Anda di halaman 1dari 33

SLEEP APNEA AND SLEEP DISORDERS Ishman SL, Wakefield TL, Collop NA. Chapter 18.

Sleep Apnea and Sleep Disorders Cummings Otolaryngology: Head and Neck Surgery Edisi ke-5. Volume 1. Hal. 275-291. Oleh: Kuepoyos Heckly Melisa E. Sumarauw Veronica J. Girsang Grays N. Pongmari Supervisor Pembimbing dr. O. C. P. Pelealu, SpTHT-KL

BAGIAN ILMU KESEHATAN TELINGA DAN TENGGOROKAN RSUP. PROF. DR. R. D. KANDOU FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SAMRATULANGI MANADO 2013

LEMBAR PENGESAHAN Telah dibacakan dan dikoreksi terjemahan dengan judul: SLEEP APNEA AND SLEEP DISORDERS Pada tanggal 4 Juni 2013

Mengetahui Supervisor Pembimbing

dr. O. C. P. Pelealu, SpTHT-KL

APNEU DI SAAT TIDUR DAN GANGGUAN TIDUR LAINNYA Poin Penting: Mendengkur mempengaruhi setidaknya 40% pria dan 20% wanita, dan sering menyertai gangguan pernapasan saat tidur. Namun, hanya 2% dari wanita dan 4% pria yang berusia lebih dari 50 tahun memiliki gejala apneu di saat tidur yang obstruktif (OSA). OSA di definisikan dengan lima atau lebih gejala pernapasan (apneu, hipopneu, atau usaha pernapasan tambahan (RERAs) dalam hubungan dengan mengantuk berlebihan di siang hari, bangun dengan terengah-engah, tersedak, atau menahan napas, atau laporan adanya apneu, mendengkur keras, atau keduanya. Efek negatif kesehatan telah dikaitkan dengan OSA yang tidak di obati termasuk peningkatan mortalitas, peningkatan penyakit kardiovaskular, dan kesulitan neurokognitif. Selain itu, OSA yang tidak di obati telah terbukti menjadi faktor risiko independen untuk resistensi insulin, penyakit refluks gastroesofagus, kecelakaan kendaraan bermotor, dan penurunan perhatian, memori kerja, dan fungsi eksekutif. Gejala yang paling umum dari OSA yakni mendengkur keras, gelisah saat tidur, dan rasa mengantuk berlebihan di siang hari. Namun, polisomnografi (PSG) diperlukan untuk diagnosis dan dianggap sebagai standar baku emas untuk diagnosis dari OSA. Nasofaringoskopi fiberoptik merupakan alat penting untuk mengidentifikasi tingkat obstruksi daerah: hidung, retropalatum, retrolingual. Kebanyakan orang memiliki obstruksi di beberapa tingkatan. Uvulopalatolaringoplasti (UPPP) merupakan prosedur bedah yang paling umum dilakukan untuk OSA dan sering disalahgunakan sebagai lini pertama untuk terapi bedah pada OSA terlepas dari faktor koeksisten pasien seperti obesitas, retrognatia, dan adanya obstruksi di tempat lain. Akibatnya, sering terjadi kegagalan dalam pengobatan OSA pada pasien yang tidak selektif. Partial midline glosektomi (PMG), lingualplasti, dan ablasi dasar lidah dengan frekuensi radio merupakan prosedur yang telah dikembangkan untuk mengatasi jatuhnya bagian retrolingual atau penyempitan yang terjadi pada OSA.

Pembedahan daerah hipofaring terdiri dari prosedur yang dirancang untuk mencegah jatuhnya lidah saat tidur sehingga menutupi jalan napas. Prosedur ini termasuk memajukan otot genioglosal (GA) dan miotomi hyoid (HM), dimana keduanya digunakan untuk melebarkan jalan napas di daerah retrolingual.

Tiga puluh satu persen dari pasien yang di diagnosis OSA di sebuah pusat gangguan tidur ditemukan memiliki gangguan tidur yang koeksisten, dengan hal yang paling umum adalah kualitas tidur yang tidak adekuat (15%) dan gangguan gerakan ekstremitas yang periodik (8%).

Insomnia di definisikan sebagai kesulitan dengan inisiasi tidur, pemeliharaan, konsolidasi, atau kualitas; dimana hal-hal tersebut terjadi berulang-ulang dan menyebabkan disfungsi pada siang hari meskipun memiliki kesempatan yang adekuat untuk tidur.

Gangguan irama tidur sirkadian terjadi ketika pola bangun-tidur seseorang berubah menjadi tidak sesuai dengan waktu setempat, yang kemudian menetap dan terjadi berulang kali, yang menyebabkan rasa kantuk berlebihan di siang hari atau insomnia dan mengakibatkan gangguan fungsi.

Parasomnia adalah gerakan yang tidak diinginkan atau fenomena subjektif yang terjadi, baik di saat mau tertidur, selama tertidur, ataupun di saat bangun.

Selama beberapa dekade terakhir, minat penelitian dalam bidang tidur dan gangguan tidur telah meningkat secara substansial. Mayoritas dari minat baru dalam komunitas THT ini telah difokuskan pada tidur yang berhubungan dengan gangguan pernapasan OSA. Sebagaimana ukuran lingkar pinggang dari rata-rata penduduk Amerika telah meningkat, demikian juga dengan insidens OSA. Suatu studi yang berdasarkan populasi menunjukkan bahwa 2% wanita dan 4% pria yang berusia lebih dari 50 tahun memiliki gejala OSA. 1 Kemajuan juga telah dibuat dalam memahami patofisiologi OSA, metode diagnostic, dan pengobatan medis dan bedah. Pemahaman bahwa gangguan tidur memerlukan pendekatan multidisiplin telah mengarahkan ke penciptaan disiplin ilmu kedokteran yang baru yakni---ilmu kedokteran di bidang tidur---dengan tim terdiri dari dokter penyakit dalam, dokter penyakit paru, dokter penyakit THT, dokter penyakit saraf, dokter penyakit anak, psikiater, dokter bedah mulut /maksilofasial, dokter gigi, psikolog perilaku, dan dokter ahli gizi yang bekerja sama untuk merawat pasien dengan

gangguan tidur. Kemajuan besar telah dibuat dalam diagnosis dan penanganan gangguan tidur, dan dokter ahli THT berada di lini depan dari bidang baru ini, memberikan kontribusi berupa teknik operasi tradisional dan baru untuk memfasilitasi pengobatan. Perspektif Sejarah Gagasan bahwa obesitas berkaitan erat dengan keadaan mengantuk di siang hari tampaknya telah di tulis pertama kali oleh Charles Dickens dalam makalahnya yang berjudul Posthumous of the Pickwick Club, yang awalnya diterbitkan pada tahun 1837. Dickens memberikan gambaran deskriptif tentang Joe, seorang anak laki-laki yang sangat obesitas sehingga kesulitas bernapas, dia terdengar seolah-olah mendengkur bahkan di saat tidak tidur, dan sering tertidur tertidur sambil berdiri. Selain itu, ada bukti yang menunjukkan bahwa beberapa dari pemimpin dan diktator terkenal menderita masalah ini. Presiden Amerika Serikat ke-20, William Howard Taft, memiliki indeks massa tubuh 42 kg/ m2 dan dilaporkan mendengkur saat di kantor, sering tertidur di siang hari,dan menderita hipertensi.
2

Chouard dkk menjelaskan beberapa alasan untuk

mencurigai bahwa Napoleon I (1769-1821) menderita OSA dalam dekade terakhir kehidupannya: dia gemuk dan retrognatik, lehernya pendek dan tebal, hidungnya tersumbat, dia sering tertidur siang hari, dia mengeluh mengalami penurunan stamina dan kecerdasan, dan dia terlihat agak lelah dan kusut.
3

Pada tahun 1956, Drs. A. G. Bicklemann, C. S. Burwell, dkk

mengambil deskripsi Dickens dalam laporan kasus mereka yang berjudul Obesitas Ekstrim Terkait dengan Hipoventilasi Alveolar: Sindrom Pickwickian. Makalah yang sering dikutip ini dijadikan sebagai deskripsi awal dari sindrom Pickwickian dalam jurnal akademik. 4 Apneu di saat tidur pertama kali dijelaskan sebagai entitas klinis pada tahun 1965, tapi tidak sampai tahun 1970-an bahwa kelompok Elio Lugaresi yang memberikan deskripsi lengkap dari sindrom OSA dengan potensi efek samping kardiovaskular. Diagnosis baru di masa anak-anak, pilihan pengobatan terbatas pada trakeostomi atau penurunan berat badan. Hal ini berubah pada awal tahun 1980-an dengan adanya pengenalan teknik uvulopalatoplasti (UPPP) sebagaimana dijelaskan oleh Fujita dkk 5 dan Simmons dkk. 6 Tidak lama setelah pengenalan UPPP , meskipun intervensi bedah baru ini membantu pada banyak kasus, teknik ini meninggalkan setengah dari pasien dengan apneu di saat tidur dan bisa menjadi prosedur yang menyakitkan. Masih di periode waktu yang sama Colin Sullivan, seorang peneliti

medis muda Australia, mengembangkan teknik tekanan positif jalan napas secara terus menerus (CPAP), dimana saat ini tetap menjadi lini pertama terapi OSA dewasa. Sebagaimana terapi OSA telah berkembang, demikian juga dengan terapi yang bertujuan untuk mengobati dengkuran. Pengembangan dari terapi bedah berbasis kantor, dan intervensi farmakologis telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Klasifikasi dari Obstruksi di saat Tidur yang Berhubungan dengan Gangguan Pernapasan Gangguan pernapasan terkait tidur berkisar dari kolapsnya sebagian jalan napas dan peningkatan resistensi saluran napas atas sampai ke episode hipopneu atau kolapsnya jalan napas lengkap dengan apneu di saat tidur (Kotak 18-1). Selain itu, sejumlah indeks telah digunakan untuk menggambarkan gangguan pernapasan di saat tidur (Kotak 18-2) Kotak 18-1 Definisi dan Tipe Gejala Pernapasan Gejala Pernapasan Apneu Hipopneu Definisi Penghentian aliran udara setidaknya 10 detik Penurunan aliran udara (30%) setidaknya 10 detik dengan desaturasi oxyhemoglobin 4% ATAU penurunan 10 aliran 3% udara atau (50%) desaturasi arousal setidaknya detik dengan

oxyhemoglobin RERA

elektroensefalogram (EEG) Sekuensi pernapasan setidaknya 10 detik dengan peningkatan upaya pernapasan atau pendataran dari gelombang tekanan yang menyebabkan arousal dari tidur ketika sekuensi pernapasan tidak memenuhi kriteria untuk apneu atau hipopneu Upaya pernapasan thorako-abdominal lanjutan sebagai kompensasi adanya penghentian aliran udara sebagian atau lengkap Kurangnya upaya pernapasan

Obstruksi

Sentral

thorako-

abdominal Campuran

sebagai

kompensasi

adanya

penghentian aliran udara sebagian atau lengkap Gejala pernapasan dengan gejala obstruksi dan gejala sentral. Gejala campuran umumnya dimulai dengan gejala sentral dan diakhiri dengan upaya pernapasan thorako-abdominal tanpa aliran udara.

