Anda di halaman 1dari 17

BAB I Pendahuluan

A. Latar Belakang Dalam beberapa tahun ini, perkembangan ilmu pengetahuan dalam bidang bioteknologi terus meningkat. Banyaknya kasus penyakit yang sulit disembuhkan dengan pengobatan konvensional membuat banyak peneliti mencari hal baru yang dapat digunakan sebagai upaya penyembuhan. Satu diantara teknologi yang terus dikembangkan adalah sel punca. Sel punca merupakan sel yang belum terdiferensiasi dan mempunyai potensi tinggi untuk berkembang menjadi berbagai jenis sel-sel berbeda yang spesifik di dalam tubuh. Dengan sifat unik tersebut, sel punca menimbulkan harapan baru bagi dunia kedokteran, khususnya untuk pengobatan penyakit yang disebabkan oleh kelainan atau kerusakan organ tubuh. Beberapa contoh penyakit yang sulit untuk disembuhkan adalah gagal ginjal, sirosis hati, hepatitis kronik, diabetes, talasemia, dll. Untuk penyembuhan penyakit tersebut, teknik xenotransplantasi dapat dijadikan solusi. Xenotransplantasi merupakan bagian dari teknologi transplantasi sel punca. Xenotransplantasi dilakukan dengan menanamkan sel punca dari jaringan atau organ dari suatu spesies makhluk hidup ke spesies lainnya yang mengalami kerusakan. Tujuannya agar sel tersebut dapat berkembang dan dapat menggantikan sel-sel pada organ yang telah rusak. Hal ini dapat terjadi karena setiap makhluk hidup yang berada pada kelas taksonomi yang sama memiliki karakteristik tubuh yang hampir sama pula. Sebagai contoh, hepatosit (sel utama pembentuk organ hati) pada semua makhluk hidup bertulang belakang, termasuk hewan dan manusia memiliki kesamaan biologis. Akan tetapi, secara etis penggunaan sel dari spesies berbeda tersebut menimbulkan kontroversi. Satu di antara yang mempertimbangkan bahwa xenotransplantasi memiliki risiko terhadap kesehatan masyarakat adalah The Parliamentary Assembly of the Council of Europe, di mana mereka menyatakan bisa saja terjadi penularan virus dari hewan donor kepada penerima transplantasi dan kerabat yang banyak mengalami kontak dengan penerima transplantasi. 1

Selain itu, dari diskusi panel dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dinyatakan bahwa Transplantasi Xeno dari hewan ke manusia masih memerlukan penelitian lebih lanjut dan lebih lengkap, sehingga IDI berpendapat bahwa aplikasi klinis sel punca transplantasi xeno masih belum boleh dilakukan di Indonesia, namun memperbolehkan untuk kepentingan riset dasar ataupun aplikatif di bidang sel punca transplantasi xeno dengan memperhatikan aspek menjaga harkat dan martabat manusia (Musa, 2009). Oleh karena masih banyak kontroversi mengenai hal tersebut, diperlukan pembahasan lebih lanjut mengenai aspek dasar aplikasi terapi xenotransplantasi sel punca dan bioetiknya. B. Rumusan Masalah Bagaimana kaidah bioetik terhdap xenotransplantasi sel punca? C. Tujuan Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui lebih lanjut mengenai aspek dasar aplikasi terapi xenotransplantasi sel punca dan bioetiknya. D. Manfaat Manfaat penulisan dan penyusunan makalah ini adalah agar pembaca dan penulis dapat mengetahui informasi dan memahami tentang aspek dasar xenotransplantasi sel punca beserta bioetiknya.

