Anda di halaman 1dari 18

NEUTRON, Vol.4, No.

2, Agustus 2004

113

PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA DENGAN MEMANFAATKAN RUANG LUAR DI PUSAT KOTA (KASUS : PEDAGANG KAKI LIMA DI TAMAN SURYA SURABAYA) Ir. SRI UTAMI SETYOWATI, MT ABSTRAK Perkembangan suatu kota tidak terlepas dari kebutuhan akan ruang terbuka. Kota Surabaya dalam perkembangannya sekarang, timbul ruang-ruang komunal lain akibat dari kurangnya ruang-ruang luar yang disediakan oleh para pengembang perumahan. Taman Surya yang terletak di depan Balai Kota Surabaya menjadi tempat bertemunya masyarakat Surabaya dengan berbagai macam aktifitasnya, sehingga menarik kehadiran pedagang kaki lima yang melayani kebutuhan pengunjung Taman Surya. Permasalahan yang muncul, antara lain yang diakibatkan oleh sikap Pemerintah Kota Surabaya yang terlihat masih mendua, di satu sisi menyatakan pedagang kaki lima sebagai wiraswasta yang perlu dibina, di sisi lain pada saat-saat tertentu menginstruksikan penertiban dengan dalih kebersihan dan keindahan kota tanpa memberikan penyelesaian yang tepat. Penelitian ini bertujuan untuk menata Taman Surya sebagai tempat berjualan bagi pedagang kaki lima tanpa mengakibatkan terganggunya estetika kota dan ketertiban umum. Pendekatan dalam penelitian ini menggunakan teknik proporsi untuk mengidentifikasi jenis pedagang kaki lima, cara berjualan, jam berjualan serta kesesuaian antara tapak dengan karakter pedagang kaki lima. Konsep yang diusulkan adalah menempatkan pedagang kaki lima makanan dan minuman ditempatkan di depan Balai Kota sedang pedagang kaki lima non makanan ditempatkan di jalur pejalan kaki dan area bermain. Kata kunci : Pedagang Kaki Lima, Taman Surya, estetika kota
PENDAHULUAN Perkembangan suatu kota tidak terlepas dari kebutuhan akan ruang terbuka. Begitu juga dengan kota Surabaya, dalam perkembangannya sekarang timbul ruang-ruang komunal lain ( mall, plaza ) akibat dari kurangnya ruang-ruang luar yang disediakan oleh para pengembang perumahan. Surabaya sebagai kota terbesar kedua di Indonesia yang mempunyai ciri khas tersendiri yang tidak dimiliki oleh kota-kota lain yaitu dengan adanya Taman Surya yang terletak didepan Balai Kota dan dikiri kanan dan di depannya ada perumahan dan gereja. Ciri khas kota Surabaya dibentuk oleh beberapa hal antara lain dari karakter masyarakatnya, sosial budaya, makanan dan tempat ( place ). Taman Surya yang berada di pusat kota Surabaya dan terletak tepat dihadapan Balai Kota dilihat dari sejarahnya adalah kawasan pusat kota yang merupakan ruang komunal. Di sini masyarakat bertemu dan beraktifitas dan juga merupakan salah satu kebanggaan masyarakat kota untuk melewatkan waktu ber-rekreasi bersama keluarga baik pagi maupun sore hari dihari-hari tertentu. Dengan adanya Taman Surya sebagai tempat bertemu, beraktifitas dan rekreasi sebagian besar masyarakat kota Surabaya maka Taman Surya cenderung ditempati para pedagang kaki lima ( PKL ) yang melayani kebutuhan bagi masyarakat yang

