Anda di halaman 1dari 17

TETANUS I. PENDAHULUAN Tetanus berasal dari bahasa Yunani teinein yang artinya meregang.

Penyakit ini telah dikenal sejak zaman Mesir kuno lebih dari 3000 tahun yang lalu. Hipokrates kemudian mendeskripsikan tetanus sebagai penderitaan manusia yang tiada akhir. Pada tahun 1884 Carle dan Rattone berhasil menimbulkan tetanus pada kelinci dengan menginjeksi nervus skiatik dengan pus dari manusia penderita tetanus. Pada tahun yang sama, Nicolaier berhasil menimbulkan tetanus pada hewan dengan menginjeksikan tanah. Pada tahun 1889 Kitasato berhasil mengisolasi C. tetani dari manusia pada kultur murni dan membuktikan bahwa organisme tersebut menimbulkan penyakit apabila diinjeksikan pada hewan. Kitasato juga melaporkan bahwa toksin C. tetani dapat dinetralisir oleh antibodi spesifik yang dibentuk oleh tubuh. Nocard kemudian membuktikan efek protektif antibodi yang ditransfer secara pasif pada tahun 1897. Imunisasi pasif ini digunakan untuk pengobatan dan profilaksis tetanus selama PerangDunia I. Descombey kemudian mengembangkan imunisasi aktif tetanus toksoid pada tahun 1924 dan digunakan secara luas selama Perang Dunia II.[1] Tetanus terutama ditemukan pada negara-negara kurang dan sedang berkembang dengan iklim hangat dan lembap yang padat penduduk misalnya Brazil, Filipina,Vietnam, Indonesia, dan negara-negara di Afrika. Tetanus merupakan salah satu penyakit yang menjadi target program imunisasi World Health Organization. Di negara berkembang, tetanus masih umum penyakit, terutama pada bayi baru lahir, yang dapat terinfeksi spora tetanus melalui tali pusat (tetanus neonatorum). Di Amerika Serikat, tingkat kejadian tetanus adalah sekitar satu dari satu juta kasus per tahun. Injeksi heroin yang terkontaminasi merupakan penyebab signifikan. Sekitar dua-pertiga dari semua cedera yang menyebabkan tetanus terjadi dari dalam goresan dan luka tusukan di rumah dan sekitar 20 persen di kebun dan peternakan. Lingkungan tanah Indonesia yang kaya akan C. tetani dan angka mortalitas yang tinggi menuntut dokter umum untuk menguasai pencegahan dan penanganan tetanus. [2]

II. DEFINISI Tetanus adalah penyakit infeksi yang diakibatkan toksin kuman clostridium tetani, yang masuk melalui luka bermanifestasi sebagai kejang otot paroksismal, diikuti kekakuan otot seluruh badan (spasme).[3] Kekakuan tonus otot ini selalu tampak pada otot masseter dan otot- otot rangka.[9]

III. EPIDEMIOLOGY Tetanus terjadi secara sporadis dan hampir selalu mengenai orang yang tidak imun, orang yang memiliki imunitas parsial dan individu yang imun secara penuh yang gagal mempertahankan imunitas adekuat dengan dosis vaksin ulangan juga bisa terkontaminasi. Meskipun tetanus secara keseluruhan bisa dicegah dengan imunisasi, beban penyakit di dunia cukup besar. Tetanus merupakan sebuah penyakit yang penting di banyak negara, tetapi pelaporan diketahui tidak akurat dan tidak lengkap, terutama pada negara-negara berkembang. Sebagai hasilnya, WHO mempertimbangkan jumlah kasus yang dilaporkan masih dibawah angka yang sesungguhnya dan secara periodis melakukan perkiraan kasus/kematian untuk menilai beban penyakit. Pada tahun 2002 (tahun terakhir yang tersedia datanya), jumlah perkiraan kematian yang berhubungan dengan tetanus pada semua kelompok adalah 213.000, dimana 180.000 (85%) adalah tetanus neonatal. Sebaliknya, hanya18.781 total kasus dan 11.762 kasus neonatal yang benar-benar dilaporkan pada tahun itu. Tetanus sering terjadi dalam wilayah tanah pertanian, dalam iklim yang hangat, selama bulan-bulan musim panas, dan pada laki-laki. Pada negara-negara tanpa program imunisasi yang komprehensif, tetanus terutama terjadi pada neonatus dan anak kecil yang lain. Penting diperhatikan bahwa program internasional untuk menghilangkan tetanus neonatus telah dilakukan selama beberapa kali. [6] Di AS dan Negara-negara lain dengan program imuninasi yang sukses, tetanus neonatus jarang (hanya tiga kasus yang dilaporkan di AS selama 1990-2004), dan penyakit ini mengenai kelompok usia yang lain dan kelompok yang tidak secara sempurna tertutup oleh imunisasi (seperti kelompok selain kulit putih). Sejak 1976, hanya kurang dari 100 kasus yang dilaporkan setiap tahunnya. Di AS, sebagian

