Anda di halaman 1dari 27

Sirosis Hepatis

January 15, 2009 | Computer

<="" a=""> 0digg Sirosis Hepatis adalah penyakit hati kronis yang tidak diketahui penyebabnya dengan pasti. Telah diketahui bahwa penyakit ini merupakan stadium terakhir dari penyakit hati kronis dan terjadinya pengerasan dari hati (Sujono H, 2002). Menurut SHERLOCK : secara anatomis Sirosis Hepatis ialah terjadinya fibrosis yang sudah meluas dengan terbentuknya nodul-nodul pada semua bagian hati dan terjadinya fibrosis tidak hanya pada satu lobulus saja. Patogenesis Mekanisme terjadinya proses yang berlangsung terus mulai dari hepatitis virus menjadi Sirosis Hepatis belum jelas. Patogenesis yang mungkin terjadi yaitu : 1. Mekanis 2. Immunologis 3. Kombinasi keduanya Namun yang utama adalah terjadinya peningkatan aktivitas fibroblast dan pembentukan jaringan ikat.

Mekanis Pada daerah hati yang mengalami nekrosis konfluen, kerangka reticulum lobul yang mengalami kolaps akan berlaku sebagai kerangka untuk terjadinya daerah parut yang luas. Dalam kerangka jaringan ikat ini, bagian parenkim hati yang bertahan hidup berkembang menjadi nodul regenerasi.

Teori Imunologis

Sirosis Hepatis dikatakan dapat berkembang dari hepatitis akut jika melalui proses hepatitis kronik aktif terlebih dahulu. Mekanisme imunologis mempunyai peranan penting dalam hepatitis kronis. Ada 2 bentuk hepatitis kronis : Hepatitis kronik tipe B Hepatitis kronik autoimun atau tipe NANB

Proses respon imunologis pada sejumlah kasus tidak cukup untuk menyingkirkan virus atau hepatosit yang terinfeksi, dan sel yang mengandung virus ini merupakan rangsangan untuk terjadinya proses imunologis yang berlangsung terus sampai terjadi kerusakan sel hati. Dari kasus-kasus yang dapat dilakukan biopsy hati berulang pada penderita hepatitis kronik aktif ternyata bahwa proses perjalanan hepatitis kronis bisa berlangsung sangat lama. Bisa lebih dari 10 tahun.

Patofisiologi Ada 2 faktor yang mempengaruhi terbentuknya asites pada penderita Sirosis Hepatis, yaitu : tekanan koloid plasma yang biasa bergantung pada albumin di dalam serum. Pada keadaan normal albumin dibentuk oleh hati. Bilamana hati terganggu fungsinya, maka pembentukan albumin juga terganggu, dan kadarnya menurun, sehingga tekanan koloid osmotic juga berkurang. Terdapatnya kadar albumin kurang dari 3 gr % sudah dapat merupakan tanda kritis untuk timbulnya asites. Tekanan vena porta. Bila terjadi perdarahan akibat pecahnya varises esophagus, maka kadar plasma protein dapat menurun, sehingga tekanan koloid osmotic menurun pula, kemudian terjadilah asites. Sebaliknya bila kadar plasma protein kembali normal, maka asitesnya akan menghilang walaupun hipertensi portal tetap ada (Sujono Hadi). Hipertensi portal mengakibatkan penurunan volume intravaskuler sehingga perfusi ginjal pun menurun. Hal ini meningkatkan aktifitas plasma rennin sehingga aldosteron juga meningkat. Aldosteron berperan dalam mengatur keseimbangan elektrolit terutama natrium . dengan peningkatan aldosteron maka terjadi terjadi retensi natrium yang pada akhirnya menyebabkan retensi cairan. Klasifikasi SHERLOCK secara morfologi membagi Sirosis Hepatis berdasarkan besar kecilnya nodul, yaitu : Makronoduler (Irreguler, multinoduler)

Mikronoduler (regular, monolobuler) Kombinasi keduanya

Etiologi Penyebab yang pasti dari Sirosis Hepatis sampai sekarang belum jelas. 1. Faktor keturunan dan malnutrisi WATERLOO (1997) berpendapat bahwa factor kekurangan nutrisi terutama kekurangan protein hewani menjadi penyebab timbulnya Sirosis Hepatis. Menurut CAMPARA (1973) untuk terjadinya Sirosis Hepatis ternyata ada bahan dalam makanan, yaitu kekurangan alfa 1-antitripsin. 1. Hepatitis virus Hepatitis virus sering juga disebut sebagai salah satu penyebab dari Sirosis Hepatis. Dan secara klinik telah dikenal bahwa hepatitis virus B lebih banyak mempunyai kecenderungan untuk lebih menetap dan memberi gejala sisa serta menunjukkan perjalanan yang kronis bila dibandingkan dengan hepatitis virus A. penderita dengan hepatitis aktif kronik banyak yang menjadi sirosis karena banyak terjadi kerusakan hati yang kronis. Sebagaimana kita ketahui bahwa sekitar 10 % penderita hepatitis virus B akut akan menjadi kronis. Apalagi bila pada pemeriksaan laboratories ditemukan HBs Ag positif dan menetapnya e-Antigen lebih dari 10 minggu disertai tetap meningginya kadar asam empedu puasa lebih dari 6 bulan, maka mempunyai prognosis kurang baik (Sujono Hadi). 1. Zat hepatotoksik Beberapa obat-obatan dan zat kimia dapat menyebabkan terjadinya kerusakan fungsi sel hati secara akut dan kronik. Kerusakan hati secara akut akan berakibat nekrosis atau degenerasi lemak. Sedangkan kerusakan kronik akan berupa Sirosis Hepatis. Pemberian bermacam obat-obatan hepatotoksik secara berulang kali dan terus menerus. Mula-mula akan terjadi kerusakan setempat, kemudian terjadi kerusakan hati yang merata, dan akhirnya dapat terjadi Sirosis Hepatis. Zat hepatotoksik yang sering disebut-sebut adalah alcohol. Efek yang nyata dari etil-alkohol adalah penimbunan lemak dalam hati (Sujono Hadi). 1. Penyakit Wilson Suatu penyakit yang jarang ditemukan, biasanya terdapat pada orang-orang muda dengan ditandai Sirosis Hepatis, degenerasi ganglia basalis dari otak, dan terdapatnya cincin pada

kornea yang berwarna coklat kehijauan disebut Kayser Fleiscer Ring. Penyakit ini diduga disebabkan defisiensi bawaan dan sitoplasmin. 1. Hemokromatosis Bentuk sirosis yang terjadi biasanya tipe portal. Ada 2 kemungkinan timbulnya hemokromatosis, yaitu : a. sejak dilahirkan, penderita mengalami kenaikan absorpsi dari Fe. b. kemungkinan didapat setelah lahir (aquisita), misalnya dijumpai pada penderita dengan penyakit hati alkoholik. Bertambahnya absorpsi dari Fe, kemungkinan menyebabkan timbulnya Sirosis Hepatis. 6. Sebab-sebab lain a. kelemahan jantung yang lama dapat menyebabkan timbulnya sirosis kardiak. Perubahan fibrotik dalam hati terjadi sekunder terhadap anoksi dan nekrosis sentrilibuler. b. sebagai akibat obstruksi yang lama pada saluran empedu akan dapat menimbulkan sirosis biliaris primer. Penyakit ini lebih banyak dijumpai pada kaum wanita. c. penyebab Sirosis Hepatis yang tidak diketahui dan digolongkan dalam sirosis kriptogenik. Penyakit ini banyak ditemukan di Inggris (menurut Reer 40%, Sherlock melaporkan 49%). Penderita ini sebelumnya tidak menunjukkan tanda-tanda hepatitis atau alkoholisme, sedangkan dalam makanannya cukup mengandung protein. Gambaran klinik Menurut Sherlock, secara klinis, Sirosis Hepatis dibagi atas 2 tipe, yaitu : Atau Sirosis Hepatis tanpa kegagalan faal hati dan hipertensi portal. Sirosis Hepatis ini mungkin tanpa gejala apapun, tapi ditemukan secara kebetulan pada hasil biopsy atau pemeriksaan laparoskopi Sirosis Hepatis dengan kegagalan faal hati dan hipertensi portal. Pada penderita ini sudah ada tanda-tanda kegagalan faal hati misalnya ada ikterus, perubahan sirkulasi darah, kelainan laboratirim pada tes faal hati. Juga ditemukan tanda-tanda hipertensi portal, misalnya asites, splenomegali, venektasi di perut. sirosis kompensata atau latent chirrosis hepatic sirosis dekompensata atau active chirrosis hepatic

