Anda di halaman 1dari 29

Laporan Kasus : Meningoensefalitis Tuberkulosis

BY CASUALH.R.R.

3 Votes BAB I PENDAHULUAN I. DEFINISI Meningitis adalah radang umum pada arakhnoid dan piamater yang dapat terjadi secara akut dan kronis. Sedangkan ensefalitis adalah radang jaringan otak. Meningoensefalitis tuberkulosis adalah peradangan pada meningen dan otak yang disebabkan oleh Mikobakterium tuberkulosis (TB). Penderita dengan meningoensefalitis dapat menunjukkan kombinasi gejala meningitis dan ensefalitis.1,2 II. EPIDEMIOLOGI Sebelum era antibiotik, penyakit susunan saraf pusat (SSP) karena TB sering ditemukan terutama pada anak-anak. Ditemukan 1000 anak dengan TB aktif di kota New York diantara tahun 1930 sampai tahun 1940. Hampir 15% diantaranya menderita meningitis TB dan meninggal. Setelah perang dunia kedua, terutama pada negara berkembang, terdapat prevalensi yang luas infeksi TB. Pada awal tahun 2003, WHO memperkirakan terdapat sekitar 1/3 penduduk dunia menderita TB aktif dan 70.000 diantaranya meningitis TB.2,3 III. PATOLOGI Meningitis TB tak hanya mengenai meningen tapi juga parenkim dan vaskularisasi otak. Bentuk patologis primernya adalah tuberkel subarakhnoid yang berisi eksudat gelatinous. Pada ventrikel lateral seringkali eksudat menyelubungi pleksus koroidalis. Secara mikroskopik, eksudat tersebut merupakan kumpulan dari sel polimorfonuklear (PMN), leukosit, sel darah merah, makrofag, limfosit diantara benang benang fibrin. Selain itu peradangan

juga mengenai pembuluh darah sekitarnya, pembuluh darah ikut meradang dan lapisan intima pembuluh darah akan mengalami degenerasi fibrinoid hialin. Hal ini merangsang terjadinya proliferasi sel sel subendotel yang berakhir pada tersumbatnya lumen pembuluh darah dan menyebabkan infark serebral karena iskemia. Gangguan sirkulasi cairan serebrospinal (CSS) mengakibatkan hidrosefalus obstruktif (karena eksudat yang menyumbat akuaduktus spinalis atau foramen luschka, ditambah lagi dengan edema yang terjadi pada parenkim otak yang akan semakin menyumbat. Adanya eksudat, vaskulitis, dan hidrosefalus merupakan karakteristik dari menigoensefalitis yang disebabkan oleh TB. Efek yang ditimbulkan dari kemoterapi meningoensefalitis memiliki peran yang sangat penting karena akan menekan angka kematian dan kecacatan. Setelah 2 tahun, eksudat akan berubah menjadi jaringan ikat hialin dan lapisan intima akan mengalami fibrosis. 4 IV. ETIOLOGI DAN PATOGENESIS Infeksi TB pada SSP disebabkan oleh Mikobakterium tuberkulosis, bakteri obligat aerob yang secara alamiah reservoirnya manusia. Organisme ini tumbuh perlahan, membutuhkan waktu sekitar 15 sampai 20 jam untuk berkembang biak dan menyebar. Seperti semua jenis infeksi TB, infeksi SSP dimulai dari inhalasi partikel infektif. Tiap droplet mengandung beberapa organisme yang dapat mencapai alveoli dan bereplikasi dalam makrofag yang ada dalam ruang alveolar dan makrofag dari sirkulasi. Pada 2 4 minggu pertama tak ada respons imun untuk menghambat replikasi mikobakteri, maka basil akan menyebar ke seluruh tubuh menembus paru, hepar, lien, sumsum tulang. Sekitar 2 sampai 4 minggu kemudian akan dibentuk respons imun diperantarai sel yang akan menghancurkan makrofag yang mengandung basil TB dengan bantuan limfokin. Kumpulan organisme yang telah dibunuh, limfosit, dan sel sel yang mengelilingnya membentuk suatu fokus perkejuan. Fokus ini akan diresorpsi oleh makrofag disekitarnya dan meninggalkan bekas infeksi. Bila fokus terlalu besar maka akan dibentuk kapsul fibrosa yang akan mengelilingi fokus tersebut, namun mikorobakteria yang masih hidup didalamnya dapat mengalami reaktivasi kembali. Jika pertahanan tubuh rendah maka fokus tersebut akan semakin membesar dan encer karena terjadi proliferasi mikrobakterium. Pada penderita dengan daya tahan tubuh lemah, fokus infeksi

primer tersebut akan mudah ruptur dan menyebabkan TB ekstra paru yang dapat menjadi TB milier dan dapat menyerang meningen.4-9 V. MANIFESTASI KLINIS Stadium meningitis TB telah diperkenalkan sejak tahun 1947 dan sejak itu banyak kalangan yang menerapkannya untuk penanganan awal sekaligus menentukan prognosis. Penderita dengan stadium pertama hanya memiliki manifestasi klinis yang tidak khas karena tanpa disertai dengan gejala dan tanda neurologis. Sedangkan penderita dengan stadium kedua (intermediet) telah menunjukkan gejala iritasi meningeal disertai dengan kelumpuhan saraf kranial namun tak ada defek kerusakan lain serta tidak ada penurunan kesadaran. Pada stadium tiga, penderita mengalami kerusakan neurologis yang besar, stupor, dan koma. Penyakit ini lebih samar pada penderita dewasa, anamnesis tentang riwayat pernah mengalami penyakit TB biasanya jarang. Lamanya gejala biasanya tidak berhubungan dengan derajat klinis. Sakit kepala biasanya menonjol pada penderita dewasa, perubahan tingkah laku seperti apatis, bingung sering ditemukan. Kejang biasanya tak terjadi pada tahap awal penyakit, hanya pada 10% sampai 15% pasien. 9

VI. DIAGNOSIS Dari gejala klinis biasanya penderita mengalami panas tinggi dan sakit kepala yang hebat yang diikuti dengan mual dan muntah. Gejala ensefalitis adalah demam, sakit kepala, muntah, penglihatan sensitif terhadap cahaya, kaku kuduk dan punggung, pusing, cara berjalan tak stabil, iritabilitas kehilangan