114 PENATAAN PKL - MEMANFAATKAN RUANG LUAR DI PUSAT KOTA SURABAYA

memanfaatkan Taman Surya. Namun perlu disadari bahwa PKL dengan berbagai permasalahan yang ditimbulkan oleh kegiatannya sulit ditemukan pemecahan yang tepat di kota-kota besar di Indonesia. Dari aspek estetika kota, kehadiran PKL ini menunjukkan penampilan yang mengganggu estetika kota, di antaranya penampilan yang apa adanya sehingga menimbulkan kesan tidak teratur dan kumuh. Dari aspek kebijakan, SK no 03 tahun 1999 tentang Penataan Lokasi Usaha dan Pembinaan Usaha Pedagang Kaki Lima di Kotamadya Surabaya tidak adanya perijinan bagi PKL di Taman Surya. Dari aspek sosial, kehadiran PKL di Taman Surya diharapkan dan dibutuhkan warga masyarakat kota Surabaya sedang dari PKL merupakan sumber mata pencaharian. Dari tinjauan beberapa aspek di atas yang saling kontradiktif tersebut perlu adanya suatu penataan yang terpadu agar tercipta ruang luar dipusat kota yang estetis, menarik, dan mempunyai identitas, sehingga mengembalikan identitas Taman Surya sebagai kawasan pusat kota dimana masyarakat kota Surabaya bertemu, beraktifitas dan ber-rekreasi dan juga merupakan kebanggaan warga masyarakat kota Surabaya. Tujuan a. Mencari alternatif pemecahan permasalahan penataan Pedagang Kaki Lima di Taman Surya agar tercapai kondisi yang harmonis dan tidak merugikan antar kepentingan. b. Memperbaiki kebijakan yang berkaitan dengan Pedagang Kaki Lima, dengan mempertimbangkan kondisi riil yang ada. Pedagang Kaki Lima. Istilah sektor formal dan informal diperkenalkan oleh Keith Hart dari University of Manchester pada tahun 1973 (Sardjito,1988) Konsep sektor informal sendiri pertama dipopulerkan dalam suatu laporan ILO, dari hasil penelitian di Kenya (Urip Soewarno,1978). Penelitian tentang pedagang kaki lima ( termasuk sektor informal ), sudah dimulai sejak tahun 1970. Penelitian ini dirintis oleh Terry Mc Gee di Hongkong (Soetjipto Wirosardjono,1976) dan atas pimpinan Hans Dieter Evers di Singapore. Konsep penentuan ciri yang dikemukakan oleh Soetjipto Wirosarjono, ialah : . . . . ciri-ciri itu diturunkan dari kondisi riil kegiatan sejumlah tenaga kerja yang umumnya kurang berpendidikan dan tidak punya ketrampilan dan bekerja di sektor Ekonomi Marginal.. Dari pengertian di atas disimpulkan, menurut Soetjipto Wirosardjono ada delapan ciri sektor informal yaitu : 1. Pola kegiatannya tidak teratur baik dalam arti waktu, permodalan maupun penerimaannya. 2. Mereka tidak tersentuh oleh peraturan-peraturan atau ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah. 3. Modal, peralatan dan perlengkapan maupun omzetnya biasanya kecil dan diusahakan atas dasar hitungan harian. 4. Tidak mempunyai tempat yang tetap dan atau keterikatan dengan usaha lain. 5. Umumnya dilakukan oleh dan melayani golongan masyarakat yang berpendapatan rendah. 6. Tidak membutuhkan keahlian dan ketrampilan khusus sehingga secara luas dapat menyerap bermacam macam tingkatan tenaga kerja. 7. Umumnya tiap-tiap satuan usaha memperkerjakan tenaga sedikit dan dari lingkungan hubungan keluarga, kenalan atau yang berasal dari daerah yang sama. 8. Tidak mengenal sistim perbankan, pembukuan, perkreditan dan sebagainya. Secara umum pedagang kaki lima dapat diartikan sebagai pedagang kecil yang pada permulaannya mempunyai peranan sebagai penyalur barangbarang dan jasa ekonomi perkotaan (Tb. M. Rais. 1974;1) atau dengan kata lain, pedagang kaki lima termasuk pedagang eceran yang bermodal kecil

NEUTRON, Vol.4, No. 2, Agustus 2004

115

yang berpendapatan rendah dan berjualan di tempat-tempat umum, seperti emper-emper toko, di tepi jalan raya, taman-taman dan pasar-pasar tanpa izin usaha dari pemerintah. Khusus bagi pedagang kecil/pengecer ini ada beberapa karakteristik, antara lain: 1) Ada yang mempunyai ijin usaha dan ada yang tidak. 2) Ada yang menetap dan ada yang berpindah-pindah dan bahkan ada yang berkeliling. 3) Ada yang berkesinambungan, terputus-putus dan ada yang musiman. 4) Ada yang menempati lokasi permanen, sementara dan ada pula yang menempati fasilitas lain di luar fasilitas perdagangan yang telah ditentukan. 5) Berjualan secara sendiri, berkelompok bahkan ada yang secara masal. Menurut Fu-chen Ho membedakan antara sektor formal dan informal di perkotaan. Urban Formal Sector adalah sektor formal di daerah perkotaan yang terdiri dari sektor bisnis, modern, dan industri. Sedangkan UrbanInformal Sector adalah sektor informal kota yang terdiri dari pedagang kaki lima, buruh kota, pekerja harian, dan sejenisnya. Menurut Mc Gee dan Yeung, bahwa pedagang kaki lima mempunyai pengertian yang sama dengan hawkers yang di definisikan sebagai orang yang menawarkan barang dan jasa untuk dijual di tempat umum, terutama di pinggir jalan dan trotoar. Dari hasil penelitian Soedjana yang secara spesifik di kemukakan pengertian tentang pedagang kaki lima adalah sekelompok orang yang menawarkan barang dan jasa untuk dijual diatas trotoar atau di tepi jalan, di sekitar pusat perbelanjaan / pertokoan, pasar, pusat rekreasi / hiburan, pusat perkantoran dan pusat pendidikan, baik secara menetap atau setengah menetap, berstatus tidak resmi atau setengah resmi dan dilakukan baik pagi, siang, sore maupun malam hari. Ruang Luar Kota. Ruang kota adalah ruang-ruang geometris yang dibatasi oleh elevasielevasi : sebuah ruang luar yang terbuka, bebas halangan sehingga memungkinkan pengaliran segala macam pergerakan dan bersifat publik. Ruang ini pada dasarnya terdiri dari dua macam bentuk yaitu jalan ( street) dan lapangan (square). Square merupakan ruang terbuka yang bersifat statis seperti alun-alun, lapangan bermain dan taman kota yang biasanya bersifat memusat dan berorientasi ke dalam. Sedang street merupakan ruang terbuka kota yang bersifat dinamis seperti jalan raya, jalur pejalan kaki dan jalur setapak yang biasanya bersifat linier dan berorientasi kedua ujungnya. Ruang terbuka publik ( public open space) di perkotaan dapat dipahami sebagai bagian dari ruang kota ( urban space) yang dimanfaatkan oleh warga kota secara tidak terkecuali untuk menyalurkan hasrat dasarnya sebagai mahluk sosial yang membutuhkan wadah untuk berinteraksi dan berkomunikasi (Rob Krier,1979) Ruang terbuka kota yang bersifat publik adalah ruang kota yang mengakomodasi kegiatan masyarakat umum. Rancangan ruang semacam ini harus memperhatikan beberapa faktor pencapaian yang berdasar pada kegiatan (William H Whyte, 1980) yaitu: 1) Faktor fisik, yaitu keterkaitan antara kawasan yang dihubungkan dengan sirkulasi. 2) Faktor visual, yaitu pengembangan kemudahan orang mendapatkan gambaran visual 3) Faktor simbolis, yaitu kawasan yang mampu mengembangkan nilai-nilai sejarah dan budaya. Ruang terbuka publik mempunyai hubungan yang erat dengan masyarakat kota. Ruang kota ini mudah dijangkau oleh umum, baik secara visual maupun secara fisik. Penilaian aspek visual suatu kawasan terhadap

