Anda di halaman 1dari 18

Menurut Anonim (2007), bioetanol dapat diproduksi dari berbagai bahan baku yang banyak terdapat di Indonesia, seperti

singkong, tebu, aren, dan jagung. kegiatan ini merupakan solusi dalam peningkatan produksi campuran bahan bakar yang ramah lingkungan. Bioetanol adalah etanol (alkohol) yang diproduksi dari makhluk hidup dengan bantuan makhluk hidup. Bahan-bahan yang mungkin digunakan sebagai penghasil bioetanol biasanya mengandung karbohidrat, seperti pati sagu, jagung dan bongkolnya, singkong, rumput laut dan limbahnya. Ada beberapa riset yang berkaitan dengan bioetanol. Ada yang membuat bioetanol dari pati sagu, jagung, ada yang membuat dari tongkol jagung, dan ada yang membuat dari limbah rumput laut (Luthfi, 2008). Bioetanol merupakan salah satu contoh energi alternatif dalam kategori biofuel, yang artinya bahan bakar alami yang bahan bakunya berasal dari alam, terutama dari tumbuhtumbuhan dan juga hewan yang merupakan jenis sumber daya alam yang renewable. Contoh biofuel yang lain adalah biodiesel yang merupakan bahan bakar minyak yang berasal dari minyak tumbuhan seperti jarak, kelapa sawit, dan kelapa dan biomassa yang merupakan hasil pemanfaatan limbah ternak (kotoran ternak) dengan menggunakan mikroba untuk menghasilkan sumber energi. Bioetanol merupakan etanol (golongan alkohol) yang diproduksi dari bahan alami, terutama dari tumbuhan. Bahan baku yang biasa digunakan untuk memproduksi bioetanol antara lain tetes tebu (molases) yang merupakan by product dari industri gula; gula merah; singkong, ubi jalar, dan kelompok pati-patian lainnya. Bahan-bahan baku ini kemudian difermentasi dengan mikroba seperti Saccharomyces cereviseae dan mikroba penghasil etanol lainnya dan berperan sebagai substrat untuk pertumbuhan mikroba. Dari proses fermentasi tersebut dihasilkan etanol sebagai salah satu produknya. Produk etanol inilah yang paling diperhatikan dalam produksi bioetanol, selain pertumbuhan mikroba penghasilnya. Produk etanol yang dihasilkan dari proses fermentasi ini tentu saja masih tercampur dengan produk lainnya, air, biomassa, dan juga substrat yang masih tersisa. Untuk memisahkannya, diperlukan berbagai teknik pemisahan. Untuk memisahkan antara cairan dan padatan digunakan teknik penyaringan (filtrasi). Untuk memisahkan etanol dari komponen cair lainnya digunakan teknik distilasi (penyulingan) dengan memanfaatkan perbedaan titik uap antara etanol dan komponen-komponen cair lainnya. Dengan distilasi ini dapat dihasilkan etanol

yang lebih murni, walaupun tidak 100% murni. Untuk memurnikan lagi bioetanol yang dihasilkan tentu saja diperlukan teknik-teknik pemurnian tertentu. Tinggi rendahnya alkohol ditentukan oleh aktifitas khamir dengan substrat gula yang terfermentasi. Menurut Fessenden dan Fessenden (1997), dari satu molekul glukosa akan terbentuk dua molekul alkohol dan karbondioksida. Namun konsentrasi glukosa yang terlalu tinggi akan menghambat pembentukan alkohol, sebab glukosa dengan kadar yang tinggi menyebabkan pertumbuhan khamir terhambat sehingga kadar alkohol yang dihasilkan sedikit. Alkohol adalah senyawa hidrokarbon berupa gugus hydroxyl (-OH). Jenis alkohol yang banyak digunakan adalah metil alkohol (metanol), etil alkohol (etanol) dan iso propil alkohol atau propanol-2. Dalam dunia perdagangan yang disebut alkohol adalah etanol atau etil alkohol dengan rumus kimia C2H5OH. Industri pemakai etanol di antaranya industri kimia, industri farmasi, industri rokok kretek, industri kosmetika, industri tinta dan percetakan, dan industri meubel. Etanol dikategorikan dalam dua kelompok utama, yaitu sebagai berikut : 1. Etanol 95-96% v/v, disebut etanol berhidrat, yang dibagi menjadi tiga kelas, yaitu : a. Technical/raw spirit grade, digunakan untuk bahan bakar spiritus, minuman, desinfektan dan pelarut; b. Industrial grade, digunakan untuk bahan baku industri dan pelarut; c. Potable grade, untuk minuman berkualitas tinggi. 2. Etanol >99,5% v/v, digunakan untuk bahan bakar. Jika dimurnikan lebih lanjut dapat digunakan untuk keperluan farmasi dan pelarut di laboratorium analisis. Etanol ini disebut fuel grade ethanol (FGE) atau anhydrous ethanol (etanol anhidrat) atau etanol kering, yakni etanol yang bebas air atau hanya mengandung air minimal (Prihandana et al., 2007). Bioetanol direkayasa dari biomassa (tanaman) melalui proses biologi (enzimatik dan fermentasi). Bahan baku bioetanol sebagai berikut : 1. Bahan berpati, berupa singkong atau ubi kayu, ubi jalar, tepung sagu, biji jagung, biji sorgum, gandum, kentang, ganyong, garut, umbi dahlia dan lain-lain. 2. Bahan bergula, berupa molases (tetes tebu), nira tebu, nira kelapa, nira batang sorgum manis, nira aren (enau), nira nipah, gewang, nira lontar dan lain-lain. 3. Bahan berselulosa, berupa limbah logging, limbah pertanian seperti jerami padi, ampas tebu, janggel (tongkol) jagung, onggok (limbah tapioka), batang pisang, serbuk gergaji (grajen) dan lain-lain (Prihandana et al., 2007).

