Anda di halaman 1dari 16

OBESITAS DAN SINDROM METABOLIK

ISSN 0854-7173 | No. 1/2012

PRODIA DIAGNOSTICS EDUCATIONAL SERVICES

Forum Diagnosticum
OBESITAS DAN SINDROM METABOLIK
Serlyana Herman
Laboratorium Klinik Prodia

PENDAHULUAN
Dahulu obesitas identik dengan kemakmuran, akan tetapi saat ini overweight dan obesitas sudah dianggap sebagai suatu masalah global. Di seluruh dunia terjadi peningkatan prevalensi overweight dan obesitas. Pada tahun 2008, 1,5 milyar orang dewasa di atas 20 tahun termasuk overweight dan lebih dari 200 juta pria dan hampir 300 juta wanita termasuk obes. Secara keseluruhan, lebih dari 1 di antara 10 orang dewasa di dunia termasuk obes. Hal ini diperparah dengan kenyataan bahwa pada tahun 2010, hampir 43 juta anakanak di bawah usia 5 tahun mengalami overweight. (1,2) Berdasarkan data the Behavioral Risk Factor Surveillance System , pada tahun 2005 diperkirakan 60,5% orang Amerika mengalami overweight, 23,9% obes dan 3% tergolong sangat obes. Obesitas tidak hanya menyebabkan masalah kesehatan yang serius namun juga menurunkan angka harapan hidup. (3,4) Peningkatan angka kejadian sindrom metabolik salah satunya disebabkan oleh peningkatan populasi dan prevalensi obesitas. Obesitas dan sindrom metabolik memiliki keterkaitan yang erat dan merupakan suatu hubungan kausal. Sindrom metabolik ditandai berbagai kondisi seperti hipertensi, diabetes, inflamasi, ginjal dan banyak penyakit metabolik lain yang berkontribusi terhadap peningkatan kejadian penyakit kardiovaskular. Berdasarkan data the National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) tahun 1988-1994 dan 1999-2000 diketahui bahwa 22% orang dewasa di United States (US) mengalami sindrom metabolik. Di samping itu, terjadi peningkatan prevalensi sindrom metabolik seiring dengan peningkatan usia. (1,3,4,5)

LABORATORIUM KLINIK

Forum Diagnosticum 1/09

Forum Diagnosticum 1/12

OBESITAS DAN SINDROM METABOLIK

Tabel 1. Prevalensi Sindrom Metabolik Pada Populasi Tertentu (1) Country/region/city Australia China, Beijing Brazil, Cavunge Brazil, Ribeirao Preto DECODE Study Group. 11 European cohort studies France, Central-Western (DESIR cohort study) France, Nancy in northeast China, Hong Kong China, Hong Kong India, Jaipur Iran Italy, Bruneck Italy, Asti in northwest Italy, North Japan, Kagoshima Japan Mexico New Zealand Vietnam, Ho Chi Minh Singapore cardiovascular cohort study South Korea Spain Spain, Valencia Turkey Turkey, Izmir Taiwan Taiwan, Taichung Sample 11. 247 adults 16. 342 adults 240 adults 2063 young adults 5356 women, 6156 men 4293 adults 742 adults 1513 5202 diabetic patients 1800 adults 3036 children and adolescents 888 adults 1877 adults 588 obese children 471 overweight or obese children 3264 adults 2158 adults 4022 adults 611 adults 4334 adults 6824 adults 429 obese children 7256 adults 1385 students 450 adults men 124. 513 adults 2359 adults Age (years) 25-75 20-90 25-87 23-25 30-89 30-64 28-64 18-66 16-95 20 10-19 40-79 45-64 6-16 6-11 20-79 20-69 35-74 18+ 18-69 20-80 4-18 45.4+9.8 10-17 24-60 20-94 40-64 65+ Thailand USA, 3rd NHANES survey USA, Pittsburgh & Memphis 602 adults 12. 363 adults 3075 older adults 20-90 20 70-9 Prevalence of MS 15.8% (EGIR) to 18.2% (ATP III) 10.2% (women), 15.7% (men) 38.4% (women), 18.6% (men) 4.8% (women), 10.7% (men) 14.2% (women), 15.7% (men) 7.0% (women), 10.0% (men) 5.4% (women), 7.2% (men) 9.6% (ATP III) to 13.4% (WHO) 49.2-58.1% 24.9%, 30.9% (women) 18.4% (men) 10.1% 17.8% (ATP III) to 34.1% (WHO) 22% (women), 24% (men) 23.3% 8.7% (overweight), 17.7% (obese) 7.8%, 1.7% (women) 12.1% (men) 13.6% (WHO) to 26.6% (ATP III) 32% (Maori), 39% (Pacific/ Polynesian aborigines), 16% (European descendants) 12% 17.7% (IDF) to 26.2% (AHA) 15.0% (women), 13.5% (men) 18% 10.2% 2.2% 17.8% 13.9% (IDF criteria) to 22.4% (AHA criteria) 24.19% (women), 35.23% (men) 51.82% (women), 43.23% (men) 15% 23% 39% Reference Alberti et al. (2006) Li et al. (2006) de Oliveira et al. (2006) Barbieri et al. (2006) Hu et al. (2004) Balkau et al. (2003) Maumus et al. (2005) Ko et al. (2005) Ko et al. (2006) Gupta et al. (2004) Esmaillzadeh et al. (2006) Bonora et al. (2003a, b) Bo et al. (2005) Invitti et al. (2006) Yoshinaga et al. (2005) Arai et al. (2006) Aguilar-Salinas et al. (2004) Gentles et al. (2007) Son et al. (2005) Lee et al. (2007) Park et al. (2006) Lopez-Capape et al. (2006) Alegria et al. (2005) Agirbasli et al. (2006) Demiral et al. (2006) Huang et al. (2008) Lin et al. (2007)

Pongchaiyakul et al. (2007) Park et al. (2003) Goodpaster et al. (2005)

EGIR = European Group for the Study of Insulin Resistance; ATP III = Adult Treatment Panel III; WHO = World Health Organization; IDF = International Diabetes Federation; AHA = American Heart Association

Forum Diagnosticum 1/12

OBESITAS DAN SINDROM METABOLIK

Peningkatan prevalensi obesitas tidak hanya terjadi di negara belahan Barat, namun juga di Asia. Dibandingkan dengan ras Kaukasia, orang Asia memiliki Indeks Massa Tubuh (IMT) yang lebih rendah namun prevalensi risiko sindrom metabolik ternyata lebih tinggi. Data prevalensi sindrom metabolik pada beberapa populasi di seluruh dunia berdasarkan kriteria diagnostik yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 1. (1,6)

memiliki lemak intraabdominal tanpa terlihat obes secara keseluruhan. Berikut ini adalah klasifikasi IMT pada orang Asia dewasa (Tabel 3). (7)
Tabel 3. Klasifikasi IMT Pada orang Asia dewasa (7)
Classification Underweight Normal range Overweight: At risk Obese I Obese II BMI (kg/m2) <18.5 18.5-22.9 >23 23-24.9 25-29.9 >30 Risk of co-morbidities Low (but increased risk of other clinical problems) Average

DEFINISI OBESITAS
Overweight dan obesitas didefinisikan sebagai akumulasi lemak abnormal atau berlebih yang dapat mengganggu kesehatan. IMT merupakan indeks sederhana berat dan tinggi badan yang umum digunakan untuk mengklasifikasikan overweight dan obesitas pada dewasa. IMT didefinisikan sebagai berat badan seseorang dalam kilogram dibagi dengan kuadrat tinggi badannya dalam meter (kg/m 2). Berikut ini adalah klasifikasi IMT yang ditetapkan oleh World Health Organization (WHO) pada tahun 1998 (Tabel 2). (2)
Tabel 2. Klasifikasi IMT pada orang dewasa ras Eropa (WHO 1998) (7)
Classification Underweight Normal range Overweight: Pre-obese Obese I Obese II Obese III BMI (kg/m2) <18.5 18.5-24.9 >25 25-29.9 30-34.9 35-39.9 >40 Risk of co-morbidities Low (but increased risk of other clinical problems) Average

