Anda di halaman 1dari 22

BAB I PENDAHULUAN

Meningkatnya prevalensi penyakit kardiovaskuler setiap tahun menjadi masalah utama di negara berkembang dan negara maju. Penyakit kardiovaskuler menurut Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1992 dan 1995 merupakan penyebab kematian terbesar di Indonesia.1 Hipertensi atau tekanan darah tinggi merupakan salah satu penyakit kardiovaskuler yang menjadi masalah kesehatan global yang memerlukan penanggulangan yang baik. Berdasarkan data Global Burden of Disease (GBD) tahun 2000, 50% dari penyakit kardiovaskuler disebabkan oleh hipertensi.2 Data dari The National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) menunjukkan bahwa dari tahun 1999-2000, insiden hipertensi pada orang dewasa adalah sekitar 29-31%, yang berarti terdapat 58-65 juta penderita hipertensi di Amerika, dan terjadi peningkatan 15 juta dari data NHANES tahun 1988-1991.3 Hipertensi adalah suatu keadaan di mana terjadi peningkatan tekanan darah yang memiliki risiko penyakit jantung, stroke, dan gagal ginjal. Menurut JNC-7 2003, kriteria hipertensi adalah tekanan darah sistolik (TDS) 140 mmHg atau tekanan darah diastolik (TDD) 90 mmHg.4 Hipertensi yang tidak diketahui penyebabnya didefinisikan sebagai hipertensi esensial atau hipertensi primer. Hipertensi esensial merupakan 95% dari seluruh kasus hipertensi. Sedangkan 5% sisanya adalah hipertensi sekunder, yaitu tekanan darah tinggi yang penyebabnya dapat diklasifikasikan, diantaranya adalah kelainan organik seperti penyakit ginjal, kelainan pada pembuluh darah ginjal, kelainan pada korteks adrenal, pemakaian obat-obatan sejenis kortikosteroid, hipertensi pada kehamilan dan lain-lain.3 Hipertensi telah menjadi masalah kesehatan masyarakat, dan akan menjadi masalah yang lebih besar jika tidak ditanggulangi sejak dini. Penanganan pada kasus hipertensi memegang peranan penting mengingat komplikasi yang dapat

timbul dari hipertensi tersebut. Penatalaksanaan meliputi terapi farmakologi dengan obat-obatan dan terapi nonfarmakologi misalnya dengan mengubah gaya hidup, pengaturan pola makan, olahraga yang teratur dan menghindari stress. Selain itu penderita perlu mengotrol tekanan darahnya secara rutin. Penyakit hipertensi sering disebut sebagai the silent disease. Umumnya penderita tidak mengetahui dirinya mengidap hipertensi sebelum memeriksakan tekanan darahnya. Sulitnya lagi, hipertensi ternyata merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan sehingga membutuhkan pengobatan terus-menerus agar tekanan darahnya tetap terkontrol disamping ada terapi nonfarmakologi yang digunakan. Dibanding hipertensi primer yang belum diketahui penyebabnya, maka penatalaksanaan hipertensi sekunder lebih mudah dilakukan asalkan penyakit atau kelainan organ yang menyebabkan hipertensi tersebut telah diketahui, sehingga terapi yang diberikan lebih mengarah kepada perbaikan terhadap penyakit atau kelainan organ yang mendasari terjadinya hipertensi tersebut. Oleh karena itu dirasa penting untuk dibahas dalam referat ini mengenai penatalaksanaan hipertensi khususnya penatalaksanaan hipertensi sekunder yang telah diketahui penyebab yang mendasarinya.

BAB II HIPERTENSI

2.1 Definisi Istilah hipertensi diambil dari bahasa Inggris hypertension. Kata hypertension berasal dari bahasa latin yaitu hyper dan tension. Hyper berarti super atau luar biasa dan tension berarti tekanan atau tegangan. Hypertension akhirnya menjadi istilah kedokteran yang populer untuk menyebut penyakit darah tinggi disamping dalam bahasa Inggris digunakan istilah high blood pressure yang berarti tekanan darah tinggi.5 Hipertensi adalah suatu keadaan di mana terjadi peningkatan tekanan darah yang memiliki risiko penyakit jantung, stroke, dan gagal ginjal. Menurut JNC-7, kriteria hipertensi adalah tekanan darah sistolik (TDS) 140 mmHg atau tekanan darah diastolik (TDD) 90 mmHg.4 JNC-7 2003 membagi hipertensi menjadi 2 stadium sedangkan pedoman lain masih membagi dalam 3 derajat hipertensi. Pada JNC-7 2003 TDS 120-139 mmHg atau TDD 80-89 mmHg dimasukkan dalam klasifikasi prehipertensi, di mana pedoman lain menyebutkan nya sebagai tekanan darah normal atau normal tinggi, hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan kesadaran individu akan risiko terjadinya hipertensi sehingga dapat dilakukan tindakan pencegahan untuk memperlambat perkembangan penyakit. Tabel 2.1 Klasifikasi Tekanan Darah Menurut JNC-7 2003.4 Klasifikasi Tekanan Darah Normal Prehipertensi Hipertensi derajat 1 Hipertensi derajat 2 Tekanan Darah sistolik < 120 120 139 140 159 > 160 Dan Atau Atau Atau Tekanan Darah Diastolik < 80 80 89 90 99 > 100