kesadaran, kurang berespons, kejang, kelemahan otot, demensia berat mendadak dan kehilangan memori juga dapat ditemukan. Jika gejala dan tanda (kaku kuduk, tanda kernig dan tanda laseque) ditemukan maka dianjurkan untuk pemeriksaan Computer Tomography beserta pungsi lumbal (bila tidak ada tanda edema otak). Kemungkinan ensefalitis harus dipikirkan pada penderita dengan panas dan disertai dengan perubahan status mental, gejala neurologis fokal dan pola kebiasaan yang tiba tiba menjadi abnormal. Dilihat dari patologinya, inflamasi akut pada pia arahnoid menyebabkan pelebaran ruangan subarakhnoid karena eksudat yang dihasilkan dari inflamasi tersebut. Selanjutnya saat korteks subpia dan jaringan ependim yang menyelimuti ventrikel juga ikut meradang maka akan menyebabkan terjadinya serebritis dan atau ventrikulitis. Pembuluh darah yang terpapar dengan dengan eksudat inflamasi subarakhnoid mengalami spasme dan atau trombosis yang selanjutnya akan menyebabkan iskemia dan akhirnya infark. Pada CT scan kepala penderita dengan meningitis kronik yang berat akan ditemukan gambaran hiperdensitas ruangan subarakhnoid yang lebih terlihat pada fisura hemisfer serebri. Selanjutnya gambaran CT tanpa kontras akan menunjukkan peningkatan densitas pada sisterna basalis dan fisura hemisfer serebri, serta menghilangnya kecembungan sulkus. Pada pemeriksaan foto roentgen dada, jarang ditemukan pembesaran hilus, adenopati dan bayangan inflitrat. Gambaran radiologi dapat berkisar dari bayangan samar pada apeks sampai adanya kalsifikasi. Tes tuberkulin tidak bermanfaat pada penderita dewasa karena jarang menunjukkan hasil yang positif, sekitar 35% sampai 60% penderita meningitis TB tidak bereaksi pada tes tuberkulin, faktor yang dapat menjelaskan hal tersebut adalah karena adanya malnutrisi, imunosupresi, debilitasi, dan imunosupresi umum karena penyakit sistemik. 5,6 Telah diketahui bahwa pemeriksaan CSS memiliki peran yang sangat penting dalam menegakkan diagnosis meningoensefalitis. Pungsi lumbal tidak perlu dilakukan bila penderita dengan meningitis bakterialis beresons baik terhadap pengobatan. Pungsi lumbal dilakukan dengan cara menusukkan jarum ke dalam kanalis spinalis. Dinamakan pungsi lumbal karena jarum memasuki daerah lumbal (tulang punggung bagian bawah). Dalam pemeriksaan serebrospinal. Dalam pemeriksaan biokimia dan sitologi maka CSS pada penderita dengan

meningoensefalitis akan ditemukan cairan yang jernih dan agak pekat, jaringan protein akan terlihat setelah proses pengendapan. CSS hemoragik dapat ditemukan pada meningitis TB yang mengalami vaskulitis. Adanya gambaran yang khas yang disebut dengan pelikel , yakni hasil dari tingginya konsentrasi fibrinogen dalam cairan disertai dengan sel sel proinflamatori. Tekanan pembuka pada waktu memasukkan jarum spinal meningkat sampai 50%, pada meningitis TB kadar glukosa dalam CSS rendah namun mengandung protein yang tinggi nilai glukosa mendekati 40 mg/dl., protein dapat berkisar antara 150-200 mg/dl.3,4

VII. PENANGANAN Prinsip penanganan meningitis TB mirip dengan penanganan TB lain dengan syarat obat harus dapat mencapai sawar darah otak dengan konsentrasi yang cukup untuk mengeliminasi basil intraselular maupun ekstraselular. Untuk dapat menembus cairan serebrospinal maka tergantung pada tingkat kelarutannya dalam lemak, ukuran molekul, kemampuan berikatan dengan protein, dan keadaan meningitisnya. Keterlambatan dalam pemberian terapi pada penderita dengan meningitis bakterial dapat menyebabkan morbiditas dan mortalitas.

Selain itu perlu dilakukan pengawasan terhadap toksisitas obat selama terapi (pengawasan terhadap hitung jenis darah dan fungsi hati dan ginjal). Penderita yang dicurigai meningitis pada gambaran CT scan kepala sebelum dilakukan pungsi lumbal sebaiknya dilakukan pemeriksan kultur CSS dan pemberian terapi antibiotik dan kortikosteroid. Panduat obat antituberkulosis dapat diberikan selama 9 12 bulan, panduan tersebut adalah 2RHZE / 7-10 RH. Pemberian kortikosteroid dengan dosis 0,5 mg/kgBB/hari selama 3 6 minggu untuk menurunkan gejala sisa neurologis. 4,8 Tabel 2. Penetrasi obat antimikobakterium dalam CSS 9 Kisaran konsentrasi puncak rata rata (microgram/ml)

VIII. KOMPLIKASI Komplikasi meningoensefalitis terdiri dari komplikasi akut, intermediet dan kronis. Komplikasi akut meliputi edema otak, hipertensi intrakranial, SIADH (syndrome of Inappropriate Antidiuretic Hormone Release), Kejang, ventrikulitis. meningkatnya tekanan intrakrania (TIK). Patofisiologi dari TIK rumit dan melibatkan banyak peran molekul proinflamatorik. Edema intersisial merupakan akibat sekunder dari obstruksi aliran serebrospinal seperti pada hidrosefalus, edema sitotoksik (pembengkakan elemen selular otak) disebabkan oleh pelepasan toksin bakteri dan neutrofil, dan edema vasogenik (peningkatan permeabilitas sawar darah otak). 4 Komplikasi intermediet terdiri atas efusi subdural, demam, abses otak, hidrosefalus. Sedangkan komplikasi kronik adalah memburuknya fungsi kognitif, ketulian, kecacatan motorik. 5,7

BAB 2 LAPORAN KASUS IDENTITAS Nama : A.P. Umur : 16 tahun Jenis kelamin : laki-laki Pendidikan : tamat SMP Agama : Kristen protestan Pekerjaan : tidak bekerja MRS : 31 Agustus 2008 Tanggal periksa : 3 September 2009 ANAMNESIS (Anamnesis diberikan oleh orangtua penderita) Keluhan utama: Penurunan kesadaran RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG Penurunan kesadaran disertai dialami penderita sejak 2 hari sejak masuk rumah sakit, terjadi tiba-tiba setelah penderita kejang. Saat kejang kaki dan tangan penderita menyentak nyentak, mata mendelik ke atas, mulut keluar air liur berbusa, kejang berlangsung selama kurang lebih 5 menit, setelah kejang berhenti penderita tidak sadar, selama kurang lebih 10 menit kemudian penderita kejang lagi dan seterusnya sampai kira-kira 7 kali dan diantara kejang penderita tetap tidak sadar. Kejang awalnya hanya pada tangan dan kaki kiri dan kemudian kejang pada kedua tangan dan kaki penderita. Panas dialami penderita sejak kurang lebih 2 hari sebelum masuk rumah sakit, tinggi pada perabaan, panas terus menerus, turun dengan obat penurun panas namun tidak sampai normal lalu naik kembali, sebelumnya pernah mengalami panas namun tidak terlalu tinggi. muntah tidak ada. Riwayat sakit kepala dialami penderita sejak kurang lebih 5 bulan yang lalu, sakit pada bagian depan menjalar sampai ke tengkuk hingga terasa tegang, seperti ditusuk tusuk, hilang timbul, sedikit membaik dengan istirahat. Dalam 3 bulan terakhir penderita mengeluhkan hal yang sama namun lebih berat sampai penderita berteriak kesakitan dan ingin muntah, muntah tidak ada. Pusing tidak ada. Penglihatan kabur atau ganda tidak ada. Tidak ada kebiasaan minum