besar kasus tetanus mengikuti cedera akut (luka tusuk, laserasi, abrasi atau trauma lain). Tetanus bisa didapatkan di dalam ruangan atau selama aktivitas di luar ruangan (misalnya bertani dan berkebun). Luka yang terinfeksi mungkin saja besar atau bisa juga terlihat biasa sehingga terabaikan saat pemeriksaan medis. Dalam beberapa kasus, tidak ada cedera atau pintu masuk yang bisa dicurigai. Penyakit ini bisa memberikan komplikasi pada kondisi-kondisi kronik seperti ulkus kulit, abses, dan gangren. Tetanus juga dikaitkan dengan luka bakar, frostbite, infeksi telinga tengah,pembedahan, aborsi, kelahiran anak, tindik badan, dan penyalahgunaan obat. [5] Pada dasarnya tetanus adalah penyakit yang terjadi akibat pencemaran lingkungan oleh bahan biologis (spora) sehingga upaya kausal menurunkan attack rate adalah dengan cara mengubah lingkungan fisik atau biologik. Port dentree tak selalu dapat diketahui dengan pasti, namun diduga melalui : 1. Luka tusuk, patah tulang, komplikasi kecelakaan, gigitan binatang, luka bakar yang luas. 2. Luka operasi, luka yang tidak dibersihkan (debridement) dengan baik. 3. Otitis media, karies gigi, luka kronik. 4. Pemotongan tali pusat yang tidak steril, pembubuhan puntung tali pusat dengan kotoran binatang, bubuk kopi, bubuk ramuan, dan daun-daunan merupakan penyebab utama masuknya spora pada puntung tali pusat yang menyebabkan terjadinya kasus tetanus neonatorum. Menurut survei di lima rumah sakit pusat/provinsi di kota Jakarta , Bandung , Makassar dan Palembang selama tahun 1991-1996, terdapat rata-rata 10-25 kasus per tahun per rumah sakit dengan angka kematian 7-23%. Golongan umur yang paling sering penyakit ini adalah bayi (26%), disusul anak 5-9 tahun (19%), anak balita 1-4 tahun (15%) dan usia lebih > 10 tahun (12%). [6] IV. ETIOLOGI Clostridium tetani adalah kuman berbentuk batang, ramping, berukuran 2-5 X 0.4 0.5 millimikron. Kuman ini berspora termasuk golongan Gram positif dan hidupnya anaerob. Spora dewasa mempunyai bagian yang berbentuk bulat yang letaknya di ujung, penabuh gendering (drum stick).[4] Bakteri tetanus bersifat obligat anaerob yaitu berbentuk vegetative pada lingkungan tanpa oksigen dan rentan terhadap panas serta disinfektan. Pada bentuk vegatif dapat bergerak aktif dengan flagella serta menghasilkan eksotoksin.[6] Eksotoksin menghasilkan tetanolisin dan tetanospasmin. Tetanolisin tidak penting dalam pathogenesis tetanus. Tetanospasmin sangat penting dalam pathogenesis tetanus, tetanospasmin menyebar ke sistem saraf pusat menyebabkan kejang otot yang berlanjut dan bisa mengakibatkan tetanus yang kronik dengan menghalangi inhibitor
3

neurotransmission.[7] Toksin ini labil pada pemanasan, pada suhu 65 oc akan hancur dalam 5 menit. [9] Pada lingkungan yang tidak kondusif bakteri akan membentuk spora yang tahan terhadap panas termasuk perebusan ( tetapi hancur pada pemanasan dengan otoklaf), kekeringan dan berbagai disinfektan. Spora dapat bertahan hidup bertahun-tahun dan berada di mana saja seperti tanah, debu, serbuk antiseptik , bahkan pada peralatan operasi. Bakteri hidup dalam habitat utamanya yaitu tanah yang mengandung kotoran ternak , kuda dan hewan lainnya sehingga daerah perternakan atau pertanian berisiko tinggi terhadap penyebaran penyakit ini. [6]

Perwarnaan gram C.Tetani V. PATOFISIOLOGI Clostridium tetani sendiri tidak menyebabkan inflamasi. Dalam kondisi anaerobic yang dijumpai pada jaringan nekrotik dan terinfeksi, basil tetanus mensekresi dua macam toksin; tetanospasmin & tetanolisin. Tetanolisin secara local mampu merusak jaringan yang masih hidup yang mengelilingi sumber infeksi dan mengoptimalkan kondisi yang memungkinkan multiplikasi bakteri. Tetanospasmin menghasilkan sindroma klinis tetanus. Toksin ini merupakan polipeptida rantai ganda dengan berat 150.000 Da yang semula bersifat inaktif. Rantai berat (100.000 Da) dan rantai ringan (50.000 Da) dihubungkan oleh suatu ikatan yang sensitive terhadap protease dan dipecah oleh protease jaringan yang menghasilkan jembatan disulfide yang menghubungkan dua rantai ini. Ujung karboksil dan rantai berat terikat pada membrane saraf dan ujung amino yang memungkinkan masuknya toksin ke dalam sel. Sedangkan rantai ringan bekerja pada presinaptik untuk mencegah pelepasan neurotransmitter dari neuron yang dipengaruhi. [9] Penyebaran Toksin
4