Increased Moderate Severe

DEFINISI SINDROM METABOLIK


Kombinasi berbagai gangguan metabolik yang sekarang dikenal dengan sindrom metabolik pertama kali digambarkan oleh Kylin pada tahun 1920-an sebagai sekelompok gejala hipertensi, hiperglikemia dan gout. Dua dekade kemudian, Vague menyatakan bahwa upper body adiposity (android atau male type obesity ) merupakan tipe yang paling berkaitan dengan abnormalitas metabolik yang terlihat pada diabetes dan penyakit kardiovaskular. Pada tahun 1988, Reaven menggunakan istilah Syndrome X dan menetapkan beberapa gejala klinis yang penting meskipun obesitas tidak termasuk didalamnya. Pada tahun 1989, Kaplan menyebutnya The Deadly Quartet dan lainnya lalu menggunakan istilah The Insulin Resistance Syndrome. Namun, saat ini istilah sindrom metabolik diterima secara luas untuk sekumpulan gejala metabolik yang berkaitan dengan faktor risiko kardiovaskular serta dapat memprediksi risiko terjadinya diabetes. (8) Karakteristik umum sindrom metabolik diantaranya : 1) Distribusi lemak tubuh yang abnormal; 2) Resistensi insulin; 3) Dislipidemia aterogenik; 4) Peningkatan tekanan darah; 5) Status proinflamasi; dan 6) Status protrombotik. Berikut adalah berbagai kriteria yang ditetapkan oleh beberapa organisasi untuk membantu menetapkan diagnosis klinis sindrom metabolik. (3,8)

Increased Moderate Severe Very severe

Berbeda dengan Eropa, terdapat perbedaan pada distribusi lemak tubuh khususnya di daerah Asia Pasifik. Sebagai contoh, Asia Selatan (India) memiliki distribusi lemak tubuh tersentralisasi di mana thick trunk skinfolds dan rata-rata waist-to-hip ratio-nya lebih tinggi pada IMT yang sama dibandingkan dengan ras Eropa. Pada populasi Asia, morbiditas dan mortalitas terjadi pada individu dengan IMT yang lebih rendah dan lingkar pinggang yang lebih kecil. Selain itu, mereka cenderung

Forum Diagnosticum 1/09

Forum Diagnosticum 1/12

OBESITAS DAN SINDROM METABOLIK

Berdasarkan The Adult Treatment Panel III of the National Cholesterol Education Program (NCEP ATP III)
Beberapa waktu lalu, tidak diketahui hubungan antara hiperinsulinemia, resistensi insulin, hipertensi, dislipidemia dan diabetes. Saat ini diketahui bahwa keterkaitan tersebut mengacu pada sindrom metabolik. ATP III membantu mengidentifikasi orang dengan sindrom metabolik melalui sejumlah kriteria klinis dan menetapkan bahwa diagnosis sindrom metabolik dilakukan bila terdapat 3 atau lebih faktor risiko (Tabel 4). Faktor risiko ini termasuk obesitas abdominal, kadar High Density Lipoprotein Cholesterol (HDL-C) yang rendah dan peningkatan tekanan darah, glukosa puasa serta kadar trigliserida. (3)
Tabel 4. Definisi Sindrom Metabolik Menurut ATP III (3)
Clinical Risk Factor (3 or more needed) Abdominal Obesity (waist circumference) Men Women Triglycerides HDL cholesterol Men Women Blood pressure Fasting Glucose Defining Level > 40 inches > 35 inches > 150 mg/dl < 40 mg/dl < 50 mg/dl > 130/85 mmHg > 110 mg/dl

darah, peningkatan kadar trigliserida, penurunan kadar HDL-C, obesitas dan mikroalbuminuria. (Tabel 5). (3,8)

Berdasarkan International Federation (IDF)

Diabetes

Sindrom metabolik mengacu pada sekumpulan abnormalitas metabolik, termasuk obesitas sentral, toleransi glukosa, tekanan darah tinggi dan dislipidemia. Berbagai studi menunjukkan bahwa akumulasi lemak intraabdominal merupakan prediktor risiko metabolik dan penyakit kardiovaskular yang independen. (6) IDF menetapkan alat diagnosis yang sederhana untuk dapat digunakan dalam praktek klinis dan penelitian di seluruh dunia. Tujuannya selain membantu identifikasi sindrom metabolik juga memfokuskan pada upaya penanganan pasien (Tabel 6). (8)
Tabel 6. Definisi Sindrom Metabolik Menurut International Diabetes Federation (IDF) (8)
Central obesity Raised triglycerides Reduced HDLcholesterol Raised blood pressure Raised fasting plasma glucose Waist circumference-ethnicity specific plus any two of the following: > 1.7 mmol/l (150 mg/dl) or specific treatment for this lipid abnormality < 1.03 mmol/l (40 mg/dl) in males < 1.29 mmol/l (50 mg/dl) in females or specific treatment for this lipid abnormality Systolic: > 130 mmHg or Diastolic: > 85 mmHg or treatment of previously diagnosed hypertension Fasting plasma glucose > 5.6 mmol/l (100 mg/dl) or previously diagnosed Type 2 diabetes If >5.6 mmol/l or 100 mg/dl, oral glucose tolerance test is strongly recommended but is not necessary to define presence of the syndrome

Berdasarkan World Health Organization (WHO)


Pada tahun 1999, WHO menetapkan definisi sindrom metabolik. Definisi WHO ditetapkan berdasarkan asumsi bahwa resistensi insulin merupakan salah satu kontributor utama sindrom metabolik. Untuk menetapkan diagnosis, di samping resistensi insulin, sedikitnya dua komponen lain yaitu peningkatan tekanan
Tabel 5. Kriteria Klinis Sindrom Metabolik Menurut WHO (3)
Insulin Resistance, identified by 1 of the following: Type 2 diabetes Impaired fasting glucose Impaired glucose tolerance Hyperinsulinemic, euglycemic conditions with low glucose uptake Plus any 2 of the following: Antihypertensive medication or blood pressure >140/90 Plasma triglycerides > 150 mg/dL HDL cholesterol <35 mg/dL men or <39 mg/dL women BMI >30 kg/m2 and/or waist:hip ratio >0.9 in men, >0.85 in women Microalbuminuria: Urinary albumin excretion rate > 20 microgm/min or albumin:creatinine ratio > 30 mg/g

PATOGENESIS OBESITAS DAN SINDROM METABOLIK


Penyebab fundamental overweight dan obesitas adalah ketidakseimbangan energi antara kalori yang dikonsumsi dengan kalori yang digunakan. Secara global, terjadi peningkatan asupan makanan kaya lemak, garam, dan gula namun rendah vitamin, mineral dan mikronutrien lain. Selain itu juga terjadi penurunan aktivitas fisik akibat gaya hidup sedenter dan urbanisasi. Asupan kalori berlebih dan aktivitas fisik yang kurang memicu