2.2 Epidemiologi

Data epidemiologis menunjukkan bahwa dengan makin meningkatnya populasi usia lanjut, maka jumlah pasien dengan hipertensi kemungkinan besar juga akan bertambah. Sampai saat ini, data hipertensi yang lengkap sebagian besar berasal dari negara-negara yang sudah maju. Data dari The National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) menunjukkan bahwa dari tahun 19992000, insiden hipertensi pada orang dewasa adalah sekitar 29-31%, yang berarti terdapat 58-65 juta penderita hipertensi di Amerika, dan terjadi peningkatan 15 juta dari data NHANES tahun 1988-1991.3 Hasil penelitian Oktora (2007) mengenai gambaran penderita hipertensi yang dirawat inap di bagian penyakit dalam RSUD Arifin Achmad Pekanbaru tahun 2005 didapatkan penderita hipertensi meningkat secara nyata pada kelompok umur 45-54 tahun yaitu sebesar 24,07% dan mencapai puncaknya pada kelompok umur 65 tahun yaitu sebesar 31,48%. Jika dibandingkan antara pria dan wanita didapatkan wanita lebih banyak menderita hipertensi yaitu sebesar 58,02% dan pria sebesar 41,98%.6 2.3 Etiologi Berdasarkan penyebabnya, maka hipertensi dibagi menjadi 2 golongan, Yaitu7: 1. Hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya, disebut juga hipertensi idiopatik. Terdapat sekitar 95% kasus. Banyak faktor yang mempengaruhinya, seperti genetik, lingkungan, hiperaktivitas susunan saraf simpatis, sistem renin-angiotensin, defek dalam ekskresi Na, peningkatan Na dan Ca intraselular, dan faktor-faktor yang meningkatkan risiko, seperti obesitas, alkohol, merokok, serta polisitemia. 2. Hipertensi sekunder. Terdapat sekitar 5% kasus. Penyebab spesifiknya diketahui, seperti hipertensi akibat penyakit ginjal, hipertensi renovaskular, hipertensi lain. 2.4 Patofisiologi8 akibat hiperaldosteronisme primer, hipertensi akibat feokromositoma, hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan, dan lain-

Mekanisme terjadinya hipertensi adalah melalui terbentuknya angiotensin II dari angiotensin I oleh angiotensin I converting enzyme (ACE). ACE memegang peran fisiologis penting dalam mengatur tekanan darah. Darah mengandung angiotensinogen yang diproduksi di hati. Selanjutnya oleh hormon, renin (diproduksi oleh ginjal) akan diubah menjadi angiotensin I. Oleh ACE yang terdapat di paru-paru, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin II inilah yang memiliki peranan kunci dalam menaikkan tekanan darah melalui dua aksi utama. Aksi pertama adalah meningkatkan sekresi hormon antidiuretik (ADH) dan rasa haus. ADH diproduksi di hipotalamus (kelenjar pituitari) dan bekerja pada ginjal untuk mengatur osmolalitas dan volume urin. Dengan meningkatnya ADH, sangat sedikit urin yang diekskresikan ke luar tubuh (antidiuresis), sehingga menjadi pekat dan tinggi osmolalitasnya. Untuk mengencerkannya, volume cairan ekstraseluler akan ditingkatkan dengan cara menarik cairan dari bagian intraseluler. Akibatnya, volume darah meningkat yang pada akhirnya akan meningkatkan tekanan darah. Aksi kedua adalah menstimulasi sekresi aldosteron dari korteks adrenal. Aldosteron merupakan hormon steroid yang memiliki peranan penting pada ginjal. Untuk mengatur volume cairan ekstraseluler, aldosteron akan mengurangi ekskresi NaCl (garam) dengan cara mereabsorpsinya dari tubulus ginjal. Naiknya konsentrasi NaCl akan diencerkan kembali dengan cara meningkatkan volume cairan ekstraseluler yang pada gilirannya akan meningkatkan volume dan tekanan darah. 2.5 Faktor Risiko Faktor-faktor yang akan meningkatkan risiko terjadinya hipertensi antara lain6,10: Usia (laki-laki >55 tahun, perempuan >65 tahun) Merokok Dislipidemia Obesitas (IMT>30)

Inaktivitas fisik Diabetes melitus Jenis kelamin (pria dan wanita menopause) Riwayat keluarga dengan penyakit kardiovaskular dini (laki-laki <55 tahun atau perempuan <65 tahun) Mikroalbuminuria atau LFG <60 ml/menit 2.6 Manifestasi Klinis Peningkatan tekanan darah terkadang merupakan satu-satunya gejala. Bila demikian, gejala baru muncul setelah terjadi komplikasi pada ginjal, mata, otak, atau jantung. Selain peningkatan tekanan darah, gejala-gejala lain yang sering ditemukan antara lain adalah7: Sakit kepala Epistaksis Telinga berdengung Rasa berat di tengkuk Susah tidur Mata berkunang-kunang 2.7 Diagnosis Diagnosis hipertensi tidak dapat ditegakkan dalam satu kali pengukuran, hanya dapat ditetapkan setelah dilakukan tiga kali pengukuran tekanan darah dalam interval 1-2 minggu atau 2 hari berturut-turut dengan pengukuran sebanyak dua kali atau lebih dalam jarak waktu lebih dari 2 menit pada masing-masing pengukuran.9 2.8 Komplikasi Komplikasi atau kerusakan organ yang dapat ditimbulkan oleh hipertensi antara lain7,10: Hipertrofi ventrikel kiri

Infark miokard Angina pektoris Gagal jantung Riwayat revaskularisasi koroner Aterosklerosis pembuluh darah Nefropati Retinopati Stroke TIA (transient ischemic attack)

BAB III HIPERTENSI SEKUNDER

Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang penyebabnya sudah jelas, sehingga terapi pada keadaan ini langsung ditujukan pada penyebab terjadinya hipertensi tersebut. Dalam referat ini akan dibahas 5 jenis hipertensi sekunder khususnya mengenai penatalaksanaan hipertensi tersebut. Adapun jenis hipertensi yang akan dibahas yaitu hipertensi akibat penyakit ginjal, hipertensi renovaskular, hipertensi akibat hiperaldosteronisme primer, hipertensi akibat feokromositoma, dan hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan. 3.1 Hipertensi Pada Penyakit Ginjal11 Penyakit ginjal dapat menaikkan tekanan darah dan sebaliknya hipertensi dalam jangka waktu lama dapat mengganggu ginjal. Bertanya pengaruh hipertensi pada ginjal tergantung dari tingginya tekanan darah dan lamanya menderita hipertensi. Makin tinggi tekanan darah, maka makin berta komplikasi yang dapat ditimbulkan. Hipertensi pada penyakit ginjal dapat terjadi pada penyakit ginjal akut maupun penyakit ginjal kronik baik pada kelainan glomerolus maupun pada kelainan vaskular. Penyakit glomerolus akut Hipertensi terjadi oleh karena adanya retensi natrium yang menyebabkan hipervolemi. Retensi natrium terjadi akibat adanya peningkatan reabsorbsi natrium di duktus koligentes. Peningkatan ini mungkin terjadi karena adanya resistensi relatif terhadap hormon natriuretik peptida dan peningkatan aktifitas pompa Na-K-ATPase di duktus koligentes. Penyakit vaskular

Pada keadaan ini, terjadi iskemi pada pembuluh darah renal yang klemudian merangsang sistem renin angiotensin aldosteron sehingga tekanan darah dapat meningkat. Gagal ginjal kronik Pada keadaan ini, hipertensi umumnya terjadi karena retensi natrium, peningkatan sistem RAA akibat iskemia relatif terhadap kerusakan regional, aktifitas saraf simpatis yang meningkat karena kerusakan ginjal, hiperparatiroid sekunder, dan akibat pemberian eritropoetin. Penyakit glomerolus kronik 3.2 Hipertensi Renovaskular12 Hipertensi renovaskular merupakan penyebab tersering dari hipertensi sekunder. Diagnosis terhadap keadaan ini penting karena kelainan ini potensial untuk disembuhkan dengan menghilangkan stenosis arteri renalis. Stenosis arteri renalis merupakan keadaan terdapatnya lesi obstruktif secara anatomik pada arteri renalis, sedangkan HRV adalah hipertensi yang terjadi akibat fisiologis adanya stenosis tersebut. Setidaknya ada 3 penyebab terjadinya hipertensi renovaskular ini antara lain: Lesi aterosklerotik arteri renalis Merupakan penyebab tersering, mencapai 90% kasus dan biasanya terjadi pada usia lanjut dan sering pada riwayat keluarga hipertensi. Lesi biasanya bilateral pada daerah ostium serta pada 1/3 bagian proksimal arteri renalis. Displasia fibromuskular Merupakan penyebab terbanyak kedua, lebih sering ditemukan pada perempuan muda dekade ketiga dan keempat. Biasanya tidak mempunyai riwayat hipertensi dalam keluarga dan umumnya belum mempunyai kelainan organ target. Pada 2/3 kasus terjadi bilateral pada 2/3 bagian distal arteri renalis atau cabang intrarenal. Penyebab-penyebab lain

10

Penyebab-penyebab

lain

yang

mungkin

seperti

arteritis

takayasu,

neurofibromatosis, aneurisma aorta disekans, fistula arteri-vena renalis, arteritis radiasi, dan emboli. Patofisiologi terjadinya HRV ini terjadi pada dua fase yaitu fase akut dan kronik yaitu sebagai berikut: Fase akut Terjadinya konstriksi pada arteri renalis akan menungkatkan tekanan darah dan juga peningkatan renin dan aldosteron. Pemberian ACEI atau ARB dapat mencegah peningkatan tekanan darah ini. Ini membuktikan bahwa peningkatan tekanan darah ini akibat hiperreninemia. Fase kronik Setelah beberapa hari dari fase akut, tekanan darah tetap meningkat, tetapi renin dan aldosteron mulai turun ke nilai normal. Berlangsungnya hipertensi tergantung dari kondisi ginjal yang masih baik atau tidak. Untuk mendiagnosis HRV diperlukan pemeriksaan tambahan seperti pemeriksaan aktivitas renin plasma perifer basal, pemeriksaan renin vena renalis, serta pemeriksaan radiologi seperti renogram atau arterigrafi. Arteriografi dianggap sebagai gold standard dalam untuk diagnosis stenosis arteri renalis. 3.3 Hipertensi Akibat Hiperaldosteronisme Primer13 Hiperaldosteronisme primer adalah sindrom yang disebabkan oleh hipersekresi aldosteron dari kelenjar korteks adrenal yang tak terkendali. Keadaan ini dikenal dengan trias terdiri dari hipertensi, hipokalemi dan alkalosis metabolik sehingga umumnya gejala yang timbul adalah rasa lemas pada pasien dan tekanan darah tinggi yang biasanya sukar dikendalikan. Sindrom ini disebabkan oleh hiperplasi kelenjar korteks adrenal, adenoma unilateral atau karsinoma adrenal. Sel kelenjar adrenal yang mengalami hiperplasia atau adenoma akan menghasilkan kelenjar aldosteron yang berlebihan yang akan merangsang penambahan jumlah saluran natrium pada membran lumen duktus kolektivus kortek ginjal. Akibat penambahan ini, reabsorbsi natrium akan mengalami peningkatan yang juga akan membawa air sehingga tubuh cenderung menjadi

11

hipervolemia. Sejalan dengan keadaan ini, lumen duktus kolektivus menjadi lebih bermuatan negatif yang mengakibatkan keluarnya ion kaliumk dari sel duktus kolektivus masuk ke dalam lumen tubuli melalui saluran kalium sehingga terjadi peningkatan ekskresi kalium di urin. Hipokalemi ini akan merangsang peningkatan eksresi ion H di tubulus proksimal melalui pompa NH 3+, sehingga rearbsorbsi bikarbonat meningkat di tubulus proksimal sehingga terjadi alkalosis metabolik. Untuk menegakkan diagnosis, dilakukan pemeriksaan serum aldosteron dan plasma renin activity. Rasio antara kadar aldosteron dalam plasma dengan kadar renin dalam plasma (aldosterone renin ratio=ARR) memiliki nilai diagnostik yang bermakna untuk hiperaldosteronisme bila ARR>100. Diagnostik lain yaitu dengan terdapatnya peningkatan ekskresi kalium dalam urin 24 jam (>30 meq/L). Pemeriksaan lain adalah analisis gas darah yang menunjukkan gambara alkalosis metabolik. 3.4 Hipertensi Akibat Feokromositoma14 Feokromositoma berarti warna coklat, merupakan salah stau bentuk hipertensi endokrin, sebagian besar tumor ini tumbuh di dalam kelenjar adrenal, hanya 10% yang tumbuh diluar kelenjar adrenal (paraganglioma). Umumnya bersifat jinak dan hanya 10% yang metastasis ke paru, hati dan kelenjar getah bening. Tumor ini dapat mensekresi bermacam hormon seperti morefinefrin, efinefrin dan dopamin. Manifestasi klinis berhubungan dengan overproduksi katekolamin seperti sakit kepala, berkeringat, dan berdebar-debar yang dikenal sebagai trias. Kadangkadang juga terdapat hipertensi dan diabetes. Beberapa tanda klinis untuk mencurigai feokromositoma antara lain: 1. Hiperetensi menetap atau yang paroksismal disertai sakit kepala, berkeringat dan berdebar. 2. Hipertensi dan riwayat feokromositoma dalam keluarga 3. Hipertensi refrakter disertai berat badan menurun 4. Sinus takikardi

