam tahap ini seseorang berbuat atau bertingkah laku sesuai dengan a kal pikiran dan pertimbangan dirinya sendiri, tidak sepenuhnya menerima kriteria kelompoknya. Piaget berusaha mendefinisikan tingkat perkembangan moral pada anak-anak melalui pengamatan dan wawancara (Windmiller, 1976). Dari hasil pengamatan terhadap ana k-anak ketika bermain, dan jawaban mereka atas pertanyaan mengapa mereka patuh k epada peraturan, Piaget sampai pada suatu kesimpulan bahwa perkembangan kemampua n kognitif pada anak-anak memengaruhi pertimbangan moral mereka. Kohlberg (1977) juga mengembangkan teorinya berdasarkan kepada asumsi-asumsi umu m tentang teori perkembangan kognitif dari Dewey dan Piaget di atas. Seperti dij

elaskan oleh Elias (1989), Kohlberg mendefinisikan kembali dan mengembangkan teo rinya menjadi lebih rinci. Tingkat-tingkat perkembangan moral menurut Kohlberg d imulai dari konsekuensi yang sederhana, yang berupa pengaruh kurang menyenangkan dari luar ke atas tingkah laku, sampai kepada penghayatan dan kesadaran tentang nilai-nilai kemanusian universal. Lebih tinggi tingkat berpikir adalah lebih ba lk, dan otonomi lebih balk daripada heteronomi. Tahap-tahap perkembangan moral d iperinci sebagai berikut: Tahapan "preconventional": Tingkat 1: moralitas heteronomus. Dalam tingkat perkembangan ini moralitas dari sesuatu perbuatan ditentukan oleh ciri-ciri dan akibat yang bersifat fisik. Tingkat 2: moralitas individu dan timbal balik. Seseorang mulai sadar dengan tuj uan dan keperluan orang lain. Seseorang berusaha untuk memenuhi kepentingan send iri dengan memerhatikan juga kepentingan orang lain. Tahapan "conventional": Tingkat 3: moralitas harapan saling antara individu. Kriteria bail< atau burukny a suatu perbuatan dalam tingkat ini ditentukan oleh norma bersama dan hubungan s ahng memercayai. Tingkat 4: moralitas sistem sosial dan kata hati. Sesuatu perbuatan dinilai balk jika disetujui oleh yang berkuasa dan sesuai dengan peraturan yang menjamin ket ertiban dalam masyarakat. Tahapan "posconventional": Tingkat 4,5: tingkat transisi. Seseorang belum sampai pada tingkat "posconventio nal" yang sebenarnya. Pada tingkat ini kriteria benar atau salah bersifat person al dan subjektif, dan tidak memiliki prinsip yang jelas dalam mengambil suatu ke putusan moral. Tingkat 5: moralitas kesejahteraan sosial dan hak-hak manusia. Kriteria moralita s dari sesuatu perbuatan adalah yang dapat menjamin hakhal< individu serta sesuai dengan norma-norma yang berlaku dalam suatu masyarakat. Tingkat 6: moralitas yang didasarkan pada prinsip-prinsip moral yang UMUM. Ukura n benar atau salah ditentukan oleh pilihan sendiri berdasarkan prinsip-prinsip m oral yang logis, konsisten, dan bersifat universal. Asumsi-asumsi yang digunakan Kohlberg (1971, 1977) dalam mengembangkan teorinya adalah sebagai berikut: (a) Bahwa kunci untuk dapat memahami tingkah laku moral seseorang adalah dengan memahami filsafat moralnya, yakni dengan memahami alasan -alasan yang melatar belakangi perbuatannya. (b) Tingkat perkembangan tersusun s ebagai suatu keseluruhan cara berpikir. Setiap orang akan konsisten dalam tingka t pertimbangan moralnya. (c) Konsep tingkat perkembangan moral menyatakan rangka ian urutan perkembangan yang bersifat universal, dalam berbagai kondisi kebudaya an. Sesuai dengan asumsi-asumsi tersebut, konsep perkembangan moral menurut teori Ko hlberg memiliki empat ciri utama. Pertama, tingkat perkembangan itu terjadi dala m rangkaian yang sama pada semua orang. Seseorang tidak pernah melompati suatu t ingkat. Perkembangannya selalu ke arah tingkat yang lebih tinggi. Kedua, tingkat perkembangan itu selalu tersusun berurutan secara bertingkat. Dengan demikian, seseorang