Anda di halaman 1dari 12

Prinsip Penatalaksanaan Infeksi Odontogen

Ditulis pada April 15, 2011 Pendahuluan Dalam praktik sehari-hari dapat kita temukan infeksi yang dapat bersifat akut maupun kronis. Infeksi akut biasanya ditandai dengan pembengkakn dan rasa sakit yang hebat dengan manifestasi berupa malaise dan demam berkepanjangan. Infeksi kronis dapat berkembang dari penyembuhan sebagian keadaan akut, serangan yang lemah atau pertahanan yang kuat infeksi kronis ditandai dengan ketidaknyamanan dalam berbagai tingkatan dan bukan berupa rasa sakit yang hebat (Roeslan, 1994). Infeksi odontogen adalah infeksi yang awalnya bersumber dari kerusakan jariangan keras gigi atau jaringan penyangga gigi yang disebabkan oleh bakteri yang merupakan flora normal rongga mulut yang berubah menjadi patogen (Soemartono, 2000).

Penyebaran infeksi odontogen ke dalam jaringan lunak dapat berupa abses. Secara harfiah, abses merupakan suatu lubang berisi kumpulan pus terlokalisir akibat proses supurasi pada suatu jaringan yang disebabkan oleh bakteri piogenik. Abses yang sering terjadi pada jaringan mulut adalah abses yang berasal dari regio periapikal. Daerah supurasi terutama tersusun dari suatu area sentral berupa polimorfonuklear leukosit yang hancur dikelilingi oleh leukosist hidup dan kadang-kadang terdapat limfosit. Abses juga merupakan tahap akhir dari suatu infeksi jaringan yang dimulai dari suatu proses yang disebut inflamasi (Aryati, 2006). Abses merupakan suatu lesi yang bagi tubuh sulit ditangani, karena kecenderungannya untuk meluas ke banyak jaringan dan sulitnya agen-agen terapeutik masuk ke dalam abses melalui pembuluh darah (Sabiston, 1994). Infeksi odontogen dapat menyebar ke jaringan-jaringan lain mengikuti pola patofisiologi

yang beragam dan dipengaruhi oleh jumlah dan virulensi mikroorganisme, resistensi dari host dan struktur anatomi dari daerah yang terlibat (Soemartono, 2000). Prinsip dasar perawatan kasus infeksi odontogen antara lain; (1) mempertahankan dan meningkatkan faktor pertahanan tubuh penderita, (2) pemberian antibiotik yang tepat dengan dosis yang memadai, (3) tindakan drainase secara bedah dari infeksi yang ada, (4) menghilangkan secepat mungkin sumber infeksi dan (5) evaluasi terhadap efek perawatan yang diberikan. Pada kasus-kasus infeksi fascial space, pada prinsipnya sama dengan perawatan infeksi odontogen lainnya, tetapi tindakan yang dilakukan harus lebih luas dan agresif (Soemartono, 2000; Mahmood&Mahmood, 2005). Mempertahankan dan meningkatkan faktor pertahanan tubuh penderita meliputi : (a) meningkatkan kualitas nutrisi, termasuk pemberian vitamin tambahan, diet tinggi kalori dan protein, (b) mempertahankan keseimbangan cairan tubuh dan (c) pemberian analgesik. Pencabutan gigi atau menghilangkan faktor penyebab lain yang menjadi sumber infeksi harus segera dilakukan setelah gejala infeksi akut mereda. Hal ini untuk mencegah timbulnya kekambuhan dari infeksi (Soemartono, 2000; Mahmood&Mahmood, 2005). Insisi dan Drainase Perawatan pada abses pada prinsipnya adalah insisi dan drainase. Insisi adalah pembuatan jalan keluar nanah secara bedah (dengan scapel). Drainase adalah tindakan eksplorasi pada fascial space yang terlibat untuk mengeluarkan nanah dari dalam jaringan, biasanya dengan menggunakan hemostat. untuk mempertahankan drainase dari pus perlu dilakukan pemasangan drain, misalnya dengan rubber drain atau penrose drain, untuk mencegah menutupnya luka insisi sebelum drainase pus tuntas (Karasutisna, 2001; Lopez-Piriz et al., 2007).

