Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PRAKTIKUM MANAJEMEN LIMBAH INDUSTRI PERIKANAN

ACARA I BIOREMEDIASI LIMBAH INDUSTRI PERIKANAN

Juju Junengsih NIM : 10/297392/PN/11910

Asisten : Tiara Pratiwi Benget R. Simanjuntak Budi Mulyara

Program Studi Teknologi Hasil Perikanan

LABORATORIUM MIKROBIOLOGI JURUSAN PERIKANAN UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2013


1

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Limbah perikanan berbentuk padatan, cairan dan gas. Limbah tersebut ada yang berbahaya dan sebagian lagi beracun. Limbah padatan memiliki ukuran bervariasi, mulai beberapa mikron hingga beberapa gram atau kilogram. Ikan rucah, yang jumlahnya banyak, merupakan limbah dengan bobot mencapai ratusan kilogram atau ton. Beberapa limbah padatan masih dapat dimanfaatkan dan sisanya tidak dapat dimanfaatkan dan berpotensi sebagai pencemar lingkungan. Kualitas limbah sangat ditentukan oleh volume, kandungan bahan pencemar dan frekuensi pembuangan limbah. Volume limbah berkaitan dengan kemampuan alam untuk mendaur ulangnya. Peningkatan volume limbah akan

meningkatkan beban siklus alami, terutama peningkatan yang berlangsung secara cepat. Bahan pencemar yang terkandung didalam limbah berpengaruh terhadap kualitas limbah. Bahan pencemar berupa bahan organik relatif tidak berbehaya dibandingkan dengan logam berat. Demikian pula bahan pencemar yang berupa senyawa beracun (Soeparman, 2000). Limbah industri perikanan berpotensi menimbulkan pencemaran karena mengandung protein dan lemak yang bersifat terlarut, tersuspensi, dan mudah terurai. Bentuk pencemaran yang timbul dan dikeluhkan masyarakat akibat limbah industri perikanan adalah pencemaran air tanah dan air permukaan, pencemaran udara berupa bau busuk dan debu/partikel, perubahan peruntukan badan air (terutama air sungai untuk kebutuhan minum, mandi, dan budidaya biota air), kematian masal biota air budidaya (ikan dan udang), konflik kepentingan, dan bentuk pencemaran lainnya (Sahubawa, 2011). Berbagai teknik penanganan dan pengolahan limbah telah dikembangkan. Masingmasing jenis limbah membutuhkan cara penanganan khusus, berbeda antara jenis limbah yang satu dengan limbah lainnya. Teknik penanganan dan pengolahan limbah dapat dibagi menjadi penanganan dan pengolahan limbah secara fisik, kimiawi, dan biologis. Salah satu penanganan dan pengolahan limbah yang dilakukan dalam praktikum yaitu dengan cara bioremediasi. Bioremediasi merupakan pengembangan dari bidang bioteknologi lingkungan dengan memanfaatkan proses biologi dalam mengendalikan pencemaran (Sugiharto, 1987).

B. Tujuan Praktikum 1. Praktikan mampu melakukan bioremediasi dengan metode fitoremediasi, aerob dan anaerob. 2. Praktikan mampu melakukan pengukuran parameter fisika, kimia, dan biologi. 3. Praktikan mampu menghitung debit limbah dan bahan pencemar limbah industri perikanan.

C. Manfaat Praktikum 1. Memberikan keterampilan dalam melakukan pengukuran parameter fisika, kimia, dan biologi. 2. Mengetahui metode yang efektif untuk mendegradasi limbah cair. 3. Mahasiswa dapat mengaplikasikan secara langsung proses penanganan atau pengolahan limbah secara bioremediasi. 4. Memberikan pengetahuan cara menghitung debit limbah dan bahan pencemar limbah industri perikanan.

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Limbah Industri Perikanan Limbah memiliki karakter khas. Berdasarkan karakter tersebut limbah dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu limbah yang masih dapat dimanfaatkan dan sudah tidak dapat dimanfaatkan. Limbah hasil perikanan dapat berbentuk padatan, cairan atau gas. Limbah berbentuk padat berupa potongan daging ikan, sisik, insang atau saluran pencernaan. Limbah ikan yang berbentuk cairan antara lain darah, lendir dan air cucian ikan. Sedangkan limbah ikan yang berbentuk gas adalah bau yang ditimbulkan karena adanya senyawa amonia, hidrogen sulfida atau keton (Jenie et al., 1993). Limbah yang kualitasnya baik masih ada yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan bagi manusia, limbah yang kualitasnya sudah menurun hanya dapat digunakan sebagai bahan pakan bagi ternak, atau limbah yang sudah membusuk tidak dapat dimanfaatkan sehingga dapat menjadi menjadi pencemar bagi lingkungan (Mahida, 1984). Berbagai produk telah dihasilkan dari limbah yang berkualitas baik, seperti surimi, fish jelly, produk fermentasi dan kerupuk. Sedangkan dari limbah yang kualitasnya telah menurun dapat dihasilkan tepung ikan, tepung tulang, dan silase. Masih banyak peluang yang dapat diperoleh dari pemanfaatan limbah tersebut. Limbah yang sudah membusuk tidak dapat dimanfaatkan dengan cara apapun. Limbah demikian harus ditangani secara baik agar tidak menyebabkan pencemaran lingkungan (Soeparman, 2000). B. Bioremidiasi dan Bioaugmentasi Bioremediasi merupakan pengembangan dari bidang bioteknologi lingkungan dengan memanfaatkan proses biologi dalam mengendalikan pencemaran. Bioremediasi bukanlah konsep baru dalam mikrobiologi terapan, karena mikroba telah banyak digunakan selama bertahun-tahun dalam mengurangi senyawa organik dan bahan beracun baik yang berasal dari limbah rumah tangga maupun dari industri. Hal yang baru adalah bahwa teknik bioremediasi terbukti sangat efektif dan murah dari sisi ekonomi untuk membersihkan tanah dan air yang terkontaminasi oleh senyawa-senyawa kimia toksik atau beracun (Sheehan, 1997).