Laboratorium Urine Dalam urin terdapat urobilinogen, juga terdapat bilirubin bila penderita ada ikterus. Pada penderita dengan asites, maka ekskresi natrium berkurang, dan pada penderita yang berat ekskresinya kurang dari 3 meq (0,1). Tinja Mungkin terdapat kenaikan sterkobilinogen. Pada penderita ikterus ekskresi pigmen empedu rendah. Darah Biasanya dijumpai normositik normokromik anemia yang ringan, kadang-kadang dalam bentuk makrositer, yang disebabkan kekurangan asam folat dan vitamin B12 atau karena splenomegali. Bilamana penderita pernah mengalami perdarahan gastrointestinal, maka akan terjadi hipokromik anemia. Juga dijumpai leukopeni bersama trombositopeni. Waktu protombin memanjang dan tidak dapat kembali normal walaupun telah diberi pengobatan dengan vitamin K. gambaran sumsum tulang terdapat makronormoblastik dan terjadi kenaikan plasma sel pada kenaikan kadar globulin dalam darah. Tes faal hati Penderita sirosis banyak mengalami gangguan tes faal hati, lebih-lebih lagi bagi penderita yang sudah disertai tanda-tanda hipertensi portal. Hal ini tampak jelas menurunnya kadar serum albumin <3,0% sebanyak 85,92%, terdapat peninggian serum transaminase >40 U/l sebanyak 60,1%. Menurunnya kadar tersebut di atas adalah sejalan dengan hasil pengamatan jasmani, yaitu ditemukan asites sebanyak 85,79%.

Komplikasi Komplikasi yang sering timbul pada penderita Sirosis Hepatis diantaranya adalah: 1. Perdarahan Gastrointestinal Setiap penderita Sirosis Hepatis dekompensata terjadi hipertensi portal, dan timbul varises esophagus. Varises esophagus yang terjadi pada suatu waktu mudah pecah, sehingga timbul perdarahan yang massif. Sifat perdarahan yang ditimbulkan adalah muntah darah atau hematemesis biasanya mendadak dan massif tanpa didahului rasa nyeri di epigastrium. Darah yang keluar berwarna kehitam-hitaman dan tidak akan

membeku, karena sudah tercampur dengan asam lambung. Setelah hematemesis selalu disusul dengan melena (Sujono Hadi). Mungkin juga perdarahan pada penderita Sirosis Hepatis tidak hanya disebabkan oleh pecahnya varises esophagus saja. FAINER dan HALSTED pada tahun 1965 melaporkan dari 76 penderita Sirosis Hepatis dengan perdarahan ditemukan 62% disebabkan oleh pecahnya varises esofagii, 18% karena ulkus peptikum dan 5% karena erosi lambung. 2. Koma hepatikum Komplikasi yang terbanyak dari penderita Sirosis Hepatis adalah koma hepatikum. Timbulnya koma hepatikum dapat sebagai akibat dari faal hati sendiri yang sudah sangat rusak, sehingga hati tidak dapat melakukan fungsinya sama sekali. Ini disebut sebagai koma hepatikum primer. Dapat pula koma hepatikum timbul sebagai akibat perdarahan, parasentese, gangguan elektrolit, obat-obatan dan lain-lain, dan disebut koma hepatikum sekunder. Pada penyakit hati yang kronis timbullah gangguan metabolisme protein, dan berkurangnya pembentukan asam glukoronat dan sulfat. Demikian pula proses detoksifikasi berkurang. Pada keadaan normal, amoniak akan diserap ke dalam sirkulasi portal masuk ke dalam hati, kemudian oleh sel hati diubah menjadi urea. Pada penderita dengan kerusakan sel hati yang berat, banyak amoniak yang bebas beredar dalam darah. Oleh karena sel hati tidak dapat mengubah amoniak menjadi urea lagi, akhirnya amoniak menuju ke otak dan bersifat toksik/iritatif pada otak. 3. Ulkus peptikum Menurut TUMEN timbulnya ulkus peptikum pada penderita Sirosis Hepatis lebih besar bila dibandingkan dengan penderita normal. Beberapa kemungkinan disebutkan diantaranya ialah timbulnya hiperemi pada mukosa gaster dan duodenum, resistensi yang menurun pada mukosa, dan kemungkinan lain ialah timbulnya defisiensi makanan. 4. Karsinoma hepatoselular SHERLOCK (1968) melaporkan dari 1073 penderita karsinoma hati menemukan 61,3 % penderita disertai dengan Sirosis Hepatis. Kemungkinan timbulnya karsinoma pada Sirosis Hepatis terutama pada bentuk postnekrotik ialah karena adanya hiperplasi noduler yang akan berubah menjadi adenomata multiple kemudian berubah menjadi karsinoma yang multiple. 5. Infeksi Setiap penurunan kondisi badan akan mudah kena infeksi, termasuk juga penderita sirosis, kondisi badannya menurun. Menurut SCHIFF, SPELLBERG infeksi yang sering timbul pada penderita sirosis, diantaranya adalah : peritonitis, bronchopneumonia, pneumonia, tbc paru-paru, glomeluronefritis kronik, pielonefritis, sistitis, perikarditis, endokarditis, erysipelas maupun septikemi.

Source:

Sujono Hadi.Dr.Prof.,Sirosis Hepatis dalam Gastroenterologi. Edisi 7. Bandung ; 2002. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid 1 FKUI, Jakarta ; 2000 ENSEFALOPATI HEPATIKUM

1. 1. Definisi Ensefalopati hepatikum adalah suatu sindrom neuropsikiatri pada penderita penyakit hati berat yang ditandai dengan kekacauan mental, tremor otot, dan flapping tremor (asteriksis), yang dapat berlanjut pada keadaan koma dalam dan kematian. 2. Epidemiologi Ensefalopati hepatikum dapat berjalan subklinis dan merupakan prevalensi terbanyak pada pasien dengan sirosis hepatis, berkisar antar 30 % hingga 88% 3. Etiologi dan Patogenesis Patogenesis ensefalopati hingga saat ini belum diketahui secara pasti, namun Sherlock , 1989, mengemukakan konsep umum patogenesisnya yaitu ensefalopati hepatikum terjadi akibat akumulasi dari sejumlah zat neuroaktif dan kemampuan komagenik dari zat zat tersebut dalam sirkulasi sistemik. Beberapa hipotesis yang telah dikemukakan antara lain : 1. Hipotesis amonia : Hati merupakan organ penting dan satu satunya yang berperan dalam detoksifikasi zat zat berbahaya. Salah satu zat toksik yang harus dirubah hati adalah NH3 yang merupakan hasil deaminase asam amino dan perubahan akibat kerja bakteri usus yang mengandung urease terhadap protein, NH3 selanjutnya diubah menjadi urea pada sel hati periportal dan menjadi glutamine pada sel hati perivenus, sehingga jumlah ammonia yang masuk sirkulasi dikontrol dengan baik. Dalam keadaan dimana amonia tidak dimetabolisme oleh hati akibat kerusakan sel hati maupun akibat pintasan portal ke sistemik tanpa melewati hati, maka amonia yang beredar dapat menembus sawar darah otak dan mengganggu metabolisme otak. Beberapa peneliti melaporkan bahwa ammonia secara invitro akan merubah loncatan klorida melalui membrane neural dan akan mengganggu keseimbangan potensial aksi sel saraf. Selain itu, ammonia dalam proses detoksikasi akan menekan eksitasi transmitter asam amino, aspartat, dan glutamate pada sel saraf.

Ensefalopati hepatikum yang paling umum ditemukan adalah pada keadaan gagal hati kronik pada sirosis hepatis, proses yang terjadi berjalan lambat seiring dengan perjalanan penyakitnya. Varises esophagus yang rupture merupakan predisposisi utama yang meningkatkan kejadian ensefalopati hepatikum, Darah yang mengalir dalam saluran cerna berjumlah cukup banyak karena berasal dari tempat bertekanan tinggi akibat hipertensi porta, sehingga banyak pula protein globin darah yang akan metabolisme oleh bakteri usus menjadi amonia kemudian diserap oleh tubuh.

