Anda di halaman 1dari 12

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Belimbing Wuluh ( Averrhoa belimbi ) 1. Botani Belimbing Wuluh Tanaman belimbing wuluh mempunyai sosok tanaman yang memanjang ke atas bisa mencapai 12 meter tingginya, miskin akan cabang sehingga tanamannya agak langsing. Daun belimbing wuluh berbentuk lonjong bulat telur yang letaknya di ujung cabang atau ranting. Buah belimbing wuluh berbentuk lonjong berwarna hijau pekat semasa muda dan berubah kekuningan setelah masak, besarnya seukuran telur puyuh yang muncul bergelantungan pada dahannya (Satuhu, 1994). Dari batang dan cabang tanaman belimbing wuluh keluar bunga yang berwarna merah muda atau ungu yang berbentuk bintang. Belimbing wuluh tumbuh baik pada dataran rendah juga dapat tumbuh di daerah pegunungan sampai ketinggian 750 meter di atas permukaan laut. Tanaman belimbing wuluh umumnya tumbuh subur pada daerah yang beriklim kering dan cukup mendapat sinar matahari (Pinus Lingga, 1985). Warna daging buah-buahan yang dikupas pada umumnya cepat menjadi coklat. Hal ini disebabkan terjadinya reaksi browning, baik yang enzimatis maupun yang non enzimatis. Warna-warna buah yang menjadi coklat ini tidak disukai. Dengan adanya air garam disekeliling buah, maka reaksi browning dapat dicegah. Agar belimbing wuluh yang dibuat manisan bermutu bagus maka sebelumnya perlu diberikan perlakuan pendahuluan dengan cara direndam, perebusan, dan pengeringan. Hal ini dimaksudkan agar manisan buah yang dihasilkan mempunyai rasa, warna dan tekstur yang bagus dan tidak banyak vitamin C yang hilang. Pada proses pembuatan manisan belimbing wuluh ada fase dimana bahan dasar harus dikeringkan yang fungsinya untuk mengurangi kasar air agar daya simpan produk lebih lama. Proses pengeringan tersebut juga sangat

bervariasi, dapat secara langsung, dijemur dibawah matahari atau dengan bantuan alat (lemari pengering). Karena sifat vitamin C yang tidak tahan terhadap panas, maka kemungkinan kadar vitamin C pada manisan belimbing wuluh pada proses pengeringan yang berbeda dapat berbeda, serta hasil akhir produkpun dapat berbeda pula seperti kenampakannya, tekstur, rasa dan lainlain. Oleh karena itu, peneliti ingin meneliti apakah lama pengeringan berpengaruh pada kadar vitamin C, pH dan sifat organoleptik pada pembuatan manisan belimbing wuluh (Satuhu, 1994). 2. Kandungan Zat Gizi Belimbing wuluh Kandungan zat gizi yang ada pada belimbing wuluh cukup banyak sehingga bila tidak dimanfaatkan dengan baik akan sia-sia serta dibuang dengan percuma. Adapun kandungan zat gizi yang terdapat dalam belimbing wuluh dapat dilihat pada tabel 1. TABEL I KANDUNGAN ZAT GIZI BELIMBING WULUH TIAP 100 GRAM Komponen Jumlah Energi (cal) Karbohidrat (gr) Protein (gr) Vitamin C (mg) Calsium (mg) Phospor (mg) Zat Besi (mg) Sumber : Pinus Lingga, 1985 Belimbing wuluh memang bukan buah yang bisa disantap sebagai buah segar apalagi sampai dipajang di meja makan. Namun demikian, manfaatnya juga banyak. mulai dari bumbu sayur, penghapus noda pakaian, obat-obatan tradisional sampai pada manisan. 32 7 0,4 52 10 10 1,0