116 PENATAAN PKL - MEMANFAATKAN RUANG LUAR DI PUSAT KOTA SURABAYA

bentuk kota merupakan hasil interaksi antara masyarakat dengan lingkungan kota, yaitu persepsi manusia mengenai karakter ruang yang berkaitan dengan aspek alami (natural) dan budaya (cultural). Persepsi tersebut timbul akibat adanya interaksi antara pengamat dengan obyek amatan yang dipengaruhi oleh jarak amatan dalam ruang (Hary Launce Garnham,1985). Ruang terbuka umum (public space) dalam suatu perancangan kota memegang peran penting dalam memberikan rasa tentang kehidupan sosial (sense of public space) bagi masyarakat kota sebagai tempat untuk bertemu, memandang dan berbincang-bincang. (Clare Cooper Marcus). Selanjutnya Marcus memberikan batasan tentang apa yang disebut ruang terbuka umum, yaitu : 1) Tempat yang dimiliki oleh umum dan dapat diakses oleh umum, termasuk didalamnya adalah taman-taman di suatu lingkungan, taman kota dan beberapa bagian dari plaza pusat kota. 2) Tempat yang dimiliki oleh sekelompok orang tertentu akan tetapi dapat diakses oleh umum, termasuk didalamnya adalah taman-taman kampus, taman-taman gedung swasta dan lainnya. 3) Tempat yang dimiliki oleh sekelompok orang tertentu dan hanya dapat diakses oleh kelompok tertentu, termasuk didalamnya adalah taman di pusat perawatan dan rehabilitasi yang hanya dikhususkan untuk petugas kesehatan dan pasien. Menurut Sugeng Gunadi, masalah yang sering terjadi dalam perkembangan kota di zaman modern yang dilatar belakangi oleh pertumbuhan jumlah penduduk kota yang begitu pesat adalah tergusurnya sebagian besar, baik ruang terbuka hijau atau ruang luar. Oleh karena adanya konsep perkembangan kota modern yang meletakkan kepentingan bisnis dan komersial golongan atas di atas kepentingan golongan menengah kebawah atau masyarakat umum dengan dalih mempunyai nilai ekonomis yang tinggi, akibatnya kota semakin kekurangan ruang terbuka yang penting bagi kehidupan sosial masyarakat serta pertumbuhan jiwa raga penghuni kota khususnya generasi muda bangsa. Hubungan Kota dan Elemen Fisik Kota Kota terbentuk sebagai fungsi dari aktifitas manusia yang luas dan kompleks yang terakumulasi dari waktu ke waktu. Disisi lain kota dapat dipandang juga sebagai bentukkan fisik buatan manusia (urban artefact) dalam skala besar yang terbentuk dan terakumulasi dari waktu ke waktu pula. Elemen-elemen fisik tersebut terbentuk karena adanya fungsifungsi kegiatan yang berlangsung dalam suatu kota, kegiatan-kegiatan tersebut dapat berupa suatu mekanisme ekonomi seperti pusat perbelanjaan, toko, pusat perkantoran, tempat hiburan, tempat keagamaan, tempat sosial dan sebagainya (Aldo Rossi, 1982) Kota juga tidak tumbuh dalam bentuk fisik saja tetapi juga tumbuh bersamaan dengan masyarakatnya (Spreiregen, 1985) Elemen fisik sebagai kerangka analisis dan rancangan kota menurut Hamid Shirvani (1985) dalam Urban Design Processadalah sebagai berikut : 1. Penggunaan lahan (land use). Merupakan elemen pokok desain perkotaan, dimana tata guna lahan menentukan dasar perencanaan dalam dua demensi bagi terlaksananya ruang tiga demensi. Untuk saat ini, masalah pokok yang perlu dipertimbangkan adalah perencanaan ragam fungsi lahan antara kegiatan yang satu dengan yang lain dalam satu lingkungan fisik alamiah dan infrastruktur dalam satu operasional dan pemeliharaan yang lancar. Bentuk dan massa bangunan (building form and massing). Pada bentuk dan massa bangunan ditekankan pada floor area ratio (FAR), koefisien dasar bangunan (KDB), set back dari garis jalan, gaya bangunan, skala/proporsi, bahan dan warna agar menghasilkan