Pada praktikum kali ini, bioetanol yang dihasilkan dari bahan samping industry gula yaitu molasses. Molases adalah sejenis sirup yang merupakan sisa dari proses pengkristalan gula pasir. Molase tidak dapat dikristalkan karena mengandung glukosa dan fruktosa yang sulit untuk dikristalkan. Tetes tebu merupakan produk samping dari pabrik tebu yang memiliki kadar gula sangat tinggi (>50%). Molasse mengandung gula sederhana (glukosa dan fruktosa), yang mudah teruraikan oleh yeast menjadi bioetanol pada proses fermentasi, sehingga molasse berpotensi tinggi sebagai bahan baku produksi bioetanol. Tetes atau molasses didefinisikan sebagai residu sirup, merupakan hasil akhir yang didapat pada pembuatan gula dengan kristalisasi berulang, dimana sukrosa yang ada sudah tidak dapat dikristalkan lagi. Di Indonesia, sebagian besar tetes/tetes dihasilkan dari pabrik-pabrik gula yang tersebar di berbagai wilayah. Tetes yang berasal dari pabrik gula keadaannya masih demikian pekatnya dan juga kotoran-kotoran yang cukup banyak sehingga dengan keadaan yang sangat kental ini sulit dibersihkan kotoran-kotoran yang ada. Oleh karena itu, sebelum tetes ini digunakan maka tetes perlu diencerkan terlebih dahulu. Kualitas tetes terutama ditentukan olah kadar gulanya. Komposisi tetes berbeda-beda, tergantung dari daerah asal, jenis tebu, sifat tanah, dan iklim di mana tebu ditanam serta cara pengolahannya. Menurut Paturau (1969), karakteristik dari tetes adalah sebagai berikut: -1,49

antara 90-95 oBrix Dalam pembuatan bioetanol ini digunakan bakteri yaitu Saccharomyces cerevisiae. Saccharomyces cerevisiae merupakan salah satu spesies khamir yang memiliki daya konversi gula menjadi etanol sangat tinggi. Mikroba ini biasanya dikenal dengan bakers yeast dan metabolismenya telah dipelajari dengan baik. Produk metabolik utama adalah etanol, CO2 dan air sedangkan beberapa produk lain dihasilkan dalam jumlah sangat sedikit. Khamir ini bersifat fakultatif anaerobik. Saccharomyces cerevisiae memerlukan suhu 30oC dan pH 4,0-4,6 agar dapat tumbuh dengan baik. Selama proses fermentasi akan timbul panas, apabila tidak dilakukan pendinginan, suhu akan makin meningkat sehingga proses fermentasi terhambat (Oura, 1983).

Khamir tumbuh optimum pada suhu 25-30oC dan maksimum pada 35-47oC (Frazier dan Westhoff, 1978). Nilai pH untuk pertumbuhan khamir yang baik antara 3-6. Perubahan pH dapat mempengaruhi pembentukan hasil samping fermentasi. Pada pH tinggi maka konsentrasi gliserin akan naik dan juga berkorelasi positif antara pH dan pembentukan asam piruvat. Pada pH tinggi maka lag phase akan berkurang dan aktivitas fermentasi akan naik (Prescott dan Dunn, 1959). Pertumbuhan mikroba di dalam suatu kultur mempunyai kurva seperti terlihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Kurva Pertumbuhan Mikroba (Stanburry dan Whitaker, 1984). Saccharomyces cerevisiae mempunyai lapisan dinding luar yang terdiri dari polisakarida kompleks dan di bawahnya terletak membran sel. Sitoplasma mengandung suatu inti yang bebas (discrete nucleus) dan bagian yang berisi sejumlah besar cairan yang disebut vakuola (Buckle, 1987). Dibawah ini adalah taksonomi Saccharomyces cerevisiae, yaitu : Kingdom : Fungi Division : Ascomycota Class : Ascomycetes

Ordo : Saccharomycetales Familia : Saccharomycetaceae Genus : Saccharomyces Species : Saccharomyces cerevisiae Khamir merupakan organisme yang bersifat saprofitik terdapat pada daun-daun, bungabunga dan eksudat pada tanaman. Sedangkan Saccharomyces cerevisiae secara alami terdapat pada beras maupun jenis serelia lain dan pada kulit anggur. Yeast dapat tumbuh dalam media sederhana yang mengandung karbohidrat yang dapat terfermentasi sebagai penyedia energi dan sumber karbon untuk biosintesis, protein yang cukup untuk sintesis protein, garam mineral, dan faktor tumbuh lainnya. (Buckle, 1987).

