2.1. Sepsis 2.1.1. Defenisi Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) adalah pasien yang memiliki dua atau lebih kriteria sebagai berikut : 1) Suhu > 38o C atau < 36o C 2) Denyut jantung > 90 x permenit 3) Respirasi > 20 x permenit atau Pa CO2 < 32 mmHg 4) Hitung leukosit > 12.000/mm3 atau >10% sel imatur (band) Sepsis adalah SIRS ditambah tempat infeksi yang diketahui (ditentukan dengan biakan positif terhadap organisme dari tempat tersebut). Biakan darah tidak harus positif. Meskipun SIRS, sepsis dan syok septik biasanya berhubungan dengan infeksi bakteri, tidak harus terdapat bakteremia. Bakteremia adalah keadaan bakteri hidup dalam komponen darah. Sepsis berat adalah sepsis yang berkaitan dengan disfungsi organ, kelainan hipoperfusi, atau hipotensi. Kelainan hipoperfusi meliputi (tetapi tidak terbatas) pada asidosis laktat, oliguria, atau perubahan akut pada status mental.1 Berdasarkan konferensi internasional pada tahun 2001, terdapat tambahan pada kriteria sebelumnya. Dimana pada konferensi tahun 2001 menambahkan kriteria diagnostik baru pada sepsis. Bagian yang terpenting adalah dengan memasukkan petanda biomolekuler yaitu pricalcitonin (PCT) dan C reactive protein (CRP), sebagai langkah awal dalam diagnosis sepsis. Rekomendasi yang utama adalah implementasi dari suatu sistem tingkatan Predisposition, Insult infection, Response dan Organ disfunction (PIRO) untuk menentukan pengobatan secara maksimum berdasarkan karakteristik pasien dengan stratifikasi gejala dan resiko.1
2.1.2 Etiologi Penyebab dari sepsis terbesar adalah bakteri gram negatif dengan presentase 60 sampai 70% kasus, yang menghasilkan berbagai produk yang menstimulasi sel imun. Stafilokokus, pneumokokus, streptokokus dan bakteri gram positif lain jarang menyebabkan sepsis, dengan angka kejadian sepsis 20 sampai 40 % dari keseluruhan kasus. Selain itu jamur oportunistik, virus, (Dengue dan Herpes) atau protozoa (Falciparum malariae) dilaporkan dapat menyebabkan sepsis walaupun jarang.1
2.1.3. Patofisiologi 1. Mekanisme Host Untuk Mengenali mikroba Kemampuan untuk mengenali berbagai mikroba mungkin mempengaruhi potensi dari pertahanan host dan pathogenesis sepsis. Kebanyakan bakteri aerob dan gram negative anaerob memicu severe sepsis dan syok (termasuk E.coli, Klebsiella, Enterobakter). Ketika mereka menginvasi host sering melewati barier epitel, infeksi biasanya di jaringan subepitelial. Jika terjadi bakterimia, selalu intermiten dan low-grade, dimana bakteri ini dihilangkan dari aliran darah oleh sel kupffer dan makrofag limfa. Sehingga akan menimbulkan terjadinya sepsis dengan memicu terjadinya peradangan lokal daripada beredar didalam aliran darah.2 2. Respon lokal dan sistemik host dalam menginvasi mikroba Pengenalan mikroba oleh fagosit jaringan memicu produksi dan atau pelepasan berbagai molekul host (sitokin, kemokin, prostanoid, leukotrien, dan yang lainnya) yang akan terjadi peningkatan aliran darah ke jaringan yang terinfeksi, peningkatan permeabilitas dari pembuluh darah lokal, banyaknya neutrofil yang dating ke tempat infeksi, dan peningkatan nyeri. Fenomena ini merupakan elemen dari terjadinya peradangan lokal, pertahanan awal tubuh untuk mengeliminasi mikroba.2 Respon sistemik diaktifasi oleh neural dan humoral dengan hypothalamus dan batang otak, respon ini akan meningkatkan pertahanan lokal dengan meningkatkan aliran darah ke area yang
terinfeksi, peningkatan jumlah neutrofil di sirkulasi, dan meningkatnya jumlah molekul di darah yang mempunyai fungsi anti infeksi.2 Sitokin dan mediator lain Respon tubuh terhadap suatu pathogen melibatkan berbagai macam komponen sistem imun dan berbagai macam sitokin baik itu yang bersifat proinflamasi dan antiinflamasi. Yang termasuk sitokin proinflamasi adalah TNF, IL-1, interferon yang bekerja membantu sel untuk menghancurkan mikroorganisme yang menginfeksi. Termasuk sitokin antiinflamasi adalah interleukin 1 reseptor antagonis, IL-4, IL-10 yang bertugas untuk memodulasi, koordinasi atau represi terhadap respon yang berlebihan. Karena ketidakseimbangan antara proinflamasi dan inflamasi akan menimbulkan kerugian bagi tubuh. IL-6 adalah sitokin yang merupakan respon fase akut yang dapat sebagai sitokin pro-inflamasi karena IL-6 dihasilkan oleh makrofag yang teraktivasi dan dilain pihak sebagai sitokin anti-inflamatori karena juga dihasilkan dari sel Th 2 yang teraktifasi.3 Seperti yang telah dijelaskan di keterangan sebelumnya, maka limfosit T akan mengeluarkan substansi dari Th1 yang berfungsi sebagai imunomodulator yaitu: IFN-, IL-2, dan granulocyte macrophage colony stimulating factor (GM-CSF). Sedangkan limfosit Th2 akan mengekspresikan IL-4, IL-5, IL-6, dan IL-10. IFN- merangsang makrofag mengeluarkan IL-1 dan TNF-, kesemuanya ini merupakan sitokin proinflamatori, sehingga akan terjadi peningkatan pada keadaan sepsis. IL-2 dan TNF- selain merupakan reaksi terhadap sepsis dapat pula merusakkan endotel pembuluh darah yang mekanisme nya sampai saat ini belum jelas. IL1 sebagai imuno regulator utama juga mempunyai efek pada sel endothelial termasuk didalamnya pembentukkan prostaglandin E2 dan merangsang ekspresi intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-1). Dengan adanya ICAM-1 menyebabkan neutrofil yang telah tersensitasi oleh GM-CSF akan mudah mengadakan adhesi.3 Interaksi endotel dengan neutrofil terdiri atas tiga langkah yaitu: 1. Bergulirnya neutrofil, P dan E-selektin yang dikeluarkan oleh endotel dan L-selektin neutrofil dalam mengikat ligan respektif.
2. Merupakan langkah yang sangat penting, adhesi dan aktivasi neutrofil yang mengikat intergretin CD-11 atau CD-18, yang melekatkan neutrofil pada endotel dengan molekul adhesi (ICAM) yang dihasilkan oleh endotel. 3. Transmigrasi neutrofil menembus dinding endotel. Neutrofil yang beradhesi dengan endotel akan mengeluarkan lisosim yang akan menyebabkan dinding endotel lisis, akibatnya endotel terbuka. Neutrofil juga membawa superoksidan yang termasuk dalam radikal bebas yang akan mempengaruhi oksigenasi pada mitokondria dan siklus GMPs. Akibat proses tersebut endotel menjadi nekrosis, sehingga terjadi kerusakan endotel pembuluh darah dan terjadi gangguan vaskuler (vascular leak) sehingga menyebabkan kerusakan organ multipel.3
2.1.4. Diagnosa Diagnosis sepsis meliputi riwayat medis yang cermat, manifestasi klinis, pemeriksaan fisik, uji laboratorium yang sesuai, dan tindak lanjut status hemodinamik. Manifestasi klinis Manifestasi klinis sepsis biasanya tidak spesifik, biasanya didahului oleh tanda tanda sepsis non spesifik, meliputi demam, menggigil, dan gejala konstitusi seperti lelah, malaise, gelisah atau kebingungan. Gejala tersebut tidak khusus untuk infeksi dan dapat dijumpai pada banyak macam kondisi inflamasi non infeksius. Manifestasi respons septik biasanya tumpang tindih atau memperkuat gejala dan tanda penyakit penyebab dan infeksi primernya. Rata rata perkembangan gejala dan tanda berbeda dari satu pasien dengan pasien lain dan bervariasi dalam tampilan klinis. Sebagai contoh, beberapa pasien sepsis normo- atau hipotermi; tidak demam pada neonatus, pada pasien yang lebih tua, dan pada orang dengan uremia atau alkoholik. (HERISON) Gejala sepsis tersebut akan menjadi lebih berat pada penderita usia lanjut, penderita diabetes, kanker, dan gagal organ utama. Sumber infeksi merupakan determinan penting untuk terjadinya berat dan tidaknya gejala gejala sepsis.3
Hiperventilasi adalah tanda yang paling sering dan awal. Disorientasi, gelisah, dan manifestasi lain dari ensefalopati bisa juga terjadi pada respons septik awal, terutama pada yang lebih tua dan pasien yang memiliki gangguan neurologi sebelumnya.2 Banyak jaringan yang tidak dapat mengekstraksi oksigen dari darah dengan normal, sehingga terjadi metabolisme anaerob. Kadar laktat darah meningkat awalnya, karena peningkatan glikolisis dengan gangguan klirens laktat dan piruvat oleh hati dan ginjal. Karena hipoperfusi, jaringan hipoksia menghasilkan banyak asam laktat, berperan dalam asidosis metabolik. Kadar gula darah sering meningkat, terutama pada pasien dengan diabetes, meskipun gangguan glukoneogenesis dan pelepasan insulin berlebihan menyebabkan hipoglikemia.2 Kriteria Sepsis adalah Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) ditambah dugaan infeksi atau terbukti adanya infeksi.2 SIRS adalah pasien yang memiliki dua atau lebih kriteria berikut: 1. Demam (temperatur oral > 38 C) atau hipotermi (< 36 C) 2. Takipneu (> 24 kali/ menit) 3. Takikardi (denyut jantung > 90 kali/ menit) 4. Leukositosis (>12.000/ mm3), leucopenia (< 4.000/ mm3), atau > 10% sel imatur (band) Sedangkan disebut sepsis berat jika sepsis dengan satu atau lebih disfungsi organ, contohnya:2 1. Kardiovaskular Tekanan darah sistolik arteri 90 mmHg atau Mean Arterial Pressure (MAP) 70 mmHg yang respon pada cairan intravena. 2. Ginjal Urine output < 0,5 cc/ kg BB/ jam selama 1 jam meskipun sudah resusitasi cairan adekuat. 3. Respirasi PaOa/FIO2 250, atau jika hanya paru paru disfungsi 200 4. Hematologi Jumlah platelet < 80.000/ L atau menurun 50 % dari nilai tertinggi pada 3 hari sebelumnya. 5. Asidosis metabolik yang tidak terjelaskan
pH 7,3 atau base deficit 5,0 mEq/L dan kadar laktat plasma > 1,5 kali di atas batas atau nilai normal 6. Resusitasi cairan adekuat Tekanan arteri paru 12 mmHg atau tekanan vena sentral 8 mmHg. Sedangkan disebut syok septik apabila sepsis dengan hipotensi (tekanan darah arteri < 90 mmHg sistolik, atau 40 mmHg kurang dari tekanan darah normal) selama paling sedikit 1 jam meskipun resusitasi cairan adekuat; atau membutuhkan vasopresor untuk menjaga tekanan darah sistolik 90 mmHg atau MAP 70 mmHg.2 Data laboratorium Uji laboratorium meliputi Complete Blood Count (CBC) dengan hitung diferensial, urinalisis, gambaran koagulasi, glukosa, urea darah, nitrogen, kreatinin, elektrolit, uji fungsi hati, kadar asam laktat, gas darah arteri, elektrokardiogram, dan foto toraks. Biakan darah, sputum, urin, dan tempat lain yang terinfeksi harus dilakukan. Lakukan pewarnaan Gram di tempat yang biasanya steril (darah, CSF, cairan artikular, ruang pleura) dengan aspirasi. Minimal dua sampel biakan darah harus diambil dalam periode 24 jam. Jka terapi antibiotik sudah dimulai, beberapa macam antibiotik dapat dideaktivasi di laboratorium klinis.3 Tergantung pada status klinis pasien dan resiko resiko terkait, pemeriksaan dapat juga menggunakan foto abdomen, CT Scan, MRI, ekokardiografi, dan/atau lumbal pungsi.3 Pada sepsis awal, hasil laboratorium yang dapat dijumpai adalah leukositosis, trombositopenia, hiperbilirubinemia, dan proteinuria. Dapat terjadi leucopenia. Neutrofil mengandung granulasi toksik, badan Dohle, atau vakuola sitoplasma. Hiperventilasi menimbulkan alkalosis respiratori. Penderita diabetes dapat mengalami hiperglikemia. Lipid serum meningkat.3 Selanjutnya, trombositopenia memburuk disertai perpanjangan waktu trobin, penurunan fibrinogen, dan keberadaan D- dimer yang menunjukkan DIC (Disseminated Intravascular Coagulation). Azotemia dan hiperbilirubinemia lebih dominan. Aminotransferase (enzim liver) meningkat. Bila otot pernapasan lelah, tejadi akumulasi laktat serum. Hiperglikemia diabetic dapat menimbulkan ketoasidosis yang memperburuk hipotensi.3 2.1.5. Terapi
Tiga prioritas utama dalam terapi sepsis, yaitu : 1. Stabilisasi Pasien Langsung Masalah mendesak yang dihadapi pasien dengan sepsis berat adalah pemulihan abnormalitas yang membahayakan jiwa (ABC :airway, breathing, circulation). Pemberian resusitasi awal sangat penting pada penderita sepsis, dapat diberikan kristaloid atau koloid untuk mempertahankan stabilitas hemodinamik. Perubahan status mental atau penurunan tingkat kesadaran akibat sepsis memerlukan perlindungan langsung terhadap jalan nafas pasien. Intubasi diperlukan juga untuk memberikan kadar oksigen lebih tinggi. Ventilasi mekanis dapat membantu menurunkan konsumsi oksigen oleh otot pernafasan dan peningkatan ketersediaan oksigen untuk jaringan lain. Peredaran darah terancam, dan penurunan bermakna pada tekanan darah memerlukan terapi empirik gabungan yang agresif dengan cairan (ditambah kristaloid atau koloid) dan inotrop / vasopresor (dopamin, dobutamin, fenilefrin, epinefrin atau norepinefrin). Pada sepsis berat diperlukan pemantauan peredaran darah. CVP 8 12 mmHg; Mean arterial pressure 65 mmHg; urine output 0.5 ml/kg/jam; Central venous (superior vena cava) oxygen saturation 70% atau mixed venous 65%.1 Pasien dengan sepsis berat harus dimasukkan dalam ICU. Tanda vita pasien (tekanan darah, denyut jantung, laju nafas, dan suhu badan) harus dipantau. Frekuensinya tergantung pada berat sepsis. Pertahankan curah jantung dan ventilasi yang memadai dengan obat. Pertimbangkan dialisis untuk membantu fungsi ginjal. Pertahankan tekanan darah arteri pada pasien hipotensif dengan obat vasoaktif, misal dopamin, dobutamin atau norepinefrin.1
2.
Pemberian Antibiotik yang Adekuat Agen antimikrobial tertentu dapat memperburuk keadaan pasien. Diyakini bahwa
antimikrobial tertentu menyebabkan pelepasan lebih banyak LPS sehingga menimbulkan lebih banyak masalah bagi pasien. Antimikrobial yang tidak menyebabkan pasien memburuk adalah : karbapenem, seftriakson, sefepim, glikopeptida, aminoglikosida dan quinolon.1 Perlu segera diberikan terapi empirik dengan antimikrobial, artinya bahwa diberikan antibiotika sebelum hasil kultur dan sensitivitas tes terhadap kuman didapatkan. Pemberian antimikrobial secara dini diketahui menurunkan perkembangan syok dan angka mortalitas.
Setelah hasil kultus dan sensitivitas didapatkan maka terapi empirik diubah menjadi terapi rasional sesuai dengan hasil kultur dan sensitivitas, pengobatan tersebut akan mengurangi jumlah antibiotika yang diberikan sebelumnya (dieskalasi). Diperlukan regimen antimikrobial dengan spektrum aktivitas luas sesuai dengan hasil kultur. Hal ini karena terapi antimikrobial hampir selalu diberikan sebelum organisme yang menyebabkan sepsis diidentifikasi.1 Obat yang digunakan tergantung sumber sepsis. 1. Untuk pneumonia dapatn komunitas biasanya digunakan 2 regimen obat. Biasanya sefalosporin generasi ketiga (seftriakson) atau keempat (sefepim) diberikan dengan aminoglikosida (biasanya gentamisin). 2. Pneumonia nosokomial : sefipim atau iminem silastatin dan aminoglikosida. 3. Infeksi abdomen : imipenem silastatin atau pipersilin tazobaktam dan aminoglikosida. 4. Infeksi abdomen nosokomial : imipenem silastatin dan aminoglikosida atau pipersilin tazobaktam dan amfoterisin B. 5. Kulit / jaringan lunak : vankomisin dan imipenem silastatin atau pipersilin tazobaktam. 6. Kulit / jaringan lunak nosokomial : vankomisin dan sefipim. 7. Infeksi traktus urinaris : siprofloksasin dan aminoglikosida. 8. Infeksi traktus urinaris nosokomial : vankomisin dan sefipim. 9. Infeksi CNS : vankomisin dan sefalosporin generasi ketiga atau meropenem. 10. Infeksi CNS nosokomial : meropenem dan vankomisin. Regimen obat tunggal biasanya hanya diindikasikan bila organisme penyebab sepsis telah diidentifikasi dan uji sensitivitas antibiotik menunjukkan macan antimikrobial yang terhadapnya organisme memiliki sensitivitas.1 3. Fokus infeksi awal harus dieliminasi Hilangkan benda asing. Salurkan eksudat purulen, khususnya untuk infeksi anaerobik. Angkat organ yang terinfeksi, hilangkan atau potong jaringan yang gangren.1
4.
Pemberian nutrisi yang adekuat Pemberian nutrisi merupakan terapi tambahan yang sangat penting berupa makro dan
mikronutrient. Makronutrient terdiri dari omega 3 dan golongan nukleotida yaitu glutamin, sedangkan mikronutrient berupa vitamin dan trace element.1
5.
Terapi Suportif Eli Lily dan Company mengumumkan bahwa hasil uji klinis phase III menunjukkan
drotrecogin alfa (protein C teraktifkan rekombinan, Zovant) menurunkan resiko relatif kematian akibat sepsis dengan disfungsi organ akut terkait (dikenal dengan sepsis berat) sebesar 19,4 persen. Zovant merupakan antikoagulan.1
2.1.6. Komplikasi a. Komplikasi Cardiopulmonary Mismatching ventilasi-perfusi menghasilkan penurunan PO2 arteri di awal perjalanan penyakit. Peningkatan permeabilitas alveolar kapiler menghasilkan peningkatan kadar air paru, yang menurunkan kemampuan paru dan mengganggu pertukaran oksigen. Infiltrat paru difus progresif dan hipoksemia arteri (pao2 / Fio, <200) menunjukkan berkembangnya sindrom gangguan pernapasan akut (ARDS). ARDS berkembang pada 50% dari pasien dengan sepsis berat atau syok septik. Kegagalan otot pernafasan bisa memperburuk hipoksemia dan hypercapnia. Sebuah peninggian tekanan baji kapiler paru (> 18 mmhg) lebih menunjukkan overload volume cairan atau gagal jantung daripada ARDS. Pneumonia disebabkan oleh virus atau oleh Pneumocystis mungkin secara klinis tidak dapat dibedakan dari ARDS. Sepsis hipotensi-induced biasanya hasil dari maldistribution umum aliran darah dan volume darah serta dari hipovolemia yang jatuh tempo, setidaknya sebagian, kebocoran cairan kapiler intravaskuler. Faktor lain yang dapat
menurunkan volume intravaskuler efektif termasuk dehidrasi dari penyakit terdahulu atau kerugian cairan yang tidak disadari, muntah atau diare, dan poliuria.2 Selama awal syok septik, resistensi vaskuler sistemik biasanya meningkat dan output jantung mungkin rendah. Setelah pemenuhan cairan, sebaliknya, output jantung biasanya meningkat dan resistensi pembuluh darah sistemik menurun. Output jantung yang normal atau meningkat dan penurunan resistensi pembuluh darah sistemik membedakan dari syok kardiogenik, obstruktif extracardiac, dan hipovolemik shock, proses-proses lain yang dapat menghasilkan kombinasi ini termasuk anafilaksis, beriberi, sirosis, dan overdosis dari nitroprusside atau narkotika. Depresi fungsi miokard, dinyatakan sebagai peningkatan volume ventricular end diastolic dan sistolik dengan penurunan fraksi ejeksi, berkembang dalam waktu 24 jam pada kebanyakan pasien dengan sepsis berat. Cardiac output dipenuhi, terlepas dari fraksi ejeksi rendah, karena dilatasi ventrikel memungkinkan volume normal stroke. Pada penderita, fungsi miokard kembali normal selama beberapa hari. Meskipun disfungsi miokard dapat berkontribusi terhadap hipotensi, hipotensi refractory biasanya karena resistensi pembuluh darah sistemik yang rendah, dan kematian hasil dari shock refraktori atau kegagalan organ multiple bukan dari disfungsi jantung.2
b. Komplikasi ginjal Oliguria, azotemia, proteinuria, dan cast kemih nonspesifik sering ditemukan. Banyak pasien yang dengan polyuria tidak sesuai ; hiperglikemia dapat memperburuk kecenderungan ini. Kebanyakan kegagalan ginjal adalah karena nekrosis tubular akut yang disebabkan oleh hipotensi atau cedera kapiler, meskipun beberapa pasien juga memiliki glomerulonefritis, nekrosis korteks ginjal, atau nefritis interstisial. Kerusakan ginjal drug-induced mungkin mempersulit terapi, khususnya pasien ketika hipotensi diberikan antibiotik aminoglikosida.2
c. Koagulasi Meskipun trombositopenia terjadi dalam 10 sampai 30% dari pasien, mekanisme yang mendasari tidak dipahami. Trombosit biasanya sangat rendah (<50.000 / l) pada pasien dengan DIC;
jumlah ini rendah mungkin mencerminkan cedera endotel menyebar atau trombosis mikrovaskuler.2
d. Komplikasi neurologis Ketika sepsis berlangsung selama berminggu-minggu sampai bulan, "krisis-penyakit" polineuropati dapat menghambat dukungan ventilasi dan menghasilkan kelemahan motorik distal.2
2.1.8
Prognosis
Setidaknya 20-35% pasien dengan sepsis berat dan 40 sampai 60% dari pasien dengan syok septik meninggal dalam waktu 30 hari. Kematian lainnya dalam 6 bulan berikutnya. Kematian pada akhirnya sering disebabkan infeksi yang kurang dikendalikan, komplikasi dari perawatan intensif, kegagalan dari beberapa organ, atau penyakit yang mendasari pasien. Sistem stratifikasi prognosis seperti APACHE II menunjukkan bahwa faktor dalam usia pasien, kondisi yang mendasari, dan berbagai variabel fisiologis dapat menghasilkan perkiraan resiko kematian dari sepsis berat. Dari kovariat individu, tingkat keparahan dari penyakit yang mendasari paling kuat mempengaruhi risiko kematian. Syok septik juga prediktor mortalitas jangka pendek dan jangka panjang yang kuat.2
2.2. Pneumonia Secara klinis, pneumonia didefinisikan sebagai suatu peradangan parenkim paru yang disebabkan mikroorganisme (bakteri, virus, jamur, parasit), kecuali Mycobacterium tuberculosis. Klasifikasi pneumonia dapat dibedakan menjadi tiga bentuk, yaitu: 1. Berdasarkan klinis dan epidemiologis
a. Pneumonia komuniti (community-acquired pneumonia/CAP) b. Pneumonia nosokomial (hospital- acquired pneumonia/HAP) c. Pneumonia aspirasi d. Pneumonia pada penderita immunocompromised 2. Berdasarkan agen penyebab a. Pneumonia tipikal, jika pneumonia disebabkan oleh infeksi bakteri seperti Klebsiella, Streptococcus, Staphylococcus. b. Pneumonia atipikal, jika pneumonia disebabkan oleh infeksi Mycoplasma, Legionella, dan Chlamydia. c. Pneumonia viral d. Pneumonia fungal/jamur 3. Berdasarkan predileksi infeksi a. Pneumonia lobaris b. Bronkopneumonia c. Pneumonia interstisial Berdasarkan laporan yang ada selama 5 tahun terakhir ini dari beberapa pusat paru di Indonesia (Medan, Jakarta, Surabaya, Malang, dan Makassar) dengan cara pengambilan bahan dan metode yang pemeriksaan mikrobiologi yang berbeda, didapatkan agen penyebab pneumonia komuniti sebagai berikut: Klebsiella pneumoniae 45,18% Streptococcus pneumoniae 14,04% Staphylococcus aureus 9%
Diagnosis pneumonia komuniti didapatkan dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis pasti pneumonia komuniti ditegakkan jika pada foto toraks terdapat infiltrat baru atau infiltrat progresif dengan dua atau lebih gejala dibawah ini: Batuk-batuk bertambah Perubahan karakteristik dahak/purulen Suhu tubuh 380C (aksila)/ ada riwayat demam Pemeriksaan fisik ditemukan tanda-tanda konsolidasi, suara napas bronkial, dan ronki Leukosit 10.000/mm3 atau < 4500/mm3
Penilaian derajat keparahan pneumonia komuniti dapat dilakukan dengan menggunakan sistem skor menurut hasil penelitian Pneumonia Patient Outcome Research Team (PORT) seperti tabel berikut.
Menurut American Thoracic Society (ATS), kriteria pneumonia berat bila dijumpai salah satu atau lebih kriteria di bawah ini. Kriteria minor, antara lain: Frekuensi napas lebih dari 30 kali/menit PaO2/FiO2 kurang dari 250 mmHg Foto thoraks paru menunjukkan kelainan bilateral Foto thoraks paru melibatkan lebih dari 2 lobus Tekanan sistolik kurang dari 90 mmHg
Kriteria mayor adalah sebagai berikut: Membutuhkan ventilasi mekanik Infiltrat bertambah lebih dari 50% Membutuhkan vasopressor lebih dari 4 jam Kadar kreatinin serum 2mg/dl atau peninhkatan 2mg/dl pada penderita riwayat penyakit ginjal atau gagal ginjal yang membutuhkan dialisis. Penatalaksanaan : Petunjuk terapi empiris menurut PDPI : Rawat jalan : Tanpa faktor modifikasi : golongan beta laktam atau beta laktam + anti beta laktamase Dengan faktor modifikasi : golongan beta laktam + anti beta laktamase atau fluorokuinolon respirasi (misalnya :levofloksasin) Bila dicurigai pneumonia atipik : golongan makrolid baru misalnya klaritromisin
Rawat inap : Tanpa faktor modifikasi : golongan beta laktam + anti beta laktamase iv, atau sefalosporin G2, G3, iv atau fluorokuinolon respirasi Dengan faktor modifikasi : sefalosporin G2, G3, iv atau fluorokuinolon respirasi Bila dicurigai disertai infeksi bakteri atipik, terapi ditambah makrolid baru
Tidak ada faktor risiko infeksi pseudomonas : sefalosporin G3 iv non pseudomonas + makrolida baru atau fluorokuinolon respirasi iv
Ada faktor risiko infeksi pseudomonas : sefalosporin anti pseudomonas iv atau karbapenem iv + fluorokuinolon anti pseudomonas iv (siprofloksasin) atau aminoglikosida iv
Bila dicurigai disertai infeksi bakteri atipik: sefalosporin anti pseudomonas iv atau karbapenem iv + aminoglikosida iv + makrolid baru atau fluorokuinolon respirasi.
Bila dengan pengobatan secara empirirs tidak terdapat perbaikan, maka pengobatan disesuaikan dengan bakteri penyebab dan uji sensitivitas.
DAFTAR PUSTAKA