Anda di halaman 1dari 47

RESPONSI KASUS ENDOKRINOLOGI

DIABETES MELLITUS TIPE I

Oleh: MAKHYAN JIBRIL A NICO PANGESTU H RICHA OKTA SERAVINA ADILA 0810710073 0810714048 0810711097 0810713037

Pembimbing: dr. Laksmi Sasiorini Sp.PD

Laboratorium Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Univarsitas Brawijaya Rumah Sakit Umum Dr. Saiful Anwar Malang 2013

BAB I PENDAHULUAN

Diabetes mellitus adalah gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi glukosa (King et al., 2003). Diabetes tipe 1 merupakan gangguan dimana terjadi penurunan insulin didalam sirkulasi diikuti dengan glukagon plasma meningkat, akibat sel sel beta pankreas gagal berespon terhadap semua rangsangan insulinogenik yang telah diketahui (Karam et al., 2000). Dengan menurunnya insulin, organ yang membutuhkan insulin (hati dan otot) akan gagal mengambil zat zat gizi yang telah diabsorbsi sebagaimana mestinya, sehingga akan terjadi glukoneogenesis yang mengakibatkan pengeluaran glukosa, asam amino dan asam lemak kedalam aliran darah dari depot cadangannya masing masing, yang selanjutnya mengakibatkan pembentukan dan akumulasi benda benda keton (Karam et al., 2000). Insiden Diabetes Melitus tipe I sangat bervariasi baik antara negara maupun di dalam suatu negara. Insiden tertinggi terdapat di Finlandia yaitu 38,4/100.000 pertahunnya pada anak laki-laki dan 32,2/100.000 pada

perempuan dan terendah di Jepang 2/100.000 untuk usia kurang dari 15 tahun. Berdasarkan data-data di rumah sakit terdapat dua puncak insiden DM tipe 1 pada anak yaitu pada usia 5-6 tahun dan 11 tahun. Patut di catat bahwa lebih dari 50% penderita baru DM tipe I berusia > 20 tahun (Perkeni, 2006). Pada tahun 1994, jumlah penderita diabetes di Indonesia minimal 2,5 juta, tahun 2000 menjadi empat juta, dan tahun 2010 menjadi sekitar lima juta (Tjokroprawiro, 1997). Jumlah penderita Diabetes tipe 1 hanya sekitar 5% sampai 10% dari jumlah total penderita Diabetes Mellitus, namun Diabetes tipe 1 memiliki frekuensi yang tinggi dari komplikasi pebuluh darah, penurunaan kualitas pertahanan tubuh dan harapan hidup (Nathan, 1993; Notkins, 2001). Hal ini perlu mendapat perhatian khusus disamping mengingat jumlah penderitanya yang cenderung mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Selain itu, angka harapan hidup dari pasien diabetes Mellitus tipe 1 tergolong cukup rendah.

Solusi yang efektif untuk pengobatan Diabetes mellitus sangat dibutuhkan saat ini. Secara teoritis penatalaksanaan pasien Diabetes mellitus tipe 1 dilakukan melalui tiga pendekatan yaitu intervensi primer, sekunder, dan tersier. Intervensi primer meliputi penanganan pada semua individu. Intervensi sekunder meliputi skreening genetik, autoantibodi, dan penanda lain yang mungkin pada kelahiran, anak-anak usia sekolah, atau pada dewasa (Bingley, 1997). Sedangkan intervensi tersier meliputi penganganan pada pasien yang baru terdiagnosis sebagai pasien Diabetes tipe 1 dengan menggunakan

immunosupresan dan insulin. Pemberian insulin pada penderita diabetes saat ini kurang efektif untuk menyembuhkan karena dosis insulin sulit untuk diatur. Pemberian insulin eksogen secara berkala gagal mencapai gula darah terkontrol yang optimal bahkan ketika regimen yang intensif telah digunakan (NEJM, 2000). Terapi intensif yang menggunakan suntikan beragam insulin setiap hari dengan pemantauan gula darah hampir setiap saat, sering memicu peningkatan insidensi hipoglikemia pada pasien. Oleh karena itu, pada tulisan ini akan dibahas lebih

lanjut dalam manajemen dan penatalaksanaan diabetes tipe 1 guna memberikan pelayanan yang optimal pada pasien. Diperkirakan lima puluh persen penderita diabetes mellitus pernah mengalami pembedahan selama masa hidupnya. Pada penderita dewasa, pembedahan biasanya sering berkaitan dengan penyakit diabetes mellitus itu sendiri misalnya pembedahan minor seperti: insisi dan drainase abses, nekrotomi ganggren, serta segala prosedur pembedahan sebagai akibat komplikasi mikro atau makro angiopati. Sedangkan pada anak-anak dengan diabetes mellitus, pembedahan biasanya tidak terkait dengan penyakit diabetes mellitus itu sendiri, misalnya: herniotomi, appendiktomi, reposisi fraktur, dan lain-lain (Ellis, 1987; McAnulty et al., 2000). Telah diketahui pula bahwa kontrol glikemik yang baik pada penderita diabetes yang yang mengalami pembedahan akan menurunkan mortalitas dan morbiditasnya (McAnulty et al., 2000) Sedangkan penderita diabetes dengan kadar gula darah yang tidak terkontrol baik akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas paska pembedahan (Jack dan Alberty, 2002). Oleh karena itu, diperlukan pembahasan lebih lanjut untuk manajemen pasien dengan kondisi diabetes mellitus tipe 1 yang mengalami proses pembedahan.

BAB II LAPORAN KASUS

2.1 IDENTITAS Nama Jenis kelamin Umur Alamat Status Pendidikan Pekerjaan Suku Agama : Tn. Samsul : Laki-laki : 18 tahun 9 bulan : Jl Yulius Usman Klojen Malang : Belum Menikah : Siswa SMA : Siswa SMA : Jawa : Islam

No. Rekam Medik : 10656293 MRS 2.2 KELUHAN UTAMA Penurunan Kesadaran 2.3 ANAMNESIS A. Riwayat Penyakit Sekarang (Heteroanamnesa) Pasien ditemukan tidak sadar secara tiba tiba di rumahnya saat sedang membawa motor sekitar 1 hari yang lalu. Pasien diperkirakan tiba-tiba jatuh mendadak dan kepalanya terbentur di tembok. Saat itu pasien sempat tidak sadar selama 4 jam dan pasien tiba-tiba sadar kembali saat di rumah sakit. Saat itu pasien telah dilakukan foto kepala (ct scan) dan didapatkan perdarahan sehingga pasien setuju untuk dilakukan pembedahan pada kepala. Pasien telah diketahui memiliki penyakit diabetes mellitus sejak usia 7 tahun oleh spesialis anak dan rutin kontrol untuk mendapatkan insulin. Selanjutnya saat pasien usia 14 tahun, pasien di alih rawat ke poli penyakit dalam. B. Riwayat Penyakit Dahulu : 26 Maret 2013

Pasien saat usia 7 tahun pernah masuk rumah sakit dan disebutkan bahwa gula darah pasien saat itu sangat tinggi (sekitar 700) sehingga pasien mengalami penurunan kesadaran dan dibawa ke UGD

Pada saat pasien usia

C. Riwayat Penyakit Keluarga Tidak ada keluarga yang menderita sakit serupa. Riwayat Hipertensi, Diabetes Melitus dan Alergi pada keluarga disangkal. D. Riwayat Psikososial Pasien beraktivitas sebagai siswa SMA

2.3.1 Anamnesis Keadaan Gizi Makan Jumlah Jadwal Berat badan : 2-3x/ hari : Sedang : Tidak teratur : 50 kg

2.3.2 Anamnesis Umum (Review of Systems) Kulit Kepala Mata kabur/ganda (-) Telinga Mulut : Tidak ada keluhan : Tidak ada keluhan : Gatal (-), kuning (-) : Masih dirasakan nyeri setelah di operasi : Kelopak mata bengkak (-), kuning (-), penglihatan

Hidung dan sinus : Tidak ada keluhan Leher Paru Jantung Alat pencernaan Saluran kencing Alat kelamin Alat gerak Sistem saraf Endokrin : Tidak ada keluhan : Tidak ada keluhan : Tidak ada keluhan : Tidak ada keluhan : Sering kencing : Tidak ada keluhan : Tidak ada keluhan : Tidak ada keluhan : Nafsu makan cukup tinggi, sering haus