yang membuat pertimbangan moral pada tingkat yang lebih tinggi, dengan mudah dapat memahami pertimbangan moral tingkat yang lebih rendah. Ketiga, ting kat perkembangan itu terstruktur sebagai suatu keseluruhan. Artinya, seseorang k onsisten pada tahapan pertimbangan moralnya. Keempat, tingkat perkembangan ini m emberi penekanan pada struktur pertimbangan moral, bukan pada isi pertimbanganny a. Pendekatan perkembangan kognitif mudah digunakan dalam proses pendidikan di seko lah, karena pendekatan ini memberikan penekanan pada aspek perkembangan kemampua n berpikir. Oleh karena pendekatan ini memberikan perhatian sepenuhnya kepada is u moral dan penyelesaian masalah yang berhubungan dengan pertentangan nilai tert entu dalam masyarakat, penggunaan pendekatan ini menjadi menarik. Penggunaannya dapat menghidupkan suasana kelas. Teori Kohlberg dinilai paling konsisten dengan teori ilmiah, peka untuk membedakan kemampuan dalam membuat pertimbangan moral, mendukung perkembangan moral, dan melebihi berbagai teori lain yang berdasarkan kepada hasil penelitian empiris. Pendekatan ini juga memiliki kelemahan-kelemahan. Salah satu kelemahannya sepert

i dikemukakan oleh Hersii, et. al. (1980), pendekatan ini menampilkan bias buday a Barat. Antara lain sangat menjunjung tinggi kebebasan pribadi yang berdasarkan filsafat liberal. Dalam proses pendidikan dan pengajaran, pendekatan ini juga t idak mementingkan kriteria benar salah untuk suatu perbuatan. Yang dipentingkan adalah alasan yang dikemukakan atau pertimbangan moralnya. Teori Kohlberg juga dikritik mengandung bias seks, karena dilema yang dikemukaka nnya dan orientasi penilaian pada keadilan dan hak lebih tepat bagi kaum pria. B erdasarkan kepada hasil uji empiris, kaum wanita cenderung mendapat skor lebih r endah dari kaum pria (Power, 1994). Dalam pelaksanaan program-programnya, teori ini juga memberi penekanan pada proses dan struktur pertimbangan moral, mengabai kan nilai dan isi pertimbangnnya. Berhubungan dengan hal ini, menurut Ryan dan L ickona (1987), pendidikan moral dengan penekanan kepada proses semata dan mengab aikan isi, tidak akan mencapai sepenuhnya apa yang diharapkan. Dari sisi lain, p engakuan Kohlberg bahwa teorinya berdasarkan kepada prinsip-prinsip moral yang b ersifat universal dibantah juga oleh Liebert (1992). Menurut Liebert, berbagai k ajian dalam bidang antropologi tidak mendukung pandangan tentang adanya prinsipprinsip moral yang universal seperti yang dikemukakan Kohlberg. Realitas yang dit emukan adalah berbagai norma, standar, dan nilai-nilai moral yang dipengaruhi ol eh budaya masyarakat pendukungnya. Walaupun pendekatan ini mengandung kelemahan-kelernahan dalam segi-segi tertentu , namunseperti dijelaskan juga oleh Ryan dan Lickona (1987), teori ini juga tela h memberi sumbangan berharga bagi perkembangan pendidikan moral. 3. Pendekatan Ana[Isis Nilai Pendekatan analisis nilai (values analysis approach) memberikan penekanan pada p erkembangan kemampuan siswa untuk berpikir logis, dengan cara menganalisis masal ah yang berhubungan dengan nilai-nilai sosial. Jika dibandingkan dengan pendekat an perkembangan kognitif, salah satu perbedaan penting antara keduanya bahwa pen dekatan analisis nilai lebih menekankan pada pembahasan masalah-masalah yang mem uat nilainilai sosial. Adapun pendekatan perkembangan kognitif memberi penekanan pada dilema moral yang bersifat perseorangan. Ada dua tujuan utama pendidikan moral menurut pendekatan ini. Pertama, membantu siswa untuk menggunakan kemampuan berpikir logis dan penemuan ilmiah dalam menga nalisis masalah-masalah sosial, yang berhubungan dengan nilai moral tertentu. Ke dua, membantu siswa untuk menggunakan proses