1. Hipotesis Toksisitas sinergik Neurotransmitter lain yang mempunyai efek sinergis dengan ammonia seperti merkaptan, asam lemak rantai pendek (oktanoid), fenol, dan lain lain. Merkaptan yang dihasilkan dari metionin oleh bakteri usus akan berperan menghambat NaK ATP-ase . asam lemak rantai pendek seperti oktanoid mempunyai efek metabolic seperti gangguan oksidasi, fosforilasi, dan penghambatan konsumsi oksigen serta penekanan aktivitas NaK ATPase sehingga dapat mengakibatkan ensefalopati hepatikum reversible. Fenol sebagia hasil metabolism tirosin dan fenilalanin dapat menekan aktivitas otak dan enzim hati monoamine oksidase, laktat dehidrogenase, suksinat dehirogenase, prolin oksidase yang berpotensi dengan zat lain seperti ammonia yang mengakibatkan ensefalopati hepatikum. Senyawa senyawa tersebut akan memperkuat toksisitas dari ammonia.

1. Hipotesis Neurotransmitter palsu Pada kerusakan hati, neurotranmiter otak , dopamine dan nor-adrenalin, akan diganti oleh neurotransmitter palsu seperti oktapamin dan feniletanolamin yang lebih lemah dari neurotransmitter aslinya. Keadaan ini yang akan menyebabkan ensefalopati hepatikum. Beberapa factor yang mempengaruhi adalah : a) Pengaruh bakteri usus terhadap protein sehingga terjadi peningkatan produksi oktapamin yang melalui aliran pintas (shunt) masuk ke sirkulasi otak. b) Penurunan asam amino rantai cabang (BCAA) yang terdiri dari valin, leusin, isoleusin yang mengakibatkan terjadinya peningkatan asam amino aromatic (AAA) seperti tirosin, fenilalanin, dan triptopan karena penurunan ambilan hati. Rasio normal BCAA : AAA (Fisischer ratio) adalah 3 3,5 bisa mencapai 1,0 pada gagal hati, ratio ini penting dipertahankan untuk konsentrasi neurotransmitter pada susunan saraf.

1. Hipotesis GABA dan Benzodiazepin Ketidakseimbangan antara asam amino dari neurotransmitter yang akan merangsang dan menghambat fungsi otak akan menyebabkan ensefalopati hepatikum. Dalam hal ini terjadi penurunan neurotransmitter perangsang seperti glutamate, aspartat dan dopamine sebagai akibat meningkatnya ammonia dan gama aminobutirat (GABA) yang menghambat transmisi impuls. Efek GABa meningkat bukan akibat meningkatnyan influx otak tetapi akibat perubahan reseptor GABA oleh suatu substansi yang mirip benzodiazepine (benzodiasepin-like substances)

1. Glukagon Tingginya glucagon berperan pada peningkatan beban nitrogen, karena hormone ini melepas asam amino aromatis dari protein hati untuk mendorong terjadinya glukoneogenesis. Kadar glucagon meningkat akibat hipersekresi atau hipometabolisme pada penyakit hati terutama jika terdapat sirkulasi kolateral.

1. Perubahan permeabilitas sawar otak Permeabilitas sawar darah otak berubah pada pasien sirosis hepatis dekompensata, sehingga lebih mudah ditembus oleh metabolit seperti neurotoksin. Terdapat 5 proses yang terjadi di otak sebagai mekanisme EH : 1) 2) 3) 4) 5) Peningkatan permeabilitas sawar darah otak Gangguan keseimbangan neurotransmitter Perubahan (energy) metabolisme otak Gangguan fungsi membrane neuron Peningkatan endogenous benzodiazepine (benzodiazepine-like substance)

1. 5. Manifestasi Klinis : Pada keadaan akut seperti pada hepatitis fulminan, ensefalopati hepatic dapat timbul dengan cepat dan berkembang menjadi koma akibat gagal hati akut. Pada penyakit sirosis, perkembangannya berlangsung lebih lambat.

a) Ensefalopati hepatikum akut (Fulminant hepatic failure) Ditemukan pada pasien hepatitis virus akut, hepatitis toksik obat (halotan, acetaminophen), perlemakan hati akut pada kehamilan, kerusakan parenkim hati fulminan tanpa factor presipitasi. Perjalanan penyakitnya eksplosif ditandai dnegan delirium, kejang dan edem otak. Edem serebral kemungkinan akibat perubahan permeabilitas sawar otak dan inhibisi neuronal (Na+ dan K+) ATP ase, serta perubahan osmolar karena metabolism ammonia. Dengan perawatan intensif angka kematian masih tinggi sekitar 80%. b) Ensefalopati hepatikum kronik Perjalanan penyakit perlahan dan dipengaruhi factor pencetus yaitu azotemia, analgetik, sedative, perdarahan gastrointestinal, alkalosis metabolic, kelebihan protein, infeksi, obstipasi, gangguan keseimbangan cairan, dan pemapakaian diuretic.

Factor pencetus ensefalopati hepatikum dan mekanisme : Peningkatan beban nitrogen : perdarahan saluran cerna, makanan tinggi protein, azotemia, BUN meningkat, obstipasi Ketidakseimbangan elektrolit : Alkalosis, hipokalemia, hipovolemia. Darah yang beredar dalam salna (10-20 g protein/dl) atau makanan tinggi protein menyediakan substrat berlebihan dalam pembentukan ammonia, kerja bakteri usus pada protein menghasilkan NH3 yang diabsorbsi. Meningkatnya BUN menyebabkan lebih banyak urea yang berdifusi dalam usus yang akan diubah menjadi NH3 oleh bakteri usus. Obstipasi meningktakan produksi dan absorbs NH3 akibat kontak yang lama antara bakteri usus dan substrat protein. Alkalosis dan hipokalemia sering disebabkan oleh hiperventilasi dan muntah, menyebabkan difusi NH3 dari cairan ekstrasel ke intrasel termasuk sel sel otak yang menyebabkan efek toksik. Pada alkalosis, lebih banyak ammonia yang diproduksi dari glutamine dalam ginjal yang kembali memasuki sirkulasi sistemik daripada yang diekskresikan dalam betuk ion ammonium (NH4+) . hipovolemia (akibat perdarahan salna), pemakaian diuretic berlebihan, parasentesis dapat menyebabkan gagal ginjal dan azotemia sehingga meningkatkan ammonia dan mencetuskan EH Pemakaian diuretic radikal menyebabkan ketidakseimbangan elektrolit: alkalosis, hipokalemia, dan hipovolemia.sehingga dihindari obat diuretic Loop yang mendeplesi kalium. Obat sedative dan obat lainnya yang mendepresi SSP bekerja sinergis dengan ammonia, diperparah dengan kerusakan hati yang mengganggu metabolism obat obat tersebut sehingga

obat obatan : obat diuretic, transquilizer, narkotika, sedative, anastetik

mencetuskan EH. Lain lain : infeksi, Infeksi atau pembedahan meningkatkan katabolisme pembedahan jaringan, meningktakan produksi BUN dan NH3. Hipertermia, dehidrasi, gangguan fungsi ginjal berpotensi meningkatkan toksisitas NH3

Stadium ensefalopati hepatic dapat dijabarkan sebagai berikut. Stadium 1 Predromal sedikit perubahan kepribadian dan tingkah laku, termasuk penampilan yang tidak terawatt baik, pandangan mata kosong, bicara tidak jelas, tertawa sembarangan, pelupa, dan tidak mampu memusatkan pikiran, penderita mungkin cukup rasional, hanya terkadang tidak kooperatif atau sedikit kurang ajar, afektif hilang, eufori, depresi, apati. Tingkat kesadaran somnolen, tidur lebih banyak dari bangun, letargi. Tanda tanda Asteriksis, kesulitan bicara, kesulitan menulis EEG (+)

Stadium 2 Pengendalian sfingter kurang.kedutan otot Asteriksis, Koma ringan generalisata dan asteriksis merupakan temuan khas. Kebingungan, disorientasi, fetor hepatik mengantuk Stadium 3 Terjadi kebingungan yang nyata dengan Koma perubahan tingkah laku yang mencolok. mengancam Penderita dapat tidur sepanjang waktu, bangun hanya dengan rangsangan. Stadium 4 Penderita masuk ke dalam tingkat Koma dalam kesadaran koma sehingga muncul reflex hiperaktif dan tanda babinky yang menunjukkan adanya kerusakan otak lebih lanjut. Napas penderita akan mengeluarkan bau apek yang manis (fetor hepatikum). Fetor hepatikum merupakan tanda

(++)

