Anda di halaman 1dari 23

PROBLEM BASED LEARNING (PBL) 2 ST Elevasi Miokard Infark (STEMI) Disusun untuk melengkapi tugas mata kuliah Fundamental

of physiology and nursing care of Cardiovascular System

Disusun Oleh: FARIHATUL HOIROH AYUNI RIZKA UTAMI ANDIKA FUSHIGI DWI AKNES PRAWESTI FERONICHA G M FIQIH ANDRIAN I FARIHATUL HOIROH EPHYSIA RATRININGTYAS SITI SULAICHA 115070201131014 115070200131001 115070200131002 115070200131003 115070201131012 115070201131013 115070201131014 115070201131022 115070213131001

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN K3LN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2013

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Jantung memiliki peranan yang besar dalam mengatur siklus kehidupan manusia. Apabila adanya gangguan terhadap sirkulasi kerja jantung, maka akan mengganggu kehidupan manusia. Gejala yang ditimbulkan juga tidak semuanya dapat terlihat sehingga sulit untuk mendiagnosis. Angina pectoris merupakan salah satu gejala yang sering ditemui, dengan gejala nyeri dada di sebelah kiri yang menjalar hingga ke rahang dan lengan. SKA (Sindrom Koroner Akut) merupakan spektrum manifestasi akut dan berat yang merupakan keadaan kegawatdaruratan dari koroner akibat ketidakseimbangan antara kebutuhan oksigen miokardium dan aliran darah (Kumar, 2007). SKA umumnya terjadi pada pasien dengan usia diatas 40 tahun. Walaupun begitu, usia yang lebih muda dari 40 tahun dapat juga menderita penyakit tersebut. Banyak penelitian yang telah menggunakan batasan usia 40-45 tahun untuk mendefenisikan pasien usia muda dengan penyakit jantung koroner atau infark miokard akut (IMA). IMA mempunyai insidensi yang rendah pada usia muda (Wiliam, 2007). Yang termasuk kedalam Sindroma koroner akut adalah angina tak stabil, miokard infark akut dengan elevasi segmen ST (STEMI), dan miokard infark akut tanpa elevasi segmen ST (NSTEMI) (Bassand, 2007). Infark miokardium dengan ST elevasi merupakan infark miokard yang menunjukan terbentuknya suatu daerah nekrosis miokardium akibat iskemia total. MI akut yang dikenal sebagai serangan jantung, merupakan penyebab tunggal tersering kematian diindustri dan merupakan salah satu diagnosis rawat inap tersering di negara maju (Kumar, 2007). Infark miokard akut merupakan salah satu diagnosis rawat inap tersering di negara maju. Laju mortalitas awal (30 hari) pada IMA adalah 30% dengan lebih dari separuh kematian terjadi sebelum pasien mencapai rumah sakit. Angka kejadian NSTEMI lebih sering di bandingkan dengan STEMI (Bassand, 2007).

1.2 Batasan Topik 1.2.1 Mahasiswa mampu penjelaskan definisi STEMI 1.2.2 Mahasiswa mampu penjelaskan etiologi STEMI 1.2.3 Mahasiswa mampu penjelaskan faktor resiko STEMI 1.2.4 Mahasiswa mampu penjelaskan epidemiologi STEMI 1.2.5 Mahasiswa mampu penjelaskan patofisiologi STEMI 1.2.6 Mahasiswa mampu penjelaskan tanda dan gejala STEMI 1.2.7 Mahasiswa mampu penjelaskan pemeriksaan diagnostik STEMI 1.2.8 Mahasiswa mampu penjelaskan penatalaksanaan STEMI 1.2.9 Mahasiswa mampu penjelaskan komplikasi STEMI

BAB II PEMBAHASAN 2.1 Definisi ST Elevasi Miokard Infark (STEMI) adalah rusaknya bagian otot jantung secara permanen akibat insufisiensi aliran darah koroner oleh proses degeneratif maupun di pengaruhi oleh banyak faktor dengan ditandai keluhan nyeri dada, peningkatan enzim jantung dan ST elevasi pada pemeriksaan EKG. STEMI adalah cermin dari pembuluh darah koroner tertentu yang tersumbat total sehingga aliran darahnya benar-benar terhenti, otot jantung yang dipendarahi tidak dapat nutrisi-oksigen dan mati.(Kowalak, Welsh.2002) Infark miokard adalah kematian jaringan otot jantung yang ditandai adanya sakit dada yang khas: lama sakitnya lebih dari 30 menit, tidak hilang dengan istirahat atau pemberian anti angina. ( PKJPDN Harapan Kita, 2001). STEMI adalah rusaknya bagian otot jantung secara permanen akibat trombus arteri koroner. Terjadinya trombus disebabkan oleh ruptor plak yang kemudian di ikuti oleh pembentukan trombus oleh trombosit. STEMI umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak. Infark mokard akut dengan elevasi ST (ST elevation myiocardinal infrarction = STEMI) merupakan bagian dari spektrum koroner akut (SKA) yang terdiri dari angina pektoris tak stabil, IMA tanpa elevasi ST dan IMA dengan elevasi ST (ilmu penyakit dalam, 2006). Infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (ST Elevation Myocardial Infarct) merupakan bagian dari spektrum sindrom koroner akut (SKA) yang terdiri atas angina pektoris tak stabil, IMA tanpa elevasi ST, dan IMA dengan elevasi ST (Sudoyo, 2010)