Bioaugmentasi yaitu penambahan atau introduksi satu jenis atau lebih mikroorganisme baik yang alami maupun yang sudah mengalami perbaikan sifat. Biostimulasi yaitu suatu proses yang dilakukan melalui penambahan zat gizi tertentu yang dibutuhkan oleh mikroorganisme atau menstimulasi kondisi lingkungan sedemikian rupa (misalnya pemberian aerasi) agar mikroorganisme tumbuh dan beraktivitas lebih baik (Backer and Herson, 1994). Kemampuan produk bioaugmentasi dalam pengolahan air limbah diantaranya: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. Biodegradasi senyawa organik Mengkontrol bau dari sistem kumpulan Mengkontrol akumulasi lemak dalam sistem kumpulan Mengurangi akumulasi lemak pada permukaan clarifier Mengurangi kebutuhan aerasi Mengkontrol pertumbuhan bakteri filamentous Mengurangi produksi busa dalam tangki aerasi dan digester Meningkatkan penghilangan BOD Mencegah shock loading

10. Menurunkan produksi lumpur 11. Meningkatkan pengendapan padatan di dalam clarifier sekunder 12. Meningkatkan kinerja digester aerobik 13. Meningkatkan kinerja digester anaerobik

C. Mekanisme Reduksi Limbah 1. Reduksi limbah secara aerob Mereduksi limbah secara aerob dapat menggunakan aerasi. Proses aerasi bertujuan untuk memindahkan oksigen, baik oksigen murni maupun udara, ke dalam proses pengolahan biologis. Aerasi merupakan proses perpindahan (transfer) massa antara gas (oksigen) dan cairan. Reaksi reduksi limbah dan siklus reduksi limbah secara aerob dapat dilihat pada Gambr 1. dan Gambar 2. (Mahida, 1984) :

Gambar 1. Reaksi lengkap reduksi limbah secara aerob (Mahida, 1984)


DEAD ORGANIC MATTER Containing organisme, and nitrogenous and carbonaceous materials with other essential nutrients

cts Produ Waste eath And D

Deco m

posit

ion

De a

rR es p

irat io

th

LIVING ANIMAL MATTER Protein Fats

Oxy Carb Res p on

gen n
Carb
RESERVOIR OF OXYGEN, NITROGEN, AND CARBON DIOXIDE IN AIR AND WATER

INITIAL PRODUCTS OF DECOMPOSITION 1. Ammonia Nitrogen 2. Carbon dioxide

Ox

y ge

n fo

irati o xide

dio

on d

ioxid

e ga

Dec ay

Decomposition

Animal Life

Reduction

Oxygen for Biological Oxydation

Nitrogen Gases and Carbon dioxide

Ox

Nitrog e

LIVING PLANT MATTER Proteins Carbohydrates Fats

yn

Ph o

n Fixa

to s

y ge

tion

Ca

th e

gen tion pira e xid Res dio on b r Ca xide io nd rbo Oxy

Nitro g

as e And s CO 2
INTERMEDIATE PRODUCTS OF DECOMPOSITION 1. Nitrite Nitrogen 2. Carbon dioxide

en G

sis

Plan t

c Redu

tion

Life

FINAL PRODUCTS OF DECOMPOSITION 1. Nitrate Nitrogen 2. Carbon dioxide

sition m po Deco ation id x O

Gambar 2. Siklus reduksi limbah secara aerob (Mahida, 1984) 2. Reduksi limbah secara anaerob Menurut Haryoto (1999), proses pengolahan secara anaerobik terjadi disebabkan oleh adanya aktivitas mikroorganisme pada saat tidak ada oksigen bebas. Senyawa berbentuk anorganik atau organik pekat yang berasal dari industri umumnya sukar atau lambat sekali untuk diolah secara aerobik, maka pengolahan dilakukan secara anaerob. Adapun reaksi reduksi limbah dan siklus reduksi limbah secara anaerob dapat dilihat pada Gambar 3. dan Gambar 4. adalah:

Gambar 3. Reaksi reduksi limbah secara anaerob (Haryoto, 1999)


6

Oxidation

Ox

lo Bio

or nf tion yge xida al O gic

Gambar 4. Siklus reduksi limbah secara anaerob (Haryoto, 1999) 3. Fitoremediasi


Menurut Gossalam (1999), fitoremediasi merupakan pemanfaatan tumbuhan untuk

meminimalisasi dan mendetoksifikasi polutan, strategi remediasi ini cukup penting, karena tanaman berperan menyerap logam dan mineral yang tinggi atau sebagai fitoakumulator dan fitochelator. Konsep pemanfaatan tumbuhan untuk meremediasi tanah yang terkontaminasi polutan adalah pengembangan terbaru dalam teknik pengolahan limbah. Berdasarkan pengamatan diketahui bahwa di tanah yang ditanami tumbuhan hijau kandungan senyawa kimia organiknya lebih sedikit dibandingkan di sekitar tanah yang tidak ditanami tumbuhan hijau. Fitoremediasi dapat diaplikasikan bentuk padat, cair, dan gas.
Menurut Gossalam (1999), saat ini pengetahuan mengenai mekanisme fisiologi

ada limbah organik maupun anorganik dalam

fitoremediasi mulai digabungkan

dengan biologi dan teknik untuk mengoptimalkan

fitoremediasi sehingga terbagi menjadi : 1. Fitoekstraksi : pemanfaatan tumbuhan pengakumulasi polutan untuk memindahkan logam berat atau polutan organik dari tanah dengan cara mengakumulasikannya di bagian tumbuhan yang dapat dipanen. 2. Fitodegradasi : pemanfaatan tumbuhan dan asosiasi mikroorganisme untuk

mendegradasi polutan organik.