Asteriksis, fetor (+++) hepatic, lengan kaku, hiperreflek, klonus, grasp dan sucking reflek. Fetor hepatic, tonus (++++) otot hilang

prognosis yang buruk dan intensitas baunya sangat berhubungan dengan derajat kesadarannya. 1. 6. Diagnosis Diagnosis mulai ditegakkan jika telah tampak tanda tanda Klinis berupa kekacauan tingkah laku, atau untuk kasus yang gawat, diagnosis harus ditelusuri dengan pemeriksaan amonia rutin karena perkembangan perburukan yang cepat (misalnya pada hepatitis fulminan). Pemeriksaan fisik yang menyokong diagnosis adalah : 1. pemeriksaan tingkat kesadaran : pola tidur penderita, komunikasi dengan penderita 2. menilai fungsi kortikal penderita : berbahasa, tingkah laku. 3. Menilai tremor generalisata 4. Menilai flapping tremor : rutin dilakukan. Posisi tangan pasien lurus di sisi tubuhnya, terletak di atas tempat tidur dalam posisi tubuh berbaring, kemudian lengan pasien di fiksasi didekat pergelangan tangan, jari jari tangan penderita diregangkan dan diekstensikan pada pergelangan tangan, kemudian minta penderita menahan tangannya dalam posisi tersebut. Tes positif terganggu jika perasat ini menyebabkan gerakan fleksi dan ekstensi involunter cepat dari pergelangan tangan dan sendi metakarpofalang (seperti gerakan kaku dan mengepak) 5. Menilai apraksia kontitusional : penderita tidak dapat menulis dan menggambar dengan baik pada penderita yang sebelumnya normal bisa menulis dan menggambar sederhana. 6. Tes Psikometri dengan Number Connection Test, untuk menilai tingkat intelektual pasien yang mungkin telah terjadi EH subklinis. Tes ini cukup mudah, sederhana dan tidak membutuhkan biaya serta dapat menilai tingkat EH pada pasien sirosis yang rawat jalan. Cara : menghubungkan angka angka dengan berurutan dari 1 hingga 25. Interpretasi : Normal Tingkat I Tingkat II Tingkat III Tingkat IV Sanyal, 1994 1. 7. Pemeriksaan Laboratorium dan Penunjang 1. Elektro Ensefalografi Lama penyelesaian UHA : 15 30 detik 31 50 detik 51 80 detik 81 120 detik > 120 detik

Dengan pemerikasaan EEG terlihat peninggian amplitude dan menurunnya jumlah sikllus gelombang per detik. Terjadi penurunan frekuensi dari gelombang normal Alfa (8 12Hz) Tingkat ensefalopati Tingkat 0 Tingkat I Tingkat II Tingkat III Tingkat IV Frekuensi gelombang EEG: frekuensi gelombang Alfa 8,5 12 siklus per detik 7 8 siklus per detik 5 7 siklus per detik 3 5 siklus per detik 3 siklus per detik atau negative

1. Pemeriksaan Kadar Amonia Darah Tingkat ensefalopati Kadar ammonia darah dalam g/dl Tingkat 0 < 150 Tingkat 1 151 200 Tingkat 2 201 250 Tingkat 3 251 300 Tingkat 4 > 300 1. 8. Diagnosis Banding 1. Koma akibat intoksikasi obat obatan dan alcohol 2. Koma akibat gangguan metabolisme lain seperti uremic ensefalopati, koma hipoglikemia, koma hiperglikemia. 2. 9. Penatalaksanaan Terlebih dahulu harus diperhatikan apakah EH tersebut terjadi primer atau sekunder akibat factor pencetus. Prinsip penatalaksanaan : 1) Mengobati penyakit dasar hati

Jika dasar penyakit adalah hepatitis virus, maka dilakukan terapi hepatitis virus. Jika telah terjadi sirosis berat (dekompensata) umumnya terapi ini sulit dilakukan, karena seluruh parenkim hati telah rusak dan digantikan oleh jaringan fibrotic, terapi terakhir adalah transplantasi hati. 2) 3) Mengidentifikasi dan menghilangkan factor factor pencetus. Mengurangi produksi ammonia :

1. Mengurangi asupan protein makanan 2. Antibiotik Neomycin : adalah antibiotic yang bekerja local dalam saluran pencernaan merupakan obat pilihan untuk menghambat bakteri usus. Dosis 4x 1 2 g/hari (dewasa) atau dengan Rifaximin (derivate Rimycin) dosis : 1200mg per hari selama 5 hari dikatakan cukup efektif. 3. Laktulosa : berfungsi menurunkan pH feses setelah difermentasi menjadi asam organic oleh bakteri kolon. Kadar pH yang rendah menangkap NH3 dalam kolon dan merubahnnya menjadi ion ammonium yang tidak dapat diabsorbsi usus, selanjutnya ion ammonium diekskresikan dalam feses. Dosis 60 120 ml per hari: 30 50 cc per jam hingga terjadi diare ringan. 4. Lacticol (beta galaktosa sorbitol) dosis : 0,3 0,5 gram / hari. 5. Pengosongan usus dengan Lavement 1 2 kali per hari : dapat dipakai katartik osmotic seperti MgSO4 atau laveman (memakai larutan laktulosa 20% atau larutan neomysin 1 % sehingga didapat pH asam = 4 ) Membersihkan saluran cerna bagian bawah. 4) Upaya suportif III dan IV perlu perawatan supportif yang intensif : perhatikan posisi berbaring, bebaskan jalan nafas, pemberian oksigen, pasang kateter foley untuk balance cairan. Jika terdapat rupture varises esophagus pasang NGT untuk mengalirkan darah. 1. 2. 3. 4. 5. Penderita stadium Diet tinggi kalori : jus buah atau infuse dextrose IV. 2000 kal/hari. Pemberian Vit B Mencegah dehidrasi : cukupkan asupan cairan (hitung balance cairan) Asupan protein dikurangi atau dihentikan sementara. Stadium I II diet rendah protein (beri nabati) 20 gram/hari. Stadium III IV tanpa protein.Pemberian protein setelah fase kritis disesuaikan dengan klinis penderita dan ditingkatkan perlahan mulai 10 gram hingga maintenance (40 -60 gram/hari). Sumber protein utama dari asam amino rantai cabang yang diharapkan akan menyeimbangkan neurotransmitter asli dan palsu. Tujuan lainnya yaitu : 1) untuk mendapatkan energy tanpa memperberat fungsi hati. 2)mengurangi asam amino aromatic dalam darah . 3)memperbaiki sintesis katekolamin pada jaringan perifer. 4) asam amino rantai cabang dengan dekstrose hipertonik akan mengurangi hiperaminosidemia. 6. Rincian pemberian nutrisi parenteral : Cairan dextrose 10% atau maltose 10%

AARC = Comafusin hepar atau campuran AAA dalam AARC (Aminoleban) : 1000cc/ hari. 1. Metildopa : 0,5 gram tiap 4 jam . 2. Hindari pemakaian sedative, jika pasien sangat gelisah dapat diberikan dimenhidrinat 50mg i.m. bila perlu diulang tiap 6-8 jam. 3. Vit K 10 20 mg/hari i.m. atau per oral.

4. Bromokriptin (dopamine reseptor antagonis dalam dosis 15 mg/hari dapat member perbaikan klinis, psikometrik, dan EEG (dalam taraf eksperimental) 5. Antagonis benzediazepin reseptor (flumazenil) member hasil memuaskan pada stadium I dan II (dalam taraf eksperimental) 6. 10. Prognosis Prognosis penderita EH tergantung dari : 1. 2. 3. 4. 5. 6. Penyakit hati yang mendasarinya Faktor faktor pencetus Usia Keadaan gizi Derajat kerusakan parenkim hati Kemampuan regenerasi hati.

Pada EH sekunder, jika faktor faktor pencetus teratasi, umumnya 80% penderita akan kembali sadar. Pada EH primer prognosis akan diperburuk jika disertai hipoalbuminemia, ikterus, serta asites. Sementara EH akut akibat hepatisis virus fulminan kemungkinan hanya 20% yang pulih setelah dirawat pada pusat kesehatan dengan perawatan intensif yang maju. REFERENSI 1. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I, edisi IV 2. Patofisiologi , Sylvia A. Price 3. Koma hepatikum, diakses dari http://medlinux.blogspot.com/2008/07/komahepatikum.html

Penatalaksanaan diet pada penderita sirosis hepatis et causa hepatitis B


Dibuat oleh: Anin,Modifikasi terakhir pada Tue 31 of May, 2011 [15:10] Abstrak Sirosis hepatis merupakan suatu penyakit dimana sirkulasi mikro, anatomi pembuluh darah besar dan seluruh sitem arsitektur hati mengalami perubahan menjadi tidak teratur dan terjadi penambahan jaringan ikat (fibrosis) disekitar parenkim hati yang mengalami regenerasi. Penyebab dari sirosis hati antara lain infeksi virus hepatitis (virus hepatitis B dan C). Gejala dan tanda sirosis dikarenakan 2 mekanisme yaitu kegagalan faal hati dan hipertensi porta, sehingga selain pengobatan berdasarkan etiologi dan simptomatis, juga dilakukan pengobatan suportif seperti dengan diet.