Infark miokard akut dengan elevasi ST (STEMI) terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak akibat oklusi trombus pada plak aterosklerotik yang sudah ada sebelumnya. Trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vaskuler, dimana injuri ini dicetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok, hipertensi, dan akumulasi lipid (Sudoyo, 2010) Dikatakan IMA STEMI apabila memenuhi salah satu kriteria dibawah ini

1. Symptoms of ischemia 2. New or presumably new significant ST-T changes or new left bundle branch Block 3. Development og pathological Q waves in the ECG 4. Imaging evidence of new loss of viable myocardium, or new regional wall motin abnormlity 5. Identification of an intracoronary thrombus by angiography or outopsy. 2.2 Epidemiologi Dari total 418 konsekutiv dengan pasien ACS (Acute Coronary Syndrom) diantaranya 44,7% adalah STEMI, 34,2% adalah NSTEMI, 21.1% adalah Unstable Angina. Dari 17 pusat (52,9% dengan fasilitas kateterisasi). (Hellenic Journal of Cardiology.HJC, 2010) Menurut WHO, pada tahun 2004, penyakit infark myokard akut merupakan penebab kematian utama di dunia (WHO, 2008). Terhitung sebanyak 7.20.000 (12, 2 %) kematian akibat penyakit ini di selurruh dunia. Penyakit ini adalah penyebab kematian kedua pada Negara berpengjhasilan rendah (9,4 %) (WHO, 2008) dan (Garas, 2010) Direktorat Jenderal Yanmedik Indonesia meneliti bahwa pada tahun 2007, jumlah pasien penyakit jantung yang menjalani rawat inap ddan rawat jalan di RS adalah 239.548 kiwa, dimana penyakit jantung iskemik 110.183 kasus, adalahkasus terbanyak. Case Fatakity Rate tertiunnggi terjadi ada infark miokard akut (13,4 %) dan kemudian diikuti oleh gagal jantung (13,42 %) dan Penyakit Jantung lainnya (13,37 %) (Depkes, 2009) In 2008, approximately 683.000 patients were discharged from US hospitals with a diagnosis of acute coronary syndrome. Community incidence rrates for STEMI have declined over the past decade, whereas there for non-STEMI AVS have increased. At presents, STEMI comprised approximately 25-40 % of MI presentation. (Mehta, et al., 2012) The incidence of hospital admissions for AMI with STE (STEMI) varies among countries. The most comprehensive STEMI registry is probably in Sweden, where the incidence is 66 STEMI/100.000/year. Similar figures were also reported in the Ceko Republik, Belgia and the USA. (McMacnus, 2011) the incidence rates/ 100.000 of STEMI decreased between 1997 and 2005 from 121 to 77, whereas the incidence rates of non-STEMI increased slightly from 126-132. Thus, the incidence of STEMI appears to be declining, while there is a concomitant increase in the incidence of non-STEMI. (Roger, 2011)

Data statistik american heart association (2008), melaporkan bahwa dalam tahun 2005, dari 1,5 juta orang yang terkena ACS , 80% menunjukkan kasus NSTEMI dan 20% menunjukkan STEMI. (corwin,2009) 2.3 Etiologi STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vascular, dimana injuri ini dicetuskan oleh faktor seperti merokok, hipertensi dan akumulasi lipid. 1. Adanya timbunan lemak (atherosclerosis) dalam pembuluh darah akibat konsumsi kolesterol tinggi 2. Sumbatan (thrombus) oleh sel beku darah (thrombus) 3. Vasokonstriksi / penyempitan pembuluh darah akibat kejang yang terus menerus 4. Infeksi pada pembuluh darah 5. Aktivitas / atau latihan fisik yang berlebih (tak terkondisikan) 6. Stress erosi atau terkejut 7. Udara dingin, keadaan tersebut ada hubungannya dengan peningkatan aktivitas simpatis sehingga tekanan darah meningkat, frekuensi debar jantung meningkat, kontraktilitas jantung meningkat 8. kebutuhan oksigen myocard meningkat pada kondisi : a. Kerusakan myocard b. Hipertropi myocard
c. Hipertensi diastolic

2.4 Faktor Resiko Faktor yang dapat dimodifikasi 1. Rokok Zat-zat toksis dalam rokok yang masuk ke peredaran darah akan menyebabkan penyempitan pembuluh darah. Racun nikotin dari rokok akan menyebabkan darah menjadi kental sehingga mendorong percepatan pembekuan darah. Platelet dan fibrinogen meningkat sehingga waktu sewaktu-waktu dapat menyebabkan terjadinya trombosis pada pembuluh koroner yang sudah sempit. Selain itu rokok juga meningkatkan oksidasi LDH, menurunkan kadar HDL, menyebabkan kerusakan endotel akibat stres oksidatif dalam kandungan rokok. Nikotin dalam asap rokok dapat menstimulasi aktivitas saraf parasimpatis sehingga terjadi vasokonstriksi pembuluh darah (Lilly, 2007).