Ketersediaan molekul oksigen juga diperlukan walaupun ada beberapa strain seperti Saccharomyces cerivisiae yang mutlak tidak membutuhkan oksigen (Umbreit, 1959). Karbohidrat sebagai sumber karbon dapat berupa monosakarida seperti D-glukosa, D-manosa, D-fruktosa, D-galaktosa, dan gula pentosa jenis D-xylulase (Umbreit, 1959). Selain monosakarida, disakarida (seperti sukrosa dan maltosa) dan trisakarida (seperti maltotriose dan raffinose) juga dapat difermentasi. Substrat yang mengandung glukosa, fruktosa, dan sukrosa secara cepat akan digunakan oleh yeast pada tahap awal fermentasi. Sukrosa dihidrolisa oleh enzim invertase yang berada di luar membran sel dan dibatasi dinding sel. Sedangkan glukosa dan fruktosa yang ada akan ditransport ke dalam sel. Fermentasi adalah suatu proses perubahan kimia pada substrat organik, baik karbohidrat, protein, lemak atau lainnya melalui kegiatan katalis biokimia yang dikenal sebagai enzim dan dihasilkan oleh jenis mikroba spesifik (Prescott dan Dunn, 1959). Bioetanol diperoleh dari hasil fermentasi bahan yang mengandung gula. Tahap inti produksi bioetanol adalah fermentasi gula, baik yang berupa glukosa, sukrosa, maupun fruktosa oleh ragi (yeast) terutama Saccharomyces sp. atau bakteri Zymomonas mobilis. Fermentasi alkohol merupakan proses pembuatan alkohol dengan memanfaatkan aktivitas yeast. Proses fermentasi adalah anaerob, yaitu mengubah glukosa menjadi alkohol, tetapi dalam pembuatan starter dibutuhkan suasana aerob dimana oksigen diperlukan untuk pembiakan sel. Reaksinya adalah sebagai berikut : a. pemecahan glukosa dalam suasana aerob C6H12O6 + 6O2 6CO2 + H2O b. Pemecahan glukosa secara anaerob C6H12O6 2C2H5OH + 2CO2 Proses pemecahan glukosa dengan bantuan yeast termasuk salah satu proses enzimatik karena yeast ini menghasilkan enzyme dan secara sederhana dapat dirumuskan sebagai berikut : C6H12O6 2C2H5OH + 2CO2 + 2ATP + 57kCal Bila biakan yang digunakan terlalu muda atau waktu inkubasi terlalu singkat, ada kemungkinan biakan tersebut masih dalam fase adaptasi, sehingga pertumbuhan belum optimal, tetapi apabila waktu inkubasi terlalu lama kemungkinan biakan telah mencapai fase stasioner, oleh karena itu biakan yang paling baik berada pada fase log yaitu fase pertumbuhan yang paling optimal.

Saccharomycess cereviseae merupakan mikroba yang bersifat fakultatif, ini berarti mikroba tersebut memiliki 2 mekanisme dalam mendapatkan energinya. Jika ada udara, tenaga di peroleh dari respirasi aerob dan jika tidak ada udara tenaga di peroleh dari respirasi anaerob. Tenaga yang diperoleh dari respirasi aerob digunakan untuk pertumbuhan dan perkembangan sel sehingga praktis tidak ada kenaikan jumlah alkohol. Selama proses fermentasi, mikroorganisme mengalami pertumbuhan yang ditandai dengan semakin banyaknya jumlah biomassa. Pertumbuhan mikroorganisme dapat dibagi menjadi beberapa tahap, yaitu fase lag, fase log (eksponensial), fase stasioner dan fase kematian. Komposisi substrat merupakan faktor penting yang sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan mikroorganisme. Pada fase lag, mikroorganisme mulai beradaptasi dengan nutrisi dan lingkungan yang tersedia. Pada fase log, mikroorganisme banyak tumbuh dan membelah diri sehingga jumlahnya meningkat dengan cepat. Pada fase stasioner tingkat pertumbuhan telah berkurang. Pertumbuhan mikroorganisme tidak diimbangi dengan nutrisi yang cukup. Fase kematian terjadi apabila nutrisi sudah tidak dapat lagi mencukupi kebutuhan. Fase ini juga dapat terjadi karena adanya inhibitor yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba. Mikroorganisme memerlukan media yang mengandung nutrisi tertentu untuk tumbuh. Mikroorganisme yang ditumbuhkan pada media baru pada umumnya tidak segera berkembang, tetapi memerlukan waktu penyesuaian. Jika faktor lingkungan memungkinkan, maka mikroorganisme akan berkembang dengan kecepatan lambat, kemudian meningkat menjadi cepat Syarat-syarat yang dipergunakan dalam memilih ragi untuk fermentasi, adalah : cepat berkembang biak, tahan terhadap alkohol tinggi, tahan terhadap suhu tinggi,mempunyai sifat yang stabil, cepat mengadakan adaptasi terhadap media yang difermentasikan. Faktor-faktor yang mempengaruhi fermentasi a. Nutrisi (zat gizi) Dalam kegiatannya ragi memerlukan penambahan nutrisi untuk pertumbuhan dan perkembangbiakan, misalnya : Unsur C : ada pada karbohidrat Unsur N : dengan penambahan pupuk yang mengandung nitrogen, ZA, Urea. Unsur P : penambahan pupuk fospat dari NPK, TSP, DSp dll b. Keasaman (pH)