NEUTRON, Vol.4, No. 2, Agustus 2004

117

bangunan yang berhubungan secara harmonis dengan bangunan disekitarnya. Berhubungan dengan prinsip-prinsip urban desain yang berkaitan dengan bentuk bangunan massa, menurut Spreiregen (1965) : a. Skala, berkaitan dengan sudut pandang manusia, sirkulasi dan bangunan disekitarnya. b. Urban Space, elemen utama urban desain dan mementingkan penegasan skala manusia, skala batas-batas keliling dan type-type urban space. c. Urban Mass, meliputi bangunan-bangunan, permukaan tanah dan obyek dalam ruang yang mungkin dapat dirangkai untuk membentuk urban space dan pola aktifitas dalam skala besar dan kecil. 3. Sirkulasi dan parkir (circulation and parking). Elemen sirkulasi adalah salah satu aspek pergerakan yang kuat dalam membentuk struktur lingkungan perkotaan. Tiga prinsip utama dalam mengatur teknis-teknis sirkulasi : a. Visual, jalan harus menjadi ruang terbuka yang memiliki dampak visual positip b. Orientasi, jalan harus dapat memberikan kepada pengemudi dan membuat lingkungan menjadi jelas terbaca. c. Sektor publik dan privat harus terpadu dan saling bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama. 4. Ruang Terbuka ( open space ). Dalam konteks urban adalah semua jalan, jalur pejalan kaki, tamantaman, seperti elemen elemen terbuka (bangku, pohon, lampu, patung, jam dan lain-lain), termasuk bangunan-bangunan disekitarnya serta hubungan antara ruang terbuka umum dan ruang terbuka pribadi. Menurut Eko Budihardjo (1977) dalam Kota Berkelanjutan ruang terbuka ditinjau dari aktifitasnya terbagi dari 2 (dua) kategori yaitu : a. Ruang terbuka aktif, merupakan ruang terbuka yang mengandung unsur-unsur kegiatan didalamnya, antara lain : bermain, olahraga, upacara dan jalan - jalan. Ruang ini dapat berupa lapangan upacara, plaza, lapangan olahraga, tempat rekreasi. b. Ruang terbuka pasif,merupakan ruang terbuka yang didalamnya tidak mengandung kegiatan manusia, misalnya ruang sebagai jarak antara rel kereta api. 5. Jalur pejalan kaki (pedestrian ways). Merupakan elemen inti dari urban desain dan bukan hanya bagian dari estetika. Sistim pejalan kaki yang baik mengurangi ketergantungan dari kendaraan bermotor dalam areal perkotaan. Pengalaman berjalan merupakan kriteria dalam perancangan pejalan kaki, yaitu : aman, nikmat, senang, nyaman dan menarik. Pendukung Kegiatan ( activity support ). Dukungan aktivitas meliputi semua penggunaan dan kegiatan yang membantu memperkuat ruang-ruang umum diperkotaan,karena aktivitas dan ruang-ruang fisik selalu merupakan pelengkap satu sama lain. Bentuk , lokasi dan karakteristik sebuah daerah tertentu akan mengundang fungsi pemakaian dan aktivitas tertentu pula. Pada gilirannya, sebuah aktivitas cenderung mencari tempat yang paling mampu memenuhi syaratsyarat yang dibutuhkan demi berlangsungnya aktivitas tersebut. Saling ketergantungan antara ruang dan kegunaannya adalah elemen penting dalam perencanaan kota. Menurut Aldo Rossy (1982) kawasan dalam kota itu sendiri terbentuk karena adanya konsentrasi elemen-elemen fisik spatial yang selalu tumbuh