Efek rokok adalah menyebabkan beban miokard bertambah karena rangsangan oleh katekolamin dan menurunnya konsumsi 02 akibat inhalasi CO. Katekolamin juga dapat menambah reaksi trombosis dan juga menyebabkan kerusakan dinding arteri, sedangkan glikoprotein tembakau dapat menimbulkan reaksi hipersensitif dinding arteri. Di samping itu rokok dapat menurunkan kadar HDL kolesterol tetapi mekanismenya belum jelas. Makin banyak jumlah rokok yang diisap, kadar HDL kolesterol makin menurun. (Anonim, 2011)

2. Resiko terkena infark miokard meningkat pada pasien yang mengkonsumsi diet yang rendah serat, kurang vitamin C dan E, dan bahan-bahan polisitemikal. Mengkonsumsi alkohol satu atau dua sloki kecil per hari ternyata sedikit mengurangi resiko terjadinya infark miokard. Namun bila mengkonsumsi berlebihan, yaitu lebih dari dua sloki kecil per hari, pasien memiliki peningkatan resiko terkena penyakit (Beers, 2004). 3. Hipertensi Peningkatan tekanan darah merupakan beban yang berat untuk jantung, sehingga menyebabkan hipertropi ventrikel kiri atau pembesaran ventrikel kiri (factor miokard). Keadaan ini tergantung dari berat dan lamanya hipertensi. Serta tekanan darah yang tinggi dan menetap akan menimbulkan trauma langsung terhadap dinding pembuluh darah arteri koronaria, sehingga memudahkan terjadinya aterosklerosis koroner (factor koroner). Hal ini menyebabkan angina pektoris, insufisiensi koroner dan miokard infark lebih sering didapatkan pada penderita hipertensi dibandingkan orang normal. (Anonim, 2011) 4. Hiperlipidemia dan Hiperkolesterolemi Hiperkolesterolemia Kolesterol, lemak dan substansi lainnya dapat menyebabkan penebalan dinding pembuluh darah arteri, sehingga lumen dari pembuluh derah tersebut menyempit dan proses ini disebut aterosklerosis. Penyempitan pembuluh darah ini akan menyebabkan aliran darah menjadi lambat bahkan dapat tersumbat sehingga aliran darah pada pembuluh derah koroner yang fungsinya memberi 02 ke jantung menjadi berkurang. Kurangnya 02 akan menyebabkan otot jantung menjadi lemah, sakit dada, serangan jantung bahkan kematian.(Anonim, 2011) 5. Diabetes Mellitus Intoleransi terhadap glukosa sejak dulu telah diketahui sebagai predisposisi penyakit pembuluh darah. Mekanismenya belum jelas, akan tetapi terjadi peningkatan tipe IV

hiperlipidemi dan hipertrigliserid, pembentukan platelet yang abnormal dan DM yang disertai obesitas dan hipertensi. (Anonim, 2011) Apabila kadar gula darah melebihi kadar normal yaitu : gula darah puasa >126 mg/dl atau dua jam sesudah meminum 75 gram glukosa, kadar gula darah lebih dari 200 mg/dl. Yang menimbulkan beberapa akibat : Penebalan membrane basal pembuluh darah kecil yang menyebabkan penurunan suplai darah dan O2 sehingga menimbulkan asidosis. Yang menyebabkan afinitas hemoglobin untuk mengikat O2 meningkat, suplai O2 di jaringan akhirnya menurun dan memicu terjadinya arterosklerosis. Kerusakan struktur pembuluh darah, kerusakan tingkat molekuler karena disfungsi endotel pembuluh darah. Menyebabkan darah kurang mampu berdilatasi yang dimediasi oleh asetilkolin dan NO. sebaliknya terjadi pembentukan prostanoid, zat yang berperan dalam vasokontriksi pembuluh darah, meningkatkan agregasi trombosit dan proliferasi sel-sel otot polos sehingga terjadi thrombosis. Resistensi insulin berperan dalam menghasilkan NO, zat yangberperan dalam vasodilatasi pembuluh darah dan menghambat pembentukan molekul adhesi sehingga menghambat agregasi trombosit pada penderita diabetes mellitus, resistensi insulin menyebabkan penurunan produksi NO. 6. 7. 8. Kurang aktivitas Obesitas Stress Menstimulasi peningkatan hormon stress yaitu adrenalin, katekolamin, epinefrin, dan dopamin. Hormon-hormon ini akan mengganggu aliran darah, sistem metabolisme dan regulasi otak. 9. Kontrasepsi oral Menyebabkan perubahan hormon menhambat aliran darah kejantung, dapat menyebabkan infak Faktor yang tidak dapat diubah 1. Usia Meningkatnya usia akan menyebabkan meningkat pula penderita PJK pembuluh darah mengalami perubahan progresif dan berlangsung lama dari lahir sampai mati. Tiap arteri menghambat bentuk ketuanya sendiri. Arteri yang berubah paling dini mulai pada usia 20 tahun adalah pembuluhcoroner. Arteri lain mulai bermodifikasi hanya