Toksin dan kuman tetanus kini telah dapat diisolasi dengan cara sekuensi DNA. Bentuk toksin ini serupa dengan bentuk toksin Botullinum, terdiri atas rantai berat dan rantai ringan yang terhubung oleh jembatan disulfide. Rantai berat bermanfaat untuk neuronal uptake dan transport toksin pada motor neuron, sedangkan rantai ringan merupakan zinc-dependend endopeptidase yang bertanggung jawab terhadap aksi patologis toksin. Terminal N dari rantai berat diduga terlibat pada pemilihan dan perjalanan interneuronal, sementara terminal C bertanggung jawab pada aksi neuronal uptake spesifik dari toksin. Area ini diketahui memiliki 4 tempat ikatan dengan karbohidrat dan terlihat berinteraksi dengan polisialogangliosida dan glycosylphosphatidylinositol (GPI)-anchored glycoproteins. Kedua komponen ini diyakini merupakan 2 komponen membrane sel yang memediasi ikatan spesifik dengan toksin. [9] Toksin yang dihasilkan oleh spora yang terbentuk di dalam luka, terutama luka terbuka akan menyebar dengan cara: Masuk kedalam otot Toksin masuk melalui otot yang terkena luka, terutama luka pada ekstremitas, luka terinfeksi paska operasi, luka yang kurang vaskularisasi atau luka bakar. Meskipun demikian 20% pasien tetanus tidak memiliki riwayat luka yang jelas sebagai tempat masuk kuman. Dari otot akan menyebar ke otot yang berdekatan. Dari otot yang terkena luka toksin akan menyebar ke otot-otot yang dekat disekitarnya sehingga daerah asal tempat toksin menyebar melalui jalur neural akan meningkat dan terjadi peningkatan jumah saraf yang terlibat dalam transport toksin ke susunan saraf pusa. Para ahli menduga mekanisme ini terutama dijalankan oleh tetanolisin yang memfasilitasi kerusakan jaringan sekitar luka sehingga menjadi lingkungan yang baik bagi pertumbuhan Clostridium tetani selanjutnya. [9] Penyebaran ke sistem limfatik Toksin yang berasal dari jaringan dengan cepat akan menyebar ke nodulimfatikus regional. Injeksi dan blocking nodus limfatikus regional dengan antitoksin akan mencegah perkembangan tetanus. Dari nodus limfatikus toksin segera mengalir melalui system limfatik ke dalam aliran darah. [9] Penyebaran dalam aliran darah Toksin kemudian akan diserap melalui aliran darah terutama melalui system limfatik, namun mungkin juga terjadi secara langsung melalui kapiler-kapiler di dekat depot toksin. Semakin banyak jumlah toksin di dalam darah maka semakin banyak toksin yang dapat dinetralisasi, karena antitoksin dapat diberikan melalui intravena. Namun jika deposit di dalam otot lebih banyak tetanus asendens yang bersifat letal akan terus berkembang karena transpor toksin ke susunan saraf sepanjang jaras saraf. Penyebaran toksin tidak langsung melalui aliran darah ke susunan saraf pusat karena adanya hambatan melewati sawar darah otak. Kepentingan fase ini dalam penyebaran toksin adalah perannya yang penting dalam menyebarkan toksin ke otot-otot sehingga jumlah jalur asenden ke system saraf bertambah pula. [9]

Masuknya toksin ke susunan saraf pusat Toksin tetanus mencapai susunan saraf pusat melalui transport retrograde sepanjang jalur aksonal. Toksin yang terbentuk dalam luka atau toksin yang disuntikkan secara subkutan setelah menyebar ke otot yang terinfeksi dan otot-otot terdekat disekitarnya pertama akan berikatan dengan reseptor membrane terminal presinaps di dalam otot. Reseptor ini merupakan suatu gangliosid. Selanjutnya toksin akan berinternalisasi dan naik sepanjang akson saraf perifer di dalam otot menuju sel-sel kornu anterior segmen spinalis yang menginervasi otot yang terinfeksi. Toksin di dalam luka juga akan mencapai dan bersirkulasi dalam aliran darah. Toksin ini akan merembes melalui membrane permeable pembuluh darah intramuskuler. Pada jalur ini toksin berdifusi untuk mencapai saraf dan kepala. Setelah toksin berikatan dengan reseptor di saraf terminal seluruh otot tubuh ia akan naik sepanjang akson sel saraf di seluruh tubuh untuk mencapai badan sel alfa motor neuron di medulla spinalis dan batang otak.[9] Toksin tetanus dialirkan baik melalui saraf sensoris, otonom, maupun motorik. Toksin berjalan secara retrograde di susunan saraf perifer. Selanjutnya toksin berhenti dan berakumulasi di ganglion radiks dorsalis juga melalui saraf adrenergic menuju inti intermediolateral di medulla spinalis yang mengurus saraf simpatis. [9] Di dalam medulla spinalis dan batang otak toksin meninggalkan sel kornu anterior dan nucleus motorik di batang otak untuk menyebrangi celah sinaptik dan mencapai bagian terminal neuron inhibitor. Di bagian in toksin akan berikatan dengan reseptor di membrane presinaps. Inhibisi ini terutama terjadi pada saraf motorik dan otonom. Toksin tetanus bekerja dengan cara menghambat pelepasan neurotransmiter inhibisi. Patomekanisme toksin di dalam tubuh manusia adalah melalui ikatan dengan permukaan luar membrane presinaps diperantarai oleh adanya fragmen C yang berikatan dengan reseptor polisialogangliosid GD1b dan G1, internalisasi molekul toksin, dan mempengaruhi afinitas kalsium yang menyebabkan gagalnya pelepasan neurotransmiter inhibisi. [9] Spora C. tetani masuk ke dalam tubuh melalui luka. Spora yang masuk ke dalam tubuh tidak berbahaya sampai dirangsang oleh beberapa faktor (kondisi anaerob), sehingga berubah menjadi bentuk vegetatif dan berbiak dengan cepat tetapi hal ini tidak mencetuskan reaksi inflamasi. Gejala klinis sepenuhnya disebabkan oleh toksin yang dihasilkan oleh sel vegetatif yang sedang tumbuh. C. tetani menghasilkan dua eksotoksin, yaitu tetanospasmin dan tetanolisin. Tetanolisin menyebabkan hemolisis tetapi tidak berperan dalam penyakit ini. Gejala klinis tetanus disebabkan oleh tetanospasmin. Tetanospasmin melepaskan pengaruhnya di keempat sistem saraf: (1) motor end plate di otot rangka, (2) medula spinalis, (3) otak, dan (4) pada beberapa kasus, pada sistem saraf simpatis. Diperkirakan dosis letal minimum pada manusia sebesar 2,5 nanogram per kilogram berat badan (satu nanogram = satu milyar gram), atau 175 nanogram pada orang dengan berat badan 70 kg.

