Anda di halaman 1dari 32

Presentasi Kasus

PENATALAKSANAAN ANESTESI EPIDURAL PADA PREEKLAMPSIA BERAT PADA PRIMIGRAVIDA HAMIL PRETERM BELUM DALAM PERSALINAN

Oleh: Caesaria Christ H. G99122025

PEMBIMBING: RTh. Supraptomo, dr. SpAn. KEPANITERAAN KLINIK SMF ANESTESIOLOGI & REANIMASI FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/ RSUD DR MOEWARDI SURAKARTA 2013

BAB I PENDAHULUAN Anestesiologi adalah cabang ilmu kedokteran yang mendasari berbagai tindakan meliputi pemberian anestesi, penjagaan keselamatan penderita yang mengalami pembedahan, pemberian bantuan hidup dasar, pengobatan intensif pasien gawat, terapi inhalasi dan penanggulangan nyeri menahun.1 Istilah anestesi dikemukakan pertama kali oleh C.W. Holmes yang artinya tidak ada rasa sakit. Anestesi dibagi menjadi dua kelompok yaitu: (1) anestesi lokal, yaitu hilangnya sensibilitas setempat tanpa disertai hilangnya kesadaran, dan (2) anestesi umum, yaitu hilangnya segala modalitas rasa disertai hilangnya kesadaran. Anestesi yang ideal adalah tercapainya anestesi yang meliputi hipnotik, analgesi, dan relaksasi otot.2 Anestesi umum menggunakan agen inhalasi dan intravena untuk memberikan akses bedah yang adekuat pada daerah operasi. Anestesi umum biasanya menjadi pilihan apabila terdapat kontraindikasi anestesi regional, yaitu pasien menolak anestesi regional, peningkatan tekanan intrakranial, infeksi pada tempat jarum disuntikkan, gangguan koagulasi, syok hipovolemik berat, dan kelainan katup jantung berat.3, 4 Anestesi epidural (ekstradural) merupakan pemberian obat anestesi lokal ke dalam rongga potensial di luar duramater. Rongga ini dimulai dari perbatasan cranioservical pada C1 sampai membrana sakrococcigea dimana secara teoritis anestesi epidural dapat dilakukan pada setiap daerah ini. Anestesi epidural dilakukan pada tempat di dekat akar saraf yang menginervasi daerah pembedahan. Injeksi obat dapat berupa bolus tunggal atau menggunakan kateter untuk injeksi intermitten atau infus kontinyu.5 Pada anestesi umum risiko hipoksemia serta kesulitan jalan nafas sering terjadi, sehingga anestesi regional lebih disukai daripada anestesi umum. Keuntungan lain pada anestesi regional adalah mula kerja dan masa pulih anestesi yang cepat, relatif mudah, kualitas blokade sensorik dan motorik yang baik, serta memungkinkan ibu tetap sadar pada saat kelahiran bayinya.6

Kematian Ibu dan Angka Kematian Perinatal di Indonesia masih sangat


tinggi. Menurut Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (2002-2003), an gka

kematian ibu adalah 307 per 100.000 kelahiran hidup. Jika dibandingkan dengan target yang ingin dicapai oleh pemerintah pada tahun 2010 sebesar 125/100.000 kelahiran hidup angka tersebut masih tergolong tinggi. 7 Yang menjadi sebab utama kematian ibu di Indonesia di samping perdarahan adalah pre-eklampsia atau eklampsia dan penyebab kematian perinatal yang tinggi. 8 Pre-eklampsi ialah penyakit dengan tanda-tanda hipertensi, edema dan proteinuria yang timbul karena kehamilan, penyebabnya belum diketahui. Pada kondisi berat pre-eklamsia dapat menjadi eklampsia dengan penambahan gejala kejang-kejang. 9 Preeklampsia berat dan eklampsia merupakan risiko yang membahayakan ibu di samping membahayakan janin melalui placenta. berkembang berkisar dari 1:100 sampai 1:1700.
10

Setiap tahun sekitar


12

50.000 ibu meninggal di dunia karena eklampsia. 11 Insiden eklampsia di negara Beberapa kasus memperlihatkan keadaan yang tetap ringan sepanjang kehamilan. Pada stadium akhir yang disebut eklampsia, pasien akan mengalami kejang. Jika eklampsia tidak ditangani secara cepat akan terjadi kehilangan kesadaran dan kematian karena kegagalan jantung, kegagalan ginjal, kegagalan hati atau perdarahan otak.
13

Oleh karena itu kejadian kejang pada penderita eklampsia harus dihindari. 12

Karena eklampsia menyebabkan angka kematian sebesar 5% atau lebih tinggi. 13 .

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Anestesi Anestesi dibagi menjadi dua kelompok yaitu anestesi umum dan anestesi lokal. Anestesi umum adalah bentuk anestesi yang paling sering digunakan atau dipraktekkan yang dapat disesuaikan dengan jumlah terbesar pembedahan. Pada kasus ini anestesi yang digunakan adalah anestesi lokal yaitu teknik untuk menghilangkan atau mengurangi sensasi di bagian tubuh tertentu. Tahapan perioperatif: 1. Persiapan pra anestesi Persiapan pra anestesi sangat mempengaruhi keberhasilan anestesi dan pembedahan. Kunjungan pra anestesi harus dipersiapkan dengan baik, pada bedah elektif umumnya dilakukan 1-2 hari sebelumnya, sedangkan pada bedah darurat waktu yang tersedia lebih singkat. Adapun tujuan kunjungan pra anestesi adalah: Mempersiapkan mental dan fisik secara optimal. Merencanakan dan memilih tehnik serta obatobat anestesi yang sesuai dengan fisik dan kehendak pasien. Menentukan status fisik penderita dengan klasifikasi ASA ( American Society of Anesthesiology). ASA I Pasien normal sehat, kelainan bedah terlokalisir, tanpa kelainan faali, biokimiawi, dan psikiatris. Angka mortalitas 2%. ASA II Pasien dengan gangguan sistemik ringan sampai dengan sedang sebagai akibat kelainan bedah atau proses patofisiologis. Angka mortalitas 16%. ASA III Pasien dengan gangguan sistemik berat sehingga aktivitas harian / live style terbatas. Angka mortalitas 38%. 2 penatalaksanaan anestesi yang harus dilaksanakan

ASA IV

Pasien dengan gangguan sistemik berat yang mengancam jiwa, tidak selalu sembuh dengan operasi. Misal: insufisiensi fungsi organ, angina menetap. Angka mortalitas 68%.