118 PENATAAN PKL - MEMANFAATKAN RUANG LUAR DI PUSAT KOTA SURABAYA

dan berkembang karena adanya interaksi aktifitas manusia yang terakumulasi pada satuan waktu yang tidak terbatas. Dalam hal ini kawasan Pedagang Kaki Lima termasuk dalam elemen Aktifitas Penunjang yang didefinisikan sebagai elemen / potensi yang mendukung kegiatan tertentu, lebih lanjut lagi dikatakan oleh Shirvani bahwa Aktifitas Penunjang adalah suatu elemen kota yang mendukung dua atau lebih pusat kegiatan umum yang berada dikawasan pusat kota yang memiliki kosentrasi pelayanan cukup besar. Dari segi bentuk, Aktifitas Penunjang dapat dibagi dua, yaitu : a. Aktifitas Penunjang diruang terbuka dapat berupa pedestrianactivity, taman rekreasi, taman kota, kawasan pedagang kaki lima, kawasan penjual barang-barang seni dan lain sebagainya. b. Aktifitas Penunjang diruang tertutup / bangunan, dapat berupa pertokoan eceran, departement store, perpustakaan umum dan lain sebagainya. Dari penjelasan tersebut kawasan pedagang kaki lima di Taman Surya termasuk dalam elemen aktifitas penunjang diruang terbuka dipusat kota, selain itu aktifitas penunjang dapat memberikan image / citra visual yang khas pada kawasan kota tertentu, karena dapat menghadirkan identitas lokal. 7. Penandaan (signage). Dalam tata informasi dari sudut pandang desain perkotaan, ukuran dan kualitas desain dari papan reklame pribadi diatur untuk menciptakan keserasian, mengurangi dampak negatif visual dan dalam waktu yang bersamaan menghapuskan kebingungan serta persaingan dengan rambu-rambu lalulintas dan publik yang memang diperlukan. Rambu-rambu yang terdesain dengan baik turut mendukung karakter dari penampilan gedung sekaligus menghidupkan jalanan, selain memberikan informasi barang dan jasa bisnis pribadi (Long Beach,1980 :25). 8. Pemeliharaan (preservation). Dalam perencanaan kota, usaha pemeliharaan ini harus mampu memberikan perlindungan bagi tempat-tempat dikota dan sekitarnya yang sudah ada (lapangan-lapangan, taman-taman, plaza-plaza, daerah perbelanjaan, dan sebagainya) selain bangunan dan tempat-tempat bersejarah. Murtaugh (1982) menyusun penuntun preservasi bagi distrik, meliputi : a. Lokasi, penataan bangunan, tempat, obyek dan ruang dalam tatanan yang diterima umum. b. Desain, yang berkaitan dengan komponen estetika, detail arsitetur misalnya skala, ornamen, proposi, tinggi, tekstur, bahan dan irama. c. Latar, yang memberikan citra sebuah distrik. d. Bahan , masalah bahan (warna, jenis dan lain-lain) yang disosialisasikan dengan sebuah daerah. e. Keahlian , ciri usaha estetika dari suatu daerah. f. Rasa , selain. g. Asosiasi , yang melibatkan kejadian-kejadian bersejarah, orang-orang penting, dan kualitas estetika yang dikandung distrik-distrik bersejarah. Kriteria bagi penampilan distrik meliputi skala, proporsi, irama, siluet, tinggi, bahan, warna, tekstur dan desain. Masalah desain perencanaan kota dan kebutuhan akan daerah-daerah bersejarah dapat mempengaruhi karakter barunya seperti halnya pengaruh pembangunan terhadap kualitas sejarahnya. Pembangunan dapat menimbulkan masalah didaerah-daerah tersebut, misalnya masalah penandaan, paving, lansekap, pencahayaan, perlengkapan jalan, dan trotoar.

NEUTRON, Vol.4, No. 2, Agustus 2004

119

Image dan Identitas Kota Pada saat ini arsitek dan planner tidak dapat meramalkan tentang kondisi obyek rancangan dan hasil rancangannya untuk masa yang akan datang, ini merupakan kelemahan dari perancangan pada saat ini. Oleh karena itu banyak karya-karya arsitektur yang tidak dapat dinikmati oleh masyarakat luas. Dimana karya-karya tersebut lahir hanya untuk dan oleh perancang dengan munculnya symbol-simbol ke-egoisme-an perancang. Akibat dari rasa kurang puasnya masyarakat terhadap karya tersebut, sering menimbulkan adanya penyalah gunaan fungsi terhadap hasil karya arsitektur dan urban desain. Seperti apa yang diungkapkan oleh Arnold Toynbee bahwa : Sejarah itu tidak penting,yang penting adalah bagaimana yang orang-orang pikirkan tentang sejarah itu ? Dalam konteks arsitektur dan urban desain, yang paling penting bagi arsitek dan planner untuk mengetahui, menyelami dan memahami persepsi masyarakat terhadap suatu obyek rancangan adalah apa yang orang-orang pikir dan rasakan tentang karya tersebut. Persepsi masyarakat timbul karena adanya rasa atau sense pada diri individu dalam masyarakat terhadap suatu obyek rancangan maupun lingkungan dan sejenisnya. Setiap individu ada rasa atau sense yang berbeda-beda tergantung pada banyak faktor antara lain faktor budaya, umur, jenis kelamin, strata sosial, pendidikan dan sebagainya.Serangkaian rasa atau sense akan memunculkan image terhadap lingkungan, obyek rancangan dan sejenisnya. Seorang perancang sangat memerlukan image sebagai modal awal untuk melangkah dalam perancangan, diharapkan image masyarakat dapat menghasilkan karya arsitektur maupun perencanaan kota menjadi suatu karya yang dapat diminati dan diterima oleh masyarakat, sehingga penyalahgunaan terhadap suatu fungsi karya arsitektur dan perencanaan kota dapat dihindari. Menurut Kevin Lynch, image adalah produk dari sensasi yang dirasakan pada saat ini dan adanya memori dari pengalaman masa lampau terhadap suatu lingkungan maupun obyek rancangan, yang mana keduanya digunakan untuk menginterpretasikan informasi yang didapat serta sebagai pedoman untuk bertingkah laku. Sehingga image sangat mempunyai kepentingan emosional terhadap individu. Environmental Image yang baik dapat memberikan rasa emosional kepada penghuni, pelaku maupun pengamat lingkungan sedemikian rupa sehingga individu-individu tersebut dapat membangun hubungan yang harmonis antara dirinya dengan lingkungan. Faktor penghuni kota juga mempunyai peran yang sangat penting dalam membangun image dengan memberikan rasa terhadap lingkungan melalui perilaku dan daya kreatifitasnya. Menurut Kevin Lynch, urban image memerlukan 3 komponen seperti dibawah ini : 1) Identifikasi obyek, menekankan pada perbedaan dari obyek yang lain, ke individualannya, dimana identitas timbul bukan karena adanya persamaan tetapi karena adanya perbedaan. 2) Image mencakup adanya pola hubungan spasial (keruangan) antara obyek dengan pengamat serta obyek yang satu dengan obyek yang lainnya. 3) Obyek harus mempunyai arti dan makna bagi pengamat baik secara prakteknya maupun emosional. Dan yang lebih penting adalah image harus dapat memberikan kemudahan bagi individu untuk bergerak dalam lingkungan serta mengembangkan hasratnya.Menurut Amos Rapoport, urban image adalah merupakan rasa atau sense khusus, tertentu dan spesifik terhadap lingkungan serta berada di luar kesadaran individu. Image juga dilihat sebagai representasi mental dari bagian-bagian lingkungan atau kota