alkohol. tidak ada kebiasaan minum atau suntik obat obatan. Riwayat trauma : jatuh dari tangga 8 bulan yang lalu, penderita tetap sadar. Saat ini kejang masih ada, terakhir tadi pagi sebanyak 1x. BAB : lancar, tidak mencret, tidak ada darah BAK : terpasang kateter RIWAYAT PENYAKIT DAHULU Penderita pernah mengalami kejang pada 5 bulan yang lalu saat masih tinggal di Papua. Kejang 2x. Pada saat kejang, anggota gerak bagian kiri lurus dan kaku, mata mendelik ke atas, tidak keluar air liur berbusa dari mulut, lama kejang kurang lebih 3 menit, setelah kejang penderita tidak sadar selama 10 menit dan kembali sadar terutama bila diberikan kapas dengan alkohol atau minyak kayu putih di hidungnya. Setelah penderita sadar, ibunya kemudian membawa penderita ke puskesmas terdekat dan diberi obat kejang (ibu penderita lupa nama obatnya) dan diberikan rujukan ke RS, karena tidak ada sanak keluarga dan tidak memiliki biaya maka ibu penderita tidak bisa langsung membawa penderita ke RS dan menunggu 3 bulan baru bisa pergi ke RS setelah penderita mengalami kejang sebanyak 5 kali. Riwayat penurunan berat badan dialami penderita. Riwayat batuk batuk lama dialami penderita (Nenek penderita menderita batuk batuk lama dan berobat 6 bulan), diare lebih dari 1 bulan disangkal, berkeringat malam disangkal, pengobatan selama 6 bulan disangkal, penyakit jantung, liver, ginjal, disangkal oleh penderita. RIWAYAT KEBIASAAN Penderita tidak memiliki kebiasaan minum alkohol RIWAYAT KELUARGA Hanya penderita yang sakit seperti ini. PEMERIKSAAN FISIK UMUM Keadaan Umum : Tampak sakit berat Kesadaran : Semi Koma Tanda vital : TD 120/70 mmHg, N 100 x/m, R 18 x/m, SB 38,9C Warna kulit : Semi Koma Edema : (-) Pupil kanan/kiri : Bulat, isokor, diameter 4 mm. RC /, RCTL /

Kepala : Konjungtiva anemis -/-, sklera ikterus -/Lidah : Beslag (-) Gigi : Karies dentis (-) Kerongkongan : Trakea letak tengah Leher : Pembesaran KGB (+) Dada : Simetris kiri = kanan Jantung : Bunyi jantung I dan II normal, bising (-) Paru-paru : Ronkhi -/-, wheezing -/Perut : Datar, lemas, BU (+) normal Hati : Tidak teraba Lien : Tidak teraba Kelamin : Inflamasi (-) Tangan : Akral hangat Kaki : Akral hangat Status Neurologis GCS : E3M4V1 Pupil kanan/kiri : Bulat, isokor, diameter 4 mm, RC /, RCTL / TRM : Kaku kuduk (+), Laseque (+), Kernig (+) Saraf saraf Kranialis: Kesan hemiparesis (-) Status motorik : Kekuatan Otot : kesan hemiparesis kanan (-) Tonus Otot : n+1/ n+1 Refleks Fisiologis: : +/+ Refleks Patologis: Babinski -/-, Oppenheimer -/-, chaddock -/Status sensorik : Sensibilitas sulit di evaluasi Status otonom : BAB biasa, BAK terpasang kateter Pemeriksaan Penunjang: 3-9-2008 Hemoglobin : 14,7 gr/dL Leukosit : 14.900 /mm3 Trombosit : 178.000 /mm3 GDS : 80 mg/dl 4-9-2008

Hb : 13,91 gr/dL PCV : 41,9 /mm3 Eritrosit : 4. 8. 106 /mm3 MCHC : 33,19 /mm3 Leukosit : 8.240 /mm3 PLT : 149.000 /mm3 Ureum : 19,2 mg/dl Kreatinin : 0,6 mg/dl GDS : 186 mg/dl SGOT : 29,3 U/l SGOT : 22,8 U/l Albumin : 3,68 gr/dl 11 9 2008 Hemoglobin : 11,6 gr/dL PCV : 36,2 /mm3 Eritrosit : 4.35. 106 /mm3 Leukosit : 8.600 /mm3 Trombosit : 222.000 /mm3 Ureum : 36 mg/dl Kreatinin : 0,6 mg/dl Asam Urat : 3.4 mg/dl Bilirubin tot : 0,4 mg/dl Bilirubin direk : 0,1 mg/dl SGOT/SGPT : 54/55 U/l Hasil Brain CT : Kesan iskemik serebral daerah genu dan krus posterior kapsula interna sinistra serta basal ganglia didekatnya dan nukleus kaudatus sinistra. Hasil Foto toraks : Jantung dan paru kesan normal Hasil kimia darah : Na : 133 meq/l K : 4,0 meq/l Cl : 112 meq/l GDS : 90 mg/dl LED : 80/110 granulosit : 76% Pemeriksaan BTA 3x : (-) Urinalisis : Epitel 1-2/lbp Kristal : Eritrosit : - bilirubuin : Leukosit : + glukosa : Analisis Feses Tidak ditemukan kelainan Konsul Rehabilitasi Medik Lumbal Pungsi : Keluarga belum setuju dilakukan lumbal pungsi Diagnosis Klinis : Penurunan kesadaran, hemiparesis dekstra, dengan tanda rangsangan meningeal Diagnosis Etiologis : Suspek Tuberkulosis

Diagnosis Topis : Meningoensefalitis Diagnosis Patologi : Terapi Pasang O2 2-4 L/m IVFD RL : NaCl 0,9 % : D5% 1 : 1 : 1 sebanyak 14 gtt/menit Diazepam 10 mg IV jika kejang Fenitoin 1 ampul + NaCl 0,9 % 15 cc bolus selama 15 menit Cefoperazone 2 x 1 gr IV (Skin Test) o Isoniazid tab 1 x 200 mg + B6 tab 1 x 5 mg (sampai 2 bulan fase intensif dan 7 bulan fase intermiten). o Rifampisin tab 1 x 600 mg (sampai 2 bulan fase intensif dan 7 bulan fase intermiten) o Pirazinamid tab 4 x 250 mg (sampai 2 bulan) o Etambutol tab 2 x 500 mg (sampai 2 bulan) o Metilprednisolon 3 x 125 mg (selama 3 minggu, tapering off) Citicolin 2 x 250 mg IV Sistenol 3 x 1 tablet via NGT bila panas Ranitidin 21 amp IV Diet Tinggi kalori tinggi protein Pasang NGT, kateter, Takar urin, Balance cairan FOLLOW UP 5 8 September 2008 S : Penurunan kesadaran (+), Panas (+), Kejang (-) O : TD : 110/60 mmHg, N : 104x/m, R : 22 x/m, SB : 38,6C GCS : E3M4V2, pupil bulat isokor, diameter 4 mm, RC /, RCTL / TRM : kaku kuduk (+), laseque (+), kernig (+) Saraf Kranialis : Kesan hemiparesis (-) Kekuatan Otot : Kesan hemiparesis dekstra Tonus Otot : n+1/n+1 Refleks Fisiologis : +/+ Refleks Patologis : -/A : Penurunan Kesadaran, hemiparesis dekstra, dengan tanda rangsangan meningeal et kausa meningoensefalitis suspek TB P : O2 100% 2-4 L/m