2.4 PEMERIKSAAN FISIK 2.4.1 KEADAAN UMUM Keadaan umum Kesadaran : Cukup : Kompos mentis, GCS 456

Suhu badan (aksiler) : 36,8C Nadi Tekanan darah Pernapasan Suara bicara Gizi Status dan habitus BB Kulit - Tonus - Turgor - Peluh - Ikterus : Normal : Keriput : Normal : (-) : 83 kali/menit, teratur, kuat angkat : 130/80 mmHg, berbaring, lengan kiri : 20 kali/menit : Normal : Kesan baik : Jalan-jalan, : 50 kg

2.4.2 KEPALA DAN LEHER Umum trepanasi Mata : : Sembab wajah (-), terbungkus kassa pada kepala post operasi

- Oedema palpabrae (-)/ (-) - Konjungtiva Anemis (-) - Pupil: Bulat, isokor, diameter 3 mm / 3 mm - Sclera: Ikterus (-) - Visus: OD >2/60 / OS >2/60 Telinga Hidung : Tidak ada kelainan : Tidak ada kelainan, tidak ada tanda-tanda perdarahan mukosa, maupun pernafasan cuping hidung Mulut Leher - Umum - Kelenjar limfe - Trakea : Simetris : Tidak ada pembesaran : Deviasi ke kanan : Tidak ada kelainan

- Tiroid - Vena jugularis 2.4.3 THORAX Umum Bentuk ICS Retraksi Kulit Axilla

: Tidak ada pembesaran : Peningkatan jugular venous pressure (-)

: Normal : Kanan kiri simetris, tidak melebar : Tidak tampak : Tidak ada kelainan : Tidak ada kelainan

Paru Pemeriksaan INSPEKSI Bentuk Pergerakan PALPASI Pergerakan Simetris + Fremitus raba Simetris + + Nyeri PERKUSI Sonor Suara ketok Sonor Sonor Nyeri ketok Kronig isthmus Normal Sonor Sonor Sonor Sonor Sonor Sonor Sonor Sonor Sonor + + + + + + + + + Simetris Simetris Depan Kanan Kiri Belakang Kanan Kiri

Tinggi diafragma ICS V

AUSKULTASI Vesikuler Suara nafas Vesikuler Vesikuler + Fremitus auditori Sama + + Suara tambahan paru/pleura N Suara Percakapan N N Ronkhi Wheezing Vesikuler Vesikuler Vesikuler + + + N N N Vesikuler Vesikuler Vesikuler + + + N N N Vesikuler Vesikuler Vesikuler + + + N N N -

Jantung dan Sistim Kardiovaskuler Jantung Inspeksi Iktus dan pulsasi Palpasi Iktus Pulsasi jantung Getaran (thrill) Suara yang teraba : Teraba, pada ICS V midaxillary line sinistra : Teraba, pada apeks : Tidak ada : Tidak ada : Tidak tampak

Perkusi Batas kanan Batas kiri Auskultasi Suara 1, suara 2 Suara 3, suara 4 Bising jantung : Tunggal : Tidak ditemukan : murmur (-) : ICS V parasternal line dextra : ICS V midaxillary line sinistra

Systolic ejection click : Tidak ditemukan Opening snap : Tidak ditemukan

Bising gesek perikard : Tidak ditemukan 2.4.4 ABDOMEN Inspeksi Bentuk Umbilikus Kulit Auskultasi Peristaltik usus (bising usus) : (+) 20x/menit, Normal Perkusi Timpani Timpani Pekak hepar Asites Palpasi Turgor Tonus Nyeri tekan Krepitasi Hepar Lien Ginjal Kandung empedu Aorta : Normal : Normal : Tidak ada : Tidak ada : Tidak teraba : Tidak teraba : Tidak teraba : Murphys sign (-), Courvoisier law (-) : Sulit diraba Timpani Timpani : (+) 8 cm, batas paru hepar ics V : (-) : Flat : Masuk merata : Caput medusa (-), vena kolateral (-)

Hernia/ massa : Tidak ada

2.4.5 INGUINAL-GENITAL-ANUS Tidak dilakukan 2.4.6 EKSTREMITAS Ekstremitas Atas Akral Deformitas Erythema palmaris Edema Refleks biceps Refleks triceps Refleks patologis Motorik Sensorik Ekstremitas Bawah Akral Deformitas Edema Refleks lutut : Hangat kering merah : (-) / (-) : (-) / (-) : ++/+ + : Hangat kering kemerahan : (-) / (-) : (-) / (-) : (-) / (-) : ++ /++ : ++ /++ : (-) / (-) : 5/5, lateralisasi (-) : Normal

Refleks achilles : ++/++ Refleks patologis : (-) / (-) Sensorik : Normal Tulang Belakang Normal

10

2.4 KRONOLOGI PASIEN No Tanggal Deskripsi Diagnosis Terapi yang

Diberikan 1 7 April Dilaporakan kasus 1. Cedera Kepala Sedang -Drip insulin

2013

seorang laki-laki, Tn. S, 17 tahun, pelajar SMU, datang ke IGD RSSA dengan kesadaran. kesadaran jam masuk Pasien penurunan ketika mengendarai motor. penurunan Penurunan terjadi dua

0,1/kgBB/jam dengan target

1.1. Epidural GDA 140-180 Hematoma mg/dL. Insulin

1.2 Subdural long acting 10 hematoma IU, drip

sebelum rumah

pasien 2.Hyperglycaem sakit. ia crisis

dipertahankan selama 2 jam, jika GDA 200300 mg/dL drip insulin boleh di stop. Insulin acting diberikan 4 IU 3 kali sehari sebelum makan. short

mengalami 2.1 KAD kesadaran 2.2 HHS sedang 3.Azotemia sepeda Renal Penurunan 4.Hyperkalaemi

kesadaran yang dialami a pasien mendadak. Tidak ada riwayat trauma pada pasien. Saat pasien

jatuh, kepala juga ikut terbentur pada tanah. Pasien telah menderita diabetes sejak umur 11 tahun. Selama sebelas tahun ini pasien sudah masuk beberapa tumah kali sakit karena

gula darah yang terlalu tinggi. Pasien rutin

kontrol ke poli dalam RSSA. Pengobatan

11

diabetes yang terakhir didapatkan adalah insulin Pada pemeriksaan fisik didapatkan GCS pasien ketika masuk ke IGD RSSA adalah 235 pasien

dengan tekanan darah 118/64, nadi 145x/menit, napas 30x/menit. Hasil gula darah acak pasien adalah 844 mg/dL. 2 9 April -GCS pasien 335 -Napas x/menit -Tensi 110/60 mmHg, spontan 20 -Drip 2,5 IU/ insulin jam, drip meq

2013

ditambah KCl 25

nadi 124x/menit. -GDA high glukometer stik

dalam 500 cc NS -Koreksi natrium bicarbonate s/d pH 7,1 -Evaluasi GDA tiap hari

10 April -GDA 1111 mg/dL. 2013 -GDA Stick High .

Pukul 08.00 -Rehidrasi dengan NaCl

0,9% 1000 cc -Drip insulin 5 IU/ jam -Drip Nabic

100 mg / 500 Nacl

12

Pukul 12.00 -Hasil: Stick High, menurun per palpasi -Dilanjutkan rehidrasi dengan 6000 GDA masih tensi 70

cc NaCl 0,9% -Drip naik jam Pukul 14.00 -Hasil: Stick High -Drip insulin GDA masih insulin 7,5 IU/

naik 9 IU/ jam Pukul 16.00 -Hasil: Stick mg/dL -Drip dilanjutkan Pukul 05.00 GDA 416

(11 April 2013) -Hasil: Stick mg/dL 4 11 April GDA selalu berkisar Drip insulin 2 IU/jam GDA 183

-16 April antara 250 mg/dL s/d 2013 350 mg/dL.

