berbagai kepentingan.1 Tes biokimia hati yang lazim diskrining adalah SGOT, SGPT, alkali fosfatase dan Gamma GT. Walaupun enzim-enzim tersebut bisa didapatkan di jaringan lain selain hati, namun paling sering meningkat pada penderita penyakit hati dan menandakan suatu injury pada hati.2 Peningkatan hasil tes biokimia hati didapatkan pada 1-4% orang tanpa gejala. Pola abnormalitas mengarahkan pada kemungkinan-kemungkinan diagnostik dan pemeriksaanpemeriksaan lebih lanjut yang harus dilakukan.1
Epidemiologi Survei berbasis penduduk yang dilakukan antara 1999-2002 memperkirakan bahwa SGPT abnormal terdapat pada 8,9% responden (dengan peningkatan yang signifikan dibandingkan hasil survei serupa yang diadakan pada dekade sebelumnya)3. Kecenderungan ini berkorelasi dengan peningkatan indeks massa tubuh dan lingkar lengan atas yang juga meningkat signifikan.4,5Studi berbasis penduduk di AS mengevaluasi akibat peningkatan Gamma GT dan alkali fosfatase pada mortalitas. Peningkatan alkali fosfatase dihubungkan dengan peningkatan mortalitas yang moderat akibat semua penyebab (Hazard ratio 1,5;95% CI, 1,2 -1,8), penyakit hati, kanker dan diabetes, sementara peningkatan SGPT dihubungkan dengan peningkatan mortalitas yang berhubungan dengan hati (HR 8,2;95% CI, 2,1-31,9). Observasi ini seharusnya tidak mengubah pendekatan penderita dengan tes biokimia abnormal.6 Hasil pemeriksaan aminotransferase dapat mengalami fluktuasi pada individu yang sama. Suatu studi dengan sampel besar dengan metode cross sectional berbasis populasi, didapatkan hasil bahwa lebih dari 30 % subyek dengan nilai SGPT abnormal, saat diulang pemeriksaannya didapatkan hasil yang normal. Sedangkan subyek yang pemeriksaan awal menunjukkan hasil normal, lebih dari 95% tetap normal pada pemeriksaan kedua.7. Sensitivitas dan spesifisitas dari nilai aminotransferase untuk menentukan apakah pada individu terdapat kemungkinan penyakit hati tergantung pada nilai cut off yang dipilih untuk mendefinisikan hasil pemeriksaan yang abnormal. Nilai cut off ini sebaiknya disesuaikan dengan jenis kelamin dan indeks massa tubuh.4,5
Fungsi Hati Hati memiliki berbagai fungsi, meliputi metabolisme hampir semua zat makanan, yaitu karbohidrat, protein, lipid, vitamin, mineral dan hormon. Karena itu banyak jenis pemeriksaan yang berkaitan dengan metabolisme hati dan disebut sebagai tes fungsi hati. Namun ada juga pemeriksaan yang tidak terkait dengan fungsi hati namun sering disebut sebagai tes fungsi hati, yang lebih tepat menunjukkan proses inflamasi atau kerusakan sel hati.8,9 Fungsi hati dapat dibedakan dalam fungsi sintesis (glikogenesis, albumin, alfa dan beta globulin, faktor-faktor koagulasi, fosfolipid, kolesterol, trigliserida, apolipoprotein, lipoprotein, LCAT, asam empedu), fungsi ekskresi (kolesterol, asam empedu, garam empedu, bilirubin, obat-obatan), fungsi detoksifikasi (amoniak, bilirubin), fungsi penyimpanan (vitamin A, D, B12, Fe dan Cu), filtrasi fagositosis (zat toksik dan bakteri oleh sel Kupffer) dan katabolisme (hormon estrogen, obat-obatan)8,10 Berdasarkan fungsi hati maka dikenal tes fungsi hati untuk masing-masing fungsi tersebut. Untuk tes fungsi sintesis dikenal kadar albumin serum, elektroforesis protein serum, aktivitas enzim kolinesterase dan uji masa protrombin dengan respon terhadap vitamin K. Bila ada gangguan fungsi sintesis sel hati, maka kadar albumin akan menurun, dan lebih jelas bila lesi luas dan kronis. Pada elektroforesis dapat dilihat fraksi albumin menurun sehingga rasio A/G menjadi terbalik (dari albumin yang lebih banyak menjadi globulin yang lebih banyak, juga dapat dilihat apakah terdapat pola hiperglobulinemia poliklonal, aktivitas enzim kolinesterase menurun, faktor-faktor