IVFD RL : NaCl 0,9 % : D5% 1: 1 : 1 sebanyak 14 gtt/menit Fenitoin 1 ampul + NaCl 0,9 % 15 cc bolus selama 15 menit Cefoperazone 2 x 1 gr IV Isoniazid tab 1 x 200 mg + B6 tab 1 x 5 mg Pirazinamid tab 4 x 250 mg Etambutol tab 2 x 500 mg Rifampisin tab 1 x 600 mg Metilprednisolon 3 x 125 mg Citicolin 2 x 250 mg IV Metilprednisolon 3 x 125 mg Sistenol 1 tablet via NGT bila panas Ranitidin 2150 mg IV 9 September 2008 S : Penurunan kesadaran, Panas Menurun, Kejang (-) O : TD : 130/90 mmHg, N : 104x/m, R : 26 x/m, SB : 37,7C GCS : E3M4V2, pupil bulat isokor, diameter 3 mm, RC +/+, RCTL +/+ TRM : kaku kuduk (+), laseque (+), kernig (+) Saraf Kranialis : kesan hemiparesis (-) Kekuatan Otot : kesan hemiparesis (-) Tonus Otot : n+1 / n+1 Refleks Fisiologis : +/+ Refleks Patologis : -/A : Penurunan Kesadaran, hemiparesis dekstra, dengan tanda rangsangan meningeal et kausa meningoensefalitis suspek TB P : O2 2-4 L/m IVFD RL : NaCl 0,9 % : D5% 1: 1 : 1 sebanyak 14 gtt/menit Fenitoin 1 ampul + NaCl 0,9 % 15 cc bolus selama 15 menit Cefoperazone 2 x 1 gr IV Isoniazid tab 1 x 200 mg + B6 tab 1 x 5 mg Pirazinamid tab 4 x 250 mg Etambutol tab 2 x 500 mg Rifampisin tab 1 x 600 mg Metilprednisolon 3 x 125 mg Citicolin 2 x 250 mg IV

Metilprednisolon 3 x 125 mg Ranitidin 2150 mg IV Sistenol 1 tablet bila panas 10 11 September 2008 S : Penurunan kesadaran, panas (-), kejang (-) O : TD : 130/80 mmHg, N : 92x/m, R : 22 x/m, SB : 37,1C GCS : E3M4V2, pupil bulat isokor, diameter 4 mm, RC /, RCTL / TRM : kaku kuduk (+), laseque (+), kernig (+) Saraf-saraf Kranialis : kesan hemiparesis (-) Kekuatan Otot : kesan hemiparesis dekstra Tonus Otot : n+1 / n+1 Refleks Fisiologis : +/+ Refleks Patologis : -/A : Penurunan Kesadaran, hemiparesis dekstra, dengan tanda rangsangan meningeal et kausa meningoensefalitis suspek TB P : O2 100% 2-4 Liter / m IVFD RL : NaCl 0,9% : D5% : 1 : 1 : 1 IVFD Clivimix 14 gtt/m Fenitoin 1 ampul dalam NaCl 0,9 % 50 cc drips Cefoperazone 2 x 1 gr IV Isoniazid tab 1 x 200 mg + B6 tab 1 x 5 mg Pirazinamid tab 4 x 250 mg Etambutol tab 2 x 500 mg Rifampisin tab 1 x 600 mg Metilprednisolon 3 x 125 mg Citicolin 2 x 250 mg IV Metilprednisolon 3 x 125 mg Ranitidin 2150 mg IV BAB III DISKUSI Diagnosis meningoensefalitis didapatkan dengan cara anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesis didapatkan penderita mengalami panas, penurunan kesadaran,

kejang. Hal ini sesuai dengan kepustakaan bahwa pada penderita meningoensefalitis mengalami suatu gejala kombinasi dari gejala meningitis dan ensefalitis seperti panas, kejang, penurunan kesadaran. 1 Diketahui penyebab tuberkulosis karena penderita memiliki riwayat batuk batuk lama, penurunan berat badan, dan memiliki riwayat kontak dengan penderita TB. Gejala gejala yang dialami penderita telah terjadi sejak lama (kronis). Meningoensefalitis kronis dapat disebabkan oleh berbagai macam penyebab, penyebab yang sering ditemukan adalah TB.9 Pada pemeriksaan fisik penderita ditemukan adanya tanda rangsangan meningeal seperti kaku kuduk, pemeriksaan laseque dan kernig yang positif. Hal ini sesuai dengan kepustakaan bahwa pada meningitis akan ditemukan tanda rangsangan meningeal yang disebabkan oleh peregangan membran yang membungkus otak dan korda spinalis (meningen) yang terinflamasi.4 Pada hasil laboratorium penderita didapatkan peningkatan LED. Menurut kepustakaan, LED sering meningkat pada TB namun LED yang normal tidak menyingkirkan TB, namun pemeriksaan LED kurang spesifik sebagai indikator adanya TB.10 Peradangan pada meningitis TB mengenai pembuluh darah sekitarnya yang kemudian ikut meradang dan lapisan intima pembuluh darah akan mengalami degenerasi fibrinoid hialin. Hal ini merangsang terjadinya proliferasi sel sel subendotel yang berakhir pada tersumbatnya lumen pembuluh darah dan menyebabkan iskemia serebral.9 Pada penderita ini, gambaran CT scan ditemukan kesan iskemik serebral daerah genu dan krus posterior kapsula interna sinistra serta basal ganglia didekatnya dan nukleus kaudatus sinistra. Pada kasus meningitis TB, foto roentgen dada jarang ditemukan pembesaran hilus, adenopati dan bayangan inflitrat. Gambaran radiologi dapat berkisar dari bayangan samar pada apeks sampai adanya kalsifikasi.5,6 Pada penderita ini, gambaran jantung dan paru kesan normal. Namun gambaran CT scan kepala dan foto toraks saja belum bisa dijadikan pedoman untuk menegakkan diagnosis TB, diagnosis TB ditegakkan dengan melakukan analisis cairan serebrospinal dengan cara pungsi lumbal.3,4 Sebenarnya pada penderita telah dilakukan edukasi untuk analisis cairan serebrospinal dengan pungsi spinal namun keluarga belum setuju dikarenakan