setelah usia 40 tahun. terjadi pada laki-laki umur 35-44 tahun dan meningkat dengan bertambahnya umur. Juga diadapatkan hubungan antara umur dan kadar kolesterol yaitu kadar kolesterol total akan meningkat dengan bertambahnya

umur.(Anonim,2011) 2. Jenis kelamin Merupakan kenyataan bahwa wanita lebih sedikit mengalami serangan jantung di bandingkan pria. Rata-rata kematian akibat serangan jantung pada wanita terjadi 10 ma dari pria. Secara umum faktor resiko lebih sedikit menyebabkan kelainan jantung PJK .namun ketahanan wanita berubah setelah menopause. Hal ini diduga faktor hormonal seperti estrigen melindungi wanita. (Anonim, 2011) 3. Ras Orang berkulit hitam lebih beresiko terkena infark miokard dibandingkan dengan orang berkulit putih. Hal ini berhubungan dengan enzim jantung 4. Herediter 2.5 patofisiologi

2.6 Manifestasi Klinis 1. Nyeri Dada Bila dijumpai pasien dengan nyeri dada akut perlu dipastikan secara cepat dan tepat apakah pasien menderita IMA atau tidak. Diagnosis yang terlambat atau yang salah dalam jangka panjang dapat menyebabkan konsekuensi yang berat. Nyeri dada tipikal (angina) merupakan gejala cardinal pasien IMA.Gejala ini merupakan petanda awal dalam pengelolaan pasien IMA. Sifat nyeri dada angina sebagai berikut: 1. Lokasi: substernal, retrosternal, dan prekordial. 2. Sifat nyeri: rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat, sepertiditusuk, rasa diperas, dan diplintir. 3. Penjalaran ke: biasanya ke lengan kiri, dapat juga ke leher, rahang bawah, gigi, punggung /interskapula, perut, dan juga ke lengan kanan. 4. Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat, atau obat nitrat. 5. Faktor pencetus: latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan sesudah makan. 6. Gejala yang menyertai: mual, muntah, sulit bernafas, keringat dingin, cemas danlemas. STEMI patients may experiences a range of symptoms varying from crushing retrosterna, or left sided chest pain/ discomfort with associated typical symptoms to related dyspnea, syncopal attacks, malaise and breathless. Eldery, diabetic and patients on NSAIDS may suffer silent myocardial infarction. These patients are commonly found to have cardiogenic shock, hypertension, arhytmias and conduction blocks and acute left ventricular failure (Lal C Daga, 2011)

2.5

Pemeriksaan Diagnostik 1. Pemeriksaan Fisik Pemeriksaan fisik menunjukkan pasien tampak cemas dan tidak bisa beristirahat (gelisah) dengan ekstremitas pucat disertai keringat dingin. Kombinasi nyeri dada substernal >30 menit dan banyak keringat merupakan kecurigaan kuat adanya STEMI (Sudoyo, 2010) Dari ausklutasi prekordium jantung, ditemukan suara jantung yang melemah. Pulsasinya juga sulit dipalpasi. Pada infark daerah anterior, terdengar pulsasi sistolik abnormal yang disebabkan oleh diskinesis otot-otot jantung. Penemuan suara jantung tambahan (S3 dan S4), penurunan intensitas suara jantung dan paradoxal splitting suara jantung S2 merupakan pertanda disfungsi ventrikel jantung. Jika didengar dengan seksama, dapat terdengar suara friction rub perikard, umumnya pada pasien infark miokard transmural tipe STEMI (Antman, 2005). 2. Pemeriksaan enzim jantung a. CPK-MB/CPK Isoenzim yang ditemukan pada otot jantung meningkat antara 4-6 jam, memuncak dalam 12-24 jam, kembali normal dalam 36-48 jam. b. LDH/HBDH Meningkat dalam 12-24 jam dam memakan waktu lama untuk kembali normal LDH : meningkat setelah 24-48 jam bila ada infark miokard mencapai puncak 3-6 hari dan kembali normal dalam 8-14 hari. c. AST/SGOT Meningkat ( kurang nyata/khusus ) terjadi dalam 6-12 jam, memuncak dalam 24 jam, kembali normal dalam 3 atau 4 hari d. cTn: ada 2 jenis yaitu cTn T dan cTn I. enzim ini meningkat setelah 2 jam bila infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-24 jam dan cTn T masih dapat dideteksi setelah 5-14 hari, sedangkan cTn I setelah 5-10 hari e. mioglobin: dapat deteksi 12 jam setelah infark dan mencapai puncak dalam 48 jam. f. Kreatinin kinase atau CK : meningkat setelah 3-8 jam bila ada infark miokard dan mencapai puncak dalam 10-36 jam dan kembali normal dalam 3-4 hari. Reaksi nonspesifik terhadap lesi miokard adalah leukositosis PMN yang dapat terjadi dalam beberapa jam setelah onset nyeri dan menetap selama 3-7 hari. Leukosit dapat mencapai 12.000-15.000/uL. (alwi, idrus.2010) Marker Biokimia