ASA V

Pasien dengan kemungkinan hidup kecil. Tindakan operasi hampir tak ada harapan hidup dalam 24 jam, baik dengan operasi maupun tanpa operasi. Angka mortalitas 98%.

Klasifikasi ASA juga dipakai pada pembedahan darurat dengan mencantumkan tanda huruf E (emergensi), misal ASA I E, ASA II E.1 Selain itu dibutuhkan juga pemeriksaan praoperasi anestesi yang meliputi: 1. Anamnesis a. Identifikasi pasien yang terdiri dari nama, umur, dll. b. Keluhan saat ini dan tindakan operasi yang akan dihadapi. c. Riwayat penyakit yang sedang/pernah diderita yang dapat menjadi penyulit anestesi seperti alergi, diabetes melitus, penyakit paru kronis (asma bronkhial, pneumonia, bronkhitis), penyakit jantung, hipertensi, dan penyakit ginjal. d. Riwayat obat-obatan yang meliputi alergi obat, intoleransi obat, dan obat yang sedang digunakan dan dapat menimbulkan interaksi dengan obat anestetik seperti kortikosteroid, obat antihipertensi, antidiabetik, antibiotik, golongan aminoglikosid, dll. e. Riwayat anestesi dan operasi sebelumnya yang terdiri dari tanggal, jenis pembedahan dan anestesi, komplikasi dan perawatan intensif pasca bedah. f. Riwayat kebiasaan sehari-hari yang dapat mempengaruhi tindakan anestesi seperti merokok, minum alkohol, obat penenang, narkotik, dan muntah. g. Riwayat keluarga yang menderita kelainan seperti hipertensi maligna. h. Riwayat berdasarkan sistem organ yang meliputi keadaan umum, pernafasan, kardiovaskular, ginjal, gastrointestinal, hematologi,

neurologi, endokrin, psikiatrik, ortopedi dan dermatologi. i. Makanan yang terakhir dimakan. 2. Pemeriksaan Fisik a. Tinggi dan berat badan. Untuk memperkirakan dosis obat, terapi cairan yang diperlukan, serta jumlah urin selama dan sesudah pembedahan. b. Frekuensi nadi, tekanan darah, pola dan frekuensi pernafasan, serta suhu tubuh. c. Jalan nafas (airway). Jalan nafas diperiksa untuk mengetahui adanya trismus, keadaan gigi geligi, adanya gigi palsu, gangguan fleksi ekstensi leher, deviasi ortopedi dan dermatologi. Ada pula pemeriksaan mallampati, yang dinilai dari visualisasi pembukaan mulut maksimal dan posisi protusi lidah. Pemeriksaan mallampati sangat penting untuk menentukan kesulitan atau tidaknya dalam melakukan intubasi. Penilaiannya yaitu: 1) Mallampati I : palatum pharyngeal 2) Mallampati II : palatum molle, sebagian uvula, dinding posterior 3) Mallampati III: palatum molle, dasar uvula 4) Mallampati IV: palatum durum saja d. Jantung, untuk mengevaluasi kondisi jantung. e. Paru-paru, untuk melihat adanya dispneu, ronki dan mengi. f. Abdomen, untuk melihat adanya distensi, massa, asites, hernia, atau tanda regurgitasi. g. Ekstremitas, terutama untuk melihat adanya perfusi distal, sianosis, adanya jari tabuh, infeksi kulit, untuk melihat di tempat-tempat pungsi vena atau daerah blok saraf regional. 2. Premedikasi Anestesi Premedikasi anestesi adalah pemberian obat sebelum anestesi. Adapun tujuan dari premedikasi antara lain:
a.

molle,

uvula,

dinding dan

posterior tonsilla

oropharynk,

tonsilla

palatina

Memberikan rasa nyaman bagi pasien, misal : diazepam.

b. Menghilangkan c. Membuat

rasa khawatir, misal : diazepam

amnesia, misal : diazepam, midazolam analgesia, misal pethidin muntah, misal : domperidol, metoklopropamid jumlah obat-obat anesthesia, misal pethidin

d. Memberikan e. Mencegah f.

Memperlancar induksi, misal : pethidin reflek-reflek yang tidak diinginkan, misal : sulfas atropin.

g. Mengurangi h. Menekan i.

Mengurangi sekresi kelenjar saluran nafas, misal : sulfas atropin dan hiosin. Premedikasi diberikan berdasar atas keadaan psikis dan fisiologis

pasien yang ditetapkan setelah dilakukan kunjungan prabedah. Dengan demikian maka pemilihan obat premedikasi yang akan digunakan harus selalu dengan mempertimbangkan umur pasien, berat badan, status fisik, derajat kecemasan, riwayat pemakaian obat anestesi sebelumnya, riwayat hospitalisasi sebelumnya, riwayat penggunaan obat tertentu yang berpengaruh terhadap jalannya anestesi, perkiraan lamanya operasi, macam operasi, dan rencana anestesi yang akan digunakan. Sesuai dengan tujuannya, maka obat-obat yang dapat digunakan sebagai obat premedikasi dapat digolongkan seperti di bawah ini: a. Narkotik analgetik, misal morfin, pethidin. b. Transquillizer yaitu dari golongan benzodiazepin, misal diazepam dan midazolam c. Barbiturat, misal pentobarbital, penobarbital, sekobarbital. d. Antikolinergik, misal atropin dan hiosin. e. Antihistamin, misal prometazine. f. Antasida, misal gelusil g. H2 reseptor antagonis, misal cimetidine 3. Regional Anestesi (Epidural) Anestesi epidural termasuk jenis anestesi regional. Anestesi epidural menghambat sensasi dan kontrol motorik daerah abdominal, pelvis, ekor, dan kaki belakang. Anestesi ini biasanya digunakan untuk laparotomi, amputasi ekor, urethrostomi, pembedahan cesar,