ibu penderita menunggu persetujuan suaminya yang sedang dalam perjalanan. Penanganan darurat pada penderita ini adalah mencegah kerusakan neuron dengan mempertahankan jalan napas dan pemberian oksigen saturasi 100% disertai dengan pemberian obat anti kejang. Tindakan selanjutnya yang harus kita lakukan adalah pemeriksaan tekanan darah, monitoring EKG dan pernafasan, pemeriksaan secara teratur suhu tubuh, selanjutnya baru dilakukan anamnesa dan pemeriksaan neurologis. Obat anti epilepsi ada beberapa macam seperti golongan benzodiazepin, fenitoin/ fosfofenitoin, barbiturat, propofol dan lain lain. Bila penderita kejang maka diberikan diazepam dan untuk maintenance cukup diberikan fenitoin drips. Pemberian infus NaCl 0,9% dengan tetesan lambat untuk mencegah edema serebri karena lonjakan kadar natrium yang terlalu cepat 4, pada penderita ini infus NaCl 0,9% 14 tetes/menit, pemberian 50 ml glukosa IV jika didapatkan adanya hipoglikemia pada penderita ini GDS : 80 mg/l sehingga cukup dengan pemberian D5% drips. Selanjutnya dimulai rencana pengobatan untuk TB, yakni dengan menggunakan INH (isoniazid), rifampisin, pirazinamid, etambutol dan streptomisin selama 2 bulan (fase intensif) dan 7 10 bulan selanjutnya diberikan rifampisin dan isoniazid, disertai dengan pemberian kortikosteroid dengan dosis 0,5 mg/kgBB/hari selama 3 6 minggu tapering off untuk mengurangi gejala sisa neurologis. 10 Jika penderita tersangka tuberkulosis mengalami sakit berat dengan sputum BTA 3x negatif dan foto toraks tidak mungkin, maka dilakukan terapi dengan antibiotik untuk penyebab bakterial dan ditambah dengan anti TB. Sesudah 3 4 minggu dilakukan pemeriksaan ulang sputum BTA, bila positif maka diterapi sebagai tuberkulosis, namun jika negatif maka perlu dilihat perkembangan penderita, jika penderita tidak membaik atau memburuk maka harus dicari diagnosis lain, jika penderita membaik tapi keluhan menetap maka selesaikan terapi TB, jika penderita menjadi sehat, hentikan pengobatan.11 Pada penderita ini, diagnosis tuberkulosis sulit ditegakkan karena belum dilakukan analisis CSS, dengan BTA 3x negatif dan foto toraks kesan normal, diberikan terapi awal antibiotik sefoperazone (sulbactam) disertai dengan obat anti tuberkulosis. Dalam perjalanan penyakitnya penderita mengalami perbaikan gejala (panas menurun, kejang tidak ada,jumlah leukosit yang menjadi normal) sehingga

pengobatan dengan anti tuberkulosis diselesaikan. Prognosis penderita tergantung pada usia, tahapan klinis, adanya defisit neurologis saraf kranial, adanya SIADH, EEG abnormal, GCS. saat penderita didiagnosis dan diterapi. Semakin lanjut tahapan klinisnya, semakin buruk prognosisnya.10 Pada penderita ini datang berobat dalam keadaan stadium lanjut (akhir) dimana prognosis adalah dubia et malam. Sekitar 50% penderita dengan menigoensefalitis TB meninggal dan 15% masih bisa hidup dengan gangguan neurologis yang permanen, sementara 35% sembuh dengan gejala sisa neurologis yang minimal.12 DAFTAR PUSTAKA 1. Mansjoer, A. Meningitis Tuberkulosis. Dalam : Kapita Selekta Kedokteran Edisi ketiga. Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta : 2000. h.11 2. Balentine, J. Encephalitis and Meningitis. 2010. Available in : http://www.emedicine.com 3. Tunkel, A. Practice Guidelines for the Management of Bacterial Meningitis. Clinical Infectious Disease. Infectious Disease Society of America. Phyladelpia. 2004. 4. Razonable, R. Meningitis Overview. Mayo Clinic College of Medicine. 2009. available in :http://www.medscapeemedicine.com/meningitis. 5. Schossberg, D. Infections of the Nervous System. Springer Verlag. Philladelphia, Pennsylvania. 2006. 6. Tsumoto, S. Guide to Meningoencephalitis Diagnosis. JSAI KKD Chalenge 2001. 7. Anonyme. Meningitis. 2010. Available in : http://www.wikipedia.com 8. Van de beek, D. Clinical Features and Prognostic Factors in Adult with Bacterial Meningitis. NEJM.2004. 9. Scheld, M. Infection of the Central Nervous System third edition. Lippincot William and Wilkins. 2004.h.443. 10. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia. Jakarta. 2006. h. 53. 11. Crofton, J., Horne, N., Miller, F et all. Clinical Tuberculosis 2th edition.

IUATLD. MacMillan Education Ltd. London. 2002. h. 160. 12. Ravighone M, OBrien R. Tuberculosis. Dalam : Harrisons Principles of Internal Medicine Edisi 16. New York: McGraw-Hill. 1998. h. 1004 1014.

Meningitis
MENINGITIS Meningitis adalah syndroma klinik yang dikarakteristik oleh inflamasi meningen. Secara klinik, kondisi medis ini memunculkan manifestasi gejalagejala meningeal seperti; sakit kepala, nuchal rigidity, photophobia dan peningkatan leukosit dalam cairan serebrospinal (pleositosis). Tergantung pada durasi gejala-gejala, meningitis dapat diklasifikasikan sebagai akut atau kronik. Meningitis akut menunjukkan evolusi dari gejala-gejala antara beberapa jam sampai hari, sedangkan meningitis kronik memiliki onset dan durasi dalam minggu sampai bulan. Durasi gejala-gejala dari meningitis kronik dikarakteristik sekurangnya 4 minggu. Meningitis Bakterial Terdapat sejumlah penyebab infeksi dan non infeksi dari meningitis. Contoh yang paling sering adalah penggunaan obat-obatan, misalnya obat antiinflamasi non streroid, antibiotic; dan carsinomatosis. Meningitis dapat juga diklasifikasikan sesuai dengan etiologinya. Meningitis bacterial akut menunjukkan penyebab bakteri syndrome ini. Meningitis bacterial dikarakteristik oleh onset akut gejala-gejala meningeal dan neutrophilic pleocytosis. Syndroma dinamai tergantung pada penyebab bacterial spesifik, misalnya, Streptococcus pneumoniae meningitis, meningococcal meningitis, atau Haemophilus influenzae meningitis. Penyebab fungi dan parasit dari meningitis juga diberi nama sesuai dengan agent penyebabnya, seperti cryptococcal meningitis, Histoplasma meningitis, dan amebic meningoencephalitis. Aseptic meningitis adalah istilah yang digunakan secara luas yang dinyatakan dengan respon seluler non-piogenik, dimana meningitis ini disebabkan oleh beberapa agent yang berbeda. Pada beberapa kasus, penyebab tidak terlihat sesudah evaluasi awal. Karakteristik pasien menunjukkan onset gejala meningeal akut, demam dan pleositosis cerebrospinal yang ditandai limpositosis menonjol. Sesudah pemeriksaan teliti beberapa kasus ditemukan dengan penyebab virus dan kemudian diklasifikasikan sebagai meningitis virus akut (misalnya, enterovirus meningitis, herpes simplex virus [HSV]