13

17 April -Masa 2013

akut

post

Alih Rawat IPD - Pindah dari ruang 13 ke

trepanasi sudah selesai

ruang 26 6 17 April -GDA setiap hari sekitar April 2013 31 250- 300 mg/dL -Insulin injeksi Humulin N dan R dengan

dosis N 0-30 dan R 18-1818

14

2.1 Summary of Database Anamnesa (07 April 2013) Pemeriksaan Fisik (07 April 2013) DESKRIPSI UMUM Keluhan utama: Penurunan Kesadaran Kesan sakit Gizi : tampak sakit berat : cukup kg
2

Pemeriksaan Laboratorium (7 April 2013) DARAH LENGKAP Leukosit : 36.130/L (3.500 10.000) (11,0 16,5)

(Heteroanamnesa) Pasien mengeluh tiba-tiba pingsan dan terjatuh hingga kepalanya terbentur saat membawa sepeda motor satu hari yang lalu. Penurunan kesadaran terjadi selama sekitar satu jam, kemudian pasien terbangun dan sadar lagi. Namun setelah 3 jam, pasien mengeluh mual sekaligus muntah yang deras sekitar setengah gelas Awalnya pasien merasa sering lemah seperti tidak bertenaga. Riwayat pengobatan: Pasien telah mendapatkan terapi insulin rutin (actrapid, levemir) sejak usia 13 tahun dan rutin kontrol hingga hari ini di poli penyakit

Hemoglobin : 14,40 gr/dL MCV MCH PCV Trombosit : 93,80 : 29,60 : 45,70%

Berat badan : 70

Tinggi badan :170 cm BMI : kg/m

(35 50)

: 613.000 /L (150.000-390.000) : 0,0 % : 0,1 % : 91,0% : 5,6% : 3,3% (10 50) (0,7 1,5) (11 41) (10 41)

TANDA VITAL Kesadaran : GCS 345, Nadi : 102 x/menit, reguler

Eusinofil Basofil Neutrofil

Tekanan darah : 120/65 mmHg Lymphosit (lengan kanan, berbaring) Tax Pernafasan Kepala/Leher: : 36,5 C : 28 x/menit, reguler Ureum Creatinine
o

Monosit

: 39,20 mg/dl : 1,21 mg/dl : 19 U/L : 21 U/L

Conjunctiva anemis -/-, sklera icterik SGOT -/-, PBI 3cm/3cm,Turgor kulit tidak SGPT

15

dalam. Riwayat penyakit dahulu: Pasien

menurun, Tidak ada pembesaran GDA kelenjar getah bening, tiroid JVP Natrium tidak Kalium Clorida URINALISIS

: 844gr/dl : 136 mmol/L

(<200) (136 145) (98 106)

pernah mengalami pingsan tiba tiba saat usia 13 dan dibawa ke rumah sakit. Pada saat itu gula darah dari pasien sekitar 500. Sehingga pasien dibawa ke UGD RKZ Riwayat keluarga : Tidak ada anggota keluarga yang memiliki penyakit diabetes, Ayah memiliki riwayat darah tinggi Riwayat imunisasi : Pasien sudah lupa telah mendapat imunisasi apa.

R+2cmH2O, membesar

kelenjar

: 6,23 mmol/L (3,5 5,0) : 105 mmol/L

Thorax:

C/ Ictus invisible palpable at ICS V SG MCL (S), RHM at SL (D), LHM at pH ictus, S1 S2 normal, murmur Lekosit Nitrite P/ Gerakan napas simetris, SF D=S, Protein suara nafas V V V V V V perkusi S S S S S S Glukosa Eritrosit Keton

: 1,020 : 5,5 ::: 1+ : 3+ : 1+ : 2+

Urobilinogen : Bilirubin 10x Epitel :: 1,5 40x Eritrosit : 0,2 Lekosit : 0,5 Kristal : Bakteri : +

Silinder : Hyaline : Granuler : -

16

ronkhi -

wheezing BGA

Eritrosit : Lekosit : -

(153,8x103/ml)

Ph : 6.99 PCO2 : 20,4 mmHg

Abdomen:

PO2 : 153,8 mmHg

Flat, soefl, BU + N, H/L tak teraba, HCO3 : 5,0 liver span 8 cm, Troube Space BE : -26,7 Timpani Saturasi 02 : 98,1% GDS : 844 mg/dl Extremitas: Akral hangat edema Head CT Scan : EDH fronto temporal parietal Sinistra 75 cc herniasi dextra 6mm Contusio Hemmorhage Edema cerebri Closed Fraktur temporoparietal sinistra

EKG Sinus rhythm, heart rate 100x/menit

17

PR interval QRS complex Reflek fisiologis (+/+), Reflek QT interval Frontal Axis Kiri + Horisontal Axis Conclusion :

: 0,16'' : 0,06 : 0. 24 : Normal : Normal

patologis (-/-) Edema (-/-) Pemeriksaan Pulsasi poplitea Pulsasi Dorsalis pedis Pulsasi A + + A + + A Kanan +

sinus rhytm frekuensi 100x/menit CXR Conclusion: Normal Chest X Ray

TibialisPoste rior Sensitivitas Halus Sensitivitas Kasar + + + +

18

2.2 Problem Oriented Medical Record Cue and Clue Laki-Laki/ 18 tahun Penurunan mendadak pada dengan setelahnya Pem. Fisik: GCS 345 kesadaran saat trauma diikuti Problem List 1. Cedera Kepala Sedang 345 Initial Diagnose 1.1 Epidural Hematoma 1.2 Subdural Hematoma Planning Diagnose Planning Therapy -IVFD RL 0,9% 20 tpm -Mannitol 0.25-1 g/kg IV -Pembedahan trepanasi Monitoring Vital sign GCS

kepala,

kesadaran

Lab.: CT Scan EDH temporal Sinistra herniasi 6mm Contusio Hemmorhage fronto parietal 75 cc

dextra

19

Edema cerebri Closed Fraktur

temporoparietal sinistra

Laki-Laki/18 Tahun Riwayat Diabetes (+)

2. Hyperglycemi a

2.1 Diabetic Ketoasidosis 2.1.1 dt Diabetes Type 1 2.1.2 dt Diabetes Type 2 2.2 Hyperglycemic Hyperosmolar state 2.2.1 dt Diabetes Type 1 2.2.2 dt Diabetes Type 2

GD I, GD II, SE,

-IVFD RL 0,9% 20 tpm

Vital GDS hours insulin

sign, Per while drip,

sejak usia muda GDA: 844 mg/dL BGA Ph : 6.99 PCO2 : 20,4 mmHg PO2 : 153,8 mmHg HCO3 : 5,0 BE : -26,7 Saturasi 02 : 98,1%

per 4 hour post drip. hours correction, BGA 6 hours post correction SE 4 post

20

Laki-Laki/18 Tahun

3.

3.1

2.2 Riwayat Kontrol dan Perjalanan Penyakit Pasien Tanggal Keluhan Subyektif 5 Agustus 2007 Penurunan jam 03.33 WIB Kesadaran (UGD-> MRS ke Muntahruang 7 RSSA) muntah sebelum masuk rumah sakit (5x sehari) 18 Agustus 2007 Poli Anak Tidak ada BP120/80. PR 90x. RR 20x Tax 36,5 11 Oktober 2007 Sering lemas BP140/100 GDA sekitar 500 DM tipe 1 Actrapid 3x1 @ 4 IU Vital sign, DM tipe 1 Actrapid 3x1 @ 4 IU Monotard 0-0-15 IU Vital Keluhan sign, Pemeriksaan Fisik BP120/80. PR 130x. RR 40x Tax 36,5, Pemeriksaan Tambahan GDS 781 mg/dL 1.Hyperglycemic Hyperosmolar state 1.a Due to DM tipe I 1.b. Due to DM tipe 2 MRS Malang Pasien lupa diberi apa saja ke RSSA Vital sign Keluhan Diagnosis Planning Therapy Monitoring

Endokrin keluhan

21

dan ngantuk

PR 90x. RR 20x Tax 36,5,

mg/dL

Monotard 0-0-15 IU

19 Oktober 2007

Tanpa keluhan

BP120/80. PR 80x. RR 16x Tax 36,5

DM tipe 1

Terapi dilanjutkan

11 Januari 2008

Tanpa keluhan

BP140/100 PR 90x. RR 20x Tax 36,5,

GDA 147 mg/dL

DM tipe 1

Terapi diganti Actrapid 25-4 IU Monotard 13-5 IU.