Gambar . Atas (A). pembuatan insisi pada daerah abses (Abses sublingual). (B) Hemostat diinsersika ke dalam kavitas ruang abses. Bawah (A/B). Pemasangan rubber drain pada daerah abses. Apabila belum terjadi drainase spontan, maka perawatan abses vestibular adalah insisi dan drainase pada puncak fluktuasi dan drainase dipertahankan dengan pemasangan drain (drain karet atau kasa), pemberian antibiotik untuk mencegah penyebaran infeksi dan analgesik sebagai penghilang sakit. Pencabutan dilakukan setelah gejala akutnya mereda. Apabila sudah terjadi drainase spontan (sudah ada fistula) maka dapat langsung dilakukan pencabutan gigi penyebab. Pencabutan gigi yang terlibat (menjadi penyebab abses) biasanya dilakukan sesudah pembengkakan sembuh dan keadaan umum penderita membaik. Dalam keadaan abses yang akut tidak boleh dilakukan pencabutan gigi karena manipulasi ekstraksi yang dilakukan dapat menyebarkan radang sehingga mungkin terjadi osteomyelitis (Karasutisna, 2001; Lopez-Piriz et al., 2007). Ada beberapa tujuan dari tindakan insisi dan drainase, yaitu mencegah terjadinya perluasan abses/infeksi ke jaringan lain, mengurangi rasa sakit, menurunkan jumlah populasi mikroba beserta toksinnya, memperbaiki vaskularisasi jaringan (karena pada daerah abses vakularisasi jaringan biasanya jelek) sehingga tubuh lebih mampu menanggulangi infeksi yang ada dan pemberian antibiotok lebih efektif, dan mencegah terjadinya jaringan parut akibat drainase spontan dari abses. Selain itu, drainase dapat juga dilakukan dengan melakukan open bur dan ekstirpasi jarngan pulpa nekrotik, atau dengan pencabutan gigi penyebab (Karasutisna, 2001). Terapi Medikasi Pemakaian antibiotik dalam perawatan medikasi lebih diutamakan dengan tujuan untuk mencegah penyebaran infeksi. Pemilihan antibiotik dilakukan berdasarkan bakteri penyebab infeksi. Terdapat dua faktor mikrobiologi yang harus ada di dalam benak dokter gigi pada saat memilih antibiotik. Pertama, antibiotik harus efektif melawan organisme Streptococcus selama bakteri ini paling banyak ditemukan. Kedua, antibiotik harus efektif melawan bakteri anaerobik sprektrum luas (Mahmood & Mahmood, 2005). Penisilin masih menjadi drug of choice yang sensitif terhadap organisme Streptococcus (aerobik dan anaerobik), namun sayangnya antibiotik jenis ini mengalami resistensi (Mahmood & Mahmood, 2005). Penisilin dibagi menjadi penisilin alam dan semisintetik. Penisilin alam memiliki beberapa kelemahan antara lain tidak tahan asam lambung, inaktivasi oleh penisilinase, spektrum sempit dan sering menimbulkan sensitivitasi pada penderita yang tidak tahan terhadap penisilin. Untuk mengatasi hal tersebut, dapat digunakan penisilin semisintetik antara lain amfisilin (sprektrum luas, tidak dirusak asam lambung, tetapi dirusak oleh penisilinase) dan kloksisilin (efektif terhadap abses, osteomielitis, tidak dirusak oleh asam lambung dan tahan terhadap penisilinase) (Soetiarto, 1997).

Penggunaan penisilin di dalam klinik antara lain adalah ampisilin dan amoksisilin. Absorbsi ampisilin oral seringkali tidak cukup memuaskan sehingga perlu peningkatan dosis. Absorbsi amoksisilin di saluran cerna jauh lebih baik daripada ampisilin. Dengan dosis oral yang sama, amoksisilin mencapai kadar dalam darah yang tingginya kira-kira 2 kali lebih tinggi daripada ampisilin, sedangkan masa paruh eleminasi kedua obat ini hampir sama. Penyerapan ampisilin terhambat oleh adanya makanan di lambung, sedangkan amoksisilin tidak (Ganiswara, 1995). Namun, akhirakhir ini penggunaan metronidazole sangat populer dalam perawatan infeksi odontogen. Metronidazole tidak memiliki aktivitas dalam melawan bakteri aerob, tetapi efektif terhadap bakteri anaerob (Mahmood & Mahmood, 2005). Abses gigi sering kali dapat menimbulkan rasa nyeri. Nyeri gigi yang muncul akibat keradangan salah satunya disebakan oleh adanya infeksi dentoalveolar yaitu masuknya mikroorganisme patogen ke dalam tubuh melalui jaringan dentoalveolar (Sukandar & Elisabeth, 1995). Untuk mengatasi hal tersebut biasanya melalui pendekatan farmakologis dengan pemberian obat analgesik untuk meredakan rasa nyeri dengan efek analgesiknya kuat dan cepat dengan dosis optimal. Pasien dengan nyeri akut memerlukan obat yang dapat menghilangkan nyeri dengan cepat, efek samping dari obat lebih dapat ditolerir daripada nyerinya (Rahayu, 2007).

Gambar . Mekanisme aksi NSAIDs (non streroidal antiinflammatory drugs) Obat anti inflamasi non steroid (non streroidal antiinflammatory drugs/ NSAIDs) adalah golongan obat yang terutama bekerja perifer dan memiliki aktivitas penghambat radang dengan mekanisme kerja menghambat biosintesis prostaglandin melalui penghambatan aktivitas enzim siklooksigenase (Ganiswara, 1995;

Kartasasmita, 2002). Efek analgesik yang ditimbulkan ini menghambat sintesis prostaglandin sehingga dapat menyebabkan sensitisasi reseptor nyeri terhadap stimulasi mekanik dan kimiawi. Prostaglandin dapat menimbulkan keadaan hiperalgesia kemudian mediator kimiawi seperti bradikini dan histamin merangsangnya dan menimbulkan nyeri yang nyata (Ganiswara, 1995). Efek analgesik NSAIDs telah kelihatan dalam waktu satu jam setelah pemberian peroral. Sementara efek antiinflamasi telah tampak dalam waktu satu-dua minggu pemberian, sedangkan efek maksimalnya timbul bervariasi dari 1-4 minggu. Setelah pemberiannya peroral, kadar puncaknya di dalam darah dicapai dalam waktu 1-3 jam setelah pemberian, penyerapannya umumnya tidak dipengaruhi oleh adanya makanan (Arbie, 2003). Asam mefenamat digunakan sebagai analgesik; sebagai antiinflamasi, asam mefenamat kurang efektif dibandingkan dengan aspirin. Asam mefenamat terikat sangat kuat pada protein plasma. Oleh karena itu, interaksi terhadap obat antikoagulan harus diperhatikan. Efek samping pada saluran cerna sering timbul misalnya dispepsia dan gejala iritasi lain terhadap mukosa lambung. Dosis asam mefenamat adalah 2-3 kali 250-500 mg sehari (Ganiswara, 1995). Infeksi Odontogen yang Agresif

Apabila riwayat kasus menunjukkan adanya infeksi yang agresif dan terjadi secara mendadak (misalnya seperti pada plegmon/ angina ludwig), maka perlu dilakukan pengontrolan terhadap pasien yakni 24 jam setelah perawatan. Pasien harus mendapatkan perawatan rawat inap untuk memperoleh antibiotik dosis tinggi intravena, rehidrasi (untuk keseimbangan cairan), prosedur bedah yang ekstensif untuk drainase dan pemantau secara teratur (Pedersen, 1996; Uluibau et al., 2005). Pasien yang menunjukkan gejala penjalaran infeksi odontogenik ke leher bagian daam perlu dilakukan hospitalisasi, sehingga tata laksana utama adalah life saving jika dijumpai obstruksi jalan nafas dengan menjaga airway tetap paten, jika diperlukan dapat dilakukan intubasi fiberoptic, blind nasal, surgical airway dengan merujuk pasien ke bagian yang terkait, pemberian antibiotik secara parenteral, intake nutrisi memadai serta oksigenase adequat (Poedjiastoeti & Santoso, 2005). Copyright 2011, Ali Taqwim [dentistalit@yahoo.co.id]

Peran Kelenjar Limfe Pada Infeksi Odontogen


Ditulis pada April 10, 2011 Infeksi odontogen dapat meluas dengan berbagai cara. Pertama, dengan cara langsung, yaitu menyebar melalui jaringan sekitaryang bersbelahan secara langsung dan kontinyu [1]. Shafer berpendapat [2], penyebaran infeksi odontogen juga dapat melalui aliran darah. Cara penyebaran yang lain adalah dengan melalui aliran limfe [1,2].