120 PENATAAN PKL - MEMANFAATKAN RUANG LUAR DI PUSAT KOTA SURABAYA

yang sangat dikenal yang diperoleh dari pengalaman baik secara langsung maupun tidak langsung. Kualitas fisik obyek yang dapat menimbulkan image yang kuat pada pengamat terhadap suatu lingkungan meliputi (Kevin Lynch): a. Bentuk b. Susunan lingkungan c. Warna Sedangkan menurut Donald Appleyard, perangkat untuk membangun image adalah meliputi: a. Bentuk atribut lingkungan (kontur, fasade, warna terang permukaan). b. Kelayakan atribut lingkungan (kelayakan bangunan untuk dilihat). c. Penggunaan dan kepentingan atribut (intensitas penggunaan, kepentingan sejarah). Menurut Kevin Lynch dalam bukunya Good City Form, mengatakan bahwa karakter arsitektur kota diperlukan untuk memberikan pemahaman tentang identitas kota, sesuai dengan potensi yang ada. Ciri fisik suatu kota dapat pula menjadi identitas yang kental bagi sebuah kota, apabila ciri tersebut dominan terhadap kesan visual seseorang serta mampu menjadi wakil dari keberadaan lingkungannya maupun kota tersebut. Menurut Djefri W. Dana dalam bukunya Ciri Perancangan Kota Bandung mengatakan seperti halnya manusia yang memerlukan pengakuan eksistensi diri pribadi maupun eksistensi kelompok. Maka keberadaan diri maupun kelompok tersebut seringkali dinilai sebagai kekhasan yang menonjol, yang membedakannya dengan manusia lain. Ciri yang menonjol dari diri individu maupun kelompok manusia itu selanjutnya akan membentuk identitas. Hal yang sama juga akan berlaku pada kota, maka suatu identitas dibutuhkan bagi keberadaannya, dengan identitas diharapkan suatu kota memiliki ciri yang membedakannya dengan kota lain baik dalam skala lingkungan maupun dalam skala kota secara keseluruhan (Ahmad Riza,2000) Sedangkan Gert Urban dan Milos Bobic dalam buku A Typological tool for quality in urban planning-pattern image, bahwa suatu identitas bagi kota adalah salah satu dari kondisi yang utama dan memberi vitalitas bagi lingkungan alamiah kota. Identitas atau ciri lingkungan sebuah kota merupakan sesuatu yang menyatu dengan keberadaan kota tersebut. Dengan demikian karakteristik kota yang unik dan khas yang menjadi identitasnya harus dibangun berdasarkan potensi berupa ciri atau penampilan fisik yang menyatu dengan tapaknya (Ahmad Riza, 2000) Kebijakan yang berkaitan dengan Pedagang Kaki Lima. Dengan motivasi bahwa segenap warga dari berbagai lapisan berhak tinggal dikota dengan baik untuk dapat menikmati hasil pembangunan maka disusunlah kebijakan tentang pembinaan sektor informal. Kebijakan yang berkaitan dengan PKL tersebut antara lain : Dalam GBHN disebutkan bahwa : Pembinaan usaha golongan ekonomi lemah perlu dilanjutkan dan lebih ditingkatkan, antara lain dengan jalan penyuluhan dan bimbingan untuk memperbesar kemampuan usaha dan pemasaran dalam rangka mengembangkan kewiraswastaan. Surat Walikotamadya Surabaya kepada Kantor Koperasi Kotamadya Dati II Surabaya Nomor 510 Tahun 1990 tentang : Persetujuan walikota atas pembentukan Koperasi PKL dengan mengambil daerah kerja wilayah kecamatan di wilayah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya.