29 Januari 2008

Tanpa keluhan

GD I 178 mg/dL GD II 132 mg/dL GDA 147 mg/dL GDA 210 mg/dL GDA 275 mg/dL GDA High-Tidak terdeteksi oleh alat pengukur glukosa darah

DM tipe 1

Terapi dilanjutkan

Subjective

31 Maret 2008 30 Mei 2008 30 Juni 2008 14 Juli 2008

DM tipe 1 DM tipe 1 DM tipe 1 DM tipe 1

Terapi dilanjutkan Terapi dilanjutkan Terapi dilanjutkan Terapi dilanjutkan

22

konvensional 18 Maret 2009 GDA 355 mg/dL DM tipe 1 Insulatard 0-24 dan Actrapid 16-16-16 20 2009 September GD I pasien 287 mg/dL dan GD II 226 mg/dL DM tipe 1 Humulin N dan R dengan dosis N 0-30 dan R 18-18-18,

23

BAB III PEMBAHASAN

3.1 Diabetes Mellitus 3.1.1 Diagnosis Diabetes mellitus didefinisikan oleh WHO (1999) sebagai penyakit metabolic dengan berbagai macam etiologi yang ditandai dengan adanya hiperglikemi kronis dengan gangguan metabolism karbohidrat, lemak dan protein yang mengakibatkan defek sekresi insulin, aktivitas insulin atau keduanya. Dimana diapetes tipe 1 merupakan penyakit autoimun dengan adanya kerusakan sel beta pancreas yang dimediasi sel T sehingga mengakibatkan defisiensi sekresi insulin (Kulmala et al., 2000). Kriteria Klinis Berdasarkan pembagian derajat klinis, proses hiperglikemia sendiri dibedakan menjadi berbagai macam derajat sesuai dengan Kuzuya (1997), yakni: o Normoglikemia Kondisi ini ditandai dengan terjaganya kadar gula darah puasa <126 mg/dL dan kadar darah 2 jam post prandial < 200 mg/dL. Selain itu, tidak ditemukan adanya gejala klasik diabetes pada pasien (poliuri, polidipsi, polifagi). o Impaired glucose reaction/ Impaired fasting hyperglicaemia Kondisi ini ditandai dengan peningkatan kadar gula darah puasa hingga mendekati 126 mg/dL dan kadar darah 2 jam post prandial mendekati 200 mg/dL dalam jangka waktu yang lama. Selain itu, bisa jadi masih belum ditemukan adanya gejala klasik diabetes pada pasien (poliuri, polidipsi, polifagi). o Diabetes Prinsip penegakan diagnosis pada pasien dengan diabetes mellitus ialah berdasarkan kadar gula darah dan atau gejala yang muncul pada pasien. Kondisi ini ditandai dengan meningkatnya kadar gula darah puasa >126 mg/dL dan kadar darah 2 jam post prandial >200 mg/dL. Selain itu, bisa ditemukan adanya gejala klasik diabetes pada pasien (poliuri, polidipsi, polifagi).

24

Gambar 3.1 Ringkasan manifestasi klinis hiperglikemi (American Diabetes Association, 2004) Secara garis besar, proses diagnosis pasti adanya diabetes pada pasien dilakukan dengan algoritma sebagai berikut:

Gambar 3.1 Algoritma diagnosis diabetes (Soegondo S et al., 2006)

25

Selain itu, digunakan kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring dan diagnosis DM (mg/dl) Kadar Glukosa Kadar glukosa darah sewaktu (mg/dl) Kadar glukosa darah puasa (mg/dl) Plasma vena Darah kapiler <90 90-99 100 <100 100-125 126 Preparat laboratorium Plasma vena Darah kapiler <90 90-199 200 Bukan DM <100 Belum Pasti DM 100-199 200 DM

Pada pasien ini, ditemukan bahwa kadar gula darah sewaktu pasien mencapai 844 mg/dL, hal ini menunjukkan adanya kemungkinan pasien mengalami diabetes dan jatuh pada kondisi HHS. Untuk itu, perlu dilakukan pemeriksaan lebih lanjut yakni kadar gula darah puasa pasien yakni 287 mg/dL dilanjutkan dengan kadar gula darah 2 jam post prandial yakni 226 mg/dL. Dengan dipenuhinya terdapat dua syarat dari penegarakan diabetes (gula darah puasa, dan atau dengan gula darah 2 jam pp dan atau dengan gejala klasik diabetes). Maka pasien ini dapat disimpulkan telah diklasifikasikan dalam kondisi diabetes. Kriteria Etiologis Menurut WHO (1999), diabetes bisa diklasifikasikan secara etiologi menjadi diabetes tipe 1, diabetes tipe 2, diabetes dalam kehamilan, dan diabetes tipe lain. Diabetes tipe 1 atau yang dulu dikenal dengan nama Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM), terjadi karena kerusakan sel beta pankreas (reaksi autoimun). Bila kerusakan sel beta telah mencapai 90% maka gejala DM mulai muncul. Ada yang karena autoimun dan idiopatik. Diabetes tipe 2 merupakan 90% dari kasus DM yang dulu dikenal sebagai non insulin dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) dan mempunyai pola familial yang kuat. Dominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai terutama defek sekresi insulin disertai resistensi insulin.

26

Diabetes dan kehamilan (Gestational Diabetes Mellitus - GDM) adalah kehamilan normal yang disertai dengan peningkatan insulin resistance (ibu hamil gagal mempertahankan euglycemia). Faktor risiko GDM: riwayat keluarga DM, kegemukan, dan glikosuria. GDM ini meningkatkan morbiditas neonatus, misalnya hipoglikemia, ikterus, polisitemia, dan makrosomia. Hal ini terjadi karena bayi dari ibu GDM mensekresi insulin lebih besar sehingga merangsang pertumbuhan bayi dan makrosomia (WHO, 1999). Sedangkan yang termasuk diabetes tipe lain adalah: defek genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja insulin, penyakit eksokrin pankreas (Pankreatitis, Tuomor), endokrinopati (akromegali, sindrom Cushing, hipertiroidisme), dan karena obat-obat kimia (WHO, 1999). Sehingga perlu diketahui diagnosis banding dari diabetes, yakni: Kondisi Autoantibodi Islet Diabetes tipe Autoantibodi 1A positif >90% 30%50% and DR4 90% DR4 <3% DQB1*0602 Diabetes tipe Autoantibodi 1B negatif Tidak diketahui Tidak diketahui DR3 DR3 Anak-anak: 90% non-Hispanic kulit putih or tipe 1A 50% kulit hitam tipe 1A 50% Hispanic American tipe 1A Tipe 1B jarang pada kulit putih Jika Ab + LADA (latent Genetik Komentar

Diabetes tipe Autoantibodi 2 negatif

autoimmune diabetes adults) dan HLA yang serupa

dengan tipe 1 A Bentuk diabetes mellitus Keterangan: Ab, antibody; HbA1c , hemoglobin A1c ; HLA Tabel Diagnosis Banding Diabetes Mellitus (Larsen et al., 2003) Pada pasien ini, ditemukan bahwa pasien pernah memiliki riwayat gula darah yang tinggi semasa kecil hingga mengakibatkan glukosuria, ketonuria dan ketoasidosis. Fenomena ini merupakan kejadian paling sering pada anak dengan lain Autoantibodi negatif Mutasi MODY, sindrom lainnya

27

diabetes mellitus tipe 1. Mengingat seringkali gejala diabetes mellitus tipe 1 muncul saat anak beranjak remaja (Kulmala et al., 2000). Oleh karena itu,

pasien ini dimungkinkan telah menderita diabetes mellitus tipe 1. Selain itu, pada pasien ini telah dibuktikan bahwa terapi yang telah diberikan hanya memberikan remisi yang parsial dan kadar gula darah meningkat lagi dengan cepat, dimana ini merupakan salah satu karakteristik diabetes tipe 1 (WHO, 1999). Meskipun demikian, masih belum dapat ditentukan apakah pasien ini menderita diabetes mellitus tipe 1A atau 1B. Untuk mengkonfirmasi lebih lanjut adanya diabetes tipe 1 pada pasien ini, seharusnya dapat dilakukan tes ICA (Islet Cell auto-antibody), IAA (Insulin autoantibody), Anti GAD (Glutamic decarboxylase auto-antibody) ataupun dapat dilakukan tes yang lebih sederhana yakni Kadar C-peptide. Antibody tersebut juga merupakan salah satu marker terjadinya proses autoimun pada tubuh yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya kerusakan pada sel beta pankreas (American Diabetes Association, 2004). 3.1.2 Penatalaksanaan Diabetes Adapun komponen pengelolaan Diabetes Melitus tipe-I adalah pemberian insulin, pengaturan makan, oleh raga, edukasi dan tak kalah penting pemantauan mandiri (home monitoring). Seluruh komponen secara terintegrasi untuk mendapatkan kontrol metabolik yang baik yaitu normoglikemia atau mendekati normoglikemia (American Diabetes Association, 2004). Salah satu langkah pertama dalam mengelola DM tipe 1 adalah control diet. Menurut kebijakan ADA (2004), perlakuan Diet berdasarkan penilaian gizi dan tujuan pengobatan, rekomendasi diet harus dikakukan mengingat kebiasaan pasien makan dan gaya hidup. Pengelolaan diet termasuk pendidikan tentang waktu, frekuensi, atau komposisi makanan untuk menghindari hipoglikemia atau hiperglikemia postprandial.Semua pasien harus menerima rencana diet yang komprehensif yang mencakup resep asupan kalori harian; rekomendasi jumlah karbohidrat,lemak dan protein, dan bagaiman membagi kalori diantara waktu makan dan makanan ringan. Seorang ahli gizi harus dilibatkan untuk membuat rencana diet pasien. Oleh karena itu, pada pasien ini, diberikan diet khusus yakni diet diabetes mellitus 1700 kilo kalori untuk mencegah terjadinya overnutrition pada pasien ini. Latihan merupakan aspek penting dari manajemen diabetes. Pasien harus didorong untuk berolah raga secara teratur.Mendidik pasien tentang efek