koagulasi menurun terutama yang melalui jalur ekstrinsik sehingga masa protrombin akan memanjang, yang tidak dapat menjadi normal walaupun diberikan vitamin K dengan suntikan.11,12 Untuk uji fungsi ekskresi dikenal kadar bilirubin serum, dibedakan bilirubin total, bilirubin direk dan bilirubin indirek, bilirubin urine serta produk turunannya seperti urobilinogen dan urobilin dalam urine, sterkobilinogen dan sterkobilin dalam tinja, serta kadar asam empedu serum. Bila ada gangguan fungsi ekskresi maka kadar bilirubin total serum meningkat terutama bilirubin direk, bilirubin urine mungkin positif, sedangkan urobilinogen dan urobilin serta sterkobilinogen dan sterkobilin mungkin menurun sampai tidak terdeteksi. Kadar asam empedu meningkat, lebih jelas pada pasca makan (postprandial)12,13 Untuk fungsi detoksifikasi ada kadar amoniak. Bila ada gangguan fungsi maka kadar amoniak meningkat karena kegagalan mengubahnya menjadi ureum, kadar yang tinggi mungkin menyebabkan gangguan kesadaran, yaitu ensefalopati atau koma hepatik12
Terdapat pula pengukuran aktivitas beberapa enzim. Enzim-enzim ini tidak menggambarkan fungsi hati namun aktivitasnya dalam darah dapat menunjukkan adanya kelainan hati tertentu. Meskipun bukan uji fungsi hati yang sebenarnya, pengukuran aktivitas enzim-enzim tersebut diakui sebagai tes fungsi hati. Aktivitas enzim tersebut yaitu SGOT dan SGPT, yang meningkat bila ada perubahan permeabilitas atau kerusakan dinding sel hati, sebagai penanda gangguan integritas sel hati (hepatoseluler). Aktivitas enzim alkali fosfatase dan gamma GT meningkat pada kolestasis12,14 Beberapa antibodi dan protein dapat menjadi penanda faktor etiologi penyakit hati tertentu. Contohnya autoantibodi untuk penyakit autoimun, misalnya tes ANA terutama pada hepatitis autoimun kronis, anti smooth muscle antibody (SMA) pada penyakit autoimun kronis, sirosis bilier primer dan antimitochondrial antibody (AMA) pada sirosis hati, hepatitis autoimun kronis dan sirosis biliaris primer12,14
Enzim-enzim Hati Abnormalitas pada hasil tes biokimia hati sering tidak spesifik, enzim yang terukur dapat berasal dari jaringan di luar hati seperti isoenzim (contoh alkali fosfatase dari tulang, ginjal, usus halus, plasenta) atau enzim yang sama dari sumber lain (contohnya SGPT dari otot). 1 Lokalisasi dalam sel hati yang menunjukkan marker yang termasuk dalam rangkaian tes biokimia hati ditunjukkan pada gambar berikut1
Gambar 1 menunjukkan asal hepatoseluler dari transaminase, kontras terhadap lokasi alkali fosfatase dan 5-nukleotidase yang predominan pada membran kanalikuli. Albumin dan faktor koagulasi yang mempengaruhi prothrombin time, adalah produk sintesis hati yang utama dan bilirubin adalah produk ekskresi yang penting. Abnormalitas hasil tes biokimia hati dapat dikategorikan menjadi 1. Gangguan hepatoseluler dan bilier 2. Gangguan transpor anion organik dan bilirubin
Transaminase Transaminase merupakan protein yang terdiri dari amino serta NH2. Transaminase memindahkan grup amino ke senyawa lain dan hal ini penting dalam metabolisme protein pada sel. 2 Peningkatan kadar SGOT dan SGPT dalam darah menunjukkan adanya nekrosis dan cedera pada sel hati. SGPT adalah enzim cytosolic yang ditemukan dalam konsentrasi tinggi di hati, SGOT terutama terdapat pada mitokondria (80%) sebagai cytosol dari sel hati (20%), serta pada otot jantung, otot skelet, ginjal, otak, pankreas, paru-paru, leukosit dan eritrosit. Peningkatan kadar absolut transaminase di darah tidak hanya berkorelasi dengan luasnya gangguan sel hati serta tidak pula spesifik karena penyebab dari penyakit hati. Peningkatan enzim yang sangat tinggi (lebih dari 15 kali dari upper normal limit) khas pada