Forum Diagnosticum 1/12

OBESITAS DAN SINDROM METABOLIK

terjadinya penumpukan lemak di subkutan, periviseral dan intraviseral. (2,3,6) Obesitas dapat memicu tekanan darah tinggi, kolesterol tinggi, penurunan HDL-C dan hiperglikemia. Sel adiposa diketahui mensekresikan sitokin dan molekul lain yang dapat memicu peningkatan kondisi proinflamasi, protrombotik dan resistensi insulin. Kondisi tersebut terlibat dalam patogenesis sindrom metabolik. Selain itu, diketahui pula bahwa resistensi insulin memicu faktor risiko metabolik lainnya termasuk hipertensi, hipertrigliseridemia, hiperglikemia dan dislipidemia. (3) Diperkirakan, setiap peningkatan berat badan sebesar 1 kg berkaitan dengan peningkatan risiko diabetes tipe 2 sebesar 9%. Obesitas berkaitan erat dengan risiko stroke iskemik maupun hemoragik. Setiap satuan peningkatan IMT berkaitan dengan peningkatan risiko stroke sebesar 6%. (1,3) Walaupun etiologinya masih kontroversial, namun diketahui bahwa sindrom metabolik dipicu oleh obesitas, resistensi insulin dan sejumlah faktor lain seperti kerentanan genetik dan peningkatan usia. Diketahui pula bahwa sindrom metabolik dapat terjadi akibat efek samping dari pengobatan termasuk kortikosteroid, inhibitor protease, antidepresan dan antipsikotik. (3)

obesitas abdominal, akumulasi lemak ektopik, steatosis hepatik dan sleep apnea juga termasuk ke dalam komplikasi metabolik obesitas. (9) Sel adiposa mensekresikan berbagai molekul yang aktif secara biologis yang dinamakan adipositokin atau adipokin yang meliputi sejumlah sitokin [misalnya Tumor Necrosis Factor (TNF)- dan Interleukin (IL)-6], kemokin [misalnya IL-8 dan Monocyte Chemoattractant Protein (MCP)-1]. Selain itu, jaringan adiposa mensekresikan berbagai hormon yang salah satunya berperan dalam regulasi berat badan seperti leptin, visfatin, apelin, resistin dan adiponektin. (9)

IMPLIKASI KLINIS KELAINAN METABOLIK AKIBAT OBESITAS


Overweight dan obesitas menempati urutan kelima penyebab kematian di seluruh dunia. Sedikitnya 2,8 juta orang dewasa meninggal setiap tahun akibat kondisi tersebut. Kondisi overweight dan obesitas merupakan risiko utama bagi sejumlah komorbiditas. Diketahui bahwa 44% kejadian diabetes, 23% kejadian penyakit jantung iskemik dan sekitar 7-41% kejadian kanker dipicu oleh overweight dan obesitas. (2) Peningkatan prevalensi obesitas khususnya obesitas

PERAN JARINGAN ADIPOSA SEBAGAI ORGAN ENDOKRIN


Selain berperan sebagai tempat penyimpanan energi, jaringan adiposa diketahui merupakan organ endokrin utama yang mengatur metabolisme tubuh. Peningkatan massa sel lemak memicu terjadinya ketidakseimbangan pelepasan hormon dan akhirnya menyebabkan berbagai efek metabolik. Komplikasi metabolik obesitas yang dikenal dengan sindrom metabolik ditandai oleh resistensi insulin yang seringkali menyebabkan kerusakan sel beta pankreas, gangguan toleransi glukosa dan diabetes tipe 2, dislipidemia, hipertensi dan penyakit jantung yang terjadi lebih dini. Selain itu,

abdominal telah menjadi fokus hubungan antara obesitas, aterosklerosis dan penyakit arteri koroner. Di samping itu, individu dengan sindrom metabolik diketahui memiliki peningkatan risiko perkembangan penyakit jantung koroner dan diabetes dibandingkan mereka yang tidak. Tujuan identifikasi pasien obesitas maupun sindrom metabolik adalah menurunkan risiko jangka panjang terjadinya penyakit jantung koroner, penyakit aterosklerosis lain (penyakit arteri perifer, aneurisme aortic abdominal, penyakit arteri karotid), diabetes, nonalcoholic fatty liver disease, penyakit ginjal kronik, obstructive sleep apnea, dan gout. (3)

Forum Diagnosticum 1/09

Forum Diagnosticum 1/12

OBESITAS DAN SINDROM METABOLIK

OBESITAS DAN FUNGSI KARDIOVASKULAR


Peningkatan angka kejadian penyakit kardiovaskular, sebagian besar dipengaruhi oleh berbagai faktor risiko seperti hipertensi, merokok, obesitas, diabetes, dan sindrom metabolik. Faktor risiko tersebut dikenal sebagai faktor risiko kardiometabolik. Individu dengan 3 atau lebih kriteria sindrom metabolik memiliki risiko yang lebih tinggi untuk perkembangan diabetes, penyakit ginjal dan kardiovaskular serta peningkatan risiko mortalitas. Di Asia, pada IMT yang sama, persentase lemak tubuh dan risiko penyakit kardiovaskularnya ternyata lebih tinggi dibandingkan ras Eropa. (10,11,12,13) Sejumlah studi telah meneliti keterkaitan antara obesitas dan faktor risiko penyakit kardiovaskular, dan beberapa diantaranya meneliti penanda penyakit kardiovaskular subklinik. Obesitas menunjukkan berbagai adverse effect terhadap tekanan darah, dislipidemia, dan status glikemik. Selain itu, obesitas juga berkontribusi terhadap progresi aterosklerosis dan abnormalitas struktur ventrikel kiri (Tabel 7). Obesitas,
Tabel 7. Berbagai Adverse Effects Obesitas (14)
A. Increases in insulin resistance 1) Glucose intolerance 2) Metabolic syndrome 3) Type 2 diabetes mellitus B. Hypertension C. Dyslipidemia 1) Elevated total cholesterol 2) Elevated triglycerides 3) Elevated LDL cholesterol 4) Elevated non-HDL cholesterol 5) Elevated apoliprotein-B 6) Elevated small, dense LDL particles 7) Decreased HDL cholesterol 8) Decreased apoliprotein-A1 D. Abnormal left ventricular geometry 1) Concentric remodeling 2) Left ventricular hypertrophy E. Endothelial dysfunction F. Increased systemic inflammation and prothrombotic state G. Systolic and diastolic dysfunction H. Heart failure I. Coronary heart disease J. Atrial fibrilation K.Obstructive sleep apnea/sleep-disordered breathing L. Albuminuria M. Osteoarthritis N. Cancers HDL = High Density Lipoprotein; LDL = Low Density Lipoprotein

melalui mekanisme inflamasi seperti peningkatan produksi adipokin, sitokin, dan penanda inflamasi juga memicu terjadinya resistensi insulin dan perubahan fungsi endotel. (14,15) Hampir 2 dekade lalu, Low Density Lipoprotein Cholesterol (LDL-C) merupakan cornerstone untuk menetapkan risiko kardiovaskular dan merupakan panduan primer untuk tindakan preventif. Kolesterol adalah penanda yang berguna untuk mengestimasi partikel LDL. Sayangnya, kadar LDL-C (kandungan kolesterol yang terdapat di partikel LDL) dapat bervariasi antara individu dengan kadar partikel LDL yang sama. Selain itu, kadar LDL-C tidak merefleksikan konsentrasi partikel LDL karena metabolisme intravaskular dapat mengubah ukuran lipoprotein maupun komposisi lipid yang terkandung dalam partikel LDL. (16) Saat ini sejumlah studi prospektif telah menunjukkan bahwa apo B merupakan prediktor risiko penyakit jantung koroner yang lebih kuat dibandingkan LDL-C. Molekul kolesterol yang terkandung dalam partikel LDL penting, namun yang jauh lebih penting adalah satu kesatuan partikel LDL. Proses awal aterosklerosis dimulai dengan retensi partikel yang mengandung apo B di lapisan subendotelial. Partikel LDL masuk ke intima arteri dan kecepatan difusi pasifnya meningkat seiring dengan peningkatan kadar partikel LDL yang bersirkulasi. Saat berada dalam intima, partikel LDL berikatan ke proteoglikan dan menginisiasi proses yang menyebabkan partikel LDL teroksidasi atau termodifikasi. LDL teroksidasi tersebut lalu diambil oleh monosit yang berubah menjadi makrofag. Selain itu, konsensus terbaru dari American Heart Association dan the American College of Cardiology juga telah menetapkan pentingnya pemeriksaan Apo B. (4,16) Sejumlah studi epidemiologi prospektif menunjukkan bahwa apo B merupakan prediktor yang secara statistik signifikan untuk kejadian penyakit jantung di masa mendatang. Pengukuran apo B untuk menetapkan risiko terutama bermanfaat pada pasien diabetes dan sindrom