28

olahraga terhadap tingat glukosa darah. Latihan yang berat selama 30 menit dapat menyebabkan hipoglikemia, untuk mencegahnya dosis insulin diturunkan 10-20% atau dengan memberikan makanan kecil tambahan.Pasien juga harus memperhatikan status hidrasi selama latihan. Karena pada pasien DM tipe 1 terdapat defisiensi insulin endogen total atau parsial, maka terapi utama adalah pemberian insulin eksogen untuk mengatur pemecahan gliukogen, lipolisis dan ketogenesis. Dan terapi insulin yang diberikan harus tepat untuk intake karbohidrat pasien sehingga terjadi penggunaan dan penyimpanan glukosa yang normal.

Gambar 3.2 Algoritma penatalaksanaan diabetes tipe 1 (NICE, 2004) Menurut NICE (2004), hal yang penting dalam penatalaksaan yakni: Fokus pada pasien Pada kasus ini, perlu dilakukan terapi yang teritegrasi

dengan system asuransi dan jaminan pemerintahan tapi tidak ada focus yang jelas pada pasiennya. Pendekatan multidisipliner Dalam mengatasi problem pasien diabetes tipe 1, perlu dilakukan pendekatan dari berbagai aspek, meliputi info tentang

29

edukasi, nutrisi, terapi, latihan, konseling, perawatan luka pada kaki dan penguatan mental Kontrol Gula darah Target HbA1C yakni 7,5 % bila belum ada komplikasi vaskuler, dan 6,5 % bila dicurigai ada komplikasi vaskuler pada pasien. Kontrol factor resiko arterial Kontrol komplikasi diabetes nantinya

Pada pasien ini, proses algoritma yang telah berjalan yakni telah ditegakkannya diagnosis adanya diabetes dan edukasi mengenai penyakit tersebut, sehingga intervensi yang diberikan yakni dengan pemberian insulin, khususnya untuk masalah regimen dan dosis yang tepat pada pasien tersebut. Struktur kimia hormon insulin bisa rusak oleh proses pencernaan sehingga insulin tidak bisa diberikan melalui tablet atau pil. Satu-satunya jalan pemberian insulin adalah melalui suntikan, bisa suntikan di bawah kulit (subcutan/sc), suntikan ke dalam otot (intramuscular/im), atau suntukan ke dalam pembuluh vena (intravena/iv). Ada pula yang dipakai secara terus menerus dengan pompa (insulin pump/CSII) atau sistem tembak (tekan semprot) ke dalam kulit (insulin medijector). Enam tipe insulin berdasarkan mulain kerja, puncak, dan lama kerja insulin 1. Insulin Keja Cepat (Short-acting Insulin) 2. Insulin Kerja Sangat Cepat (Quick-Acting Insulin) 3. Insulin Kerja Sedang (Intermediate-Acting Insulin) 4. Mixed Insulin 5. Insulin Kerja Panjang (Long-Acting Insulin) 6. Insulin Kerja Sangat Panjang (Very Long Acting Insulin) Preparat yang dipakai pada awal terapi adalah insulin kerja pendek dtiberikan dengan dosis 0,5 sampai 1U/kgbb/hari, diberikan dengan dosis yang rendah dan diberikan 3-4 kali sehari 30 menit sebelum makan. Pada pasien ini, dengan memperkirakan berat badan pasien yakni 70 kg. maka didapatkan dosis insulin total yang dibutuhkan pada pasien ini yakni 35-70 IU. Dibagi menjadi 60% basal, 40 % prandial, maka didapatkan basal: 21-42 IU, sedangkan prandial 1428 IU per hari.

30

Gambar 3.3. Gambaran durasi kerja insulin (American Diabetes Association, 2004) Sekarang ini juga banyak dilakukan terapi insulin dengan menggunakan terapi pompa insulin pada DM Tipe1. Terapi pompa insulin atau yang dikenal dengan sebutan Continuous Subcutaneous Insulin Infusion (CSII) merupakan terapi yang paling menyerupai metode fisiologi tranfer insulin ke dalam tubuh.

31

Insulin yang dipergunakan dalam pompa insulin adalah insulin prandial (short atau rapid acting insulin), sehingga dosis basal akan tertutupi oleh dosis prandial bolus yang diberikan secara intensif selama 24 jam. Pompa insulin bekerja seperti pankreas dan telah diprogram secara otomatis untuk memasukan insulin ke dalam tubuh kapan pun diperlukan. Pada pasien ini, didapatkan bahwa pasien secara terus menerus menggunakan insulin dalam hidupnya. Dimana jenisnya yakni short acting dan long acting sekaligus yakni Actrapid dan Insulatard, atau dengan Humulin N dan R dengan dosis N 0-30 dan R 18-18-18. 3.1.3 Target Terapi Dalam manejemen diabetes, pada dasarnya indicator keberhasilan kontrol pada diabetes sehingga mencegah terjadinya berbagai macam komplikasi Baik Glukosa darah plasma vena (mg/dl) - puasa -2 jam HbA1c (%) Kolesterol total (mg/dl) Kolesterol LDL <100 Pria; 40 Wanita;50 Trigliserida (mg/dl) <150 18,5-23 BMI/IMT <150-199 200 >25 100-129 130 <6,5 <200 6,5-8 200-239 >8 240 80-<100 80-144 100-125 145-179 126 180 Sedang Buruk

Kolesterol HDL (mg/dl)

23-25

Tekanan darah (mmHg)

<130/80

130-140/80-90

>104/90

Tabel 3. Kriteria pengendalian diabetes mellitus (Perkeni, 2006)

32

3.2 Ketoasidosis Diabetikum 3.2.1 Definisi Ketoasidosis diabetik adalah komplikasi yang potensial yang dapat mengancam nyawa pada pasien yang menderita diabetes mellitus.ini terjadi

terutama pada mereka dengan DM tipe 1, tetapi bisa juga mereka yang menderita DM tipe dalam keadaan tertentu. Kejadian KAD (Ketoasidosis Diabetik) ini sering terjadi pada usia dewasa dan lansia dengan DM tipe 1. KAD ini di sebabkan karena kekurangan insulin, dimana yang dapat mengancam kehidupan metabolism. Dikarenakan sel beta dalam pancreas tidak mampu menghasilkan insulin, selain itu hiperglikemi yang disebabkan karena

hiperosmolaritas (Paul dan Peter, 2005). Gangguan metabolisme glukosa akan menunjukkan tanda tanda: Hiperglikemia (KGD sewaktu > 300 mg/dL), Hiperketonemia/ ketonuria dan asidosis metabolik (pH darah < 7,3 dan bikarbonat darah < 15 mEq/ L) Hasil dari hiperosmolaritas adalah perpindahan cairan dari dalam sel ke serum, hal ini menyebabkan hilangnya cairan dalam urin sehingga terjadi perubahan elektrolit dan dehidrasi total pada tubuh. Gangguan metabolic lainnya terjadi karena insulin tidak memungkin glukosa untuk masuk kedalam sel sehingga sel memecah lemak dan protein yang digunakan sebagai bahan bakar. Proses ini menyebabkan pembentukan keton. Keton menurunkan pH darah dan konsentrasi bikarbonat dikarenakan ketoasidosis. Berat ringannya KAD dibagi berdasarkan tingkat asidosisnya: Ringan : pH darah < 7,3 , bikarbonat plasma < 15 mEq/L Sedang: pH darah < 7,2 , bikarbonat plasma < 10 mEq/L Berat : pH darah < 7,1 , bikarbonat plasma < 5 mEq/L

3.2.2 Patofisiologi Faktor faktor pemicu yang paling umum dalam perkembangan Diabetic Ketoacidosis (DKA) adalah infeksi, infark miokardial, trauma, ataupun kehilangan insulin. Semua gangguan gangguan metabolik yang ditemukan pada DKA (diabetic ketoacidosis) adalah tergolong konsekuensi langsung atau tidak langsung dari kekurangan insulin.