Dari 800 kelenjar limfe di seluruh tubuh hampir (30 %nya) 300 kelenjar limfe berada di kepala dan leher dengan demikian seringkali baik metastasis ataupun penjalaran infeksi muncul sebagai pembesarann kelejar limfe kepala leher [3]. Perubahan patologis pada kelenjar limfe, baik yang merupakan infeksi maupun neoplastik sering ditemukan dan sukar dibedakan dari tumor nonlimfatik, proses radang atau degeneratif. Adanya pembesaran limfe pada bagian anterolateral atas leher jika berlangsung singkat dan disertai dengan nyeri tekan dan kemerahan, menunjukkan limfadenetis sekunder akibat infeksi. Pembesaran kelenjar limfe multiple, yang kadang-kadang mengalami fluktuasi seringkali saling melekat dan bergabung dan biasanya tidak nyeri tekan sering merupakan akibat proses granulomatosis kronik [4]. Faktor dalam menilai kelenjar limfe yang bengkak adalah usia pasien, ciri khas kelenjar limfe, lokasi kelenjar dan latar belakang klinis yang terkait dengan limfadenopati. Ciri fisik kelenjar perifer penting, kelenjar linfoma cenderung teraba kenyal, seperti karet, saling berhubungan dan tanpa nyeri. Kelenjar pada karsinoma metastatik biasanya keras dan terfikasasi pada jaringan dibawahnya. Pada infeksi akut, kelenjar limfe akan teraba lunak, membengkak secara asimetris dan saling berhubungan serta kulit di atasnya eritematosus (kemerahan) [5]. Infeksi yang terjadi di rongga mulut sering mengakibatkan keradangan limfonodi regional yang lazimnya disebut limfadenitis. Hal tersebut adalah konsekuensi dari suatu sistem sirkulasi aliran limfe yang merupakan pertahanan tubuh di dalam sistem limforetikuler tubuh manusia [6,7]. Salah satu tugas limfonodi adalah melakukan penyaringan terhadap hadirnya antigen yang masuk ke dalam tubuh [6,7,8,9]. Antigen dapat berupa protein asing atau mikroba penyebab infeksi misalnya bakteri, virus, fungi, protozoa, dan molekul makro yang dihasilkan oleh mikroba [10]. Dalam proses penanggulangan infeksi, kadang-kadang terjadi terobosan mikroorganisme yang masuk ke aliran limfe sampai ke limfonodi [10]. Bila sifat bawaan mikroorganisme tersebut subvirulen dan dapat ditanggulangi oleh sistem pertahanan tubuh, maka akan terjadi limfadenitis kronis. Akan tetapi bila sistem pertahanan tubuh tidak dapat menganggulanginya, dan jasad renik termasuk jenis piogenik maka akan timbul supurasi pada limfonodi [7]. Palpasi leher dan wajah harus dilakukan secara sistematik. kelenjar limfe leher dan metastatik seringkali terletak pada segitiga leher depan. daerah ini perlu diinspeksi dengan cermat, khususnya di bawah otot sternokleidomastoideus dan sepanjang perjalanan selubung karotis [11]. Proses pembesaran kelenjar limfe oleh karena infeksi berbeda dengan metastasis karsinoma (kanker). Pada pembesaran kelenjar limfe yang disebabkan oleh infeksi dapat dijelaskan sebagai berikut. Infeksi yang dimulai dengan masuknya kuman patogen ke dalam tubuh, direspons oleh sistem kekebalan yang berlapis. Di lapis depan berjajar komponen normal tubuh seperti kulit, selaput lendir, batuk, flora normal dan berbagai sel. Di pusat pertahanan, terdapat kelenjar limfe yang menyimpan dua mesin perang yaitu limfosit T dan limfosit B. Kelenjar limfe tersusun secara regional menjaga kawasan tertentu. Karena

itu mereka disebut juga sentinel node (sentinal adalah penjaga dan node adalah kelenjar limfe). Sentinel node kepala dan muka, terdapat di leher; payudara dan tangan, ketiak; kaki, lipat paha dan sebagainya [12]. Dalam peperangan itu salah satu tugas lapis pertama adalah membawa sampel kuman ke limfosit untuk identifikasi dan pemrograman penghancurannya. Kemudian limfe atau cairan getah bening akan membawa sel T dan sel B, ke daerah konflik. Dalam usahanya kelenjar limfe regional akan meningkatkan aktivitasnya hingga membesar. Ciri-ciri pembesaran kelenjar limfe dalam mengatasi infeksi adalah sakit. Karena itu bila pembesaran kelenjar limfe regional dengan nyeri dan disertai tanda-tanda infeksi di daerah itu, pencarian dan pengobatan pusat infeksi menjadi prioritas [12]. Berbeda dengan infeksi, kelenjar limfe regional akan kewalahan menghadapi kanker. Mereka melakukan penetrasi secara bertahap dalam waktu tahunan. Lama-lama kelenjar limfe regional akan membesar tanpa rasa sakit. Karena itu bila pembesaran kelenjar limfe regional tidak sakit, pencarian kanker primer menjadi prioritas [12]. Referensi : 1. Thoma, KH. Goldman, HM. 1960. Oral Pathology. Firth edition. Philadelphia: CV Mosby Company. 476, 737. 2. Schwetschenau, E. 2002. The Adult Neck Mass. Am Fam Physician. 66:831-8. 3. Shafer, WG. Hin, MK. Levy, BM. 1983. A textbook of Oral Pathology. 4th edition. Philadelphia.: WB Saunders Company. 1117, 519. 4. Delp, MH. & manning, RT. 1999. Pemeriksaan kepala dan Leher dalam Major Diagnosis Fisik. 9th Ed. Jakarta: EGC. 5. Isselbacher, KJ. Brauwald, E. Wilson, JD. martin, JD. Fauci, AS. Kasper, DL. 1999. Pembengkakan Kelenjar Limfe dan Limpa dalam Harriosn PrinsipPrinsip Ilmu Penyakit Dalam. 13 th Ed. Jakarta: EGC. 6. Bellanti, J. 1993. Imunologi III. Ed. Ind. Noehajati Soeripto. Bulaksumur Jogjakarta Indonesia: Gajah Mada university Press. 18-34. 7. Slots, J. Taubman, MA. 1992. Contemporary Oral Microbiology and Immunology. St Louis: Mosby ear Book. 112-3. 8. Topazian, RG. Goldberg, MH. 1987. Oral and Maxillofacial Infections. 2nd ed. Philadelphia: Saunders Company. 159-64. 9. Regezi, AR. Sciubba, JJ. 1989. Oral Pathology. Clinical Pathologic Correlations. Philadelphia: WB Saunders Company. 284. 10. Roiit, IM. 1990. PokokPokok Ilmu Kekebalan. Jakarta: Gramedia. 1, 80. 11. Miller, CH. Palenik, CJ. 1994. Infection Control and Management of Hazardous Material for the Dental Team. St Louis: Mosby. 41. 12. Azwar, B. 2008. Pembesaran Kelenjar Getah Bening. Available athttp://www.suaradokter.com/2008/12/pembesaran-kelenjar-getah-beningkgb/. [27 Mei 2010].