3.

Rhizofiltrasi : pemanfaatan akar tumbuhan untuk menyerap polutan, terutama logam berat, dari air dan aliran limbah.

4. 5.

Fitostabilisasi : pemanfaatan tumbuhan untuk mengurangi polutan dalam lingkungan. Fitovolatilisasi : pemanfaatan tumbuhan untuk menguapkan polutan. Pemanfaatan tumbuhan untuk memindahkan polutan dari udara. Tanaman meremediasi polutan organik melalui tiga cara, yaitu menyerap secara

langsung bahan kontaminan, mengakumulasi metabolisme non fitotoksik ke sel-sel tanaman, dan melepaskan eksudat dan enzim yang dapat menstimulasi aktivitas mikroba, serta menyerap mineral pada daerah rhizosfer. Tanaman juga dapat menguapkan sejumlah uap air. Tanaman melepaskan eksudatnya yang dapat membantu bioremediasi bahan organik oleh mikroba agar bahan organik tersebut dapat diserap dan dimetabolisme dalam tubuh tanaman. Penyerapan polutan berupa bahan organik dibatasi oleh mekanisme penyerapan oleh tanaman dan jenis tanaman (Steven dan Marc, 1996).

D. Parameter Menurut Kordi (2005) dalam pengolahan air limbah industri dikenal 3 parameter utama yaitu parameter kimia, fisika, dan biologi. Parameter kimia terdiri atas oksigen terlarut atau Dissolved Oxygen (DO) Kebutuhan Oksigen Biologis atau Biologycal Oxygen Demand (BOD) dan Kebutuhan Oksigen Kimia atau Chemical Oxygen Demand (COD) serta pH. Parameter fisika yang diamati terdiri dari TSS, kekeruhan, bau, warna. Parameter biologi yang biasa diamati adalah jenis dan deskripsi mikrobia secara morfologis. Pada praktikum ini parameter yang diuji untuk kimia adalah DO, BOD, dan pH. Parameter fisik yang diamati yaitu TSS, kekeruhan dan bau. 1. DO Oksigen terlarut ( DO ) adalah jumlah oksigen terlarut dalam air yang berasal dari fotosintesis dan absorbsi atmosfer/udara. Oksigen terlarut di suatu perairan sangat berperan dalam proses penyerapan makanan oleh mahkluk hidup yang berada dalam air. Untuk mengetahui kualitas air dalam suatu perairan, dapat dilakukan dengan mengamati beberapa parameter kimia seperti aksigen terlarut (DO). Semakin banyak jumlah DO (dissolved oxygen ) maka kualitas air semakin baik. Jika kadar oksigen terlarut yang terlalu rendah akan menimbulkan bau yang tidak sedap akibat degradasi anaerobik yang mungkin saja terjadi. Menurut Fujaya (2000), tingkat kelarutan oksigen dalam perairan kadarnya bertolak
8

belakang dengan beberapa parameter kualitas air lainnya. Kadar oksigen akan meningkat pada suhu yang rendah dan akan berkurang seiring dengan naiknya suhu. Kelarutan oksigen juga akan menurun bila terjadi kenaikan salinitas, pH, dan kadar CO2 (Effendi, 2003). 2. BOD BOD (Biochemichal Oxygen Demand) adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk menguraikan zat zat organik dalam air. Kebutuhan oksigen biokimia adalah ukuran kandungan bahan organik dalam limbah cair. Kebutuhan oksigen biokimia ditentukan dengan mengukur jumlah oksigen yang diserap oleh sampel limbah cair akibat adanya mikroorganisme selama periode waktu tertentu, biasanya 5 hari, pada satu temperatur tertentu, umumnya 20 C (Kordi, 2005). 3. pH Derajat keasaman (pH) adalah suatu ukuran dari konsentrasi ion hidrogen dan menunjukkan suasana air tersebut bereaksi asam atau basa. Ion hidrogen ini selalu dalam keadaan seimbang yang dinamis dengan air yang membentuk suasana untuk semua reaksi kimia. Secara alamiah pH perairan dipengaruhi oleh konsentrasi karbondioksida dan senyawa bersifat asam. Fitoplankton dan tumbuhan air akan mengambil karbondioksida dalam air selama proses fotosintesis sehingga pH akan naik pada siang hari dan menurun pada malam hari. Pengukuran pH dilakukan menggunakan pH meter dengan cara memasukan bagian ujung pH meter yang sudah dikalibrasi ke dalam sampel air maka di screen pH meter akan menunjukan nilai pH dari sampel air yang diuji. Jika pH dalam perairan < 4,5 maka air bersifat racun bagi ikan, sedangkan pH > 9,0 pertumbuhan ikan sangat terhambat. Maka dari itu pH yang diperlukan agar ikan mengalami pertumbuhan yang optimal yaitu 6,5 9,0 (Kordi, 2005). 4. TSS TSS (Total Suspended Solid) atau total padatan tersuspensi adalah padatan yang tersuspensi di dalam air berupa bahan-bahan organik dan anorganic yang dapat disaring dengan kertas millipore berpori 0,45 m. Materi yang tersuspensi mempunyai dampak buruk terhadap kualitas air karena mengurangi penetrasi matahari ke dalam badan air, kekeruhan air meningkat yang menyebabkan gangguan pertumbuhan bagi organisme produser. Padatan tersuspensi terdiri atas lumpur, pasir halus, dan jasad-jasad renik, terutama disebabkan oleh kikisan atau erosi tanah yang terbawa ke dalam perairan (Effendi, 2003).
9