Troponin T merupakan pertanda biokimia untuk penyakit infark miokard. Pemeriksaan troponin sangat sensitive hingga dapat mendeteksi infark yang sulit dilihat dari pemeriksaan patologis rutin (Alpert, 2010). Troponin cepat meningkat ketika serangan terjadi dan kadarnya bertahan lama setelah jejas terjadi. Peningkatan kadar cardiac troponin T (cTnT) terdeteksi 3-4 jam jam setelah jejas terjadi. Kadar cTnT mencapai puncak 12-24 jam setelah jejas (Samsu, 2007). Peningkatan terus terjadi selama 7-14 hari (Ramrakha, 2006), cTnT membutuhkan waktu 5-15 hari untuk kembali normal (Samsu, 2007) 3. Ekokardiografi Pemeriksaan ini bermanfaat sekali pada pasien dengan murmur sistolik untuk memperlihatkan ada tidaknya stenosis aorta atau kardiomiopati hipertropik. Selain itu dapat pula menentukan luasnya iskemi bila dilakukan waktu nyeri dada sedang berlangsung. (Hrijanto dkk, 2009) 4. Kateterisasi Angiografi koroner untuk mengetahui derajat obstruksi 5. Radiologi Hanya spesifik untuk mengetahui dan menunjukkan pembesaran jantung . 6. Pemeriksaan lainya : Kebanyakan ditemukan peninggian Laju Endap Darah (LED), Leukositosis ringan dan kadang-kadang Hiperglikemia ringan. Penatalaksanaan Terapi reperfusi Reperfusi dini akan memperpendek lama oklusi koroner, meminimalkan derajat disfungsi dan dilatasi vetrikel, serta mengurangi kemungkinan pasien STEMI berkembang menjadi pump failure atau takiaritmia ventrikular yang maligna.Sasaran terapi reperfusi adalah door to needle time untuk memulai terapi fibrinolitik dapat dicapai dalam 30 menit atau door to balloon time untuk PCI dapat dicapai dalam 90 menit.Waktu onset gejala untuk terapi fibrinolitik merupakan prediktor penting terhadap luas infark dan outcome pasien. Efektivitas obat fibrinolitik dalam menghancurkan trombus tergantung waktu. Terapi fibrinolitik yang diberikan dalam 2 jam pertama (terutama dalam jam pertama) dapat menghentikan infark miokard dan menurunkan angka kematian.Pemilihan terapi reperfusi dapat melibatkan risiko perdarahan pada pasien. Jika terapi reperfusi bersamasama (tersedia PCI dan fibrinolitik), semakin tinggi risiko perdarahan dengan terapi

2.6

fibrinolitik, maka semakin kuat keputusan untuk memilih PCI. Jika PCI tidak tersedia, maka terapi reperfusi farmakologis harus mempertimbangkan manfaat dan risiko. Adanya fasilitas kardiologi intervensi merupakan penentu utama apakah PCI dapat dikerjakan. Percutaneous Coronary Interventions (PCI) Intervensi koroner perkutan (angioplasti atau stenting) tanpa didahului fibrinolitik disebut PCI primer (primary PCI). PCI adalah memasukkan kateter (melalui arteri femoral) kedalam arteri koroner. Visualisasi dilakukan dengan sinar x dengan bantuan injeksi medium kontras radio opague melalui kateter. PCI efektif dalam mengembalikan perfusi pada STEMI jika dilakukan beberapa jam pertama infark miokard akut. PCI primer lebih efektif dari fibrinolitik dalam membuka arteri koroner yang tersumbat dan dikaitkan dengan outcome klinis jangka pendek dan jangka panjang yang lebih baik. PCI primer lebih dipilih jika terdapat syok kardiogenik (terutama pada pasien < 75 tahun), risiko perdarahan meningkat, atau gejala sudah ada sekurang-kurangnya 2 atau 3 jam jika bekuan darah lebih matur dan kurang mudah hancur dengan obat fibrinolitik. Namun, PCI lebih mahal dalam hal personil dan fasilitas, dan aplikasinya terbatas berdasarkan tersedianya sarana, hanya di beberapa rumah sakit. Fibrinolitik Terapi fibrinolitik lebih baik diberikan dalam 30 menit sejak masuk (door to needle time < 30 menit) bila tidak terdapat kontraindikasi. Tujuan utamanya adalah merestorasi patensi arteri koroner dengan cepat. Terdapat beberapa macam obat fibrinolitik antara lain tissue plasminogen activator (tPA), streptokinase, tenekteplase (TNK), reteplase (rPA), yang bekerja dengan memicu konversi plasminogen menjadi plasmin yang akan melisiskan trombus fibrin Oksigen Oksigen diberikan pada semua pasien infark miokard. Pemberian O2 mampu mengurangi ST elevasi pada infark anterior berdasarkan consensus, dianjurkan memberikan O2 dalam 6 jam pertama terapi. Pemberian O2 lebih dari 6 jam secara klinis tidak bermanfaat kecuali pada keadaan berikut: o Pasien dengan nyeri dada menetap atau berulang atau dengan hemodinamik yang tidak stabil. o Pasien dengan tanda-tanda edema paru akut. o Pasien dengan saturasi O2 <90%.