Kotak 18-2 Indeks dari Gangguan Pernapasan di saat Tidur Indeks Indeks Apneu Indeks Hipopneu Indeks Apneu-Hipopneu Indeks RERAs Indeks Gangguan Pernapasan Indeks Apneu Sentral Indeks Apneu Campuran Definisi Jumlah apneu per jam dari total waktu tidur Jumlah hipopneu per jam dari total waktu tidur Jumlah apneu dan hipopneu per jam dari total waktu tidur Jumlah RERAs per jam dari total waktu tidur Jumlah apneu, hipopneu, dan RERAs per jam dari total waktu tidur Jumlah apneu sentral per jam dari total waktu tidur Jumlah apneu campuran per jam dari total waktu tidur Dengkuran Dengkuran adalah suara yang dihasilkan oleh getaran jaringan lunak faring. Hal ini sering lebih keras saat inspirasi daripada ekspirasi. Ini mempengaruhi setidaknya 40% pria dan 20% wanita dan sering menyertai gangguan pernapasan di saat tidur (SDB). 7 Namun, ini dapat terjadi dalam isolasi dan menurut definisi tidak terkait dengan gejala mengantuk berlebihan di siang hari atau insomnia. Dengkuran, dengan tidak adanya OSA, didokumentasikan ketika kebiasaan dengkuran yang terdengar terjadi dengan indeks indeks hipopneu apneu (AHI) kurang dari 5 kejadian per jam tanpa gejala di siang hari. Polisomnografi (PSG) tidak diperlukan untuk diagnosis, tetapi ketika dilakukan dapat mengungkapkan sinyal mikrofon yang terdengar dengan desaturasi, keterbatasan aliran udara, atau aritmia. 8

Sindrom Resistensi Jalan Napas Atas Istilah sindrom resistensi jalan napas atas (UARS) pertama kali digunakan untuk menggambarkan pasien yang tidak memenuhi kriteria untuk sindrom OSA tetapi kepada yang merasa mengantuk berlebihan di siang hari dan keluhan kelemahan somatik lainnya.
9

UARS

ditandai dengan upaya pernapasan yang berlebihan (RERAs). RERAs didefinisikan sebagai sekuensi pernapasan selama setidaknya 10 detik yang berakhir dengan upaya peningkatan pernapasan tambahan. 10 RERAs terdeteksi dengan menggunakan tekanan manometer esophagus, yang mengungkapkan pola peningkatan progresif tekanan negatif esophagus yang diikuti dengan kelelahan. 10,11 PSG mengungkapkan bahwa seringnya terjadi upaya pernapasan tambahan terkait dengan mendengkur, tekanan negatif intratorakal yang abnormal, atau peningkatan aktivitas elektromiogram diafragma.
9

Klasifikasi Internasional dari Gangguan Tidur saat ini tidak

mempertimbangkan UARS menjadi gangguan tidur terpisah, tetapi merekomendasikan bahwa itu tercakup di bawah definisi dari OSA karena patofisiologinya yang sama. Kotak 18-3 Gejala dari Gangguan Pernapasan di saat Tidur Gelisah saat tidur Mendengkur keras Apneu terobservasi, tersedak, atau episode terengah-engah Rasa menganruk di siang hari yang berlebihan (EDS) Kelelahan di pagi hari dan iritabilitas Kehilangan ingatan Penurunan fungsi kognitif Depresi Perubahan kepribadian dan mood Penurunan libido dan impotensi Nyeri kepala pada pagi dan malam hari Berkeringat di malam hari Enuresis di malam hari Sindrom Apneu di saat tidur yang Obstruktif OSA didefinisikan dengan lima atau lebih gejala pernapasan (apneu, hipopneu, atau RERAs) dalam hubungan dengan rasa mengantuk berlebihan di siang hari, bangun dengan terengahengah, tersedak, atau menahan napas, atau dengan adanya keluhan apneu, mendengkur keras, atau keduanya. Setiap episode dari apneu atau hipopneu harus bertahan minimal 10 detik,

biasanya disertai dengan penurunan saturasi oksigen darah minimal 3% sampai 4%, dan biasanya diakhiri dengan singkat, oleh upaya pernapasan tambahan di saat tidur. Dengkuran di antara apneu adalah keluhan yang sering dari teman tidur seseorang dan sering merupakan gejala yang mendorong pasien untuk mencari bantuan medis; meskipun, rasa mengantuk di siang hari merupakan keluhan umum. Kecelakaan mobil dan peningkatan morbiditas dan mortalitas penyakit kardiovaskuler merupakan komplikasi tersering jika OSA tidak diobati. Banyak penderita OSA mengeluh terbangun dari tidur dengan rasa sakit kepala, sakit tenggorokan, dan kelelahan atau perasaan tidak segar terlepas dari lamanya tidur (Kotak 18-3). OSA diperburuk oleh konsumsi alkohol, obat penenang, dan peningkatan berat badan. Patofisiologi Obstruksi yang terjadi pada OSA merupakan hasil dari kolapsnya saluran napas faring selama tidur. Etiologi dan mekanisme kolapsnya terjadi oleh kaerna banyak faktor tetapi sebagian besar disebabkan oleh interaksi dari saluran napas bagian atas yang mudah kolaps dengan relaksasi dari otot dilator faring, yang terjadi di saat tidur. Obesitas, hipertrofi jaringan lunak, dan karakteristik kraniofasial seperti retrognatia menambah kecenderungan kolapsnya dengan meningkatkan tekanan jaringan ekstraluminal di sekitar saluran napas bagian atas. Namun, kelemahan struktural saluran napas saja tidak cukup untuk menyebabkan OSA. Khususnya, pasien tanpa kelainan anatomis mungkin juga menderita OSA. Hal ini dapat terjadi karena jalur refleks yang kompleks dari sistem saraf pusat ke faring, yang mengendalikan bagian motorik otot dilator faring, mungkin gagal untuk memepertahankan patensi faring. Tiga daerah utama yang mengalami obstruksi adalah hidung, langit-langit, dan hipofaring, meskipun apneu di saat tidur yang obstruktif berhubungan dengan obstruksi laring dari paralisis laring bilateral, laringomalasia, dan lesi obstruksi laring juga telah dilaporkan. Fujita mengklasifikasikan pola obstruksi berdasarkan lokasi anatomi dengan cara sebagai berikut: tipe I, kolaps hanya terjadi di wilayah retropalatum saja; tipe II, kolaps terjadi baik di daerah retropalatum dan retrolingual; tipe III, kolaps terjadi di wilayah retrolingual saja.
12

Penelitian selanjutnya telah mengevaluasi prevalensi dari obstruksi retropalatum dibandingkan retrolingual pada pasien dengan OSA dan mendengkur dan menemukan bahwa kedua obstruksi retrolingual (77% dan 40%) dan retropalatum (100% dan 70%) menunjukkan peningkatan pada

pasien OSA, yang di konfirmasi dengan pemeriksaan PSG, dibandingkan dengan pasien yang mendengkur. 13 Obstruksi hidung berkontribusi terhadap peningkatan resistensi saluran napas dan dapat memperburuk OSA, tetapi jarang menjadi satu-satunya penyebab. Obstruksi hidung mungkin berkontribusi terhadap pernapasan melalui mulut sewaktu tidur, yang meningkatkan kolapsibilitas saluran napas bagian atas dan dapat menurunkan efikasi dari otot dilator.
14

Mendengkur sering merupakan gejala OSA dan dapat disebabkan oleh obstruksi hidung. Prosedur bedah bertujuan untuk meningkatkan pernapasan lewat hidung telah menunjukkan perbaikan secara subjektif dalam mendengkur setelah koreksi obstruksi hidung. memungkinkan untuk tingkat CPAP yang akan digunakan untuk terapi selanjutnya.
15

Meskipun Obstruksi

terapi isolasi dari saluran napas hidung jarang untuk menyembuhkan OSA, terapi tersebut
16

hidung dapat disebabkan oleh deformitas tulang dan tulang rawan atau dari perubahan jaringan lunak. Karena banyaknya penyebab obstruksi hidung, maka semuanya harus diperiksa ketika mengevaluasi seorang pasien dengan OSA. Obesitas merupakan faktor risiko utama untuk OSA. Peningkatan penumpukan lemak di sekitar leher dan rongga parafaring ini menekan dan mempersempit saluran napas bagian atas dan dapat mengimbangi efek otot dilator yang menjaga patensi jalan napas.
17

Obesitas juga diduga

berkontribusi terhadap terjadinya OSA melalui efek mengganggu terhadap metabolisme, ventilasi, dan volume paru-paru, sehingga ketidaksesuaian antara ventilasi alveolar (V) dan perfusi pulmonal (Q). Obesitas dapat secara signifikan mengurangi volume paru-paru, yang menghasilkan penurunan fungsi kapasitas residual. Telah diamati bahwa perubahan dari volume paru-paru secara signifikan mengurangi ukuran saluran napas bagian atas faring melalui efek mekanik trakea dan traksi torakal, yang disebut sebagai tarikan trakea, meeningkatkan risiko kolapsnya saluran napas. 18 Hipertrofi adenotonsiler adalah penyebab utama dari apneu di saat tidur yang obstruktif pada anak-anak. Pada orang dewasa ada beberapa karakteristik struktural yang terkait dengan OSA. Variasi kraniofasial yang telah dikaitkan dengan OSA meliputi peningkatan jarak tulang hyoid dari mandibula, penurunan mandibula dan proyeksi maksila, rotasi posterior dan kaudal dari

mandibula dan pertumbuhan maksila, peningkatan vertical panjang wajah, peningkatan panjang vertikal dari saluran napas posterior, dan peningkatan angulasi servikal. 19 Kontraksi neuromuskuler berperan terhadap patensi dari saluran napas bagian atas. Selama tidur, kontraksi ini mengalami penurunan dan saluran napas cenderung kolaps. Otot genioglosus dianggap menjadi otot yang paling penting dalam mempertahankan patensi saluran napas pada OSA. Peningkatan aktivitas dari otot genioglosus dan otot tensor palatini telah diamati pada pasien OSA yang terjaga dibandingkan dengan subjek normal yang terjaga yang memiliki aktivitas dengan tingkatan lebih rendah. Hal ini menunjukkan bahwa saat pasien sedang terjaga , aktivitas otot dilator saluran napas mengkompensasi kelemahan anatomis pada pasien OSA. dalam menjaga patensi saluran napas selama tidur. Konsekuensi dari Apneu Obstruktif di saat tidur yang tidak diobati Sejumlah efek negatif kesehatan telah dikaitkan dengan OSA yang tidak diobati termasuk peningkatan mortalitas, peningkatan penyakit kardiovaskuler, dan kelemahan neurokognitif. Dalam sebuah studi retrospektif, He dkk menemukan bahwa pasien OSA yang tidak diobati dengan indeks apneu (AI) lebih dari 20 memiliki peningkatan signifikan dalam mortalitas dibandingkan dengan pasien yang memiliki indeks apneu kurang dari 20.
20 17