hepatitis virus akut, toksin atau drug-induced liver damage, hepatitis iskemi (shock liver), ligasi arteri hepatika dan fulminant Wilsons disease. Peningkatan moderat (5-15 kali) terdapat pada beberapa bentuk penyakit hati akut dan kronik termasuk hepatitis virus dan autoimun, hepatitis alkoholik dan gangguan hati yang disebabkan oleh penyakit metabolik seperti hemokromatosis atau Wilsons disease. Peningkatan ringan (<5 kali) terdapat pada penderita dengan non alcoholic fatty liver disease (NAFLD) dan non alcoholic steato hepatitis, hepatitis B atau C kronik, celiac sprue dan penyakit-penyakit lain seperti pada tabel 1.1
Table 1. Causes of Mild Increases in ALT or AST Levels Hepatic: predominantly ALT Chronic hepatitis C Chronic hepatitis B Acute viral hepatitis (AE, EpsteinBarr virus, cytomegalovirus) Steatosis/steatohepatitis Hemochromatosis Medications/toxins Autoimmune hepatitis _-antitrypsin deficiency Wilsons disease Celiac sprue Hepatic: predominantly AST
Alcohol-related liver injury Steatosis/steatohepatitis Cirrhosis Nonhepatic Hemolysis Myopathy Thyroid disease Strenuous exercise Macro-AST
Modified and reprinted with permission from the American Gastroenterological Association.
Rasio SGOT SGPT dalam darah dapat menjadi petunjuk yang penting sebagai penyebab gangguan hati. Rasio SGOT : SGPT lebih dari 2 tipikal pada penderita dengan alcoholic liver disease, dengan nilai SGPT yang sering normal atau hanya meningkat sedikit.. Pola ini akibat 2 mekanisme, yaitu 1. Terdapatnya defisiensi pyridoxal 5- phosphate pada penderita dengan ketergantungan alkohol, dimana kofaktor untuk SGOT dan SGPT dan defisiensi pyridoxal 5phosphate menurunkan aktivitas SGPT lebih luas daripada aktivitas SGOT. 2. Alcohol induced liver injury meningkatkan pelepasan SGOT mitokondria, sehingga meningkatkan rasio SGOT : SGPT. Sebaliknya pada penderita hepatitis virus kronis atau NAFLD, SGOT lebih rendah daripada SGPT. Dengan bertambahnya fibrosis, SGOT pada penderita meningkat relatif terhadap SGPT dan akan menjadi lebih tinggi dari SGPT saat sirosis telah terjadi. Fenomena ini akibat peningkatan kerusakan mitokondria pada penyakit hati kronis lanjut dan penurunan klirens hepatik dari SGOT. Pada kerusakan otot yang akut seperti pada rhabdomyolisis, rasio SGOT : SGPT lebih dari 3, namun rasio mendekati 1 setelah beberapa hari karena SGOT lebih cepat menurun. Penderita dengan penyakit otot kronik seperti polimiositis kadar SGOT dan SGPT hampir sama.1
Alkali Fosfatase Alkali fosfatase ditemukan pada hati, osteoblas, enterosit intestinal, placental syncytiotrophoblast, sel epitel ginjal, dan leukosit serta dapat dideteksi di darah, urine, bilirubin dan limfa. Pada hati 2 bentuk enzim dapat dideteksi, namun peran masingmasing enzim tersebut belum diketahui. Peningkatan alkali fosfatase di darah setelah
obstruksi atau gangguan di sistem bilier menyebabkan pelepasan enzim-enzim yang tadinya disimpan atau gangguan klirens. Sehingga peningkatan kadar alkali fosfatase di darah mungkin tidak segera dapat dideteksi setelah cedera pada sistem bilier dan dapat didahului oleh peningkatan kadar transaminase di darah.1 Terjadinya peningkatan alkali fosfatase di darah paling sering berasal dari hati, namun dapat juga disebabkan oleh penyakit di tulang atau berasal dari plasenta pada wanita hamil. Dahulu, enzim isoform dari tulang dan hati dibedakan dengan perbedaan stabilitas terhadap panas. Walaupun alkali fosfatase di tulang tidak dapat diinaktivasi lengkap oleh panas, 30-50% aktivitas alkali fosfatase hati kembali setelah pemanasan. Metode untuk membedakan alkali fosfatase hati dan tulang telah digantikan oleh marker yang lebih spesifik untuk kolestatik seperti 5-nucleotidase atau