33

Gambar 3.4 Perkembangan Ketoasidosis Diabetes Menurunnya transport glukosa kedalam jaringan jaringan tubuh akan menimbulkan hyperglycaemia yang meningkatkan glycosuria. Meningkatnya lipolysis akan menyebabkan over-produksi asam asam lemak, yang sebagian diantaranya akan dikonversi (dirubah) menjadi ketone, menimbulkan

ketonnaemia, asidosis metabolik dan ketonuria. Glycosuria akan menyebabkan diuresis osmotik, yang menimbulkan kehilangan air dan elektrolite-seperti sodium, potassium, kalsium, magnesium, fosfat dan klorida. Dehidrasi, bila terjadi secara hebat, akan menimbulkan uremia pra renal dan dapat menimbulkan shock hypofolemik. Asidosis metabolik yang hebat sebagian akan dikompensasi oleh peningkatan derajat ventilasi (peranfasan Kussmaul). Muntah-muntah juga biasanya sering terjadi dan akan mempercepat kehilangan air dan elektrolite. Sehingga, perkembangan DKA adalah merupakan rangkaian dari iklus interlocking vicious yang seluruhnya harus diputuskan untuk membantu pemulihan metabolisme karbohidrat dan lipid normal (Paul dan Peter, 2005).

34

Gambar 3.4 Patofisiologi Ketoasidosis Diabetes Gejala KAD Nilai laboratorium Glukosa darah Serum sodium Serum pottasium Serum osmolarity AGD Bingung , lesu Anoreksia , mual Nyeri pada abdomen Takikardi Nafas berbau aseton Pernapasan cepat dan dalam Merasa haus HHNK Bingung, lesu Lemah Terlihat kemerahmerahan pada kulit Takikardi Nafas cepat Napas berbau aseton Merasa haus

Tinggi Tinggi Tetap Tinggi (tetapi < 330 mOsm/L) Asidosis metabolic penurunan pH dengan kompensasi alkalosis pernafasan Positive

Tinggi > 1000 mg/dl Tetap Tetap Tinggi sampai > 350 mOsm/L Normal asidosis ringan

Keton urin

Negative

35

Tabel

3.2

Perbedaan

Ketoasidosis

Diabetes

dan

Hiperglikemik

Hiperosmolar State 3.2.3 Penatalaksanaan KAD Prinsip-prinsip pengelolaan KAD adalah (Paul dan Peter, 2005):

a) Memperbaiki sirkulasi dan perfusi jaringan (resusitasi dan rehidrasi) b) Penggantian cairan dan garam yang hilang c) Menekan lipolisis sel lemak dan menekan glukoneogenesis sel hati
dengan pemberian insulin.

d) Mengatasi stress sebagai pencetus KAD e) Mencegah komplikasi dan mengembalikan keadaan fisiologis normal
serta menyadari pentingnya pemantauan serta penyesuaian pengobatan. Berikut adalah beberapa tahapan tatalaksana KAD : Penilaian Klinik Awal 1. Pemeriksaan fisik (termasuk berat badan), tekanan darah, tanda asidosis (hiperventilasi), derajat kesadaran (GCS), dan derajat dehidrasi.

2.

Konfirmasi biokimia: darah lengkap (sering dijumpai gambaran lekositosis), kadar glukosa darah, glukosuria, ketonuria, dan analisa gas darah.

Resusitasi 1. 2. 3. Pertahankan jalan napas. Pada syok berat berikan oksigen 100% dengan masker. Jika syok berikan larutan isotonik (normal salin 0,9%) 20 cc/KgBB bolus. 4. Bila terdapat penurunan kesadaran perlu pemasangan naso-gatrik tube untuk menghindari aspirasi lambung. Observasi Klinik Pemeriksaan dan pencatatan harus dilakukan atas : a. b. c. Frekwensi nadi, frekwensi napas, dan tekanan darah setiap jam. Suhu badan dilakukan setiap 2-4 jam. Pengukuran balans cairan setiap jam.

36

d. e.

Kadar glukosa darah kapiler setiap jam. Tanda klinis dan neurologis atas edema serebri :

f.

EKG : untuk menilai gelombang T, menentukan tanda hipo/hiperkalemia.

g.

Keton urine sampai negatif, atau keton darah (bila terdapat fasilitas).

Rehidrasi Penurunan osmolalitas cairan intravaskular yang terlalu cepat dapat meningkatkan resiko terjadinya edema serebri. Langkah-langkah yang harus dilakukan adalah: a. Tentukan derajat dehidrasi penderita. b. Gunakan cairan normal salin 0,9%.

c. Total rehidrasi dilakukan 48 jam, bila terdapat hipernatremia (corrected Na) rehidrasi dilakukan lebih perlahan bisa sampai 72 jam. d. 50-60% cairan dapat diberikan dalam 12 jam pertama.

37

e. Sisa kebutuhan cairan diberikan dalam 36 jam berikutnya. Penggantian Natrium a. Koreksi Natrium dilakukan tergantung pengukuran serum elektrolit. b. Monitoring serum elektrolit dapat dilakukan setiap 4-6 jam. c. Kadar Na yang terukur adalah lebih rendah, akibat efek dilusi hiperglikemia yang terjadi.

d. Artinya : sesungguhnya terdapat peningkatan kadar Na sebesar 1,6 mmol/L setiap peningkatan kadar glukosa sebesar 100 mg/dL di atas 100 mg/dL. e. Bila corrected Na > 150 mmol/L, rehidrasi dilakukan dalam > 48 jam. f. Bila corrected Na < 125 mmol/L atau cenderung menurun lakukan koreksi dengan NaCl dan evaluasi kecepatan hidrasi. g. Kondisi hiponatremia mengindikasikan overhidrasi dan meningkatkan risiko edema serebri. Penggantian Kalium Pada saat asidosis terjadi kehilangan Kalium dari dalam tubuh walaupun konsentrasi di dalam serum masih normal atau meningkat akibat berpindahnya Kalium intraseluler ke ekstraseluler. Konsentrasi Kalium serum akan segera turun dengan pemberian insulin dan asidosis teratasi. a. Pemberian Kalium dapat dimulai bila telah dilakukan pemberian cairan resusitasi, dan pemberian insulin. Dosis yang diberikan adalah 5 mmol/kg BB/hari atau 40 mmol/L cairan. b. Pada keadaan gagal ginjal atau anuria, pemberian Kalium harus ditunda, pemberian kalium segera dimulai setelah jumlah urine cukup adekuat. Penggantian Bikarbonat a. Bikarbonat sebaiknya tidak diberikan pada awal resusitasi.Pemberian bikarbonat hanya dianjurkan pada KAD yang berat. b. Adapun alasan keberatan pemberian bikarbonat adalah: Menurunkan pH intraselular akibat difusi CO2 yang dilepas bikarbonat.