A. Manisan 1. Manisan buah Manisan adalah sejenis makanan ringan yang terbuat dari buah yang diawetkan terutama dengan menggunakan gula. Dipasaran ada empat jenis manisan yang dijual, yaitu : a. Manisan basah dengan larutan gula encer. Biasanya buah : mangga, salak, jambu biji, kedondong, pepaya b. Manisan basah dengan larutan gula kental, misal: buah pala, ceremai, belimbing. c. Manisan kering bertabur gula kasar, misal: buah asam, pala, kedondong. d. Manisan kering asin, rasa asam, asin manis dan relatif digemari (Apriantono, 1984). Buah Belimbing wuluh potensi yang baik untuk diolah dan dikembangkan dalam bentuk manisan kering. Produk ini mempunyai beberapa keuntungan diantaranya : lebih awet, volume serta bobotnya menjadi lebih kecil sehingga mempermudah dan menghemat ruang pengepakan dan pengangkutan. Proses pengolahan, pertama Belimbing wuluh disortasi dulu sampai bersih, selanjutnya buah yang telah dicuci dengan air mengalir digilas dengan parut untuk mengurangi kadar airnya. Lalu direndam dalam larutan kapur 10 % selama 2 hari. Setelah direndam dalam larutan kapur dengan konsentrasi 10 % kemudian diangkat dan dilanjutkan dengan perendaman dalam larutan garam dengan konsentrasi 10 %. Kemudian dilakukan pencucian dengan air kemudian ditiriskan. Setelah ditiriskan kemudian direbus dalam larutan gula dengan kadar 65 % selama 15 menit. Kemudian dilanjutkan dengan perendaman dalam larutan gula sisa perebusan selama 24 jam. Tahap akhir, diangkat, kemudian ditiriskan dan dikeringkan (Pinus Lingga, 1985).

Manisan buah kering produk olahan buah segar yang menggunakan pemanis gula sebagai pengawet utama dan pemberi rasa (Apriantono, 1989). Jika konsistensi gula dalam bahan cukup tinggi maka gula berperan sebagai pengawet, karena dapat menurunkan Aw (Water activiti) dari bahan makanan sampai suatu keadaan dimana pertumbuhan mikroorganisme tidak memungkinkan lagi, prinsip bekerjanya gula sebagai pengawet ialah gula dengan konsentrasi 65% bersifat menghambat pertumbuhan bakteri, khamir dan kapang. Hal ini terjadi sebagai efek dehidrasi yang ditimbulkan karena terjadi tekanan osmosa yang tinggi dari gula, yang bisa menyebabkan terjadinya kerusakan bagi jasad renik terutama jenis osmofilik yaitu jasat renik yang hidup pada lingkungan yang mempunyai kandungan air rendah (Derajat, 1981). Belimbing wuluh mempunyai rasa masam sehingga untuk menghilangkan perlu direndam dalam larutan kapur. Fungsi dari larutan kapur Ca(OH)2 untuk mengurangi dan menghilangkan rasa masam dan lender yang terdapat dalam buah belimbing wuluh, selain itu juga untuk memperbaiki tekstur dari buah supaya menjadi renyah. Kerenyahan terjadi karena kalsium dari larutan kapur yang berpenetrasi ke dalam jaringan buah menjadi lebih kompak dengan terbentuknya ikatan baru antara kalsium dengan senyawa yang terdapat dalam jaringan buah. Yaitu antara air kapur yang bereaksi dengan pektik membentuk kalsium (Pinus Lingga, 1985) Garam merupakan racun dari jasad renik. Mikroba perusak yang terdapat pada buah menjadi mati bila ditambahkan garam. Jika dikombinasikan dengan asam daya bunuhnya terhadap jasat renik menjadi lebih kuat. Pemakaian garam dapat dengan cara perendaman dalam larutan garam, pemberian langsung lantas diaduk atau dengan pelumuran. Mekanisme pengawetan dengan pemberian garam dapatlah dijelaskan sebagai berikut, garam mempunyai tekanan osmotik yang tinggi sehingga dapat mengakibatkan terjadinya plasmolisa pada sel mikroorganisme, garam bersifat higroskopik sehingga dapat menyerap air dari bahan makanan, dengan demikian Aw makanan menjadi rendah dan dapat meracuni mikroorganisme peka terhadap karbondioksida, garam merintangi aksi enzim peoteolik. Pada proses penggaraman ada cara diantaranya adalah: penggaraman kering (dry salting), perendaman dalam larutan garam (brine) kombinasi dari penggaraman kering dan perendaman larutan dalam garam, infeksi dengan larutan garam. Faktor-faktor dari dalam juga mempengaruhi penetrasi garam terhadap jaringan segar baik hewani maupun nabati yaitu : tipe atau jenis dari bahan segar tersebut, kandungan lemak, ukuran dan potongan bahan yang diolah. Sedangkan faktor-faktor dari luar yang mempengaruhi penetrasi garam yaitu : suhu larutan garam, volume larutan garam, kemurnian daripada garam, aktifitas jasad renik (Derajat, 1981).