a) Trombolisis

Streptokinase Terapi pertama untuk mengembalikan aliran darah ke arteri koroner yang

mengalami thrombosis. Merupakan protein yang diperoleh dari streptococci yang mengubah plasminogen menjadi plasmin, juga merupakan protein antigenic dan sering dikaitkan dengan kejadian hipotensi dan reaksi alergi sekali diberikan pemberian berikutnya mungkin tidak efektif karena telah terbentuk antibody yang menetralkan dalam tubuh. Thrombosis lainnya adalah alteplase dan teneplase. Kontraindikasi trombolisis adalah : o Perdarahan aktif (contohnya : ulkus peptic, perdarahan gastrointestinal, varises esophagus). o Resiko tinggi perdarahan (contohnya : pasien usia >75 tahun). o Gangguan koagulasi. o Hipertensi berat. o Riwayat stroke. o Bedah/trauma dalam 3 bulan terakhir. o Kehamilan o Sebelumnya mendapat trombolisis streptokinase (dimana streptokinase

dikontraindikasikan). b) Anti trombotik Klopidogrel harus diberikan sesegera mungkin pada semua pasien STEMI yang mengalami PCI. Pada pasien yang mengalami PCI, dianjurkan dosing loading 600 mg. Sedangkan yang tidak mengalami PCI dosis loading 300 mg dilanjutkan dosis pemulihan 75 mg per hari. Inhibitor glikoprotein menunjukan manfaat untuk mencegah komplikasi thrombosis pada pasien STEMI yang menjalani PCI. Heparin Pasien dengan infark anterior, disfungsi ventrikel kiri berat, gagal jantung kongestif, riwayat emboli, trombusmural pada echocardiografi 2 dimensi atau fibrtilasi atriakl merupakan risiko tinggi tromboemboli paru siostemik. Pada keadaan ini harus mendapat terapi anti thrombin kadar terapeutik penuh atau (UFH atau LMWH) selama dirawat, dilanjutkan terapi Warfarin sekurang-kurangnya 3 bulan Isobirdadinitrat Derivat nitrat siklis ini sama kerjanya dengan nitrogliserin, tetapi bersifat long acting.. Di dinding pembuluh zat ini diubah menjadi nitogenoksida (NO) yang mengaktivasi enzim

guanilsiklase dan menyebabkan peningkatan kadar cGMP di sel otot polos dan menimbulkan vasodilatasi. Secara sublingual kerjanya dalam 3 menit dan bertahan sampai 2 jam. Beta blocker Menurunkan kebutuhan oksigen otot jantung dengan cara menurunkan frekuensi denyut jantung, tekanan darah dan kontraktilitas. Suplai oksigen meningkat karena penurunan frekuensi denyut jantung, sehingga perfusi coroner membaik saat diastole. Kontraindikasi pada pasien asma karena dapat menyebabkan bronkospasme. Menurut Mansjoer (2000), penatalaksaan medis STEMI yaitu 1. Istirahat total 2. Diet makan lunak atau saring serta rendah garam (bila ada gagal jantung) 3. Pasang infus dextrose 5% , untuk persiapan pemberian obat melalui intravena 4. Atasi nyeri menggunakan morfin 2,5 - 5 mg IV atau bisa juga Petidin 25 50 mg IM, Lainya : Nitrat, beta-blocker , antagonis calsium 5. Oksigen 2-4 liter/menit 6. Sedatif sedang seperti Diazepam 3-4 x 2-5 mg/ oral. 7. Antikoagulan : a. Heparin 20.000 40.000 Unit/ 24 jam IV tiap 4-6 jam b. Diteruskan asetakumarol / warfarin 8. Streptokinase / Trombolisis, Untuk memperbaiki kembali aliran pembuluh darah koroner. 2.7 Komplikasi

1. Disfungsi Ventrikular
Setelah STEMI, ventrikel kiri mengalami serial perubahan dalam bentuk, ukuran dan ketebalan pada segmen yang mengalami infark dan non infark. Proses ini disebut remodeling ventricular dan umumnya mendahuluai berkembangnya gagal jantung secara klinis dalam hitungan bulan atau tahun pasca infark. SEgera setetlah infark ventrikel kiri mengalami dilatasi. Secara akut, hasil ini berasala dari ekspansi infark al: slippage serat otot, disrupsi sel miokardial normal dan hilangnya jaringan dalam zona nekrotik. Selanjutnya terjadi pula pemanjangan segmen noninfark, mengakibatkan penipisan yang disproporsional dan elongasi zona infark. Pembesaran ruang jantung secara keseluruhan yang terjadi dikaitkan ukuran dan lokasi infark, dengan dilatasi terbesar pasca infark pada apeks ventrikel kiri yang

mengakibatkan penurunan hemodinamik yang nyata, lebih sering terjadi gagal jantung dan prognosis lebih buruk Progresivitas dilatasi dan knsekuensi klinisnya dapat dihambat dengan terapi inhi bitot ACE dan vasodilator lain. PAda pasien dengan fraksi ejeksi <40%, tanpa melihat ada tidaknya gagal jantung, inhibitore ACE harus diberikan.