Untuk fermentasi alkohol, ragi memerlukan media suasana asam, yaitu antara pH 4 5. Pengaturan pH dilakukan penambahan asam sulfat jika substratnya alkalis atau natrium bikarbonat jika substratnya asam. c. Temperatur Temperature optimum untuk dan pengembangbiakan adalah 27 30 C pada waktu fermentasi, terjadi kenaikan panas karena ekstrem. Untuk mencegah agar suhu fermentasi tidak naik, perlu pendinginan supaya suhu dipertahankan tetap 27 - 30 C. d.Volume starter Pada umumnya volume starter yang digunakan sekitar 5% dari volume larutan fermentasi. Hal ini dikarenakan pada volume starter yang lebih kecil dari 5% maka kecepatan fermentasi kecil, sedangkan pada volume starter yang lebih besar dari 5% kektifan yeast berkurang karena alkohol yang terbentuk pada awal fermentasi sangat banyak sehingga fermentasi lebih lama dan banyak glukosa yang tidak terfermentasikan. e. Udara Fermentasi alkohol berlangsung secara anaerobik (tanpa udara). Namun demikian, udara diperlukan pada proses pembibitan sebelum fermentasi, untuk pengembangbiakan ragi sel. Untuk memproduksi etanol dari molasses yang melibatkan mikroorganisme
0 0

Saccharomyces cereviseae pada praktikum ini menggunakan 2 teknik yaitu teknik sel bebas dan teknik imobil. Sel bebas merupakan sel dengan menggunakan kultur terendam sedangkan sel imobil yaitu sel yang terperangkap dalam suatu membrane ataupun matriks. Bahan matriks yang sering digunkan adalah alginate dan nitroselulosa. Sel imobil memiliki kelebihan dibandingkan dengan sel bebas yaitu dapat meningkatkan konsentrasi dan produktivitas sel (Anonim, 2011). Selain itu terlindungnya sel dari kondisi lingkungan yang tidak menguntungkan (suhu, pH, pelarut organic, dan racun), proses separasi menjadi lebih mudah dan cepat, tingkat stabilitas operasionalnya lebih tinggi serta memungkinkan dilaksanakannya proses kontinyu dengan tingkat densitas sel dan kecepatan dilusi yang tinggi (Mardliyati, 2007). Proses fermentasi konvensional yang umumnya dijalankan adalah dengan proses batch. Fermentasi ini mempunyai kendala bahwa konsentrasi etanol yang dihasilkan sangat rendah karena produksi etanol yang terakumulasi akan meracuni mikroorganisme pada proses fermentasi. Akumulasi dari produk terlarut yang bersifat racun akan menurunkan secara perlahan-lahan dan bahkan dapat menghentikan pertumbuhan serta produksi dari

mikroorganisme. (Minier dan Goma, 1982). Untuk mencari solusi terhadap kelemahan tersebut, maka pada produksi etanol dari molases ini dilakukan proses fermentasi secara kontinyu dalam bioreaktor packed bed menggunakan teknik immobilized cell dengan K-Karaginan sebagai supporting matrice. Teknik immobilisasi sel dapat digambarkan sebagai pembatasan gerak fisik atau lokalisasi dari sel pada suatu wilayah ruang dengan preservasi aktivitas katalis yang diinginkan. Keunggulan Teknik immobilisasi sel yaitu dapat meningkatkan produktivitas volumetrik, meningkatkan konsentrasi produk dalam aliran keluaran dan mencegah terjadinya wash out pada aliran keluar produk (Mardliyati, 2007).Dalam praktikum kali ini digunakan metode immobilisasi penjebakan dalam matriks berpori (entrapment in porous matrix) yang dilakukan dengan menggunakan K Karaginan, sebagai supporting matrice. Perbedaan ini disebabkan pada proses kontinyu terdapat immobilisasi sel K-Karaginan dimana bead yang menjebak bakteri membuat gradien glukosa, kemudian mengikuti konsentrasi glukosa yang lebih rendah yang akan menjadi noninhibitor. (Baros dkk, 1986). Sedangkan pada fermentasi secara batch bakteri Saccharomyces cereviseae dalam keadaan bebas (free cells) menyebabkan terjadinya plasmolisis, terlepasnya membran plasma dari dinding sel ke lingkungannya, serta sifat substrat yang inhibitor terhadap sel yang menyebabkan rate fermentasi turun. (Goksungur dan Zorlu, 2001) Teknologi immobilisasi memegang peranan penting dalam perkembangan proses biokimia dalam suatu bioreaktor. Sel yang mengalami immobilisasi (immoblized mivrobial cells) telah banyak diterapkan dalam fermentasi misalnya produksi alkohol, asam amino, antibiotik atau pada degradasi polutan limbah cair. Immobilisasi sel adalah suatu proses untuk menghentikan pergerakan dari molekul sel atau enzim dengan menahannya pada suatu matriks. Immobilisasi sel mampu mengurangi pengaruh substrat inhibitor yang meracuni sel pada proses fermentasi. Kelebihan immobilisasi sel dibandingkan dengan sel bebas (free cells) adalah 1. Menlindungi sel dari kondisi buruk lingkungan sekitar (suhu, pH, pelarut organik, racun). 2. Proses separasi menjadi lebih mudah dan cepat. 3. Meningkatkan produktifitas sel karena dapat digunakan berulang kali 4. Memudahkan pemisahan antara sel dengan produk. 5. Mempertahankan stabilitas sel.