Keywords

Sirosis hepatis, hepatitis B, diet

Diagnosis Sirosis hepatis et causa hepatitis B

Terapi Pasien ini dirawat selama 7 hari dengan diberikan non farmakologis seperti bed rest, diet tinggi protein tinggi kalori, diet rendah garam dan terapi farmakologis yaitu ranitidine 2 x 1 gr, Injeksi cefotaxime 1 Ampul/12 jam diberikan selama 2 hari untuk mengatasi infeksi dan mencegah terjadinya peritonitis bakterial spontan dan dilanjutkan dengan antibiotika golongan sefalosporin generasi ketiga 3 x 500 mg, Spironolakton 1 x 100 mg/hari, sehingga diharapkan kualitas hidup penderita dapat ditingkatkan.

Kasus Seorang laki-laki usia 47 tahun datang dengan keluhan utama perut terasa kembung dan semakin membesar 20 hari SMRS. Paien juga tidak bisa kentut dan merasa sesak napas 20 hari SMRS. Pasien mengeluh demam(+), mual (+), muntah darah 1 x di rumah. Riwayat sakit kuning (+), hipertensi (-), sakit jantung (-).Riwayat penggunaan alkohol (-).Riwayat keluarga dengan sakit serupa (-). Pada pemeriksaan fisik, penderita tampak lemah, perut membesar, TD 100/70 mmHg. Konjungtiva tampak anemis, sklera ikterik. Tidak ada pembesaran jantung, tidak ditemukan suara wheezing maupun ronki. Abdomen tampak cembung, caput medussae (-), bising usus (+) menurun, supel, nyeri tekan (+) di hipokondrium kanan dan epigastrium, tes undulasi (+), hepar tidak teraba, lien tak teraba, pekak alih (+), pekak sisi (+). Pada ekstremitas superior maupun inferior dalam batas normal. Pemeriksaan darah menunjukkan kadar hemoglobin 8,5 g/dl, Hmt 26%, AT 120x 103 /ul, LED 1 jam 65 mm, LED 2 jam 87 mm, ureum 57,6 mg/dl, kreatinin 1,26 mg/dl, SGOT 812,7 U/L, SGPT 163,3 U/L, bilirubin total 4,7 mg/dl, bilirubin direk 1,95 mg/dl, albumin 2,37 g/dl, HbsAg reaktif. Pada USG abdomen tampak gambaran ascites (+++),gambaran sirosis hepatis dan hemangioma lobus sinistra hepar.

Diskusi Manajemen diet pada sirosis ditujukan agar status nutrisi penderita tetap terjaga, mencegah memburuknya penyakit hati, dan mencegah terjadinya ensefalopati hepatik sehingga kualitas serta harapan hidup penderita juga akan membaik. Pada pasien ini

dilakukan diet tinggi protein dan tinggi kalori untuk memperbaiki status gizi pasien. Pemberian protein pada penderita sirosis memang cukup memusingkan. Kelebihan protein dapat mengakibatkan peningkatan amonia darah yang berbahaya, sedangkan kekurangan protein akan menghambat penyembuhan sel hati. Saat ini para dokter lebih memilih untuk memberikan diet tinggi kalori tinggi protein dengan maksud agar sel-sel hati dapat beregenerasi. Sedangkan untuk mengontrol tingkat amonia darah digunakan laktulosa dan atau suatu jenis antibiotik yang bernama neomisin. Pada keadaan sirosis hati lanjut, terjadi pemecahan protein otot. Asam amino rantai cabang (AARC) yang terdiri dari valin, leusin, dan isoleusin digunakan sebagai sumber energi (kompensasi gangguan glukosa sebagai sumber energi) dan untuk metabolisme amonia. Dalam hal ini, otot rangka berperan sebagai organ hati kedua sehingga disarankan penderita sirosis hati mempunyai massa otot yang baik dan bertubuh agak gemuk. Dengan demikian, diharapkan cadangan energi lebih banyak, stadium kompensata dapat dipertahankan, dan penderita tidak mudah jatuh pada keadaan koma. Menurut Wolf (2011) nutrisi yang seimbang baik dari segi kalori, karbohidrat, protein dan lemak, akan membawa pengaruh yang baik untuk memperbaiki kerusakan sel hati. Pada tingkat tertentu, kerusakan sel hati masih bisa diperbaiki dengan cara memproduksi sel hati baru yang sehat. Widiastuti dan Mulyati (2005) meneliti bahwa kadar albumin secara umum rata-rata meningkat pada pasien sirosis hati yang diberikan suplemen asam amino rantai cabang (AARC). Penderita sirosis hati harus meringankan beban kerja hati. Aktivitas sehari-hari disesuaikan dengan kondisi tubuh. Pemberian obat-obatan (hepatotoksik) harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Penderita harus melakukan diet seimbang, cukup kalori, dan mencegah konstipasi. Pada keadaan tertentu, misalnya, asites perlu diet rendah protein dan rendah garam. Terapi ditujukan mengurangi progresi penyakit, menghindarkan bahan-bahan yang bisa menambah kerusakan hati, pencegahan dan penanganan komplikasi. Bilamana tidak ada koma hepatik diberikan diet yang mengandung protein 1 gr/KgBB dan kalori sebanyak 2000-3000 kkal/hari. a. Tatalaksana pasien sirosis kompensata. Bertujuan untuk mengurangi progresi kerusakan hati. Terapi pasien ditujukan untuk menghilangkan etiologi, diantaranya: i. Alkohol dan bahan-bahan lain yang toksik dan dapat mencederai hati dihentikan penggunaannya. Pemberian asetaminofen, kolkisin, dan obat herbal bisa menghambat kolagenik. ii. Pada hepatitis autoimun, bisa diberikan steroid atau imunosupresif.

iii. Pada hemokromatosis flebotomi setiap minggu sampai konsentrasi besi menjadi normal dan diulang sesuai kebutuhan.

iv. Pada penyakit hati nonalkoholik, menurunkan berat badan akan mencegah terjadinya sirosis. v. Pada hepatitis B, IFN alfa dan lamivudin (analog nukleosida) merupakan terapi utama. Lamivudin sebagai terapi lini pertama diberikan 100 mg secara oral setiap hari selama 1 tahun. b. Tatalaksana pasien sirosis dekompensata

1. Asites: Tirah baring Diet rendah garam, 5,2 gr atau 90 mmol/ hari.

2. Ensefalopati hepatik Intervensi untuk menurunkan produksi dan absorpsi amoniak serta toksin-toksin yang berasal dari usus dengan jalan : - Diet rendah protein - Pemberian antibiotik (neomisin). Neomisin bisa digunakan untuk mengurangi bakteri usus penghasil amonia, diet rendah protein dikurangi sampai 0,5 gr/ kgBB/ hari, terutama diberikan yang kaya asam amino rantai cabang. - Pemberian lactulosa/ lactikol 3. Sindroma hepatorenal Sindroma ini dicegah dengan menghindari pemberian diuretik yang berlebihan, pengenalan secara dini setiap penyakit seperti gangguan elektrolit, perdarahan dan infeksi. Penanganan secara konservatif dapat dilakukan berupa : restriksi cairan, garam, potassium dan protein. Serta menghentikan obat-obatan yang nefrotoksik.