Forum Diagnosticum 1/12

OBESITAS DAN SINDROM METABOLIK

metabolik. Individu dengan karakteristik sindrom metabolik cenderung mengalami peningkatan jumlah partikel small dense walaupun kadar LDL-C nya relatif normal. (16) Faktor risiko penyakit kardiovaskular lainnya adalah C-Reactive Protein (CRP). Saat ini, aterosklerosis dianggap sebagai penyakit yang berkaitan dengan inflamasi. (17,18) Dikenal ada 2 jenis inflamasi, yakni inflamasi akut dan kronis. Dalam tubuh, inflamasi akut merupakan sebuah respon protektif terhadap injury. Secara morfologis, inflamasi akut dimanifestasikan sebagai perubahan vaskular, edema dan infiltrasi neutrofil. Proses inflamasi akut berakhir ketika agen penyerang telah dieliminasi dan jaringan kembali ke homeostasis normal. Namun, bila agen penyerang masih ada atau proses penyembuhan normal terganggu, inflamasi akut tidak terselesaikan dan berkembang menjadi inflamasi kronis. (17,18) Beberapa tahun silam, telah ditemukan berbagai penanda menjanjikan yang menghubungkan antara inflamasi kronis dan aterosklerosis. Pengukuran penanda inflamasi memungkinkan klinisi mendapat informasi tambahan mengenai risiko pasien terhadap penyakit kardiovaskular. Penanda yang banyak diteliti diantaranya CRP, TNF- dan IL-6. CRP diketahui merupakan penanda yang menjanjikan dan memberikan informasi prognostik serta nilai prediktif seseorang terhadap kejadian kardiovaskular. (19) Pelepasan CRP di hati dipicu oleh IL-1, IL-6 dan TNF- sebagai reaktan fase akut dalam respon terhadap inflamasi. Pada kasus infeksi bakteri akut, seperti Pneumococcal pneumonia, kadar serum CRP umumnya berkisar di nilai ratusan mg/dL. Sebaliknya, nilai cut point untuk risiko kardiovaskular yang meliputi rendah, sedang dan tinggi yakni berada di nilai <1,0; 1,0-3,0 dan >3,0 mg/dL. (19)

Obesitas, khususnya obesitas viseral diduga memiliki peran penting terhadap peningkatan risiko metabolik pada penyakit kardiovaskular. Disamping berperan sebagai tempat penyimpanan lipid, jaringan adiposa juga diketahui sebagai organ endokrin aktif yang menghasilkan berbagai adipokin. Jaringan adiposa pada orang yang obes mensekresikan berbagai sitokin proinflamasi termasuk IL-6 dan TNF-. Peningkatan sekresi mediator inflamasi yang terjadi pada lemak viseral individu obes merefleksikan inflamasi kronis yang terjadi pada jaringan adiposa. Selain itu, disregulasi produksi mediator proinflamasi terhadap produksi adipokin antiinflamasi seperti adiponektin diduga merupakan prediktor yang penting dalam komplikasi metabolik dan kardiovaskular. (18) Adiponektin adalah sitokin, adipokin yang dihasilkan di jaringan adiposa. Kadarnya dilaporkan menurun pada kondisi patologis seperti penyakit arteri koroner, diabetes melitus dan hipertensi. Selain itu, kadar serum adiponektin menurun seiring dengan peningkatan massa tubuh. Peningkatan adiposit yang terjadi pada orang obes menurunkan kadar adiponektin, namun meningkatkan sitokin proinflamasi seperti TNF- . Adiponektin menghambat ekspresi TNF- di adiposit, sedangkan TNF- maupun IL-6 menghambat produksi adiponektin. Regulasi negatif ekspresi adiponektin juga terjadi akibat hipoksia dan stres oksidatif. Adipokin berkontribusi terhadap patofisiologi penyakit terkait obesitas melalui kemampuannya dalam memodifikasi proses proinflamasi dan metabolik. Adipokin seperti leptin, TNF-, Plasminogen Activator Inhibitor (PAI) tipe I, IL-1, IL-6 dan IL-8 bersifat proinflamasi dan meningkat pada obesitas. Pada subjek obes terjadi penurunan kadar adiponektin dan membatasi kemampuannya untuk menghambat proses inflamasi. Kadar adiponektin yang rendah tersebut berkebalikan dengan kadar CRP pada individu obes, diabetes tipe 2 dan penyakit arteri koroner. (20) Adiponektin merupakan perantara efek protektif pada penyakit metabolik dan vaskular terkait obesitas karena sifat antiinflamasinya dan melindungi jantung karena

Forum Diagnosticum 1/09

Forum Diagnosticum 1/12

OBESITAS DAN SINDROM METABOLIK

kemampuannya dalam menekan inflamasi miokardial dan apoptosis. Oleh karena itu, penurunan adiponektin memicu terjadinya hipertrofi ventrikel kiri dan gagal jantung sistolik. Hipoadiponektinemia juga memicu progresi hipertensi, namun mekanismenya belum jelas. (20) Pada pasien berusia muda yang mengalami infark miokardial, ditemukan bahwa kadar adiponektin yang rendah independen terhadap faktor risiko konvensional lain. Selain itu, kadar adiponektin lebih rendah secara signifikan pada pasien dengan angina stabil dibandingkan dengan subjek kontrol. Selain memiliki efek antiinflamasi, adiponektin juga memiliki sifat antiaterosklerosis yang berperan penting dalam pencegahan progresi penyakit arteri koroner. Dari survey klinis diketahui bahwa kadar adiponektin yang rendah selain merupakan penanda prediktif untuk aterosklerosis tahap awal, juga berkaitan secara signifikan dengan penyakit arteri koroner. (20) Telah diketahui sebelumnya bahwa individu obes memiliki peningkatan risiko perkembangan penyakit kardiovaskular. Peningkatan insidensi obesitas di seluruh dunia berimbas pada keparahan dan insidensi penyakit jantung. Meskipun individu obes memiliki risiko mengalami penyakit jantung iskemik, namun pasien dengan jumlah yang signifikan ditemukan mengalami gagal jantung tanpa adanya iskemia. (21) Obesitas memiliki berbagai adverse effect baik pada hemodinamik maupun struktur dan fungsi kardiovaskular (lihat gambar 1). Akibat peningkatan tekanan dan volume pengisian pada jantung, individu overweight dan obes seringkali mengalami dilatasi ventrikel kiri. Meskipun independen terhadap tekanan atrial dan usia, obesitas meningkatkan risiko hipertrofi ventrikel kiri juga abnormalitas struktural lain. Pada kasus abnormalitas struktural ventrikel kiri, obesitas memicu pembesaran atrial kiri, yang disebabkan baik oleh peningkatan volume darah yang bersirkulasi maupun abnormalitas pengisian diastolik ventrikel kiri. Pembesaran atrial kiri tersebut tidak hanya

meningkatkan risiko terjadinya gagal jantung, namun juga meningkatkan risiko terjadinya fibrilasi atrial. Selain meningkatkan abnormalitas struktural ventrikel kiri dan memicu aritmia ventrikular, obesitas juga memiliki adverse effects pada fungsi diastolik dan sistolik. (14)
Excessive Adipose Accumulation

Sleep Apnea/Obesity Hypoventilation Syndrome Hypoxia/Acidosis Systemic Vascular Resistance No Change in Heart Rate Pulmonary Arterial Hypertension RV Hypertrophy and Enlargement RV Failure Pulmonary Venous Hypertension Inadequate

Circulating Blood Volume LV Stroke Volume

Cardiac Ouput LV Enlargement LV Wall Stress Eccentric LV Hypertrophy Adequate LV Diastolic Dysfunction

LV Diastolic and Systolic Dysfunction

LV Failure
LV = Left Ventricular; RV = Right Ventricular

Gambar 1. Patofisiologi Obesitas dan Kardiomiopati (14)

Selain itu, sejumlah perubahan yang terjadi pada miokardium dapat memicu perkembangan disfungsi kardiak pada individu obes. Secara morfologis, jaringan adiposa pada individu obes mengalami perubahan struktural yang dinamis, seperti hipertrofi adiposit, angiogenesis, adipogenesis, proliferasi sel stroma, kematian adiposit dan fibrosis. Perubahan dinamis yang terjadi pada arsitektur jaringan adiposa ini dikenal dengan adipose tissue remodelling. Sama halnya dengan jaringan adiposa, proses aterosklerosis di dinding arteri juga mengalami remodelling berlebihan sehingga terbentuk plak ateroma. Remodelling jaringan merupakan hallmark dari inflamasi kronis. (18,21) Hipertrofi kardiak adalah salah satu proses adaptif jantung sebagai respon terhadap mekanis-fisik, stres

Forum Diagnosticum 1/12

OBESITAS DAN SINDROM METABOLIK

metabolik dan genetik. Di sisi lain, hipertrofi yang diinduksi oleh overload yang terus menerus memicu terjadinya disfungsi kontraktil dan gagal jantung. Meskipun pada kasus hipertrofi kardiak terjadi hipertrofi kardiomiosit, berbagai sel lain seperti fibroblas, sel endotel vaskular, sel otot polos dan sel imun juga terlibat dalam respon hipertrofi miokardial. (18)

tersebut pada akhirnya menyebabkan disfungsi ginjal. (22,23) Overload lipid selular atau lipotoksisitas umumnya terjadi pada individu obes, khususnya mereka yang mengalami obesitas viseral. Proses ini melibatkan terjadinya akumulasi selular asam lemak bebas yang tidak teresterifikasi dan trigliserida, yang terjadi sebagai akibat dari terbentuknya kelebihan asam lemak bebas di jaringan adiposa abdominal, inhibisi uptake asam lemak bebas oleh mitokondria serta penurunan oksidasi asam lemak bebas. Peningkatan asam lemak bebas intraselular dan metabolitnya menyebabkan terjadinya resistensi insulin serta memiliki efek sitotoksik pada berbagai organ seperti hati, jantung, sel endotel, termasuk ginjal. (22) Kadar berbagai sitokin proinflamasi seperti IL-6, TNF-, CRP, PAI-1, MCP-1 dan resistin meningkat pada pasien dengan sindrom metabolik terkait obesitas. Namun sebaliknya, terjadi penurunan kadar sitokin antiinflamasi seperti adiponektin. Kondisi ini diduga memicu terjadinya resistensi insulin dan inflamasi kronis yang mempengaruhi struktur dan fungsi ginjal, melalui induksi hipertensi, peningkatan stres oksidatif, disfungsi endotel, aterogenesis dan apoptosis sel ginjal. Ilustrasi konsekuensi obesitas terhadap ginjal melalui berbagai mekanisme patologis dapat dilihat pada Gambar 2. (22)
Obesity

OBESITAS DAN FUNGSI GINJAL


Berbagai konsekuensi obesitas telah banyak diketahui seperti peningkatan morbiditas kardiovaskular, kecenderungan terjadinya malignansi dan peningkatan angka mortalitas. Saat ini tengah berkembang pemahaman pengaruh obesitas terhadap ginjal. Obesitas telah diidentifikasi sebagai faktor risiko yang independen terhadap perkembangan dan progresi Penyakit Ginjal Kronis (PGK). (22,23) Studi epidemiologi menunjukkan bahwa sindrom metabolik, yang erat kaitannya dengan obesitas (khususnya obesitas viseral) merupakan prediktor independen terjadinya mikroalbuminuria dan risiko PGK. Selain itu, diketahui bahwa risiko seseorang mengalami Penyakit Ginjal Tahap Akhir (PGTA) meningkat seiring dengan peningkatan IMT. Individu yang sangat obes (ekstrim) memiliki risiko 5 kali lebih tinggi dibandingkan individu dengan massa tubuh normal. (22,23) Inflamasi diduga berkaitan dengan faktor risiko metabolik dan obesitas, tidak hanya pada pasien dengan aterosklerosis namun juga pada pasien dengan penyakit ginjal kronis. Selain itu, diketahui pula bahwa pasien dengan komplikasi aterosklerosis memiliki risiko tinggi terhadap PGK dan begitu pula sebaliknya. Inflamasi kronis dan resistensi insulin yang merupakan karakteristik utama sindrom metabolik dapat memicu terjadinya berbagai gangguan metabolik terkait obesitas yang memiliki keterkaitan terhadap patogenesis hipertensi, abnormalitas lipoprotein, disfungsi endotel, aterosklerosis, dan diabetes. Keseluruhan gangguan

Cytokines, Insulin leptin resistance resistance

Leptin

Uric Acid

Central adiposity

Body size/ Sleep nephron apnea, number PH, RV mismatch dysfunction

IAP

Sympathetic activity

RAS

Renal vein pressure Renal perfusion, hypofiltration

Lipotoxicity

DM

Hypertension

Hyperfiltration

Ammonium Mesangial Endothelial excretion and podocyte dysfunction, injury atherosclerosis Uric acid stones

FSGS Fibrosis Proteinuria

Chronic kidney disease PH = pulmonary hypertension; RV = right ventricular; IAP = intra-abdominal pressure; RAS = renin-angiotensin system; DM = diabetes mellitus; FSGS = focal and segmental glomerulosclerosis

Gambar 2. Konsekuensi Obesitas terhadap Ginjal (22)

Forum Diagnosticum 1/09

Forum Diagnosticum 1/12

OBESITAS DAN SINDROM METABOLIK

Cystatin C adalah protein 13 kDa yang dikenal sebagai novel marker yang sensitif untuk menilai fungsi ginjal dan kardiovaskular. Pada manusia, cystatin C dideteksi pada arteri normal dan terdapat dalam kadar yang rendah pada plak aterosklerosis. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa kadar cystatin C meningkat pada kondisi diabetes, obesitas dan hipertensi. Studi CURES (Cystatin-C with Metabolic Syndrome in Normal GlucoseTolerant Subjects) menunjukkan bahwa kadar cystatin C meningkat linear seiring dengan peningkatan jumlah abnormalitas metabolik. (24) Jaringan adiposa individu obes mensekresikan kadar cystatin C sebanyak 2-3 kali lebih tinggi dibandingkan individu normal. Selain itu, peningkatan kadar cystatin C diduga terjadi akibat inflamasi dan stres oksidatif yang merupakan karakteristik utama sindrom metabolik. Studi yang dilakukan oleh Muntner dkk memperlihatkan keterkaitan antara peningkatan IMT dan kadar cystatin C. Oleh karena itu, pemeriksaan berbagai parameter biokimia, termasuk cystatin C akan membantu stratifikasi risiko pasien dengan dugaan penyakit kardiovaskular lebih dini. (24)

terjadinya komplikasi metabolik. Individu dengan kelebihan adiposa viseral (terutama obesitas sentral) memiliki risiko yang lebih tinggi mengalami fatty liver. Lemak viseral melepaskan asam lemak bebas ke hati melalui vena porta lalu diubah menjadi trigliserida. Hal ini menyebabkan terjadinya peningkatan penyimpanan lemak hepatik, resistensi insulin dan kerusakan hati yang progresif. (25,26,27,28)
Fatty liver NASH Cirrhosis

General population 20%-30% BMI >30 kg/m2 65%-75%

General population 2%-3% BMI >30 kg/m2 15%-20%

General population <1% BMI >30 kg/m2 ?

Gambar 3. Epidemiologi Non-alcoholic Fatty Liver Disease. (27)

Berbagai studi menunjukkan bahwa pada pasien dengan fatty liver selain terjadi akumulasi lemak viseral juga mengalami resistensi insulin. Resistensi insulin memegang peran penting dalam NAFLD karena merupakan penyebab terjadinya gangguan uptake, degradasi atau sekresi molekul lipid sehingga memicu terjadinya akumulasi lipid dalam hepatosit. Disamping itu, hipertrofi adiposit pada obesitas menyebabkan kegagalan dalam penyimpanan kelebihan trigliserida sehingga terjadi akumulasi lemak ektopik di otot skelet dan hati. Selanjutnya terjadi gangguan signalling insulin. (25,27) Saat ini, banyak studi yang meneliti berbagai parameter klinis dan laboratorium yang dapat membantu dalam memprediksi NAFLD. Pasien dengan fatty liver umumnya asimptomatik sehingga investigasi baru dilakukan setelah terdeteksi peningkatan kadar enzim hati yang abnormal pada pemeriksaan rutin. Selain itu, parameter laboratorium juga bermanfaat dalam menentukan kandidat biopsi dan terapi yang tepat. Diketahui bahwa kadar berbagai enzim hati seperti Alanine Aminotransferase (ALT), Aspartate Aminotransferase

OBESITAS DAN FUNGSI HATI


Banyak studi telah menunjukkan keterkaitan antara obesitas dan berbagai penyakit pada masa dewasa, seperti hipertensi arterial, diabetes melitus tipe 2, kanker dan kematian akibat kardiovaskular. Selain itu, kelebihan berat badan terutama obesitas sentral sangat erat kaitannya dengan Nonalcoholic Fatty Liver Disease (NAFLD). (25,26) NAFLD meliputi steatosis hepatik, Nonalcoholic Steatohepatitis (NASH) serta fibrosis hati yang progresif yang banyak terjadi di negara Barat. (Gambar 3) NAFLD diduga merupakan manifestasi hepatik sindrom metabolik. Prevalensinya meningkat seiring dengan peningkatan usia dan seringkali ditemukan pada individu obes (75%) dan diabetes melitus tipe 2 (3474%). Perbedaan distribusi jaringan adiposa memicu

10

Forum Diagnosticum 1/12

OBESITAS DAN SINDROM METABOLIK

(AST), Gammaglutamyl Transferase (GGT), dan Alkaline Phosphatase (ALP) lebih tinggi secara signifikan pada pasien obes dengan fatty liver. (26,29) Adiposa viseral tidak hanya berkaitan dengan peningkatan asam lemak bebas yang bersirkulasi namun juga kadar protein yang dilepaskan jaringan adiposa. Adiponektin, sebagai salah satu protein yang dilepaskan jaringan adiposa kadarnya menurun pada kasus obesitas. Pada pasien fatty liver, kadar adiponektin yang rendah berkaitan erat dengan derajat steatosis hepatik, nekroinflamasi dan fibrosis. Kadar adiponektin pada individu fatty liver 20-60% lebih rendah dibandingkan dengan individu sehat. (27)

Study to Help Improve Early Evaluation and Management of Risk Factors Leading to Diabetes mengindikasikan bahwa 28% individu dengan diabetes yang disurvey termasuk overweight (IMT 25-29,99 kg/m2) dan 59% lainnya obes (Gambar 4). (31)
0,5% 17,6%

12,2%

10,3%

BMI
<18,5 18,5-24,9 25,0-26,9 27,0-29,9 30,0-34,9 35,0-39,9 >40

15,5% 17,8% 26,1%

OBESITAS DAN GANGGUAN METABOLISME GLUKOSA


WHO memprediksikan bahwa di tahun 2015, sekitar 2,3 milyar orang dewasa mengalami overweight dan lebih dari 700 juta orang obes. Pada saat yang sama, 246 juta orang di seluruh dunia mengalami diabetes dan meningkat hingga 380 juta pada tahun 2025. Peningkatan yang cukup besar terutama terjadi di negara berkembang. (30) Kelebihan berat badan merupakan faktor risiko yang dapat dimodifikasi yang penting dalam perkembangan diabetes tipe 2 (T2DM) karena 85-90% individu dengan T2DM termasuk dalam kategori overweight maupun obes. Istilah diabesity diberikan untuk menunjukkan bahwa diabetes adalah obesity-dependent atau obesitas adalah penyebab utama terjadinya T2DM. (30) Obesitas, bersamaan dengan faktor lain seperti peningkatan usia, riwayat keluarga, diabetes gestasional, gangguan metabolisme glukosa, dan inaktivitas fisik terkait dengan peningkatan risiko T2DM. Di US, prevalensi orang dewasa usia 18-79 tahun yang didiagnosis diabetes meningkat menjadi 41% dari tahun 1997-2003, dan peningkatan terbesar terjadi pada individu obes (IMT>30 kg/m2). Dari hasil penelitian the

Gambar 4. Distribusi Nilai IMT Pada Pasien dengan Diabetes Tipe I dan II pada The Study to Help Improve Early Evaluation and Management of Risk Factors Leading to Diabetes (31)

Obesitas viseral memegang peran penting dalam perkembangan diabetes dengan cara mobilisasi asam lemak bebas dan sitokin inflamasi tertentu yang memicu terjadinya resistensi insulin. Pada kasus resistensi insulin, terjadi insensitivitas adiposit terhadap insulin yang mengakibatkan peningkatan asam lemak bebas. (Gambar 5) Peningkatan asam lemak bebas memicu perkembangan resistensi insulin dan disfungsi sel beta pankreas. Studi epidemiologi prospektif menunjukkan

Visceral fat High lipid turnover Fatty acids in portal vein Liver

Glucose output Insulin clearance Fatty acids in Pancreas Insulin secretion Fatty acids in peripheral circulation Subcutaneous fat Low lipid turnover Muscle Glucose uptake

Gambar 5. Turnover Asam Lemak Bebas di Jaringan Adiposa Viseral dan Subkutan (30)

Forum Diagnosticum 1/09

11

Forum Diagnosticum 1/12

11

OBESITAS DAN SINDROM METABOLIK

bahwa peningkatan kadar asam lemak bebas merupakan penanda risiko jangka panjang perkembangan intoleransi glukosa dan progresi T2DM. Hal ini juga berkaitan dengan berbagai faktor risiko kardiovaskular lainnya. (30,31,32,33) Penelitian yang dilakukan oleh Finnish Diabetes Prevention Study (DPS) dan the US Diabetes Prevention Program (DPP) menemukan bahwa terjadi penurunan insidensi T2DM sebesar 58% saat dilakukan modifikasi gaya hidup yang intensif seperti restriksi kalori, diet rendah lemak, serta peningkatan aktivitas fisik. Selain itu, bukan hanya terjadi penurunan insidensi sindrom metabolik namun juga perbaikan yang signifikan pada kadar Hemoglobin A1c (HbA1c). (30) Obesitas dan diabetes memiliki keterkaitan yang komplek, tidak hanya berkaitan dengan peningkatan risiko perkembangan T2DM namun juga kemungkinan komplikasi jangka panjang. Disamping itu, pengendalian obesitas adalah salah satu goal penting dalam penanganan dan pencegahan T2DM. (30,32) American Diabetes Association (ADA), North American Association for the Study of Obesity (saat ini dikenal dengan The Obesity Society), dan American Society for Clinical Nutrition guidelines mengindikasikan bahwa penurunan berat badan moderat (5% dari berat badan) dapat menurunkan resistensi insulin, glukosa darah puasa serta menurunkan kebutuhan akan obat antidiabetes. (31)

penyakit pernapasan seperti exertional dyspnea , obstructive sleep apnea syndrome (OSAS), obesity hypoventilation syndrome (OHS), chronic obstructive pulmonary disease (COPD), dan asma. Sayangnya, pengaruh obesitas terhadap sistem pernapasan ini belum banyak diketahui. (34,35,36,37,38) Obesitas, terutama obesitas abdominal memiliki peran penting dalam perburukan fungsi paru dan gejala pernapasan baik pada dewasa maupun anak-anak. Salah satu studi menemukan bahwa peningkatan waist-to-hip ratio dan ukuran abdomen memiliki korelasi yang baik dengan kegagalan fungsi paru. Selain itu, kelebihan beban pada daerah anterior dinding dada akibat obesitas akan menurunkan compliance dinding dada dan ketahanan otot pernapasan melalui peningkatan kerja saat bernapas dan resistensi aliran udara (airways). Jaringan adiposa berlebih di dinding dada bagian anterior dan jaringan viseral intraabdominal akan membatasi pergerakan diafragma, mempersempit ekspansi paru basal selama menghirup udara (inspirasi) sehingga terjadi abnormalitas ventilasi-perfusi dan hipoksemia arterial. Perubahan ini berkontribusi terhadap peningkatan prevalensi masalah pernapasan pada individu obes, khususnya pada posisi exertion dan supine seperti saat tidur. (34,35,37,38,39) Banyak sekali penelitian yang menghubungkan antara obesitas dan gangguan pernapasan, salah satunya asma. Jaringan lemak menghasilkan sejumlah mediator inflamasi yang diduga memainkan peran imunologis penting antara obesitas dan asma. Hipotesis ini didasari atas adanya peningkatan konsentrasi CRP, TNF-, dan IL-6 dalam serum subjek obes. Peningkatan kadar CRP berkaitan kuat dan independen dengan kegagalan fungsi paru. Selain itu, pada obesitas, peningkatan sekresi leptin secara spesifik terlibat dalam perkembangan asma dengan cara memodulasi inflamasi aliran udara. Sebaliknya, penurunan sekresi adiponektin, sebagai sitokin antiinflamasi merupakan potential link antara obesitas dan asma. (35,37,38,39)

OBESITAS DAN GANGGUAN PERNAPASAN


Obesitas adalah masalah epidemik global yang memiliki kecenderungan mengalami peningkatan dalam beberapa waktu ke depan. Peningkatan mortalitas dan morbiditas terkait obesitas berhubungan dengan sejumlah kondisi kronis seperti penyakit kardiovaskular dan metabolik, status hiperkoagulasi, osteoartritis hingga kanker. Selain itu obesitas juga memiliki kaitan erat dengan

12

Forum Diagnosticum 1/12

OBESITAS DAN SINDROM METABOLIK

Studi yang dilakukan oleh Leone dkk menemukan bahwa kegagalan fungsi paru berkaitan dengan komponen sindrom metabolik, salah satunya terkait erat dengan obesitas abdominal (lingkar pinggang) dan peningkatan LDL-C, hipertensi, serta resistensi insulin. Keterkaitan ini independen terhadap usia, gender, IMT, sejarah penyakit kardiovaskular, merokok, atau konsumsi alkohol. (34,39)

Obesitas dan sindrom metabolik terbukti dapat menyebabkan berbagai gangguan, diantaranya fungsi kardiovaskular, ginjal, hati, dan sebagainya. Pemeriksaan laboratorium adalah salah satu parameter penting, baik dalam diagnosis maupun penanganan obesitas dan sindrom metabolik seperti memperkirakan keparahan penyakit, tindak lanjut perkembangan penyakit serta menilai efektivitas terapi. Selain itu pemeriksaan laboratorium memungkinkan klinisi mendapatkan informasi berguna sehingga dapat diambil keputusan pengobatan yang tepat. Pemeriksaan laboratorium sindrom metabolik yang disarankan: Risiko metabolik penyakit kardiovaskular - Trigliserida - Kolesterol HDL - Kolesterol LDL Direk - Apo B - Adiponektin - hs-CRP - NT-pro BNP Risiko diabetes dan resistensi insulin - Glukosa puasa - HbA1c Fungsi ginjal - Cystatin C - Albumin urin kuantitatif Fungsi hati - SGPT Pemeriksaan non laboratorium - Lingkar pinggang - Tekanan darah

PENUTUP
Pada beberapa dekade terakhir telah terjadi peningkatan insiden obesitas di seluruh dunia. Obesitas dan gangguan metabolisme telah menjadi ancaman serius bagi kesehatan manusia di muka bumi, baik saat ini maupun di masa mendatang. Obesitas dan sindrom metabolik berkaitan dengan dislipidemia, gangguan metabolisme glukosa dan hipertensi serta merepresentasikan sejumlah faktor risiko diantaranya penyakit jantung koroner, aterosklerosis, diabetes dimana inflamasi memegang peran penting dalam patogenesisnya. Selain itu, peningkatan obesitas menyebabkan penurunan angka harapan hidup. (4,5,9,40,42) Saat ini, telah jelas bahwa jaringan adiposa tidak hanya sekedar tempat penyimpanan dan termoregulator, namun juga sebagai organ yang aktif mensekresikan berbagai mediator yang dikenal dengan adipokin. Jaringan adiposa tidak hanya mempengaruhi keseluruhan metabolisme namun juga fungsionalitas berbagai organ dan jaringan seperti otot, hati, otak dan pembuluh darah. Peningkatan massa sel lemak memicu ketidakseimbangan pelepasan hormon yang pada akhirnya menyebabkan berbagai masalah kesehatan yang serius. Selain itu, komplikasi obesitas yang seringkali disebut sebagai sindrom metabolik ditandai oleh resistensi insulin yang sering diikuti kerusakan sel beta pankreas, gangguan toleransi glukosa dan diabetes tipe 2, dislipidemia, hipertensi serta penyakit jantung prematur. (4,9,41)

Forum Diagnosticum 1/09

13

Forum Diagnosticum 1/12

13

OBESITAS DAN SINDROM METABOLIK

RUJUKAN
1. Ferrari CK. Metabolic Syndrome and Obesity: Epidemiology and Prevention in Physical Activity and Exercise. J Exerc Sci Fit 2008; 6(2): 87-96. 2. 3. 4. http://www.who.int/mediacentre/factsheets/ fs311/en/. Petrucelli OM. The Metabolic Syndrome. Northeast Florida Medicine 2008; 59(3): 18-21. Singla P , Bardoloi A, Parkash AA. Metabolic Effects of Obesity: A Review. World J Diabetes 2010; 1(3):76-88. 5. Shen J, Goyal A, Sperling L. The Emerging Epidemic of Obesity, Diabetes, and the Metabolic Syndrome in China. Cardiol Res Pract 2012; 2012:1-5. 6. Huang Y, Zhao Z, Li X, Wang J, Xu M, Bi Y, et al. Prevalence of Metabolic Syndrome and its Association with Obesity Indices in A Chinese Population. J Diabetes 2009; 1(1):57-64. 7. 8. The Asia-Pacific Perspective: redefining Obesity and its treatment. World Health Organization. Alberti KG, Zimmet P , Shaw J. Metabolic Syndrome A New Worldwide Definition. A Consensus Statement form The International Diabetes Federation. Diabet Med 2006; 23: 469-480. 9. Zhang C. Emerging Role of Adipokines as mediators in Atherosclerosis. World J Cardiol 2010; 2(11):370-376. 10. Shen J, Goyal A, Sperling L. The Emerging Epidemic of Obesity, Diabetes, and The Metabolic Syndrome in China. Cardiol Res and Pract 2012; 2012:1-5. 11. Riediger ND, Clara I. Prevalence of Metabolic Syndrome in the Canadian Adult Population. CMAJ 2011; 183(15): E1127-1134. 12. Henn JG, Lichtenstein S, Hrster F, Hoffmann GF, Nawroth PP , Hamann A. Moderate Weight Reduction in an Outpatient Obesity Intervention Program Significantly Reduces Insulin Resistance and Risk Factors for CVD in Severely Obese Adolescents. Int J Endocrinol 2011; 2011: 1-6.

13. Venkatramana P, Reddy PC. Association of Overall and Abdominal Obesity with Coronary Heart Disease Risk Factors Comparison Between Urban and Rural Indian Men. J Clin Nutr 2002; 11(1):66-71. 14. Lavie CJ, Milani RV, Ventura HO. Obesity and Cardiovascular Disease: Risk Factor, Paradox, and Impact of Weight Loss. J Am Coll Cardiol 2009; 53:1925-1932. 15. Burke GL, Bertoni AG, Shea S, Tracy R, Watson KE, Blumenthal RS, et al. The Impact of Obesity on Cardiovascular Disease Risk Factors and Subclinical Vascular Disease. Arch Intern Med 2008; 168(9): 928-935. 16. Contois JH, McConnell JP. Apolipoprotein B. Is It Time to Switch from LDL-C. Clinical Laboratory News 2008; 34(9). 17. Ojea AR, Alonso C, Yarnell JW, Woodside JV. Status of Novel Cardiovascular Risk Factor and Cardiovascular Disease Risk in an Urban Cuban Population-A Pilot Study. J Health Popul Nutr 2011; 29(5): 510-515. 18. Manabe I. Chronic Inflammation links Cardiovascular, Metabolic and Renal Disease. Circ J 2011; 75: 2739-2748. 19. Nystrm T. C Reactive Protein: A marker or a player. Clin Sci 2007; 13(2): 79-81. 20. Aprahamian TR, Sam F. Adiponectin in Cardiovascular Inflammation and Obesity. Int J Inflam 2011; 2011:1-8. 21. Lopaschuk GD. Obesity and Heart Disease. Heart Metab 2010; 48:3-4. 22. Wahba I. The Renal Consequences of Obesity-What Have We Learned in Recent Years?. US Nephrology 2008; 3(2):12-15. 23. Zocalli C. Overweight, Obesity and Metabolic Alterations in Chronic Kidney Disease. Biol Med Sci 2009; 30(2):17-31.

14

Forum Diagnosticum 1/12

OBESITAS DAN SINDROM METABOLIK

24. Surendar J, Indulekha K, Aravindhan V, Ganesan A, Mohan V. Association of Cystatin-C with Metabolic Syndrome in Normal Glucose-Tolerant Subjects (CURES-97). Diabetes Technology and Therapeutics 2010; 12(11): 907-912. 25. Dmaso AR, do Prado WL, de Piano A, Tock L, Caranti DA, Lofrano MC, et al. Relationship between Nonalcoholic Fatty Liver Disease Prevalence and Visceral Fat in Obese Adolescents. Dig Liver Dis 2008; 40(2):132-139. 26. Pulzi FB, Cisternas R, Melo MR, Ribeiro CM, Malheiros CA, Salles JE. New Clinical Score to Diagnose Nonalcoholic Steatohepatitis in Obese Patients. Diabetol Metab Syndr 2011; 3(3):1-6. 27. Buechler C, Wanninger J, Neumeier M. Adiponectin, A Key Adipokine in Obesity Related Liver Diseases. World J Gastroenterol 2011;17(23): 2801-2811. 28. Margariti E, Deutsch M, Manolakopoulos S, Papatheodoridis GV. Non-alcoholic Fatty Liver Disease May Develop in Individuals with Normal Body Mass Index. Annals of Gastroenterology 2012; 25:1-7. 29. El-Karaksy HM, El-Koofy NM, Anwar GM, El-Mougy FM, El-Hennawy A, Fahmy ME. Predictors of Nonalcoholic Fatty Liver Disease in Obese and Overweight Egyptian Children: Single Center Study. The Saudi J Gastroenterol 2011; 17 (1):40-46. 30. Hussain A, Hydrie MZ, Claussen B, Asghar S. Type 2 Diabetes and Obesity: A Review. Journal of Diabetology 2010; 2:1. 31. Apovian CM. Management of Diabetes Across The Course of Disease: Minimizing Obesity-associated Complications. Diabetes Metab Syndr Obes 2011; 4: 353-369. 32. Micic D, Cvijovic G. Abdominal Obesity and Type 2 Diabetes. Diabetes and Lifestyle 2008; 2008: 2628. 33. Thevenod F. Pathophysiology of Diabetes Mellitus Type 2: Roles of Obesity, Insulin Resistance and bCell Dysfunction. Front Diabetes 2008; 19:1-18.

34. Zammit C, Liddicoat H, Moonsie I, Makker H. Obesity and Respiratory Diseases. Int J Gen Med 2010; 3: 335-343. 35. Delgado J, Barranco P, Quirce S. Obesity and Asthma. J Investig Allergol Clin Immunol 2008; 18(6): 420-425. 36. Beuther DA, Sutherland ER. Overweight, Obesity and Incident Asthma: A Meta-analysis of Prospective Epidemiologic Studies. Am J Respir Crit Care Med 2007; 175: 661-666. 37. Poulain M, Doucet M, Major GC, Drapeau V, Series F, Boulet LP , et al. The Effect of Obesity on Chronic Respiratory Diseases: Pathophysiology and Therapeutic Strategies. CMAJ 2006; 174(9): 12931299. 38. Lin WY, Yao CA, Wang HC, Huang KC. Impaired Lung Function is Associated with Obesity and Metabolic Syndrome in Adults. Obesity 2006; 14(9): 1654-1661. 39. Schwartz AR, Patil SP, Laffan AM, Polotsky V, Schneider H, Smith PL. Obesity and Obstructive Sleep Apnea: Pathogenic Mechanism and Therapeutic Approaches. Proc Am Thorac Soc 2008; 5:185-192. 40. Wang Z, Nakayama T. Inflammation, A Link Between Obesity and Cardiovascular Disease. Mediators Inflamm 2010; 2010: 1-17. 41. Maenhaut N, de Voorde JV. Regulation of Vascular Tone by Adipocytes. BMC Med 2011; 9:25. 42. Kaur P, Radhakrishnan E, Rao SR, Sankarasubbaiyan S, Rao TV, Gupte MD. The Metabolic Syndrome and Associated Risk Factors in An Urban Industrial Male Population in South India. J Assoc Physicians India 2010;58: 363-366, 371.

Forum Diagnosticum 1/09

15

Forum Diagnosticum 1/12

15

OBESITAS DAN SINDROM METABOLIK

Forum Diagnosticum
ISSN 0854-7173

Redaksi Kehormatan Prof. Dr. dr. Marsetio Donosepoetro Drs. Andi Wijaya, Ph.D. Prof. Dr. dr. FX Budhianto Suhadi Prof. Dr. dr. Irwan Setiabudi Ketua Dewan Redaksi/Penanggung Jawab Tatat Novianti, M.Si Anggota Dewan Redaksi Dr. Marita Kaniawati, M.Si., Apt. Trilis Yulianti, S.Si., M.Kes. Elva Aprilia Nasution, S.Farm. Emmy F. Harefa, S.Si., Apt. Lia Meliani, S.Si., Apt. Serlyana Herman, S.Si., Apt. Alamat Redaksi Laboratorium Klinik Prodia Jl. Cisangkuy 2, Bandung 40114 Telepon: (022) 7234210 (Hunting) Fax : (022) 7207682 e-mail: produk@prodia.co.id website: www.prodia.co.id Kantor Pusat Jl. Kramat Raya 150, Jakarta 10430 Telepon: (021) 3144182

Certificate Number : JKT 0403247 Certified to QMS

April 2012-3100377

16

Forum Diagnosticum 1/12

Anda mungkin juga menyukai