pembedahan daerah pelvis, dan amputasi daeran kaki belakang. Anestesi epidural merupakan anestesi tambahan untuk anestesi umum. 16 Tidak sulit untuk menemukan celah antara tulang lumbal terakhir dengan tulang sakral pertama. Cara yang mudah untuk menemukan celah ini adalah dengan menempelkan jari telunjuk dan jari manis pada tuber coxae dan jari tengah pada processus spinosus sakral pertama. Celah untuk menusukkan jarum terletak di depan jari tengah. Jarum yang digunakan biasanya no. 18. Beberapa literatur menyebutkan bisa juga digunakan jarum no 20 atau 22. Saat melakukan penusukan menggunakan jarum harus diperhatikan tidak ada pergerakan. Pergerakan posisi dapat menyebabkan posisi jarum berpindah atau robeknya pembuluh darah. Pembuluh darah yang robek akan menimbulkan hematom pada daerah tersebut. setelah dilakukan penusukan dengan menggunakan jarum, harus dipastikan tidak ada darah atau cairan serebrosipnal (CSF) yang masuk ke dalam jarum. Apabila terdapat darah atau CSF yang masuk maka jarum harus dicabut dan penusukan dilakukan kembali atau penyuntikan epidural dibatalkan. 16 Kontra indikasi dari penyuntikan epidural adalah koagulopathy dan sepsis. Perdarahan bisa saja terjadi saat penusukan jarum epidural. Perdarahan pada pasien yang mengalami koagulopathy beresiko meningkatkan tekanan terhadap medulla spinalis. Kemudian penusukan pada epidural juga membuka jalan bagi infeksi apabila tidak dilakukan dengan aseptis. 16 Beberapa agen anestesi bisa digunakan untuk melakukan anestesi epidural. Namun yang palin sering digunakan adalah adalah agen anestesi lokal yaitu bupivakain. Beberapa agen anestesi lain yang dapat digunakan adalah golongan opioid atau kombinsai dari golongan opioid dengan anestesi lokal. Dosis yang digunakan adalah 0,2 ml/ KG BB. 9 Pilihan obat anestesi local untuk anestesi epidural ditentukan oleh lamanya prosedur operasi dan intensitas blok motoris yang dikehendaki. kloroprokain adalah kerja singkat, mevipakain adalah kerja sedang, buvipakain dan etidokain adalah kerja lama. Buvipakain

konsentrasi rendah tidak cocok digunakan pada prosedur yang membutuhkan blok motoris untuk setiap blok sensorik dibandingkan dengan obat lainnya.9
Tabel. Anestetik local untuk anesthesia epidural

Obat Chloroprokain Lidokain Mepivakain Bupivakain Etidokain


a. Tes dosis

Konsentrasi 23 % 1,5 % 1,5 % 0,5 % 1,0 %

Lama anesthesia dengan epinefrin (menit) 60 60 90 90 120 > 180 > 150

Karena anestesi epidural termasuk meninjeksikan sejumlah besar obat anestesi local, pemasangan kateter mesti berada pada tempat yang benar. Aspirasi pluger dari spoit dapat menarik darah atau CSS. Kateter epidural ditarik kembali dan ditempatkan pada tempat lain apabila terdapat darah atau CSS dalam kateter. Tes dosis selalu diperlukan, hal ini terdiri dari 3 ml anestesi local dari konsentrasi yang sama untuk anestesi spinal dan mengandung 5 mg epinefrin (lidokain 1,5 % dan epinefrin 1 : 200.000 yang sering digunakan). Bila jarum atau kateter masuk kedalam vena epidural mengakibatkan peningkatan denyut jantung 20 denyut permenit atau lebih besar dalam dua menit. Jika jarum atau kateter terletak diruang epidural , hal tersebut tidak terjadi dan tidak ada perubahan tekanan darah atau denyut jantung. Sering sejumlah kecil cairan teraspirasi sebelum obat anestesia diinjeksikan. Adanya cairan ini adalah cairan serebrospinal atau anestesia lokal yang diinjeksikan sebelumnya. Dipstick test membedakan adanya glukosa, dimana cariran serebrospinal mengandung glukosa dan tidak ada pada cairan anestesi lokal. b. Dosis anestesi.

Penyebaran obat anestetik local dalam ruang epidural hanya tergantung pada volume yang dinjeksikan . sedang konsentrasi anestetik local dalam larutan hanya berpengaruh pada derajat dan densitas dari blok. Onset anestesi epidural labih lambat walaupun ditambahkan sodium bikarbonat kedalam anestesi local untuk mempercepat onsetnya. Volume larutan anestetik yang tepat untuk anesthesia epidural lumbal berkisar dari 15 25 ml. Studi pada sukarelawan muda menunjukkan kebutuhan rata-rata adala 1,6 ml per segemen spinal yang dianestesi. Pada ruang epidural torakal yang sempit kurang lebih dibutuhkan setengahnya. Pasien yang tua, pasien hamil, dan pasien dengan tekanan intra mencapai distribusi yang diberikan. Penambahan anestetik local yang dibutuhkan ditentukan oleh pilihan ahli anestesiologi pada observasi klinik. Bila anestetik dihabiskan untuk dua dermatom , penambahan sepertiga sampai setengah dari jumlah anestetik local semula akan diperoleh anesthesia yang adekuat. Bilamana menggunakan anestetik epidural dan anestesi umum bersama-sama, penambahan dosis diberikan pada interval waktu yang sesuai dengan karakteristik obat anestesi local. c. Opioid. Dibandingkan dengan spinal opioid , epidural opioid menghasilkan efek yang hampir sama dan dibutuhkan perhatian yang sama, karena diberikan jumlah yang lebih besar. Opioid mempunyai kerja sinergis dengan anestetik local yaitu memepertinggi efektivitas konsentrasi yang kecil dari obat anestetik local. 4. Penatalaksanaan a. Hidrasi akut Sebelum induksi harus dipasang infus intravena, dengan abdominal yang meningkat diperlukan volume anestetik local lebih sedikit untuk