Teknik immobilisasi sel meliputi penempelan (attachment), penggumpalan (aggregration), panangkapan (entrapment) dan peyalutan/enkapsulasi (encapsulation). Jenis matrik yang dugunakan ada yang bersifat sintetis seperti poliakrilamid dan poliuretan. Matrik sintesis ini mudah dan cepat serta tahan lama tetapi bersifat karsinogenik sehingga jarang digunakan untuk produksi metabolit pangan. Jenis matrik alami seperti alginat, karaginan dan agar lebih aman dan murah. Proses distilasi adalah proses untuk menguapkan dan memisahkan komponen etanol dari cairan hasil fermentasi (umumnya mempunyai kadar alkohol 810% v/v) sehingga diperoleh produk etanol dengan konsentrasi 9596% v/v, yaitu kondisi di mana komponen etanolair mencapai titik azeotrop. Proses distilasi yang banyak digunakan adalah multi pressure distillation yang lebih hemat energi dibandingkan proses distilasi dengan tekanan atmosphere (Supriyanto 2003). Pada praktikum ini alat pengukuran yang digunakan adalah hydrometer atau sering juga disebut sebagai alkohol meter. Alat ini juga sering digunakan dalam industri minuman keras (bir atau wine). Prinsip kerja alat tersebut adalah berdasarkan berat jenis campuran antara alkohol dengan air (Isroi, 2008). Pengujian ini menguhubungkan antara kadar etanol dengan waktu fermentasi untuk menghasilkan bioetanol. Dari hasil praktikum kali ini, pada hari pertama sel imobil persentase 3.5. produksi kadar etanol yang dihasilkan sel imobil lebih tinggi dibandingkan oleh sel bebas. Untuk sel imobil setiap harinya meningkat sampai kadar etanol 8 %. untuk sel bebas terjadi penurunan kadar etanol pada hari ke 4 sedangkan pada hari ke 5 terjadi peningkatkan kadar etanol yang signifikan yaitu 8. Untuk sel Imobil terlihat fase eksponensial pada hari pertama sampai hari ke 4 sedangkan untuk hari ke lima telah terjadi fase statasioner dimana kadar etanol yang dihasilkan sama pada hari ke 4. Pada fase log, mikroorganisme banyak tumbuh dan membelah diri sehingga jumlahnya meningkat dengan cepat. Oleh karena itu produksi etanol yang dihasilkan juga meningkat seiring substrat yang digunakan untuk pertumbuhan mikroba. Pada fase stasioner tingkat pertumbuhan telah berkurang. Pertumbuhan mikroorganisme tidak diimbangi dengan nutrisi yang cukup. Nutrisi yang ada mulai berkurang seiring lamanya waktu fermentasi dan jumlah mikroba yang banyak tidak mendapatkan nutrisi yang cukup untuk tumbuh sehingga produksi etanol tetap. Produk samping tersebut berupa asam asetat yang terbentuk dari etanol yang mengalami reaksi lanjut. Produk samping ini mempengaruhi lingkungan pertumbuhan

bakteri sehingga suasana menjadi tambah asam dan jika sudah melebihi pH yang dapat ditolerir, bakteri tersebut dapat mati. Sedangkan pada sel bebas terjadi data yang menyimpang, seharusnya pada hari ke 4 terjadi peningkatan kadar etanol dari hari sebelumnya. Hal ini terjadi karena kesalahan pembacaan pengukuran kadar etanol yang dilakukan oleh praktikan sendiri, karena dalam pembacaan pengukuran tersebut bisa terjadi kesalahan paralaks. Dari hasil penelitian didapat bahwa semakin lama waktu fermentasi, jumlah kadar etanol yang didapat juga semakin besar. Hal ini dikarenakan pada proses fermentasi terjadi pengurangan glukosa sebagai substrat. Glukosa digunakan sebagai makanan untuk pertumbuhan mikroba dan pembentukan etanol sebagai produk fermentasi. Semakin besar jumlah pengurangan glukosa maka etanol yang terbentuk pun semakin banyak, sehingga kadar (% v/v) dari etanol pun semakin besar. Dari hasil pengamatan dapat kita lihat perbedaan produksi etanol menggunakan sel bebas dan sel imobil. Kadar etanol yang didapat lebih banyak menggunakan sel imobil Saccharomyces cereviseae. Hal ini dikarenakan hasil yang diperoleh memang lebih baik menggunakan sel imobil. Sel imobil mempunyai kelebihan melindungi sel dari kondisi buruk lingkungan sekitar (suhu, pH, pelarut organik, racun), mempertahankan stabilitas sel sehingga dengan kelebihan yang dimiliki sel imobil lebih tahan menghadapi lingkungan yang berubah-ubah dan oleh karena itu lebih banyak sel yang bertahan dan memproduksi lebih banyak etanol disbanding sel bebas.