berpikir rasional dan analitik, dal am menghubunghubungkan dan merumuskan konsep tentang nilai-nilai mereka. Selanjut nya, metoda-metoda pengajaran yang sering digunakan adalah: pembelajaran secara individu atau kolompok tentang masalah-masalah sosial yang memuat nilai moral, p enyelidikan kepustakaan, penyelidikan lapangan, dan diskusi kelas berdasarkan ke pada pemikiran rasional (Superka, et al, 1976). Ada enam langkah analisis nilai yang penting dan perlu diperhatikan dalam proses pendidikan nilai menurut pendekatan ini (Hersh, et al,1980; Elias, 1989). Enam langkah tersebut menjadi dasar dan sejajar dengan enam tugas penyelesaian masala h berhubungan dengan nilai. Enam langkah dan tugas tersebut sebagai berikut: Tabel 3.1 Langkah Analisis Nilai dalam Pendidikan Nilai Langkah analisis nilai: Tugas penyelesaian masalah: 1. Mengidentifikasi dan menjelaskan nilai yang terkait. 1. Mengurangi perbedaan penafsiran tentang nilai yang terka it. 2. Mengumpulkan fakta yang berhubungan. 2. Mengurangi perbedaan dal am fakta yang berhubungan. 3. Menguji kebenaran fakta yang berkaitan. 3. Mengurangi perbedaan keb enaran tentang fakta yang berkaitan. 4. Menjelaskan kaitan antara fakta yang bersangkutan. 4. Mengurangi perbe daan tentang kaitan antara fakta yang bersangkutan. 5. Merumuskan keputusan moral sementara. 5. Mengurangi perbedaa n dalam rumusan keputusan sementara. 6. Menguji prinsip moral yang digunakan dalam pengambilan keputusan. 6. Mengurangi perbedaan dalam pengujian prinsip moral yang diterima. Penganjur pendekatan ini adalah suatu kelompok pakar pendidikan, filosof, dan pa

kar psikologi, termasuk di dalamnya: Jerrold Commbs, Milton Micux, dan James Cha dwick (Elias, 1989; Hersh, 1930). Kekuatan pendekatan ini, antara lain mudah dia plikasikan dalam ruang kelas, karena penekanannya pada pengembangan kemampuan ko gnitif. Selain itu, seperti terlihat dalam rumusan prosedur analisis nilai dan p enyelesaian masalah di alas, pendekatan ini menawarkan langkah-langkah yang sist ematis dalam pelaksanaan proses pembelajaran moral. Kelemahannya, berdasarkan kepada: prosedur analisis nilai yang ditawarkan serta tujuan dan metoda pengajaran yang digunakan, seperti yang dijelaskan oleh Superk a, et al, (1976), pendekatan ini sangat menekankan aspek kognitif, dan sebalikny a mengabaikan aspek afektif serta perilaku. Dari perspektif yang lain, seperti y ang dijelaskan oleh Ryan dan Lickona (1987), pendekatan ini sama dengan pendekat an perkembangan kognitif dan pendekatan klarifikasi nilai, sangat berat memberi penekanan pada proses, kurang mementingkan isi nilai. 4. Pendekatan Klarifikasi NiLai Pendekatan klarifikasi nilai (values clarification approach) memberi penekanan p ada usaha membantu siswa dalam mengkaji perasaan dan perbuatannya sendiri, untuk meningkatkan kesadaran mereka tentang nilainilai mereka sendiri. Tujuan pendidikan nilai menurut pendekatan ini ada tiga. Pertama, membantu siswa untuk menyadari dan mengidentifikasi nilai-nilai mereka sendiri serta nilai-nil ai orang lain. Kedua, membantu siswa, supaya mereka mampu berkomunikasi secara t erbuka dan jujur dengan orang lain, berhubungan dengan nilai-nilainya sendiri. K etiga, membantu siswa supaya mereka mampu menggunakan secara bersama-sama kemamp uan berpikir rasional dan kesadaran emosional, untuk memahami perasaan, nilai-ni lai, dan pola tingkah laku mereka sendiri (Superka, et al, 1976). Dalam proses pengajarannya, pendekatan ini menggunakan metode: dialog, menulis, diskusi dalam kelompok besar atau Iced, dan lain-lain (Raths, et al, 1978). Pend ekatan ini antara lain dikembangkan oleh Raths, Harmin, dan Simon (Shaver, 1976) . Mereka telah menulis sebuah buku, yang pertama-tama