2. Gangguan Hemodinamik
Gagal pemompaan (pump failure) merupakan penyebab utama kematian di rumah sakit pada STEMI. Perluasan nekrosis iskemia mempunyai korelasi yang baik dengan tingkat gagal pompa dan mortalitas, baik pada awal (10 hari infark) dan sesudahnya. Tanda klinis yang tersering dijumpai adalah ronki basah di paru dan bunyi jantung S3 dan S4 gallop. Pada pemeriksaan rontgen sering dijumpai kongesti paru.

3. Komplikasi Mekanik
Ruptur muskulus papilaris, rupture septum ventrikel, rupture dinding vebtrikel. Penatalaksanaan: operasi.

2.8

Asuhan Keperawatan a. Penkajian A. Identitas Klien Nama Usia Jenis Kelamin Tanggal masuk : Ny. Markonah : 48 tahun : Perempuan : 24 Maret 2013

B. Status kesehatan saat ini 1. Keluhan utama 2. Lama Keluhan 3. Kualitas keluhan 4. Faktor pencetus 5. Faktor pemberat : Nyeri di dada kiri : 10 jam yang lalu : terasa ditimpa beban berat (skala nyeri 9/10) :: menjemur pakaian

Riwayat kesehatan saat ini:

Nyeri di dada kiri seperti ditimpa beban berat, terasa mual dan sesak, keluar keringat dingin, rasa sakit menjalar ke punggung lalu lengan kiri (skala nyeri 9/10)

C. Pemeriksaan fisik 1. Keadaan umum a. Kesadaran b. TTV : Coposmentis : TD : 175/110 mmHg RR Suhu : 34,5 C : 28x/mnt

: Nadi : 110x/mnt 2. Mulut Warna bibir pucat 3. Kulit dan kuku CRT : 3dtk

D. Pemeriksaan Penunjang a. Laboratorium CK-MB 36 u/l Troponin l 21,80 /l Total kolesterol 224 /dl Trigliserida 158 /dl HDL 35/dl LDL 163 /dl

b. Hasil ECG

: ST elevasi lead II, III, dan avF

E. Terapi pengobatan Clopidogrel oral 1x75 mg Aspirin 80 mg ISDN 3x5 mg Injeksi streptokinase 1x1,5 jt unit F. Kesimpulan Terdapat infark miokard dengan ST-elevasi pada bagian inferior

b. Analisa Data symptom DO: -meringis kesakitan STEMI etiologi Oklusi total koroner memegang dada kiri DS:-terasa ditimpa benda berat, mual nafas terasa sesak dan keringat dingin -rasa sakit menjalar kepunggung lalu kelengan kiri serta hilang timbul sejak 10 jam yang lalu Nyeri dada Nyeri lokal/ menjalar kepunggung, lengan dan daerah lain Vaskularisasi jantung menurun problem Nyeri akut

saat menjemur pakaian -skala nyeri 9/10

Nyeri akut DS : pasien terasa sesak, usia 48 thaun. STEMI DO: ECG ST Elevasi lead II, III, AV, keringat dingin, bibir pucat, CRT 3 detik, TD 175/100 mmHg, HR 110x/menit,, RR 28x/menit, saturasi O2 96% Penurunan curah jantung Kontraktilitas menurun Oklusi total koroner Penurunan Curah Jantung

Vaskularisasi jantung menurun

Perifer tdk mendapat perfusi adekuat

Ekstremitas & perifer pucat, CRT 3 detik DO: -suhu 34,5C, HR 110X/mnit TD 175/110mmHg, RR Oklusi total koroner Intoleran activitas

28x/mnit, saturasi 96% ECG hasil ST Elevasi lead II,III, AVF Hasil lab CK-MB 36 u/l, troponin I 21,8 u/l, total kolesterol 224 u/dl, trigliseride 158 u/dl, HDL 35 u/dl, LDL 163 u/dl