C. Vitamin C (C6H8O6) 1. Susunan Kimia Vitamin C Vitamin C mudah larut dalam air, sedikit larut dalam alkohol dan gliserol, tetapi tidak larut dalam pelarut organic non polar seperti eter, benzene,

kloroform. Vitamin C didalam larutan sangat sensitif oleh oksidasi, dapat mudah rusak atau hilang oleh alkali-alkali, besi dan garam-garam tembaga, pemanasan pada suhu tinggi, enzim oksidasi, udara bebas dan cahaya. Vitamin C tahan dalam media asam, tetapi hilang dengan cepat ketika dipanaskan dalam media netral dan basa. Enzim-enzim respirasi juga merusak asam askorbat. Akibatnya vitamin C buah segar yang hilang selama penyimpanan besar (Winarno, 1980). 2. Sumber Vitamin C Buah-buahan merupakan sumber vitamin C yang utama, karena itu buahbuahan merupakan bahan pelengkap makanan yang penting dalam kehidupan sehari-hari di dalam rumah tangga. Sayur-sayuran juga merupakan sumber vitamin C, tetapi tidak sekaya buah-buahan. Distribusi vitamin C dalam berbagai tumbuhan sangat bervariasi. Beberapa buah ada yang sebagian besar sumber vitamin C nya terdapat pada bagian kulit dibandingkan dengan bagian daging dan paling sedikit bagian biji. Adapula jenis buah-buahan yang kandungan vitamin C nya paling banyak pada dagingnya. Biasanya rasa daging buah itu asam-asam manis karena vitamin C atau asam askorbat adalah sejenis gula yang mudah teroksiodasi, tetapi kegiatan koenzimnya ini memegang peranan penting dalam system pengoksidasian atau penyusutan faali. Kadar vitamin C sangat dipengaruhi oleh varietas, lingkungan, tempat tumbuh, pemakaian berbagai jenis pupuk, tingkat kematangan buah dan sebagainya, kemungkinan adanya variasi yang besar dalam kadar vitamin C harus selalu dipertimbangkan (Winarno,1980). 3. Kerusakan Vitamin C pada proses pengolahan

