Anda di halaman 1dari 4

“MENGGAPAI MAQAM ULUL ALBAB”

Oleh H. Wildana Wargadinata, Lc., M.Ag*

Dalam era global seperti sekarang ini, persaingan antar negara, kelompok dan
individu akan semakin ketat. Kita tidak mungkin dapat menghindari persaingan
tersebut. Hanya generasi yang berkualitaslah yang mampu mengambil posisi dan
mengambil peran di masyarakat global dunia.
Dalam persaingan ini seandainya umat Islam tidak mengoptimalkan
kemampuan dirinya, maka peran sebagai khalifah Allah di muka bumi ini jelas tidak
akan mampu diembannya. Dan bahkan akan diambil oleh bangsa lain.
Karena itu mari kita mengingat kembali dan merenungi posisi dan kedudukan
kita sebagai umat Islam, yang disebut oleh al-Qur’an sebagai sebaik-baik umat. Dan
yang lebih spesifik disebut dengan manusia ulul albab. Yaitu generasi khoiro ummah
(sebaik-baik umat), yang menjadi ummatan wasathan (umat pilihan) dan menjadi
shuhada ‘ala an-nas (menjadi saksi atas manusia).
Secara spesifik al-Qur’an menggambarkan karakteristik manusia berkualitas
(ulul Albab) sebagai berikut; sebagaimana arti dari surat Al-Zumar: 17-18:
“Sampaikanlah berita gembira itu kepada hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan
perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-
orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang memiliki
akal.”
Manusia berkualitas seperti inilah yang dimaksud al-Qura’n dengan ulul albab
yang telah dianugerahi hikmah oleh Allah. Dalam ayat lain ditegaskan lagi, QS. Ali
Imran:190-191:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan
siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal (Ulul Albab), yaitu orang-
orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring
dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya
Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau,
maka peliharalah kami dari siksa neraka.”
Kemudian dalam QS. Al-Baqarah: 269, Allah SWT. berfirman,
2

Allah menganugerahkan al-hikmah (kefahaman yang dalam tentang al-Qur'an dan


as-Sunnah) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa yang dianugerahi al-
hikmah itu, ia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-
orang yang berakallah yang dapat mengambil pelajaran (dari firman Allah).”
Ulul Albab bukanlah manusia yang cepat puas dan berwatak nrimo. Mereka
yakin akan tugas dasar manusia, yaitu sebagai makhluk yang akan memakmurkan
dunia bukan merusak dan menyengsarakan orang lain, dalam al-Qur’an surat Hud: 61,
disebutkan:
“Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya,
karena itu mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya.
Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi memperkenankan (do`a hamba-
Nya).”
Keyakinan ini telah menempa watak mereka menjadi makhluk yang senantiasa
merekayasa hari depan yang lebih baik, karena mereka senantiasa didorong oleh
tuntutan tugas, yang menghendaki setiap manusia berusaha meningkatkan kualitas diri.
Mereka bekerja dan berusaha seolah-olah akan meninggalkan dunia besok hari. Dalam
QS. al-Nur: 37 mereka digambarkan sebagai berikut;
“Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari
mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat.
Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi
goncang.”
Mereka berusaha mengembangkan kemampuan pribadinya karena
termotivasikan pesan Rasulullah, yang telah menyatakan:
“Barangsiapa yang hari ininya lebih baik dari kemarinnya itulah orang yang berjaya;
barangsiapa yang hari ininya sama dengan kemarinnya itulah orang yang rugi dan
barangsiapa hari ininya lebih jelek dari hari kemarinnya itulah orang yang kena
laknat.”
Mereka berwatak terbuka, suka mempelajari hal-hal baru dan senang
mendengarkan setiap masukan dari manapun datangnya, namun pandai menyaring
masukan yang paling bermanfaat bagi kemajuan dirinya. (QS. Az-Zumar: 17-18).
3