memberikan cairan kristaloid sebanyak 10001500 ml tidak menimbulkan bahaya overhidrasi. Dianjurkan pemberian cairan tidak mengandung dekstrosa, karena infus dekstrosa 20 gr/jam atau lebih sebelum melahirkan menimbulkan hipoglikemia pada bayi 4 jam setelah dilahirkan. Hal ini disebabkan pankreas bayi yang cukup umur akan menaikkan produksi insulin sebagai reaksi atas glukosa yang melewati sawar uri. b. Pemberian oksigen Apabila terjadi hipoventilasi baik oleh obatobat narkotik, anestesi umum maupun lokal, maka akan mudah terjadi hipoksemia yang berat. Faktorfaktor yang menyebabkan hal ini, yaitu : 1) Turunnya FRC sehingga kemampuan paru paru untuk menyimpan O2 menurun. 2) Naiknya konsumsi oksigen 3) Airway closure 4) Turunnya cardiac output pada posisi supine Pemberian oksigen terhadap pasien sangat bermanfaat karena : 1) Memperbaiki keadaan asambasa bayi yang dilahirkan 2) Dapat memperbaiki pasien dan bayi pada saat episode hipotensi 3) Sebagai preoksigenasi kalau anestesi umum diperlukan c. 1) 2) Terapi Cairan Terapi cairan perioperatif bertujuan untuk : Mencukupi kebutuhan cairan, elektrolit dan darah yang hilang selama operasi. Replacement dan dapat untuk tindakan emergency pemberian obat. Pemberian cairan operasi dibagi : 1) Pra operasi Dapat terjadi defisit cairan kaena kurang makan, puasa, muntah, penghisapan isi lambung, penumpukan cairan pada ruang

ketiga seperti pada ileus obstruktif, perdarahan, luka bakar dan lain lain. Kebutuhan cairan untuk dewasa dalam 24 jam adalah 2 ml / kgBB / jam. Bila terjadi dehidrasi ringan 2% BB, sedang 5% BB, berat 7% BB. Setiap kenaikan suhu 10 Celcius kebutuhan cairan bertambah 10 15 %. 2) Selama operasi Dapat terjadi kehilangan cairan karena proses operasi. Kebutuhan cairan pada dewasa untuk operasi : a. Ringan = 4 ml / kgBB / jam b. Sedang = 6 ml / kgBB / jam c. Berat = 8 ml / kg BB / jam Bila terjadi perdarahan selama operasi, dimana perdarahan kurang dari 10% EBV maka cukup digantikan dengan cairan kristaloid sebanyak 3 kali volume darah yang hilang. Apabila perdarahan lebih dari 10 % maka dapat dipertimbangkan pemberian plasma / koloid / dekstran dengan dosis 1 2 kali darah yang hilang. 3) Setelah operasi Pemberian cairan pasca operasi ditentukan berdasarkan defisit cairan selama operasi ditambah kebutuhan sehari hari pasien. d.Pemulihan Pasca anestesi dilakukan pemulihan dan perawatan pasca operasi dan anestesi yang biasanya dilakukan di ruang pulih sadar atau recovery room yaitu ruangan untuk observasi pasien pasca atau anestesi. Ruang pulih sadar merupakan batu loncatan sebelum pasien dipindahkan ke bangsal atau masih memerlukan perawatan intensif di ICU. Dengan demikian pasien pasca operasi atau anestesi dapat terhindar dari komplikasi yang disebabkan karena operasi atau pengaruh anestesinya. Untuk memindahkan pasien dari ruang pulih sadar ke ruang perawatan perlu dilakukan skoring tentang kondisi pasien setelah anestesi dan pembedahan. Untuk regional anestesi digunakan skor

Bromage. Bromage Scoring System Kriteria Skor Gerakan penuh dari tungkai 0 Tak mampu ekstensi tungkai 1 Tak mampu fleksi lutut 2 Tak mampu fleksi pergelangan kaki 3 Bromage skor 2 boleh pindah ke ruang perawatan B. Preeklampsia Berat (PEB) 1. Pengertian
Perkataan eklampsia berasal dari Yunani yang berarti halilintar karena gejala eklampsia datang dengan mendadak dan menyebabkan suasana gawat dalam kebidanan. 10 Pre-eklampsia ialah penyakit dengan tanda-tanda khas tekanan darah tinggi (hipertensi), pembengkakan jaringan (edema), dan ditemukannya protein dalam urin (proteinuria) yang timbul karena kehamilan. Penyakit ini umumnya terjadi dalam triwulan ke-3 kehamilan, tetapi dapat juga terjadi pada trimester kedua kehamilan. Sering tidak diketahui atau diperhatikan oleh wanita hamil yang bersangkutan, sehingga tanpa disadari dalam waktu singkat pre-eklampsia berat bahkan dapat menjadi eklampsia yaitu dengan tambahan gejala kejang-kejang dan atau koma.
10,14

Kejadian eklampsia di

negara berkembang berkisar antara 0,3% sampai 0,7%. Kedatangan penderita sebagian besar dalam keadaan pre-eklampsia berat dan eklampsia

2. Etiologi Apa yang menjadi penyebab preeklampsia dan eklampsia sampai sekarang belum diketahui. Telah terdapat banyak teori yang mencoba menerangkan sebab penyakit tersebut, akan tetapi tidak ada yang dapat memberi jawaban yang memuaskan. 14 Teori yang sekarang dipakai sebagai penyebab pre-eklampsia adalah ischemia placenta. Namun teori ini belum dapat menerangkan semua hal yang bertalian dengan penyakit ini. Pada pemeriksaan darah kehamilan normal terdapat peningkatan angiotesin, renin dal aldosteron sebagai kompensasi sehingga peredaran darah dan metabolisme dapat berlangsung. Pada preeklampsia dan eklampsia terjadi penurunan

angiotesin, renin, dan aldosteron, tetapi juga dijumpai edema, hipertensi dan proteinurin. Berdasarkan teori ischemia implantasi placenta, bahan trofoblas akan diserap ke dalam sirkulasi yang dapat meningkatkan sensitifitas terhadap angiotesin II, renin dan aldosteron, spasme pembuluh darah arteriol dan tertahannya garam dan air. Teori ischemia daerah implantasi plasenta didukung kenyataan sebagai berikut: a. Pre-eklampsia dan eklampsia lebih banyak terjadi pada primigravida, hamil ganda dan molahidatiosa b. Kejadiannya makin meningkat dengan makin tuanya umur kehamilan c. Gejala penyakit berkurang bila terjadi kematian janin10 3. Patofisiologi Pada preeklampsia yang berat dan eklampsia dapat terjadi perburukan patologis pada sejumlah organ dan sistem yang kemungkinan diakibatkan oleh vasospasme dan iskemia. Wanita dengan hipertensi pada kehamilan dapat mengalami peningkatan respon terhadap berbagai substansi endogen (seperti prostaglandin, tromboxan) yang dapat menyebabkan vasospasme dan agregasi platelet. Penumpukan trombus dan pendarahan dapat mempengaruhi sistem saraf pusat yang ditandai dengan sakit kepala dan defisit saraf lokal dan kejang. Nekrosis ginjal dapat menyebabkan penurunan laju filtrasi glomerulus dan proteinuria. Kerusakan hepar dari nekrosis hepatoseluler menyebabkan nyeri epigastrium dan peningkatan tes fungsi hati. Manifestasi terhadap kardiovaskuler meliputi penurunan volume intravaskular, meningkatnya cardiac output dan peningkatan tahanan pembuluh perifer. Peningkatan hemolisis microangiopati menyebabkan anemia dan trombositopeni. Infark plasenta dan obstruksi plasenta menyebabkan pertumbuhan janin terhambat bahkan kematian janin dalam rahim. 6 4. Faktor Risiko Wanita hamil cenderung dan mudah mengalami preeklampsia bila mempunyai faktor-faktor predisposi sebagai berikut:

1. Nulipara 2. Kehamilan ganda 3. Usia < 20 atau > 35 th 4. Riwayat preeklampsia, eklampsia pada kehamilan sebelumnya 5. Riwayat dalam keluarga pernah menderita preeklampsia 6. Penyakit ginjal, hipertensi dan diabetes melitus yang sudah ada sebelum kehamilan15 5. Klasifikasi a. Preeklamsi Ringan, bila disertai keadaan berikut: 1) Tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih diukur pada posisi berbaring terlentang atau kenaikan diastole 15 mmHg atau lebih kenaikan sistole 30 mmHg atau lebih. Penentuan tekanan darah dilakukan minimal 2 kali dengan jarak waktu 6 jam pada keadaan istirahat. 2) Edema secara umum, kaki, jari tangan, dan muka atau kenaikan berat badan 1 kg atau lebih per minggu. Penambahan berat badan ini disebabkan oleh retensi air dalam jaringan dan kemudian baru edema nampak, edema ini tidak hilang dengan istirahat. 3) Proteinurina pada pemeriksaan urin midstream atau kateter menunjukan +1 atau +2 atau 1 gr/liter. b. Preeklamsi Berat
1) 2)

Tekanan darah 160/110 mmHg atau lebih pada posisi tirah baring Protein uria 5 gr dalam urin 24 jam atau lebih dari +3 pada pemeriksaan diagnostik setidaknya pada dua kali pemeriksaan yang berjarak setidaknya 4 jam.

3) 4)

Oliguria yaitu jumlah urin kurang dari 400 cc per 24 jam. Adanya gangguan serebral, gangguan visus, dan nyeri epigastrium.

5) c.

Terdapat oedem paru dan sianosis.

Eklampsi Pada umumnya kejangan didahului oleh memburuknya preeklampsia. Serangan Eklampsi dibagi menjadi 4 tingkat:

1) Tingkat awal atau aura. Keadaan ini berlangsung kira-kira 30 detik. Mata penderita terbuka tanpa melihat, kelopak mata bergetar demikian pula tangannya. 2) Kemudian timbul tingkatan kejangan tonik yang berlangsung kurang lebih 30 detik. Dalam tingkatan ini seluruh otot menjadi kaku, wajahnya kelihatan kaku tangan menggenggam, dan kaki membengkok ke dalam. Pernafasan berhenti, muka mulai menjadi sianotik, lidah dapat tergigit. 3) Stadium ini kemudian disusul oleh tingkat kejangan klonik yang berlangsung antara 1-2 menit. Spasmus tonik menghilang. Semua otot berkontraksi dan berulang-ulang dalam tempo yang cepat. Mulut membuka dan menutup dan lidah dapat tergigit lagi. Bola mata menonjol. Dari mulut keluar ludah yang berbusa, muka menunjukkan kongestian sianosis. Penderita menjadi tidak sadar.
4)

Sekarang ia memasuki tingkat koma. Lamanya ketidaksadaran tidak selalu sama. Secara perlahan-lahan penderita menjadai sadar lagi, akan tetapi dapat terjadi pula bahwa sebelum timbul serangan baru dan yang berulang, sehingga ia tetap dalam koma. 14

C. Sectio Caesaria 1. Pengertian Sectio caesaria adalah lahirnya janin, plasenta, dan selaput ketuban melalui irisan yang dibuat pada dinding perut dan rahim, dengan membuka dinding perut dan dinding uterus (Sarwono, 2006). Menurut Wiknjosastro (2002), terdapat beberapa jenis sectio caesaria yang dikenal saat ini, yaitu: 1. Sectio caesaria transperitonealis profunda 2. Sectio caesaria klasik/corporal 3. Sectio caesaria ekstraperitoneal 4. Sectio caesaria dengan teknik histerektomi Teknik yang saat ini lebih sering digunakan adalah teknik sectio caesarea transperitoneal profunda dengan insisi di segmen bawah uterus. Keunggulan teknik ini antara lain perdarahan akibat luka insisi

tidak begitu banyak, bahaya peritonitis tidak terlalu besar, dan perut pada umumnya kuat sehingga bahaya rupture uteri di masa mendatang tidak besar karena dalam masa nifas segmen bawah uterus tidak mengalami kontraksi yang kuat seperti korpus uteri. Hal ini menyebabkan luka dapat sembuh sempurna. 2. Indikasi Sectio Caesaria
a.

Indikasi ibu
1) 2) 3) 4) 5) 6) 7)

Disproporsi janin dan panggul Stenosis serviks uteri Tumor jalan lahir yang menimbulkan obstruksi Preeklamsi/hipertensi Bakat rupture uteri Panggul sempit Perdarahan ante partum Kelainan letak Letak lintang, letak sungsang, letak dahi dan letak muka dengan dagu dibelakang, dan presentasi ganda.

b.

Indikasi janin
1)

2) c.

Gawat janin Partus lama Partus macet/tidak maju

Indikasi waktu/profilaksis
1) 2)

3. Kontraindikasi a. Infeksi intra uterin b. Janin mati c. Syok/anemik berat yang belum diatasi d. Kelainan kongenital berat 4. Komplikasi sectio caesaria Faktor-faktor yang mempengaruhi morbiditas untuk melakukan pembedahan, dan mortalitas pembedahan antara lain kelainan atau gangguan yang menjadi indikasi dan lama persalinan berlangsung. Beberapa komplikasi yang dapat timbul antara lain sebagai berikut:

a.