BAB II Tinjauan Pustaka


A. Sel Punca 1. Pengertian Sel punca (Stem cell) adalah sel yang tidak/belum terspesialisasi yang mempunyai kemampuan/potensi untuk berkembang menjadi berbagai jenis sel-sel yang spesifik yang membentuk berbagai jaringan tubuh. Sel punca memiliki dua sifat unik. Pertama adalah kapasitas mereka memperbaharui atau meregenerasi dirinya sendiri. Dalam hal ini sel punca dapat membuat replika sel yang persis sama dengan dirinya melalui pembelahan sel. Kemampuan kedua adalah untuk berdiferensiasi menjadi sel lain. Dalam hal ini sel punca mampu berkembang menjadi berbagai jenis sel matang, misalnya sel saraf, sel otot jantung, sel otot-otot rangka, sel pankreas, dan lain-lain. 2. Sejarah Konsep sel induk (stem cell) berasal pada akhir abad ke-19 sebagai teoritis postulat untuk menjelaskan kemampuan jaringan tertentu (darah, kulit, dll) untuk memperbaharui diri untuk seumur hidup organisme meskipun mereka terdiri dari pendek sel-hidup. Bertahun-tahun kemudian, identifikasi sel induk sebagai entitas selular diskrit diikuti dari pengembangan metode isolasi bagi calon calon sel induk, secara paralel dengan desain bioassay ketat untuk menguji potensi mereka setelah transplantasi in vivo. Konsep sedang populer sel batang mesenchymal (MSC, istilah yang pertama kali diciptakan pada Caplan [1991]) dapat ditelusuri ke eksperimen klasik menunjukkan bahwa transplantasi sumsum tulang (BM) ke situs anatomi heterotopic hasil di de novo generasi tulang ektopik dan sumsum . Sedangkan contoh studi tersebut tanggal kembali ke abad ke-19 (Goujon, 1869), karya Tavassoli dan Crosby jelas didirikan bukti potensi osteogenik yang melekat terkait dengan BM (Tavassoli dan Crosby, 1968). Karena percobaan ini dilakukan dengan seluruh fragmen tulang BM bebas, identitas yang tepat dari setiap fungsi sel sebagai progenitor sel-sel tulang dibedakan (dan karena itu nonhematopoietic, sel mesenchymal) tidak bisa digambarkan. Itu Friedenstein dan rekan kerja, dalam 3

serangkaian studi mani pada tahun 1960 dan 1970-an (terakhir di Friedenstein, 1990), yang menunjukkan bahwa potensi osteogenik, seperti diungkapkan oleh transplantasi heterotopic sel BM, dikaitkan dengan subpopulasi kecil sel BM . Selsel yang dibedakan dari sebagian besar sel hematopoietik oleh kepatuhan cepat untuk kapal kultur jaringan dan oleh penampilan fibroblast-seperti keturunan mereka dalam budaya, menunjuk ke asal mereka dari kompartemen stroma BM. Selain menetapkan BM stroma sebagai tumpukan jerami di mana untuk mencari pepatah jarum, karya Friedenstein dan rekan kerja memberikan terobosan besar kedua dengan menunjukkan bahwa pembenihan suspensi sel BM di hasil kepadatan klonal dalam pembentukan koloni diskrit diprakarsai oleh tunggal sel (koloni-forming unit fibroblastik, CFU-Fs [Friedenstein et al., 1970]). The klonal sifat setiap koloni ditunjukkan oleh ketergantungan linier pembentukan koloni di jumlah sel explanted, penggunaan penanda kromosom, 3H-timidin pelabelan, melalui fotografi waktu selang, dan dengan statistik distribusi Poisson (Friedenstein, 1976, Friedenstein et al., 1970, Friedenstein dkk., 1974 dan Gronthos et al., 2003). In vivo transplantasi menyebabkan pengakuan bahwa beberapa jaringan tulang (tulang, tulang rawan, jaringan adiposa, dan jaringan fibrosa) bisa eksperimen dihasilkan, in vivo, dengan keturunan sel stroma BM tunggal (terakhir di Friedenstein, 1990). Friedenstein dan Owen disebut sel ini merupakan sel induk osteogenik (Friedenstein et al., 1987) atau sel induk stroma BM (Owen dan Friedenstein, 1988). Implikasi dari penemuan ini awalnya dihargai hanya dalam hematologi eksperimental dan hanya kemudian untuk relevansinya dengan biologi tulang dan penyakit. Seperti dikonsep oleh sel hipotesis niche induk diusulkan oleh Schofield (1978), gagasan bahwa sel-sel induk hematopoietik (HSCS) diatur oleh asosiasi fisik mereka dengan lingkungan mikro selular diskrit dalam BM dibuktikan oleh pengamatan mani Dexter, Allen, dan rekan (Allen, 1978, Dexter dkk., 1977 dan Dexter dan Testa, 1976). Berasal dari pencarian lama untuk menjelaskan hubungan fungsional antara HSCS dan beberapa komponen fisik tulang / organ BM, karya perintis Tavassoli dan Friedenstein dan Owen mengungkapkan bahwa kedua jenis sel induk bisa hadir di BM dan khususnya, dalam stroma hematopoiesis-mendukung. Meskipun hipotesis itu mapan, dan bukti eksperimental mendukung diterbitkan dan luas direproduksi, konsep sel induk nonhematopoietic di BM tidak beresonansi di seluruh dunia sampai pekerjaan serupa tambahan diterbitkan pada tahun 1999 (Pittenger dkk. 4