Penelitian sedang berlanjut untuk menentukan luas dan pentingnya kontraksi neuromuskuler

Dia juga menemukan

bahwa pasien yang tidak diobati dengan AI lebih dari 20 memiliki kemungkinan sebesar 63% untuk tetap hidup dalam waktu 8 tahun dibandingkan dengan 96% yang memiliki AI kurang dari 20. 20 Selain itu, pasien OSA yang tidak diobati dilaporkan memiliki risiko 2.5 lebih besar dalam kecelakaan kendaraan bermotor.
21

Proporsi signifikan dari morbiditas dan mortalitas terkait

dengan OSA terjadi melalui efeknya pada system kardiovaskuler, termasuk hipertensi, penyakit arteri koroner, gagal jantung kongestif, aritmia, kematian mendadak, hipertensi pulmonal, dan stroke. OSA sedang dan berat yang tidak diobati telah dilaporkan untuk menghasilkan peningkatan risiko tiga kali lebih besar pada terjadinya penyakit kardiovaskuler, bila dibandingkan dengan kedua pria sehat tanpa OSA dan pria dengan OSA yang di terapi dengan CPAP.
22

Terapi OSA dengan CPAP juga telah dilaporkan dapat menurunkan tekanan darah

sebesar 10 mm Hg. 23

OSA yang tidak diobati telah dibuktikan dapat menjadi faktor risiko independen dari resistensi insulin.
24

Baru-baru ini, telah dibuktikan bahwa OSA memiliki peranan terhadap perkembangan

diabetes dan sindrom metabolik, suatu istilah yang digunakan untuk menggambarkan kondisi umum dari obesitas, resistensi insulin, hipertensi, dan dislipidemia. Namun, penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menentukan apakah ada hubungan independen antara OSA dengan kelainan metabolik. Prevalensi penyakit refluks gastroesofagus (GERD) pada pasien OSA secara signifikan lebih tinggi dari populasi umum.
25-27

Bahkan meskipun gangguan ini sering terjadi bersama-sama,

tidak secara temporal ataupun hubungan sebab-akibat pernah ditunjukkan di antara keduanya. Hal ini mungkin mencerminkan fakta bahwa mereka berbagi faktor risiko yang sama. Terapi OSA dengan CPAP telah ditunjukkan dapat mengurangi terjadinya GERD. 28 Selain dari efek fisik yang jelas dari OSA, seperti rasa mengantuk yang berlebihan di siang hari dan gangguan mood, defisit neurokognitif juga memiliki hubungan dengan OSA. OSA yang tidak diobati telah didokumentasikan dapat menyebabkan masalah dengan perhatian, memori kerja, dan fungsi eksekutif, yang semuanya ditingkatkan dengan terapi CPAP.
29

Ketidakpuasan
30

mitra tidur juga merupakan keluhan umum di antara pasien OSA dan terapi telah terbukti dapat meningkatkan kualitas hidup kedua individu termasuk dengan mitra tidurnya. Demikian manfaatnya dari pengobatan OSA adalah substansial dan telah didokumentasikan dengan baik.

Contoh 18-1 Skala Kantuk Epworth Skala Kantuk Epworth Jawablah pertanyaan berikut ini berdasarkan skala ini: 0 Tidak akan pernah tertidur 1 Kemungkinan kecil untuk tertidur 2 Kemungkinan sedang untuk tertidur 3 Kemungkinan besar untuk tertidur Situasi Kesempatan Tertidur

Membaca Menonton TV Duduk di tempat umum (misalnya teater dan ruang rapat) Mengendarai motor, berhenti di lampu lalu-lintas Sebagai penumpang dalam sebuah mobil selama satu jam tanpa istirahat Selama waktu luang setelah makan siang tanpa mengkonsumsi alcohol Berbaring untuk beristirahat apabila keadaan memungkinkan Jumlah Skor Skor Epworth < 10 = Normal Kotak 18-4 Kondisi Medis yang Membuat Lelah Anemia berat Disfungsi endokrin, termasuk hipotiroid dan penyakit Addison Sindrom kelelahan kronik Penyakit paru-paru, termasuk asma, emfisema, dan sindrom Pickwickian Penyakit kardiovaskuler, termasuk gagal jantung kongestif dan gagal jantung kiri Neoplasma, termasuk lesi system saraf pusat dan diseminata Kemoterapi antikanker Penyakit vaskuler kolagen Infeksi kronik, termasuk mononucleosis, hepatitis, dan influenza Depresi dan gangguan psikiatri lain Malnutrisi Gangguan neurologi, termasuk penyakit Parkinson dan sklerosis multipel Efek samping medikasi Diagnosis Gejala yang paling umum dari OSA adalah mendengkur keras, gelisah saat tidur, dan rasa mengantuk yang berlebihan pada siang hari. Namun, berbagai tanda dan gejala telah dilaporkan terjadi pada OSA (lihat Kotak 18-3). Obesitas merupakan temuan umum pada pasien OSA dengan data bahwa 70% dari pasien OSA dewasa mengalami obesitas.
31

Skrining, termasuk

riwayat tidur rinci dan pemeriksaan fisik, direkomendasikan untuk semua pasien obesitas. Skala Kantuk Epworth (ESS) telah banyak digunakan sebagai alat untuk menilai rasa mengantuk di siang hari. (Gambar. 18-1). OSA dapat dicurigai pada pasien dengan ESS lebih besar dari 10.
32

Kelelahan dan rasa mengantuk mungkin juga dapat dipicu oleh sejumlah kondisi medis lainnya

yang seharusnya dipertimbangkan ketika mengevaluasi pasien yang kemungkinan menderita OSA (Kotak 18-4). Selain itu, adanya gangguan tidur tambahan harus dipertimbangkan. Sehubungan dengan peningkatan prevalensi OSA pada pasien dengan hipertensi, penyakit arteri koroner, gagal jantung kongestif, trauma serebrovaskuler, dan diabetes mellitus, populasi ini harus lebih waspada terhadap tanda dan gejala OSA.
33

Hal ini juga baru disadari bahwa OSA

mungkin sulit terdeteksi pada wanita karena kecurigaan yang rendah di antara para dokter atau tidak dilaporkannya gejala klasik OSA pada pasien wanita. Wanita dengan OSA biasanya mengeluhkan gejala insomnia, palpitasi, dan edema pergelangan kaki. 34 Meskipun adanya gejala rasa mengantuk di siang hari dan mendengkur keras sering merupakan tanda-tanda yang membuat penderita OSA untuk segera mencari bantuan medis, temuan dari pemeriksaan fisiklah yang memperkuat kemungkinan diagnosis. Perhitungan indeks massa tubuh, tekanan darah, dan lingkar leher merupakan parameter penilaian umum yang penting. Selain itu, habitus tubuh, ukuran dan posisi mandibula dan maksila, dan karakteristik wajah harus diperhatikan. Penaksiran hidung harus mencakup evaluasi dari setiap deformitas eksternal, adekuatnya valvula hidung, posisi septum, ukuran konka, mukosa hidung, dan ada tidaknya polip, nanah, dan rhinore. Pada rongga mulut, penilaian dari ukuran dan posisi lidah, pemanjangan palatum dan uvula, ukuran tonsil, skor Mallampati yang dimodifikasi, gigi, dan orofaring. Pada leher, ukuran leher, posisi hyoid, dan posisi rahang, termasuk retrognatia, harus dievaluasi (Kotak 18-5). Nasofaringoskopi fiberoptik adalah teknik penting untuk evaluasi saluran napas. Pemeriksaan ini dapat dilakukan dalam beberapa posisi pada keadaan bangun maupun tidur dan merupakan alat penting untuk mengidentifikasi tingkatan obstruksi: hidung, retropalatum, atau retolingual (Gambar 18-2 dan 18-3). Sejumlah penelitian telah menggambarkan manfaat dan keterbatasan dari penambahan manuver Muller untuk pemeriksaan ini untuk prediksi preoperatif efektivitas intervensi bedah.
35,36

Manuver Muller dilakukan pada pasien sadar yang menghasilkan tekanan

negatif dengan cara menghirup udara dengan hidung dan mulut tertutup di saat glotis tertutup, yang memicu kolapsnya saluran napas (Gambar 18-4 dan 18-5). Sher dkk melakukan pemeriksaan baik dalam posisi duduk maupun terlentang dengan menggunakan manuver Muller

pada pasien OSA, memilih pasien dengan kolaps palatum, dan menemukan bahwa 73% dari pasien memiliki penurunan sebesar 50% pada indeks gangguan pernapasan (RDI) setelah UPPP.
36