pH Derajat keasaman (pH) sistem merupakan faktor penting yang mempengaruhi kehidupan yeast. Variasi pH dilakukan untuk menemukan kondisi optimum pH dimana yeast tumbuh dan beraktivitas optimal sehingga etanol yang dihasilkan tinggi. Penambahan asam kuat konsentrasi rendah juga dapat meningkatkan kuntitas etanol yang dihasilkan karena ion H+ pada asam kuat dapat memutuskan ikatan glikosid pada selulosa. Kemasaman optimum fermentasi etanol menggunakan S. cerevisiae ialah 5.0 (Wada, et al. 1980). Derajat keasaman (pH) merupakan salah satu parameter yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme dan proses fermentasi. Penurunan pH disebabkan karena aktivitas mikroorganisme dalam reaktor pada proses

fermentasi sedangkan naiknya pH terjadi bahwa sebagian besar bahan-bahan organik merupakan senyawa protein yang menghasilkan amonium dan melepas OH sebagai hasil dekomposisinya. Menurut Roukas (1996), kenaikan konsentrasi substrat akan menaikkan perolehan etanol, namun tetap saja ada batas maksimal konsentrasi substrat untuk proses fermentasi etanol. penurunan produksi etanol pada konsentrasi gula berlebih merupakan efek dari inhibisi subtrat. Konsentrai subtrat yang tinggi akan mengurangi jumlah oksigen terlarut. Dalam proses fermentasi ini, oksigen tetap dibutuhkan walaupun dalam jumlah yang sedikit. Saccharomyces cereviseae membutuhkan oksigen untuk mempertahankan kehidupan dan menjaga konsentrasi sel tetap tinggi. Menurut Griffin (1981), penggunaan ammonium dapat menyebabkan asidifikasi dalam media. Perubahan pH dapat terjadi karena penglepasan H+ selama konsumsi NH4+ dan penggunaan asam amino sebagai sumber nitrogen. Penurunan nilai pH dapat juga disebabkan oleh akumulasi produk samping berupa asam-asam organik hasil metabolisme karbohidrat (Embden Meyerhof-Parnas Pathway) (Neway, 1989). pH dari media sangat mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme. Setiap mikroorganisme mempunyai pH minimal, maksimal, dan optimal untuk pertumbuhannya. Untuk yeast, pH optimal untuk pertumbuhannya ialah berkisar antara 4,0 sampai 4,5. Pada pH 3,0 atau lebih rendah lagi fermentasi alkohol akan berjalan dengan lambat (Volk, 1993). Dari hasil praktikum didapatkan bahwa nilai pH sel imobil semakin lama waktu fermentasi semakin rendah pH-nya atau bertambah asam. Walaupun pada hari ke-2,3,4 tidak mengalami perubahan yaitu pH 4,8. Perubahan pH yang terjadi tidak berbeda jauh, hanya berkisar 0,1-0,2, hal ini dikarenakan pengaruh asam yang dihasilkan dari produksi etanol ini tidak begitu memberikan pengaruh perubahan pH. Nilai pH yang didapat memang cocok untuk pertumbuhan Saccharomyces cereviseae, pH-nya berkisar 4-5, hal ini sesuai dengan literature. Hasil samping yang didapat berupa asam asetat tidak terlalu mempengaruhi perubahan pH yang ada. Sedangkan pH yang didapatkan dari fermentasi dengan sel bebas tidak stabil yaitu naik turun. Hal ini dikarenakan terjadi kesalahan prosedur yang mempengaruhi atau adanya kontaminasi yang mempengaruhi perhitungan pH pada saat pengukuran pH. Dapat dilihat nilai pH semakin menurun seiring lamanya fermentasi karena adanya pengaruh hasil samping yaitu asam asetat. Penurunan pH disebabkan karena aktivitas mikroorganisme dalam erlenmeyer pada proses fermentasi.
-

Nilai pH yang didapat antara nilai pH sel imobil dan sel bebas tidak berbeda. Hal ini dapat dikatakan sel yang digunakan tidak mempengaruhi pH yang dihasilkan karena nilai pH didapatkan dari nilai pH larutan tanpa pengaruh dari sel. Akan tetapi jika dibandingkan pengaruh pH terhadap aktivitas organisme maka semakin rendah nilai pH maka akan semakin berkurang ketahanan sel untuk hidup, sayangnya hal ini tidak dihubungkan. Tetapi jika dilihat dari criteria sel imobil dan sel bebas, sel imobil lebih tahan terhadap lingkungan yang ada karena memang diberi suatu ruang yang dapat memberikan pertahanan pada lingkungan yang buruk sehingga sel menjadi lebih tahan untuk hidup dan tumbuh.