Infeksi puerperal Infeksi puerperal yang terjadi bisa bersifat ringan, seperti kenaikan suhu selama beberapa hari dalam masa nifas. Komplikasi yang terjadi juga bisa bersifat berat, seperti peritonitis, sepsis, dan sebagainya. Infeksi pasca operatif terjadi apabila sebelum pembedahan sudah terdapat gejala-gejala infeksi intrapartum, atau ada faktor-faktor yang merupakan predisposisi terhadap kelainan tersebut. Bahaya infeksi dapat diperkecil dengan pemberian antibiotka, namun tidak dapat dihilangkan sama sekali.

b.

Perdarahan Perdarahan banyak bisa timbul waktu pembedahan jika cabangcabang arteria uterine ikut terbuka, atau karena terjadinya atonia uteri.

c.

Suatu komplikasi yang baru tampak pada kemudian hari Komplikasi jenis ini yaitu kemungkinan terjadinya rupture uteri pada masa kehamilan yang selanjutnya. Hal ini disebabkan oleh kurang kuatnya perut pada dinding uterus.

d. Komplikasi pada anak Menurut statistik di negara-negara dengan pengawasan antenatal dan intra natal yang baik, kematian perinatal pasca sectio caesaria berkisar antara 4% dan 7%

BAB III LAPORAN KASUS A. Identitas Penderita Nama Umur Jenis Kelamin No RM Macam Operasi Macam Anestesi Tanggal Operasi 1. Anamnesa a. Keluhan utama : Ingin melahirkan b. Riwayat Penyakit Sekarang : Pasien G1P0A0, 31 tahun hamil 35minggu, sudah merasakan mules, dan keluar air ketuban, pandangan kabur (+), sakit kepala (+), nyeri ulu hati (-), mual (), muntah (-), sesak (-). c. Riwayat Penyakit Dahulu Riwayat Asma Riwayat Hipertensi Riwayat DM Riwayat Alergi : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal : disangkal : pukul 16.00 WIB (14/5/13) : Ny. D : 31 tahun : Wanita : 01194902 : Sectio caesaria : Anestesi epidural : 14 Mei 2013 jam 23.15 WIB

Diagnosis pre operatif : PEB dengan primigramida hamil preterm BDP

Tanggal Masuk RSDM : 13 Mei 2013 (Ranap di bangsal Mawar 2 5C) B. Pemeriksaan Pra Anestesi

Riwayat Operasi 2. KU Vital Sign Riwayat makan minum terakhir Pemeriksaan Fisik

: Baik, CM, Gizi kesan cukup, berat badan 70 kg : T: 170/100 mmHg HR: 90x/menit RR: 20x/menit Suhu: 36,50C

Mata Hidung Mulut Leher Thoraks Cor

: Conjungtiva anemis (-/-), Sklera ikterik (-/-), pupil isokor 3mm/3mm : Sekret (-), deviasi septum (-) : Buka mulut >3cm, Mallampati I, bibir kering (-) : JVP tidak meningkat, KGB servikal tidak membesar, gerak leher bebas, TMD > 6 cm : Retraksi sela iga (-) : Inspeksi: Ictus cordis tidak tampak Palpasi: Ictus cordis tidak kuat angkat Perkusi: Batas jantung kesan tidak melebar Auskultasi: BJ I-II intensitas normal reguler, bising (-)

Pulmo

: Inspeksi: Pengembangan dada kanan = kiri Palpasi: Fremitus raba kanan = kiri Perkusi: sonor/sonor Auskultasi: Suara dasar vesikuler (+/+), Suara tambahan (-/-)

Abdomen

: soepel, nyeri tekan (-), teraba janin tunggal, presbo, memanjang, his (-), DJJ (+), kepala masuk panggul <1/3 bagian

V/U

: tenang, dinding vagina dalam batas normal, portio lunak mencucu, kepala turun di hodge I-II

Ekstremitas : CRT <2 detik Oedema Akral dingin Sianosis jari ujung

3. Pemeriksaan laboratorium pre operasi Hb : 12 Ht : 35 K : 3.5 AE : 4.17 Al : 6.8 ProteinUrin : ++ Na: 138 Cl: 108 Albumin: 3 SGOT 20

At : 191 Ur : 43 Cr :1 GDS 100 4. Kesimpulan

SGPT 15 PT 12 APTT 26 HBsAg non reaktif

Seorang wanita umur 31 tahun G1P0A0 preterm dengan PEB pro SCTPEm plan epidural anestesi. Problem Potensial problem Status fisik . : PEB : Eklampsia, HELLP syndrome, atonia uteri, stroke : ASA II E

hemoragik, perdarahan

LAPORAN ANESTESI

A. Rencana Anestesi 1. Persiapan Operasi a. Persetujuan operasi tertulis ( + ) b. Puasa > 6 jam c. Infus RL 20 tpm 2. Jenis Anestesi 3. Teknik anestesi 4. Premedikasi 5. Induksi 6. Maintenance 7. Durante Operasi 8. Monitoring : Regional anestesi : Anestesi Epidural : Metoklopramid 10 mg IV dan Ranitidin 50 mg IV : Bupivacain isobarik 0,5% 10 cc : O2 2 lpm : Ondansentron 4mg, Ketamin 20 mg (2x), : Tanda vital selama operasi tiap 10 menit, kualitas dan

Midazolam 3mg, Oksitosin 10 IU, Metergin 200 mcg tinggi dermatom blokade epidural, cairan, perdarahan 9. Perawatan pasca anestesi di ruang pemulihan B. Tata Laksana Anestesi 1. Di Ruang Persiapan a. Periksa persetujuan operasi dan identitas penderita. b. Pemeriksaan tanda-tanda vital : T : 150/100 mmHg R : 20 X/menit c. Cek obat dan alat anestesi. d. Premedikasi Metoklopramid 10 mg IV dan Ranitidin 50 mg IV e. Posisi lateral kiri f. Pakaian pasien diganti pakaian operasi 2. Di Ruang Operasi a. Jam 23.00 pasien masuk kamar operasi, manset dan monitor dipasang. b. Jam 23.15 pasien dipasang infus RL, mulai dilakukan anestesi epidural dengan prosedur sebagai berikut: 1) Pasien diminta duduk dengan memeluk bantal kepala fleksi N : 80 X/menit S : 36,5 C