Aboussouan menemukan bahwa menggunakan manuver Muller untuk memandu keputusan


35

UPPP mengakibatkan pengurangan AHI sebesar 50% pada 78% pasien yang telah mengalami kolaps velopalatal, dibandingkan dengan 36% untuk obstruksi bertingkat. Jadi, meskipun manuver Muller dapat membantu keputusan bedah ketika daerah yang kolaps adalah murni retropalatal, tampaknya menjadi kurang bermanfaat pada pasien dengan obstruksi bertingkat. Untuk lebih mengidentifikasi daerah obstruksi pada pasien dengan OSA, efek obat tidur vidoendoskopi telah digunakan untuk membantu efektivitas intervensi bedah. Tidur yang di induksi melalui farmakologis dan nasofaringoskopi fiberoptik dilakukan untuk mengevaluasi lokasi kolapsnya saluran napas. Endoskopi dengan posisi tidur dapat membantu identifikasi area obstruksi dan mencerminkan apa yang terjadi didalam jalan nafas selama tidur, dan mungkin berguna mengarahkan intervensi bedah. Sejumlah teknik radiologi telah digunakan untuk membantu identifikasi lokasi dan keparahan obstruksi jalan nafas atau OSA. Karena sebagian besar teknik radiologi untuk evaluasi OSA dilakukan saat pasien terjaga, maka teknik ini memiliki keterbatasan untuk mengevaluasi obstruksi saat tidur. Modalitas pencitraan yang paling sering digunakan adalah cefalometri radiografi. Cefalometri merepresentasikan dua dimensi dari saluran nafas, dan merupakan sistem evaluasi standar dan memiliki biaya yang murah dan terjangkau. Hasil film cefalometri dapat menunjukkan kerangka tulang beserta jaringan lunaknya. Beberapa studi yang menggunakan cefalometri pada pasien OSA menunjukkan adanya pergeseran hyoid, daerah ruang nafas posterior yang lebih sempit daripada psien non OSA. Meskipun demikian perbedaan antara pasien OSA dan non OSA yang tergambar dalam hasil cefalometri bulum cukup signifikan, dan dianjurkan untuk menggunakan cefalogram lateralis sebagai alat untuk membedakannya. Diagnosis menggunakan CT scan dapat menunjukkan detail anatomi dan jaringan lunak. Seperti cefalogram, penggunaan metode ini juga masih memiliki kekurangan dalam hal sensitifitas untuk mendiagnosis OSA, namun beberapa studi telah menyebutkan bahwa CT scan merupakan modalitas yang lebih baik untuk menggambarkan perubahan anatomi pasca operasi yang berkorelasi dengan peningkatan parameter PSG. MRI dapat menunjukkan gambaran jaringan lunak dengan sangat baik dan tidak menggunakan paparan radiasi. Namun pemeriksaan ini sulit ditoleransi oleh pasien karena biaya yang mahal, kurang terjangkau dan bersifat berisik, yang mungkin akan mempengaruhi evaluasi dalam

keadaan tidur. Sama seperti CT scan dan cefalometri, MRI juga belum cukup berguna untuk membedakan pasien OSA dan non-OSA. Fluoroskopi telah digunakan sebagai pemeriksaan saluran pernafasn dinamis untuk langsung mengevaluasi situs obstruksi. Somnofluoroskopi dilakukan pada saat pasien dalam keadaan tertidur, dan telah terbukti meningkatkan keberhasilan tindakan uvulopalatofaringoplasti ketika daerah obstruksi dapat diidentifikasi. (67% dan 42%) , namun studi ini mengekspos pasien dengan paparan radiasi yang membatasi utilitas mereka. PSG nokturnal merupakan standar baku diagnosis OSA. Pemeriksaan yang dilakukan pada malam hari merupakan instrumen yang diaggap paling akurat untuk mengukur keberadaan dan tingkat keparahan OSA. Parameter yang dipantau selama pemeriksaan PSG ini adalah termasuk EEG, elektro-okulogram, elektromiogram submental, EKG, aliran udara, pernafasan torakoabdominal dan juga oksimetri. Data yang diperoleh dari semua pemeriksaan ini dianalisis oleh ahli polisomnogram yang terlatih dan ditafsirkan oleh dokter. Klasifikasi gangguan pernafasan yang direkam selama pemeriksaan PSG telah dibakukan untuk pedoman praktek (Gambar 18-8) Pengobatan Untuk memberikan pengobatan yang efektif pada pasien OSA, dokter harus mempertimbangkan secara seksama, ketersediaan terapi medis dan bedah, serta resiko dan komplikasi dari intervensi bedah pada pasien. Efek buruk dari OSA yang tidak diobati antara lain efek pada kardiovaskular dan kesehatan neurokognitif, namun dalam mengobati pasien dokter harus memiliki pengetahuan tentang semua intervensi medis yang tersedia, tingkat keberhasilan, resiko komplikasi dan perlunya untuk tindakan operasi lebih lanjut, saat menguraikan rencana pengobatan pada pasien. Pengobatan Pendekatan pengobatan umumnya dimulai secara bertahap dan dimulai dengan tindakan medis konservatif. Penurunan berat badan harus diedukasikan pada pasien OSA dengan kelebihan berat badan. Namung terkadang penurunan berat badan akan sulit dilakukan dan pasien seringkali kembali menjadi gemuk. Oleh karena itu intervensi lain juga sering dianjurkan. Konsultasi dengan dokter bedah bariatrik dapat dipertimbangkan ketika merawat pasien yang gemuk tidak sehat. Bukti terbaru menunjukkan pembedahan untuk penurunan berat badan secara signifikan meningkatkan parameter kualitas tidur pasien OSA terkait dengan obesitas, dan perbaikan ini

dapat terjadi dalam waktu 1 bulan pasca operasi. Continous Positive Airway Preasure(CPAP) telah dianggap merupakan standar baku untuk pengobatan OSA dari sedang hingga berat. Studi menunjukkan efektifitas CPAP dalam mengurangi indeks apnea-hypoapnea serta gejala subjektif dan meningkatkan kualitas tidur, namun, kepatuhan pasien dalam metode pengobatan ini masihkurang. CPAP mencegah penyempitan saluran nafas bagian atas dengan menimbulkan tekanan intraluminal positif selama proses inspirasi dan ekspirasi. Banyak efek dari pengobatan CPAP telah dijelaskan, efek pada kepala, diantaranya adalah terjadinya pengurangan AHI, penurunan gejala objektif dan subjektif kantuk, peningkatan kualitas hidup secara keseluruhan, penurunan resiko terjadinya penyakit kardiovaskular dan juga berdampak pada pengurangan pada resiko kecelakaan kendaraan. Penelitian terbaru menunjukkan efek menguntungkan dari CPAP untuk kesehatan jantung akibat penurunan kadar penanda inflamasi protein C-reaktif dan interleukin-6, meningkatkan fungsi endotel, dan mengurangi aktivitas aliran nafas positif simpatik. Pengobatan menggunakan Tekanan bilevel (BiPAP) dan autoadjusting positif airway preasure (APAP) telah dikembangkan untuk meningkatkan tekanan titrasi dan mengobati pasien dengan gangguan neuromuskuler dan penyakit ventilasi. BiPAP diberikan secara terpisah disesuaikan dengan tekanan positif aliran udara ekspirasi yang lebih rendah dan tekanan positif aliran udara inspirasi. Pengobatan BiPAP menunjukkan adanya kepatuhan yang lebih tinggi pada populasi pasien, hal ini mungkin dikarenakan metode pembuatan tekanan aliran udara positif pada pengobatan ini. Respon perubahan tekanan bervariasi tegantung pada besarnya aliran udara, aliran udara yang terbatas, mendengkur atau kesulitan dalam benafas. Peralatan oral telah digunakan dengan sukses pada pasien OSA ringan, moderat dan beberapa kasus berat, serta meningkatkan aliran nafas orofaringeal posterior. Ferguson dan rekan melakukan studi membandingkan terapi alat oral dan terapi CPAP hidung dan menyimpulkan bahwa peralatan oral efektif pada beberapa pasien dengan OSA ringan sampai sedang dan memiliki tingkat keberhasilan yang lebih besar dari CPAP. Tingkat kepatuhan terapi alat oral telah dilaporkan sebesar 77%. Komplikasi yang paling sering dilaporkan pada terapi alat oral adalah nyeri gigi dan otot rahang, kesulitan menguyah dipagi hari, dan produksi air liur yang berlebihan. Meskipun terapi alat oral memiliki biaya yang lebih efektif dan memiliki tingkat kepatuhan pasien yang lebih tinggi, CPAP telah terbukti lebih efektif dalam mengurangi AHI. Oleh karena itu intervensi ini harus direkomendasikan secara berhati-hati karena pengobatan ini merupakan lini pertama terapi OSA mederat, tetapi dapat berfungsi sebagai pengobatan yang efektif untuk

pasien OSA dengan gejala ringan. Terapi farmakologis telah diusulkan sebagai pengobatan alternatif pada pasien yang tidak toleran pada CPAP, namun belum ada bukti yang cukup untuk merekomendasikan penggunaan terapi obat sebagai terapi primer untuk pengobatan OSA. Banyak mekanisme obat yang telah dijelaskan dalam mengurangi keparahan OSA termasuk meningkatkan dilatasi otot saluran pernafasan bagian atas, peningkatan ventilasi, dan meningkatkan tonus kolinergik saat tidur dibandingkan mengurangi proporsi REM saat tidur, mengurangi resistensi saluran nafas, dan mengurangi tegangan permukaan saluran nafas bagian atas. Beberapa obat telah diteliti sebagai pengobatan OSA. Flutikason telah menunjukkan keberhasilan dalam mengobati pasien OSA dengan rhinitis. Kiely dan rekan melaporkan kejadian AHI lebih sedikit pada pasien yang diberi flutikason intranasal dibandingkan dengan mereka yang diberikan plasebo. Brouillette dan rekannya memberikan flutikason intranasal selama 6 minggu pada anak-anak dengan OSA dan hipertrofi adenotonsilar dan didapatkan hasil penurunan frekwensi apnea obstruksi dan hipoapnea. Melihat manfaat yang ada dengan pengoabatan flutikason intranasal, membutuhkan penelitian lebih lanjut. Antagonis reseptor montelukast leukotrien juga bermanfaat dalam mengurangi ukuran adenoid dan gangguan tidur pada anak-anak terkait dengan OSA. Belum ada penelitian pada orang dewasa yang telah dipublikasikan dan penelitian lebih lanjut diperlukan untuk menguatkan bukti-bukti ini. Penggunaan modafinil stimulan sentral postsinaptik alpha1-adrenergik, harus dipertimbangkan secara hati-hati. Penelitian terbaru berhasil digunakan untuk mengurangi sisa kantuk pada pasien dengan OSA yang mendapatkan pengobatab CPAP tetapi masih mengalami rasa kantuk siang hari yang berlebihan. Namun modafinil tidak boleh digunakan tanpa adanya pengobatan yang yang mendasari OSA. Penggunaan strip dilator hidung dan dekongestan topical telah dianjurkan pada pasien dengan OSA yang disertai sumbatan hidung yang berat. Mclean dan rekan menemukan bahwa pengobatan sumbatan hidung dengan 0.4 mL oxymetazoline 0.05% bersama dengan strip dilator hidung mengurangi pernafasan mulut pada saat tidur dan mengurangi keparahan apnea tidur, tetapi tidak efektif mengurangi apnea obstruktif. Strip silatator hidung terbukti secara signifikan mengurangi gejala mendengkur, pernafasan mulut dan kantuk pada pasien yang tidak menderita OSA. Pengobatan Bedah

Faktor penting dalam membuat keputusan untuk mengobati OSA melalui pembedahan termasuk adalah keinginan pasien, toleransi terhadap CPAP, keparahan gejala, tingkat keparahan penyakit, komorbiditas pasien, lokasi dan keparahan penyumbatan saluran nafas bagian atas. Seperti yang disebutkan sebelumnya OSA sering terjadi pada pasien dengan kelebihan berat badan, hipertensi, dan memiliki factor resiko jantung. Pasien-pasien ini harus secara hati-hati disaring dengan pemeriksaan kesehatan yang komprehensif sebelum mempertimbangkan operasi untuk pengobatan OSA. Perencanaan tindakan bedah untuk pasien dengan OSA harus mencakup diskusi dengan tim anastesi dan ahli bedah mengenai rencana menejemen saluran pernafasan. Sebuah algoritma yang sering digunakan termasuk pernafasan orofaringeal untuk mencegah obstruksi jalan nafas oleh lidah, menghindari penggunaan agen yang melumpuhkan otot pernafasan sampai ventilasi pernafasan membaik, dan menyiapkan metode ventilasi alternative pada kasus intubasi yang tidak berhasil. Para ahli bedah juga harus berdiskusi terbuka dengan pasien tentang kemungkinan trakeostomi. Evaluasi sebelum operasi yang dilakukan dokter atau tim anastesi sangat penting termasuk didalamnya evaluasi untuk penyakit kardiovaskuler. Pasien dengan OSA biasanya dikelola menggunakan protocol bedah yang bertahap. Situs obstruksi harus ditentukan pada setiap pasien untuk menentukan jenis dan tingkat intervensi bedah. Umumnya pasien dengan obstruksi palatal menjalani operasi palatum, dan pasien yang mengalami obstruksi pada dasar lidah dapat menjalani prosedur yang ditujukan untuk mengobati daerah ini. Kebanyakan pasien yang bergejala, karena memiliki sumbatan pada palatal dan pangkal lidah. Pemeriksaan endoskopi dilakukan untuk menentukan lokasi obstruksi. Sebelum terapi dimulai, pasien harus diberikan konseling tentang kemungkinan perlunya beberapa prosedur bedah untuk mencapai kesembuhan gejala. Evaluasi endoskopi dalam keadaan tidur mungkin menjadi metode yang optimal dalam evaluasi jalan nafas pada kasus ini. Pasien dengan ostruksi laring harus diobati dengan tepat untuk mengurangi obstruksi dan dipertimbangkan untuk dilakukan trakeostomi jika perbaikan tidak tercapai dengan operasi atau dengan CPAP. Merupakan hal yang penting untuk identifikasi situs atau situs dari obstruksi sebelum pengambilan keputusan ini (dalam hal ini trakeostomi). Beberapa penelitian menggunakan endoskopi telah menunjukkan prevalensi obstruksi retropalatal dan retroglossal pada pasien dengan OSA. Pada tahun 200, Steinhart dan rekannya mengevaluasi 117 pasien OSA dan menemukan bahwa 100% pasien mengalami obstruksi retropalatal dan 77% mengalami obstruksi retroglossal, sehingga menggambarkan mayoritas pasien mengalami kombinasi dari dua jenis

obstruksi ini. Pada tahun 2005, Herder dan rekannya mengevaluasi 127 pasien yang menjalani metode evaluasi yang sama dan menemukan bahwa 88% dari pasien mengalami obstruksi retropalatal sedangkan 49% lainnya mengalami obstruksi retroglossal. Dalam studi ini, 51% pasien hanya mengalami obstruksi palatal sedangkan 12% lainnya mengalami obstruksi pada pangkal lidah. Bedah Hidung Sumbatan pada hidung telah dikaitkan dengan gejala kualitas tidur yang buruk,dan mendengkur pada OSA. Septoplasti, pemotongan konka, operasi katup hidung dan operasi sinus merupakan prosedur yang telah digunakan untuk mengobati sumbatan hidung yang terkait dengan OSA, dan prosedur pemulihan terkait patologi hidung. Meskipun prosedur bedah hidung dapat secara signifikan mengobati OSA, namun penggunaan CPAP nasal pada pasien dapat membantu memulihkan pernafasan fisiologis. Pertimbangan harus dilakukan dengan mengatasi sumbatan hidung sebagai langkah awal manajemen terapi OSA, sehingga nantinya akan memudahkan kepatuhan dalam pengobatan CPAP yang lebih baik. Bedah Palatum Pada tahun 1981, Fujita dan rekannya telah menjelaskan prosedur bedah palatum pertama dalam pengobatan OSA. UPPP dengan tonsilektomi dikembangkan untuk menghilangkan obstruksi palatum dengan reseksi palatum dan jaringan faring yang berlebihan. Ini merupakan prosedur bedah yang paling sering digunakan dalam pengobatan OSA dan sering disalahgunakan sebagai terapi bedah lini pertama untuk OSA terlepas dari factor resiko pasien seperti obesitas, retrognathia,dan adanya obstruksi pada saluran pernafasan lainnya. Sebagai hasilnya, sering terjadi kegagalan dalam terapi OSA. Besarnya penyempitan faring menentukan keberhasilan dari prosedur UPPP. Dalam sebuah penelitian metaanalisis, terdapat 37 laporan diterbitkan tentang hasil dari UPPP, tingkat keberhasilan yang terbaik 50% dan tergantung pada tingkat keparahan OSA. Kberhasilan prosedur dalam hal ini didefinisikan sebagai indeks gangguan pernafasan (RDI) yang kurang dari 20 atau nilai AHI kurang atau sama dengan 10, dengan setidaknya peningkatan 50% dalam nilai RDI. Friedman dan rekannya menunjukkan prediksi keberhasilan UPPP pada pasien OSA berdasarkan posisi palatum, ukuran tonsil dan indeks massa tubuh (BMI). Posisi palatum, ukuran tonsil dan BMI digunakan dalam klasifikasi pasien. Pasien

Stadium I memiliki tingkat keberhasilan 80%, pasien stadium II memiliki tingkat keberhasilan 40% dan stadium II hanya memiliki tingkat keberhasilan 8%. Hasil ini menunjukkan bahwa stadium klinis jelas meningkatkan tingkat keberhasilan secara keseluruhan dan sangatlah penting untuk mengidentifikasi pasien yang mungkin mendapatkan keuntungan dari prosedur UPPP. Komplikasi yang terkait dengan UPPP termasuk didalamnya refluks hidung sementara pada 1215% pasien, perdarahan pasca operasi pada 1-5% pasien,dan infeksi pada 2% pasien. Untuk memperbaiki prosedur UPPP, teknik lain telah diusulkan untuk mengatasi obstruksi retropalatal. Woodson dan rekannya memperkenalkan faringoplasti transpalatal, yang bertujuan untuk mengurangi obstruksi retropalatal dengan mengubah tulang palatum serta jaringan lunak pada maksila posterior. Pada prosedur ini, 1 cm dari palatum keras dipotong dan palatum lunak dimajukan dan dijahit medial dan lateral pada aponeurosis tensor, yang akan memperbesar wilayah retropalatal. Woodson dan rekannya telah melaporkan keberhasilan prosedur ini bila digunakan pada pasien yang mengalami obstruksi retropalatal persisten setelah dilakukan prosedur UPPP dan pasien dengan OSA yang memiliki uvula yang kecil tanpa karakteristik palatum lunak yang panjang dan tebal. Prosedur lainnya adalah, Z-palatoplasti yang diperkenalkan oleh Friedman untuk prosedur revisi primer palatum pada pasien tertentu. Untuk mengurangi rasa sakit, biaya, dan morbiditas yang dihasilkan oleh UPPP, teknik yang bersifat kurang invasive telah dikembangkan. Implan palatum ini dirancang untuk mengurangi penyempitan dan obstruksi saluran nafas akibat palatum lunak melalui tiga penempatan implant pada palatum. Porositas dari implant juga mendorong pembentukan kapsul fibrosis yang akan menghubungkan ketiga implant tersebut. Nordgard dan rekannya melaporkan penurunan yang signifikan dalam AHI, rasa mengantuk di siang hari, serta gejala mendengkur dengan penggunaan implant palatum pada pasien OSA ringan sampai sedang asalkan indeks massa tubuh pasien dapat dikontrol. Komplikasi yang paling sering terjadi dalam prosedur ini adalah ekstrusi implant parsial. Keuntungan dari prosedur ini antara lain, bahwa prosedur ini dapat dilakukan hanya dalam satu kali kunjungan pasien, memiliki morbiditas yang minimal, dan telah tercatat secara signifikan mengurangi gejala mendengkur. Karena morbiditas yang rendah, prosedur implant palatum umumnya digunakan untuk mengobati gejala mendengkur dan berguna pada pasien dengan OSA ringan. Prosedur bedah Pangkal Lidah

Glossektomi garis tengah parsial (PMG), lingualplasti, dan Radiofrequency ablation (RFA) pangkal lidah telah dikembangkan untuk mengatasi sumbatan retrolingual atau penyempitan yang terjadi pada OSA. Tonsilektomi juga dapat membantu pada pasien dengan hipertrofi tonsil lingual. Prosedur PMG menciptakan saluran nafas retrolingual yang lebih besar dengan memotong garis tengah dari setengah bagian belakang lidah. Pada pasien tertentu, tonsilektomi, pemotongan lipatan aryepiglotik dan epiglotektomi parsial juga dapat dilakukan. Dengan lingualplasti, tambahan jaringan pada lidah akan dipotong kearah posterior dan lateral bagian tersebut dengan menggunakan teknik PMG. Woodson dan rekannya melaporkan bahwa lingualplasti menghasilkan tingkat respon sebesar 79% pada pasien yang sebelumnya telah gagal dalam prosedur UPPP. Karena pembengkakan lidah sering terjadi setelah prosedur ini, maka prosedur ini sering dikombinasikan dengan trakeostomi untuk melindungi jalan nafas. Radiofrequency ablation (RFA) pada pangkal lidah menurunkan penyempitan jalan nafas dengan menurunkan volume jaringan pada pangkal lidah melalui pembentukan jaringan parut. Prosedur ini menggunakan energy frekwensi radio sebesar 465 KHz dan dikenakan pada beberapa daerah pada pangkal lidah sehingga menghasilkan koagulasi nekrosis dan penyembuhan dengan bekas luka. Prosedur ini sering dilakukan dalam penanganan rawat jalan dengan anastesi lokal dan prosedur ini mungkin memerlukan jenis penanganan yang lainnya untuk mecapai hasil yang diinginkan. Sebuah tinjauan dari 11 seri penelitian menunjukkan bahwa keberhasilan dari prosedur RFA dari 20 sampai 83%, dan menyimpulkan bahwa prosedur ini tidak memadai sebagai prosedur tunggal, terutama bila mengingat bahwa kebanyakan pasien memerlukan beberapa sesi untuk mencapai hasil yang diinginkan. Prosedur bedah Hipofaringeal Pengobatan daerah hipofaringeal terdiri dari prosedur yang dirancang untuk mencegah runtuhnya lidah kedalam saluran nafas selama tidur. Advanced Genioglossal (GA) dan miotomi hyioid (HM) merupakan prosedur untuk memperbesar saluran nafas retrolingual. Pada prosedur GA,tuberkulum genial dari mandibula yang merupakan bagian dari oto genioglossus anterior dilakukan osteotomi. Pada 4 penelitian kasus, GA dilakukan sebagai prosedur tunggal dan telah terbukti memiliki tingkat keberhasilan dari 39% hingga 78% pada pasien dengan OSA berat (rata-rata nilai RDI pra operasi 53-59). Prosedur HM dilakukan dengan cara melakukan miotomi rendah pada daerah anterior dan inferior yang berikatan dengan tulang rawan tiroid. Tingkat

keberhasilan untuk HM yang dilakukan bersama UPPP berkisar dari 52% sampai 78% dalam tiga seri penelitian pada pasien dengan BMI rata-rata kurang dari 30.83. Namun, dalam satu seri penelitian pasien dengan BMI rata-rata 34.1 tingkat keberhasilannya adalah 17% (5 dari 29 pasien). Hasil pembesaran jalan nafas retrolingual diperoleh dengan menempatkan dilator pada jalan nafas tanpa mengubah oklusi gigi. Komplikasi yang terkait dengan GA dan HM antara lain, mati rasa permanen sebanyak 6%, infeksi sebanyak 2-5%, dan seroma pada 2% pasien. Selain itu terdapat resiko yang kurang dari 1% untuk terjadinya fraktur mandibula, aspirasi dan kematian. Prosedur reposisi lidah kearah depan dapat dilakukan untuk mencegah runtuhnya lidah kedalam saluran nafas. Melalui sayatan intraoral yang dibuat dari frenulum, skrup titanium ditempatkan pada korteks lidah di geniotuberkel pada mandibula, dan jahitan permanen dilakukan melalui paramedian otot-otot lidah disepanjang lidah, melalui dasar lidah dan kemudian kembali melalui otot-otot sepanjang lidah. Jahitan ini berakhir pada skrup titanium yang tadi ditempatkan. Ketika prosedur ini dilakukan bersama dengan UPPP, dilaporkan tingkat keberhasilan berkisar 20 hingga 57%, dan satu studi menunjukkan keberhasilan hingga 78% dalam 3 tahun pada pasien yang menolak pengobatan menggunakan prosedur UPPP. Prosedur memajukan tulang maksilomandibula (MMA) dapat meningkatkan saluran nafas retropalatal dan retrolingual. Rahang atas dan bawah dimajukan dengan cara dilakukan osteotomi potongan sagital pada rahang atas dan bawah yang sejajar dengan Le Fort I. Prosedur ini biasanya dilakukan setelah intervensi bedah lainnya gagal. Komplikasi dari prosedur ini termasuk maloklusi, kekambuhan, parastesia saraf, nonunion atau malunion, masalah persendian temporomandibular, infeksi, perdarahan dan kebutuhan akan perawatan gigi lebih lanjut. Tingkat keberhasilan prosedur ini mendekati 90%. Trakeostomi Trakeostomi merupakan standar emas manajemen bedah pada pasien OSA. Prosedur ini mngurangi gejala OSA dengan cara membuat saluran nafas melewati jalan nafas yang sering tersumbat selama tidur. Namun masalah psikososial, ketidaknyamanan yang dirasakan dan morbiditas membuat trakeotomi jarang menjadi pilihan intervensi bedah. Prosedur ini dipertimbangkan jika semua penanganan OSA lainnya telah gagal, dan terancamnya hidup pasien akibat OSA dan pasien yang tidak mentoleransi prosedur CPAP atau terdapat keterlambatan perkembangan otak. Prosedur ini juga mungkin merupakan pilihan terbaik untuk

pasien yang gemuk tidak sehat atau sebagai langkah sementara untuk pasien yang menjalani operasi pangkat lidah. Manajemen Pasca Operasi Dengan kecenderungan pengobatan bedah pada OSA, mungkin akan terdapat peningkatan obstruksi jalan nafas pasca operasi karena edema yang dihasilkan pada beberapa daerah di saluran nafas bagian atas. Selain itu, sedasi post anastesi dapat menyebabkan proses respirasi sekunder serta obat-obatan anti nyeri narkotik yang bersifat adiktif pada pasien telah dapat perbaikan pernafasan. Pada penelitian retrospektif dari 135 pasien yang menjalani operasi OSA, Esclamando dan koleganya mengidentifikasi terdapat komplikasi pada 13% dari pasien : 14 pasien mendapatkan masalah saluran nafas seperti kegagalan intubasi dan obstruksi jalan nafas setelah ekstubasi (dapat mengakibatkan kematian), 3 pasien mengalami perdarahan, dan 1 pasien dengan aritmia. Pasien dengan masalah intubasi lebih cenderung mengalami komplikasi yang lebih berat, sedangkan pasien dengan masalah ekstubasi dapat diatasi dengan obat anti nyeri narkotik selama prosedur. Resiko komplikasi perioperatif tidak berhubungan dengan usia, gejala pra operasi, dan masalah medis lain yang menyertai atau hasil dari septoplasti atau tonsilektomi. Pada tahun 1990, Fairbanks melakukan survei nasional apad 72 daerah yang telah menjalani prosedur UPPP dan menemukan bahwa pada lebih dari 9 tahun pasca prosedur terdapat 16 kematian dengan 46 kasus stenosis nasofaring dan 42 kasus ketidakmampuan palatum. Komplikasi tambahan lain yang dilaporkan termasuk perdarahan dan luka. Karena peningkatan resiko saluran nafas setelah operasi, algoritma perawatan pasien telah dikembangkan untuk meminimalkan morbiditas pasien dan mortalitas. Rawat inap direkomendasikan untuk sebagian besar pasien yang menjalani operasi saluran nafas dan memasukkan pasien ke unit perawatan intensif juga harus dipertimbangkan. Pada evaluasi pasien dengan OSA berat menunjukkan bahwa prosedur CPAP hidung pada malam pertama pasca operasi, efektif dalam menjaga saturasi oksigen diatas 90% meskipun tingkat saturasi oksigen pra operasi adalah 51.5%. Berdasarkan temuan ini, pasien dengan OSA berat direkomendasikan untuk menggunakan prosedur CPAP untuk 2 minggu pertama setelah operasi. Selain itu juga dianjurkan dilakukan polisomnogram selama 3 sampai 4 bulan untuk megevaluasi hasil operasi. Gangguan Tidur

Ahli THT umumnya memusatkan perhatian pada diagnosis dan pengobatan OSA dan hanya sedikit memberikan perhatian pada adanya gangguan tidur pada pasien yang diduga menderita OSA. Sebuah studi retrospektif pada tahun 2005 dari 643 pasien yang didiagnosis OSA ditemukan bahwa 31% memiliki gangguan tidur. Pada populasi ini, 19 pasien didiagnosis menderita gangguan tidur yang bersamaan dengan OSA, yang paling sering menjadi penyebab adalah keberrsihan tidur yang tidak memadai (15%) dan gangguan gerakan ekstremitas (8%). Oleh karena itu skrining untuk adanya gangguan tidur yang bersamaan dengan penyakit sangat penting dilakukan setelah perawatan medis atau bedah. Klasifikasi gangguan tidur Edisi kedua dari klasifikasi gangguan tidur (ICSD-2) memasukkan klasifikasi gangguan tidur menjadi gangguan tidur intristik dan ekstrinsik dan dibagi kedalam 6 kategori penyakit utama dan 2 kondisi lainnya. Kategori penyakit ini antara lain termasuk insomnia, gangguan pernafasan terkait tidur, hipersomnia sentra, gangguan irama sikardian, parasomnia, gangguan gerak yang berhubungan dengan tidur, dan gejala gangguan tidur lainnya. Pada OSA, gangguan tidur yang paling sering diobati oleh ahli THT tercakup dalam kategori gangguan tidur yang berhubungan dengan gangguan nafas. Tidur dibagi menjadi tahap Rapid Eye Movement (REM) dan non-Rapid Eye Movement (NREM). Sekitar 80% malam dihabiskan dalam keadaan NREM, yang dibagi menjadi 3 tahap yang ditandai pada pola spesifik pada ensefalografi. Tahap N1, sebelumnya dikenal dengan tahap 1, merupakan tahap transisi antara tidur dan bangun dimana terdapat pola campuran tegangan dengan 3 sampai 7 siklus gelombang perdetik (cps). Orang mungkin akan merasa berada dalam keadaan terjaga pada tahap ini. Tahap N2, sebelumnya dikenal dengan tahap 2, adalah hadirnya spindle dan kompleks K dan mungkin merupakan tahap pertama dalam tahap tidur yang benar. Tahap N3, sebelumnya dikenal dengan tahap 3 dan 4, juga disebut sebagai gelombang tidur lambat dan dibedakan dengan gelombang delta, yang memiliki amplitudo yang tinggi (hingga 2 cps) dan merupakan 20% dari periode 30 detik. Tahap R, atau REM ditandai dengan gerakan mata yang cepat dan amplitudo gelombang campuran dengan frekwensi yang rendah. REM biasanya berganti dengan periode NREM pada 90 menit siklus REM dan dapat terus meningkat sepanjang malam. Insomnia