Pola Penyebaran Abses Akibat Infeksi Odontogen


Ditulis pada April 2, 2011

Manusia biasanya hidup berdampingan secara mutualistik dengan mikrobiota rongga mulut. Gigi dan mukosa yang utuh merupakan pertahanan pertama yang hampir tidak tertembus apabila sistem kekebalan hospes dan pertahanan selular berfungsi dengan baik. Apabila sifat mikroflora berubah, baik kualitas maupun kuantitasnya, apabila sistem kekebalan dan pertahanan selular terganggu, atau kombinasi dari hal-hal tersebut diatas, maka infeksi dapat terjadi (Pedersen, 1996). Dalam praktik sehari-hari dapat kita temukan infeksi yang dapat bersifat akut maupun kronis. Infeksi akut biasanya ditandai dengan pembengkakn dan rasa sakit yang hebat dengan manifestasi berupa malaise dan demam berkepanjangan. Infeksi kronis dapat berkembang dari penyembuhan sebagian keadaan akut, serangan yang lemah atau pertahanan yang kuat infeksi kronis ditandai dengan ketidaknyamanan dalam berbagai tingkatan dan bukan berupa rasa sakit yang hebat (Roeslan, 1994). Infeksi sendiri merupakan masuknya kuman patogen atau toksin ke dalam tubuh manusia serta menimbulkan gejala sakit. Infeksi odontogen adalah infeksi yang awalnya bersumber dari kerusakan jariangan keras gigi atau jaringan penyangga gigi yang disebabkan oleh bakteri yang merupakan flora normal rongga mulut yang berubah menjadi patogen (Soemartono, 2000). Penyebaran infeksi odontogen ke dalam jaringan lunak dapat berupa abses. Secara harfiah, abses merupakan suatu lubang berisi kumpulan pus terlokalisir akibat proses supurasi pada suatu jaringan yang disebabkan oleh bakteri piogenik. Abses yang sering terjadi pada jaringan mulut adalah abses yang berasal dari regio periapikal. Daerah supurasi terutama tersusun dari suatu area sentral berupa polimorfonuklear leukosit yang hancur dikelilingi oleh leukosist hidup dan kadang-kadang terdapat limfosit. Abses juga merupakan tahap akhir dari suatu infeksi jaringan yang dimulai dari suatu proses yang disebut inflamasi (Aryati, 2006). Infeksi odontogenik dapat berasal dari tiga jalur, yaitu (1) jalur periapikal, sebagai hasil dari nekrosis pulpa dan invasi bakteri ke jaringan periapikal; (2) jalur periodontal, sebagai hasil dari inokulasi bakteri pada periodontal poket; dan (3) jalur perikoronal, yang terjadi akibat terperangkapnya makanan di bawah operkulum tetapi hal ini terjadi hanya pada gigi yang tidak/belum dapat tumbuh sempuna. Dan yang paling sering terjadi adalah melalui jalur periapikal (Karasutisna, 2001). Infeksi odontogen biasanya dimulai dari permukaan gigi yaitu adanya karies gigi yang sudah mendekati ruang pulpa (Gambar 1), kemudian akan berlanjut menjadi pulpitis dan akhirnya akan terjadi kematian pulpa gigi (nekrosis pulpa). Infeksi odontogen dapat terjadi secara lokal atau meluas secara cepat. Adanya gigi yang nekrosis menyebabkan bakteri bisa menembus masuk ruang pulpa sampai apeks gigi. Foramen apikalis dentis pada pulpa tidak bisa mendrainase pulpa yang terinfeksi. Selanjutnya proses infeksi tersebut menyebar progresif ke ruangan atau jaringan lain yang dekat dengan struktur gigi yang nekrosis tersebut (Cilmiaty, 2009).

Gambar 1 Ilustrasi keadaan gigi yang mengalami infeksi dapat menyebabkan abses odontogen. (A) Gigi normal, (B) gigi mengalami karies, (C) gigi nekrosis yang mengalami infeksi menyebabkan abses. Sumber : Douglas & Douglas, 2003 Infeksi odontogen dapat menyebar secara perkontinuatum, hematogen dan limfogen, yang disebabkan antara lain oleh periodontitis apikalis yang berasal dari gigi nekrosis, dan periodontitis marginalis. Infeksi gigi dapat terjadi melalui berbagai jalan: (1) lewat penghantaran yang patogen yang berasal dari luar mulut; (2) melalui suatu keseimbangan flora yang endogenus; (3) melalui masuknya bakteri ke dalam pulpa gigi yang vital dan steril secara normal (Cilmiaty, 2009). Infeksi odontogen menyebar ke jaringan-jaringan lain mengikuti pola patofisiologi yang beragam dan dipengaruhi oleh jumlah dan virulensi mikroorganisme, resistensi dari host dan struktur anatomi dari daerah yang terlibat (Soemartono, 2000). Rute yang paling umum penyebaran peradangan adalah melalui kontinuitas jaringan dan spasia jaringan dan biasanya terjadi seperti yang dijelaskan di bawah ini. Pertama, nanah terbentuk di tulang cancellous dan tersebar ke berbagai arah yang memiliki resistensi jaringan paling buruk. Penyebaran pus ke arah bukal, lingual, atau palatal tergantung pada posisi gigi dalam lengkung gigi, ketebalan tulang, dan jarak perjalanan pus (Gambar 2), (Fragiskos, 2007).