Lehninger, A. 1982. Dasar-Dasar Biokimia jilid 2. Erlangga: Jakarta Supriyanto. 2003. Kinerja Unit Distilasi Pilot Plant Etanol di UPT-EPG, Sulusuban. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia, Vol 5: 331342. [6]. Lee, Sunggyu. Alternative Fuels. Taylor & Francis Publisher. 1996. [7]. Qian xiang, Y. Y. Lee, Par o. Petterson, and Robert W. Torget. Heterogeneous Aspect of Acid Hydrolysis of -Cellulose. [1] Goksungur, Y. and N. Zorlu,.2001.Production of Ethanol From Beet Molasses by CaAlginate Immobilized Yeast Cells in a Packed-Bed Bioreactor. Turk J. Biol., 25, page 265-275. Turkey. [2] Grote, W. ,K.J Lee dan P.L Rogers. 1980. Continuous Ethanol Production By Immobilized Sels of Zymomonas Mobilis, Biotechnology Letters vol 11, hal 481-486. [3] Margaritis,A., P.K. Bajpai dan J. Wallace.1981.High Ethanol Productivities using Small CaAlginate Bead of Immobilized Sels of Zymomonas Mobilis. Biotechnology Letters. vol 3 no 11 hal 613 618. [4] Minier, M, and Goma, G.1982).Etanol Production by Extractive Fermentation.J Biotechnology and Bioengineering, 34, hal 1565-1579. [5] Paturau, J, M.1982.By Product of Cane Sugar Industry. Elsevier Scientific Publishing Company, Amsterdam Oxford New York. Akyuni, D. 2004. Pemanfaatan Pati Sagu (Metroxylon sp.) Untuk Pembuatan Sirup Glukosa -amilase dan Amiloglukosidase. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor. Anonim. 2000. Fermentasi. http://free.vlsm.org. [18 Januari 2008] Anonim. 2007. Indonesia Sia-siakan Tiga Juta Ton Bioetanol per Tahun.

http://agribisnis.deptan.go.id. [14 Desember 2007] Anonim. 2008. Metroxylon sagu Rottboell. http://www.kehati.or.id. [18 Januari 2008]. Anonim. 2008. Harga Minyak di Perdagangan Asia Turun. http://www.kapanlagi.com/2008/01. [28 Januari 2008] AOAC. 1995. Official Method of Analysis of The Association of Official Analytical Chemistry, Washington DC.

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi. 2006. Sagu, Potensial Perkaya Keragaman Pangan. http://www.bppt.go.id/2006/01/04. [18 Januari 2008] Bailey, J. E., dan D. F. Ollis. 1988. Dasar-dasar Rekayasa Biokimia. Terjemahan. Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia, 2007. Tanaman Sagu sebagai Sumber Energi Alternatif. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vol. 29, no. 4, 2007. Berghmans, E. 1981. Starch Hydrolysates. Di dalam Hartoto, L., Ani Suryani dan Erliza Hambali. 2005. Rekayasa Proses Produksi Asam Polilaktat (PLA) dari Pati Sagu sebagai Bahan Baku Utama Plastik Biodegradable. Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Brautlecht, C. A. 1953. Starch its Sources, Production and Uses. Di dalam Haryanto, Bambang dan Philipus Pangloli (eds). Potensi dan Pemanfaatan Sagu. Kanisius, Yogyakarta. Budiyanto, A., P. Martosuyono, dan N. Richana. 2006. Optimasi Proses Produksi Tepung Gula Kasava dari Pati Ubikayu Skala Laboratorium. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Bogor. Campbell, I. 1999. Systematics of Yeast. Di dalam Priest, F. G. dan Campbell, I. Editor. 1999. Brewing Microbiology Second Edition. Aspen Publishers, Gaithersburg. 41