2) Dilakukan tindakan antiseptis pada daerah kulit punggung bawah pasien dengan menggunakan larutan Iodin 1% dan alkohol 70%. 3) Injeksi dilakukan pada midline di bawah di antara processus spinosus segmen L2/L3. Lokasi injeksi ditandai dengan ibu jari. 4) Infiltrasi lokal pada kulit serta ligament supraspinoasus dan intraspinosus dilakukan di antara jari telunjuk dan jari tengah tangan kiri, menggunakan 1-1.5 mL lidocain 2 % 5) Insersi jarum epidural. Setelah melewati ligamen supraspinosus, yaitu sekitar 1 cm panjang jarum, kemudian jarum dimasukan lebih dalam yaitu sekitar 2-3 cm sampai ligament flavum. Kemudian trokar dilepas dan dipasang a low friction syringe. 6) Identifikasi ruang epidural dapat dilakukan dengan teknik merasakan hilangnya resistensi 7) Memasang kateter epidural 8) Melakukakan tes aspirasi 9) Jarum epidural ditarik 10) Kateter difiksasi dengan ibu jari dan jari telunjuk tangan 11) Memasang bakterial filter 12) Kateter epidural difiksasi dan ditutup 13) Pasien kemudian diposisikan dan diberikan dosis uji. 14) Pasien dikembalikan pada posisi telentang. Oksigen 2 liter/menit 15) Setelah yakin hasil tes dose negatif, di injeksikan dosis inisial epidural 0,5 % bupivacain 10 cc 16) Dinilai tinggi dermatom blokade dengan pin prick test c. Jam 23.20 Operasi dimulai, tanda vital dimonitor. d. Jam 24.00 infus RL habis diganti infus HES e. Jam 24.15 bayi dilahirkan perabdominal, jenis kelamin perempuan, berat badan 1800 gr, APGAR 5-6-7, anus (+) f. Jam 00.15 infus HES habis diganti infus NaCl g. Syringe injector dipasang di epidural kateter dengan isi 0,125 % bupivacain 120 cc kecepatan 3 cc perjam h. Jam 01.00 Operasi selesai, pasien dipindahkan ke ruang pemulihan.

Monitoring selama operasi Jam 23.00 23.15 23.30 23.45 00.00 00.15 00.30 00.45 01.00 Tensi (mmHg) 150/100 150/100 140/90 160/90 160/90 160/90 160/80 160/80 160/80 Nadi (X/menit) 80 80 90 80 80 80 80 80 80 Sp O2 (%) 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100% 100%

3. Di Ruang Pemulihan
a.

Skala bromage Setelah operasi selesai dilakukan, skor = 3 (pasien tidak mampu fleksi pergelangan kaki) 15 menit setelah operasi, skor = 2 (pasien tidak mampu fleksi lutut) 30 menit setelah operasi, skor = 1 (pasien tidak mampu ekstensi lutut) 45 menit setelah operasi, skor = 0 (gerakan penuh dari tungkai)

b. Kesadaran c. Tensi d. Nadi e. Respirasi f. Sp02


C.

: CM, E4V5M6 : 160/80 mmHg : 80 x/menit : 20 x/menit : 100%

TERAPI CAIRAN Perhitungan cairan pada kasus ini adalah (BB = 70 kg) 1. EBV= 80 cc x 70 kg = 560 cc 2. ABL = 20% x 5600 cc = 1120 cc 3. Puasa = 2 x 7 x 70 = 980 cc (terpenuhi) 4. Maintenance = 80 cc/jam 5. Stres Operasi = 6 x 70 = 420 cc/jam 6. Kebutuhan jam I : 500 cc

7. Kebutuhan jam II : 500 cc 8. Kebutuhan jam III : 500 cc


D.

BALANCE CAIRAN DURANTE OPERASI


Input Jam 23.00 Sd 00.00 00.00 Sd 01.00 Kristaloid Koloid Darah Darah 200 cc Output Urin 30 cc PP+SO+M 500 cc -230 cc Balance

500

500cc

500cc

100 cc

40 cc

500 cc

340 cc

E. Pemeriksaan laboratorium post operasi: Hb : 11.7 Hct : 33 AE: 3.76 AL : 7 AT : 200 GDS: 95 SGOT: 20 SGPT: 15 Albumin : 2.8 Na : 137 K : 3.3 Cl : 105 Protein urin +2 F. Terapi Post Operasi 1. Ceftriaxone 1gr/12jam 2. Ketorolac 30mg/8jam 3. Asam Tranexamat 500mg/8jam 4. MgSo4 4gr/6jam 5. Nifedipin 10 mg/8jam

BAB IV PEMBAHASAN Penggunaan anestesi sangat penting untuk melakukan tindakan medis tertentu. Sebagaimana tindakan medis lainnya, tindakan anestesi khusunya penggunaan obat-obatan anestesi memiliki risiko tersendiri. Banyak hal yang harus diperhatikan dalam melakukan tindakan anestesi pada wanita hamil yang akan melakukan persalinan. Karena dalam melakukan tindakan anestesi harus memperhatikan teknik anestesi yang akan dipakai demi menjaga keselamatan ibu, bayi, serta kehamilan itu sendiri. Pada pasien ini digunakan anestesi epidural karena anestesi epidural merupakan jenis anestesi yang relatif aman bagi ibu, dan juga bayinya. Pada pasien ini, dilakukan anestesi secara epidural karena memiliki beberapa keuntungan, yaitu:
a. b.

Ketinggian blok anestesi bisa disesuaikan Penghindaran obat narkotik sehingga mengurangi kemungkinan penekanan pernapasan yang lama dan penekanan saraf pusat pada bayi, serta muntah pada ibu

c. Penurunan hemodinamik tidak sebesar penggunaan anestesi spinal d. Uteral blood flow tetap terjaga e. Relaksasi otot yang lebih baik. f. Managemen nyeri pasca operasi lebih baik g. Mengurangi pemakaian narkotik sistemik sehingga kejadian depresi janin dapat dicegah/ dikurangi h. Kesadaran ibu tetap tidak berkabut selama pembiusan i. Risiko aspirasi pulmonal minimal dibandingkan pada tindakan anestesi umum (Boulton, 2004) Walau demikian, kemungkinan adanya risiko tetap ada, mengingat begitu banyak faktor yang ikut terlibat. Risiko anestesi epidural akan terjadi lebih tinggi pada keadaan berikut ini:

a. b.