Gambar 2 Ilustrasi penyebaran infeksi odontogen (dentoalveolar abcess) tergantung pada posisi apeks gigi penyebab. (A) Akar bukal : arah penyebaran ke bukal. (B) Akar palatal : arah penyebarannya ke palatal. Sumber : Fragiskos, 2007 Inflamasi purulen berhubungan dengan tulang alveolar yang dekat dengan puncak bukal atau labial tulang alveolar biasanya akan menyebar ke arah bukal, sedangkan tulang alveolar yang dekat puncak palatal atau lingual, maka penyebaran pus ke arah palatal atau ke lingual (Fragiskos, 2007). Akar palatal dari gigi posterior dan lateral gigi seri rahang atas dianggap bertanggung jawab atas penyebaran nanah ke arah palatal, sedangkan molar ketiga mandibula dan kadang-kadang dua molar mandibula dianggap bertanggung jawab atas penyebaran infeksi ke arah lingual. Inflamasi bahkan bisa menyebar ke sinus maksilaris ketika puncak apeks gigi posterior ditemukan di dalam atau dekat dasar antrum. Panjang akar dan hubungan antara puncak dan perlekatan proksimal dan distal berbagai otot juga memainkan peranan penting dalam penyebaran pus. Berdasarkan hal ini (Gambar 3), pus di mandibula yang berasal dari puncak akar di atas otot mylohyoid dan biasanya menyebar secara intraoral, terutama ke arah dasar mulut. Ketika puncak ditemukan di bawah otot mylohyoid (molar kedua dan ketiga), pus menyebar ke ruang submandibular dan terjadi pembengkakan ekstraoral (Fragiskos, 2007).

Gambar 3 Ilustrasi penyebaran infeksi odontogen (dentoalveolar abcess) tergantung pada posisi apeks gigi penyebab. (A) Penyebaran pus kea rah sinus maksilaris (B) Penyebaran pus pada rahang bawah tergantung pada posisi perlekatan otot mylohyoid. Sumber : Fragiskos, 2007 Pada fase selular, tergantung pada rute dan tempat inokulasi dari pus, abses dentoalveolar akut mungkin memiliki berbagai gambaran klinis, seperti: (1) intraalveolar, (2) subperiosteal, (3) submukosa, (4), subkutan, dan (5) fascia migratory cervicofacial (Gambar 4 dan 5). Pada tahap awal fase selular ditandai dengan akumulasi pus dalam tulang alveolar yang disebut sebgai abses intraalveolar. Pus kemudian menyebar keluar setelah terjadi perforasi tulang menyebar ke ruang subperiosteal. Periode ini dinamakan abses subperiosteal, dimana pus dalam jumlah terbatas terakumulasi di antara tulang dan periosteal. Setelah terjadi perforasi periosteum, pus kemudian menyebar ke berbagai arah melalui jaringan lunak. Biasanya menyebar pada daerah intraoral membentuk abses di bawah mukosa, yang disebut abses submukosa. Terkadang, pus menyebar melalui jaringan ikat longgar dan setelah itu terakumulasi di bawah kulit, bentukan ini disebut abses subkutan. Sedangkan di waktu lainnya, pus menyebar ke ruang fascia, membentuk abses serous yang disebut abses spasia wajah (Fragiskos, 2007).

Gambar 4 Ilustrasi rute perjalanan pus pada penyebaran infeksi odontogen (A) Abses intraalveolar (B) Abses superiosteal. Sumber : Fragiskos, 2007

Gambar 5 Ilustrasi rute perjalanan pus pada penyebaran infeksi odontogen (A) Abses submukosa (B) Abses subkutan. Sumber : Fragiskos, 2007

Anatomi Landmark Rongga Mulut


Ditulis pada Januari 18, 2012 Dokter gigi bertanggungjawab untuk memahami dan mengenali adanya kelainan pada gigi, membran mukosa dan tulang rahang. Hal ini berdasarkan pada dasar-dasar patologi yang berhubungan dengan kepala, leher, dan struktur rongga mulut. Pemeriksaan secara rutin dapat mengenali kondisi normal maupun abnormal. Berbagai kondisi dapat diiperiksa pada saat pertama kali diamati. Penemuan dan pengamatan seharusnya dicatat dan diserahkan untuk membuat pertimbangan yang tepat terhadap diagnosis atau perawatan penyakit. Oleh sebab itu, sebelumnya harus mengenal letak dan nama anatomi landmarknya terlebih dahulu. Saya tidak akan menjelaskan detail, saya mengupload gambar ini semoga dapat dipergunakan dengan baik. Seingat saya, saya men-scan gambar ini saat mendapatkan tugas review di klnik Prostodonsia. Semoga bermanfaat ^^

Anda mungkin juga menyukai