Vitamin C sangat mudah rusak pada saat pemasakan, penyimpanan dan berbagai proses pengolahan pangan sehingga dalam hidangan vitamin C yang tertinggal jauh lebih kecil dibandingkan dengan kadarnya dalam makanan segar sebelum mengalami pemasakan dan penanganan lainnya. Sifat umum dari vitamin C dalam bentuk murni merupakan kristal putih, tidak berwarna, tidak berbau dan mencair pada suhu 190 - 192 C. Senyawa ini bersifat reduktor kuat dan mempunyai rasa asam, mudah larut dalam air dan tidak larut dalam bensin, eter, kloroform dan minyak. Sangat sensitif terhadap faktor-faktor yang menyebabkan kerusakan terhadap suhu, udara, konsentrasi gula garam, pH, oksigen, enzim katalisator logam, konsentrasi awal baik dalam larutan maupun sistem model dan rasio antara asam askorbat dan dehidro asam askorbat. Oleh karena itu dalam proses pengolahan terutama menggunakan suhu tinggi vitamin C banyak yang hilang serta dihindari pengirisan dan penghancuran yang berlebihan (Winarno, 1980). Pemasakan buah makanan dalam rumah tangga terdiri atas berbagai tahap yaitu menyiangi, mengiris-iris atau memotong-motong, mencuci dan mengolahnya dengan menggunakan panas. Pada pembersihan atau penyiangan bahan makanan mentah, bagian yang rusak atau tidak dimakan dibuang, misalnya kulit dan biji. Pada dasarnya tidak banyak vitamin yang dibuang dari bahan makanan mentah ini. Sebagian besar vitamin dalam bahan makanan yang dibeli, masih tersimpan utuh dalam bagian yang akan dimakan. Pada pemotongan dan pengirisan buah atau sayur-sayuran mentah, sebagian sel-selnya rusak terpotong, sehingga isinya termasuk vitamin C menjadi keluar. Keadaan ini menyebabkan terbuka pengaruh udara yang mengandung oksigen dan pengaruh sinar matahari yang mengandung sinar ultraviolet. Mengiris-iris buah atau sayur menjadi potongan yang semakin halus menyebabkan kerusakan semakin berat bila sesudah dipotong-potong masih dibiarkan saja beberapa lama sebelum dimasak. Pengirisan buah atau sayur mentah sebaiknya dilakukan segera sebelum dimasak lebih lanjut.

Kerusakan atau kehilangan dapat dihindari dengan cara mendidihkan dulu air perebus baru buah atau sayur dimasukkan ditutup rapat dan direbus tidak terlalu lama. Keadaan ini akan menyebabkan uap air akan mendesak keluar udara yang mengandung oksigen, sehingga dapat dihindarkan kerusakan vitamin C oleh pengaruh udara dalam zat asam tersebut. Selain itu ion-ion logam yang terlepas dari alat pemasak yang dibuat dari bahan logam akan memudahkan terjadinya kerusakan oleh oksidasi vitamin C. kerusakan vitamin C dapat dihindari dengan menggunakan alat pemasak berlapis email atau terbuat dari bahan stainless steel. Teknik pemasakan yang baik dapat menekan kerusakan vitamin C sehingga kadar vitamin C dalam bahan pangan masih dapat dipertahankan sekitar 50 % dari kadar semula. Teknik pengeringan buah-buahan dan sayuran menurut teknologi pangan dapat mempertahankan kadar asal vitamin C dalam prosentase yang cukup dan hanya sedikit yang hilang setelah menjadi makanan jadi (Sediaoetama, 1987 ).

D. pH pH merupakan ukuran kekuatan suatu asam, pH suatu larutan dapat ditera dengan beberapa cara antara lain dengan jalan menitrasi larutan dengan asam basa dengan kertas indikator atau lebih teliti lagi dengan mengunakan pH Meter. Suatu asam kuat dalam larutan mengion sempurna menjadi ion ion nya. Makin rendah keasaman suatu larutan maka pH akan semakin besar pH suatu bahan pangan sangat mempengaruhi daya simpannya, karena mikroba dapat tumbuh baik pada batas pH tertentu. Bakteri dan ragi umumnya akan tumbuh pada pH yang lebih tinggi dibandingkan dengan kapang. Oleh karena itu semakin rendah kadar air pada suatu bahan pangan maka akan semakin tinggi nilai pH nya dan semakin banyak bakteri yang dapat hidup pada bahan makanan tersebut sehingga menyebabkan semakin cepat pula bahan pangan tersebut mengalami kerusakan.

Pada pembuatan manisan melalui pengeringan, semakin lama pengeringan kadar air suatu bahan semakin menurun, menyebabkan konsentrasi gula (padatan terlarut) semakin meningkat, dan juga terjadi penguapan asam-asam volatil . Selama perebusan akan terbentuk asam volatil yang akan menurunkan pH (derajat keasaman) apabila panci ditutup, asam volatil akan menguap, kemudian mengembun pada tutup panci dan akan menetes kedalam air dan mengakibatkan buah yang semula berwarna hijau berubah menjadi coklat (Lisdiana, 1994). Perubahan pH sangat berpengaruh terhadap pigmen antioksidan (warna kuning / putih) pada bahan pangan. Jika bahan pangan berada dalam larutan yang ber pH lebih dari 8 maka warna akan berubah berubah menjadi kuning, dan apabila pH kurang dari 6 maka warna akan berubah menjadi putih (Muhtadi, 1992).