[1999], dari entitas komersial, Osiris Therapeutics, Inc). Dikombinasikan dengan waktu isolasi stem (ES) sel embrio manusia, sel induk mesenchymal panjang (MSC), yang diusulkan sebelumnya sebagai alternatif untuk "stroma" atau "osteogenik" sel induk (Caplan, 1991; sebagaimana diterapkan pada sel ex vivo), memperoleh popularitas yang luas. Dalam benak banyak orang, MSC menjadi satu jenis sel induk manusia postnatal dengan diferensiasi potensi yang akan lebih luas daripada yang dibayangkan atau bahkan mungkin seluas bahwa sel-sel ES. Asumsi ini, bergema dalam studi kemudian mengklaim potensi transgermal ("plastisitas") sel induk setelah melahirkan, termasuk MSC (Beltrami et al., 2007, Jiang et al., 2002, Lakshmipathy dan Verfaillie, 2005 dan Poulsom et al., 2002) , membangkitkan perhatian dan juga menghasilkan kebingungan, dan tetap sangat kontroversial (Bianco, 2007 dan bertaruh et al., 2002). Gagasan MSC berkembang dari akar sejarah yang dikonsep nonhematopoietic sel induk hadir di BM. Tanpa diketahui untuk sebagian besar pekerja saat ini di bidang MSC, akar ini, bersamasama dengan prinsip dasar umum biologi sel induk, menetapkan batas yang tepat tentang bagaimana biologi MSC harus dinilai, bagaimana konsep sel induk bisa diterapkan, apa aplikasi klinis mereka dibayangkan bisa, dan apa nomenklatur akan sangat tepat. 3. Klasifikasi Sel punca mempunyai 2 sifat yang khas yaitu : a. Differensiasi (Differentiate) yaitu kemampuan untuk berkembang menjadi sel lain. Sel punca mampu berkembang menjadi berbagai jenis sel yang khas (spesifik) misalnya sel saraf, sel otot jantung, sel otot rangka, sel pankreas dan lain-lain. b. Regenerasi (Self regenerate/self renew) yaitu kemampuan untuk memperbaharui atau meregenerasi dirinya sendiri. Sel punca mampu membuat salinan sel yang persis sama dengan dirinya melalui pembelahan sel. Berdasarkan kemampuannya untuk berdifferensiasi sel punca dibagi menjadi : a. Totipotent yaitu sel punca yang dapat berdifferensiasi menjadi semua jenis sel. Yang termasuk dalam sel punca totipotent adalah zigot. Sel ini merupakan sel embrionik awal yang mempunyai kemampuan untuk membentuk berbagai jenis sel termasuk membentuk satu individu yang utuh. Disamping 5

mempunyai kemampuan untuk membentuk berbagai sel pada embrio sel totipotent juga dapat membentuk sel-sel yang menyusun plasenta. b. Pluripotent yaitu stem cells yang dapat berdifferensiasi menjadi 3 lapisan germinal (ectoderm, mesoderm, dan endoderm) tetapi tidak dapat menjadi jaringan ekstraembrionik seperti plasenta dan tali pusat. Yang termasuk stem cells pluripotent adalah embryonic stem cells. c. Multipotent yaitu stem cell yang dapat berdifferensiasi menjadi banyak jenis sel misalnya hemopoetic stem cells yang terdapat pada sumsum tulang yang mempunyai kemampuan untuk berdifferensiasi menjadi berbagai jenis sel yang terdapat dalam darah seperti eritrosit, lekosit dan trombosit. Contoh lainnya adalah neural stem cells yang mempunyai kemampuan berdifferensiasi menjadi sel saraf dan sel glia. d. Unipotent yaitu stem cells yang hanya dapat menghasilkan 1 jenis sel. Berbeda dengan non stem cells, stem cells mempunyai sifat masih dapat mempebaharui atau meregenerasi diri (self-regenerate/self renew) Contohnya erythroid progenitor cells hanya mampu berdifferensiasi menjadi sel darah merah. Berdasarkan sumbernya sel punca dibagi menjadi : a. Zigot yaitu pada tahap sesaat setelah sperma bertemu ovum (fertilisasi). b. Embryonic stem cells yaitu sel-sel stem yang diperoleh dari inner cell mass dari suatu blastocyst (embrio yang terdiri atas 50-150 sel, kira-kira hari ke-5 pasca pembuahan). Embryonic stem cells biasanya didapatkan dari sisa embrio yang tidak dipakai dari IVF (in vitro fertilization). Penggunaan embryonic stem cells ini hingga kini masih menjadi isu etik yang kontroversial. Sel stem ini mempunyai sifat dapat berkembang biak secara terus menerus dalam media kultur optimal pada kondisi tertentu dan dapat diarahkan untuk berdifferensiasi menjadi berbagai sel yang terdifferensiasi seperti sel jantung, sel kulit, neuron, hepatosit dan sebagainya. c. Fetus yang dapat diperoleh dari klinik aborsi. d. Stem cell darah tali pusat yaitu stem cell yang diambil dari darah plasenta dan tali pusat segera setelah bayi lahir. Stem cells dari darah tali pusat merupakan jenis hematopoetic stem cells dan ada yang menggolongkan kedalam adult stem cells. Sampai saat ini ada 2 tipe stem cells yang telah ditemukan dalam 6

