Anda di halaman 1dari 12

TUGAS INDIVIDU BLOK 18 ELEKTIF LEPTOSPIROSIS

OLEH :

MUHAMMAD MALIKI 0908120363

DOSEN :

Drg. Burhanuddin Agung, MM

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU 2012

LEPTOPIROSIS
1. Pengertian Leptospirosis adalah penyakit yang disebabkan oleh spirochetes patogen dari genus Leptospira. Hal ini dianggap sebagai zoonosis yang paling umum di dunia. Leptospirosis baru-baru ini dikenal sebagai reemeging infection diseases antara hewan dan manusia. Dan memiliki potensi untuk menjadi lebih sering dengan pemanasan global. Leptosspirosis tersebar di seluruh dunia tetapi paling sering terjadi di daerah tropis termasuk Indonesia. Leptospirosis dikenal juga dengan nama penyakit Weil, demam Interohemorrhage, penyakit Swineherds, demam pesawah (Ricefield fever), demam pemotong tebu (Cane-cutter fever), demam lumpur, jaundis berdarah, penyakit stuttgart, demam Canicola, penyakit kuning non-virus, penyakit air merah pada anak sapi, dan tifusanjing. 2. Etiologi Bakteri penyebab Leptosirosis yaitu bakteri Leptospira sp. Bakteri Leptosprira merupakan Spirochaeta aerobik (membutuhkan oksigen untuk bertahan hidup), motil (dapat bergerak), gram negatif, bentuknya dapat berkerut-kerut, dan terpilin dengan ketat. Bakteri Lepstopira berukuran panjang 6-20 um dan diameter 0,1-0,2 um. Bila terkena bahan bahan kimia atau dimakan oleh fagosit, bakteri dapat kolaps menjadi bola berbentuk kubah dan tipis. Pada kondisi ini, leptospira tidak memiliki aktifitas patogenik, leptospira dapat hidup dalam waktu lama di air, tanah yang lembab, tanaman dan lumpur. 3. Morfologi dan identifikasi Leptospirosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri leptospira. Leptospira adalah bakteri gram negative, Ordo Spirochaetales dalam famili Leptospiraceae, genus Leptospira. Lebih dari 170 serotypes dari leptospira yang patogen telah diidentifikasi dan hampir setengahnya terdapat di Indonesia.

Leptospira berbentuk spiral atau pegas, langsing, lentur, tumbuh lambat pada kondisi aerob, tumbuh optimum pada suhu 280C -300C dengan ukuran panjang 5-25 mikrometer, diameter 0,1-0,2 mikrometer, tebal 0,1 mikron dan panjang gelombang 0,5 mikrometer. Bentuk spiral dengan pilinan yang rapat dan ujung-ujungnya yang bengkok seperti kait dari bakteri leptospira menyebabkan gerakan leptospira sangat aktif, baik gerakan berputar sepanjang sumbunya, maju mundur, maupun melengkung karena ukurannya yang sangat kecil. Memiliki flagella internal internal yang khas, sehingga dapat menembus masuk kedalam jaringan.

Leptospirosis memiliki struktur 2 lapis membran yang terdiri membran sitoplasma dan dinding sel peptidoglikan yang menempel satu sama lain dan dilapisi oleh lapisan bagian luar. Identifikasi leptospira melakukan pewarnaan dengan counterstain carbolfuchsin.

Lipopolisakarida (LPS) pada leptospira memiliki komposisi yang sama dengan bakteri gram negative lainnya, tapi memiliki aktivitas endotoksin yang rendah. LPS merupakan antigen utama yang terlibat dalam klasifikasi serologis. Heterogenitas struktural dalam komponen karbohidrat LPS yang beragam berasal dari perbedaan didalam gen yang terlibat dalam biosintesis LPS, merupakan dasar adanya tingkat variasi antigenik yang sangat luas yang dapat diamati pada berbagai reservoir. Klasifikasi berdasarkan serologis akan digantikan oleh klasifikasi berdasarkan genetik.

4. Patogeneis dan patologi leptosperosis

Pada manusia leptospirosis terjadi akibat tertular oleh binatang pengidap leptospirosa. Patogenesis leptospirosis belum dimengerti sepenuhnya. Bakteri leptospira masuk ke dalam tubuh pejamu melalui luka iris atau luka abrasi pada kulit, mukosa, kunjungtiva atau mukosa utuh yang melapisi mulut, faring, osofagus, bronkus, alveolus dan dapat masuk melalui inhalasi droplet infeksius dan minum air yang terkontaminasi.

Ada dua hipotesis yang diduga berperan dalam pathogenesis penyakit ini. Pertama, adanya kontak langsung bakteri yang menyebabkan reaksi jaringan. Kedua, pathogenesis melalui reaksi imunologi.

Invasi oleh mikroorganisme leptospira akan menimbulkan reaksi imun non-spesifik berupa inflamasi yang diikuti dengan pelepasan mediator kimiawi berupa sitokin dan reaksi spesifik. Kemampuan invasi kuman leptospira disebabkan oleh sifatnya yang motil dan

kemampuan kuman memproduksi hemolisin, enzim seperti katalase, lipase, oksidase, hialuronidase, transaminase, endotoksin dan sphingomielinase C yang berperan dalam menentukan virulensinya. Kuman akan menyebar ke organ organ tubuh melalui peredaran darah sampai kecairan serebrospinal dan humour aqueous dalam bola mata. Beberapa saat kuman akan difagositosis oleh sel monosit-makrofag menyebabkan jumlah kuman dalam peredaran darah menjadi semakin sedikit dan akhirnya menghilang. Bakteri leptospira yang tidak virulen gagal bermultiplikasi dan dimusnahkan oleh sistem kekebalan dari aliran darah setelah 1 atau 2 hari infeksi. Organisme virulen mengalami multiplikasi di darah dan jaringan, dan bakteri leptospira dapat diisolasi dari darah dan cairan serebrospinal pada hari ke-4 sampai 10 perjalanan penyakit.

Bakteri leptospira merusak dinding pembuluh darah kecil, sehingga menimbulkan vaskulitis disertai kebocoran dan ekstravasasi sel. Patogenitas bakteri yang penting adalah perlekatannya pada permukaan sel dan toksisitas selular. Lipopolysaccharide (LPS) pada bakteri leptospira mempunyai aktivitas endotoksin yang berbeda dengan endotoksin bakteri gram negatif, dan aktivitas lainnya yaitu stimulasi perlekatan netrofil pada sel endotel dan trombosit, sehingga terjadi agregasi trombosit disertai trombositopenia. Bakteri leptospira mempunyai fosfolipase yaitu suatu hemolisis yang mengakibatkan lisisnya eritrosit dan membran sel lain yang mengandung fosfolipid.

Organ utama yang terinfeksi kuman leptospira adalah ginjal dan hati. Di dalam ginjal bakteri leptospira bermigrasi ke interstisium, tubulus ginjal dan lumen tubulus. Pada leptospirosis berat, vaskulitis akan menghambat sirkulasi mikro dan meningkatkan permeabilitas kapiler, sehingga menyebabkan kebocoran cairan dan hipovolemia. Hipovolemia akibat dehidrasi dan perubahan permeabilitas kapiler salah satu penyebab gagal ginjal. Ikterik disebabkan oleh kerusakan sel-sel hati yang ringan, pelepasan bilirubin dari jaringan yang mengalami hemolisis intravaskular, kolestasis intrahepatik sampai berkurangnya sekresi bilirubin. Conjungtival suffusion khususnya perikorneal terjadi karena dilatasi pembuluh darah, kelainan ini sering dijumpai dan patognomik pada stadium dini. Keberadaan bakteri leptospira di aqueous humor kadang menimbulkan uveitis kronik berulang.

5. Gejala klinis Gambaran klinis leptospirosis atas 3 fase 1. Fase leptospiremia Demam mendadak tinggi sampai menggigil disertai sakit kepala, nyeri otot, hiperaestesia pada kulit, mual muntah, diare, bradikardi relatif, ikterus, injeksi silier mata. Fase ini berlangsung 4-9 hari dan berakhir dengan menghilangnya gejala klinis untuk sementara.

2. Fase Imun Dengan terbentuknya IgM dalam sirkulasi darah, sehingga gambaran klinis bervariasi dari demam tidak terlalu tinggi, gangguan fungsi ginjal dan hati, serta gangguan hemostatis dengan manifestasi perdarahan spontan.

3. Fase Penyembuhan Fase ini terjadi pada minggu ke 2 - 4 dengan patogenesis yang belum jelas. Gejala klinis pada penelitian ditemukan berupa demam dengan atau tanpa muntah, nyeri otot, ikterik, sakit kepala, batuk, hepatomegali, perdarahan dan menggigil serta splenomegali.

4. Pengobatan

Pengobatan terhadap penderita leptospirosis dapat dilakukan dengan pemberian antibiotik seperti penisilin, streptomisin, tetrasiklin atau erithromisin. Bermacam-macam antibiotik yang tersebut di atas, menurut Turner, pemberian penisilin atau tetrasiklin dosis tinggi dapat memberikan hasil yang sangat baik. Pemberian doksisiklin 200 mg perminggu dapat juga melindungi terjadinya leptospirosis. Pengobatan dengan antibiotika dianggap paling efektif jika dimulai sejak dini.

PERATURAN PERUNDANGAN TENTANG PENGENDALIAN BINATANG PENGERAT

Binatang pengerat adalah binatang yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan, yaitu binatang tikus atau mencit. Binatang pengerat ini lebih dikenal sebagai hama tanaman pertanian, perusak barang digudang, hewan penggangu yang menjijikkan, dan dapat menularkan dan menyebarkan penyakit kepada manusia ternak dan hewan peliharaan. Tikus termasuk rodent, yaitu mamalia yang sangat merugikan, mengganggu kehidupan serta kesejahteraan manusia, tetapi relative bisa hidup berdampingan dengan manusia. Tikus dapat menimbulkan berbagai penyakit, salah satunya penyakit pes yang merupakan penyakit karantina sesuai dengan International Health Regulations (IHR) tahun 1969. Sehingga perlu dilakukan pengendalian binatang pengerat untuk mencegah dan memberantas terjadinya penyakit menular.

1. Pada tempat pengolah makanan Menurut keputusan Kepala Badan Pengawas Obat Dan Makanan Republik Indonesia tentang pedoman cara produksi pangan yang baik untuk industri rumah tangga disampaikan bahwa lingkungan harus bebas dari sarang hama, khususnya serangga dan binatang pengerat. Hama (tikus, serangga, dan lain-lain) merupakan pembawa cemaran biologis yang dapat menurunkan mutu dan keamanan pangan. Kegiatan pengendalian hama dilakukan untuk mengurangi kemungkinan masuknya hama ke ruang produksi yang akan mencemari pangan. 1. Mencegah masuknya hama Lubang-lubang dan selokan yang memungkinkan masuknya hama harus selalu dalam keadaan tertutup. Hewan peliharaan seperti anjing, kucing, dan ayam tidak boleh berkeliaran di Pekarangan irt apalagi di ruang produksi. Bahan pangan tidak boleh tercecer karena dapat mengundang masuknya hama IRT seharusnya memeriksa lingkungannya dari kemungkinan timbulnya sarang hama.

2. Pemberantasan hama

Hama harus diberantas dengan cara yang tidak mempengaruhi mutu dan keamanan pangan. Pemberantasan hama dapat dilakukan secara fisik seperti dengan perangkap tikus atau secara kimia seperti dengan racun tikus. Perlakuan dengan bahan kimia harus dilakukan dengan pertimbangan tidak mencemari pangan.

2. Pemberantasan tikus di wilayah pelabuhan

Sesuai Kepmenkes RI No. 630/Menkes/SK/XII/1985, pasal 1dan 2, Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) sebagai unit pelaksana teknis dibidang pemberantasan dan pencegahan penyakit menular dalam lingkungan Depkes RI, mempunyai tugas pokok melaksanakan pencegahan masuk dan keluarnya penyakit karantina dan penyakit menular tertentu melalui kapal laut dan pesawat udara, pemeliharaan dan peningkatan sanitasi lingkungan di pelabuhan, di kapal laut dan di pesawat udara, serta pelayanan kesehatan terbatas di pelabuhan laut dan udara berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku (DepKes. RI., 1989).

Upaya yang dilakukan oleh KKP dalam program pemberantasan tikus, meliputi upaya pemberantasan tikus di kapal dan pesawat yang dilakukan dengan fumigasi serta upaya pemberantasan tikus di pelabuhan melalui metode mekanik (trapping), kimia (rodenticide, fumigant) maupun peningkatan sanitasi lingkungan (well environmental sanitation)

Pemberantasan tikus di pelabuhan bertujuan untuk menurunkan populasi tikus dan meningkatkan kewaspadaan terhadap kemungkinan adanya penyakit pes pada tikus setempat melalui pengamatan indeks pinjal dan pemeriksaan serologis darah tikus. Pada dasarnya membebaskan suatu daerah dari infestasi tikus dilakukan dengan cara : a. Menciptakan suatu lingkungan yang tidak memungkinkan pemukiman tikus, dengan jalan memperbaiki sanitasi lingkungan dan melaksanakan rat-proofing terhadap semua bangunan. b. Memberantas tikus-tikus yang ada dengan cara :

1. Pemasangan perangkap 2. Penggunaan racun tikus (rodentisida) 3. Penggasan atau fumigasi 4. Biological control, misalnya dengan melepaskan musuh musuh tikus, tetapi hasilnya kurang memuaskan (who, 1999).

Pemberantasan tikus di pelabuhan dilakukan denagn mengenali tanda kehidupan tikus keberadaan tikus dapat dideteksi dengan beberapa cara, yang paling umum adalah adanya kerusakan barang atau alat. Berikut merupakan penilaian adanya kehidupan tikus yaitu (Ehler and Steel, 1950) : a) Gnawing (bekas gigitan) b) Burrows (galian /lubang tanah) c) Dropping (kotoran tikus) d) Runways (jalan tikus) e) Foot print (bekas telapak kaki) f) Tanda lain : Adanya bau tikus, bekas urine dan kotoran tikus, suara, bangkai tikus (WHO, 1972).

2.1 Perbaikan Sanitasi Lingkungan

Tujuan dari perbaikan sanitasi lingkungan adalah menciptakan lingkungan yang tidak favourable untuk kehidupan tikus. Dalam pelaksanaannya dapat ditempuh dengan (Ehlers et.al, 1950) : a) Menyimpan semua makanan atau bahan makanan dengan rapi di tempat yang kedap tikus. b) Menampung sampah dan sisa makanan ditempat sampah yang terbuat dari bahan yang kuat, kedap air, mudah dibersihkan, bertutup rapi dan terpelihara dengan baik. c) Tempat sampah tersebut hendaknya diletakkan di atas fondasi beton atau semen, rak atau tonggak. d) Sampah harus selalu diangkut secara rutin minimal sekali sehari. e) Meningkatkan sanitasi tempat penyimpanan barang/alat sehingga tidak dapat dipergunakan tikus untuk berlindung atau bersarang.

2.2 Peracunan (Poisoning)

Pada umumnya peracunan dapat dilakukan apabila tidak mem bahayakan manusia ataupun binatang peliharaan. Racun tikus terbagi menjadi dua golongan, yaitu single dose poison dan multiple dose poison. Racun tikus yang biasa digunakan adalah arsen, strychnine, phospor, zinkphosphide, redsquill, barium karbonat, atau senyawa yang mengandung salah satu atau lebih dari yang tersebut di atas. Termasuk didalamnya rodentisida yang relatif lebih baru yaitu 1080 (ten eighty), Antu, Warfarin, dan Pival.

2.3 Rat Proofing

Upaya rat proofing bertujuan untuk mencegah masuk dan keluarnya tikus dalam ruangan serta mencegah tikus bersarang di bangunan tersebut. Upaya rat proofing dapat ditempuh dengan jalan (Ristiyanto dan Hadi, 1992) : a) Membuat fondasi, lantai dan dinding bangunan terbuat dari bahan yang kuat, dan tidak ditembus oleh tikus. b) Lantai hendaknya terbuat dari bahan beton minimal 10 cm. c) Dinding dari batu bata atau beton dengan tidak ada keretakan atau celah yang dapat dilalui oleh tikus. d) Semua pintu dan dinding yang dapat ditem bus oleh tikus (dengan gigitannya), dilapisi plat logam hingga sekurang -kurangnya 30 cm dari lantai. Celah antara pintu dan lantai maksimal 6 mm. e) Semua lubang atau celah yang ukurannya lebih dari 6 mm, harus ditutup dengan adukan semen. f) Lubang ventilasi hendaknya ditutup dengan kawat kasa yang kuat dengan ukuran lubang maksimal 6 mm.

2.4 Pemasangan perangkap (trapping)

Macam perangkap tikus yang beredar di pasaran adalah jenis snap/guillotine dan cage trap. Jenis cage trap digunakan untuk mendapatkan tikus hidup, guna diteliti pinjalnya. Biasanya

perangkap diletakkan di tempat jalan tikus atau di tepi bangunan. Pemasangan perangkap lebih efektif digunakan setelah dilakukan poisoning, dimana tikus yang tidak mati karena poisoning, dapat ditangkap dengan perangkap (Ehler et.al, 1950).

3. Pengendalian Tikus di Rumah sakit Menurut Depkes RI dalam pedoman pengendalian tikus di Rumah sakit dilakukan secara fisik dengan melakukan penangkapan (trapping) dan secara kimia dengan menggunakan racun. 3.1 cara penempatan perangkap

Apabila terdapat tanda adanya tikus, pada sore hari dilakukan pemasangan perangkat pada lokasi. Core perangkat diletakkan pada lantai yang ditemukan tanda-tanda keberadaan tikus, inner bound perangkap diletakkan di pinggir saluran air, taman, kolam, didalam semaksemak sekitar TPS, tumpukan barang bekas.

Untuk setiap ruangan dengan luas sampai dengan 10 m2 dipasang satu perangkap. Setiap kelipatan 10 m2 ditambah satu perangkap. Perangkap yang belum berisi tikus dibiarkan selama 3 malam, untuk memberi kesempatan pada tikus yang ada untuk memasuki perangkat dan diperiksa setiap pagi harinya. Pemasangan perangkap dalam upaya pengendalian tikus dilakukan selama tiga hari berturutturut. Setelah itu, tikus yang tertangkat diidentifikasi spesiesnya dan dilakukan pencegahan sesuai dengan jenisnya

3.2 Pengendalian tikus secara kimia

Pengendalian nya dengan menggunakan umpan beracun atau perangkap berumpan racun mempunyai efek sementara, racun perut ( Rodentisia campuran, antikoagulan kronik) adalah umpan beracun yang hanya dianjurkan digunakan didaerah atau tempat yang tidak dicapai oleh hewan domestic dan anak-anak. Biasanya pemilihan terakhir.

Anda mungkin juga menyukai