12

5. Hipertensi ortostatik 6. Aritmia rekuren 7. Krisis hipertensi yang terjadi selama pembedahan anestesi Diagnosis biasanya ditegakkan dengan pemeriksaan laboratorium seperti adanya peningkatan kadar katekolamin 5-10 kali normal. Selain itu perlu dilakukan tes klonidin dimana akan terjadi penekanan kadar norefinefrin. Ada juga tes provokasi yaitu tes regitin (fentolamin), dan tes stimulasi glukagon. Tes regitin berdasarkan dugaan kelebihan katekolamin, sebaliknya tes glukagon berdasarkan stimulasi glukagon. Apabila ditemukan kadar laboratorium yang positif, maka perlu dicari lokasi tumor dengan menggunakan CT-Scan. 3.5 Hipertensi Pada Kehamilan15 Hipertensi pada kehamilan merupakan penyebab utama meningkatnya morbiditas dan mortalitas ibu, janin dan neonatus. Perempuan hamil dengan hipertensi mempunyai resiko yang tinggi untuk komplikasi yang berat seperti gagal organ, penyakit serebrovaskular, koagulasi intravaskular, ruptur plasenta dan lain-lain. Pada dasranya terdapat 4 jenis hipertensi dalam kehamilan yaitu: 1. Preeklampsia-eklampsia Hipertensi (>140/90 mmHg) dan proteinuria (>300mg/24 jam)yang terjadi setelah kehamilan 20 minggu pada perempuan yang sebelumnya normotensi. 2. Hipertensi kronik Tekanan darah sistolik > 140 mmHg dan tekanan darah diastolik > 90 mmHg yang telah ada sebelum kehamilan, pada saat kehamilan 20 minggu yang bertahan sampai lebih dari 20 minggu pasca partus. 3. Preeklampsia pada hipertensi kronik Hipertensi pada perempuan hamil yang kemudian mengalami proteinuria atau pada perempuan yang sebelumnya sudah ada hipertensi dan proteinuria diikuti kenaikan mendadak tekanan darah atau proteinuria, trombositopenia atau peningkatan enzim hati.

13

4. Hipertensi gestasional Hipertensi pada kehamilan 20 minggu tapi tanpa proteinuria. Selain kemungkian pemantauan tekanan yang darah, diperlukan juga pemeriksaan gestasional. laboratorium. Pemeriksaan yang dianjurkan adalah Hb atau Ht untuk melihat hemokonsentrasi mendukung hipertensi Pemeriksaan kadar enzim AST, ALT dan LDH untuk mengetahui keterlibatan hati. Urinalisis untuk mengetahui adanya proteinuria atau ekskresi protein dalam urin 24 jam.

14

BAB IV PENATALAKSANAAN HIPERTENSI SEKUNDER

4.1 Penatalaksanaan Hipertensi Pada Penyakit Ginjal11 Berdasarkan patogenesis terjadinya hipertensi pada penyakit ginjal, maka pengobatan sebaiknya disesuaikan pada masing-masing kelompok. Pengobatan hipertensi pada kelompok penyakit glomerulus akut, diberikan diuretik yang berperan sekaligus untuk mengurangi edema yang terjadi pada kelompok ini. Pengurangan cairan dengan dialisis dapat juga menurunkan tekanan darah. Pemberian ACEI atau Angiotensin Receptor Blocker (ARB) juga dimungkinkan, stimulasi terhadap sistem renin angiotensin aldosteron jaringan (tissue-ACE) dapat terjadi bila ada lesi pada ginjal. ACEI atau ARB merupakan obat pilihan pengobatan hipertensi pada kelainan vaskular ginjal system-RAA. Pada gagal ginjal kronis, pemberian diuretik atau ACEI/ARB atau Calcium Channel Blocker (CCB) atau Beta Blocker dimungkinkan untuk pengobatan hipertensi secara sendiri-sendiri atau kombinasi. Komplikasi terjadinya hiperkalemi pada pemberian ACEI atau Beta Blocker atau penurunan fungsi ginjal pada pemberian ACEI harus menjadi perhatian. Bila terjadi hiperkalemi atau penurunan fungsi ginjal lebih dari 30%, pemberian obat ini harus dihentikan. Sesuai anjuran dari The Seventh Report of the Joint National Commitee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC 7) tahun 2003, tekanan darah sasaran pada gagal ginjal kronik adalah 130/80 mmHg untuk menahan progresi penurunan fungsi ginjal, maka tekanan darah diusahakan diturunkan untuk mencapai sasaran dengan kombinasi obat-obat di atas. oleh karena iskemi yang terjadi akan merangsang

15

Pengobatan

hipertensi

pada

penyakit

glomerulus

kronik

dapat

diperlakukan sebagai pengobatan hipertensi pada penyakit glomerulus akut. Pada glomerulonefritis kronik dapat ditemukan adanya hipertrofi ventrikel kiri walaupun tekanan darah masih dalam rentang normal, sehingga pemberian ACEI atau ARB dapat dipakai. 4.2 Penatalaksanaan Hipertensi Renovaskular12 Tujuan penatalaksanaan HRV adalah mengurangi angka morbiditas dan mortalitas akibat peningkatan tekanan darah dan iskemi ginjal, melalui pemberian obat antihipertensi, revaskularisasi dengan angioplasti atau operasi. Pilihan pengobatan yang akan diambil harus mempertimbangkan etiologi dari stenosis arteri renalis, dan keadaan umum pasien. Pada HRV akibat penyakit renovaskular aterosklerotik, hipertensi esensial biasanya sudah didiagnosis sebelum diagnosis HRV dan umumnya pasien sudah mendapat pengobatan antihipertensi sebelum perburukan dari kontrol tekanan darahnya atau fungsi ginjalnya, yang menjurus kepada suatu HRV. Pada penelitian the Dutch Renal Artery Stenosis Intervention Cooperative study , pengobatan medikamentosa dengan 3 atau lebih jenis obat antihipertensi dapat mengontrol tekanan darah pada lebih dari separuh pasien. Pada pasien dengan fibromuskular displasia, tindakan revaskularisasi dapat merupakan pengobatan definitif dalam menurunkan tekanan darah. Berbeda dengan pasien HRV akibat displasia fibromuskular, pasien dengan penyakit renovaskular aterosklerotik biasanya tetap membutuhkan obat antihipertensi walaupun tindakan revaskularisasinya berhasil. Tindakan revaskularisasinya biasanya kurang memberikan hasil yang memuaskan pada pasienHRV yang berusia lanjut, HRVdengan insufisiensi ginjal lanjut (kreatinin serum lebih dari 3 mg%), bila penyebabnya penyakit renovaskular aterosklerotik atau bila ukuran ginjal kurang dari 9 cm pada pemeriksaan radiografi atau ultrasonografi. 4.2.1 Terapi Medikamentosa

16

Pengobatan medikamentosa tidak berbeda dengan hipertensi esensial. Perhatian khusus harus diberikan bila memberikan ACEI atau ARB. Kedua obat ini merupakan pilihan pada stenosis unilateral di mana ginjal kontralateral berfungsi baik; sebaliknya merupakan kontraindikasi pada stenosis arteri renalis bilateral atau stenosis unilateral pada pasien dengan hanya satu ginjal (yang stenotik) yang berfungsi, oleh karena akan menyebabkan perburukan fungsi ginjal, bahkan gagal ginjal akut. Umumnya dibutuhkan kombinasi beberapa macam antihipertensi untuk mendapatkan kontrol yang optimal pada pasien HRV. 4.2.2 Angioplasti Perkutan Pada lesi fibromuskular, keberhasilan teknik pengobatan ini mencapai 85100%, di mana 50% pasien dapat disembuhkan sedangkan 40% mengalami perbaikan kontrol tekanan darah. Pada lesi aterosklerotik, keberhasilannya dalam menormalkan tekanan darah lebih kurang dibandingkan pada lesi aterosklerosis; walaupun demikian pada sebagian pasien terjadi perbaikan kontrol tekanan darah dan fungsi ginjal. 4.2.3 Revaskularisasi Dengan Tindakan Bedah Berbagai teknik operasi revaskularisasi telah dipergunakan, tergantung letak, luas, dan beratnya lesi pada arteri renalis. Untuk lesi ostial aterosklerotik dilakukan tindakan aortorenal endareterectomy dan aortorenal bypass. Untuk lesi fibromuskular dilakukan graft dari arteri hipogastrika. Dapat pula dilakukan aortorenal vein bypass graft pada lesi aterosklerotik dan lesi fibromuskular. Kontrol tekanan darah lebih banyak didapatkan pada lesi fibromuskular dari pada lesi aterosklerotik. 4.3 Penatalaksanaan Hipertensi Akibat Hiperaldosteronisme Primer 13 Tujuan terapi adalah menormalkan tekanan darah, serum kalium dan kadar serum aldosteron. Pada hiperplasi kelenjar aldosteron hal ini dicapai dengan dengan pemberian obat antagonis aldosteron. Pemberian spironolakton 12,5-25 mg biasanya sudah cukup efektif mengendalikan tekanan darah dan menormalkan