Insomnia didefinisikan sebagai kesulitan berulang untuk inisiasi tidur, pemeliharaan tidur, konsolidasi atau kualitas tidur. Insomnia dapat menyebabkan disfungsi di siang hari meskipun terdapat kesempatan yang memadai untuk tidur. Hal ini juga termasuk untuk tidur dengan kualitas yang buruk. Dengan menggunakan definisi ini, Konferensi sains NIH memperkirakan insomnia terjadi pada 10% orang dewasa. Anak-anak juga dapat menderita insomnia yang telah dilaporkan terjadi pada 20% sampai 30% bayi, balita , anak prasekolah dan 12-30% pada remaja. Pada anak, seorang pengasuh anak dapat melaporkan bahwa seorang anak memiliki kesulitan untuk inisiasi tidur, ketika terlihat keengganan anak untuk pergi ketempat tidur atau adanya ketidakmampuan anak untuk tidur mandiri. Gejala siang hari harus menyertakan setidaknya salah satu dari gejala berikut : kelelahan atau malaise, gangguan kognitif (perhatian konsentrasi atau memori), kesulitan sosial atau kinerja disekolah yang buruk, gangguan suasana hati atau mudah marah, kantuk disiang hari, kurangnya motivasi atau energi, kecenderungan untuk terjadinya kecelakaan, atau gejala fisik seperti sakit kepala, ketegangan otot, gejala gastrointestinal atau masalah tentang tidur itu sendiri. Ada beberapa tipe insomnia (tabel18-10). Insomnia psikofisiologikal dikaitkan dengan kecemasan sebelum tidur dan kesulitan untuk merencanakan tidur. Seringkali perilaku belajar, mencegah timbulnya tidur pada pasien ini. Hal ini mungkin terjadi pada 2% populasi umum. Insomnia yang paradoksal, meskipun jarang terjadi, tetapi juga terkait dengan difungsi pasien pada siang hari, tetapi terkadang sulit didapatkan dalam keluhan pasien. Pasien dengan insomnia paradoks dapat mepaorkan tidur yang sedikit atau tidak dapat tidur, tetapi sering ada ketidaksesuaian antara waktu tidur yang dirasakan pasien dengan waktu yang dicatat pemeriksa pada saat pemeriksaan. Insomnia idiopatik sering dimulai saat masa kecil atau anak-anak, dapat terjadi seumur hidup dan tidak diketahui penyebab pastinya. Perilaku insomnia pada anak-anak dikaitkan dengan pengaturan atau onset pola perilaku yang mencegah anak dari tidur. Hal ini sering dikaitkan dengan perilaku pengasuh anak atau ritual khusus yang sering dilakukan dalam memperpanjang proses jatuhnya anak kedalam tidur. Kebersihan tidur yang tidak memadai dapat dicurigai ketika insomnia berlangsung selama minimal 1 bulan dan mencakup setidaknya salah satu dari berikut : Penjadwalan tidur yang tidak tepat termasuk tidur di siang hari ; variabel tidur atau waktu bangun atau jumlah waktu yang berlebihan ditempat tidur, penggunaan narkotika, kafein atau alkohol terutama sebelum tidur, rangsangan aktifitas mental dan fisik yang dekat dengan waktu tidur, seringnya menggunakan tempat tidur untuk kegiatan lain seperti menonton televisi atau membaca atau kegagalan untuk mempertahankan

tidur yang nyaman (termasuk suhu, pencahayaan dan seprei). Kebersihan tidur biasanya bukan merupakan penyebab primer insomnia dan sering menyebabkan kesulitan untuk ditangani. Selain itu, kebersihan tidur yang tidak memadai yang sering dihubungkan dengan gangguan tidur juga dapat didiagnosis sebagai gangguan tidur sekunder. Insomnia pada anak yang sangat muda sering berhubungan dengan ketidakcocokan antara harapan pengasuh dengan perkembangan usia anak. Perilaku insomnia anak harus dipertimbangkan pada anak remaja. Insomnia pada populasi anak dapat ditangani dengan kebersihan tidur yang tepat, pengaturan anak atau terapi prilaku anak. Selain itu metode yang masuk akal lainnya adalah seperti menurunkan asupan cairan dan pemberian obat stimulan sebelum tidur, seperti yang digunakan pada pengobatan penyakit gangguan perhatian dan hiperaktif, sebelum mempertimbangkan intervensi fakmakologis. Terjadinya gangguan tidur akibat tertundanya ritme sikardian juga harus dievaluasi pada anak dan remaja. Selain itu, populasi khusus seperti anak-anak dengan sindro autisme atau Asperger telah terbukti memiliki peningkatan kejadian insomnia. Gangguan tidur yang terkait dengan kondisi pernafasan termasuk dalam bagian ini namun dibedakan dengan gangguan bernafas selama tidur, baik itu yang bersifat obstruktif atau sentral. Termasuk didalamnya sindrom apnea saat tidur obstruktif bersama dengan gangguan yang berhubungan dengan hipoventilasi atau hipoksemia. Apnea tidur sentral ditandai dengan tidak adanya usaha pernafasan yang mengakibatkan tidak adanya aliran udara. Hipoapnea tengah yang dikategorikan pada apnea sentral, ditandai dengan penurunan aliran udara karena kelainan sistem atau disfungsi kardiopulmonal, seperti penyakit paru kronik obstruktif atau penyakit jangtung kongestif. Pasien dengan apnea sentral sering datang dengan gejala yang mirip dengan penderita OSA seperti kantuk yang berlebihan sisiang hari, mendengkur, adanya hilangnya upaya pernafasan, serta sesak saat bangun tidur. Mirip dengan OSA, apnea sentral pada orang dewasa didefinisikan sebagai terjadinya lima atau lebih hilangnya usaha pernafasan per jam saat tidur. Bayi dapat mengatasi apnea sentral saat tidur ini karena umur mereka. Sindrom Hipoventilasi atau hipoksemia terkait dengan proses tidur dikategorikan sebagai kelainan bawaan, idiopatik atau karena kondisi medis lain seperti penyakit parenkim paru, penyakit pembuluh darah, penyakit neomuskular atau gangguan dinding dada. Hipoventilasi adalah kondisi fisiologi yang ditandai dengan hiperkapnea dengan komposisi ketegangan karbondioksida arteri lebih besar dari 45 mmHg pada analisa gas darah arteri. Elevasi ini dipicu oleh ketidakseimbangan antara eliminasi

dan produksi CO2 yang berlangsung kronis. Ventilasi biasanya tercukupi saat pasien terjaga, dan hipoventilasi terjadi melalui pernafasan yang dangkal dan penurunan volume tidal saat tidur.

Hipersomnia Sentral Gangguan hipersomnia sentral bukan diakibatkan oleh gangguan ritme sikardian, gangguan tidur terkait pernafasan atau penyebab lain gengguan tidur malam. Gangguan ini terutama ditandai dengan kantuk berlebihan disiang hari setelah gangguan-gangguan tidur yang telah disebutkan sebelumnya tadi. Bagian ini termasuk narkolepsi, hipersomnia berulang dan hipersomnia idiopatik. Kantuk disiang hari ditandai dengan kesulitan untuk tetap terjaga atau waspada, yang menghasilkan kantuk yang tidak disengaja atau tidur disiang hari. Rasa kantuk ini dapat diukur menggunakan tes latensi beberapa proses tidur (MSLT) setelah dilakukan pemeriksaan dengan hasil tidak adanya gangguan tidur terkait pernafasan. ESS juga dapat digunakan untuk mengukur rasa kantuk pada populasi. MSLT merupakan uji kecenderungan untuk jatuh tertidur di saat gelap atau situasi tenang disiang hari. Ini merupakan tes yang utama dalam menilai rasa kantuk di siang hari, dan hasilnya dianggap sah apabila setidaknya dilakukan 6 jam pemeriksaan menggunakan polisomnograf dengan hasil adanya tidur sebelum inisiasi dan 2 jam antara peluang tidur disiang hari. Waktu untuk tidur dan terjadinya onset periode REM saat tidur (SOREMPs) dicatat untuk 4 atau lima tidur selama sehari. Narkolepsi diduga kuat jika terdapat dua atau lebih SOREMPs dan onset rata-rata tidur siang kurang dari 8 menit. Hal ini ditandai dengan kelumpuhan saat tidur, ketidakmampuan untuk bergerak saat bangun pada 24% kasus, halusinasi, sensasi bermimpi saat terjaga pada 30% kasus dan katapleksi, hilangnya tonus otot tiba-tiba dalam menanggapi emosi pada 70% kasus. Narkolepsi dibagi menjadi pasien dengan katapleksi dan pasien tanpa katapleksi. Selain itu, cairan serebrospinal hipokretin-1 yang berada pada tingkat kurang dari 110 pg/mL sangat khusus terdapat pada narkolepsi dengan katapleksi. Narkolepsi jarang terjadi sebelum umur 4 tahun dan hanya 6% dari pasien dengan umur lebih muda dari 10 tahun. Onset terutama terjadi pada 15 sampai 30 tahun dan prevalensinya sama pada pria dan wanita. Hipersomnia idiopatik yang ditandai dengan rasa kantuk berlebihan yang berat pada siang hari terjadi baik pada waktu tidur yang normal (6 sampai 10 jam) atau waktu tidur yang berkepanjangan ( lebih dari 10 jam) dan juga dapat terjadi pada psien dengan kesulitan bangun baik dari tidur malam atau siang hari. Hal ini juga menghasilkan onset rata-rata