meningitis). Selain virus, pada banyak kasus meningitis aseptic, dapat juga disebabkan oleh bakteri, fungi, mycobakterial dan agent parasit.3,4 Patofisiologi Ada jalur utama dimana agent infeksi (bakteri, virus, fungi, parasit) dapat mencapai system saraf pusat (CNS) dan menyebabkan penyakit meningeal. Awalnya, agent infeksi berkolonisasi atau membentuk suatu fokal infeksi pada host. Kolonisasi ini bisa berbentuk infeksi pada kulit, nasopharynx, traktus respiratorius, traktus gastrointestinal atau traktus urinarius. Kebanyakan pathogen meningeal ditransmisikan melewati rute respiratorik1,3,4 Dari area kolonisasi ini, organism menembus submucosa melawan pertahanan host (misalnya, barier fisik, imunitas local, fagosit/makrofag) dan mencapai akses ke system saraf pusat melalui (1) invasi kedalam sirkulasi darah (bakteremia, viremia, fungemia, dan parasitemia) dan selanjutnya secara hematogenous dilepaskan ke system saraf pusat, dimana ini merupakan mode yang penyebaran yang paling sering untuk kebanyakan agent (misalnya, meningokokkus, cryptococcal, syphilitic, dan pneumococcal meningitis); (2) kerusakan neuronal (misalnya, nervus olfactory dan peripheral) dengan agent penyebab misalnya, Naegleria fowleri, Gnathostoma spinigerum; atau (3) kontak langsung (misalnya, sinusitis, otitis media, congenital malformations, trauma, inokulasi langsung selama manipulasi intrakranial).1,5,6 Virus-virus respirasi tertentu dipikirkan mempertinggi masuknya agent bacterial kedalam kompartement intravaskuler, mungkin melalui kerusakan pertahanan mukosa. Sekali didalam sirkulasi darah, agent-agent infeksi harus melepaskan diri dari pengawasan imun (misalnya, antibodi, complementmediated bacterial killing, neutrophil phagocytosis). Akibatnya, penyebaran hematogenous jauh dapat terjadi, termasuk system saraf pusat. Mekanisme patofisiologi spesifik terjadi melalui invasi agent kedalam ruang subaracnoid masih belum jelas. Sekali berada di dalam system saraf pusat, agent-agent infeksi ini akan dapat bertahan hidup oleh karena pertahanan host (misalnya, immunoglobulin, neutrophil, komponen komplement) terbatas dalam kompartemen tubuh ini. Adanya agent dan replikasi yang dilakukan tidak terkontrol dan mendorong

terjadinya suatu cascade inflamasi meningeal. Kunci patofisiologi dari meningitis termasuk peran penting dari cytokines (mis, tumor necrosis factor-alpha [TNF-alpha], interleukin [IL]1), chemokines (IL8), dan molekul proinflamasi lain dalam pathogenesis pleocytosis dan kerus akan neuronal selama bacterial meningitis. Peningkatan konsentrasi TNFalpha, IL-1, IL-6, dan IL-8 dalam cairan serebrospinal adalah temuan khas pasien meningitis bacterial. Frekuensi Amerika Serikat. Insiden meningitis bervariasi sesuai dengan agent etiologi spesifik. Meningitis bacterial masih merupakan penyebab signifikan morbiditas dan mortalitas di seluruh dunia. Angka serangan di Amerika Serikat pertahun dilaporkan 0.6-4 kasus per 100,000 populasi. Sebelumnya, 3 kasus yang paling pathogen dengan kasus mencapai 80 %, yaitu H influenzae type B (HIB), N meningitidis, dan S pneumoniae. Lebih dari dua decade lalu, epidemologi telah mengalami perubahan secara substansial oleh karena berbagai perkembangan. Internasional. Insiden meningitis diperkirakan lebih tinggi pada negara yang sedang berkembang oleh karena kurangnya akses pelayanan pencegahan seperti vaksinasi. Angka insdien 10 kali lipat lebih tinggi terjadi di negara sedang berkembang.2,3,6 Mortalitas dan morbiditas Mortalitas meningitis bervarias tergantugn agent spesifik. Angka mortalitas untuk meningitis virus (tanpa encephalitis) kurgan dari 1 %. Pada pasien dengan defisiensi imunitas humoral (misalnya, agammaglobulinemia), enterovirus meningitis dapat memberikan hasil yang fatal. Meningitis bacterial umumnya fatal sebelum era antimicrobial. Dengan adanya terapi antimicrobial, keseluruhan angka mortalitas meningitis bacterial menurun tapi masih masih mengkuatirkan. Laju mortalitas diperkirakan 25%.

Diantara penyebab yang sering dari acute bacterial meningitis, angka mortalitas tertinggi ditemukan pada pneumococcus. Angka mortalitas yang dilaporkan untuk tiap-tiap organism spesifik adalah 19-26% untuk S pneumoniae meningitis, 3-6% untuk H influenzae meningitis, 3-13% untuk N meningitidis meningitis, dan 15-29% untuk L monocytogenes meningitis.1,3,5 Ras dan jenis kelamin Semua ras tanpa terkecuali dapat terkena. Di Amerika Serikat, kulit hitam dilaporkan 3.3 kasus per 100,000 populasi dibandingkan dnegan 2.6 wanita per 100,000 populasi. Angka serangan untuk meningitis bacterial dilaporkan 3.3 kasus pria per 100,000 populasi sedangkan wanita 2.6 kasus per 100,000 populasi.2,4 Riwayat Klinik Presentasi klasik dari meningitis termasuk demam, sakit kepala, kekakuan pada leher, photophobia, nausea, vomiting, dan tanda-tanda disfungsi serebral (mis, lethargy, confusion, coma). Terdapat triad: demam, nuchal rigidity, dan perubahan status mental ditemukan pada 2/3 pasien. Akan tetapi nilai prediktif negatif gejala-gejala ini tinggi (misalnya, jika demam, kekakuan leher, atau perubahan status mental tidak ada, akan mengeliminasi diagnosis meningitis pada 99-100% kasus). Presentasi klasik dari meningitis akut adalah onset gejala yang terjadi antara jam sampai beberapa hari, dibandingkan dengan meningitis kronis sampai minggu. Presentasi yang tidak khas dapat diobservasi pada kelompok tertentu. o Orang tua, khususnya bagi mereka dengan adanya komorbiditas (mis, diabetes, renal dan liver disease), bisa muncul lethargi tanpa gejala meningeal. o Pasien-pasien dengan neutropenia dapat muncul dengan gejala iritasi meningeal tersembunyi. o Host dengan immunocompromised, termasuk resipien transplant organ dan jaringan serta pasien dengan HIV dan AIDS, dapat menunjukkan presentasi yang tidak khas.

Fisik Tanda-tanda disfungsi serebral sering terjadi misalnya, confusion, irritability, delirium, dan koma. Ini biasanya bersamaan dengan demam dan photophobia. Tanda-tanda iritasi meningeal ditemukan hanya pada kira-kira 50% pasien meningitis bacterial, dan bila hal ini tidak ada tidak menyingkirkan meningitis. Palsy saraf cranial dapat ditemukan, terjadi akibat peningkatan tekanan intracranial atau adanya eksudat yang membungkus nerve roots. Tanda neurologik fokal dapat terbentuk akibat iskemia yang berasal dari inflamasi vascular dan thrombosis. Kejang dapat terjadi pada kira-kira 30% pasien. Papilledema dan tanda-tanda peningkatan intracranial lain dapat muncul.3,4,5,6 Etiologi Meningitis bacterial akut Penggunana vaksin HIB yang luas secara dramatikal merubah epidemiology bacterial meningitis dalam dekade terakhir (tabel 1). Meningitis yang paling sering kena pada seluruh kelompok umur, H influenzae meningitis secara dramatikal mengalami penurunan dari 48% sampai 7% dari seluruh kasus. Angka N meningitidis masih konstan pada 14-25%, dan organisme pada beberapa kasus terjadi antara umur 2-18 tahun. S pneumoniae menjadi penyebab paling sering pada seluruh kelompok umur (tabel 2).1,3

Resiko dan/atau faktor predisposisi Bateri pathogen Umur 0-4 minggu S agalactiae (group B streptococci) E coli K1 L monocytogenes Umur 4-12 minggu S agalactiae E coli H influenzae Spneumoniae