17

kadar kalium plasma. Sayangnya obat spironolakton yang diberikan dalam jangka panjang mempunyai efek samping seperti impotensi, ginekomastia, gangguan haid dan gangguan traktus gastrointestinal sehingga pemberian jangka panjang spironolakton mempunyai banyak kendala. Saat ini ada obat baru eplerenon dengan dosis 2 kali 25 mg perhari dengan efek samping yang lebih ringan daripada spironolakton sehingga dapat diberikan dalam jangka panjang, walaupun harganya relatif mahal. Selain terapi farmakologi perlu dikurangi asupan garam dalam makanan, berolahraga secara teratur, menormalkan berat badan dan menghindari konsumsi alkohol. Bila pasien tidak toleran dengan spironolaktan, dapat diberikan amiloride hingga dosis 15 mg dua kali sehari. Amiloride hanya dipakai untuk menormalkan kadar kalium dan tidak dapat menurunkan tekanan darah oleh karena itu perlu ditambahkan obat antihipertensi lain. Perlu diperhatikan bahwa pada terapi ini kadar aldosteron dalam darah tetapi tinggi dan dalam jangka panjang dikhawatirkan hal ini dapat menimbulkan gangguan pada jantung. 4.4 Penatalaksanaan Hipertensi Akibat Feokromositoma14 Terapi utama pada kondisi ini adalah tindakan operasi. Persiapan sebelum operasi yang perlu dilakukan adalah mengontrol tekanan darah menggunakan dan -blocker. Operasi dapat dilakukan secara konvensional ataupun laparaskopi. Pasca operasi dapat terjadi hipotensi dan hipoglikemia. Umumnya terjadi penurunan tensi pasca operasi, namun pada beberapa kasus tensi tetap tinggi sehingga perlu obat anti hipertensi. Follow-up harus dilakukan sepanjang hidup karena tumor sisa sering menimbulkan gejala klinis. Untuk jenis yang malignan, perlu reseksi yang agresif. Gejala perlu dikontrol dengan dan -blocker dan radiasi dilakukan untuk metastase ke tulang. Kemoterapi dengan siklosfosfamid, vinkristin dan dakarlazin perlu dipertimbangkan bila pembedahan tidak bisa dilakukan. Operasi tumor adalah pilihan terapi dan tingkat kesembuhan mencapai 90%. 4.5 Penatalaksanaan Hipertensi Pada Kehamilan15

18

Penatalaksanaan hipertensi pada kehamilan dapat dilakukan dengn terapi nonfarmakologis dan intervensi farmakologis. 4.5.1 Terapi Non-farmakologis Pada preeklampsia, hipertensi kembali menjadi normal setelah melahirkan. Akan tetapi bagi janin, kelahiran sebelum waktunya (preterm) tidak menguntungkan. Untuk itu walaupun berisiko, penatalaksanaan konservatif dipilih, menunggu agar janin dapat dilahirkan dalam keadaan yang lebih baik. Pada kisaran tekanan darah sistolik 140-160 atau diastolik 90-99 mmHg dapat dilakukan pengobatan non farmakologik. Perawatan singkat dilakukan untuk diagnosis dan menyingkirkan kemungkinan preeklampsia. Penanganan tergantung pada keadaan klinik, beratnya hipertensi, umur kehamilan dan risiko ibu serta janinnya. Dapat berupa pengawasan yang ketat, pembatasan aktivitas fisik, tirah baring miring ke kiri. Dalam keadaan ini dianjurkan diet normal tanpa pembatasan garam. 4.5.2 Terapi Farmakologis Pada hipertensi kronik yang hamil dengan tekanan darah yang tinggi, pengobatan sebelumnya dianjurkan untuk diteruskan. Akan tetapi pada tekanan darah yang tidak begitu tinggi, harus hati-hati, bila perlu, dilakukan pengurangan dosis. Tekanan darah yang terlalu rendah berisiko mengurangi perfusi uteroplasenta yang dapat mengganggu perkembangan janin. Bukti penelitian manfaat pengobatan hipertensi ringan pada kehamilan masih belum meyakinkan karena jumlah kasus penelitian yang masih sedikit sehingga tak cukup memperlihatkan manfaat penurunan angka komplikasi obstetrik. Tekanan darah lebih dari 170 atau diastolik lebih dari 110 mmHg pada perempuan hamil harus dianggap kedaruratan medis dan dianjurkan dirawat di rumah sakit. Pada keadaan ini tekanan darah harus diturunkan sesegera mungkin. Banyak yang tidak memberikan obat sampai batas tekanan darah diastolik >105 110 mmHg diastolik atau 160 mmHg sistolik, batas sering terjadinya