Kelainan anatomis, seperti spinabifida, meningomyelocele atau scoliosis. Sebelumnya pernah melakukan pembedahan tulang belakang (dimana jaringan parut dapat menghambat penyebaran obat). Beberapa masalah dari sistem saraf pusat, termasuk multiple sclerosis atau syringomyelia. Beberapa masalah katup jantung (seperti stenosis aorta, dimana vasodilatasi yang disebabkan oleh anestesi yang dapat mengganggu suplai darah ke otot jantung menebal). Menurut Elson (1992) terdapat beberapa risiko dari anestesi epidural,

c.

d.

antara lain:
a. 1) 2) 3) 4) b. 1) 2) 3)

Bagi ibu dalam jangka pendek: Mual, muntah-muntah, menggigil Gangguan pada sistem pernapasan Kejang-kejang Pusing Bagi ibu dalam jangka panjang Sakit pada bagian belakang tubuh Kehilangan kontrol untuk buang air kecil maupun air besar. Kehilangan sensasi pada bagian perineum (daerah antara vagina dan anus) dan fungsi seks. Terus-menerus merasa seperti tertusuk jarum. Meningkatkan risiko membutuhkan sebuah kelahiran instrumental dan memiliki episiotomi. Bayi yang belum lahir perlu terus dimonitor Keracunan obat bius Stres dan depresi Demam karena mengalami penurunan suhu tubuh Kekuatan dan kemampuan gerak otot tubuhnya kurang baik pada jam-jam pertama setelah dilahirkan

4) 5)

6)

c. Bagi bayi:
1) 2) 3) 4)

Penanganan preeklampsia berat dengan sectio caesaria yang menggunakan anestesi epidural mempunyai beberapa kelemahan, antara lain:

1) DIT (Delivery Intake Time) : Kecepatan ahli bedah untuk mengeluarkan bayi dari kandungan, kurang dari 10 menit setelah induksi. 2) Perdarahan, terjadi karena atonia uteri yang dapat disebabkan karena : a) Grande multipara b) Gemelli c) Solutio Placenta d) Polihidramnion e) Preeklampsia, Eklampsia, Sindrom HELLP f) Anemia gravis, Anemia sickle cell g) Hepatic failure h) Renal failure i) Diabetes mellitus j) Kelainan sistem hematopoetik, misalnya leukemia k) Partus lama, partus infeksius l) Dehidrasi m) Perdarahan post partum n) Depresi obat-obat anastesi o) Trauma

BAB V SIMPULAN Penggunaan anestesi sangat penting untuk melakukan tindakan medis tertentu agar tindakan anestesi berjalan dengan baik sesuai dengan tujuan anestesi. Sebagaimana tindakan medis lainnya, tindakan anestesi khusunya penggunaan obat-obatan anestesi memiliki risiko tersendiri, sehingga anestesi dalam persalinan perlu mempertimbangkan keamanan ibu dan bayi. Pemeriksaan pra anestesi yang baik dan teliti memungkinkan kita mengetahui kondisi pasien dan memperkirakan masalah yang mungkin timbul sehingga dapat mengantisipasinya serta dapat menentukan teknik anestesi yang akan dipakai. Anestesi epidural memungkinkan ibu untuk tetap sadar pada saat kelahiran dan mendengar suara tangisan dari bayinya, sehingga teknik anestesi tersebut menjadi pilihan para ibu hamil dan dokter. Pada makalah ini disajikan kasus penatalaksanaan anestesi epidural pada operasi sectio caesarea pada wanita, usia 24 tahun, status fisik ASA IIE dengan diagnosis preeklamsia berat secundi gravida hamil preterm. Prosedur anestesi epidural pada sectio casarea dalam kasus ini tidak mengalami hambatan yang berarti baik dari segi anestesi maupun dari tindakan operasinya. Selama di ruang pemulihan pasien sadar penuh, hemodinamik stabil, dan tidak terjadi hal yang memerlukan penanganan serius.

DAFTAR PUSTAKA 1. Roesli M, Tampubolon OE. 1989. Pendidikan anestesiologi mahasiswa. Dalam: Anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif FKUI. Jakarta: CV Infomedika; pp: 9 2. Latief SA. 2002. Petunjuk praktis anestesiologi. Bagian Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta; pp: 34-7, 72-80 3. Desai April 2013 4. Morgan E, Maged M. 2006. Anesthesia for genitourinary surgery. Dalam: Clinical anesthesia 3rd ed. Connecticut: Aplleton and Lange; pp: 753-73 5. Primatika, DA, Marwoto, Sutiyono. 2002. Teknik Anestesi Spinal dan Epidural. Semarang: IDSAI Jawa Tengah. pp: 325 6. (Cunningham et al, 2010)
7. Royston Erica. 1989. Division of family health World Health Organization Geneva, Switzerland & Sw Armstrong (Freelance Journalis London, England). 8. GOI & UNICEF. 2000. Laporan Nasional Tindak Lanjut Konfrensi Tingkat Tinggi Anak (Draff) 9. ............. .1999. Standar Pelayanan Kebidanan, Buku I, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta ; September 10. Manuaba Ida Bagus Gede.1998.Ilmu kebidanan, Penyakit kandungan & Keluarga berencana untuk pendidikan bidan, Editor: Seriawan, Ed. I, Jakarta, EGC 11. Derek Lewellyn-jones.2001.Dasar-dasar obstetric dan ginekologi, Alih bahasa;Hadyanto, Ed.6 Jakarta 12. Departement Obstetrics & Ginacology.Jawaharial Institute of Posgraduate Medical Education and Reasearch, Pondicherry, India 13. Rochjati P, Soedarto, Prabowo RP. 1986. Pola kasus kehamilan risiko tinggi di RSUD Dr Soetomo Surabaya, MOGI; 12: 230-248 14. Wiknyosastro Hanifa, Abdul Bari Saifudin, Trijatmi Rochimhadhi. 1998. Ilmu Kebidanan. Ed.3, Jakarta

AM.

2011.

General

anesthesia.

http://emedicine.medscape.com/article/1271543-overview. Diunduh pada 17

15. Ben-zion, MD .1994. Kapita selekta. Kedaruratan Obstetri & Ginecologi; Alih bahasa; Teddy Supriyadi; Johanes Gunawan; Editor Melfiawati S, Ed 2, Jakarta: EGC 16. Bernards CM, . 2001.Epidural and Spinal Anesthesia. In : Handbook of Clinical Ansthesia, editor : Barrash PG, Gullen BF, Stoelting RK, Philadelpia, Lippincott Williams and Wilkins

Anda mungkin juga menyukai