5. Kekeruhan Kekeruhan merupakan kandungan bahan organik maupun anorganik yang terdapat di perairan sehingga mempengaruhi proses kehidupan organisme yang ada di perairan tersebut. Apabila di dalam air terjadi kekeruhan yang tinggi maka kandungan oksigen akan menurun, hal ini disebabkan intensitas cahaya matahari yang masuk kedalam perairan sangat terbatas sehingga tumbuhan/fitoplankton tidak dapat melakukan proses fotosintesis untuk mengasilkan oksigen. Kekeruhan didalam air disebabkan oleh adanya zat tersuspensi, seperti lempung, lumpur, zat organik, plankton, dan zat-zat halus lainnya (Effendi, 2003). 6. Bau Senyawa utama yang menimbulkan bau adalah hidrogen sulfida, senyawa

senyawa lain seperti indol, skatol, cadaverin dan mercaptan yang terbentuk pada kondisi anaerobik dan menyebabkan bau yang sangat menusuk hidung dari pada bau hidrogen sulfida ( Mellor, 1996).

10

E. Baku Mutu Limbah Industri Perikanan Limbah industri perikanan yang dibuang ke lingkungan harus memenuhi standar baku mutu limbah industri perikanan. Tujuannya agar tidak menyebabkan pencemaran lingkungan. Standar baku mutu limbah industri perikanan berdasarkan Peraturan Menteri No.6 Tahun 2007 dapat dilihat pada Tabel. 1 dan Tabel. 2: a. Baku mutu air limbah bagi usaha dan/atau kegiatan pengolahan hasil perikanan yang melakukan lebih dari satu jenis kegiatan dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Baku Mutu Air Limbah Industri Perikanan Parameter pH TSS Sulfida Amonia Klor Bebas BOD COD Minyak-Lemak Satuan mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L mg/L Kadar 6-9 100 1 5 1 100 200 15

Sumber : Kementrian Negara Lingkungan Hidup (2007)

11

b. Baku mutu limbah bagi usaha dan/atau kegiatan pengolahan hasil perikanan yang melakukan satu jenis kegiatan pengolahan dapat pada Tabel 2. Tabel 2. Baku Mutu Limbah Industri Perikanan
Pembekuan Ikan Beban Pencemaran (kg/ton bahan baku) Parameter Kadar (mg/l) Ikan (1) pH TSS Sulfida 100 1 3 1,5 100 (2) (3) Udang (4) Lainlain (5) (6) Kadar (mg/l) Ikan (7) 6-9 1,5 0,01 5 0,07 5 0,01 5 1,12 5 2,25 0,22 5 3 0,03 2 0,02 100 1 1,2 0,012 Udang (8) Lain -lain (9) (10) (11) Pengalengan Ikan Beban Pencemaran (kg/ton bahan baku) Kadar (mg/l) Tepung Ikan Beban Pencemaran (kg/ton produk)

Amoniak

10

0,1

0,3

0,15

0,15

0,1

0,06

Klor Bebas BOD5

0,01

0,03

0,015

0,03

0,02

100 200 15

1 2 0,15

3 6 0,45

1,5 3 0,225

75 150 15

2,25 4,5 0,45

1,5 3,0 0,3

100 300 15

1,2 3,6 0,18

COD Minyaklemak Debit Air Limbah (m3/ton)

10

30

15

15

30

20

12

Sumber : Kementrian Negara Lingkungan Hidup (2007)


12

III.

HIPOTESIS

Hipotesis yang dapat diambil dari praktikum ini adalah metode bioremediasi secara fitoremediasi, remediasi aerob, dan remediasi anaerob dapat menurunkan beban pencemaran limbah cair industri pengolahan.

13

IV.

METODOLOGI PENELITIAN

Praktikum ini menggunakan bakteri proteolitik, tanaman air dan aerasi untuk bioremediasi limbah cair dari pengolahan udang di P.T. ICS Banyuwangi. Pelaksanaan praktikum ini dilakukan di laboratorium mikrobiologi perikanan lantai 2 gedung A4 Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian dan laboratorium bawah (dekat kolam jurusan perikanan).

A. Alat Alat yang digunakan terdiri atas alat isolasi dan identifikasi mikrobia, alat pengukur parameter fisika dan kimia, dan alat perlakuan bioremediasi. Alat isolasi terdiri dari pipet tetes, tabung mikrotube, drigalski, bunsen, ose bulat, tabung reaksi, hot plate stirer, erlenmeyer, dan Waterbath Sheker. Alat pengukuran parameter fisika dan kimia terdiri dari timbangan analitik, kertas saring, corong, botol oksigen, kertas indikator pH, pipet ukur, pipet tetes, erlenmeyer. Alat perlakuan bioremediasi terdiri dari toples kaca, aerator, plastik penutup, selang.

B. Bahan Bahan isolasi dan identifikasi bakteri terdiri dari media skim milk agar, bacto agar, akuadest, TSB, NaCl 0,85%. Bahan pengukuran parameter fisika dan kimia terdiri atas MnSO4, reagen oksigen, H2SO4 pekat, indikator amilum, 1/80 Na2S2O3 untuk penentuan kadar DO (Disolved Oksigen). H2SO4 4N, 0,1N kalium permanganat, 0,1N amonium oksalat, MnSO4, reagen oksigen, H2SO4 pekat, 1/80 Na2S2O3 untuk pengukuran BOD (Biologycal Oxygen Demand). Bahan untuk perlakuan terdiri atas limbah cair PT. Istana Cipta Sembada (ICS), tanaman air dan bakteri proteolitik.

14

C. Tata Laksana 1. Pembuatan medium skim milk agar

Skim Milk 8 gram 1,6 gram 100 ml akuadest hangat

Bacto Agar 15 gram 3 gram 1000 ml akuadest 200 ml

Erlenmeyer

Erlenmeyer (dihomogenkan dengan panas) Dicampur

Autoklaf 15 menit; 121C Didinginkan 40-50C

Dituang dalam petridisk

Kelompok 1

Kelompok 2

Kelompok 3

15

2. Pembuatan medium TSB TSB 30 gram 15 gram 1000 ml akuadest 500 ml

Autoklaf 121C, 15 menit 1000 ml akuadest 200 ml

16

3. Isolasi bakeri proteolitik

10-1

10-2

10-3

10-4

10-5

Kelompok 1 900 NaCl 0,85% steril Skim milk agar (Enrichment) isolat yang membentuk zona bening

Limbah cair

10-1

10-2

10-3

10-4

10-5

Kelompok 2 900 NaCl 0,85% steril Skim milk agar

Limbah cair

TSB 500 ml

10-1

10-2

10-3

10-4

10-5

Kelompok 3 900 NaCl 0,85% steril Skim milk agar


17

Limbah cair

4. Bioremediasi limbah industri perikanan

Kontrol

Bioremediasi

Aerob

Anaerob

Air limbah 3l

Air limbah 3l

Air limbah 3l

Air limbah 3l

Ukur pH, DO, BOD, TSS, kekeruhan, bau

+ Tanaman air dan bakteri proteolitik

+ Aerator dan bakteri proteolitik

+ Bakteri proteolitik dan tutup rapat dengan plastik

Inkubasi 7 x 24 jam 5. Pengenceran air limbah Air pengencer 990 ml Limbah 10 ml

Aerasi

Tuang sampai luber jangan sampai ada gelembung

Tutup rapat

Inkubasi 5 hari suhu ruang untuk uji BOD5

Pengukuran BOD0

18

6. Pengukuran BOD 1 ml H2SO4 4 N

2 tetes KMnO4 0,1 N; gojok (bening) 1 tetes amonium oksalat 0,1N (bening) 1 ml MnSO4 1 ml reagen oksigen

H2SO4 pekat (gojok) 50 ml ke erlenmeyer

3 tetes amilum

Titrasi dengan 1/80 N Na2SO3 (bening)

7. Pengukuran pH

Kertas pH indikator Dicelup ke limbah Dibaca dari perubahan warna pH indikator

19

8. Pengukuran DO air dalam botol oksigen

9. Pengukuran TSS timbang kertas saring awal (a mg)

1 mLMnSO4

saring 100 mL sampel air

keringkan 24 jam 1 mL reagen oksigen timbang kertas saring akhir (b mg) diamkan 10 menit TSS= (b-a)x10x1000x1/1liter=Xmg/L 1 mL H2SO4 pekat, gojok

50 mL larutan sampel ke erlenmeyer

3-4 tetes indicator amilum

titrasi Na2S2O3 1/80 N

(bening)

DO=1000/50x V Na2S2O3x0,1 mg/L

20

V.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Data bioremediasi hasil praktikum dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Data Bioremediasi Hasil Pengamatan Bioremediasi Awal Kontrol 8 mg/l 7,1 mg/l 1 x 103 mg/l 0 mg/l 7 14200 mg/ l + ++ Fitoremediasi 8 mg/l 7,10 mg/l 0,9 x 103 mg/l 0 mg/l 8 13000 mg / l +++ +++ Aerob 8 mg/l 7,4 mg/l 0,6 x 103 mg/l 0 mg/l 8 12600 mg/ l ++++ ++++ Anaerob 8 mg/l 7 mg/l 1 x 103 mg/l 0 mg/l 7 5600 mg/ l ++ +

BODH0 8 mg/l BODH5 0 mg/l BOD5 8 x 103 mg/l DO 0 mg/l Ph 7 TSS 21600 mg/l Kekeruhan +++ Bau +++++ Keterangan : Bau : : : : : : : : : :

+ ++ +++ ++++ +++++ + ++ +++ ++++ +++++

= = = = =

Netral Agak Bau Bau Sangat Bau Sangat Bau Sekali

Kekeruhan

= Bening = Agak Bening = Keruh = Sangat Keruh = Sangat keruh Sekali

B. Pembahasan Praktikum bioremediasi limbah cair menggunakan tiga macam perlakuan yakni fitoremediasi, aerob, dan anaerob dan satu kontrol. Setiap perlakuan dilakukan pengujian parameter guna mengetahui kualitas air limbah yang akan diberikan perlakuan. Pengukuran dilakukan saat sebelum limbah mendapatkan perlakuan dan saat sesudah limbah mendapatkan perlakuan. Parameter yang diujikan dalam praktikum ini antara lain parameter fisik dan kimia. Parameter fisik yang dinilai yaitu kekeruhan, TSS dan bau. Parameter kimia yang diujikan yaitu BOD5 (Biologycal Oxygen Demand (hari kelima)), DO (Dissolved Oxygen) dan pH

21

(derajad keasaman). Berdasarkan hasil pengukuran parameter maka didapatkan hasil sebagai berikut : 1. Pengukuran DO (Dissolved Oxygen) Hasil pengamatan DO awal dan akhir pada masing masing perlakuan baik fitoremediasi, aerob, dan anaerob yaitu 0 ppm. Hal ini diasumsikan bahwa kadar oksigen terlarut dalam limbah telah habis digunakan oleh organisme untuk mengurai bahan-bahan organik. Oleh karena itu, sebelum limbah memperoleh perlakuan maka terlebih dahulu dilakukan aerasi sehingga nantinya dapat dilakukan pengukuran BOD. Fitoremediasi menggunakan tanaman air dan yang digunakan yaitu tanaman hidrilla karena dapat berfungsi untuk transfer oksigen bagi mikroorganisme dan dapat menurunkan water table sehingga difusi gas dapat terjadi dan fungsi ini biasanya dilakukan oleh tanaman apabila kontaminannya bersifat ready degraded (Syakti, 2005). 2. Pengukuran pH Data pH awal yaitu 7, pH fitoremediasi 8, pH aerob 8, pH anaerob 7, pH kontrol yaitu 7. Hasil tersebut memperlihatkan bahwa kadar pH dari seluruh perlakuan dan kontrol masih dalam ambang batas baku mutu limbah industri pengolahan yaitu antara 6 9. Hal ini mengindikasikan bahwa limbah tersebut masih dalam pH normal. Perlakuan anaerob memiliki pH 7 (netral), jika dibandingkan dengan perlakuan yang lainnya maka perlakuan ini merupakan perlakuan yang baik. Air yang memiliki pH lebih kecil dari pH normal akan bersifat asam, sedangkan air yang memilki pH lebih besar dari pH normal akan bersifat basa. Perubahan pH air tergantung pada polutan air tersebut. 3. Pengukuran BOD Berdasarkan pengukuran BOD, seluruh sampel memiliki kadar BOD awal (BODH0) 8 mg/l. Sedangkan kadar BOD pada hari ke 5 (BODH5) pada kontrol sebesar 7,1 mg/l; perlakuan fitoremediasi memiliki kadar BODH5 sebesar 7,10 mg/l; perlakuan aerob memiliki kadar BODH5 sebesar 7,4 mg/l; dan perlakuan anaerob memiliki kadar BODH5 sebesar 7 mg/l. Setelah masa inkubasi selama 5 hari maka dapat dihitung kadar oksigen yang digunkan oleh bakteri untuk mendegradasi bahan-bahan organik (BOD5). Kadar BOD5 awal yaitu 8 x 103mg/l, fitoremediasi 0,9 x 103mg/l, aerob 0,6 x 103mg/l, anaerob 1 x 103mg/l dan kontrol 1 x 103mg/l, BOD5 standar yaitu 400 ppm. BOD5 adalah ukuran kandungan oksigen terlarut yang diperlukan oleh mikroorganisme yang hidup di perairan untuk menguraikan bahan organik yang ada di dalamnya dan apabila kandungan oksigen dalam air turun, maka kemampuan mikroorganisme aerob untuk menguraikan bahan organik tersebut juga menurun.

22

BOD5 ditentukan dengan mengukur jumlah oksigen yang digunakan oleh mikroorganisme selama kurun waktu dan pada temperatur tertentu. 4. Pengukuran TSS Data TSS didapat hasil pangamatan awal sebesar 21600 mg/l, fitoremediasi 13000 mg/l, aerob 12600 mg/l, anaerob 5600 mg/l, dan kontrol 14200 mg/l. maka dapat disimpulkan seluruh perlakuan belum memenuhi standar baku mutu dengan kata lain kandungan TSS yang dimiliki melebihi dari 100 mg/l. Namun berdasarkan hasil pengukuran TSS yang diperoleh perlakuan anaerob merupakan perlakuan terbaik denan kadar TSS sebesar 5600 mg/l. Kadar TSS berkaitan dengan BOD. Hal ini dikarenakan semakin banyak bahan organik yang dapat didegradasi atau diuraikan maka akan semakin mengurangi kadar bahan terlarut dari suatu perairan atau limbah. Sehingga semkin banyak zat organik yang diuraikan akan mengurangi kadar TSS. Terdapat penurunan masing masing perlakuan tersebut dari kontrol, hal ini terjadi karena tidak ada oksigen yang mendegradasi bahan buangan, dan akhirnya mengendap. TSS merupakan padatan yang menyebabkan kekeruhan air, tidak terlarut, dan tidak dapat mengendap langsung dan dapat membuat penurunan kejernihan air dan dapat menghalangi sinar matahari yang masuk sehingga dapat berpengaruh terhadap organisme di dalamnya (Puspita, 2008). 5. Pengukuran kekeruhan Data kekeruhan awal didapat keruh (+++), fitoremediasi keruh (+++), aerob sangat keruh (++++), anaerob agak bening (++), dan kontrol bening (+). Kekeruhan dilihat berdasarkan intensitas warna yang dihasilkan dan dipengaruhi oleh TSS. Tingkat kekeruhan yang menurun diakibatkan karena pengendapan sebagian partikel yang tersuspensi dalam sampel telah berkurang (Nasution, 2004). Tingkat kekeruhan ini berhubungan dengan jumlah bahan-bahan organik yang diuraikan oleh organisme. Semakin banyak bahan organik yang diurai maka akan semakin mengurangi tingkat kekeruhan limbah. Hal ini dikarenakan bahanbahan organik biasanya merupakan penyebab utama dari kekeruha suatu limbah ataupun perairan. 6. Pengamata bau Data pengamatan bau untuk awal yaitu sangat bau sekali (+++++), fitoremediasi yaitu bau (+++), aerob sangat bau (++++), anaerob netral (+), dan agak bau (++). Bau dapat diakibatkan oleh campuran pada limbah yang telah mengalami aktivitas enzim yang diakibatkan oleh bakteri yang dapat memecah lemak dan protein, sehingga menimbulkan bau yang menyengat. Bau yang dimiliki oleh limbah ini juga dipengaruhi oleh seberapa banyak
23

bahan-bahan organik yang didegradasi oleh organisme. Hal ini dikarenakan adanya penguraian bahan-bahan organik dapat mereduksi bau suatu limbah. DO dengan nilai 0 menunjukan tidak ada bakteri aerob yang dapat hidup di dalam limbah cair karena tidak terkandung DO di dalamnya. Puspita (2008) menjelaskan, bahwa prinsip perombakan bahan dalam limbah adalah oksidasi, baik oksidasi biologis maupun oksidasi kimia. Semakin tinggi bahan organik dalam air menyebabkan kandungan oksigen terlarut semakin kecil, karena oksigen digunakan oleh mikroba untuk mengoksidasi bahan organik. Adanya bahan organik tinggi dalam air menyebabkan kebutuhan mikroba akan oksigen meningkat, yang diukur dari nilai BOD yang meningkat. Berdasarkan baku mutu limbah cair industri perikanan, pengukuran BOD limbah sebelum memperoleh perlakuan memiliki kadar yang masih melebihi ambang batas. Setelah mengalami perlakuan fitoremediasi kadar BOD turun menjadi 900 mg/l, namun kadar tersebut belum memenuhi baku mutu. Hal ini mungkin dapat disebabkan kurang optimalnya tumbuhan air dalam menyerap bahan organik dan juga kurangnya oksigen yang dapat disebabkan aeretor yang mati serta kurangnya tumbuhan air yang digunakan. Perlakuan aerob juga masih memiliki kadar BOD melebihi ambang batas yaitu 600 m/l. Hal ini mungkin disebabkan kurang maksimalnya bakteri proteolitik dalam kondisi aerob. Hal serupa juga terjadi pada perlakuan anaerob, kadar BOD pada perlakuan ini masih belum memenuhi baku mutu limbag cair industri pengolahan hasil perikanan. Saat bahan organik yang terkandung tinggi, maka bakteri semakin membutuhkan oksigen, yang diukur dari nilai BOD yang meningkat, dan setelah terjadi perombakan bahan organik maka nilai BOD menurun sampai nilai tertentu yang menandakan bahwa air sudah bersih (Melethia, 1996). Terbentuknya asam organik maka pH akan terus menurun, namun pada waktu yang bersamaan terbentuk buffer yang dapat menetralisir pH. Berdasarkan baku mutu limbah cair industri perikanan, pengukuran pH untuk seluruh perlakuan masih dalam ambang batas yakni 6 9. Hal ini mengindikasikan bahwa limbah tersebut masih dalam pH normal. Perlakuan anaerob memiliki pH 7 (netral), jika dibandingkan dengan perlakuan yang lainnya maka perlakuan ini merupakan perlakuan yang baik. Kisaran pH yan dimiliki oleh seluruh perlakuan mendekati angka yang netral. Hal ini mungkin disebabkan adanya pendegradasian materi organik yang berada didalam limbah dan juga pH dari sumber limbah sendiri yang berada pada kisaran yang sudah normal. TSS Berdasarkan pengukuran TSS, maka didapatkan seluruh perlakuan belum memenuhi standar baku mutu dengan kata lain kandungan TSS yang dimiliki melebihi dari 100 mg/l. Namun berdasarkan hasil pengukuran TSS yang diperoleh perlakuan anaerob
24

merupakan perlakuan terbaik dengan kadar TSS sebesar 5600 mg/l. Hasil pengukuran TSS ini berbanding lurus dengan kekeruhan yang dimiliki limbah setelah memperoleh berbagai macam perlakuan. Perameter kekeruhan limbah dengan berbagai macam perlakuan menunjukkan hasil yang beragam. Sebelum limbah memperoleh berbagai macam perlakuan limbah yang digunakan memiliki tingkat kekeruhan 3 yakni keruh. Setelah limbah mengalami perlakuan fitoremediasi kekeruhan memiliki tingkat yang sama. pengolahan limbah cair dalam kolam yang menggunakan tanaman air terjadi proses penyaringan dan penyerapan oleh akar dan batang tanaman air, proses pertukaran dan penyerapan ion, dan tanaman air juga berperan dalam menstabilkan pengaruh iklim, angin, cahaya matahari dan suhu. Tingkat kekeruhan perlakuan aerob memiliki sedikit peningkatan. Limbah yang telah mengalami perlakuan ini berubah menjadi keruh. Hal ini mungkin disebabkan oleh kurang maksimalnya bakteri proteolitik dalam penyerapan bahan organik dalam kondisi aerob. Hasil pengamatan bau limbah dengan berbagai perlakuan hampir serupa dengan tingkat kekeruhan. Perlakuan fitoremediasi dan aerob hanya mereduksi sedikit bau yang dimiliki oleh limbah. Sedangkan perlakuan anaerob dapat mengurangi bau busuk limbah. Hal ini disebabkan bahan organik yang berada dalam air limbah diuraikan oleh bakteri dan menghasilkan asam lemak mudah menguap, karbondioksida dan hidrogen. Perlakuan bioremediasi terbaik yaitu pada perlakuan anaerob jika dilihat dari data dan dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Hal ini dikarenakan dalam perlakuan ini dapat mereduksi tingkat kekeruhan dan bau limbah secara signifikan. Selain itu kadar BOD yang dimiliki juga cukup bagus meskipun belum memenuhi baku mutu. Hal ini juga didukung oleh gagasan Tobing dalam Husin (2008) yang menyatakan bahwa untuk limbah cair pekat dengan kandungan BOD5 > 1000 mg/l metode pengolahan yang layak adalah dekomposisi anaerob.

25

VI. A. Kesimpulan

KESIMPULAN DAN SARAN

1. Perlakuan bioremediasi terbaik yaitu pada perlakuan anerob karena dilihat dari segi tingkat kekeruhan yang paling rendah dan tingkat aroma / bau yang juga dalam tingkatan paling rendah. Selain itu kadar BOD yang dimiliki juga cukup bagus meskipun belum memenuhi baku mutu. Hal ini juga didukung oleh gagasan Tobing dalam Husin (2008) yang menyatakan bahwa untuk limbah cair pekat dengan kandungan BOD5 > 1000 mg/l metode pengolahan yang layak adalah dekomposisi anaerob. Adapun parameter yang dimiliki oleh perlakuan ini adalah BOD sebesar 1000 mg/l, pH sebesar 7, TSS sebesar 5600 mg/l, dengan kemanpakan limbah agak keruh dan bau yang netral. 2. Parameter yang diamati dari praktikum bioremediasi limbah industri perikanan terdiri atas oksigen terlarut atau Dissolved Oxygen (DO) Kebutuhan Oksigen Biologis atau Biologycal Oxygen Demand (BOD) dan pH. Parameter fisika yang diamati terdiri dari TSS, kekeruhan, bau. 3. Metode bioremediasi secara fitoremediasi, aerob, dan anaerob dapat mengurangi atau mereduksi limbah cair industri perikanan.

B. Saran Peralatan untuk praktikum seperti botol oksigen dan kempot perlu ditambah. Tujuannya untuk mengefisiensikan waktu.

26

DAFTAR PUSTAKA

Backer, C and Herson, D. 1994. Bioremediation . Mcgraw Hill. Inc.USA.

Effendi. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta.

Gossalam. 1999. Kemampuan Degradasi Hidrokarbon Minyak Bumi oleh Isolat Bakteri dari Lingkungan Hutan Magrove. Tesis. Magister ITB. Bandung

Haryoto, K. 1999. Kebijakan dan Strategi Pengolahan Limbah dalam Menghadapi Tantangan Global. Di dalam : Teknologi Pengolahan Limbah dan Pemulihan Kerusakan Lingkungan. Prosiding Seminar Nasional, Jakarta 13 Juli 1999, BPPT, Jakarta.

Husin, Amir. 2008. Pengolahan Limbah Cair Industri Tahu dengan Biofiltrasi Anaerob Dalam Reaktor Fixed-Bed (Tesis). Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara. Medan.

Jenie, Betty dan Winiaty Rahayu. 1993. Penanganan Limbah Industri Pangan. Kanisius. Yogyakarta.

Kordi, K. M. G. H. 2005. Pengelolaan Kualitas Air Dalam Budidaya Perairan. Rineka Cipta, Jakarta.

Mahida, U. N. 1984. Pencemaran Air dan Pemanfaatan Limbah Industri. Rajawali. Jakarta. Mellor, E., Landin P, ODonovan C., Connor, D. 1996. Microbiology og in situ bioremediation. Environ Scu Technol. 12: 60-64

Nasution, D.Y. 2004. Pengolahan Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit yang Berasal dari Kolam Akhir (Final Pond) dengan Proses Koagulasi Melalui Elektrolisis. Jurnal Sains Kimia Vol. 8, No.2, 2004: 38-40. Pedoman Design Teknik IPAL Agroindustri. Bogor.

27

Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No 6 tahun 2007. Baku Mutu Air Limbah Bagi Usaha dan/atau Kegiatan Pengolahan Hasil Perikanan. Menteri Negara Lingkungan Hidup. Jakarta.

Puspita, D. 2008. Penurunan Konsentrasi Total Suspended Solid (TSS) Pada Limbah Laundry dengan Menggunakan Reaktor Biosand Filter Disertai dengan Reaktor Activated Carbon. Jurusan Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan. UII. Yogyakarta. Tugas Akhir.

Sheehan, D. 1997. Bioremediation Protocol. Humana Press. Totowa. New Jersey.

Soeparman. 2001. Pengelolaan Limbah Cair. Buku Kedokteran. Jakarta.

Steven, B dan Marc, K. 1996. In situ Bioremediation Of Petroleum Aromatic Hydrocarbon. Ground Water Polution. Down loading, available at

http:www.cee.vt.edu/program_areas/enviromental/teach/gwprimer/group1/ind/ex/html. Diakses tanggal 18 April 2013 pukul 14.55 WIB.

Sugiharto. 1987. Dasar-Dasar Pengelolaan Air Limbah. UI Press. Jakarta.

28

LAMPIRAN

Hasil Panen Limbah

Kontrol

Fitoremediasi

Aerob

Anaerob

Hasil panen limbah seluruh kelompok

29

Anda mungkin juga menyukai