19

komplikasi pendarahan otak. Walaupun pada beberapa keadaan batasan ini tidak begitu tepat, mengingat tekanan diastolik sebelumnya kurang dari 75 mmHg. Pada hipertensi gestasional (tanpa proteinuria) batas pemberian pengobatan umumnya adalah di atas 140 mmHg sistolik atau 80 mmHg diastolik. Pada yang dengan hipertensi dengan proteinuria atau terdapat keluhan atau dengan tanda kerusakan organ target (pada hipertensi kronik) pemberian obat dapat diberikan untuk mencapai tekanan darah yang normal. Obat antihipertensi yang dapat atau tidak boleh dipakai dapat dilihat pada tabel berikut: Tabel 4.1 Obat anti hipertensi pada kehamilan Agonis alfa sentral Penghambat beta Penghambat alfa dan beta Antagonis kalsium Inhibitor ACE dan antagonis angiotensin Diuretik Metildopa, obat pilihan Atenolol dan metoprolol aman dan efektif pada kehamilan trimester akhir Labetolol, efektif seperti metildopa, pada kegawatan dapat diberi intravena Nifedipine oral, isradipine i.v dapat dipakai pada kedaruratan hipertensi Kontraindikasi, dapat mengakibatkan kematian janin atau abnormalitas Direkomendasikan apabila telah dipakai sebelum kehamilan. Tidak direkomendasikan pada Vasodilator preeklampsia Hydralazine tidak dianjurkan lagi mengingat efek perinatal

20

BAB V KESIMPULAN Hipertensi sekunder adalah hipertensi yang penyebabnya sudah jelas, sehingga terapi pada keadaan ini langsung ditujukan pada penyebab terjadinya hipertensi tersebut. Setidaknya ada 5 jenis hipertensi sekunder yaitu hipertensi akibat penyakit ginjal, hipertensi renovaskular, hipertensi akibat hiperaldosteronisme primer, hipertensi akibat feokromositoma, dan hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan. Penatalaksanaan pada hipertensi akibat penyakit ginjal sebaiknya disesuaikan pada masing-masing kelompok. Pengobatan hipertensi pada kelompok penyakit glomerulus akut, diberikan diuretik. Pada kelainan vaskular ginjal diberikan ACEI atau ARB. Sedangkan pada gagal ginjal kronis, pemberian diuretik atau ACEI/ARB atau Calcium Channel Blocker (CCB) atau Beta Blocker dimungkinkan untuk pengobatan hipertensi secara sendiri-sendiri atau kombinasi. Pada hipertensi renovaskular, pengobatan medikamentosa tidak berbeda dengan hipertensi esensial. Pada lesi fibromuskular, dapat dilakukan angiplasti perkutan dengan keberhasilan mencapai 85-100%. Disamping itu dapat juga dilakukan tindakan revaskularisasi dengan tindakan aortorenal endareterectomy dan aortorenal bypass. Tujuan penatalaksanaan hipertensi akibat hiperaldosteronisme primer adalah menormalkan tekanan darah, serum kalium dan kadar serum aldosteron. Pada hiperplasi kelenjar aldosteron hal ini dicapai dengan dengan pemberian obat antagonis aldosteron. Pemberian spironolakton 12,5-25 mg biasanya sudah cukup efektif mengendalikan tekanan darah dan menormalkan kadar kalium plasma.

21

DAFTAR PUSTAKA 1. Yunis Tri, dkk. Blood Presure Survey Indonesia Norvask Epidemiology Study. Medika Volume XXXIX 2003; 4: 234-8. 2. Shapo L, Pomerleau J, McKee M. Epidemiology of Hypertension and Associated Cardiovascular Risk Factors in a Country in Transition. Albania: Journal Epidemiology Community Health 2003;57:734739

22

3. Yogiantoro M. Hipertensi Esensial dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: FK UI. 2006. 4. Seventh Report of Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure. Available at: http://www.hypertensionaha.org 5. Bangun. A.P. 2002. Terapi Jus dan Ramuan Tradisional untuk Hipertensi. Tanggerang:PT.AgromediaPustaka(online),(http:/www.ekuator.com/index .p?see=katalog&topik=25-169k, diakses 14 september 2009) 6. Oktora R. Gambaran Penderita Hipertensi Yang Dirawat Inap di Bagian Penyakit Dalam RSUD Arifin Achmad Pekanbaru Periode Januari Sampai Desember 2005, Skripsi, FK UNRI, 2007, hal 41-42. 7. Mansjoer, Arif, dkk. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid I. Jakarta: Media Aesculapius FK UI: 2001. 8. Anonim.Hipertensi.Primer.http://www.scribd.com/doc/3498615/HIPERTENSI PRIMER?autodown=doc. [Diakses pada tanggal 14 September 2009]. 9. Salim, Edi Mart dkk. Standar Profesi Ilmu Penyakit Dalam, Palembang: Lembaga Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNSRI;2002:42
10. Rani, Aziz, dkk. Panduan Pelayanan Medik. Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI; 2006

Anda mungkin juga menyukai