Kesimpulan Diet sirosis hepatis pada pasien ini sudah sesuai dengan kaidah karena diet merupakan terapi suportif yang bertujuan untuk mengurangi progresi penyakit, menghindarkan bahan-bahan yang bisa menambah kerusakan hati, pencegahan dan penanganan komplikasi Referensi

1. Chung Raymond T, Padolsky Daniel K. Cirrhosis and Its Complications. Dalam:Harrisons Principle of Internal Medicine. Edisi XVI. 2005. Newyork: McGraw-Hill Companies. 1844-1855. 2. Kusumobroto, Hernomo. Sirosis Hati. Dalam buku ajar Ilmu Penyakit Hati. edisi I, Jakarta, Jayabadi, 2007, hal 335-45 3. Lindseth, Gleda . Sirosis Hati. Dalam: Patofisiologi Konsep Klinis ProsesprosesPenyakit Volume I. Edisi VI. Jakarta: EGC, 2005. 493-501 4. Nurdjanah Siti. Sirosis Hati. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. EdisiIV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI, 2006. 443-446 5. Widiastuti, Yuliati dan Tatik Mulyati. 2005. Pengaruh BCAA Terhadap Kadar Albumin Pasien Sirosis Hepatis di Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung. Diakses dari http://eprints.undip.ac.id/26173/1/67_Yuliati_Widiastuti_G2C20122.rtf_A.pdf tanggal 31 Mei 2011. 6. Wolf, David. Cirrhosis. 2011. Diakses dari http://emedicine.medscape.com/article/185856-overview# tanggal 30 Mei 2011

Penulis Anindian Setyo Rahmawati, S.Ked. Program Profesi Pendidikan Dokter. Bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Temanggung, Kab. Temanggung, Jawa Tengah. By: RUSDIANA, SILVIA Email: library@unair.ac.id Undergraduate Thesis, Airlangga University
Created: 2011-03-29 , with 1 file(s).

Keywords: DUS (Drug Utilization Study), cirrhosis hepatic, hepatic encephalopathy Subject: CIRRHOSIS-DRUG USE Call Number: KKB KK-2 FF 372 10 Rus p Ensefalopati Hepatik (EH) adalah gangguan neuropsikiatrik yang terjadi karena kerusakan liver, walaupun patogenesisnya belum diketahui secara jelas. Abnonnalitas atau perubahan status mental dapat bersifat ringan, misalnya : apatis, euphoria, gelisah, asterixis (flapping tremor), koordinasi yang latnbat dan otot yang lemah bahkan koma. Sebagian besar kasus EH disebabkan zat-zat toksik diantaranya adalah merkaptan, oktanoid, fenol dan ammonia. Tingginya ammonia dapat mengurangi kadar ATP di otak sehingga terjadi gangguan energi otak. Dan hipotesis lain adanya neurotransmitter palsu yang dipengaruhi karena pada kerusakan liver akan terjadi penurunan asam amino rantai cabang (BCAA) yang mengakibatkan peningkatan asam amino aromatik (AAA). Hal diatas dapat mengganggu keseimbangan potensial aksi sel saraf. Dan perlu diperhatikan faktor resiko yang dapat memperparah keadaan pada pasien EH, yaitu : konstipasi, penggunaan obat diuretik, azotemia, HM, infeksi, pembedahan, syok hipovolemik dan hipokalemi.

Pada penelitian ini digunakan metode retrospektif-prospektif dengan analisa deskriptif. Sampel diambil pada Oktober 2008-Februari 2009 untuk retrospektif (n9) dan Maret 2008-Juni 2009 untuk prospektif (n=15) di Ruang Al, A2, B1 dan B2 Departemen Penyakit Dalam dan ECU RUMKITAL Dr. Ramelan Surabaya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 24 pasien, 14 pasien adalah laki-laki dan 10 pasien adalah perempuan. Sebagian besar pasien ensefalopati hepatik berusia diatas 65 tahun dan pada rentang 65-70 tahun terdapat 8 pasien (33.33%). Riwayat pola hidup dari 24 pasien, 21 orang dengan pola hidup sehat dan pola hidup kurang baik yang dilakukan pasien adalah konsumsi alkohol 2 pasien (8.33%). Data faktor resiko yang tercatat dari 24 pasien adalah azotemia sebanyak 12 pasien (50.00%) dan HM sebanyak 6 pasien (25.00%). Dui 24 pasien, 20 pasien tidak mengalami komorbid (83.33%) dan komorbid yang terdapat pada pasien adalah DM sebanyak 3 (12.50%). Keluhan terbanyak dari pasien EH adalah kesadaran menurun pada 15 (62.50%), mual-muntah pada 8 (33.33%), gelisah 4 pasien (16.67%) dan kemudian muntahlBAB hitam pada 6 (29.17%). Kesadaran menurun pada pasien meliputi : keadaan tidak sadar, bicara tidak jelas, tidak dapat diajak berkomunikasi dan gelisah merupakan keluhan utama pada pasien EH. Umumnya untuk mengatasi keluhan kesadaran yang menurun yang diakibatkan adanya toksik di otak atau neurotransmiter palsu diberikan terapi parenteral nutrition , yaitu : BCAA seperti komafusin liver pada 19 pasien (79.17%). Pemberian BCAA diencerkan dengan dekstrosa 5% untuk menghindari terjadinya plebitis. Sedangkan untuk mencegah reseptor GABA Benzodiazepin diberi flumazenil, levodopa, bromokriptin, L-ornithine-Laspartate, sitokolin, piracetam dan asam amino essensial. antibiotik yang diberikan dalam penelitian adalah kanamisin pada 19 pasien (79.17%), neomisin pada 1 pasien (4.17 %) dan metronidazol pada 2 pasien (8.33%). Antibiotik lain yang banyak digunakan adalah sefalosporin generasi 3 yaitu seftriakson sebanyak 16 pasien (66.67%). laktulosa digunakan pada 15 pasien (66.67%). Dapat disimpulkan terapi utama yang diberikan pada pasien EH adalah Komafusin Liver, Kanamisin dan Laktulosa serta didukung dengan obat golongan antagonis benzodiazepin, agonis dopamine, bromokriptin, L-ornothine-L-aspartate, piracetam dan sitokolin. Penggunaan antibiotik Kanamisin rute p.o dosis 250 mg frekuensi 4x2 kapsul, Neomisin p.o dosis 500 mg frekuensi 4x1 tablet dan Metronidazol rute i.v dosis 1 gram frekuensi 3x1 atau rute p.o dosis 500 mg frekuensi 3x1 tablet. Seftriakson rute i.v dosis 1 gram frekuensi 2x1. Laktulosa rute p.o terbagi 3-4x 30-60 ml. BCAA diberikan secara infus dan dikombinasi dengan dekstrosa 5% atau 10% dengan perbandingan 1 kolf/hari. Outcome terapi yang diberikan pada pasien dapat dilihat dari perubahan status mental pasien dan perubahan nilai alkali fosfatase, prothrombine time, bilirubin, BUN, albumin dan elektrolit.
day) may be used as an alternative. Side-affects are usually due to fluid and electrolyte imbalances, but gastrointestinal symptoms, skin rashes, parasthesiae, blood dyscrasias and hepatic and renal dysfunction occasionally occur. Hiperuricaemia and hyperglcaemia occur but are rarely significant.

Thiazides. The thiazides are diuretics of intermediate potency which are little used in ascites due to hepatic cirrhosis. They act by inhibiting sodium and chloride absorption in the distal tubule and cause increased secretion of potassium by the distal tubules. Side-effects are uncommon, but thiazide can produce hepatic

encephalopathy perhaps due to hypokalaernia alkalosis and an increased blood ammonia. The main indication for giving a thiazide is in patients not responding to spironolactone and a loop diuretic as the thiazides act at sites different from these drugs (Olesen and Sigund 1971).

Paracentesis Paracentesis of large volumes of ascites (>5 litres) can be carried out without undue hazard provided that care is taken to prevent circulatory dysfunction, and even the complete removal of all ascites at a single paracentesis can be used safely as a treatment for ascites (Gines et al 1987, Tito et al 1990, Ruiz-del-Arbol et al 19979). Paracentesis also improves respiratory function rapidly and relieves the respiratory distress of marked ascites, though diuretic treatment achieves the same end more slowly (Chang et al 1997). Indeed, although most patients will respond well to sodium restriction and diuretic drugs, paracentesis is used increasingly as a treatment of first choice probably because it is quicker and can reduce the length of hospital stay (Gines et al 1987). A survey of participants at a meeting of the European Association of the Study of the Liver found that 95% of respondents used paracentesis to manage cirrhosis ascites (Arroyo et al 1994). Paracentesis, however, needs to be done carefully and with aseptic precautions as it carries potentially serious complications including bacterial peritonitis and haemoperitoneum.
TABLE 8 IMMEDIATE CONSEQUENCES OF PARACENTESIS FOR ASCITIES IN HEPATIC CIRRHOSIS WITH AND WITHOUT CIRCULATORY DYSFUNCTION Feature Cardiac index Systemic vascular resistance Right arterial pressure Pulmonary capillary pressure Hepatic venous pressure gradient Renin Aldosterone Norepinephrine Creatinine Circulatory present -> <<<-> -> -> -> -> dysfunction Absent -> <<<<-