Chaplin, M. F. dan Buckle. 1990. Enzym Technology. Cambridge University Press, New York. Djoefrie, Mochamad Hasjim Bintoro. 1999. Pemberdayaan Tanaman Sagu Sebagai Penghasil Bahan Pangan Alternatif dan Bahan Baku Agroindustri yang Potensial dalam Rangka Ketahanan Pangan Nasional. Fakultas Pertanian, IPB, Bogor. Fardiaz, Srikandi. 1988. Fisiologi Fermentasi. Pusat Antar Universitas, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Flach.1983. Yield Potential of the Sagopalm, Metroxylon sago and its Realisation. Di dalam Haryanto, Bambang dan Philipus Pangloli (eds). Potensi dan Pemanfaatan Sagu. Kanisius, Yogyakarta. Frazier dan Westhoff. 1978. Food Microbiology (ed) 4th. McGraw- Hill Book Publ. Co. Ltd., New York. Griffin, D. H. 1981. Fungal Physiology. John Wiley and Sons, New York. Hambali, E., S. Mujdalipah, A. H. Tambunan, A. W. Pattiwiri dan R. Hendroko. 2007. Teknologi Bioenergi. Agromedia, Jakarta. Hartoto, L., Ani Suryani dan Erliza Hambali. 2005. Rekayasa Proses Produksi Asam Polilaktat (PLA) dari Pati Sagu sebagai Bahan Baku Utama Plastik Biodegradable. Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat, IPB, Bogor. Haryanto, Bambang dan Philipus Pangloli. 1992. Potensi dan Pemanfaatan Sagu. Kanisius, Yogyakarta. Hidayat, Achmad N. 2006. Produksi Bioetanol. http://www.migas-indonesia.com. [14 Desember 2007]. Kasi dan Sumaryono. 2006. Keragaman Morfologi Selama Perkembangan Embrio Somatik Sagu (Metroxylon sagu Rottb.). Jurnal. Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia. Menara Perkebunan, 2006, 74(1), 44-52. Kulp, K. 1975. Carbohydrates. Di dalam G. Reed. Enzyme in Food Processing. Academic Press, New York. Marsudi, Bagus dan Aprillia Ika. 2006. Ragu Menanam Sagu. http://www.kontanonline.com/2006/11/6. [ 14 Desember 2007] Meyer. 1978. Food Chemistry. Reinhold Publ. Corp., New York. 42

Neway, D. R. 1989. Fermentation Process Development of Industrial Organisms. Mercel Dekker, New York. Nikolov, Z. L. dan P. J. Reilly. 1991. Enzymatic Depolimerization of Starch. Di dalam Suyandra, I. D. 2007. Pemanfaatan Hidrolisat Pati Sagu (Metraxylon sp.) sebagai Sumber Karbon pada Fermentasi Etanol Oleh Saccharomyces cerevisiae. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian IPB, Bogor. Notohadiprawiro, T. dan Louhenapessy. 1993. Potensi Sagu dalam Penganekaragaman Bahan Pokok Ditinjau dari Persyaratan Lahan. Di dalam Djoefrie, M. H. B. (ed.) Pemberdayaan Tanaman Sagu Sebagai Penghasil Bahan Pangan Alternatif dan Bahan Baku Agroindustri yang Potensial dalam Rangka Ketahanan Pangan Nasional. Fakultas Pertanian. IPB, Bogor. Oura, E. 1983. Reaction Products of Yeast Fermentation. Di dalam H. Dellweg (ed.) Biotechnology Volume III. Academic Press, New York. Pelczar, Michael J. dan Roger D. Reid. 1958. Microbiology. McGraw-Hill Book Company, New York. Presscott, S. G dan C. G. Dunn. 1959. Industrial Microbiology. The AVI Publishing, Company Inc, WestportConnectitut. Prihandana, R., Kartika N., Praptiningsih G., Adinurani, Dwi S., Sigit S. dan Roy H. 2007. Bioetanol Ubi Kayu Bahan Bakar Masa Depan. AgroMedia Pustaka, Jakarta. Prihatman, Kemal. 2000. Sagu. http://www.ristek.go.id/2000/02. [14 Desember 2007] Puspitasari, D. R. 2008. Kinerja Dua Strain Khamir terhadap Produksi Etanol Menggunakan Dekstrin dan Sirup Glukosa dari Ubi Jalar (Ipomoea batatas L.). Skripsi. Jurusan Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Ruddle, K., D. Johnson, P. K. Townsend dan J. D. Rees. 1976. Palm Sago a Tropical Starch From Marginal Lands. The University Press of Hawai, Honolulu. Samad, M. Yusuf. 2002. Meningkatkan Produksi Industri Kecil Sagu Melalui Penerapan Teknologi Ekstraksi Semi Mekanis. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia Vol.4, No.5, (Agustus 2002), hal. 11-17. Humas-BPPT/ANY. Subarna. 1984. Mempelajari Pengaruh Dosis Enzim Alpha-amilase dan Glukoamilase serta Waktu Sakarifikasi terhadap Mutu dan Rendemen Sirup Glukosa dari Pati Sagu. Skripsi. FatetaIPB, Bogor. 43

Suyandra, I. D. 2007. Pemanfaatan Hidrolisat Pati Sagu (Metroxylon sp.) sebagai Sumber Karbon pada Fermentasi Etanol oleh Saccharomyces cerevisiae. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, IPB, Bogor. Tjokroadikoesomo, P. S. 1986. HFS dan Industri Ubi Kayu Lainnya. Gramedia, Jakarta. Wang, D. I. C., C. L. Conney, A. L. Demain, P. Dunhil, A. E. Humprey, dan M. D. Lily. 1979. Fermentation and Enzyme Technology. John Wiley and Sons. New York. Winarno, F. G. 1992. Kimia Pangan dan Gizi. Gramedia, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai