Anda di halaman 1dari 41

MASTER PLAN KELURAHAN DINOYO KECAMATAN LOWOKWARU

2.2

Perumahan Perumahan berasal dari kata dasar rumah yang umumnya diartikan sebagai

tempat berteduh. Menurut Maslow kebutuhan akan rumah merupakan kebutuhan dasar yang harus dipenuhi (biological and physiological needs) yang selanjutnya akan berpengaruh pada pengaktualisasian seseorang terhadap lingkungannya. 2.2.1 Pengertian Rumah Rumah menurut UU No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman pasal 1 ayat (1), rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga. Rumah jika ditinjau dari sudut pandang ilmu arsitektur, rumah adalah setiap tempat/ruang paling tidak harus memperhatikan unsur-unsur yang mempengaruhi falsafah, karakter bentuk dan ruangnya, yaitu (1) manusia sebagai pengguna (user), dengan segala latar belakangnya, seperti budaya, tradisi, perilaku, tingkat sosial dan sebagainya, (2) aktivitas, yaitu kegiatan-kegiatan yang berlangsung dalam ruang untuk mencapai tujuan tertentu atau untuk memenuhi kebutuhan tertentu, dan (3) teknologi, yang merupakan pemecahan teknis untuk mendukung tercapainya tujuan dari suatu aktivitas, baik pemecahan dimensi fungsional ruang, struktur dan konstruksi maupun fungsi pelayanan (services) untuk aktivitas yang dilakukan1. Menurut WHO, rumah adalah struktur fisik atau bangunan untuk tempat berlindung, lingkungan berguna untuk kesehatan jasmani dan rohani serta keadaan sosialnya baik untuk kesehatan kelu arga dan individu (Komisi WHO Mengenai Kesehatan dan Lingkungan, 2001)2. Rumah (home, Inggris) dalam kamus bahasa Inggris lebih digambarkan sebagai sesuatu yang bersifat fisik (house, dwelling, shelter), seperti contoh pengertian rumah berikut: (1) bangunan untuk tempat tinggal/ bangunan pada umumnya (seperti gedung dan sebagainya); (2) dwellingplace, fixed residence of family or household; members of family collectively ; private-house. Jika ditinjau secara lebih dalam rumah tidak sekedar sebuah bangunan melainkan suatu konteks sosial dari kehidupan keluarga, manusia yang tinggal di dalamnya saling mencintai dan berbagi dengan orang-orang terdekatnya. Pandangan ini menekankna rumah lebih merupakan suatu sistem
1 2

www.journal.ac.id. Rumah Lestari Suatu Pendekatan Holistik oleh Wahyuni Zahra, diakses tanggal 8 Januari 2009 Soedjajadi Keman. Kesehatan Perumahan dan Permukiman. Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol.2, No. 1 Juli 2005, Hal. 31

II-23
PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MASTER PLAN KELURAHAN DINOYO KECAMATAN LOWOKWARU

sosial daripada sistem fisik Hal ini disebabkan karena rumah berkaitan erat dengan manusia, yang memiliki tradisi sosial, perilaku dan keinginan-keinginan yang berbeda dan selalu bersifat dinamis, karenanya rumah bersifat kompleks dalam mengakomodasi berbagai konsep dalam diri manusia dan kehidupannya. Tataran ini dijelaskan Hayward tentang beberapa konsep tentang rumah3: 1. 2. Rumah sebagai pengejawantahan jati diri; rumah sebagai simbol dan pencerminan tata nilai selera pribadi penghuninya. Rumah sebagai wadah keakraban; rasa memiliki, rasa kebersamaan, kehangatan, kasih dan rasa aman. 3. Rumah sebagai tempat menyendiri dan menyepi; tempat melepaskan diri dari dunia luar, dari tekanan dan ketegangan, dari dunia rutin. 4. Rumah sebagai akar dan kesinambungan; rumah merupakan tempat kembali pada akar dan menumbuhkan rasa kesinambungan dalam untaian proses ke masa depan. 5. 6. 7. 2.2.2 1. Rumah sebagai wadah kegiatan utama sehari-hari. Rumah sebagai pusat jaringan sosial. Rumah sebagai struktur fisik.

Pengertian Perumahan dan Permukiman Menurut UU No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman pasal 1 ayat (2 dan 3), perumahan berada dan merupakan bagian dari permukiman. Pasal 1 ayat 2: "Perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan". Pasal 1 ayat 3: "Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau

www.journal.ac.id. Rumah Lestari Suatu Pendekatan Holistik oleh Wahyuni Zahra, diakses tanggal 8 Januari 2009

II-24
PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MASTER PLAN KELURAHAN DINOYO KECAMATAN LOWOKWARU

lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung peri kehidupan dan penghidupan" 2. Menurut Soedarsono (Blaang, 1986:1), permukiman adalah suatu kawasan perumahan lengkap dengan prasarana lingkungan, prasarana umum, dan fasilitas sosial yang mengandung keterpaduan kepentingan dan keselarasan pemanfaatan sebagai lingkungan kehidupan. Menurut C.A Doxiadis, Ketua Dewan Redaksi Majalah Ekistics (dalam Blaang 1986:28), mendefinisikan konsep permukiman sebagai penataan kawasan yang dibuat oleh manusia untuk kepentingannya, dengan tujuan untuk bertahan hidup. 3. Mengenai definisi permukiman, Blaang telah memberikan definisinya, yaitu: Permukiman adalah suatu wilayah perumahan yang ditetapkan secara fungsional sebagai satuan sosial, ekonomi dan fisik ruang dilengkapi dengan prasarana lingkungan, sarana umum, dan fasilitas sosial sebagai suatu kesatuan yang utuh dengan membudidayakan sumbersumber daya dan dana, mengelola lingkungan yang ada untuk mendukung kelangsungan dan peningkatan mutu kehidupan manusia, memberi rasa aman, tenteram nikmat, nyaman dan sejahtera dalam keselarasan, keserasian, dan keseimbangan agar fungsi sebagai wadah yang dapat melayani kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara (Blaang, 1986:29). Jadi, dapat disimpulkan bahwa perumahan dan permukiman adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan, adanya perumahan diakibatkan sebagai suatu proses bermukim yang secara sengaja ditata oleh manusia untuk dapat bertahan hidup di suatu lokasi yang aman dan dilengkapi dengan prasarana lingkungan, sarana umum dan fasilitas sosial yang melengkapi segala aktivitas manusia yang bermukim di dalamnya. 2.2.3 Klasifikasi Bangunan Hunian Klasifikasi bangunan hunian ini meninjau dua aspek, yaitu tipe rumah dan jenis bangunan hunian.

II-25
PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MASTER PLAN KELURAHAN DINOYO KECAMATAN LOWOKWARU

2.2.3.1 Tipe Rumah Rumah berdasarkan ukurannya dapat dibedakan dengan melihat luas rumah tesebut(Gunawan dan Surjono. Perencanaan Permukiman. 2009: 73). Tipe rumah juga dapat dilihat melalui luas rumah yang dimiliki. 1. Tipe rumah besar 2. Tipe rumah sedang 3. Tipe rumah kecil : 120 m2 600 m2 (tipe 70) : 70 m2 100 m2 (tipe 45-54) : 21 m2 54 m2 (tipe 21-36)

Menurut SNI 03-1733-2004 tentang Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan, mengklasifikasikan beberapa tipe rumah, diantaranya: a. Rumah inti Rumah inti adalah unit rumah dengan satu ruang serbaguna yang selanjutnya dapat dikembangkan oleh penghuni. b. Rumah tunggal (hunian tidak bertingkat) Rumah tunggal adalah kediaman yang mempunyai persil sendiri dan salah satu dinding bangunan induknya tidak dibangun tepat pada batas persil. c. Rumah kopel (hunian gandeng dua) Rumah kopel adalah dua buah tempat kediaman lengkap, salah satu sisi bangunan induknya menyatu dengan sisi satu bangunan lain atau satu tempat kediaman lain, dan masing-masing mempunyai persil sendiri. d. Rumah deret (hunian gandeng banyak) Rumah deret adalah beberapa tempat kediaman lengkap dan satu atau lebih dari sisi bangunan induknya menyatu dengan sisi satu atau lebih bangunan lain atau tempat kediaman lain, tetapi masing-masing mempunyai persil sendiri. e. Rumah susun (hunian bertingkat) Rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal maupun vertikal, dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian, yang dilengkapi dengan bagianbersama, benda bersama dan tanah bersama.

II-26
PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MASTER PLAN KELURAHAN DINOYO KECAMATAN LOWOKWARU

2.2.3.2 Jenis Bangunan Hunian Berdasakan Peraturan Pemerintah Nomor 49 tahun 1963 tentang Hubungan Sewa Menyewa Perumahan dan Raperda Ketentuan IMB, klasifikasi rumah berdasarkan konstruksinya adalah sebagai berikut: 1. Rumah Permanen 2. Rumah Semi Permanen 3. Rumah Non Permanen
Tabel 2.2.1 Variabel Penilaian Jenis Bangunan Hunian Berdasarkan Konstruksi
Variabel No. Konstruksi Dinding Tembok dengan kerangka beton bertulang Dinding tembok dan sebagian terbuat dari papan atau kayu Bambu Lantai Ubin atau tegel Semen Atap Genting Komponen Ruang yang Dimiliki Memiliki dapur, WC dan kamar mandi Memiliki dapur, WC dan kamar mandi Tidak memiliki pembagian ruang yang jelas

1.

Permanen Semi Permanen Non Permanen

2.

Genting Genting atau Seng

3.

Semen atau tanah

Sumber: Peraturan Pemerintah Nomor 49 tahun 1963 tentang Hubungan Sewa Menyewa Perumahan dan Raperda Ketentuan IMB

2.2.4

Intensitas Bangunan Gedung Intensitas bangunan gedung mencakup kepadatan dan ketinggian

bangunan gedung ((Koefisien Dasar Bangunan (KDB), Jumlah Lantai Bangunan (JLB) dan Koefisien Lantai Bangunan (KLB)), perhitungan KDB dan KLB, Koefisien Dasar Hijau (KDH) dan Koefisien Tapak Basement (KTB). 2.2.4.1 Kepadatan dan Ketinggian Bangunan Gedung a. Koefisien Dasar Bangunan (KDB) Menurut Pd-T-01-2005-C Badan Litbang PU mengenai Perencanaan Rumah Maisonet, koefisien dasar bangunan adalah perbandingan antara luas dasar bangunan dengan luas persil tanah (penerapan peraturan pembangunan dengan KDB ini bertujuan untuk menjaga keseimbangan lingkungan).

II-27
PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MASTER PLAN KELURAHAN DINOYO KECAMATAN LOWOKWARU

b.

Jumlah Lantai Bangunan (JLB) Jumlah lantai bangunan adalah penetapan ketinggian bangunan dibedakan dalam tingkatan ketinggian: bangunan rendah (jumlah lantai bangunan gedung sampai dengan 4 lantai), bangunan sedang (jumlah lantai bangunan gedung 5 lantai sampai dengan 8 lantai), dan bangunan tinggi (jumlah lantai bangunan lebih dari 8 lantai). (Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung)

c.

Koefisien Lantai Bangunan (KLB) Koefisien lantai bangunan adalah perbandingan antara luas lantai bangunan dengan luas persil tanah (aturan tentang KLB ini juga menyebut perbandingan seluruh luas lantai terhadap luas lahan, tujuannya adalah untuk menciptakan adanya keseimbangan antara luasan lahan terbangun dengan luasan lahan kosong yang dapat digunakan antara lain untuk keperluan pertanaman, parkir kendaraan) (Pd-T-01-2005-C Badan Litbang PU mengenai Perencanaan Rumah Maisonet). Persyaratan kinerja dari ketentuan kepadatan dan ketinggian bangunan

ditentukan oleh (Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 29 Tahun 2006 tentang Pedoman Persyaratan Teknis Bangunan Gedung): 1. kemampuannya dalam menjaga keseimbangan daya dukung lahan dan optimalnya intensitas pembangunan; 2. kemampuannya dalam mencerminkan keserasian bangunan dengan lingkungan; 3. kemampuannya dalam menjamin kesehatan dan kenyamanan pengguna serta masyarakat pada umumnya. 2.2.4.2 Perhitungan KDB dan KLB Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 29 Tahun 2006 tentang Pedoman Persyaratan Teknis Bangunan Gedung, maupun KLB ditentukan dengan pertimbangan sebagai berikut: 1. Perhitungan luas lantai bangunan adalah jumlah luas lantai yang diperhitungkan sampai batas dinding terluar; perhitungan KDB

II-28
PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MASTER PLAN KELURAHAN DINOYO KECAMATAN LOWOKWARU

2.

Luas lantai ruangan beratap yang sisi-sisinya dibatasi oleh dinding yang tingginya lebih dari 1,20 m di atas lantai ruangan tersebut dihitung penuh 100 %;

3.

Luas lantai ruangan beratap yang bersifat terbuka atau yang sisi-sisinya dibatasi oleh dinding tidak lebih dari 1,20 m di atas lantai ruangan dihitung 50 %, selama tidak melebihi 10 % dari luas denah yang diperhitungkan sesuai dengan KDB yang ditetapkan;

4. 5. 6.

Overstek atap yang melebihi lebar 1,50 m maka luas mendatar kelebihannya tersebut dianggap sebagai luas lantai denah; Teras tidak beratap yang mempunyai tinggi dinding tidak lebih dari 1,20 m di atas lantai teras tidak diperhitungkan sebagai luas lantai; Luas lantai bangunan yang diperhitungkan untuk parkir tidak diperhitungkan dalam perhitungan KLB, asal tidak melebihi 50 % dari KLB yang ditetapkan, selebihnya diperhitungkan 50 % terhadap KLB;

7. 8. 9.

Ram dan tangga terbuka dihitung 50 %, selama tidak melebihi 10 % dari luas lantai dasar yang diperkenankan; Perhitungan KDB dan KLB perlu diperhatikan luas tapak yang diperhitungkan yaitu dibelakang GSJ (Garis Sempadan Jalan); Pembangunan yang berskala kawasan (superblock), perhitungan KDB dan KLB adalah dihitung terhadap total seluruh lantai dasar bangunan, dan total keseluruhan luas lantai bangunan dalam kawasan tersebut terhadap total keseluruhan luas kawasan;

10. Perhitungan ketinggian bangunan, apabila jarak vertikal dari lantai penuh ke lantai penuh berikutnya lebih dari 5 m, maka ketinggian bangunan tersebut dianggap sebagai dua lantai; 2.2.4.3 Koefisien Dasar Hijau (KDH) Koefisien Dasar Hijau (KDH) adalah angka prosentase perbandingan antara luas ruang terbuka di luar bangunan yang diperuntukkan bagi pertamanan/penghijauan dengan luas tanah daerah perencanaan, dengan indikator analisis ((Pedoman RDTRK PU): 1. tingkat pengisian/peresapan air (water recharge); 2. besar pengaliran air (kapasitas drainase); II-29
PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MASTER PLAN KELURAHAN DINOYO KECAMATAN LOWOKWARU

3. rencana tata ruang (RTH, tipe zonasi). 2.2.4.4 Koefisien Tapak Basement (KTB) Koefisien Tapak Basement (KTB) yang selanjutnya disingkat KTB adalah angka prosentase perbandingan luas tapak basement dengan luas tanah perpetakan/daerah perencanaan yang dikuasai sesuai dengan rencana tata ruang dan tata bangunan yang ada (Pedoman RDTRK PU). Penetapan besar KTB maksimum didasarkan pada batas KDH minimum yang ditetapkan. Contoh : bila suatu rumah memiliki KDH minimum = 25%, maka KTB maksimum = 75%. 2.2.5 Garis Sempadan Menurut pasal 13 ayat (1), UU 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung, garis sempadan adalah garis yang membatasi jarak bebas minimum dari bidang terluar suatu massa bangunan gedung terhadap batas lahan yang dikuasai, antar massa bangunan lainnya, batas tepi sungai/pantai, jalan kereta api, rencana saluran,dan/atau jaringan listrik tegangan tinggi. 2.2.5.1 Garis Sempadan Bangunan Garis sempadan bangunan adalah garis yang di atas atau sejajar di belakangnya dapat didirikan bangunan. Garis Sempadan Bangunan yang selanjutnya disingkat GSB atau Garis Sempadan Pondasi Bangunan terluar adalah merupakan jarak bebas minimum dari bidang-bidang terluar suatu massa bangunan terhadap4: 1. Batas tepi Ruang Milik Jalan (RUMIJA). 2. Batas lahan yang dikuasai. 3. Batas tepi sungai/pantai. 4. Antar massa bangunan lainnya. 5. Rencana saluran, jaringan tegangan tinggi listrik, jaringan pipa gas dan sebagainya. Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 29 Tahun 2006 tentang Pedoman Persyaratan Teknis Bangunan Gedung, garis sempadan bangunan dibagi menjadi 2 bagian, diantaranya adalah: a.
4

Garis Sempadan (Muka) Bangunan Gedung

Perda Kota Malang No. 1 Tahun 2004 tentang Penyelenggaraan Bangunan

II-30
PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MASTER PLAN KELURAHAN DINOYO KECAMATAN LOWOKWARU

Jika garis sempadan pagar dan garis sempadan muka bangunan berimpit (GSB sama dengan nol), maka bagian muka bangunan harus ditempatkan pada garis tersebut. Pertimbangan Garis Sempadan Bangunan (GSB) dan Jarak Bebas Bangunan b. GSB minimum ditetapkan dengan mempertimbangkan keselamatan, risiko kebakaran, kesehatan, kenyamanan dan estetika. Garis Sempadan (Samping dan Belakang) Bangunan Gedung Pada daerah intensitas bangunan padat/rapat, maka garis sempadan samping dan belakang bangunan harus memenuhi persyaratan: 1. 2. bidang dinding terluar tidak boleh melampaui batas pekarangan; struktur dan pondasi bangunan terluar harus berjarak sekurangkurangnya 10 cm kearah dalam dari batas pekarangan, kecuali untuk bangunan rumah tinggal; 3. untuk perbaikan atau perombakan bangunan yang semula menggunakan bangunan dinding batas bersama dengan bangunan di sebelahnya, disyaratkan untuk membuat dinding batas tersendiri disamping dinding batas terdahulu; 4. pada bangunan rumah tinggal rapat tidak terdapat jarak bebas samping, sedangkan jarak bebas belakang ditentukan minimal setengah dari besarnya garis sempadan muka bangunan.

Sumber: SNI 03-6967-2003

Gambar 2.2.1 Bagian-Bagian Jalan Untuk Lingkungan Perumahan

Keterangan gambar: a. Perkerasan II-31


PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MASTER PLAN KELURAHAN DINOYO KECAMATAN LOWOKWARU

b. Lajur maksimum 3,5 meter c. Bahu minimum 1 meter d. Saluran Drainase 1 meter e. Jalur hijau 1 meter f. Jalur pejalan kaki 1.5 meter g. Sempadan bangunan minimum 10.5 meter h. Rumaja i. Rumija j. Ruwasja k. Rumaja > 5 meter di atas sumbu jalan l. Rumaja > 1.5 meter di bawah sumbu jalan m Infrastruktur lain (kabel, saluran air kotor dan sebagainya) Berikut ini adalah persyaratan jarak bebas bangunan yang ditentukan oleh Dinas Pekerjaan Umum.
Tabel 2.2.2 Persyaratan Jarak Bebas
Pengaturan Bangunan Kawasan Jenis KB 1 KS 1 KK 1 3 0 2 2 0 1 15 12,5 24 2 70 2 70 40 40 2 15 15 48 96 40 Perumahan Susun 3 15 12,5 10 48 40 4 15 15 48 64 40

Garis Sempadan 5 3 Bangunan (m2) Jarak Bebas Samping Minimum (m) Jarak Bebas Belakang Minimum (m) Ketinggian Bangunan 2 2 (Lapis) Koefisien Dasar Bangunan Maksimum 40 60 (%) Sumber: PD T-22-2005-B Badan Litbang PU

Keterangan : 1. 2. KS 3. KK KB : Kaveling Besar : Kaveling Sedang : Kaveling Kecil

2.2.5.2 Garis Sempadan Sungai

II-32
PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MASTER PLAN KELURAHAN DINOYO KECAMATAN LOWOKWARU

Penetapan garis sempadan sungai atau disebut garis batas perlindungan sungai adalah usaha untuk mewujudkan pemanfaatan sungai serta mengendalikan daya rusak sungai. Adapun penetapan garis sempadan sungai bertujuan: a. b. Agar fungsi sungai tidak terganggu dari aktivitas yang berkembang disekitarnya. Agar kegiatan pemanfaatan dan upaya peningkatan nilai manfaat sumber daya yang ada di sungai dapat memberikan hasil secara optimal sekaligus menjaga kelestarian fungsi sungai. c. Agar daya rusak air terhadap sungai dan lingkungan dapat dibatasi. Garis sempadan sungai ini akan menjadi acuan pokok dalam kegiatan pemanfaatan dan perlindungan sungai serta pengembangan permukiman di wilayah sekitar sungai. Dasar hukum yang digunakan dalam penentuan sempadan sungai adalah sebagai berikut: 1. Peraturan Pemerintah No. 35 Tahun 1991 tentang Sungai. Sungai adalah tempat-tempat dan wadah-wadah serta jaringan pengaliran air mulai dari mata air sampai muara dengan dibatasi kanan dan kirinya serta sepanjang pengalirannya oleh garis sempadan. Sempadan sungai adalah lahan pada kedua sisi sepanjang palung sungai dihitung dari tepi sampai dengan kaki tanggul sebelah dalam. Garis sempadan sungai adalah garis batas luar pengamanan sungai. 2. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 63/PRT/1993 Tentang penetapan garis Sempadan Sungai, dijelaskan dalam pasal 3 ayat (1) dan ayat (2). Pasal 3 ayat (1): penetapan garis sempadan sungai dimaksudkan sebagai upaya agar kegiatan perlindungan, penggunaan, dan pengendalian atas sumber daya yang ada pada sungai. Pasal 3 ayat (2): penetapan garis sempadan sungai bertujuan agar fungsi sungai tidak terganggu oleh aktivitas berkembang dan sekitarnya dan agar kegiatan pemanfaatan dan upaya peningkatan nilai manfaat sumber daya yang ada II-33
PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MASTER PLAN KELURAHAN DINOYO KECAMATAN LOWOKWARU

di sungai dapat memberikan hasil secara optimal sekaligus menjaga kelestarian sungai, serta daya rusak air terhadap sungai dan lingkungannya dapat dibatasi. Ada beberapa kriteria yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 63 tahun 1993 mengenai penetapan garis sempadan sungai. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 2.2.3

II-34
PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MASTER PLAN KELURAHAN DINOYO KECAMATAN LOWOKWARU

Tabel 2.2.3 Kriteria Penetapan Garis Sempadan Sungai


Di luar kawasan perkotaan No. Tipe sungai Tipikal potongan melintang Kriteria sungai besar (luas DPS >500 km2) 2 Sungai tak bertanggul (diukur dari tepi sungai) Sungai kecil (luas DPS <500 km2) 3 4 5 Danau/Waduk (diukur dari titik pasang tertinggi ke arah darat) Mata Air (sekitar mata air) 50 m 50 m 200 m 100 m Sempadan sekurangkurangnya 5m 100 m Di dalam kawasan perkotaan Kriteria Kedalaman >20 m Kedalaman >3 m sd. 20 m Kedalaman sd. 3m Sempadan sekurangkurangnya 3m 30 m 15 m Pasal

Sungai bertanggul (diukur dari kaki tanggul sebelah luar)

Ps. 6 Ps. 7 & 8 Ps. 7 & 8

10 m 50 m 200 m 100 m

Ps. 7 & 8 Ps. 10 Ps. 10 Ps. 10

Sungai yang terpengaruh pasang surut air ke laut (dari tepi sungai) Sumber: www.dpuairjatim.org, diakses tanggal 22 Nopember 20085

Kriteria-kriteria tersebut akan dijelaskan lebih lanjut pada gambar-gambar di bawah ini.

Data ini telah diperbaharui oleh Dinas Pekerjaan Umum Pengairan Jawa Timur tahun 2008

II-35
PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MASTER PLAN KELURAHAN DINOYO KECAMATAN LOWOKWARU

a. Memiliki Bantaran

b. Tidak Memiliki Bantaran

Sumber: www.dpuairjatim.org, diakses tanggal 22 Nopember 2008

Gambar 2.2.2 Potongan Melintang Sempadan Sungai Tidak Bertanggul

II-36
PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MASTER PLAN KELURAHAN DINOYO KECAMATAN LOWOKWARU

Tipe sungai tidak bertanggul di luar kawasan perkotaan memiliki kriteria untuk sungai besar (luas DPS > 500 km2) memiliki sempadan sekurang-kurangnya 100 m dan untuk sungai kecil (luas DPS < 500 km2) dengan sempadan sekurangkurangnya 50 m. Sedangkan di dalam kawasan perkotaan memiliki kriteria kedalaman > 20 m dengan sempadan sekurang-kurangnya 30 m, untuk kedalaman > 3 m sampai dengan 20 m sempadan sekurang-kurangnya 15 m, dan untuk kedalaman sampai dengan 3 m sempadan sekurang-kurangnya 10 m (diukur dari tepi sungai).

II-37
PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MASTER PLAN KELURAHAN DINOYO KECAMATAN LOWOKWARU

a. Memiliki Bantaran
Sumber: www.dpuairjatim.org, diakses tanggal 22 Nopember 2008

b. Tidak Memiliki Bantaran

Gambar 2.2.3 Potongan Melintang Sempadan Sungai Bertanggul

II-38
PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MASTER PLAN KELURAHAN DINOYO KECAMATAN LOWOKWARU

Tipe sungai bertanggul di luar kawasan perkotaan sempadan sungai sekurangkurangnya 5 m, sedangkan di dalam kawasan perkotaan sempadan sungai sekurang-kurangnya 3 m (diukur dari kaki tanggul sebelah luar). Garis sempadan sungai tidak bertanggul yang berbatasan dengan jalan adalah tepi bahu jalan yang bersangkutan, dengan ketentuan konstruksi dan penggunaan jalan harus menjamin bagi kelestarian dan keamanan sungai sertai bangunan sungai. (Peraturan Menteri Pekerjaan Umum nomor: 63/PRT/1993 pasal 9 ayat 1) Peraturan Menteri Pekerjaan Umum nomor: 63/PRT/1993 menjelaskan juga mengenai daerah manfaat sungai serta daerah penguasaan sungai. Adapun yang dimaksud dengan daerah manfaat sungai adalah mata air, palung sungai dan daerah sempadan yang telah dibebaskan. Sedangkan daerah penguasaan sungai adalah dataran banjir, daerah retensi, bantaran atau daerah sempadan yang telah dibebaskan. Adapun pemanfaatan lahan di daerah sempadan sungai untuk kawasan lindung dapat dikembangkan sebagai kawasan umum, serta pengembangan kawasan rekreasi dan kegiatan lain sepanjang tidak mengganggu fungsi lindungnya. Pemanfaatan lahan di daerah sempadan sungai dapat dilaksanakan oleh masyarakat untuk kegiatan-kegiatan tertentu sebagai berikut (Peraturan Menteri Pekerjaan Umum nomor: 63/PRT/1993 pasal 11 ayat 1): a. b. c. d. e. f. Untuk budidaya pertanian, dengan jenis tanaman yang diizinkan. Untuk kegiatan niaga, penggalian, dan penimbunan. Untuk pemasangan papan reklame, papan penyuluhan dan peringatan , serta rambu-rambu pekerjaan. Untuk pemasangan rentangan kabel listrik, kabel telepon dan pipa air minum. pemancangan tiang atau pondasi prasarana jalan/jembatan baik umum maupun kereta api. Untuk penyelenggaraan kegiatan-kegiatan yang bersifat sosial dan lemasyarakatan yang tidal menimbulkan dampak merugikan bagi kelestarian dan keamanan fungsi serta fisik sungai.

II-39
PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MASTER PLAN KELURAHAN DINOYO KECAMATAN LOWOKWARU

g.

Untuk pembangunan prasarana lalu lintas air dan bangunan pengambilan dan pembuangan air. Selain itu masyarakat juga dapat memanfaatkan lahan di Daerah Manfaat

Sungai dengan ketentuan sebagai berikut (Peraturan Menteri Pekerjaan Umum nomor: 63/PRT/1993 pasal 14 ayat 1): 1. memenuhi persyaratan yang telah ditentukan; 2. harus dengan izin pejabat yang berwenang; 3. mengikuti ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam Pasal 11 dan Pasal 12; 4. tidak menganggu upaya pembinaan sungai. 2.2.6 Kriteria Rumah Sehat Persyaratan kesehatan bangunan yang ditetapkan oleh PU dalam buku konsep Perencangan dan Perencanaan Arsitektur Rumah Susun Sederhana adalah terjaminnya kebutuhan udara yang cukup dengan fasilitas tata udara yang beroperasi dengan baik. Selain itu juga, pencahayaan juga tercukupi kebutuhannya serta terjaminnya kebutuhan sarana dan prasarana air bersih dan sanitasi yang memadai. Menurut American Public Health Association (APHA) rumah dikatakan sehat apabila6: 1. Memenuhi kebutuhan fisik dasar seperti temperatur lebih rendah dari udara di luar rumah, penerangan yang memadai, ventilasi yang nyaman, dan kebisingan 45-55 dB.A.; 2. Memenuhi kebutuhan kejiwaan; 3. Melindungi penghuninya dari penularan penyakit menular yaitu memiliki penyediaan air bersih, sarana pembuangan sampah dan saluran pembuangan air limbah yang saniter dan memenuhi syarat kesehatan; serta 4. Melindungi penghuninya dari kemungkinan terjadinya kecelakaan dan bahaya kebakaran, seperti fondasi rumah yang kokoh, tangga yang tidak curam, bahaya kebakaran karena arus pendek listrik, keracunan, bahkan dari ancaman kecelakaan lalu lintas.
6

Soedjajadi Keman. Kesehatan Perumahan dan Permukiman . Jurnal Kesehatan Lingkungan, Vol.2, No. 1 Juli 2005, Hal. 31

II-40
PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MASTER PLAN KELURAHAN DINOYO KECAMATAN LOWOKWARU

2.2.6.1 Kompenen Rumah Sehat Komponen yang harus dimiliki rumah sehat (Ditjen Cipta Karya, 1997) adalah sebagai berikut:
Tabel 2.2.4 Komponen Rumah Sehat
No. 1 2 Komponen Pondasi Lantai Kriteria Sehat Memberi kestabilan bangunan dan merupakan konstruksi penghubung antara bangunan dengan tanah Kedap air Tidak lembab Tinggi minimum 10 cm dari pekarangan dan 25 cm dari badan jalan Bahan kedap air Untuk rumah panggung dapat terbuat dari papan atau ayaman bambu Luas minimum 10% dari luas lantai. Jarak antara rumah tidak berdempetan Kedap air Mendukung dan menyangga atap Menahan angin dan air hujan Melindungi dari panas dan debu luar Menjaga kerahasiaan (privacy) penghuni (adanya pemisahan ruangan di dalam rumah) Menahan dan menyerap panas terik matahari Minimum 2,4 m dari lantai Bisa dari papan, ayaman bambu, tripleks atau gipsum Penahan sinar matahari Melindungi dari panas, angin, air hujan dan debu luar Minimum 10 meter dari sumur

3 4

Jendela dan Pintu Dinding

Langit-langit

6 7

Atap rumah Jamban dan tempat mandi

Sumber: Ditjen Cipta Karya 1997.

2.2.6.2 Syarat Pokok Kondisi Perumahan dan Lingkungan. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan (Kepmenkes) No. 829 tahun 1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan dan Lingkungan Permukiman dari segi parameter lokasi, seharusnya adalah tidak terletak pada daerah rawan bencana alam seperti bantaran sungai, aliran lahar, tanah longsor, gelombang tsunami, daerah gempa, dan sebagainya; tidak terletak pada daerah bekas tempat pembuangan akhir (TPA) sampah atau bekas tambang; tidak terletak pada daerah rawan kecelakaan dan daerah kebakaran seperti jalur pendaratan penerbangan. Selain itu, ditambahkan bahwa syarat-syarat teknis yang harus dipenuhi dari segi komponen dan penataan ruangan, perlu diperhatikan hal-hal berikut ini. II-41
PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MASTER PLAN KELURAHAN DINOYO KECAMATAN LOWOKWARU

1. 2. 3. tidak rawan kecelakaan; 4. petir; 5. peruntukannya; 6. asap. A. Rumah Sederhana Sehat

Lantai kedap air dan mudah dibersihkan; Dinding rumah memiliki ventilasi, di kamar mandi dan kamar cuci kedap air dan mudah dibersihkan; Langit-langit rumah mudah dibersihkan dan Bumbungan rumah 10 m dan ada penangkal Ruang ditata sesuai dengan fungsi dan Dapur harus memiliki sarana pembuangan

Berdasarkan Kebutuhan Minimal Masa (penampilan) dan Ruang (luardalam) Kebutuhan ruang per orang dihitung berdasarkan aktivitas dasar manusia di dalam rumah. Aktivitas seseorang tersebut meliputi aktivitas tidur, makan, kerja, duduk, mandi, kakus, cuci dan masak serta ruang gerak lainnya. Berdasarkan hasil kajian (dalam Keputusan Menteri Kesehatan No. 829 tahun 1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan dan Lingkungan Permukiman), kebutuhan ruang per orang adalah 9 m2 dengan perhitungan ketinggian rata-rata langit-langit adalah 2.80 m. Rumah sederhana sehat memungkinkan penghuni untuk dapat hidup sehat, dan menjalankan kegiatan hidup sehari-hari secara layak. Kebutuhan minimum ruangan pada rumah sederhana sehat perlu memperhatikan beberapa ketentuan sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. Kebutuhan luas per jiwa Kebutuhan luas per Kepala Keluarga (KK) Kebutuhan luas bangunan per kepala Keluarga (KK) Kebutuhan luas lahan per unit bangunan

Secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 2.2.5

II-42
PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MASTER PLAN KELURAHAN DINOYO KECAMATAN LOWOKWARU

Tabel 2.2.5 Kebutuhan Luas Minimum Bangunan dan Lahan untuk Rumah Sederhana Sehat (Rs Sehat)
Standar per Jiwa (m2) (Ambang Batas) 7,2 (Indonesia) 9,0 (Internasion al) 12,0 Luas (m2) untuk 3 Jiwa Lahan (L) Unit Rumah 21,6 27,0 36,0 Minimal Efektif 60,0 60,0 60,0 72-90 72-90 -Ideal 200 200 -Luas (m2) untuk 4 Jiwa Lahan (L) Unit Rumah 28,8 36,0 48,0 Minimal Efektif 60,0 60,0 60,0 72-90 72-90 -Ideal 200 200 --

Sumber: Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor: 403/KPTS/M/2002 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Rumah Sederhana Sehat (RS Sehat)

Sasaran penyediaan Rumah Sederhana Sehat adalah bagi kelompok masyarakat yang berpenghasilan rendah. Pelaksanaan pemenuhan penyediaan Rumah Sederhana Sehat masih menghadapi kendala, berupa rendahnya tingkat kemampuan masyarakat, mengingat harga Rumah Sederhana Sehat masih belum memenuhi keterjangkauan secara menyeluruh. Oleh karena itu, perlu disediakan disain rumah antara yang pertumbuhannya diarahkan menjadi Rumah Sederhana Sehat. Rumah antara yang dimaksud adalah Rumah Inti Tumbuh (RIT), yaitu rumah yang hanya memenuhi standar kebutuhan minimal rumah, dengan kriteria sebagi berikut: 1. RIT memiliki ruang paling sederhana yaitu sebuah ruang tertutup dan sebuah ruang terbuka beratap dan fasilitas MCK. 2. RIT memiliki bentuk atap dengan mengantisipasi adanya perubahan yang bakal dilakukan yaitu dengan memberi atap pada ruang terbuka yang berfungsi sebagai ruang serba guna. 3. Bentuk generik atap pada RIT selain pelana, dapat berbentuk lain (limasan, kerucut) sesuai dengan tuntutan daerah bila itu ada. 4. Penghawaan dan pencahayaan alami pada RIT menggunakan bukaan yang memungkinkan sirkulasi silang udara dan masuknya sinar matahari.

II-43
PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MASTER PLAN KELURAHAN DINOYO KECAMATAN LOWOKWARU

Pengembangan RIT menjadi Rumah Sederhana Sehat memberi peluang peran calon penghuni/penghuni dalam mengekspresikan kebutuhan pengungkapan jati diri. Sehingga akan mengurangi peluang terhadap pembongkaran bagianbagian bangunan secara besar-besaran (Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor: 403/KPTS/M/2002 tentang Pedoman Teknis Pembangunan Rumah Sederhana Sehat (Rumah Sederhana Sehat) B. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam perumahan Dalam merencanakan suatu permukiman perlu diperhatikan beberapa faktor yaitu (Gunawan dan Surjono, Perencanaan Permukiman, 2009: 72): 1. a. b. c. d. e. f. a. b. c. d. e. 2. Faktor iklim, hal-hal yang perlu diperhatikan: Arah jalanya matahari. Lamanya penyinaran matahari. Temperatur matahari. Curah hujan rata-rata. Kelembaban. Musim. Kebiasaan penduduk Tipe-tipe bangunan dan corak pembangunan Jenis tanaman dan cara bercocok tanam Besaran area-area hijau dan area terbuka Sistem-sistem utilitas Gempa, hal ini perlu diperhatikan karena Indonesia

Hal tersebut di atas sangat besar pengaruhnya dalam:

terletak pada jalur gempa dan terbagi-bagi dalam beberapa daerah gempa yang terbagi-bagi intensitasnya. Faktor gempa sangat mempengaruhi antara lain: a. b. c. d. Pemilihan lokasi area permukiman Cara pemabangunan Tipe konstruksi/bangunan Tipe lingkungan perumahan

Perbandinagn luas lahan untukpermukiman dan sarana umum disesuaikan dengan kelerengan lahan, semakin curam semakin kecil prosentase luas untuk permukiman. II-44
PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MASTER PLAN KELURAHAN DINOYO KECAMATAN LOWOKWARU

a. b. c. d.

Lahan datar: 0% - 8%, prosentase 60 : 40 Lahan landai: 8% - 15%, prosentase 50 : 50 Lahan miring: 15% - 40%, prosentase 40 : 60 Lahan curam: > 40%, posentase 20 : 80 ikut berpengaruh dalam menetapkan tingkat

Faktor non teknis

kenyamanan manusia dan lingkungannya misalnya efek dari kepadatan lingkungan dapat menyebabkan suasana berdesakan bagi manusia dalam lingkungannya. Lingkungan yang memenuhi syarat keyamanan adalah: a. pada manusia dan ekosistem. b. manusia dengan lingkungan sekelilingnya. 2.2.7 Jumlah dan Kepadatan Bangunan Kepadatan bangunan dinyatakan dengan banyaknya jumlah bangunan Mampu memberikan acuan (stimulan) pada manusia dengan cara memberikan hubungan baik antara Tidak menimbulkan tekanan

dalam satuan luas (ha atau km2) di suatu wilayah. Klasifikasi kepadatan bangunan didasarkan pada kriteria dari Dinas Pekerjaan Umum, tahun 20027 sebagai berikut: 1. kepadatan rendah jika lebih kecil dari 50% dari luas total lahan. 2. kepadatan sedang jika antara 40% - 60% dari luas total lahan. 3. kepadatan padat jika 50% - 80% dari luas total lahan. 4. kepadatan sangat padat jika lebih besar 80% dari luas total lahan. Berikut ini adalah ketentuan umum dari Dinas Pekerjaan Umum bagian Cipta Karya mengenai kepadatan maksimum bangunan yang dijinkan
Tabel 2.2.6 Kepadatan Maksimum Bangunan yang Diijinkan
Pengaturan Bangunan Kawasan Jenis KB 1 1 KS 1 1 1 1 KK 2 1 60 20 15 20 1 2 Perumahan Susun 3 4

Hunian Tunggal (unit hunian/perpetakan) Rumah Susun (m2/unit hunian)


7

www. journal.uii.ac.id, diakses tanggal 11 September 2009, pukul 13.55

II-45
PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MASTER PLAN KELURAHAN DINOYO KECAMATAN LOWOKWARU


Luas Perpetakan Minimum (m2) 200 100 Sumber: PD T-22-2005-B Badan Litbang PU 75 60 2.800 2.700 1.400 2.700

Keterangan: KB KS KK 2.2.8 : Kaveling Besar : Kaveling Sedang : Kaveling Kecil Bentuk Pola Permukiman Penduduk Pola persebaran permukiman penduduk dipengaruhi oleh keadaan iklim, keadaan tanah, tata air, topografi dan ketersediaan sumber daya alam yang terdapat di wilayah tersebut. Ada tiga pola permukiman penduduk dalam hubungannya dengan bentang alamnya, yaitu sebagai berikut: 1. Pola permukiman memanjang (Linear) Pola permukiman memanjang memiliki ciri permukiman berupa deretan memanjang karena mengikuti jalan, sungai, rel kereta api atau pantai.

Gambar 2.2.4 Contoh Sketsa Pola Permukiman Linear8

Salah

satu contoh

dari sketsa pola

permukiman

linear

dalam

keadaan/kondisi riil di lapangan.

Gambar 2.2.5
8

Sumber: www.edukasi.net, diakses tanggal 4 September 2009, pukul 19.00

II-46
PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MASTER PLAN KELURAHAN DINOYO KECAMATAN LOWOKWARU Pola Permukiman Linier9

Pola linier biasanya terbentuk karena adanya pola garis lurus dari jalan, sungai, rel kereta api maupun garis pantai.
a. Mengikuti jalan

Pada daerah ini permukiman berada di sebelah kanan kiri jalan. Umumnya pola permukiman seperti ini banyak terdapat di dataran rendah yang morfologinya landai sehingga memudahkan pembangunan jalan-jalan di permukiman. Namun pola ini sebenarnya terbentuk secara alami untuk mendekati sarana transportasi.

Gambar 2.2.6 Contoh Sketsa Pola Permukiman Mengikuti Jalan10 b.

Mengikuti rel kereta api Pada daerah ini permukiman berada di sebelah kanan kiri rel kereta api. Umumnya pola permukiman seperti ini banyak terdapat di daerah perkotaan terutama di daerah padat penduduknya yang dilalui rel kereta api.

Gambar 2.2.7

Sumber: www.edukasi.net, diakses tanggal 4 September 2009, pukul 19.00

10

Sumber: mr.antariksa.googlepages.com, diakses tanggal 11 September 2009

II-47
PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MASTER PLAN KELURAHAN DINOYO KECAMATAN LOWOKWARU Pola Permukiman Mengikuti Jalan atau Rel Kereta Api11

c.

Mengikuti alur sungai Pada daerah ini permukiman terbentuk memanjang mengikuti aliran sungai. Biasanya pola permukiman ini terdapat di daerah pedalaman yang memiliki sungai-sungai besar. Sungai-sungai tersebut memiliki fungsi yang sangat penting bagi kehidupan penduduk.

Gambar 2.2.8 Pola Permukiman Mengikuti Alur Sungai12 b. Mengikuti garis pantai

Daerah pantai pada umumnya merupakan permukiman penduduk yang bermata pencaharian nelayan. Pada daerah ini permukiman terbentuk memanjang mengikuti garis pantai. Hal itu untuk memudahkan penduduk dalam melakukan kegiatan ekonomi yaitu mencari ikan ke laut.

Gambar 2.2.9 Pola Permukiman Mengikuti Garis Pantai 13

11 12 13

Sumber: www.edukasi.net, diakses tanggal 4 September 2009, pukul 19.00 Sumber: www.edukasi.net, diakses tanggal 4 September 2009, pukul 19.00 Sumber: www.edukasi.net, diakses tanggal 4 September 2009, pukul 19.00

II-48
PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MASTER PLAN KELURAHAN DINOYO KECAMATAN LOWOKWARU

2. Pola permukiman terpusat Pola permukiman terpusat menurut Jayadinata, 1992 terdiri atas rumah-rumah yang saling mengelompok. Pola permukiman terpusat berkembang jika topografi wilayah agak datar tetapi terdapat beberapa relief.

(1)

(2)

(3)

(4)
Sumber: Jayadinata, 1992:49

(5)

Gambar 2.2.10 Contoh Sketsa Permukiman Memusat dengan Beberapa Relief Keterangan : (1) Permukiman memusat di permukiman jalan (2) Permukiman memusat di sepanjang jalan (3) Permukiman memusat bujur sangkar (4) Permukiman memusat belokan jalan (5) Pengembangan permukiman memusat

Pola permukiman ini mengelompok membentuk unit-unit yang kecil dan menyebar, umumnya terdapat di daerah pegunungan atau daerah dataran tinggi yang berelief kasar, dan terkadang daerahnya terisolir. Di daerah pegunungan pola permukiman memusat mengitari mata air dan tanah yang subur sedangkan daerah pertambangan di pedalaman permukiman memusat mendekati lokasi II-49
PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MASTER PLAN KELURAHAN DINOYO KECAMATAN LOWOKWARU

pertambangan. Penduduk yang tinggal di permukiman terpusat biasanya masih memiliki hubungan kekerabatan dan hubungan dalam pekerjaan. Pola permukiman ini sengaja dibuat untuk mempermudah komunikasi antarkeluarga atau antarteman bekerja.

Gambar 2.2.11 Permukiman Terpusat di Daerah Pegunungan14

3.

Pola permukiman tersebar. Pola permukiman tersebar memiliki pola permukiman dengan rumah-

rumah yang terletak menyebar (Jayadinata, 1992).

Gambar 2.2.12 Contoh Sketsa Pola Permukiman Menyebar15

Pola permukiman tersebar terdapat di daerah dataran tinggi atau daerah gunung api dan daerah-daerah yang kurang subur. Pada daerah dataran tinggi atau daerah gunung api penduduk akan mendirikan permukiman secara tersebar karena mencari daerah yang tidak terjal, morfologinya rata dan relatif aman. Sedangkan pada daerah kapur permukiman penduduk akan tersebar mencari daerah yang
14 15

Sumber: www.edukasi.net, diakses tanggal 4 September 2009, pukul 19.00 Sumber: mr.antariksa.googlepages.com, diakses tanggal 11 September 2009

II-50
PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MASTER PLAN KELURAHAN DINOYO KECAMATAN LOWOKWARU

memiliki kondisi air yang baik. Mata pencaharian penduduk pada pola permukiman ini sebagian besar dalam bidang pertanian, ladang, perkebunan dan peternakan. Pola permukiman menyebar dipengaruhi oleh keadaan topografi yang sama dan kondisi ekonomi yang homogen di suatu wilayah.

Gambar 2.2.13 Permukiman Tersebar di Daerah Pertanian16

4.

Permukiman dengan Sistem Grid (The Rectangular or Grid System) Sistem perencanaan jalan dengan pola kisi pertama kali dikenal di kota

Mohenjo Daro ( 2500 SM), kemudian kota Dur-Sarginu (Assyria) 800 SM, di Yunani + 600 SM. Kemudian pada 500-600 M perancangan sistem kisi ini meluas ke negara-negara barat. Bentuk ini kemudian di kenal dengan "bastides cities" (kota-kota benteng). Bagian-bagian kotanya di bagi-bagi sedemikian rupa menjadi blok-blok empat persegi panjang dengan jalan jalan yang pararel longitudinal and transversal membentuk sudut siku-siku. Jalan-jalan utamanya membentang dari pintu gerbang utama kota sampai alun-alun utama (pasar utama) pada bagian pusat kota. Banyak kota telah mengadopsi sistem grid ini dalam perancangan kotanya. Kota-kota di Amerika Serikat, misalnya banyak menerapkan sistem ini. Sistem ini merupakan bentuk yang sangat cocok untuk pembagian lahannya dan untuk daerah luar kota yang masih banyak tersedia lahan kosong, pengembangan kotanya akan nampak teratur dengan mengikuti pola yang telah terbentuk. Keuntungan lain dari pada "rectagular system" ini antara lain: 1. Shortest dimension on the street side 2. Growing more lots sheet frontage
16

Sumber: www.edukasi.net, diakses tanggal 4 September 2009, pukul 19.00

II-51
PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MASTER PLAN KELURAHAN DINOYO KECAMATAN LOWOKWARU

3. Easier to assemble individual lots into larger unit (seperti blok)

Sumber : Jayadinata, 1999: 61-65

Gambar 2.2.14 Kota-Kota Benteng dengan Pola Bersiku Empat Persegi Panjang dengan Sistem Grid

2.2.9

Status Kepemilikan Lahan dan Bangunan Perbedaan status peruntukan lahan tentunya akan mempunyai implikasi

yang berbeda dalam pemilihan lokasi dan proses penyediannya. Aspek legalitas merupakan salah satu pertimbangan utama dalam penentuan lokasi ini adalah II-52
PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MASTER PLAN KELURAHAN DINOYO KECAMATAN LOWOKWARU

rencana tata ruang wilayah. Kesesuaian lokasi sesuai dengan peruntukan dalam RTRW memungkinkan akan terjadinya keterpaduan antar sektor dan aktivitas pembangunan dan tercapainya efisiensi dalam pengembangan dan pemanfaatan prasarana dan sarana perkotaan. Analisis status lahan ini dapat dibedakan menjadi (Pd-T-03-2005-C Badan Litbang PU): 1. Kawasan perumahan pada tanah hak milik pribadi 2. Kawasan perumahan pada tanah milik Negara 3. Kawasan perumahan pada kawasan rawan bencana 4. Kawasan perumahan pada kawasan peruntukan non perumahan Status Kepemilikan lahan dan bangunan dalam kawasan perumahan dibedakan menjadi: a. Hak milik Hak milik adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah (UU tentang Peraturan Dasar-Dasar Pokok Agraria pasal 20) b. Sewa Menurut Undang-Undang tentang Peraturan Dasar-Dasar Pokok Agraria pasal 44 tentang Hak Sewa Untuk Bangunan, seseorang atau suatu badan hukum dapat mempergunakan tanah milik orang lain untuk keperluan bangunan dengan membayar kepada pemilik tanahnya sejumlah uang sebagai sewanya. Kondisi ini akan menyebabkan kepemilikan bangunan dan tanahnya berada dalam subjek yang berbeda, dalam artian bahwa seseorang atau badan hukum yang terkait hanya berhak atas bangunan tersebut. Hak guna bangunan (HGB) (Undang-Undang tentang Peraturan Dasar-Dasar Pokok Agraria pasal 35) adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan di atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu paling lambat 30 tahun, dan dapat diperpanjang 20 tahun. Dapat dijadikan utang dengan dibebani hak tanggunan. c. Tidak mempunyai hak (liar) Status kepemilikan bangunan yang tidak memiliki hak (liar) dikatakan ilegal karena tidak sesuai peraturan perundangan yang berlaku (UU RI No 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung) yang menjelaskan bahwa setiap II-53
PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MASTER PLAN KELURAHAN DINOYO KECAMATAN LOWOKWARU

bangunan gedung harus memenuhi persyaratan administratif yang meliputi: 1. status hak atas tanah, dan/atau izin pemanfaatan dari pemegang hak atas tanah; 2. status kepemilikan bangunan gedung; dan 3. izin mendirikan bangunan gedung. 2.2.10 Klasifikasi Kawasan Perumahan (menurut Pd-T-03-2005-C Badan Litbang PU) A. Kawasan Permukiman yang terencana Karakteristik kawasan ini antara lain: a. Dibangun oleh pengembang pada umumnya mencakup areal yang cukup luas (sekitar 5000 m2 2 ha) namun ada juga yang mencapai luasan lebih dari 300 ha (Sadyohutomo, 2008:141) Pembangunan perumahan oleh pengembang seperti ini juga memiliki faktor negatif17 seperti: 1. Harga rumah lebih mahal karena pengembang mengejar keuntungan. 2. Kualitas rumah tidak sesuai dengan apa yang ditawarkan karena pelaksanaan pembangunan rumah dalam jumlah besar maka pengawasannya menjadi berkurang. 3. Para pengembang hanya memfokuskan prasarana pada lokasi pemukiman, namun prasarana drainasenya kurang diperhatikan. Sekeliling kawasan pemukiman yang baru dibangun sering terkena genangan air karena pengembang tidak membangun drainase pembuang air keluar dari kawasan pemukiman, melainkan menaikkan elevasi kawasan yang dibangunnya. Hasilnya adalah kawasan pembangunan itu tidak terjadi banjir, melainkan memindahkan banjirnya ke kawasan sekelilingnya yang sebelumnya tidak terjadi banjir, karena hanya mengejar keuntungan maka para pengembang cenderung hanya membangun rumah menengah dan rumah mewah.
17

Sinulingga, 2005:209-211

II-54
PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MASTER PLAN KELURAHAN DINOYO KECAMATAN LOWOKWARU

Pembangunan perumahan juga tidak hanya ditangani oleh pihak swasta saja, tetapi pemerintah pun ikut berperan. Salah satu badan yang berwewenang tersebut adalah perum perumnas. Perum perumnas juga bersifat pengembang tapi perusahaan ini lebih memfokuskan kegiatannya pada permukiman dan rumahrumah tingkat menengah ke bawah (Sinulingga, 2005:211). b. Tata letak teratur Rencana tapak disesuaikan dengan rencana kota dan standar yang ada karena rencana ini telah dibuat secara keseluruhan dan diperiksa serta diarahkan terlebih dahulu oleh aparat pemerintah dan setelah memperoleh persetujuan baru dilaksanakan (Sinulingga, 2005:209-211) c. Karakteristik bangunan homogen d. Sarana dan prasarana lengkap e. Batasan kepemilikan lahan/kaveling jelas B. Kawasan Permukiman yang tidak terencana Kawasan permukiman yang tidak terencana ini terdiri dari kawasan permukiman yang dapat dikategorikan sebagai kawasan kumuh dan kawasan yang tidak kumuh. Secara umum karakteristik kawasan permukiman yang tidak terencana ini meliputi: a. Dibangun oleh masyarakat secara perorangan Ciri-cirinya18 adalah sebagai berikut:
1. Rumah

secara

bertahap

diwujudkan

dengan

adanya

pembangunan rumah-rumah yang dilakukan secara swadaya oleh perorangan, keluarga-keluarga atau kelompok baik untuk keperluan sendiri maupun keperluan lainnya. (dengan atau tanpa pendampingan/ bantuan terknis dari pihak lain).
2. Pola pembangunannya dilakukan dalam waktu yang relatif

singkat.
3. Perencanaannya

diperhitungkan

secara

individu

tanpa

pemahaman teknis yang baik dan benar.


18

Pembangunan Perumahan dan Pemukiman yang Bertumpu Pada Swadaya Masyarakat, 07 September 2008, Oleh Dinas Pekerjaan Umum, http://de-arch.blogspot.com.diakses tanggal 9 September 2009)

II-55
PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MASTER PLAN KELURAHAN DINOYO KECAMATAN LOWOKWARU 4. Pada umumnya berada pada daerah-daerah yang seharusnya tidak

dijadikan untuk hunian, misalnya daerah-daerah rawan bencana.


5. Sarana dan prasarananya tidak memenuhi syarat-syarat sebuah

permukiman sehat dan sesuai dengan pla pengembangan kota. b. Tata Letak tidak teratur Hal ini dikarenakan tidak mengikuti rencana kota yang ada. Selain itu juga, biasanya para pemilik tanah tidak mau menyisihkan sebagian dari tanahnya untuk rencana jalan yang mengakibatkan kawasan 2005:209) c. Karakteristik bangunan sangat beragam d. Batasan kepemilikan lahan/kaveling tidak jelas 2.2.11 Ukuran/Penilaian Kualitas Lingkungan Suatu Perumahan dan Permukiman Menurut SNI 03-6981-2004 dan Pd-T-03-2005-C Badan Litbang PU, kondisi fisik lingkungan suatu perumahan harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: 1. Tidak terdapat sumber gas yang beracun dan bebas dari pencemaran air, udara, dan gangguan suara atau gangguan lainnya baik yang ditimbulkan sumber daya buatan manusia maupun sumber daya alam seperti banjir, tanah longsor, tsunami 2. Luas tanah untuk fasilitas lingkungan seluas-luasnya 40% dari luas lingkungan perumahan. 3. Ketinggian lahan kurang dari 1.000 meter di atas permukaan air laut (MDPL), 4. Kemiringan lahan tidak melebihi 15 %, dengan ketentuan: Tanpa rekayasa untuk kawasan yang terletak pada lahan bermorfologi datar landai dengan kemiringan 0-8%, Diperlukan rekayasa teknis untuk lahan dengan kemiringan 8-15%. tersebut tidak teratur perencanaannya (Sinulingga,

5. Pada kota-kota yang mempunyai bandar udara, tidak menggangu jalur penerbangan pesawat, 6. Kondisi sarana-prasarana memadai, II-56
PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MASTER PLAN KELURAHAN DINOYO KECAMATAN LOWOKWARU

7. Dekat dengan pusat-pusat kegiatan dan pelayanan kota, 8. Bagi masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah, keterkaitan antara lokasi perumahan dengan pusat-pusat kegiatan (tempat kerja) dan pelayanan kota akan mempunyai implikasi ekonomi. Jarak yang relatif jauh akan berpengaruh banyak terhadap pengeluaran biaya transport dibandingkan seluruh pengeluaran rutin keluarga. Hal ini akan menimbulkan mempengaruhi tambahan beban terhadap untuk penghuninya, sehingga sebagian kemampuannya mengalokasikan

penghasilannya untuk perumahan (Dwelling Expenditure). Berdasarkan hasil penelitian oleh Kurniasih mengenai Usaha Perbaikan Pemukiman Kumuh di Petukangan Utara-Jakarta Selatan, ukuran atau penilaian yang dapat digunakan untuk menentukan kualitas perumahan dan permukiman antara lain : 1. Kepadatan penduduk 2. Faktor ekonomi 3. Kerapatan Bangunan 4. Kondisi jalan 5. Sanitasi dan pasokan air bersih 6. Kualitas konstruksi perumahan Penilaian tersebut digunakan untuk menentukan apakah permukiman kumuh yang disebut kampung tersebut perlu diperbaiki atau tidak (Kurniasih, 2008). 2.2.12 Persyaratan Lokasi Perumahan Persyaratan lokasi lingkungan perumahan menurut SNI 03-1733-2004 tentang Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan di Perkotaan harus memenuhi ketentuan sebagai berikut: 1. Lokasi perumahan harus sesuai dengan rencana peruntukan lahan yang diatur dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) setempat atau dokumen perencanaan lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah setempat, dengan kriteria sebagai berikut: kriteria keamanan, dicapai dengan mempertimbangkan bahwa lokasi tersebut bukan merupakan kawasan lindung (catchment II-57
PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MASTER PLAN KELURAHAN DINOYO KECAMATAN LOWOKWARU

area), olahan pertanian, hutan produksi, daerah buangan limbah pabrik, daerah bebas bangunan pada area Bandara, daerah dibawah jaringan listrik tegangan tinggi; kriteria kesehatan, dicapai dengan mempertimbangkan bahwa lokasi tersebut bukan daerah yang mempunyai pencemaran udara di atas ambang batas, pencemaran air permukaan dan air tanah dalam; kriteria kenyamanan, dicapai dengan kemudahan pencapaian (aksesibilitas), kemudahan berkomunikasi (internal/eksternal, langsung atau tidak langsung), kemudahan berkegiatan (prasarana dan sarana lingkungan tersedia); kriteria keindahan/keserasian/keteraturan (kompatibilitas), dicapai dengan penghijauan, mempertahankan karakteristik topografi dan lingkungan yang ada, misalnya tidak meratakan bukit, mengurug seluruh rawa atau danau/setu/sungai/kali dan sebagainya; kriteria fleksibilitas, dicapai dengan mempertimbangkan kemungkinan pertumbuhan fisik/pemekaran lingkungan perumahan dikaitkan dengan kondisi fisik lingkungan dan keterpaduan prasarana; kriteria keterjangkauan jarak, dicapai dengan mempertimbangkan jarak pencapaian ideal kemampuan orang berjalan kaki sebagai pengguna lingkungan terhadap penempatan sarana dan prasarana-utilitas lingkungan; dan kriteria lingkungan berjati diri, dicapai dengan

mempertimbangkan keterkaitan dengan karakter sosial budaya masyarakat setempat, terutama aspek kontekstual terhadap lingkungan tradisional/lokal setempat. 2. Lokasi perencanaan perumahan harus berada pada lahan yang jelas status kepemilikannya, dan memenuhi persyaratan administratif, teknis dan ekologis.

II-58
PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MASTER PLAN KELURAHAN DINOYO KECAMATAN LOWOKWARU

3. Keterpaduan antara tatanan kegiatan dan alam di sekelilingnya, dengan mempertimbangkan jenis, masa tumbuh dan usia yang dicapai, serta pengaruhnya terhadap lingkungan, bagi tumbuhan yang ada dan mungkin tumbuh di kawasan yang dimaksud. 2.2.13 Kaveling Kaveling tanah matang menurut Undang Undang 4 Tahun 1992 adalah sebidang tanah yang telah dipersiapkan sesuai dengan persyaratan pembakuan dalam penggunaan, penguasaan, pemilikan tanah dan rencana tata ruang lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian untuk membangun bangunan. SNI 03-6981-2004 tentang Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan Sederhana Tidak Bersusun di Daerah Perkotaan. mendefinisikan ketentuan kaveling. Luas kaveling lebar muka kaveling dan kaveling yang tertutup bangunan sesuai dengan peraturan daerah setempat atau mengikuti ketentuan sebagai berikut: 1. Luas kaveling minimum 54 m2 dan maksimum 200 m2. 2. Lebar muka kaveling minimum 6 m. 3. Panjang deretan kaveling maksimum 120 m. 4. Bagian kaveling yang tertutup bangunan rumah maksimum 60% dari luas kaveling atau sesuai dengan peraturan daerah setempat. 5. Koefisien lantai bangunan satu sampai dengan dua. 2.2.14 Kepadatan Lingkungan Menurut SNI 03-6981-2004 tentang Tata Cara Perencanaan Lingkungan Perumahan Sederhana Tidak Bersusun di Daerah Perkotaan mengklasifikasikan kepadatan lingkungan dengan asumsi dasar sebagai berikut. 1. 2. 3. Rata-rata 50 unit rumah per hektar, Rata-rata jumlah anggota keluarga 4-5 jiwa/keluarga, Luas kaveling, kepadatan kaveling dan kepadatan penduduk dapat dilihat pada Tabel 2.2.7
Tabel 2.2.7 Kepadatan Penduduk, Luas Kaveling dan Jumlah Kaveling
Luas Kaveling (m2) 54 72 120 Kepadatan kaveling (kaveling/ha) 111 83 50 Kapasitas penduduk (jiwa/ha) 444 332 200

II-59
PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MASTER PLAN KELURAHAN DINOYO KECAMATAN LOWOKWARU


Luas Kaveling (m2) 150 200 Sumber: SNI 03-6981-2004 Kepadatan kaveling (kaveling/ha) 40 30 Kapasitas penduduk (jiwa/ha) 160 120

2.2.15 Tingkat Hunian Tingkat perbandingan antara jumlah penduduk yang terdapat pada suatu wilayah dengan jumlah hunian yang terdapat pada daerah tesebut disebut dengan tingkat hunian. Perhitungan tingkat hunian ini terdiri dari dua perhitungan, yaitu berdasarkan jumlah penduduk dan jumlah KK19. Tingkat hunian ditulis dengan rumus:
Tingkat Hunian per KK = Jumlah Rumah
Jumlah KK

Tingkat Hunian Penduduk =

Jumlah Penduduk Jumlah Rumah

Perhitungan kepadatan rumah per ha diterapkan pada Negara Indonesia yaitu dengan menghitung jumlah semua rumah di dalam suatu daerah dibagi dengan luas daerah terkecuali dari fungsi lahan lainnya.
Perhitungan kepadatan rumah per ha dihitung dengan rumus: Kepadatan Rumah Per ha =
Jumlah rumah suatu daerah Luas daerah

Perhitungan rasio kepadatan rumah dihitung dengan rumus:


Rasio Tingkat Kepadatan Rumah =
Jumlah KK suatu daerah Luas daerah

2.2.16 Metode Perhitungan Kebutuhan Rumah Metode yang digunakan dalam menghitung kebutuhan rumah adalah Metode Aritkmatik (Arithmetic Approach). Metode ini dipergunakan untuk
19

Petunjuk Pelaksanaan Penilaian Tingkat Kekumuhan. 2002. Jakarta: Direktorat Jenderal Perumahan dan Permukiman, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah

II-60
PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MASTER PLAN KELURAHAN DINOYO KECAMATAN LOWOKWARU

memprediksi kebutuhan perumahan dalam skala kota (kecamatan, kabupaten), skala regional (propinsi), dan skala nasional. Perhitungan dengan Metode Aritmatik diperlukan data-data sebagai berikut: 1. Data kependudukan Data kependudukan yang diperlukan adalah jumlah dan tingkat pertumbuhan penduduk (growth, natural, migration). Selain itu juga diperlukan data jumlah dan tingkat pertumbuhan rumah tangga. 2. Data rumah Data rumah meliputi jumlah rumah (housing stock) dan kualitas rumah yang sudah ada. 3. Data kepadatan Data kepadatan yang diperlukan adalah angka kepadatan penghuni per rumah dan kepadatan keluarga per rumah. Data ini digabungkan dengan dasar perhitungan jumlah penduduk dan keluarga, jumlah anggota keluarga tiap kepala keluarga (4-5 jiwa/KK) dan kondisi ideal satu rumah ditempati oleh satu keluarga, sehingga dapat diperhitungkan kebutuhan rumah pada tahun-tahun yang akan datang. Perhitungan dengan Metode Aritmatik perlu ditetapkan standar atau pernyataan tertentu. Adapun beberapa standar atau pernyataan yang penting adalah sebagai berikut: 1. Menetapkan statemen (pernyataan) seperti berikut: Satu keluarga menempati satu unit rumah Rata-rata jumlah orang atau penghuni per rumah atau rata-rata jumlah anggota keluarga (jumlah anggota keluarga yang dianggap layak menempati satu rumah adalah 5 orang) 2. Menetapkan standar minimum kualitas rumah, misalnya: Minimum luas lantai Minimum luas lahan Minimum ketahanan konstruksi
KRo = Io I I

: 36 m2 : 90 m2 : 20 tahun

Po Io = Ro PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA UNIVERSITAS BRAWIJAYA

II-61

MASTER PLAN KELURAHAN DINOYO KECAMATAN LOWOKWARU

Sumber: Sastra & Endy, 2005, Perencanaan dan Pengembangan Perumahan.

Keterangan: Kro Po Ro Io I = kekurangan rumah = jumlah penduduk pada tahun hitungan = jumlah rumah pada tahun hitungan = jumlah penghuni rata-rata pada tahun hitungan = angka rata-rata jumlah anggota keluarga/penghuni (occupation rate) yang diharapkan Selain angka kekurangan rumah, perlu juga diperhitungkan angka kebutuhan rumah tambahan. Untuk menghitung kebutuhan rumah tambahan tersebut perlu dipertimbangkan beberapa faktor, antara lain: 1. Pertambahan penduduk karena kelahiran Pertumbuhan penduduk karena faktor kelahiran merupakan salah satu faktor yang harus diperhitungkan dalam menghitung kebutuhan rumah tambahan. Untuk menghitung kebutuhan rumah tambahan dapat menggunakan rumus:

Rtp =

Pn I

Rtp = Po ( I + c) n

Sumber: Sastra & Endy, 2005, Perencanaan dan Pengembangan Perumahan.

Keterangan: Rtp = jumlah rumah tambahan akibat faktor pertambahan penduduk Pn Po c = jumlah penduduk pada tahun tertentu = jumlah penduduk pada tahun hitungan = indeks/ratio pertambahan penduduk per tahun II-62
PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MASTER PLAN KELURAHAN DINOYO KECAMATAN LOWOKWARU

= angka rata-rata jumlah anggota keluarga atau penghuni yang diharapkan

2. Restorasi rumah-rumah yang sudah ada


Rtd = Po / Io Vm

Sumber: Sastra & Endy, 2005, Perencanaan dan Pengembangan Perumahan.

Keterangan: Rtd Vm Po Io = jumlah rumah yang membutuhkan perbaikan = umur rumah tinggal secara rata-rata = jumlah penduduk pada tahun hitungan = angka rata-rata jumlah anggota keluarga atau penghuni sebenarnya ada tahun hitungan 3. Migrasi Perpindahan (migrasi) penduduk akan terjadi dari daerah yang kurang berpotensi ke daerah dengan potensi yang lebih baik. Untuk menghitung kebutuhan rumah karena faktor migrasi digunakan rumus perhitungan sebagai berikut:
Nm = Pu (Uc Tc )

RNm = Nm
Sumber: Sastra & Endy, 2005, Perencanaan dan Pengembangan Perumahan.

Keterangan: Nm Pu Tc Uc = jumlah migrasi = jumlah penduduk kota/daerah pada saat tertentu = indeks (ratio) pertambahan penduduk (total kelahiran) dalam angka jangka waktu tertentu = indeks (ratio) pertambahan yang diharapkan untuk daerah perkotaan RNm = kebutuhan rumah karena faktor migrasi

II-63
PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA UNIVERSITAS BRAWIJAYA

Anda mungkin juga menyukai