membahas tentang pendekata n ini secara terperici, dengan judul Values and Teaching: Working with Values in the Classroom. Edisi pertama buku tersebut diterbitkan pada tahun 1966 oleh pen erbit Charles E. Merrill. Istilah values clarification pertama kali digunakan ol eh Louis Raths pada tahun 1950-an, ketika beliau mengajar di New York University . Pendekatan ini memberi penekanan pada nilai yang sesungguhnya dimiliki oleh sese orang. Bagi penganut pendekatan ini, nilai bersifat subjektif, ditentukan oleh s eseorang berdasarkan kepada berbagai latar belakang pengalamannya sendiri, tidak ditentukan oleh faktor luar, seperti agama, masyarakat, dan sebagainya. Oleh ka rena itu, bagi penganut pendekatan ini, isi nilai tidak terlalu !Denting. Hal ya ng sangat dipentingkan dalam program pendidikan adalah mengembangkan keterampilan siswa cialarn melakukan proses menilai. Sejalan dengan pandangan tersebut, seba gaimana dijelaskan oleh Elias (1989), bahwa bagi penganut pendekatan ini, guru b ukan sebagai pengajar nilai, melainkan sebagai role model clan pendorong. Perana n guru adalah mendorong siswa dengan pertanyaanpertanyaan yang relevan untuk meng embangkan keterampilan siswa dalam melakukan proses menilai. Ada tiga proses klarifikasi nilai menurut pendekatan ini. Dalam tiga proses ters ebut terdapat tujuh subproses sebagai berikut: Tabel 3.2. Proses Klarifikasi Nilai Pertama, memilih: 1) dengan bebas, 2) dari berbagai alternatif, 3) setelah mengadakan pertimbangan tentang berbagai akibatnya, Kedua, menghargai: 4) merasa bahagia atau gembira dengan pilihannya, 5) mau mengakui pilihannya itu di depan umum, Ketiga, bertindak: 6) berbuat sesuatu sesuai dengan pilihannya, 7) diulang-ulang sebagai suatu pola tingkah laku dalam hidup (Raths, et al, 1978). Untuk mengembangkan keterampilan siswa dalam melakukan proses menilai tersebut, Raths, et al (1978) telah merumuskan juga empat pedoman sebagai kunci penting se bagai berikut: (1) Tumpuan perhatian diberikan pada kehidupan. Yang dimaksudkan adalah berusaha untuk mengarahkan tumpuan perhatian orang pada berbagai aspek ke hidupan mereka sendiri, supaya mereka dapat mengidentifikasi hal-hal yang rnerek

a nilai. (2) Penerimaan sesuai dengan apa adanya. Yang dimaksudkan, ketika kita memberi perhatian pada klarifikasi nilai, kita perlu menerima posisi orang lain tanpa pertimbangan, sesuai dengan apa adanya. (3) Stimulus untuk bertindak lebih lanjut. Artinya, kita perlu icbih banyak berbuat sebagai refleksi nilai, daripa da sekadar menerima. (4) Pengembangan kemampuan perseorangan. Artinya, dengan pe ndekatan ini tidak hanya mengembangkan keterampilan klarifikasi nilai, tetapi jug a mendapat tuntunan untuk berpikir dan berbuat lebih lanjut. Kekuatan pendekatan ini terutama memberikan penghargaan yang tinggi kepada siswa sebagai individu yang mempunyai hak untuk memilih, menghargai, dan bertindak be rdasarkan kepada nilainya sendiri (Banks, 1985). Metode pengajarannya juga sanga t fleksibel, selama dipandang sesuai dengan rumusan proses menilai dan empat gar is panduan yang ditentukan, seperti telah dijelaskan di atas. Sama halnya dengan pendekatan perkembangan kognitif, pendekatan ini juga mengandung kelemahan mena mpilkan bias budaya Barat. Dalam pendekatan ini, kriteria benar salah sangat rel atif, karena sangat mementingkan nilai perseorangan. Seperti dikemukakan oleh Ba nks (1985), pendidikan nilai menurut pendekatan ini tidak memiliki suatu tujuan tertentu berkaitan dengan nilai. Sebab, bagi penganut pendekatan ini, menentukan sejumlah nilai untuk siswa adalah tidal< wajar dan tidak etis. 5. Pendekatan Pembelajaran Berbuat Pendekatan pembelajaran berbuat (action learning approach) memberi