Keyakinan mereka akan sifat-sifat sunnatullah yang mengatur alam dan kehidupan di
dunia yang pasti (exact atau qadar), (QS. Al-Furqan: 2; Al-Thalaaq: 3), tetap
(immutable), (QS. Al-An’am: 115 ; Al-Israa’: 77), dan objectiv (QS. Al-Anbiyaa’:
105) telah menempa watak mereka menjadi orang yang senantiasa optimistik dalam
menghadapi masa depan. Pengalaman mereka yang akrab dengan alam telah
meyakinkan diri mereka, akan kemampuan manusia menjadi pemimpin atau khalifah
di muka bumi ini, demi memakmurkan kehidupan manusia.
Dalam QS. An-Nur: 55 Allah SWT. berfirman,
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan
mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan
mereka berkuasa di bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang yang
sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama
yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan)
mereka, sesudah mereka berada dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka
tetap menyembah-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku.
Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-
orang yang fasik.”
Sifat dan sikap yang tumbuh dan berkembang dari keyakinan ini telah
membuat mereka menjadi profesional sejati, karena sikap ini melahirkan kemampuan
berhubungan dengan sesama manusia secara manusiawi (habl min al-nas) sebagai
syarat mutlak yang harus dimiliki setiap pemimpin atau manager modern.
Setelah memerinci ciri-ciri manusia berkualitas yang tercermin pada manusia
ulul albab. Mari kita bawa sifat ulul albab itu dalam lingkup kita yang lebih real yaitu
dunia pendidikan. Kita yang hidup di kota pendidikan ini, di sisi Allah sangat mulia,
karena di tempat ini tempat berkumpulnya para pecinta ilmu. Dan Allah menghargai
orang-orang berilmu dengan derajat lebih dari yang lain. Allah berfirman:
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang
yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa
yang kamu kerjakan.” (Al-Mujadalah: 11)
Dalam sebuah hadits disebutkan tentang keutamaan orang alim di atas
keutamaan orang beribadah sebagai berikut:
4

“Keutamaan orang berilmu atas orang yang ahli beribadah seperti keutamaan bulan
purnama atas seluruh bintang-bintang yang lain.” (HR. Abu Na’im)
Maka dari itu, mari kita jaga komunitas yang terhormat ini dari perilaku-
perilaku yang tidak terhormat, jangan kita nodai dengan tingkah-tingkah rendahan,
yang hanya menyusahkan kehidupan, akan tetapi marilah kita ajak diri kita menjadi
agen pemakmur dunia yang menyebarkan kesejukan dan kedamaian.
Para salaf shalih telah memberikan contoh yang terbaik kepada kita, ketika
mereka benar-benar dipuji Allah sebagai khoiro ummah. Munculnya Islam dengan
kebudayaan barunya merupakan peristiwa yang dahsyat sekali dan banyak dikagumi
oleh para ilmuan, baik di Timur maupun di Barat. Dan ada baiknya kalau kita
menengok salah satu ungkapan kekaguman dari mereka ilmuan Barat, kata-kata
pengakuan dari sejarawan Barat yang bernama Will Durant dalam bukunya “The Story
of Civilization” sebagai berikut:
“Gustinian, tuan Imperium Besar, mangkat pada tahun 565 M, yang kemudian disusul
dengan kelahiran Muhammad, lima tahun sesudahnya. Dia dari keluarga fakir pada
suatu daerah yang tiga perempatnya berupa padang pasir kerontang dan kurang
dihuni oleh banyak penduduk. Mereka itu adalah kabilah-kabilah Badui yang suka
berpindah-pindah, apabila dikumpulkan kekayaannya tidak cukup untuk membangun
gereja Aya Sofia. Dan tidak ada seorang pun pada waktu itu yang bermimpi bahwa
tidak sampai satu abad, orang-orang Badui itu mampu membebaskan separuh
kekuasaan Bizantium di Asia, seluruh daerah kekuasaan Persia, Mesir, bagian besar
Afrika Utara, dan mulai mengembangkan sayapnya ke Spanyol.…Sungguh kejadian
itu merupakan gejala sosial yang paling menakjubkan dalam abad-abad
pertengahan.”
Itu adalah contoh kongkrit yang diberikan Nabi dan para sahabat kepada kita,
dan kita wajib untuk meneladaninya. Demikian sedikit ulasan tentang ulul albab,
semoga bermanfaat dalam rangka pengembangan kualitas pribadi umat Islam.
Wallahua’lam wa khairul musta’an.

*Penulis adalah Staf LKQS dan Dosen Fakultas Humaniora dan Budaya UIN Malang

Anda mungkin juga menyukai