tidur siang kurang dari 8 menit pada pemeriksaan MSLT tetapi dengan hanysa sedikit ditemukannya SOREMPs (bahkan sering tidak ada) dan juga tidak menunjukkan adanya intrusi REM atau narkolepsi. Gangguan ini biasanya memiliki onset awal pada umur 25 tahun dan memiliki sifat yang berbahaya. Gangguan tidur ritme sikardian Jam internal tubuh terletak pada nucleus suprakiasmatik. Sistem endogen ini, bersama dengan paparan cahaya eksternal dan isyarat-isyarat social, mengatur manusia selama 24 jam. Gangguan tidur ritme Sikardian terjadi ketika pola bagun dan tidur mengalami ketidaksesuaian dengan jam social secara persisten atau berulang, sehingga mengakibatkan rasa kantuk disiang hari yang berlebihan atau insomnia dan akhirnya mengakibatkan gangguan fungsi tidur. Terdapat sejumlah gangguan dalam kategori ini, tetapi disfungsi yang digarisbawahi adalah, mereka yang tidak bisa tidur ketika mereka menginginkan atau membutuhkan tidur. Gangguan ritme sikardian yang paling sering terjadi adalah jenis tertundanya fase tidur. Hal ini terutama terjadi pada kalangan remaja dan dewasa muda. Pada gangguan ini, onset tidur yang tertunda, biasanya lebih dari 2 jam, dan sering lebih lama dari yang diinginkan. Durasi dan kualitas tidur biasanya normal, tetapi waktu bangun alami akan tertunda , dan hal ini mengakibatkan pasien akan mengalami kesulitan tidur pada waktu tidur konvensional dan bengun terlambat setelah durasi tidur yang tepat. Fase tidur yang terlalu dini juga sering menyebabkan gangguan ritme, tetapi hal ini sering terjadi pada orang dewasa tua. Pasien memiliki kesulitan untuk tetap terjaga dan biasanya terjaga lebih awal dari waktu bangun yang mereka inginkan. Pasien ini biasanya tidak mencari penanganan secara medic karena kurangnya masalah social yang diakibatkan oleh bangun yang terlalu pagi. Pasien ini juga memiliki durasi dan kualitas tidur yang normal sesuai usia, tetapi onset tidur yang mereka alami bergeser dari waktu yang mereka inginkan. Pergeseran ritme sikardian dapat mempengaruhi pekerjaan pada 32% pekerja shift malam dan 26% pada pekerja harian. Telah diperkirakan 18% dari penduduk AS bekerja diluar jam siang hari yaitu dari jam 6 sore sampai 6 pagi. Hal ini mengakibatkan insomnia atau rasa kantuk yang berlebihan pada siang hari yang berhubungan dengan tumpang tindihnya jadwal pekerjaan dengan waktu tidur yang normal dan dapat berlansung setidaknya 1 bulan. Hal ini cenderung dapat pulih kembali jika waktu tidur diatur kedalam onset tidur yang normal. Jenis yang terakhir adalah gangguan ritme sikardian jenis jet lag, yaitu kondisi sementara yang berhubungan dengan perjalanan pada

setidaknya dua zona waktu, dapat ,menyebabkan insomnia atau rasa kantuk disiang hari yang berlebihan. Onset biasanya terjadi pada 1 sampai 2 hari setelah perjalanan dan resolusinya tergantung jumlah perbedaan zona waktu yang dilewati dan arah perjalanan, arah perjalanan ketimur akan lebih sulit menyesuaikan waktu tidur ketimbang perjalanan kearah barat. Parasomnia Parasomnia adalah gerakan yang tdiak diinginkan atau fenomena subjektif yang terjadi selam tidur, saat tertidur, sementara terbangun atau selama tidur itu sendiri. Fenomena ini meliputi aktivasi system saraf otonom dan gerakan abnormal, mimpi, emosi dan prilaku. Parasomnia biasanya cenderung terjadi pada awal masa kanak-kanak dan sering memiliki transformasi stabil dan bertahap dengan resolusi gejala yang menunjukkan bahwa etiologi juga dapat berkembang. Remisi spontan seiring bertambahnya usia sering terjadi dan biasanya tidak terdapat kelainan klinis yang jelas saat terjaga. Beberapa proses patofisiologi telah diidentifikasi untuk menjelaskan parasomnia. Parasomnia dikelompokkan menjadi gangguan saat terjadinya keinginan tidur (periode NREM), parasomnia terkait dengan REM saat tidur dan parasomnia lainnya. Teror tidur, tidur sambil berjalan, dan kebingungan saat timbulnya keinginan tidur yang merupakan gangguan gairah tidur yang biasanya terjadi pada sepertiga dari malam, mendominasi pada masa kesil dan umumnya mengalami penurunan frekwensi seiring bertambahnya usia. Hal ini dapat diobati dengan peningkatan kebersihan sebelum tidur. Intervensi farmakologis jarang diperlukan. Parasomnia terkait REM saat tidur adalah termasuk gangguan perilaku tidur, perasaan lumpuh saat tidur yang berulang, dan gangguan mimpi buruk. Gangguan perilaku REM saat tidur (RBD) merupakan hasil dari aktifitas otot selama REM dan menghasilkan gerakan yang merugikan sementara, selama fase REM. Hal ini sering dikaitkan dengan onset gangguan yang terdahulu, gangguan neurologis seperti penyakit Parkinson dan Demensia Tubuh-Lewy. Pemeriksaan PSG dianjurkan pada pasien ini karena pasien OSA mungkin akan mengalami gerakan gerakan yang tidak diinginkan selama REM yang dapat mirip dengan RBD. Gangguan mimpi buruk ditandai dengan episode berulang terbangun dari tidur dan teringatnya mimpi dengan intensitas yang mengganggu. Yang biasanya disertai dengan gangguan emosi seperti ketakutan, kecemasan kemarahan dan kewaspadaan penuh saat terbangun. Hal ini sering terjadi pada masa kanak-kanak dan dewasa dan biasanya berhubungan dengan peritiwa stress akut atau gangguan stress pasca trauma. Pengobatan dapat termasuk terapi kognitif dan prilaku atau

intervensi farmakologis. Beberapa parasomnia secara khusus dikaitkan dengan OSA atau pengobatan OSA. Hal ini termasuk gangguan dari REM saat tidur yang terjadi pada pasien OSA yang dapat mirip dengan RBD yang diakibatkan oleh kompleks atau perilaku kekerasan terkait dengan mimpi. Tipe kedua terjadi setelah gangguan pada NREM saat tidur dengan kompleks atau perilaku kekerasan yang sama sering membuat sulit dibedakan dengan ganggua gairah tidur. Gangguan gairah tidur terkait OSA pada saat NREM tidur juga dapat menyebabkan gangguan makan, yang dengan sendirinya akan memperburuk keadaan klinik OSA. Parasomnia lain yang terkait dengan keadaan anoksia otak terkait OSA dapat berupa serangan atau kejang nocturnal juga dapat bermanifestasi dengan jenis parasomnia komplek atau perilaku kekerasan. Penggunaan CPAP hidung untuk OSA menyebabkan peningkatan yang signifikan pada REM dan dapat mengakibatkan kebingungan gairah tidur, tidur sambil berjalan atau terror tidur. Kecuali bila diduga RBD, pemeriksaan PSG jarang diperlukan pada pasien ini kecuali jika terdapat adanya kecurigaan terhadap komorbiditas apnea saat tidur. Pada pasien dengan perilaku kekerasan yang terkait dengan gangguan tidur, rasa kantuk yang berlebih saat siang hari sering terjadi pada onset usia yang tidak biasa dengan gambaran klinis yang tidak biasa, pemeriksaan PSG mungkin diperlukan. Gangguan gerakan tidur terkait dengan SRMDs ditandai dengan gerakan berulang yang terjadi selama tidur dan menyebabkan gangguan tidur. Yang paling sering terjadi adalah sindrom kaki gelisah (RLS) dan gangguan gerakan tungkai periodic (PLMD). RLS didefinisikan sebagai sensasi tidak nyaman di kaki yang menyebabkan dorongan untuk memindahakan mereka. Ketidaknyamanan ini terjadi lebih sering pada sore atau malam hari, dan biasanya pasien merasa lega dengan gerakan. Pada anak-anak, riwayat keluarga menderita RLS dapat membantu diagnosis atau dokumentasi dari pemeriksaan polisomnografi yang bernilai lebih dari lima kali gerakan tungkai per jam. Penelitian saat ini menyelidiki tentang patofisiologi RLS dengan terlibatnya kadar zat besi dan system dopaminergik nigrostriatal yang rendah. Untuk alasan ini, evaluasi harus mencakup pemeriksaan kadar feritin dan tingkat kejenuhan transferin. Kekurangan zat besi berkisar pada kadar feritin dibawah 18 g/L atau sturasi transferin dibawah 16%. PLMD ditandai dengan gerakan kaki stereotip berulang yang terjadi saat tidur dan menyebabkan gangguan tidur atau kelelahan disiang hari. Seperti halnya RLS, dimana gejala di siang hari terjadi, pasien biasanya tidak menyadari gerakan kaki atau adanya gangguan tidur. Prevalensi PLMD diperkirakan antara 4% dan 11% pada orang berusia 15 hingga 100 tahun dan telah terbukti seiring dengan bertambahnya umur. Karena gangguan ini juga terkait dengan

perubahan dalam system dopaminergik bigrostriatal, hipotesis bahwa onset PLMD mungkin merupakan sinyal penurunan fungsi dopaminergik. Sejumlah penelitian telah menunjukkan beberapa pengurangan PLMD dengan penggunaan terapi Clonazepam dan agonis dopamine. Gejala yang tersembunyi, Varian yang tampak Normal dan Masalah-masalah yang belum terselesaikan Kondisi yang disorot pada kelompok ini adalah pada anggapan terjadinya sebuah kontinuitas antara tidur normal dan abnormal. Hal ini termasuk tidur yang lama, yang umumnya lebih dari 10 jam sehari, dan tidur yang pendek, biasanya tidur 5 jam sehari atau kuran, definisi waktu tidur disesuaikan dengan usia. Sejumlah kondisi yang berhubungan dengan keadaan mioklonus atau tersentak saat tidur juga termasuk dalam bagian ini, seperti halnya juga mendengkur. Mendengkur didiagnosis ketika suara mendengkur dicatat oleh pemeriksa dan tidak ditemukannya gejala kantuk disiang hari, insomnia atau gangguan tidur. Hasil jajak pendapat National Sleep Foundation 2005 menemukan bahwa 59% dari 1.500 orang dewasa melaporkan adanya mendengkur saat tidur. Pada tahun 1993 penelitian kohor Winconsin melaporkan bahwa mendengkur terjadi pada 28% wanita dewasa dan 44% laki-laki dewasa. Prevalensi kebiasaan mendengkur pada populasi anak-anak dilaporkan lebih rendah yaitu sebesar 7% sampai 13% pada anak usia 4 tahun, dab 10% terjadi pada anak pada tingkat sekolah menegah dan tinggi. Pengobatan untuk mendengkur difokuskan pada mengurangi kekhawatiran social, data terakhir menunjukkan bahwa pasien dengan kebiasaan mendengkur memiliki hasil neurokognitif yang lebih rendah (termasuk penurunan perhatian, memori dan skor kecerdasan) dan meningkatnya perilaku hiperaktif ketimbang dengan mereka yang tidak mendengkur. Kesimpulan Mayoritas pasien yang dirujuk ke ahli THT biasanya memiliki gangguan tidur terkait dengan pernafasan, juga mungkin juga menderita gangguan tidur lainnya termasuk kebersihan tidur yang tidak memadai, insomnia, gangguan ritme sikardian dan gangguan gerakan anggota gerak tubuh. Diagnosis gangguan tidur dengan menggunakan EDS mungkin sangat penting dalam mengevaluasi pasien dengan penyakit persisten setelah pengobatan medis dan bedah.

Anda mungkin juga menyukai