darah tali pusat yaitu hematopoetic stem cells, dan mesenchymal stem cells. Selain kedua jenis stem cells tersebut di dalam darah tali pusat masih ada beberapa tipe lain yang telah ditemukan seperti neuron like stem cells, tetapi hal ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut (Jurga, 2006). Darah tali pusat mempunyai immunogenicity yang lebih rendah (Ryan, 2005), isolasinya tidak membutuhkan prosedur yang invasif dan untuk transplantasi tidak membutuhkan 100% ketepatan HLA (human leucocyte antigen) ( Bradley, 2005). e. Adult stem cells yaitu sel punca yang diambil dari jaringan dewasa, misalnya: 1. Sumsum tulangAda 2 jenis stem cells pada sumsum tulang yaitu : a. hematopoetic stem cells yaitustem cells yang akan berkembang menjadi berbagai jenis sel darah b. stromal stem cells atau disebut juga mesenchymal stem cell. 2. Jaringan lain pada dewasa seperti pada susunan saraf pusat, adiposa (jaringan lemak), otot rangka, pancreas. Adult stem cell mempunyai sifat plastis artinya selain berdifferensiasi menjadi sel yang sesuai dengan jaringan asalnya adult stem cells juga dapat berdifferensiasi menjadi sel jaringan lain, misalnya neural stem cells dapat berubah menjadi sel darah, stromal stem cell dari sumsum tulang dapat berubah menjadi sel otot jantung dan sebagainya. 4. Macam-macam Terapi Sel Punca Secara garis besar aplikasi sel punca di bidang kedokteran dapat d bagi menjadi 3 yaitu : a. b. c. Autotransplantasi (Donor dari resepien itu sendiri) Allotransplantasi (Donor dari orang lain) Xenotransplantasi (Donor dari spesies lain) Stem cells dapat digunakan untuk keperluan baik dalam bidang riset maupun pengobatan. Adapun penggunaan kultur stem cells adalah sebagai berikut a. Terapi gen Stem cells khususnya hematopoetic stem cells digunakan sebagai pembawa transgen kedalam tubuh pasien dan selanjutnya dilacak apakah jejaknya apakah stem cells ini berhasil mengekspresikan gen tertentu 7