Hipotesis bahwa toksin pada awalnya merambat dari tempat luka lewat motor end plate dan aksis silinder saraf tepi ke kornu anterior sumsum tulang belakang dan menyebar ke susunan saraf pusat lebih banyak dianut daripada lewat pembuluh limfe dan darah. Pengangkutan toksin ini melewati saraf motorik, terutama serabut motorik. Reseptor khusus pada ganglion menyebabkan fragmen C toksin tetanus menempel erat dan kemudian melalui proses perlekatan dan internalisasi, toksin diangkut ke arah sel secara ektra aksional dan menimbulkan perubahan potensial membran dan gangguan enzim yang menyebabkan kolinesterase tidak aktif, sehingga kadar asetilkolin menjadi sangat tinggi pada sinaps yang terkena. Toksin menyebabkan blokade pada simpul yang menyalurkan impuls pada tonus otot, sehingga tonus otot meningkat dan menimbulkan kekakuan. Bila tonus makin meningkat akan menimbulkan spasme terutama pada otot yang besar. [9] Dampak toksin antara lain : 1. Dampak pada ganglion pra sumsum tulang belakang disebabkan karena eksotoksin memblok sinaps jalur antagonis, mengubah keseimbangan dan koordinasi impuls sehingga tonus otot meningkat dan otot menjadi kaku. 2. Dampak pada otak, diakibatkan oleh toksin yang menempel pada gangliosida serebri diduga menyebabkan kekakuan dan spasme yang khas pada tetanus. 3. Dampak pada saraf otonom, terutama mengenai saraf simpatis dan menimbulkan gejala keringat yang berlebihan, hipertermia, hipotensi, hipertensi, aritmia, heart block, atau takikardia. [8] VI. GAMBARAN KLINIS Periode inkubasi (rentang waktu antara trauma dengan gejala pertama) rata-rata 710 hari dengan rentang 1-60 hari. Onset (rentang waktu antara gejala pertama dengan spasme pertama) bervariasi antara 1-7 hari. Inkubasi dan onset lebih pendek berkaitan dengan tingkat keparahan penyakit yang lebih berat. Minggu pertama ditandai dengan rigiditas dan spasme otot yang makin semakin parah. Gangguan otonomik biasanya dimulai beberapa hari setelah spasme dan bertahan sampai 1-2 minggu. Spasme berkurang setelah 2-3 minggu tetapi kekakuan tetap bertahan lebih lama. Pemulihan terjadi karena tumbuhnya lagi akson terminal dan karena penghancuran toksin. Pemulihan bisa memerlukan waktu sampai 4 minggu. [8] Ada empat bentuk tetanus yang dikenal secara klinis, yakni : 1. Generalized tetanus (Tetanus umum) Tetanus umum merupakan bentuk yang sering ditemukan. Derajat luka bervariasi, mulai dari luka yang tidak disadari hingga luka trauma yang terkontaminasi. Masa inkubasi sekitar 7-21 hari, sebagian besar tergantung dari jarak luka dengan SSP.
7