N meningitidis Umur 3 bulan sampai 18 tahun N meningitidis S pneumoniae H influenzae Umur 18-50 tahun S pneumoniae N meningitidis H influenzae Umur > 50 tahun S pneumoniae N meningitidis L monocytogenes Aerobic gram-negative bacilli Immunocompromised state S pneumoniae N meningitidis L monocytogenes Aerobic gram-negative bacilli Intracranial manipulation, including neurosurgery Staphylococcus aureus Coagulase-negative staphylococci Aerobic gram-negative bacilli, including Pseudomonas aeruginosa Basilar skull fracture S pneumoniae H influenzae Group A streptococci CSF shunts Coagulase-negative staphylococci S aureus Aerobic gram-negative bacilli Propionibacterium acnes Sindroma meningitis aseptic

Aseptic meningitis adalah syndrome ifeksious yang paling sering mempengaruhi system saraf pusat. Kebanyakan episode disebabkan oleh virus pathogen, tapi dapat juga disebabkan oleh bakteri, fungi, atau parasit.
Penanganan

Penanganan prehospital 1,5

Evaluasi dan penanganan pasien shock atau hipotensi dengan infuse kristaloid sampai terjadi euvolemik. Penanganan kejang sesuai protokol Proteksi jalan nafas pasien yang mengalami penurunan kesadaran. Untuk pasien sadar dengan kondisi stabil denga n tanda vital normal, berikan oksigen, akses intravena dan kirim cepat ke bagian emergensy.

Penanganan gawat darurat 1,2,5

Meningitis akut: sesuai keadaan pasien, pemeriksaan cairan serebrospinal mengindentifikasi meningitis akut untuk identifikasi organism spesifik dan kerentanan.

dalam

Meningitis sub akut: pada pasien ini, pemeriksaan cairan cerebrospinal merupakan langkah penting untuk mendokumentasikan ada atau tidaknya infeksi saraf pusat dan tipe organisme penyebab infeksi. Pemberian antibiotika untuk memperlambat replikasi infeksi. Kondisi pasien dan perawatan bagian darurat selanjutnya dengan observasi 8-12 jam, kemudian periksa ulang cairan cerebrospinal (segera dilakukan bila kondisi pasien memburuk). Jika terjadi perubahan granulositosis awal terhadap mononuclear predominance, glukosa cairan cerebrospinal, dan pasien terlihat baik, infeksi pasien mungkin nonbakterial. Pada pasien akut, lakukan lumbal punksi dan berikan dosis pertama antibiotic dengan atau tanpa steroid antara 30 menit.

Lakukan CT scan bila terjadi defisit neurologis. Penanganan komplikasi sistemik meningitis bacterial akut: hipotensi dan/atau shock, hipoksemia, hiponatremia, aritmia jantung dan iskemia, cardiovaskuler disease (CVD), dan eksaserbasi penyakit kronik. Perhatikan tanda hidrosephalus dan peningkatan tekanan intrakranial.

Tangani demam dan nyeri, kontrol ketegangan dan batuk, hindari kejang, dan hindari hipotensi sistemik. Sebaliknya pada pasien stabil, penanganan cukup dengan elevasi kepala dan monitoring status neurologik.

Beberapa center menganjurkan penggunaan dieresis awal (misalnya, furosemide 20 mg IV, mannitol 1 g/kg IV), untuk memproteksi volume sirkulasi. Hiperventilasi pada pasien yang diintubasi, dengan sasaran PaCO2 25-30 mm Hg, dapat menurunkan tekanan intracranial dengan singkat;hiperventilasi dengan PaCO2 <25 style="">cerebral blod flow yang tidak sebanding dan memicu iskemia system saraf pusat.

Pertimbangan pemasangan monitor ICP pada pasien koma atau mereka dengan tanda peningkatan tekanan intracranial.

Dengan peningkatan tekanan intrakranial, ambil cairan serebrospinal sampai tekanan menurun 50 % dan pertahankan pada tekanan kurang dari 300 mm air, hanya dilakukan pada kasus-kasus tertentu.2,5

Pencegahan kejang: lorazepam 0.1 mg/kg IV dan IV load dengan phenytoin 15 mg/kg atau phenobarbital 5-10 mg/kg. Kontroversi seputar pemberian dexamethasone, yang diberikan dengan atau sebelum antibiotika.2
o

Dexamethasone dapat mengganggu cytokine-mediated neurotoxic bacteriolysis. Efek maksimum pada hari pertama penggunaan antibiotik.

effects dari

Meta-analysis 10 tahun pada percobaan klinik, dexamethasone menurunkan morbiditas, khususnya insiden dan severeitas darineurosensory hearing loss, untuk meningitis H influenzae dan diduga keuntungan yang diperoleh untuk meningitis S pneumoniae sebanding pada pemakaian anak-anak. Tidak ada studi yang adekuat pada orang dewasa mengenai penggunaan dexametazone, meskipun secara patofisiologi mungkin sama. Meta-analysis menduga bahwa batas terapi dexamethasone sampai 2 hari, diduga sudah optimal. Studi terbaru dari Eropa terus mendukung penggunaan dexametasone di negara-negara yang sedang berkembang (bila dibandingkan dengan negara maju), barangkali berhubungan dengan insiden relatif meningitis TB.

Secara teori, efek anti-inflamasi menurunkan permeabilitas blood-brain barrier dan menghalangi penetrasi antibiotik kedalam cairan serebrospinal.

Menurunkan level vankomisin dalam cairan cerebrospinal telah dikonfirmasi pada hewan yang ditangani dengan steroid, pada manusia belum dilakukan. Beberapa center percaya bahwa seluruh antibiotika mencapai konsentrasi inhibisi minimal dalam cairan serebrospinal tanpa mempertimbangkan penggunaan streroid.

Dexamethasone tidak mengganggu vankomisin secara klinik.

Di negara yang sedang berkembang, penggunaan gliserol oral (dexamethasone) telah dipelajari sebagai terapi adjunctive untuk penanganan meningitis bacterial pada anakanak. Dalam studiyang terbatas, penggunaannya terlihat menurunkan insiden neurologic sequelae dengan efek samping yang kecil.2

Terapi antibiotika idealnya didasarkan pada identifikasi organisme dengan pewarnaan gram.
o

Neonati umur 1 bulan, mikroorganisme yang sering, streptokokus group B atau D, Enterobacteriaceae (mis, E coli), dan L monocytogenes.

Penanganan primer adalah kombinasi ampicillin (umur 0-7 hari: 50 mg/kg IV q8h; umur 8-30 hari: 50-100 mg/kg IV q6h) plus cefotaxime 50 mg/kg IV q6h (sampai 12 g/d). Penanganan alternatif ampicillin (umur 0-7 hari: 50 mg/kg IV q8h; umur 8-30 hari: 50-100 mg/kg IV q6h) plus gentamicin (umur 0-7 hari: 2.5 mg/kg IV atau IM q12h; umur 8-30 hari: 2.5 mg/kg IV atau IM q8h).

Beberapa center merekomendasikan penambahan acyclovir 10 mg/kg IV q8h untuk herpes simplex encephalitis.2,5

Pada bayi (1-3 bulan).