kadar Gamma glutamil transpeptidase yang signifikan menunjukkan alkali fosfatase berasal dari hati.1 Alkali fosfatase darah yang berasal dari hati paling tinggi didapatkan pada penderita dengan penyakit hati kolestatik yang akut atau kronik, termasuk primary billiary cirrhosis atau primary sclerosing cholangitis, cholestatic drug reaction, dan dihubungkan dengan peningkatan kadar bilirubin darah. Kolestasis intrahepatik dan ekstrahepatik tidak dapat dibedakan hanya berdasarkan kadar alkali fosfatase di darah. Peningkatan kadar alkali fosfatase saja di darah dapat ditemukan pada penderita karsinoma hepatoseluler, limfoma dan penyakit metastasis di hati atau tulang. Sebagai tambahan terhadap tumor ganas, penyakit infiltratif lainnya seperti sarkoidosis, tuberkulosis, infeksi jamur, abses hati dan amiloidosis dapat menyebabkan peningkatan alkali fosfatase saja. Kadar alkali fosfatase rendah pada penyakit Wilsons akibat copper menggantikanzinc sebagai kofaktor enzim1
Strategi Pengelolaan Pada penderita asimptomatik dengan peningkatan kadar tes biokimia hati, anamnesia dan pemeriksaan fisik yang baik dapat menjadi petunjuk diagnosis dan hasil-hasil tes biokimia dan serologi memungkinkan diagnosis spesifik pada banyak kasus.1
Evaluasi Peningkatan Kadar Transaminase Peningkatan nilai laboratorium seharusnya dikonfirmasi paling tidak satu kali untuk menyingkirkan kesalahan laboratorium dan menghindari pemeriksaan-
pemeriksaan tambahan yang tidak perlu dan memerlukan biaya tinggi. Pemeriksaan ulang seharusnya dilengkapi dengan tes-tes biokimia hati yang lengkap termasuk alkali fosfatase, bilirubin total dan direk, albumin, PT dan pemeriksaan darah lengkap. Pemeriksaan diagnostik lini pertama termasuk pemeriksaan serologi untuk hepatitis A,B,C serta pemeriksaan kadar besi termasuk kadar TIBC dan feritin plasma untuk menyingkirkan hemokromatosis karena penyakit ini merupakan penyebab umum dari peningkatan kadar transaminase. Sedangkan obesitas, hipertrigliseridemia dan intoleransi glukosa merupakan faktor risiko yang harus didentifikasi.1
Evaluasi Peningkatan Alkali Fosfatase Alkali fosfatase yang meningkat harus dikonfirmasi apabila transaminase dan kadar bilirubin normal, karena alkali fosfatase tidak spesifik dari hati. Walaupun 5nukleotidase terdapat pada banyak organ, peningkatan kadar 5-nukleotidase secara umum berasal dari hepatobilier karena hanya enzim hati yang dilepaskan ke darah. Kadar 5-nukleotidase dapat diukur untuk mengkonfirmasi apakah peningkatan alkali fosfatase yang terisolasi berasal dari hati atau bukan.1 Walaupun peningkatan kadar 5-nukleotidase spesifik untuk menegakkan diagnosis peningkatan alkali fosfatase dari kelainan hepatik, dari sebelumnya sudah digunakan kadar Gamma glutamil transpeptidase untuk keperluan ini. Kadar Gamma glutamil transpeptidase meningkat pada banyak bentuk penyakit hepatobilier dan pada pemakaian alkohol kronis, penyakit pankreas, penyakit jantung, gagal ginjal, diabetes, PPOK dan penyakit inflamasi kronis lainnya. Pada penyakit hati, peningkatan kadar Gamma glutamil transpeptidase di darah adalah penanda sensitif penyakit hepatobilier dan memiliki korelasi dengan kadar alkali fosfatase dalam darah. Peningkatan kadar Gamma glutamil transpeptidase tidak spesifik untuk penyakit hati dan tidak dianjurkan untuk skrining diagnosis penyakit hati. Namun karena tidak dihasilkan di tulang, peningkatan Gamma glutamil transpeptidase bersama dengan alkali fosfatase menyingkirkan sumber alkali fosfatase dari tulang. Enzim ini dapat diinduksi oleh alkohol, fenitoin, dan rifampisin dan telah digunakan sebagai penanda penggunaan alkohol.1 Jika peningkatan alkali fosfatase sudah dikonfirmasi berasal dari kelainan di hepatobilier, pemeriksaan berikutnya adalah USG right upper quadrant untuk mencari dilatasi duktus biliaris dan pemeriksaan antibodi antimitokondrial untuk mencari kemungkinan primary billiary cirrhosis. Jika diagnosis belum dapat