Penyakit ini biasanya memiliki pola yang desendens. Tanda pertama berupa trismus/lock jaw, diikuti dengan kekakuan pada leher, kesulitan menelan, dan spasme pada otot abdomen. Gejala utama berupa trismus terjadi sekitar 75% kasus, seringkali ditemukan oleh dokter gigi dan dokter bedah mulut. Gambaran klinis lainnya meliputi iritabilitas, gelisah, hiperhidrosis dan disfagia dengan hidrofobia, hipersalivasi dan spasme otot punggung. Manifestasi dini ini merefleksikan otot bulbar dan paraspinal, mungkin karena dipersarafi oleh akson pendek. Spasme dapat terjadi berulang kali dan berlangsung hingga beberapa menit. Spasme dapat berlangsung hingga 3-4 minggu. Pemulihan sempurna memerlukan waktu hingga beberapa bulan. [8] 2. Localized tetanus (Tetanus lokal) Tetanus lokal terjadi pada ektremitas dengan luka yang terkontaminasi serta memiliki derajat yang bervariasi. Bentuk ini merupakan tetanus yang tidak umum dan memiliki prognosis yang baik. Spasme dapat terjadi hingga beberapa minggu sebelum akhirnya menghilang secara bertahap. Tetanus lokal dapat mendahului tetanus umum tetapi dengan derajat yang lebih ringan. Hanya sekitar 1% kasus yang menyebabkan kematian. [8] 3. Cephalic tetanus (Tetanus sefalik) Tetanus sefalik umumnya terjadi setelah trauma kepala atau terjadi setelah infeksi telinga tengah. Gejala terdiri dari disfungsi saraf kranialis motorik (seringkali pada saraf fasialis). Gejala dapat berupa tetanus lokal hingga tetanus umum. Bentuk tetanus ini memiliki masa inkubasi 1-2 hari. Prognosis biasanya buruk. [8] 4. Tetanus neonatorum Bentuk tetanus ini terjadi pada neonatus. Tetanus neonatorum terjadi pada negara yang belum berkembang dan menyumbang sekitar setengah kematian neonatus. Penyebab yang sering adalah penggunaan alat-alat yang terkontaminasi untuk memotong tali pusat pada ibu yang belum diimunisasi. Masa inkubasi sekitar 3-10 hari. Neonatus biasanya gelisah, rewel, sulit minum ASI, mulut mencucu dan spasme berat. Angka mortalitas dapat melebihi 70%. [8] VII. DIAGNOSIS Diagnosis utama mutlak didasarkan pada gejala klinis. Penyakit ini ditandai oleh suatu serangan hipertonia akut, nyeri otot saat berkontraksi (biasanya terjadi pada otot rahang dan otot leher) dan spasme otot secara umum tanpa penyebab medis yang nyata. Diagnosis dapat ditegakkan dari gejala klinik & riwayat terjadinya luka.
8

Riwayat ini kadang dianggap sepele & terlupakan oleh pasien. Oleh karena itu dibutuhkan anamnesis yang lebih teliti. o Kultur : Secret luka hendaknya dikultur pada kasus yang dicurigai tetanus. Kultur yang positif bukan merupakan bukti bahwa organism tersebut menghasilkan toksin dan menyebabkan tetanus. o Lab Darah : Leukosit mungkin meningkat. o Pemeriksaan cairan cerebrospinalis menunjukkan hasil yang normal. o Elektromyogram mungkin menunjukkan impuls unit-unit motorik dan pemendekan atau tidak adanya interval tenang yang secara normal dijumpai setelah potensial aksi. o Elektrokardiogram : perubahan non-spesifik. o Enzim : enzim otot meningkat o Kadar antitoksin serum 0,15 U/ml dianggap protektif dan pada kadar ini tetanus tidak mungkin terjadi, walaupun ada bberapa kasus yang terjadi pada kadar antitoksin yang protekti[8]. VIII. PENATALAKSANAAN Menurut Thwaites (2002), penatalaksanaan tetanus sebagai berikut: 1. Eradikasi Bakteri Kausatif [10] Metronidazol Aktif melawan bakteri anaerob dan protozoa. Dapat diabsorbsi ke dalam sel senyawa termetabolisme sebagian yang terbentuk mengikat dan DNA dan

menghambat sintesis protein, yang menyebabkan kematian sel. Direkomendasikan terapi selama 10-14 hari. Beberapa ahli merekomendasikan metronidazol sebagai antibiotika pada terapi tetanus karena penissilin G juga merupakan agonis GABA yang dapat memperkuat efek toksin. Dosis Dewasa : 500 mg per oral tiap 6 jam selama 7-10 hari atau 1 g i.v tiap 12 jam, tidak lebih dari 4g/hari. Dosis Pediatrik : 15-30 mg/kgBB/hari i.v terbagi tiap 8-12 jam tidak lebih dari 2 g/hari Kontraindikasi : Hipersensitifitas, trimester pertama kehamilan.[9]

Penisilin Sebagai lini kedua dapat diberikan penisilin prokain 50.000-100.000 U/kgBB/hari selama 7-10 hari, jika terdapat hipersensitif terhadap penisilin dapat diberikan tetrasiklin 50 mg/kgBB/hari (untuk anak berumur lebih dari 8 tahun). Penisilin membunuh bentuk vegetatif C.tetani. Sampai saat ini, pemberian penisilin G secara parenteral dengan dosis 100.000 U/kgBB/hari secara iv, setiap 6 jam selama 10 hari direkomendasikan pada semua kasus tetanus. Sebuah penelitian menyatakan bahwa penisilin mungkin berperan sebagai agonis terhadap tetanospasmin dengan menghambat pelepasan asam aminobutirat gama (GABA).
[8]

2. Manajemen Luka [10] Merawat dan membersihkan luka memakai teknik aseptik. Irigasi luka. Debridement luka (eksisi jaringan nekrotik) di ruangan tindakan khusus/ruang operasi. Tindakan debridement luka (eksisi jaringan nekrotik) sangat dibutuhkan untuk membuang jaringan nekrotik yang dapat menghalangi proses penyembuhan luka dengan menyediakan tempat untuk pertumbuhan bakteri. Saat ini, selain dengan melakukan tindakan debridement luka secara pembedahan, untuk membuang jaringan nekrotik pada luka tetanus dapat digunakan bahan terapi topikal modern yang lebih hemat biaya (seperti hidrogel) yang berfungsi sebagai autolisis debridement. Autolisis debridement adalah suatu cara peluruhan jaringan nekrotik yang dilakukan oleh tubuh sendiri dengan syarat utama: lingkungan luka harus dalam keadaan lembab. Pada keadaan lembab, enzim proteolitik secara selektif akan melepas jaringan nekrotik. Pada keadaan melunak, jaringan nekrosis akan mudah lepas dengan sendirinya. Dengan metode autolisis debridement ini, diharapkan dapat mengurangi tindakan manipulasi terhadap terjadinya spasme/kejang pada anak. Perawatan luka pada tetanus dengan menggunakan bahan terapi topikal adalah sebagai berikut: Dengan teknik aseptik, bersihkan luka/cuci luka dengan menggunakan cairan fisiologis (normal saline/NaCl 0,9%). Dengan memperhatikan sifat

10

luka tetanus, dimana anak mudah terangsang mengalami spasme, teknik pencucian luka tidak boleh digosok, tetapi lakukan dengan irigasi lembut. Bila menggunakan metode semprot, gunakan jarum no. 18 dan jangan terlalu kencang menyemprotnya untuk mencegah spasme dan mencegah resiko perdarahan pada jaringan yang rapuh. Kemudian oleskan hidrogel ke dalam luka. Posisi luka pasien harus mudah dicapai sehingga hidrogel dapat diolesi langsung kedalam luka. Tutup dengan kasa yang sangat tipis dengan sedikit plester, tetapi tidak terlalu rapat (karena hidrogel memerlukan balutan sekunder). Membuang benda asing dalam luka. Kompres dengan H2O2. Luka dibiarkan terbuka. [8]

3. Netralisasi antitoksin yang belum terikat Tetanospasmin akan terikat secara ireversibel dengan jaringan, dan hanya toksin yang tidak terikat sajalah yang dapat dinetralisasi. Imunisasi pasif dengan Human Tetanus Immune Globuline (HTIG) akan memperpendek perjalanan penyakit tetanus dan meningkatkan angka keselamatan. Dosis yang dianjurkan oleh El Haddad adalah 500 unit HTIG diberikan secara intramuskuler segera setelah diagnosis tetanus ditegakkan. Dosis HTIG untuk profilaksis dewasa adalah 250-500 U IM pada ekstremitas dan dosis profilaksis anak adalah 250 U IM pada ekstremitas (kontralateral dengan lokasi penyuntikan TT). [10] 4. Terapi suportif selama fase akut Diazepam Diazepam dilaporkan memiliki efektivitas yang baik dengan efek depresi napas yang lebih rendah dibandingkan dengan golongan barbiturat.[10] Dosis diazepam yang direkomendasikan adalah 0,5-10 mg/kgBB. Untuk spasme ringan, 5-20 mg p.o. setiap 8 jam bila perlu. Untuk spasme sedang, 5-10 mg/kgBB IV bila perlu, tidak melebihi dosis 80-120 mg dalam 24 jam atau dalam bentuk drip. Spasme berat, 50-100 mg dalam 500 mL dekstrose 5% dan diinfuskan dengan kecepatan 10-15 mg/jam diberikan dalam 24 jam. klinis pasien.[9] Kontraindikasi : Hipersensitivitas, glaukoma sudut sempit.
[10]

Setelah spasme berhenti,

pemberian diazepam dilanjutkan dengan dosis rumatan sesuai dengan keadaan

11

Interaksi: Toksisitas benzodiazepin pada sistem saraf pusat meningkat apabila dipergunakan bersamaan dengan alkohol. Fenothiazin, barbiturat, dan MAOI ; cisapride dapat meningkatkan kadar diazepam secara bermakna.[9] Fenobarbital

Dosis obat harus sedemikian rendah sehingga tidak menyebabkan depresi pernafasan. Jika pada pasien terpasang ventilator, dosis yang lebih tinggi diperlukan untuk mendapatkan efek sedasi yang diinginkan Dosis dewasa: 1 mg/kg i.m tiap 4-6 jam, tidak melebihi 400 mg/hari. Dosis pediatrik 5 mg/kg i.v/i.m dosis terbagi 3 atau 4 hari Kontraindikasi: Hipersensitifitas, gangguan fungsi hati, penyakit paru-paru berat, dan pasien nefritis. Interaksi: Dapat menurunkan efek kloranfenikol, digitoksin, kortikosteroid, karbamazepin, teofilin, verapamil, metronidazol, dan antikoagulan (pasien yang telah mendapatkan antikoagulan harus ada penyesuaiandosis; pemberian bersamaan dengan alkohol dapat menyebabkan efek aditif ke sistem saraf pusat dan kematian; kloramfenikol, asam valproat, dan MAO dapat menyebabkan meningkatnya toksisitas fenobarbital : rifampisin dapat menurunkan efek fenobarbital; induksi enzim, mikrosomal dapat menurunkan efek kontrasepsi oral pada wanita. IX. DIAGNOSIS BANDING Diagnosis banding tergantung dari manifestasi klinis utama dari penyakit. Diagnosis bandingnya adalah sebagai berikut : 1. Meningitis, meningoensefalitis, ensefalitis. Pada ketiga diagnosis tersebut tidak dijumpai trismus, risus sardonikus. Namun dijumpai gangguan kesadaran dan terdapat kelainan likuor serebrospinal. 2. Tetani disebabkan oleh hipokalsemia. Secara klinis dijumpai adanya spasme karpopedal. 3. Keracunan striknin : minum tonikum terlalu banyak (pada anak). 4. Rabies :dijumpai gejala hidrofobia dan kesukaran menelan, sedangkan pada anamnesis terdapat riwayat digigit binatang pada waktu epidemi. 5. Trismus akibat proses lokal yang disebabkan oleh mastoiditis, otitis media supuratif kronis (OMSK) dan abses peritonsilar. Biasanya asimetris.[8]

12

X. KOMPLIKASI Sistem Jalan Nafas Komplikasi Aspirasi Laringospasme/obstruksi Obstruksi berkaitan dengan sedatif Respirasi Apnea Hipoksia Gagal nafas tipe 1* (atelektasis, aspirasi, pneumonia) Gagal nafas tipe 2* (spasme laringeal, berlebihan) ARDS Komplikasi bantuan ventilasi berkepanjangan pneumonia) Komplikasi trakeostomi (seperti stenosis trachea) Kardiovasukeler Ginjal Gagal ginjal curah tinggi Takikardia Hipertensi Iskemik Hipotensi Bradikardi Takiaritmia Bradiaritmia Asistol Gagal jantung (seperti spasme trunkal sedasi bekepanjangan,

13

Gastrointestinal Lain-lain

Gagal ginjal oligouria Stasis urin dan infeksi

Stasis gaster Ileus Diare Perdarahan

Penurunan berat badan Tromboembolus Sepsis dengan gagal organ multipel Fraktur vertebra selama spasme Ruptur tendon akibat spasme XI. PROGNOSIS Derajat Keparahan penyakit tetanus dapat ditentukan melalui sistem klasifikasi Menurut Albett: Derajat I ( Ringan) : Trismus ringan sampai sedang, spastisitas generalisata, tanpa gangguan pernafasan, tanpa spasme, sedikit atau tanpa disfagia. Derajat II ( Sedang ) : Trismus sedang, rigiditas Nampak jelas, spasme ringansedang, gangguan pernafasan sedang dengan frekuensi pernafasan >30, disfagia ringan. Derajat III ( Berat ) : Trismus berat, spastisitas generalisata, spasme reflex berkepanjangan, frekuensi pernafasan >40, apnea, disfagia berat & takikardi >120. Derajat IV ( Sangat Berat ) : Derajat II dengan gangguan otonomik yang melibatkan system kardiovaskuler. Hipertensi berat & takikardi berselingan dengan hipotensi dan bradikardia. [8] Rata-rata angka kematian akibat tetanus berkisar antara 25-75%, tetapi angka mortalitas dapat diturunkan hingga 10-30 persen dengan perawatan kesehatan yang modern. Banyak faktor yang berperan penting dalam prognosis tetanus. Diantaranya adalah masa inkubasi, masa awitan, jenis luka, dan keadaan status imunitas pasien. Semakin pendek masa inkubasi, prognosisnya menjadi semakin buruk. Semakin pendek masa awitan, semakin buruk prognosis. Letak, jenis luka dan luas kerusakan jaringan turut memegang peran dalam menentukan prognosis. Jenis tetanus juga memengaruhi
14

prognosis. Tetanus neonatorum dan tetanus sefalik harus dianggap sebagai tetanus berat, karena mempunyai prognosis buruk. Sebaliknya tetanus lokal yang memiliki prognosis baik. Pemberian antitoksin profilaksis dini meningkatkan angka kelangsungan hidup, meskipun terjadi tetanus.[8] Philips Score Waktu Masuk Masa Inkubasi > 14 hari > 10 hari 5 10 hari 2 5 hari < 48 jam Imunisasi Lengkap < 10 tahun > 10 tahun Ibu diimunisasi Tidak diimunisasi Luka Infeksi Suhu Tidak diketahui Distal/perifer Proksimal Kepala Badan Komplikasi Tidak ada Ringan Tidak membahayakan Mengancam Nyawa (tidak langsung) Mengancam nyawa Interpretasi <9 > 18 : Ringan ( Prognosis Baik ) : Berat ( Prognosis Buruk ) 9 18 : Sedang ( Ragu-ragu ) XII. PENCEGAHAN Skor Selama Perawatan Spasme 1 2 3 4 5 0 2 4 8 10 1 2 3 4 5 1 2 4 8 10 Hanya trismus Kaku seluruh badan Kejang terbatas Kejang seluruh badan Optistotonus Frekuensi Spasme 6 x dalam 12 jam Dengan rangsangan Terkadang spontan Spontan < 3x per 15 menit Spontan > 3x per 15 menit Suhu 36.7 - 37 C 37.1 37.7 C 37.8 38.2 C 38.3 38.8 C > 38.8 C Pernafasan Sedikit berubah Apnea saat kejang Kadang apnea setelah kejang Selalu apnea setelah kejang Perlu trakeostomi Skor 1 2 3 4 5 1 2 3 4 5 1 2 4 8 10 0 2 4 8 10