E. Pengeringan 1. Pengeringan Pengeringan merupakan salah satu cara pengawetan pangan yang paling lama. Cara ini merupakan suatu proses yang ditiru dari alam. Pengeringan merupakan metode pengawetan pangan yang paling luas digunakan (Desrosier,1988). Pengertian dari pengeringan adalah suatu metode untuk menghilangkan

sebagian air dari bahan pangan dengan menguapkan (Winarno, 1993) Proses pengeringan dapat dilakukan secara alamiah dengan

menggunakan sinar matahari (sun drying). Atau penjemuran, sedangkan pengeringan non alamiah (artifical drying) atau buatan menggunakan suatu alat pengeringan. a. Pengeringan alamiah (sun drying)

Pengeringan alamiah merupakan pengeringan yang lazim digunakan karena dilakukan dengan bantuan sinar matahari. Keuntungan menggunakan pengering alami : 1. murah, 2. tidak memerlukan keahlian khusus, 3. mudah dalam prosesnya. Kekurangan dari metode ini antara lain : 1. tergantung dari cuaca, 2. sukar menentukan lama penjemuran karena kenaikan suhu tidak teratur, 3. kebersihan kurang terkendali. b. Pengeringan Non alamiah (artifical drying) Pengeringan menggunakan buatan merupakan cara pengeringan yang

alat pengering. Pada proses ini udara yang dipanaskan

disirkulasikan dengan alat penghembus. Keuntungan dari metode ini : 1. suhu dan aliran udara dapat diatur, 2. proses dapat dikontrol, 3. kebersihan dapat terjamin, 4. tidak memerlukan tempat yang luas, 5. penyusutan bahan tidak sebesar pengeringan alamiah (Marliyati, Sulaiman dan Anwar, 1992). Mutu yang akan diperoleh dari suatu produk kurang khususnya tepung seperti tekstur, warna bisa dicapai bila suhu, waktu, bahan yang dipilih dan proses pengeringan terkendali dengan efektif dan efisien. Hal tersebut dapat dilakukan menggunakan pengeringan buatan. Untuk pengeringan suatu bahan pangan terdapat berbagai tipe pengering yang digunakan. Pemilihan tipe pengering tergantung pada bahan yang akan dikeringkan dan tujuan pengeringan. Dari berbagai tipe pengering yang sering digunakan untuk penelitian

dehidrasi buah-buahan dan sayuran di laboratorium dalam sekala kecil adalah pengering kabinet. Hal yang menyebabkan penggunaan pengeringan ini adalah murah pembuatannya dan mudah dalam penggunaannya. Pengering ini terdiri dari suatu ruangan dimana rigen-rigen yang akan dikeringkan terdapat didalamnya. Udara dihembuskan dengan menggunakan kipas angin melalui suatu pemanas dan kemudian menembus rigen-rigen pengering berisi bahan yang akan dikeringkan (Desrosier, 1988).