penekanan pad a usaha memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan perbuatan-perbuatan m oral, baik secara perseorangan maupun secara bersama-sama dalam suatu kelompok. Superka, et al, (1976) menyimpulkan ada dua tujuan utama pendidikan moral berdas arkan kepada pendekatan ini. Pertama, memberi kesempatan kepada siswa untuk mela kukan perbuatan moral, balk secara perseorangan maupun secara bersama-sama, berd asarkan nilai-nilai mereka sendiri. Keclua, mendorong siswa untuk melihat diri m ereka sebagai makhluk individu dan makhluk sosial dalam pergaulan dengan sesama, yang tidak memiliki kebebasan sepenuhnya, tetapi sebagai warga dari suatu masya rakat, yang harus mengambil bagian dalam suatu proses demokrasi. Metode-metode pengajaran yang digunakan dalam pendekatan analisis nilai dan klar ifikasi nilai digunakan juga dalam pendekatan ini. Metoda-metoda lain yang digun akan juga adalah proyek-proyek tertentu untuk dilakukan di sekolah atau dalam ma syarakat, dan praktik keterampilan dalam berorganisasi atau berhubungan antara s esama (Superka, et. al., 1976). Menurut Elias (1989), Hersh, et al, (1980) dan Superka, et al, (1976), pendekata n pembelajaran berbuat diprakarsai oleh Newmann, dengan memberikan perhatian men dalam pada usaha melibatkan siswa sekolah menengah atas dalam melakukan perubaha n-perubahan sosial. Menurut Elias (1989), walaupun pendekatan ini berusaha juga untuk meningkatkan keterampilan "moral reasoning" dan dimensi afektif, namun tuj uan yang paling penting adalah memberikan pengajaran kepada siswa, supaya mereka berkemampuan untuk memengaruhi kebijakan urnum sebagai warga dalam suatu masyar akat yang demokratis.Penganjur pendekatan ini memandang bahwa kelemahan dari ber bagai pendekatan lain adalah menghasilkan warga negara yang pasif. Menurut merek a, melalui program- program pendidikan moral sepatutnya menghasilkan warga negar a yang aktif, yakni warga negara yang memiliki kompetensi yang diperlukan dalam lingkungan hidupnya (environmental competence) sebagai berikut: (1) kompetensi f isik (physical competence), yang dapat memberikan nilai tertentu terhadap suatu objek, misalnya melukis sesuatu, membangun sebuah rumah, dan sebagainya; (2) kom petensi hubungan antarpribadi (interpersonal competence), yang dapat memberi peng aruh kepada orangorang melalui hubungan antara sesame, misalnya saling memerhatik an, persahabatan, hubungan ekonomi, dan lain-lain; (3) kompetensi kewarganegaraa n (civic competence), yang dapat memberi pengaruh kepada urusan-urusan masyaraka t umum, misalnya proses pemilihan umum dengan memberi bantuan kepada seseorang c alon atau partai peserta untuk memperoleh kemenangan, atau melalui kelompok pemi nat tertentu, mampu memengaruhi perubahan kebijaksanaan umum. Di antara ketiga kompetensi tersebut, kompetensi yang ketiga (civic competence) merupakan kompetensi yang paling penting bagi Newman (Hersh, et al, 1980). Kompe tensi ini ingin dikembangkan melalui program- program pendidikan moral. Kekuatan pendekatan ini terutama pada program-program yang disediakan dan memberikan kese mpatan kepada siswa untuk berpartisipasi secara aktif dalam kehidupan demokrasi.

Kesempatan seperti ini, menurut Hersh, et al, (1980) kurang mendapat perhatian dalam berbagai pendekatan lain. Kelemahan pendekatan ini menurut Elias (1989) su kar dijalankan. Menurut beliau, sebagian dari program-program yang dikembangkan oleh Newmann dapat digunakan, namun secara keseluruhannya sukar dilaksanakan. Djahiri (1985: 64-75) mengembangkan apa yang disebut dengan Value Clarification Technique (VCT) dalam pembelajaran nilai, di antaranya melalui VCT Analisis Nila i, VCT Daftar, dan VCT Game.

Anda mungkin juga menyukai