38

Efek negatif pada dissosiasi oksigen di jaringan Hipertonis dan kelebihan natrium Meningkatkan insidens hipokalemia Gangguan fungsi serebral Terjadi hiperkalemia bila bikarbonat terbentuk dari asam keton. c. Terapi bikarbonat diindikasikan hanya pada asidossis berat (pH < 7,1 dengan bikarbonat serum < 5 mmol/L) sesudah dilakukan rehidrasi awal, dan pada syok yang persistent. walaupun demikian komplikasi asidosis laktat dan hiperkalemia yang mengancam tetap merupakan indikasi pemberian bikarbonat. c. Jika diperlukan dapat diberikan 1-2 mmol/kg BB dengan pengenceran dalam waktu 1 jam, atau dengan rumus: 1/3 x (defisit basa x KgBB). Cukup diberikan dari kebutuhan. Pemberian Insulin a. Insulin hanya dapat diberikan setelah syok teratasi dengan cairan resusitasi. b. Insulin yang digunakan adalah jenis Short acting/Rapid Insulin (RI). c. Dalam 60-90 menit awal hidrasi, dapat terjadi penurunan kadar gula darah walaupun insulin belum diberikan. d. Dosis yang digunakan adalah 0,1 unit/kg BB/jam atau 0,05 unit/kg BB/jam pada anak < 2 tahun. e. Pemberian insulin sebaiknya dalam syringe pump dengan pengenceran 0,1 unit/ml atau bila tidak ada syringe pump dapat dilakukan dengan microburet (50 unit dalam 500 mL NS), terpisah dari cairan rumatan/hidrasi. f. Penurunan kadar glukosa darah (KGD) yang diharapkan adalah 70-100 mg/dL/jam. g. Bila KGD mencapai 200-300 mg/dL, ganti cairan rumatan dengan D5 Salin. h. Kadar glukosa darah yang diharapkan adalah 150-250 mg/dL (target). i. Bila KGD < 150 mg/dL atau penurunannya terlalu cepat, ganti cairan dengan D10 Salin. j. Bila KGD tetap dibawah target turunkan kecepatan insulin.

k. Jangan menghentikan insulin atau mengurangi sampai < 0,05 unit/kg BB/jam.

39

l.

Pemberian insulin kontinyu dan pemberian glukosa tetap diperlukan untuk menghentikan ketosis dan merangsang anabolisme.

m. Pada saat tidak terjadi perbaikan klinis/laboratoris, lakukan penilaian ulang kondisi penderita, pemberian insulin, pertimbangkan penyebab kegagalan respon pemberian insulin. n. Pada kasus tidak didapatkan jalur IV, berikan insulin secara intramuskuler atau subkutan. Perfusi jaringan yang jelek akan menghambat absorpsi insulin. Tatalaksana edema serebri Terapi harus segera diberikan sesegera mungkin saat diagnosis edema serebri dibuat, meliputi: a. Kurangi kecepatan infus. b. Mannitol 0,25-1 g/kgBB diberikan intravena dalam 20 menit (keterlambatan pemberian akan kurang efektif). c. Ulangi 2 jam kemudian dengan dosis yang sama bila tidak ada respon. d. Bila perlu dilakukan intubasi dan pemasangan ventilator. e. Pemeriksaan MRI atau CT-scan segera dilakukan bila kondisi stabil. Fase Pemulihan Setelah KAD teratasi, dalam fase pemulihan penderita dipersiapkan untuk: 1) Memulai diet per-oral. 2) Peralihan insulin drip menjadi subkutan. a. Memulai diet per-oral. 1. Diet per-oral dapat diberikan bila anak stabil secara metabolik (KGD < 250 mg/dL, pH > 7,3, bikarbonat > 15 mmol/L), sadar dan tidak mual/muntah. 2. Saat memulai snack, kecepatan insulin basal dinaikkan menjadi 2x sampai 30 menit sesudah snack berakhir. 3. Bila anak dapat menghabiskan snacknya, bisa dimulai makanan utama. 4. Saat memulai makanan, kecepatan insulin basal dinaikkan menjadi 2x sampai 60 menit sesudah makan utama berakhir. b. Menghentikan insulin intravena dan memulai subkutan. 1. Insulin iv bisa dihentikan bila keadaan umum anak baik, metabolisme stabil, dan anak dapat menghabiskan makanan utama.

40

2.

Insulin subkutan harus diberikan 30 menit sebelum makan utama dan insulin iv diteruskan sampai total 90 menit sesudah insulin subkutan diberikan.

3.

Diberikan short acting insulin setiap 6 jam, dengan dosis individual tergantung kadar gula darah. Total dosis yang dibutuhkan kurang lebih 1 unit/kg BB/hari atau disesuaikan dosis basal sebelumnya.

c.

Dapat diawali dengan regimen 2/7 sebelum makan pagi, 2/7 sebelum makan siang, 2/7 sebelum makan malam, dan 1/7 sebelum snack menjelang tidur.

41

42

3.3 Manajemen Diabetes Saat Pembedahan 3.3.1 Prinsip Pengelolaan Diabetes Saat Pembedahan Proses pembedahan merupakan stres fisik tersendiri yang ditandai proses katabolisme, peningkatan metabolisme, peningkatan pemecahan protein dan lemak, balans nitrogen negatif, starvasi, dan intoleransi glukosa. Derajat perubahan metabolik sangat terkait dengan prosedur pembedahannya, lama pembedahan, dan komplikasi yang terjadi. Terjadi juga peningkatan sekresi hormon-hormon katekolamin, ACTH, kortisol, hormon pertumbuhan ( GH ), dan glukagon selama operasi sebagai akibat kekacauan metabolism (Netty et al., 1987; Ellis et al., 1995). Respon stres terhadap pembedahan berupa peningkatan kadar gula darah pada penderita non diabetes adalah akibat sekresi dari hormon katabolik dan terdapatnya defisiensi insulin relatif. Defisiensi relative terjadi akibat kombinasi penurunan sekresi insulin dan resistensi insulin. Resistensi insulin terjadi akibat meningkatnya sekresi hormon anti insulin (kortisol, growth hormon, epinefrin, dan katekolamin ) serta tejadinya perubahan pada paska reseptor insulin yang mengakibatkan penurunan transport glukosa transmembran (Netty et al., 1987) Jenis anastesi juga mempunyai pengaruh metabolik pada penderita nondiabetes. Anastesi ekstradural dan spinal mempunyai pengaruh yang lebih ringan dibandingkan general. Obat-obat anastesi seperti eter, chloroform, dan cyclopropane dapat meningkatkan kadar gula darah, mobilisasi asam lemak, inhibisi sekresi insulin, dan peningkatan sekresi katekolamin dan ACTH (Netty et al., 1987) Semua efek metabolik pembedahan di atas akan memperberat kondisi pada pendeita diabetes, terutama apa bila terjadi defisiensi insulin endogen ( tipe-1 ). Adanya katabolisme dapat menyebabkan pelepasan asam lemak, ketogenesis, hiperglikemia, dan bahkan dapat menyebabkan ketoasidosis. Oleh karena itu tujuan utama dari pengelolaan selama pembedahan adalah mencegah terjadinya dekompensasi metabolisme bersamaan mencegah terjadinya

hipoglikemia sehingga tercapai kontrol diabetik yang baik selama pembedahan (Netty, 1987). Pembedahan pada anak dengan diabetes mellitus (DM) sebaiknya dilakukan hanya pada rumah-sakit yang telah mempunyai fasilitas memadai serta tenaga ahli (ahli endokrinologi anak, ahli bedah, ahli anastesi, dan staf

43

keperawatan) yang cakap dan terlatih untuk mengelola diabetes mellitus pada anak (Australian Paediatric Endocrine Group, 1996). 3.3.2 Tatacara Penatalaksanaan Diabetes Selama Pembedahan Tujuan pengelolaan yang harus dicapai adalah (Netty, 1987; Sperling, 2002).: 1. Mencegah hipoglikemia selama anastesi. 2. Mencegah kehilangan cairan yang berlebihan. 3. Mencegah anak jatuh kedalam KAD. 4. Mengatasi masalah yang tidak langsung, antara lain: infeksi, kesembuhan luka yang lama, dan adanya gangguan kardiovaskuler. Kecuali pada dengan indikasi mutlak, pembedahan darurat harus dihindarkan atau ditunda pada anak dalam kondisi ketoasidosis diabetes (KAD), sampai kondisinya stabil dan terkontrol. KAD sendiri sering memberikan gambaran klinis menyerupai akut abdomen yang akan menghilang sendiri dengan terapi KAD. Secara umum, apabila pembedahan dapat ditunda, tundalah sampai penderita stabil dan ketosis sudah terkoreksi dengan baik. Sebaiknya penderita dibawa ke-kamar bedah setelah satus kardiovaskuler sudah stabil dan pH plasma sudah > 7,2. Pengobatan terhadap KAD-nya diteruskan selama pembedahan (Australian Paediatric Endocrine Group, 1996) Pembedahan terencana hanya dapat dilakukan pada penderita (DM) yang sudah dalam keadaan kontrol metabolik baik. Bila keadaan kontrol glikemik kurang baik atau buruk: Sebaiknya penderita dirawat-inapkan 1-3 hari sebelum jadwal operasi untuk pemeriksaan dan stabilisasi kontrol metaboliknya. Jika kontrol metaboliknya masih jelek harus ditunda dan dijadwal ulang.