15

Pencegahan sangat penting, mengingat perawatan kasus tetanus sulit dan mahal. Untuk pencegahan, perlu dilakukan: 1. Imunisasi aktif Imunisasi dengan toksoid tetanus merupakan salah satu pencegahan yang sangat efektif. Angka kegagalannya relatif rendah. Terdapat dua jenis toksoid tetanus yang tersedia adsorbed (aluminium salt precipitated) toxoid dan fluid toxoid. Toksoid tetanus tersedia dalam kemasan antigen tunggal, atau dikombinasi dengan toksoid difteri sebagai DT atau dengan toksoid difteri dan vaksin pertusis aselular sebagai DPT. Kombinasi toksoid difteri dan tetanus (DT) yang mengandung 10-12 Lf dapat diberikan pada anak yang memiliki kontraindikasi terhadap vaksin pertusis. Jenis imunisasi tergantung dari golongan umur dan jenis kelamin.[8] Tetanus Toxoid harus diberikan jika riwayat booster terakhir lebih dari 10 tahun dan jika riwayat imunisasi tidak diketahui. Jika riwayat imunisasi terakhir lebih dari 10 tahun yang lalu, maka HTIG (Human Tetanus Immunoglobulin) juga harus diberikan. Dosis TT (tetanus toxoid) pada usia > 7 tahun adalah 0,5 ml IM. Untuk usia < 7 tahun, gunakan DPT atau DtaP sebagai pengganti TT. Jika kontraindikasi terhadap pertusis, berikan DT dengan dosis 0,5 ml IM. [10] Semua individu dewasa yang imun secara parsial atau tidak sama sekali hendaknya mendapatkan vaksin tetanus. Serial vaksinasi untuk dewasa terdiri atas tiga dosis: - Dosis pertama dan kedua diberikan dengan jarak 4-8 minggu - Dosis ketiga diberikan 6-12 bulan setelah dosis pertama. - Dosis ulangan diberikan tiap 10 tahun dan dapat diberikan pada usia dekade pertengahan seperti 35, 45 dan seterusnya. [9] 2. Perawatan Luka Perawatan luka harus segera dilakukan terutama pada luka tusuk, luka kotor atau luka yang diduga tercemar dengan spora tetanus. Perawatan luka dilakukan guna mencegah timbulnya jaringan anaerob. Jaringan nekrotik dan benda asing harus dibuang. Untuk pencegahan kasus tetanus neonatorum sangat bergantung pada penghindaran persalinan yang tidak aman, aborsi serta perawatan tali pusat selain dari imunisasi ibu. Pada perawatan tali pusat, penting diperhatikan hal-hal berikut ini : - Jangan membungkus punting tali pusat/mengoleskan cairan/bahan apapun ke dalam punting tali pusat - Mengoleskan alkohol/povidon iodine masih diperkenankan tetapi tidak dikompreskan karena menyebabkan tali pusat lembab [8] DAFTAR PUSTAKA
16

1. Farrar JJ, Yen LM, Cook T, etc. "Tetanus". Journal of Neurology, Neurosurgery, and

Psychiatry : p 292301. 2. Allan HR, M.D. Raymond Delacy Adams,dkk. Adams and Victors Principle of Neurology, Ninth Edition. McGraw Hill Profesional. 2009 3. Dorlands Pocket Medical Dictionary 28th Edition; Elsevier Saunders: 2009 : p 840 4. Hendarwanto. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid I,Edisi III: p 474-476 5. AAnthony S, Dennis L, Dan L, Eugene, etc : Harrisons Principle of Internal Medicine, 17th Edition ; Mc Graw Hill: 2008 : Chapter 133 6. Widoyono. Penyakit Tropis epidemiology, penularan, pencegahan dan pemberantasannya. Edisi I Penerbit Erlangga. 2008 : p 29-33 7. Spicer WJ. Clinical Microbiology And Infectious Diseases An illustrated Colour Text: 2nd Edition; Churchill Livingstone Elsevier : 2008 : p 105 8. Health Technology Assessment Indonesia Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Penatalaksanaan tetanus pada anak.2008 9. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III Edisi IV. Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.2006.p 17771784 10. Sudewi R, Sugianto P, Ritarwan K. Infeksi Pada Sistem Saraf. Airlangga University Press.2011.

17

Anda mungkin juga menyukai