dalam tubuh pasien. Adanya sifat self renewing pada stem cell menyebabkan pemberian stem cells yang mengandung transgen tidak perlu dilakukan berulang-ulang. Selain itu hematopoetic stem cells juga dapat berdifferensiasi menjadi bermacam-macam sel sehingga transgen tersebut dapat menetap diberbagai macam sel. b. Penelitian untuk mempelajari proses-proses biologis yang terjadi pada organisma termasuk perkembangan organisme dan perkembangan kanker . c. Penelitian untuk menemukan dan mengembangkan obat-obat baru terutama untuk mengetahui efek obat terhadap berbagai jaringan. d. Terapi sel (cell based therapy) Stem cell dapat hidup diluar tubuh manusia, misalnya di cawan Petri. Sifat ini dapat digunakan untuk melakukan manipulasi pada stem cells yang akan ditransplantasikan ke dalam organ tubuh untuk menangani penyakitpenyakit tertentu tanpa mengganggu organ tubuh. B. Terapi Xenotransplantatsi Sel Punca 1. Pengertian Xenotransplantasi merupakan suatu teknik transplantasi sel punca terbaru, tetapi belum dapat diterima oleh semua kalangan berkenaan dengan belum sempurnanya pembuktian mekanisme dan kemungkinan efek samping yang belum diketahui. Teknik ini dikembangkan secara hati-hati, meliputi pemilihan spesies yang akan digunakan, proses koleksi dan perlakuan, serta penyimpanan sel punca dari hewan ini (Molnar, 2006). Permasalahan yang dapat dijumpai meliputi masalah etik, proteksi penggunaan hewan, validitas prosedur teknis dan keengganan para calon pasien untuk menggunakan sel punca yang berasal dari hewan ini.Oleh karena itu fokus aplikasi ditujukan pada penyakit-penyakit yang relatif berat dan belum ada alternatif terapi kausatif. Dari publikasi yang ada, xenotransplantasi dari sel punca fetus kelinci memperlihatkan kemajuan yang cukup mengagumkan untuk penderita down syndrome. 2. Sejarah Alexis Carrel dikenal sebagai bapak pendiri transplantasi. Carrel dan Guthrie memberikan kontribusi besar terhadap ilmu transplantasi 1904-1906. Mereka 8

melakukan transplantasi vena autogenous, melakukan peremajaan kaki pada anjing, dan mengembangkan teknik patch-graft yang dikenal pada pelebaran pembuluh menyempit. Selain itu mereka juga melakukan transplantasi eksperimental heterotopic Bagian dari anjing kecil ditransplantasikan ke dalam leher anjing yang lebih besar. Mereka mengembangkan teknik sosok untuk anastomosis donor dan penerima transplantasi ginjal untuk mencegah pembentukan trombus. Pada tahun 1906, jaboulay mentransplantasi ginjal dari kambing, domba, dan monyet padamanusia. Upaya xenografting ginjal ini tidak berhasil. Kemudian, pada tahun 1910, Unger mentransplantasi ginjal dari spesies lain pada orang sekarat karena gagal ginjal, yang menyebabkan kematian satu hari kemudian. Pada tahun 1932, Neuhof mentransplantasi ginjal domba ke pasien yang keracunan merkuri. Pasien hanya bertahan selama 9 hari. Kepentingan klinis dalam xenotransplantasi berkurang setelah serangkaian hasil mengecewakan. Kegagalan transplantasi yang disebabkan oleh sistem kekebalan tubuh. Michon dan Hamburger berhasil melakukan transplantasi ginjal terkait donor hidup di Paris pada tahun 1952. Pada tahun 1954, Merrill dan Murray, menggunakan imunosupresi, melakukan transplantasi ginjal pertama antara kembar monozigot. Munculnya terapi dialisis selama tahun 1940-an dan 1950-an dan kebutuhan yang banyak pada tahun 1970 akhirnya membuat dampak yang signifikan dan abadi pada transplantasi ginjal. Hemodialisis merupakan jembatan untuk transplantasi dan secara signifikan memperluas populasi pasien yang mendapat manfaat dari transplantasi ginjal. Pasien penyakit ginjal stadium akhir memiliki 2 pilihan terapeutik: (1) dialisis dan / atau terapi atau (2) allograft (donor cadaver terkait atau hidup). Pada saat itu, pemahaman tentang immunobiology transplantasi dan obat imunosupresif baru saja mulai berkembang. Selama ini, Starzl dan rekan (dan kelompok lainnya) bereksperimen dengan xenotransplantation menggunakan simpanse atau babon. Xenotransplantasi telah tergelincir pada 1990-an dengan penemuan retrovirus babi. Kekhawatiran tentang risiko infeksi silang-spesies menghasilkan moratoriums pada uji klinis pada xenotransplantation. Sampai saat ini belum ada ijin dari pemerintah untuk pelaksanaan Xenotransplant. Apalagi masuknya sel dari binatang buatan luar negeri ke 9

Indonesia belum melalui ijin resmi dari badan Pengawasan Obat dan Makanan (POM). Dari diskusi panel dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dinyatakan bahwa Transplantasi Xeno dari hewan ke manusia masih memerlukan penelitian lebih lanjut dan lebih lengkap, sehingga IDI berpendapat bahwa aplikasi klinis sel punca transplantasi xeno masih belum boleh dilakukan di Indonesia, namun memperbolehkan untuk kepentingan riset dasar ataupun aplikatif di bidang sel punca transplantasi xeno dengan memperhatikan aspek menjaga harkat dan martabat manusia. Pelaksanaan pelayanan sel punca hanya dapat dilakukankan untuk penyakitpenyakit yang sudah terbukti klinis (evidence based) dapat disembuhkan dengan transplantasi sel punca. Dari pandangan etika para budayawan dan ahli agama, terapi klonasi dianggap bisa dilaksanakan karena mempunyai manfaat yang sangat besar dibandingkan dengan mudharatnya. Apalagi bila digunakan dari sel bukan embrio. Masalah etikanya, dalam arti kesesuaian atau pengabaian norma atau prinsip bioetika yang sudah disepakati, dapat disetujui selama dilakukan dengan baik dan benar oleh para ahli yang sesuai dengan dukungan infrastruktur penelitian dan laboratorium yang layak. Oleh karena itu perlu dilakukan pemantauan ketat dan pengembangan lanjut regulasi di Indonesia yang mengatur tata cara pengambilan sumber biologi, baik untuk pengambilan sel punca embrionik maupun sel punca bukan embrio. Regulasi semacam ini dapat dituangkan dalam bentuk pedoman Best clinical practice in sel punca. Riset terapan ataupun penggunaan sel punca harus mempertimbangkan tumbuhnya rasa tanggung jawab terhadap kemanusiaan di tengah suasana kebebasan meneliti. Setiap ilmuwan harus mematuhi standar metodologi dan kaidah praktek terbaik teramat baik. Riset terapan ini tidak boleh dilakukan apabila akibat masa depannya terhadap martabat kemanusiaan tidak teramalkan. Setiap ilmuwan yang melakukan riset harus menyampaikan informasi setiap akibat buruk yang mungkin dialami pasien/klien, dalam bahasa yang harus dimengerti awam. Pemerintah diharapkan mampu mengarahkan kebijakan riset dasar mupun terapan dengan pada akhirnya membuat legislasi semua peraturan pelaksanaanya sesuai dengan kaidah bioetika universal. Sedangkan perusahaan swasta yang akan memanfaatkan hasil riset terapan tidak boleh melakukan praktik monopolistik, hanya berorientasi mencari keuntungan yang layak dan tidak berlebihan, serta secepat mungkin melepas hak patennya untuk dapat dinikmati oleh negara berkembang. Dengan 10

perkembangan ilmu biologi yang semakin maju dan cepat, diharapkan juga praktisi dan ilmuwan dibidang biologi dan kedokteran terutama di negara berkembang untuk menyelaraskan pengetahuan terkini dengan negara maju. Sehingga teknologi dan pengetahuan ini bisa dinikmati oleh semua orang dan tidak hanya menjadi monopoli sebagian negara saja (keadilan global). Pada akhirnya, diharapkan pula perkembangan ilmu pengetahuan di bidang biologi juga disertai dengan aplikasi dan pemanfaatan untuk hajat hidup orang banyak. Menyongsong perkembangan riset dan pelayanan pengobatan sel punca, pada tanggal 28-30 November Universitas Diponegoro menyelenggarakan International Seminar dan Workshop dengan mengundang para pakar dari Australia dan Belanda serta dari Malaysia yang sudah berpengalaman dalam bidang ini. 3. Keunggulan Transplantasi ini akan sangat bermanfaat, mengingat kebutuhan akan jumlah sel punca yang relatif banyak dan cepat. Keunggulan lainnya adalah kualitas dan jumlah sel punca yang didapat dengan teknik ini lebih terkendali dibandingkan dengan auto- maupun allotransplantasi yang kualitas dan jumlah sel punca dari pasien/ donor tidak dapat dikontrol.

4. Kekurangan Efek samping transplantasi sel punca harus diwaspadai karena mungkin bisa terjadi teratoma atau sel kanker, apalagi bila yang diberikan sel binatang karena mungkin bisa terjadi ikatan (chimeric) antara sel manusia dan sel binatang membentuk sel baru yang mempunyai fungsi yang berbeda. Transplantasi sel punca dewasa hingga sekarang belum dilaporkan terbentuknya teratoma tersebut. Teratoma juga dapat terjadi apabila sel punca yang ditransplantasikan adalah jenis embryonic stem cell karena sangat pluripotent.

11

BAB III Pembahasan


Bioetik Xenotransplantasi Tranplantasi merupakan tindakan terakhir yang dilakukan untuk menyelamatkan pasien dengan kegagalan fungsi salah satu organnya. Berdasarkan etika kedokteran transplantasi dapat dilakukan jika ada indikasi yang dilandaskan berdasarkan Kode Etik Kedokteran Indonesia yaitu: Pasal 2 Seorang dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi tertinggi. 12

Pasal 7d Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajibannya melindungi hidup insani. Pasal 10 Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan keterampilannya untuk kepentingan pasien. Dalam hal ia tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka atas persetujuan pasien, ia wajib merujuk pasien kepada dokter yang mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut. Donor organ atau lebih sering disebut transplantasi adalah pemindahan suatu jaringan atau organ manusia tertentu dari suatutempat ke tempat lain pada tubuhnya sendiri atau tubuh orang laindengan persyaratan dan kondisi tertentu. Syarat tersebut melipuiti kecocokan organ dari donor dan resipen. Organ tubuh yang ditansplantasikan biasa adalah organ vitalseperti ginjal, jantung, dan mata. namun dalma perkembangannyaorgan-organ tubuh lainnya pun dapat ditransplantasikan untuk membantu orang yang sangat memerlukannya (Sajjarotul, 2011). Menurut pasal 1 ayat 5 Undang-undang kesehatan,transplantasi organ adalah rangkaian tindakan medis untuk memindahkan organ danatau jaringan tubuh manusia yang berasal dari tubuh orang lain atautubuh sendiri dalam rangka pengobatan untuk menggantikan organ danatau jaringan tubuh. Pengertian lain mengenai transplantasi organadalah berdasarkan UU No. 23 tahun 1992 tentang kesehatan, transplantasi adalah tindakan medis untuk memindahkan organ dan atau jaringan tubuh manusia yang berasal dari tubuh orang lain atau tubuh sendiri dalam rangka pengobatan untuk mengganti jaringan dan atau organ tubuh yang tidak berfungsi dengan baik. Xenotransplantasi sendiri merupakan transplantasi yang berasal dari spesies lain misalnya dari hewan ke manusia. Secara etik xenotransplantasi ini masih belum dibenarkan meskipun transplantasi ini memiliki keuntungan tersendiri. Efek samping yang belum banyak diketahui menjadi salah satu faktor, dimana ketika suatu sel yang berasal dari spesies lain dapat ditolak oleh sistem tubuh manusia. Sel yang masuk dalam tubuh manusia akan dianggap sebagai benda asing oleh antigen yang berada di membran sel sehingga sel yang di transplantasi tadi dapat diserang. 13

Dari diskusi panel dengan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) pada acara Terapi Stem Sel di Indonesia : Realitas Baru Dan Prospek Perkembangannya PB IDI tanggal 24 Mei 2008 dinyatakan bahwa Transplantasi Xeno dari hewan ke manusia masih memerlukan penelitian lebih lanjut dan lebih lengkap, sehingga IDI berpendapat bahwa aplikasi klinis sel punca transplantasi xeno masih belum boleh dilakukan di Indonesia, namun memperbolehkan untuk kepentingan riset dasar ataupun aplikatif di bidang sel punca transplantasi xeno dengan memperhatikan aspek menjaga harkat dan martabat manusia.

Berdasarkan sumpah dokter hal ini tidak dibenarkan karena apabila dilakukan tranplantasi dari spesies lain maka dikhawatirkan dapat menimbulkan kerugian bagi pasien dimana virus atau bakteri yang terdapat pada hewan dapat menular. Berdasarkan kaidah dasar bioetik sendiri kita seorang dokter dilarang untuk menyakiti serta merugikan orang lain terlebih lagi pesien.

Bab IV Penutup
A. Kesimpulan Sel punca yang merupakan sel embrional yang sekarang sedang dikembangkan merupaka metode baru yang cukup baik, namun ada beberapa hal yang masih harus dikaji seperti masalah etik. Dengan penggunaan sel punca embrional dikhawatirkan bertentangan dengan penghormatan terhadap asal mula kehidupan. Dimana seorang dokter diwajibkan untuk mennghormati setiap hidup insani mulai dari saat pembuahan. Xenotranplantasi sendiri merupakan transplantasi yang dilakukan untuk mengurangi pelanggaran itu. Namun, hal ini menimbulkan masalah etik yang baru dimana 14

penggunaan organ dari spesies lain dapat menyebabkan kerugian untuk pasien itu sendiri karena organ atau sel punca ini dapat ditolak oleh sistem imun dari tubuh manusia. Penggunaan hewan yang sudah terancam punah dapat menyebabkan kepunahaan dari hewan itu sendiri. Pelanggaran masalah etik ini menjadikan xenotransplantasi sel puunca ini belum dapat diterapkan. Sehingga, dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk pengembangannya. B. Saran Pemerintah Indonesia diharapkan dapat lebih bijaksana dalam menangani masalah etik xenotransplantasi sel punca ini. Sehingga, suatu saat nanti akan mendapatkan hasil yang terbaik untuk kesehatan masyarakat Indonesia sendiri. Diharapkan kepada peneliti di Indonesia dapat mengembangkan lagi penelitian dalam bidang sel punca ini.

Daftar Pustaka
Allen TD. Ultrastructural aspects of in vitro haemopoiesis. In: Lord BI, Potten C, Cole D, editors. The Second Symposium of the British Society for Cell Biology on Stem Cells and Tissue Homeostasis. Cambridge, UK: Cambridge University Press; 1978. p. 217 Beltrami AP, Cesselli D, Bergamin N, Marcon P, Rigo S, Puppato E, D'Aurizio F, Verardo R, Piazza S,Pignatelli A, Poz A, Baccarani U, Damiani D, Fanin R, Mariuzzi L, Finato N, Masolini P, Burelli S, Belluzzi O, Schneider C, Beltrami CA. Blood. 2007 Nov 1; 110(9):3438-46 Bianco P. Blood. 2007;110:3090 15

Bradley MB, Cairo MS. 2005. Cord blood immunology and stem cells transplantation . Human Immunol Caplan AI J. Orthop Res. 1991 Sep; 9(5):641-50 Dexter TM, Allen TD, Lajtha LG. J Cell Physiol. 1977 Jun; 91(3):335-44 Dexter TM, Testa NG. Methods Cell Biol. 1976; 14():387-405 Friedenstein AJ, Chailakhjan RK, Lalykina KS. Cell Tissue Kinet. 1970 Oct; 3(4):393-403 Friedenstein AJ, Chailakhyan RK, Latsinik NV, Panasyuk AF, Keiliss-Borok IV . Transplantation. 1974 Apr; 17(4):331-40 Friedenstein AJ. Int Rev Cytol. 1976; 47():327-59 Friedenstein AJ, Chailakhyan RK, Gerasimov UV. Cell Tissue Kinet. 1987 May; 20(3): 263-72. Friedenstein AJ. Osteogenic stem cells in bone marrow. In: Heersche JNM, Kanis JA, editors. Bone and Mineral Research. Amsterdam: Elsevier; 1990. pp. 243272 Goujon E. J de L'Anat et de La Physiol. 1869;6:399412 Gronthos S, Zannettino AC, Hay SJ, Shi S, Graves SE, Kortesidis A, Simmons PJ J . Cell Sci. 2003 May 1; 116(Pt 9):1827-35 Jiang Y, Vaessen B, Lenvik T, Blackstad M, Reyes M, Verfaillie CM . Exp Hematol. 2002 Aug; 30(8):896-904 Jurga M, et al. 2006. Neurogenic potential of human umbilical cord blood: neural like stem cells depend on previous long term culture condition . J. Neurosci Res Lakshmipathy U, Verfaillie C. Blood Rev. 2005 Jan; 19(1):29-38 Musa. 2009. Modern Biologi, Teknik Baru MLPA dan Stem Cell. Semarang: UNDIP Pittenger MF, Mackay AM, Beck SC, Jaiswal RK, Douglas R, Mosca JD, Moorman MA, Simonetti DW, Craig S, Marshak DR. Science. 1999 Apr 2; 284(5411):143-7 Poulsom R, Alison MR, Forbes SJ, Wright NA, J Pathol. 2002 Jul; 197(4):441-56 16

Ryan JM et al. 2005. Mesenchymal stem cells avoid allogenic rejection. J Inflammation Tavassoli M, Crosby WH. Science. 1968 Jul 5; 161(3836):54-6

17

Anda mungkin juga menyukai