NEUTRON, Vol.4, No. 2, Agustus 2004

121

Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya Nomor 15 Tahun 1987 tentang : Perubahan Pertama Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya Nomor 1 tahun 1981 tentang pemungutan uang leges. Dengan dikendalikannya keberadaan PKL ini tidak hanya mengurangi permasalahan bagi Pemerintah Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya, tetapi dengan penataan yang baik akan menambah keindahan kota baik pada siang maupun malam hari, disamping dapat memberikan sumbangan pada Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pengeluaran surat ijin pemakaian tempat usaha PKL, untuk setiap 2 (dua) meter persegi ditetapkan sebagai berikut: 1. Ijin yang berlaku sampai dengan 3 (tiga) bulan : a. Golongan A sebesar Rp 4000,- adalah tempat-tempat usaha PKL yang dinilai strategis tinggi, dimana para PKL ditempat itu dalam melakukan usahanya rata-rata tiap hari memperoleh peredaran bruto (omzet) lebih dari Rp 50.000,- (lima puluh ribu rupiah). b. Golongan B sebesar Rp 3000,- adalah tempat-tempat usaha PKL dengan nilai strategis sedang, dimana para PKL ditempat itu dalam melakukan usahanya rata-rata tiap hari memperoleh peredaran bruto (omzet) sebesar Rp 25.000,- (dua puluh lima ribu rupiah) c. Golongan C sebesar Rp 1500,- adalah tempat-tempat usaha PKL dengan nilai strategis sedang, dimana para PKL ditempat itu dalam melakukan usahanya rata-rata tiap hari memperoleh peredaran bruto (omzet) kurang dari Rp 25.000,- (dua puluh lima ribu rupiah). 2. Ijin yang berlaku sampai dengan 6 (enam) bulan : a. Golongan A sebesar Rp 5000,b. Golongan B sebesar Rp 4000,c. Golongan C sebesar Rp 2500, Surat Keputusan Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Surabaya Nomor 171 tahun 1989 tentang ketentuan untuk memperoleh ijin usaha PKL di Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya. Persyaratan dan tata cara memperoleh ijin : 1) Untuk memperoleh ijin, PKL yang bersangkutan harus memenuhi persyaratan sebagai berikut : a. Penduduk Surabaya. b. Telah tercatat dalam daftar PKL. c. Menjadi anggota Koperasi PKL. d. Mengajukan permohonan untuk memperoleh ijin. e. Membayar uang leges. 2) Tata cara mengajukan permohonan untuk memperoleh ijin adalah sebagai berikut : a. Mengisi formulir surat permohonan yang telah tersedia di kantor Kelurahan sesuai lokasi tempat usaha. b. Surat permohonan harus dilampiri dengan : Foto copy KTP atau kartu keluarga (1 lembar) Pas photo hitam putih ukuran 3 X 4 cm.. (4 lembar) Foto copy kartu anggota Koperasi... (1 lembar) Data keterangan lain yang diperlukan sesuai dengan kebutuhan. c. Surat permohonan beserta lampirannya diajukan ke kantor Kelurahan sesuai tempat usaha yang dimohon untuk mendapatkan pengantar dari Kepala Kelurahan. d. Berkas tersebut dalam huruf a diatas selanjutnya diajukan ke kantor Kecamatan untuk diketahui dan ditanda tangani oleh Camat yang bersangkutan dan kemudian diajukan ke Bagian Perekonomian. e. Kepala Bagian Perekonomian menolak permohonan yang telah memenuhi persyaratan oleh Kepala Bagian Perekonomian diberikan