Untuk berhasilnya suatu usaha pengeringan ada beberapa faktor yang mempengaruhi yaitu : 1. luas permukaan, 2. suhu pemanasan, 3. kecepatan aliran udara, 4. Tekanan udara. Pengeringan dapat berlangsung baik jika tidak terjadi case hardening. Case hardening yaitu suatu keadaan dimana luas permukaan bahan sudah kering tapi bagian dalam masih basah. Penyebab case hardening adalah suhu pemanasan yang terlalu tinggi. Suhu pengeringan untuk buah berkisar 55 -70 C. Pada umumnya pengeringan bahan pangan khususnya buah dapat mengubah warna menjadi coklat. Perubahan warna tersebut disebabkan reaksi enzimatis ataupun non enzimatis. Untuk mencegah reaksi browning bisa ditambahkan SO2, vitamin C atau dengan penambahan Bisulfit (Marliyati, Sulaiman dan Anwar, 1992) 2. Pengaruh pengeringan terhadap kadar vitamin C Selama pengeringan, bahan pangan kehilangan kadar air yang menyebabkan naiknya kadar gizi di dalam massa yang tertinggal. Sebagian besar bahan pangan kering bila direkonstuksi atau rehidrasi tetap berbeda dengan bahan pangan yang segar. Bagaimanapun juga melalui cara pengawetan, kualitas bahan pangan yang diawetkan tidak pernah lebih tinggi dari bahan aslinya (Desrosier,1988) Dengan berkurangnya air dalam bahan pangan, kandungan senyawasenyawa seperti protein, karbohidrat, lemak dan mineral konsentrasinya akan meningkat tetapi vitamin dan zat warna pada umumnya rusak atau berkurang (Marliyati, Sulaiman dan Anwar, 1992). Asam askorbat dan karoten mengalami kerusakan karena proses oksidasi. riboflavin peka terhadap cahaya, tiamin peka terhadap panas dan rusak oleh proses sulfurisasi ( Desrosier,1988 ). Berkurangnya asam askorbat atau vitamin C akibat pengeringan berkisar dari 10% - 50%. pencucian dan perlakuan lain menyebabkan sebagian dari susutnya vitamin C (Haris. Karmas 1989). Pengeringan dengan sinar matahari mengakibatkan banyak karoten

yang hilang. Kehilangan vitamin C terjadi dalam jumlah yang besar pada buah buahan yang kering matahari ( Desrosier,1988 ).

F. Sifat Organoleptik Sifat mutu organoleptik adalah sifat mutu produk yang hanya dapat diukur atau dinilai dengan uji atau penilaian organoleptik. Sifat organoleptik merupakan hasil reaksi fisiopsikologis berupa tanggapan atau kesan pribadi seorang atau penguji mutu (Soekarto, 1985). Tujuan dari pengenalan sifat organoleptik pangan ini adalah mengenal sifat-sifat organoleptik beberapa produk yang berperan dalam analisis bahan dan melatih pancaindra untuk mengenali jenis-jenis rangsangan (Rahayu, 1997). Buah belimbing wuluh mempunyai potensi yang baik untuk dijadikan produk makanan olahan, salah satunya adalah manisan kering. Keuntungan manisan kering diantaranya awet, volume dan bobotnya menjadi lebih kecil sehingga mempermudah dan menghemat ruang pengepakan. Manisan buah belimbing wuluh kering yang baik adalah yang memiliki rasa manis, teksturnya kering , warna menarik dan masih ada aroma dari buah Belimbing Wuluh karena itu merupakan ciri khas dari manisan buah belimbing wuluh (Satuhu, 1994). Uji organoleptik adalah pengujian sel subyektif yaitu penerimaan selera makanan yang didasarkan atas uji kegemaran dan analisa perbedaan. Penerimaan atas pengujian secara organoleptik diperlukan beberapa syarat antara lain : suasana tenang, bersih, peralatan yang digunakan bebas bau, bahan contoh yang tepat standart dan panelis agak terlatih dengan demikian dapat diketahui produksi yang diuji (Soewarno, 1985).

G. KERANGKA KONSEP Variabel independen Variasi lama pengeringan (0,3,6,9 jam) Manisan belimbing wuluh Variabel dependen Kadar Vitamin C pH Sifat Organoleptik

Variabel terkendali

Jenis dan kematangan belimbing Konsentrasi larutan gula, garam, kapur Lama perendaman dalam larutan gula dan kapur Suhu dan alat pengering

H. HIPOTESA Ada pengaruh lama pengeringan manisan Belimbing wuluh terhadap kadar vitamin C, pH, dan sifat Organolepik

Anda mungkin juga menyukai