STEMI

Vaskularisasi jantung menurun

Kontraktilitas menurun

Penurunan curah jantung

Suplay O2 keseluruh tubuh menurun

Kelemahan

Intoleran acivitas c. Rencana keperawatan DX: nyeri akut b.d agens cedera biologis ditandai dengan meringis kesakitan memegang dada kiri, terasa ditimpa benda berat, mual nafas terasa sesak dan keringat dingin, rasa sakit menjalar kepunggung lalu kelengan kiri serta hilang timbul sejak 10 jam yang lalu saat menjemur pakaian, kala nyeri 9/10 Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam klien melaporkan nyeri berkurang dengan kriteria hasil: Pain level Reported pain v Lenght of pain episode v Facial expression of pain v Diaphoresis v Nausea v Rubbing affected area 1 2 3 4 5 v

v Respiratory area INTERVENSI: pain mangement 1. Perform a comprehensive assesment of pain to include location, characteristic, onset/duration, frequency, quality, intensity or severity of pain & precipitating factor 2. Observe for nonverbal cues of discomfort, especially in those unable to communicate effectively 3. Assure patient affective analgesic care 4. Explore with patients factor that improve/worsen pain 5. Provide information about the pain, such as causes of the pain, how long it will last, and anticipated discomfort from procedures 6. Control environmental factors that may influence the patients responses to discomfort (e.g temperature room, ligh, noise) 7. Teach principles of pain management 8. Encourage patients to use adequate pain medication DX: penurunan curah jantung b/d perubahan kontraktilitas & perubahan volume sekuncup ditandai dengan pasien terasa sesak, usia 48 thaun, ECG ST Elevasi lead II, III, AV, keringat dingin, bibir pucat, CRT 3 detik, TD 175/100 mmHg, HR 110x/menit,, RR 28x/menit, saturasi O2 96%. Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawtan selama 1x24 jam, diharapkan skala nyeri menurun/ bahkan skala 2. Kriteria Hasil: Pain level Systolic mmHg Diastolic mmHg Peripheral 100x/ minute Angina Dyspnea at rest pulse BP 100 BP 150 1 2 3 4 5

Pallor

INTERVENSI: Cardiac care acute 1. Evaluate chest pain 2. Monitor cardiac rythm and rate 3. Select best EKG lead for continues monitoring, if appropriate 4. Monitor the effectiveness of oxygen therapy, if appropriate 5. Present peripheral thrombus formation (turn every 2 hours and administer low dose anticoagulants. 6. Administer medications to relieve/ prevent pain and ischemia, as needed 7. Monitor effectiveness of medication.

Cardiac care:

1. Monitor vital sign frequently 2. Recognized presence of BP alteration DX: intoleran activitas bd. Ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan oksigen. Tujuan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam aktivitas klien membaik. Activity tolerance Oxygen saturation with activity Skin color Electrocardiogram finding 1 2 3 4 5 V V V

INTERVENSI: Mandiri 1. Kaji respon pasien terhadap aktivitas, perhatikan adanya dan perubahan dalam keluhan kelemahan, keletihan, dispneu dengan aktivitas. 2. Pantau frekuensi dan irama jantung, tekanan darah, dan frekuensi pernapasan sebelum dan sesudah aktivitas dan selama tindakan.

3. Mempertahankan tirah baring selama periode demam dan sesuai indikasi. 4. Membatasi aktivitas pasien Kolaborasi 1. Berikan oksigen suplemen.

DAFTAR PUSTAKA Ignatavius D.D dan Worlkman M.L (2010). Medical Surgical Nursing Critical thinking and Collaborative care (6 th ed). Missouri Elsevier. World Health Organization (WHO), (2011). Cardiovasculer disease (CVDS)

http://www.who.int/mediacentre/flatsheet/fs317/en/index.html. ACC/AHA Pocket Guidline. Management of patient with ST-Elevation Myocardial Infarction.(2004). Antman, E.M., Braunwald, E., 2005. ST-Segment Elevation Myocardial Infarction. In: Kasper, D.L., Fauci, A.S., Longo, D.L., Braunwald, E., Hauser, S.L., Jameson, J. L., eds. Harrisons Principles of Internal Medicine. 16 th ed. USA: McGraw-Hill 1449-1450 Beers, M.H., Fletcher A.J., Jones, T.V., 2004. Merk Manual of Medical Information: Coronary Artery Disease. 2nd ed. New York: Simon & Shcuster Lilly, L. S. Pathophysiologgy of Heart Disease: A Collaborative Project of Medical Students and Faculty. Edisi Keempat. Baltimore-Philadelpia. Lippincont Williams & Wilkins, 2007: 225-243 Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi V. Jakarta: Interna Publishing; 2010 Kowalak, Welsh.2002. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC Pratiwi, ine.2012. KOMPLIKASI PADA PASIEN INFARK MIOKARD AKUT STELEVASI (STEMI) YANG MENDAPAT MAUPUN TIDAK MENDAPAT TERAPI REPERFUSI :(Studi di RSUP Dr.Kariadi Semarang (online) http://eprints.undip.ac.id/37555/. Diakses tanggal 25 april 2013 Idrus Alwi. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid 2. Edisi V. Jakarta: interna publishing; 2010, hal 1741-1756 Corwin, E. 2009. Buku saku patofisiologi. Jakarta . EGC Mansjoer, A. 2000. Kapita selekta kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius Muttaqin, A. 2009. Asuhan Keperawatan Sistem Kardiovaskuler. Jakarta: EGC

Anda mungkin juga menyukai