ditegakkan, magnetic resonance cholangiopancreatography dapat dilakukan untuk mendeteksi kelainan bilier yang tidak dapat dideteksi dengan USG, terutama primary sclerosing cholangitis. Jika penyebab peningkatan alkali fosfatase masih belum bisa ditegakkan, pemeriksaan imaging tambahan seperti endoscopic retrogradecholangiopancreatography dan pemeriksaan biopsi hati dapat dilakukan.1
Pencitraan Hati Pencitraan hati (hepatic imaging) merupakan pemeriksaan yang melengkapi anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium dan histopatologi. Dengan pencitraan dapat dilihat lesi fokal di hati, penyakit hati yang luas, dan penyakit bilier. Metode pencitraan yang berbeda-beda digunakan sesuai presentasi klinik. Pencitraan diindikasikan untuk mengevaluasi penderita dengan tes biokimia hati yang abnormal dan penderita dengan kecurigaan massa di hati. Sebagai tambahan, pencitraan dapat mengkonfirmasi sirosis lanjut dan hipertensi portal. Sirosis sugestif bila ada nodul di hati, fibrosis hati, hipertrofi lobus kaudatus dan atrofi lobus kanan, disertai splenomegali, asites, dan adanya pembuluh darah kolateral portosistemik.1
Ultrasonografi USG noninvasif, mudah didapat, dan relatif murah, serta paling banyak digunakan sebagai pencitraan awal untuk penyakit hati. USG diindikasikan pada penderita dengan peningkatan alkali fosfatase atau ikterik untuk mencari lesi fokal di hati dan kelainan bilier seperti obstruksi duktus biliaris, batu empedu dan inflamasi pada batu empedu. Sensitivitas USG untuk evaluasi obstruksi bilier adalah 85% dan spesifisitas 90%, sedikit lebih rendah dari CT scan abdomen (sensitivitas dan spesifisitas 90%). Sementara gold standar pemeriksaan bilier yaitu endoscopic
retrograde cholangiopancreatography, memiliki sensitivitas 95 % dan spesifisitas 99%. Sedangkan batu di kandung empedu diidentifikasi lebih akurat oleh USG
dibandingkan CT scan. USG juga dapat mendeteksi penyakit parenkim hati, lesi massa hepatik, dan dengan USG Doppler dapat dideteksi gangguan vaskular pada hati. USG lebih superior dibanding teknik pencitraan lain dalam mendeteksi kista hati. Steatosis hati sedang sampai berat dapat dideteksi pada USG sebagai peningkatan echogenitas, ditandai dengan bright liver dan hepatomegali. Tidak ada satu metode pencitraan yang dapat membedakan steatosis dari steatohepatitis.1
CT Scan CT scan dengan kontras intravena dilakukan untuk lesi massa hati dan kelainan vaskular pada hati. Teknik helical CT dan multidetector CT unggul dalam tingginya kecepatan dan resolusi pencitraan. Helical CT memungkinkan pencitraan fase multipel setelah pemberian kontras intravena, sebagai contoh fase arterial setelah 10-30 detik dan fase vena porta antara 50-70 detik, yang meningkatkan sensitivitas untuk deteksi tumor hepar dan membedakannya dari metastasis ke hati. Karakteristik lesi hati pada CT scan pada penderita sirosis hepatis dapat sulit dibedakan karena tampilan karsinoma hepatoseluler dapat heterogen. CT scan non kontras dilakukan untuk mengevaluasi penyakit hati yang luas, dimana densitas hati pada scan hati dibandingkan dengan lien. Pada hemokromatosis didapatkan peningkatan densitas hati pada CT non kontras karena tingginya konsentrasi Fe pada sel hati. Namun untuk hemokromatosis CT scan tidak sensitif dan tidak spesifik, karena peningkatan densitas hati dapat terjadi karena keadaan lain seperti peningkatan logam di hati (Wilsons disease), penyakit timbun (glycogen storage disease type 1), obat-obatan (amiodaron, garam emas), dan toksin (arsenik). 1
Magnetic Resonance Imaging (MRI) MRI berguna untuk mendeteksi penyakit parenkim hati fokal, penyakit pada sistem bilier dan kelainan vaskular. Perkembangan MRI memungkinkan identifikasi lesi pada hati sampai pada diagnosis definitif yang pada beberapa kasus dapat menggantikan analisis histopatologi. Magnetic Resonance Cholangiopancreatography menggunakan metode pencitraan untuk memvisualisasikan sistem bilier dan duktus pankreas dan merupakan alternatif non invasif untuk endoscopic retragrade pancreatography.1
Nilai Transaminase Normal Pemeriksaan transaminase telah dilakukan dalam praktik klinik lebih dari 50 tahun, dan nilai normalnya tidak berubah. Penelitian yang dilakukan di Italia, Swedia dan Prancis menunjukkan peningkatan kadar SGPT tidak hanya menunjukkan kerusakan hepatoseluler namun juga berkorelasi independen dengan jenis kelamin, indeks massa tubuh, serta metabolisme karbohidrat dan lemak yang abnormal. Walaupun nilai normal tertinggi SGPT adalah kurang dari 40 U/L pada semua penderita, penelitian ini menunjukkan bahwa nilai normal pada penderita dengan
indeks massa tubuh yang normal dan dengan kadar kolesterol, trigliserida, serta glukosa yang normal seharusnya dibawah 30 U/L pada laki-laki dan di bawah 19 U/L pada wanita. Konsumsi kafein dapat menurunkan kadar SGPT. Penelitian di Korea menunjukkan korelasi antara nilai transaminase normal tinggi di darah dan risiko kematian akibat penyakit hati. Korelasi antara serum transaminase dengan penyakit hati mungkin linier daripada definisi ambang batas. Nilai normal transaminase darah disesuaikan dengan jenis kelamin dan indeks massa tubuh, dapat diaplikasikan lebih luas nantinya. Juga pertanyaan pada kenaikan transaminase berapa investigasi yang lengkap sudah harus dilakukan.1
Non Alcoholic Fatty Liver Disease Infiltrasi lemak ke hati dengan atau tanpa inflamasi sering menjadi penyebab peningkatan transaminase darah yang ringan sampai sedang. NAFLD berkaitan
dengan obesitas, hiperlipidemia, dan diabetes melitus, serta merupakan faktor risiko yang signifikan untuk terjadinya sirosis. Prevalensi pasti NAFLD sulit diketahui, karena penyakit ini asimptomatik pada 50-100% penderita, serta tidak ada tes serologi untuk penyakit ini. Pencitraan hati dengan USG, CT scan atau MRI dapat sugestif fatty liver namun tidak dapat membedakan fatty liver dari steatohepatitis, yang kemudian dikaitkan dengan fibrosis pada 40% kasus dan sirosis pada 10% kasus. Pemeriksaan biopsi hati dlakukan untuk konfirmasi diagnosis. Sebelum dilakukan biopsi hati, penderita diminta untuk melakukan modifikasi pola hidup seperti menurunkan berat badan, olahraga teratur, serta kontrol dislipidemia dan diabetes. Kriteria pasti untuk biopsi hati pada penderita NAFLD belum ada, sebagian ahli merekomendasikan biopsi hati pada penderita suspek NAFLD jika kadar transaminase darah telah meningkat selama 6 bulan. Diagnosis histologi diperlukan tidak hanya untuk konfirmasi diagnosis NAFLD, tapi juga menentukan prognosis berdasarkan ada atau tidaknya fibrosis.1
Biopsi Hati Walaupun teknik-teknik pencitraan hati makin berkembang diikuti adanya fibroscan yang dapat mendeteksi fibrosis hati secara non invasif, namun dalam beberapa keadaan hal-hal tersebut tidak dapat menggantikan biopsi hati dalam menentukan penyebab definitif kelainan hati dan luasnya kerusakan hati secara pasti. Biopsi hati adalah prosedur invasif, dengan risiko komplikasi yang mengancam
dengan kontroversi mengenai indikasi dan kontraindikasi spesifik dari tindakan diagnostik ini. Bila abnormalitas tes biokimia hati tidak dapat dijelaskan oleh modalitas lain, biopsi hati dapat membantu menyingkirkan penyakit hati yang seriusatau menentukan asal dan beratnya penyakit hati. Setelah disingkirkan penyebab penyakit hati melalui pemeriksaan biokimia dan serologi, biopsi hati akan mengarah pada unexpected diagnosis hanya pada 10% penderita dan terapi akan berubah hanya pada 12% penderita. Pada penderita dengan hepatitis kronis, pemeriksaan biopsi hati menunjukkan derajat inflamasi, tipe infiltrat inflamasi, luasnya fibrosis dan pada beberapa kasus adanya antigen virus, dan data ini sangat diperlukan untuk menentukan diagnosis, prognosis dan pilihan terapi. Biopsi hati juga berguna pada penderita drug induced liver injury serta dapat menentukan asal massa di hati yang tidak dapat dijelaskan secara pasti oleh pencitraan saja.1 Belum ada konsensus mengenai pada kenaikan transaminase berapa seharusnya dilakukan biopsi hati. Kepentingan biopsi hati pada penderita NAFLD masih kontroversi. Steatosis dapat dideteksi lebih sensitif dengan teknik-teknik pencitraan, namun luasnya inflamasi dan fibrosis tetap lebih baik dengan biopsi hati. Sedangkan pada penderita primary billiary cirrhosis dan primary sclerosing cholangitis, kepentingan biopsi masih dipertanyakan, dan diagnosis masih dapat ditunjang oleh pemeriksaan serologi serta cholangiography, dan sistem skoring berdasarkan penemuan laboratorik dan klinis dapat digunakan untuk menentukan prognosis tanpa pemeriksaan biopsi hati.1
DAFTAR PUSTAKA
1. Goessling W, Friedman LS. Increased liver chemistry in an asymptomatic patient. Clinical Gastroentero and Hepatology 2005;3-852-858 2. Pratt D, Kaplan M. Evaluation of abnormal liver enzyme results in asymptomatic patients. The New England Journal of Medicine. April 27, 2000. 3. Iannou,GN, Boyko, EJ, Lee SP. Prevalence and predictor of elevated serum aminotransferase activity in the United States in 1999-2002. Am J Gastroenterol 2006; 101 : 76 4. Prati D, Taioli E, Zanella A, Della Torre E, Butelli S, Del Vecchio E, et al. Update definitions of of healthy ranges for serum alanine aminotransferase levels. Ann Intern Med 2002 Jul 2;137(1): 1-10 5. Fraser A, Longnecker MP, Lawlor DA. Prevalence of elevated alanine aminotransferase among US adolescents and associated factors: NHANES 19992004. Gastroenterology. 2007 Dec; 133 (6): 1814-20. Epub 2007 Sep 2. 6. Ruhl Ce, Everhart Je. Elevated serum alanine aminotransferase and gamma glutamyltransferase and mortality in the United States population. Gastroenterology. 2009 Feb; 136(2): 477-85.e11.Epub 2008 Oct 29. 7. Lazo M, Selvin E, Clark JM. Clinical implication of short-term variability in liver function test result. Ann Intern Med.2008 Mar 4;148(5):348-52 8. Dufour DR, Lott JA, Nolte FS, Gretch DR, Koff RS, Seef LB. Laboratory medicine practice guideline. Laboratory guidelines for screening, diagnosis and monitoring hepatic injury. The National Academy of Clinical Biochemistry.2000 9. Lee WM. Drug induced hepatotoxicity. N Engl J Med 2003 ; 349:474-85 10. Pincus MR, Tierno P, Dufour DR. Evaluation of liver function. Dalam : McPherson RA,Pincus MR. Henrys clinical diagnosis and management by laboratory methods. 21th ed, Philadelphia : Saunders Elsevier, 2007 p 263-76 11. Dufour DR. Assesment of liver fibrosis, can serum become the sample of choice ? Clinical Chemistry 2005; 51/10 : 1763-4 12. Sherlock S, Dooley J. Disease of the liver and billiary system. 11th edition. WileyBlackwell, 2008
13. Dufour DR. Liver disease. Dalam : Burtis CA, Ashwood ER, Bruns DE. Tietz textbook of clinical chemistry and molecular diagnostic.4th edition. St Louis : Elsevier Saunders, 2006. 14. Fauci AS, Kasper DL, Longo DS, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL et al. Harrisons principles of internal medicine. 17th edition. New York, McGrawHill,2008.