Penanganan primer adalah cefotaxime (50 mg/kg IV q6h, sampai 12 g/d) atau ceftriaxone (dosis awal: 75 mg/kg, 50 mg/kg q12h sampai 4 g/day) plus ampicillin (50-100 mg/kg IV q6h). Penanganan alternative adalah chloramphenicol (25 mg/kg PO atau IV q12h) plus gentamicin (2.5 mg/kg IV atau IM q8h). Jika yang ada cephalosporin-resistant S pneumoniae (DRSP), >2%, tambahan vancomycin (15 mg/kg IV q8h). Sangat perlu dexamethasone (0.4 mg/kg IV q12h untuk 2 hari atau 0.15 mg/kg IV q6h untuk 4 hari) mulai 15-20 menit sebelum dosis awal antibiotik.

Pada bayi yang lebih tua atau anak-anak (3 bulan- 7 tahun), mikroorganisme yang sering adalah S pneumoniae, N meningitidis, dan H influenzae.

Penanganan primer, cefotaxime (50 mg/kg IV q6h sampai 12 g/hari) atau ceftriaxone (dosis awal: 75 mg/kg, kemudian 50 mg/kg q12h sampai 4 g/hari). Jika DRSP >2%, tambah vancomycin (15 mg/kg IV q8h). Negara-negara dengan prevalensi DRSP rendah, pertimbangkan penicillin G (250,000 U/kg/d IM/IV dalam 3-4 dosis terbagi). Bila penyebab DRSP, penicillin G.

Penanganan alternatif (atau jika alergi penisilin berat) adalah chloramphenicol (25 mg/kg PO/IV q12h) plus vancomycin (15 mg/kg IV q8h). Pertimbangkan dexamethasone (0.4 mg/kg IV q12h dalam 2 hari atau 0.15 mg/kg IV q6h untuk 4 hari) mulai 15-20 menit sebelum dosis pertama antibiotika.1,2,5

Umur 7-50 tahun, mikroorganisme yang sering S pneumoniae, N meningitidis, dan L monocytogenes.

Area DRSP (drug resistant S pneumonia) >2%, cefotaxime (dosis pediatri: 50 mg/kg IV q6h sampai 12 g/d; dewasa: 2 g IV q4h) atau ceftriaxone (pediatri: initial dose: 75 mg/kg, kemudian 50 mg/kg q12h sampai 4 g/hari; dosis dewasa: 2 g IV q12h) plus vancomycin (pediatri: 15 mg/kg IV q8h; dewasa: 750-1000 mg IV q12h atau 10-15 mg/kg IV q12h). Beberap center menambahkan rifampin (pediatrik: 20 mg/kg/d IV; dewasa: 600 mg PO qd). Jika spesies Listeria species, tambahkan ampicillin (50 mg/kg IV q6h).

Alternatif (atau jika alergi penisilin) yaitu chloramphenicol (12.5 mg/kg IV q6h: tidak bactericidal) atau clindamycin (dosis pediatri: 40 mg/kg/hari IV dalam 3-4 dosis; dewasa: 900 mg IV q8h: aktif in vitro tapi tidak ada data klinik) atau meropenem (pediatri: 20-40 mg/kg IV q8h; dewasa: 1 g IV q8h: aktif in vitro tapi sedikit data klinik; hindari imipenem). Area prevalensi DRSP rendah, gunakan cefotaxime (dosis pediatri: 50 mg/kg IV q6h sampai 12 g/d; dewasa: 2 g IV q4h) atau ceftriaxone (pediatri: 75 mg/kg dosis initial kemudian 50 mg/kg q12h sampai 4 g/d; dewasa: 2 g IV q12h) plus ampicillin (50 mg/kg IV q6h).

Penanganan alternatif (atau jika alergi penicilin) adalah chloramphenicol (12.5 mg/kg IV q6h) plus trimethoprim/sulfamethoxazole (TMP/SMX; TMP 5 mg/kg IV q6h) atau meropenem (pediatri: 20-40 mg/kg IV q8h; dewasa: 1 g IV q8h).

Data terbatas pada penggunaan dexamethasone pada orang dewasa. Pemberian dosis pertama dexamethasone (0.4 mg/kg q12h IV selama 2 hari atau 0.15 mg/kg q6h untuk 4 hari) 15-20 menit sebelum dosis pertama antibiotika.2,5

Lebih dari 50 tahun atau dewasa dengan penyakit keterbatasan atau alkoholisme, mikroorganisme sering S pneumoniae, coliforms, H Listeria species, Pseudomonas aeruginosa, dan N meningitidis.

influenzae,

Penanganan primer dengan prevalensi DRSP >2% apakah dengan cefotaxime (2 g IV q4h) atau ceftriaxone (2 g IV q12h) plus vancomycin (750-1000 mg IV q12h atau 10-15 mg/kg IV q12h). Jika pewarnaan gram CSF memperlihatkan basil gram negative, gunakan ceftazidime (2 g IV g8h). Pada area prevalensi DRSP, gunakan cefotaxime (2 g IV q4h) atau ceftriaxone (2 g IV q12h) plus ampicillin (50 mg/kg IV q6h). Pilihan penanganan lain termasuk meropenem, TMP/SMX, dan doxycycline. Data terbatasu untuk penggunaan deksametason, di negara berkembang bila diduga S pneumoniae dan untuk dugaan TB atau fungi. Dosis awal dexamethasone (0.4 mg/kg q12h IV untuk 2 hari atau 0.15 mg/kg q6h untuk 4 hari) 15-20 menit sebelum dosis antibiotik pertama.1,2,5

Pasien trauma trauma atau neurosurgery microorganism S pneumoniae, Staphylococcus aureus, coliforms, dan P aeruginosa.

Penanganan primer vancomycin (1 g IV q12h) plus ceftazidime (2 g IV q8h). Alternatif meropenem (1 g IV q8h).

Profilaksis pasien dengan dugaan N meningitidis


o

Rifampin (pediatri: anak <1 style=""> >1 mo - 10 mg/kg q12h; dewasa: 600 mg PO bid) for 4 doses Alternatif- Ciprofloxacin (dewasa) 500 mg PO dosis tunggal atau ceftriaxone (<15>15 y: 250 mg) IM dosis tunggal.2

Prognosis 2

Pasien-pasien dengan meningitis virus biasanya prognosisnya baik untuk pemulihan Prognosis buruk pada pasien dengan umur ekstrim (yaitu, <2>60 tahun) dan mereka dengan komorbiditas signifikan dan imunodefisiensi.

Pasien yang menunjukkan gangguan level perkembangan neurologic sequelae atau kematian.

kesadaran,

meningkatkan

resiko

Kejang selama episode meningitis juga menjadi faktor resiko mortalitas atau neurologic sequelae.

Meningitis bacterial akut adalah kondisi medis darurat dan keterlambatan memulai terapi antimikroba yang efektif meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Adanya peositas level rendah (<20> Meningitis yang disebabkan oleh S pneumoniae, L monocytogenes, dan basil gram negatif memiliki tingkat fatalitas lebih tinggi dibandingkan dengan meningitis yang disebabkan oelh bakteri lain. Prognosis meningitis yang disebabkan oleh pathogen oportunistik, tergantung pada pathogen oportunistik, juga tergantung pada fungsi imun yang mendasari tuan rumah.

Anda mungkin juga menyukai