Pembedahan bila mungkin ditunda bila: kadar gula darah puasa > 150 mg/dL, kadar gula 2 jam PP > 200 mg/, HbA1 > 10% dan HbA1c > 8% (Australian Paediatric Endocrine Group, 1996; Sperling, 2002).: Penjadwalan operasi sedapat mungkin dijadwalkan pagi hari, hal ini untuk memungkinkan stabilisasi pasca operasi dapat dilakukan saat jam kerja
(

Australian Paediatric Endocrine Group, 1996):

a. Pemberian cairan: Sejak anak dipuasakan, pemberian cairan intravena sudah harus dimulai, yang diberikan sebagai cairan rumatan dengan menggunakan larutan dextrose 5% ( tabel 1). Sebagai alternatif, kecepatan pemberian cairan adalah 1500

44

ml/m2/24 jam tanpa memperhatikan umur Tabel 1: Cairan rumatan berdasarkan umur (Australian Paediatric Endocrine Group, 1996; Umur 2 - 6 th 7 - 10 th > 10 th b. Pemberian insulin intravena: Terdapat dua metode pemberian insulin intravena, yakni pemberian insulin, glukosa dan kalium diberikan dalam botol terpisah, dan cara pemberian insulin + glukosa dan kalium diberikan dalam satu botol pemberian (Jack, 2002). Insulin yang dipergunakan adalah jenis 'short acting (Jack, 2002; Netty, 1987). Terdapat dua cara, yakni cara terpisah dan cara pemberian bersamaan. b.1 Cara terpisah (Australian Paediatric Endocrine Group, 1996): Pemberian insulin dipisahkan dari cairan rumatan. Insulin diencerkan menggunakan Normal salin (NaCl 0,9%) dengan kekuatan 5 unit dalam 50 ml Normal salin yang ekuivalen dengan 0,1 unit insulin per 1 ml larutan. Dengan menggunakan syrenge-pump, dosis awal yang diberikan adalah 0,02 unit/kg BB/jam. Protokol lain yang bisa digunakan adalah dengan kecepatan 0,15 unit/gram glukosa yang diberikan sebagai cairan rumatan. Namun demikian, apapun protokol yang digunakan, dosis insulin harus selalu disesuaikan dengan kebutuhan penderita., Kadar glukosa darah dipertahankan pada 120 -150 g/dL, dengan cara mengatur kecepatan pemberian insulin iv ( menaikan / menurunkan Jumlah cairan 100 ml/kg BB/24 jam 80 ml/kg BB/24 jam 60 ml/kg BB/24 jam

kecepatan)sebesar 10%. Pemberian insulin iv dipertahankan sampai penderita mulai mendapat makanan peroral dan insulin subkutan. Insulin iv dihentikan 90 menit setelah pemberian dosis pertama insulin subkutan. b.2 Cara pemberian bersamaan (Sperling, 2002) Pembedahan terencana: Cairan rumatan dextrose 5 % dalam salin 0,45 % ditambah 20 mEq/L potasium klorida diberikan pagi hari menjelang pembedahan. 1 unit regular insulin ditambahkan kedalam cairan infus untuk

45

setiap pemberian 4 gram glukosa. Kecepatan pemberian cairan harus disesuaikan dengan kebutuhan rumatan ditambah perkiraan kehilangan cairan selama pembedahan. Pemeriksaan kadar gula darah dilakukan secara berkala baik sebelum, selama, dan sesudah pembedahan. Kadar gula darah yang diharapkan adalah 120 - 150 mg/; kadar tersebut dapat dicapai dengan menyesuaikan kecepatan pemberian infus (tetesan) glukosa dan elektrolit, atau penambahan insulin. Pemberian 'regimen' tersebut bisa dihentikan bila penderita mulai sadar dan dapat makan serta minum peroral. Sebelum pemberian makan biasa dapat diberikan insulin kerja cepat 0,25 U/kg bb setiap 6 jam; pengaturan dosis harus didasarkan pada kadar gula darah atau glukosuria. b.3 Perencanaan untuk pembedahan pendek Untuk program ini, manajemen bisa dilakukan sebagai berikut: pada pagi hari menjelang pembedahan diberikan setengah dosis insulin biasanya secara subkutan, dan infus yang mengandung glukosa dan elektrolit sebagaimana di atas tanpa pemberian insulin. Selesai pembedahan, diberikan insulin kerja pendek 0,25 U/kg bb subkutan; selanjutnya setiap 6 jam yang disesuikan dengan kadar glukosa darah sampai penderita kembali dapat makan seperti biasa. Untuk pembedahan darurat, dapat diberikan infus glukosa 5 - 10 % dalan 0,45 % salin, 20 mEq/L potassium klorid, dan 1 unit insulin regular untuk setiap 2 - 4 g glukosa. Kadar gula darah dipertahankan pada kisaran 120 - 150 mg/. Keseimbangan cairan dan metabolik harus dipertahankan selama pembedahan. Setelah pembedahan, bisa dilakukan sesuai protokol di atas. Pada pembedahan minor dengan anastesi lokal, Pemberian insulin serta diet diberikan seperti biasanya. Jika terdapat muntah, dapat diberikan cairan infus glukosa untuk menggantikan cairan yang hilang.

46

DAFTAR PUSTAKA
American Diabetes Association. 2004. Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus. Diabetes Care, Volume 27, Supplement 1, January 2004 Australian Paediatric Endocrine Group. APEG Handbook on Childhood and Adolescent Diabetes The Management of Insulin-Dependent ( Type 1 ) Diabetes Mellitus ( IDDM ). Paramatta NSW, Australia: APEG, 1996. Ellis EN. Management Before and After surgery. In: Travis LB, Brouhard BH, Schreiner BJ, eds. Diabetes Mellitus in Children and Adolescents. 29th Volume. Philadelphia: WB Saunders Company; 1987: 201-4. German MS. Pancreatic hormones and diabetes mellitus. In: Gardner DG, Shoback D. Greenspans basic and clinical endocrinolog. 8th ed. New York: McGraw-Hills; 2007 ISPAD. Guidelines for The Management of Diabetes in Children During Surgery or Procedures that Require Fasting. In: Consensus Guidelines for The Management of Insulin-Dependent ( Type I ) Diabetes Mellitus ( IDDM ) in Childhood and Adolescence 1995. London: Freund Publishing House, Ltd; 1995: 22. Jack SD, Alberti KG. Management of Diabetes Mellitus in Surgical Patients. Diabetes Spectrum 2002; 15 (1): 44-8. Knip M: Genetic markers, humoral autoimmunity, and prediction of type 1 diabetes in siblings of affected children. Childhood Kulmala P, Savola K, Reijonen H, Veijola R, Vahasalo P, Karjalainen J, Tuomilehto-Wolf E, Ilonen J, Tuomilehto J, Akerblom HK, Kuzuya T, Matsuda A: Classification of diabetes on the basis of etiologies versus degree of insulin deficiency. Diabetes Care 20:219Larsen PR, Kronenberg HM, Melmed S, Polonsky KS. Williams textbook of endocrinology. 10th ed. Philadelphia: Elsevier; 2003.p.1429 McAnulty GR, Robertshaw HJ, Hall GM. Anaesthetic management of patients with diabetes mellitus. British Journal of Anaesthesia 2000; 85 b.4 (1): 80-90. Netty EP. Surgery in Children with Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM). Bulletin Ilmu Kesehatan Anak 1995; 28 (3): 39-43. NICE. 2004. Type 1 diabetes: diagnosis and management of type 1 diabetes in adults. National Institute for Clinical Excellence: London July 2004 Paul Belchetic dan Peter J Hammond. 2005. Diabetes and Endokrinology. Mosby Soegondo S, Rudianto A, Manaf A, Subekti I, Pranoto A, Arsana PM, et al. Konsensus pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di indonesia 2006. Jakarta: Pengurus Besar Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PB PERKENI); 2006.p5-8 Sperling MA. Diabetes Mellitus. In: Sperling MA, ed. Pediatric Endocrinology. 2nd Edition. Philadelphia: Saunders; 2002: 351. Tabrani. 2008. Agenda Gawat Darurat (critical care). Bandung. PT Alumni Tjokroprawiro, A. Diabetes Melitus.Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam,Universitas Airlangga.2007;29-79 World Health Organization. Definition, Diagnosis and Classification of Diabetes Mellitus and its Complications. Report of a WHO

47

Anda mungkin juga menyukai