Note: ->=increase, decrease= <-, - = no change

Paracentesis leads to circulatory changes and these can persist for up to a week (Table 8). The removal of 51 of fluid withoud replacement may not be followed by any and circulatory change (Peltekian et al 1997), but larger amounts cause an immediate increase in cardiac output which soon returns to normal, and a fall in mean arterial pressure, systemic vascular resistance, right atrial pressure and pulmonary capillary pressure which can still be present a week later (Ruiz del-Arbot et al 1997). Paracentesis reduces the free and wedged hepatic venous pressure without changing the hepatic venous pressure gradient and this persists for at least a week . The hepatic venous have been used, including dextran (Ruiz-del Arbol et al 1997), polygeline (Salerno et al 1991), and albumin (Tito pressure gradient may, however, rise when circulatory dysfunction occurs indicating that the intrahepatic vascular resistance increases in these patients (Ruiz-del-Arbol et al 1997). Circulating dysfunction, indicated by increased plasma renin, aldosterone and

noradrenaline may be associated with renal impairment, and though this impairment is often reversible, this is not always the case. Accordingly, preventative measures to support the circulation with a colloidal solution at the time of paracentesis are important as this prevents circulatory dysfunction. Several such solutions et al 1990), and all are effective. Albumin solution is perhaps the most effective, but it is also the most expensive (Table 9). Half of the infusion can be given over 2 hours and the remainder over the following six hours after the procedure. The pulse, blood pressure and urine output should be measured regularly during and for 24 hours after the procedure, and the plasma urea and/or creatinine should be measured before and one and six days after the procedure.
TABLE 9 FRECUENCY OF CIRCULATORY DYSFUNCTION RELATED TO PLASMA VOLUME EXPANSION FOLLOWING PARACENTESIS FOR ASCITES IN HEPATIC CIRRHOSIS (RUIZ-DEL-ARBOL ET AL 1997) Plasma Expander 1/2 Circulatory dysfunction Plasma Expander life (%) None 70 Dextran - 40 Hours 40 - 50 Polygeline Hours 40 - 50 Dextran - 70 Days 30 Albumin Weeks 15

Paracentesis is an effective way of getting rid of ascites but it does not prevent the continuing accumulation of more ascites. Accordingly, diuretic drugs and sodium restriction will be needed (above) after paracentesis, and a recent trial suggest that spironolactone 200 m/g started inmediately after paracentesis in satisfactory (Fernndez-Espaurach et al 1997). Parecentesis and oesphageal varices. Total paracentesis of all ascites reduces the wedged hepatic venous pressure and recently it has been reported also to decrease intravariceal pressure (Kravetz et al 1997). There may, therefore, be a case for paracentesis in patients with bleeding oesophageal varices and marked ascites, especially where other treatments are unsuccessful.

Resistant Ascites Refractory or resistantascites is broadly definedas ascites resistant to medical therapy (Arroyo et al 1996). This is generally taken to mean a combination of sodium restriction and diuretic drugs, but paracentesis is used increasingly as an initial treatment for ascites owing to the speed with which it can be applied and a consequent reduction in hospital stay (above). Accordingly, refractory ascites has been defined as failure to respond to sodium restriction of 50 mmol/d, a combination of spironolactone 400 mmol/d and frusemide 160 mg/d or bumetanide 4 mg/d, evidenced by weight loss of less than 200 g/d and urine sodium below 50 mmol/d over 4 days of intense diuretic therapy, or recurrance of ascites within 4 weeks of medical therapy of paracentesis which cannot be prevented by medical therapy. Such refractory ascites has been described as diureticresistant (i.e.cannot be benefitted by sodium restriction and diuretic drugs) or diuretic-intractable (i.e.sodium restriction and diuretic drugs produce hepatc encephalopathy), renal failure(creatinine increased 100%to>2mg/I), hyponatraemia (serum sodium reduced 10 mmol/I to <125 mmol/I) or hypo-or hyperkalaemia. Before diagnosing refractory

ascites it is important to exclude unrecognised inappropriate sodium intake, failure to take diuretic drugs concomitant drug therapy causing sodium retention (above) and ascites due to causes other than cirrhosis (Table 6) even in a patient with cirrhosis. Portal Systernic Shunts. Portal hypertension is an important factor in the development of ascites (above), and relief of portal hypertension should therefore improve ascites.

Surgical Shunts. Surgical portasystemic shunts proved effective in the secondary prevention of variceal bleeding but have fallen into disuse because thay were associated with an increased occurrance of hepatic encephalopathy and did not prolong fife. They were, however, also effective in preventing ascites and consequentially spontaneus bacterial peritonitis. Castells et al (1994) followed up patients treated for variceal bleeding and found that 15% of those treated by a distal splenorenal shunt developed ascites and 2% spontaneus bacterial peritonitis compared to 73% and 21% respectively of those treated by sclerotherapy. Previous reports had shown had shown that surgical shunts can elieve intractable ascites and reverse hepatorenal failure (Ariyan et al 1975, Franco et al 1998). However surgical portal systemic shunts are not used for treating ascites as patients with intractable ascites generally have poor liver function and are poor candidates for such major surgical procedures. Transjugular intrahepatic portasystemic stent shunts (TIPSS). The introduction of TIPSS has allowed the placement of portasystemic shunts by interventional radiological means applicable even in patients with poor liver function. These shunts are used primarily for treating variceal haemorrhage, but intractable ascites has emerged as the second most frequent indication (Stanley et al 1997). Uncontrolled trials have shown that full or partial resolution of ascites follows a TIPPS in three quarters more of patients but hepatic encephalopathy appears for the first time in about a fifth, the need for diuretic treatment continues, and a half to two thirds of patients die within two years (Ochs et al 1995, Martinet et al 1997). A small randomised trial showed improvement in refractory ascites following TIPSS in Child B patients but not Child C patients by comparison with no improvement in either group with paracentesis but the mortality at two years was greater after TIPSS (71%) than after paracentesis (44%) (Lebrec et al 1996). In short, TIPSS can improve refractory ascites but the mortality is not improved and may even be increased, especially in Child C patients where liver function is very poor. This emphasises the need to consider liver transpiantation in refractory ascites but where this is inappropriate TIPPS should be used particularly in Child B patients where liver funtion is better.

Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP). To the occurrence of bacterial peritonitis in patients with cirrhosis and ascites without any local source such as an organ perforation or abscess. It is a serious complication of ascites as it carries a high mortality, a high frequency of recurrence after resolution, and a poor longterm prognosis. Patients who develop SBP tend to have

advanced cirrhosis with obvious ascites, but this is not always the case. Ascites can sometimes be difficult to detect clinically and accordingly ultrasonic examination and diagnostic paracentesis should be done where a patient becomes ill for no obvious reason. Patients may present with a combination of a systemic illness with fever and leucocytosis, often associated with hepatic encephalopathy, and abdominal features of pain, peritonism and absent bowel sounds or with either independently. Thus, when a patient with ascites becomes unwell or develops hepatic encephalopathy for no obvious reason, SBP should be sought.

Pathogenesis SBI develops in patients with advanced cirrhosis who are susceptible to infection generally and specifically in their ascitic fluid collections. They are often jaundiced, have hypoprothrombinaemia and hypoalbuminaemia, and classify as Group C in the Child-Pugh system. Features indicating general susceptibility to infection include poor reticuloendothelial activity, reduced complement activy and impaired leucocyte function. Increased susceptibility to infection of the ascitic fluid is reflected in low ascites protein concentrations which includes low ascites concentrations of opsonic factors such as immunoglobulins,complement, and fibronectin. Bacteria probably reach the ascitic fluid as a result of bacteraemia, and as a high proportion of ascitic infections are with gut-related organisms, many must reach the blood by passing through the bowel wall. Occasionally, infection reaches the ascitic fluid from recognised sources elsewhere in the body and unusual sources include dental infections and the fallopian tubes. Many patients acquire SBP while in hospital, and though these are likely the more ill and susceptible patients, intravascular cannulae and invasive investigations producing bacteraemia are additional important factors. Investigations The most important investigation is immediate analysis of the ascites for polymorphonuclear leucocyte content and culture. A polymorphonuclear leucocyte count >250/mm3 can be regarded as establishing infection and antibiotic treatment should be started (Rimola et al 1995, Pinzello et al 1983). A total leucocyte count is not helpful as it is the short-lived polymorph cells which reflect infection. Bacterial culture should be carried out by innoculating ascitic fluid into blood culture bottles as this gives the highest yield of bacteria (Runyon et al 1988). The concentration of organism in the ascites is low, making Gram staining of limited value and accounting for failure to culture organisms in a third to a half of cases (Runyon et al 1984). Blood culture should also be done as organisms are isolated in some cases and they reflect those found in the ascitic fluid (Conn et al, 1971). SBI is almost always caused by a single organism, and alternative diagnoses such as organ perforation should be considered when multiple organisms are found. Treatment The most effective treatment is a third- generation cephalosporin such as cefotaxime 1g intravenously 8 hourly. Treatment should be continued for five days and can then be stopped if the ascitic polymorph count has fallen by over 50% (Runyon et al 1991). Alternative antibiotics include other cephalosporins such as ceftriaxone, aztreonane and augmentin (amoxicillin-clavulanic acid ). Aminoglycosides were used

previously but are now avoided owing to their renal toxicity. Patients who are clinically well can be treated with broadspectrum quinolones such as ciprofloxacin. Prognosis and prevention SBP carries a high mortaly and a high recurrence rate. Resolution of the SBP can be achieved with cefotaxime in about three quarters of cases but the in-hospital mortality in these patients is about 40% (Toledo et al;, 1993). Community-acquired SBP carries a more favourable prognosis than hospital-acquired SBP, perhaps because patients in hospital tend to be sicker. The development of uraemia is a serious prognostic sign. Recurrence of SBP after recovery is common and occurs in about two thirds of patients within a year and in three quarters within two years (Tao et al; 1988). Recurrance is particularly frequent in patients with jaundice (bilirubin>70mmol/I), a prolonged prothrombin time or an ascites protein < 10 g/l. Survival after recovery from SBP is bout 40% at one year and 16% at three years. Death is due largely to lver failure but also to recurrent SBP.

Norfloxacin is a poorly absorbed quinolone which reduces the aerobic Gram negative gut flora without suppressing the anaerobic flora and it has proved successful in reducing recurrance of SBP. lt should be given orally (400 mg/d) to all patients recovering from SBE (Gines et al; 1990). Infection, including SBP, is also cornmon following acute gastrointestinal bleeding and these infections can be prevented by Norfloxacin 400 mg twice daily (Rimola et al; 1985). Bacterascites This is defined by the finding of bacteria in ascitic fluid with the ascites neutrophil count < 250 mm3 . lt has been regarded previously as occurring in asymptomatic patients but this is not aIways the case (Runyon Hep. 12 1990). These patients should be regarded as having SBP and although asymptornatic patients may clear the ascitic infection spontaneously, it is probably safer to treat them with antibiotics. Hepatic hydrothorax. Pleural effusion occurs in about 6% of patients with cirrhosis and ascites (Krowka and Coutese 1989). Most are small and right-sided, but occasionally ascitic fluid accumulates in the pleural space in large amounts to cause a hepatic hydrothorax. Most patients have obvious ascites which is thought to reach the pleural space through diaphragmatic defects, but occasionally ascitic fluid passes preferentially to the pleural space and hepatic hydrothorax occurs in the absence of clinically detectable ascites (Rubenstein et al 1985). Analysis of the pleural and peritoneal fluids shows that both share the features of a transudate, and in difficult cases 99m Tc sulphur colloid injected into the peritoneum can be shown subsequently to accumulate in the pleura (Rubenstein et al 1985). The treatment of hepatic hydrothorax is difficult and often unsuccessful. Initial treatment should be with diuretic drugs and sodium restriction (above), but his is often unsuccessful and many patients become uraemic as the dose of drugs is increased of or better effect. Thoracentesis gives immediate relief from dyspnoca but

usually only has a transient effect with repeated treatments eeded up to weekly. Pleurodesis and surgical repair of diaphragmatic defects is often unsuccessful and fraught with serious complications. Peritonovenous shunts have been used successfully but are of limited value owing to frequent side-effects (Stanley 1979). A TIPSS shunt is probably the best treatment currently available as about half of patients have complete relief and aquarter partial relief (Gordon et al 1979, Strauss et al 1994). Patients requiring this treatment have advanced disease and encephalopathy and deterioration of fiver function can occur fter TIPSS. Liver transplantation needs to be considered in such a situation. Spontaneous Bacterial Empyema. This is characterised by infection in a pleural effusion which cannot be attributed to any local cause (Xiol et al 1990). lt usually occurs in patients with ascites, and bacteria probably reach the pleural space directly from the ascites or via the blood. The clinical features are those of cough, dyspnoea, chest pain or fever in a patient with a pleural effusion, of an associated spontaneous bacterial peritonitis, or of unexplained deterioration in a patients condition. A chest radiograph is needed to exclude underlying conditions, such as pneumonia, and pleural fluid, ascites and blood shoulcl be cultured. A pleural fluid polymorphonuclear leucocyte count >500/mm3 should be taken as establishing infection. The most cornmon organisms are E col, K. pneumonia and CI. perfringens. Initial treatment with cefotaxime 1g 6hourly intravenously is recommended. Mortality is around 20% as patients usually have advanced hepatic cirrhosis, and antibiotic prophylaxis is suggested after recovery though its value has not been proved.

Should antibiotic prophylaxis be used for cirrhotic patients hospitalized with gastrointestinal bleeding? Evidence-Based Answer: Yes. Antibiotic prophylaxis in cirrhotic patients with upper gastrointestinal bleeding (UGIB) significantly reduces the incidence of bacterial infections and mortality for up to 30 days of follow-up. (SOR A, based on a systematic review.) Norfloxacin for 7 days is recommended (SOR C, based on consensus guidelines), although local resistance patterns may make other antibiotics more effective. (SOR C, extrapolated from a single comparative RCT.) The most recent meta-analysis is a 2002 Cochrane review of 11 RCTs involving 1,267 hospitalized patients with cirrhosis who presented with UGIB.1 The authors performed an extensive search for all published and unpublished RCTs without any restriction to any specific antibiotics or to any specific bacterial infections. Follow-up did not exceed 30 days. The source of UGIB was confirmed by endoscopy. Eight trials (864 patients) compared the effects of an antibiotic group to a placebo group or no intervention. Antibiotic prophylaxis significantly prevented bacterial infections (RR=0.40; 95% CI, 0.320.51, NNT=4), including bacteremia, pneumonia, spontaneous bacterial peritonitis, and urinary tract infections, regardless of the antibiotic used. Three trials (503 patients) compared 1 antibiotic with another. No antibiotic regimen was superior to others for managing bacterial infection or preventing mortality. The most common

antibiotic class used was the quinolones. Eight trials that included data on mortality found a significant decrease in death (RR=0.73; 95% CI, 0.55 0.95) by the end of the followup period. No significant heterogeneity was found.1 Since the Cochrane review, the International Ascites Club published a consensus statement indicating that cirrhotic patients with UGIB should undergo antibiotic prophylaxis with a quinolone antibiotic such as norfloxacin for up to 7 days to decrease the incidence of infection and improve patient survival.2 Norfloxacin is a poorly absorbable antibiotic active against aerobic gram-negative bacilli common in the intestinal tract, but not against gram-positive cocci or anaerobic bacteria. Concerns regarding the emergence of quinolone-resistant gram-negative infections prompted a 2006 RCT comparing oral norfloxacin 400 mg every 12 hours for 7 days with intravenous ceftriaxone 1 g daily for 7 days in 111 patients with advanced liver failure and UGIB.3 By 10 days of follow-up, 33% of the norfloxacin-treated patients developed infections compared to 11% of the ceftriaxone treated patients (P=.03; NNT=5). No difference was noted in either hospital mortality or 10-day mortality between the 2 groups. HelpDesk Answer From EBP, Pavan K. Panchavati, MD, MPH Marcia J. Chesebro, MD, MPH UAB School of MedicineHuntsville FMRP Huntsville, AL 1. Soares-Weiser K, Brezis M, Tur-Kaspa R, Leibovici L. Antibiotic prophylaxis for cirrhotic patients with gastrointestinal bleeding. Cochrane Database Syst Rev. 2002; (2):CD002907. [LOE 1a] 2. Wong F, Bernardi M, Balk R, et al; on behalf of the International Ascites Club. Sepsis in cirrhosis: report on the 7th meeting of the International Ascites Club. Gut. 2005; 54(5):718725. [LOE 5] 3. Fernndez J, Ruiz del Arbol L, Gmez C, et al. Norfloxacin vs ceftriaxone in the prophylaxis of infections in patients with advanced cirrhosis and hemorrhage. Gastroenterology. 2006; 131(4):10491056. [LOE 1b]

Anda mungkin juga menyukai