122 PENATAAN PKL - MEMANFAATKAN RUANG LUAR DI PUSAT KOTA SURABAYA

surat pengantar untuk membayar uang leges pada Dinas Pendapatan Daerah Kotamadya Daearah Tingkat II Surabaya. f. Kepala Bagian Perekonomian mengeluarkan / memberikan ijin setelah menerima tanda bukti pembayaran uang leges. Berlaku dan dicabutnya ijin : Ijin berlaku selama jangka waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal dikeluarkan dan dapat diperpanjang lagi dengan ketentuan yang sama seperti pengajuan baru. Ijin yang diberikan dapat dicabut bila : a. Pemegang ijin melanggar syarat yang tercantum dalam surat ijin. b. Lokasi / tempat usahanya tidak lagi dinyatakan sebagai tempat usaha PKL. c. Pemegang ijin melanggar ketentuan perundangan yang berlaku. Surat Keputusan Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Surabaya Nomor 220 tahun 1991 tentang Pembentukan Tim Pembenahan dan Pembinaan PKL Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya. Tim Pembenahan dan Pembinaan PKL ini mempunyai tugas : a. Melaksanakan penataan PKL di Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya. b. Melaporkan hasil pelaksanaan tugas tersebut kepada Walikotamadya Daerah Tingkat II Surabaya. Tim ini mempunyai masa kerja selama satu tahun. Tim ini dikoordinir oleh sekretaris Kotamadya dan Bagian Perekonomian Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya dan beranggotakan kepala Kantor Sosial Politik, Departemen Penerangan, Satlantas Polwiltabes Surabaya, Dinas Pekerjaan Umum Daerah, Bapeltibta, BP 2 Parkir, Dinas Tata Kota Daerah, Dinas Kebersihan, Departemen Koperasi, para Pembantu Walikotamadya, para Camat, Sie Perdagangan dan Koperasi, Bagian Hukum dan Perekonomian Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya. Surat Keputusan Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya Nomor 03 Tahun 1999 tentang Penataan Lokasi Usaha dan Pembinaan Usaha PKL di Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya antara lain: 1) Penataan Lokasi Usaha PKL sebagai berikut : a. Lokasi usaha PKL dipusatkan di beberapa kawasan / areal yang telah disiapkan secara khusus oleh Walikotamadya Kepala Daerah sesuai dengan kebutuhan. b. Selain lokasi yang telah ditetapkan para PKL dapat ditampung di pasar-pasar, lingkungan perkantoran, pusat perbelanjaan dan tempat lain yang telah ditetapkan oleh Walikotamadya Kepala Daerah. c. Dengan penetapan lokasi ini, maka kegiatan usaha PKL secara bertahap dipindahkan. 2) Penataan dan Pembinaan PKL diarahkan untuk : a. Mewujudkan tertib lingkungan yang serasi, baik dari segi ketertiban umum, kebersihan lingkungan maupun dalam menunjang keindahan kota. b. Memfungsikan prasarana, sarana dan utilitas kota (lalu lintas, taman, trotoar dan lain-lain) dalam rangka optimasi kemampuan daya dukungnya. c. Mewujudkan lokasi tempat usaha bagi PKL yang sesuai dengan peruntukan tata ruang dan perencanaan kota serta berdasarkan kemampuan daya dukung lingkungan.

NEUTRON, Vol.4, No. 2, Agustus 2004

123

d. Meningkatkan kemampuan PKL dari aspek ketrampilan, permodalan maupun kualitas tempat usaha guna kesiapan menjadi pedagang formal. 3) Walikotamadya Daerah Tingkat II Surabaya membentuk Tim Penataan dan Pembinaan PKL untuk melakukan penataan dan pembinaan. Tim tersebut bertugas antara lain : a. Menyusun rencana penetapan lokasi PKL sesuai rencana Tata Ruang Wilayah. b. Memberikan bantuan untuk memperoleh dan meningkatkan permodalan melalui kredit perbankan. c. Mengembangkan keterkaitan usaha dan kemitraan dengan pelaku ekonomi lainnya. d. Mengadakan koordinasi dengan instansi terkait. e. Memberikan masukan dan saran kapada Walikotamadya Kepala Daerah. 4) Pembinaan : a. Jenis pembinaan PKL terdiri dari : 1. Pembinaan ketrampilan berusaha 2. Pembinaan Kelembagaan 3. Pembinaan Permodalan 4. Pembinaan Pasar 5. Pembinaan Manajemen Usaha b. Pembinaan dilaksanakan oleh instansi terkait dibawah koordinasi Bagian Perekonomian. 5) Pengelolaan : a. Pengelolaan lokasi PKL yang disediakan secara khusus oleh Pemerintah Daerah dilakukan PD Pasar. b. Dalam melaksanakan penataan dan pembinaan kepada PKL, PD Pasa dapat bekerjasama dengan pihak swasta mengenai pengelolaan lokasi PKL. c. Pihak swasta yang dimaksud harus berbentuk badan hukum dan diutamakan berbentuk koperasi. 6) Perizinan : a. Setiap PKL yang akan berdagang di lokasi PKL yang telah disediakan atau ditetapkan oleh Walikotamadya Kepala Daerah. Diluar lokasi khusus harus mendapatkan izin dari Walikotamadya Kepala Daerah. b. Ketentuan jam buka dan tutup serta jumlah PKL di setiap lokasi PKL ditetapkan oleh Walikotamadya Kepala Daerah. 7) Pungutan : a. Biaya-biaya untuk mendukung kegiatan seperti biaya listrik, keamanan/ketertiban, kebersihan dan lain-lain ditanggung oleh PKL dengan memperhatikan petunjuk dari Walikotamadya Kepala Daerah. b. Setiap PKL yang menjalankan usahanya di lokasi PKL yang disediakan oleh pihak swasta dapat dikenakan biaya oleh pihak swasta yang bersangkutan. c. Besarnya biaya pengelolaan harus mendapat persetujuan dari Walikotamadya Kepala Daerah atas usul pihak swasta tersebut. 8) Pengendalian : a. Dalam radius 500 m dari lokasi usaha PKL yang ditetapkan oleh Walikotamadya Kepala Daerah, tidak boleh ada kegiatan usaha PKL lain. b. Tempat usaha dan bangunan PKL dimaksud bersifat sementara dengan konstruksi ringan dan transparan serta bentuk bangunannya ditetapkan oleh Walikotamadya Kepala Daerah.

124 PENATAAN PKL - MEMANFAATKAN RUANG LUAR DI PUSAT KOTA SURABAYA

c. Satuan Polisi Pamong Praja, Pembantu Walikotamadya, Camat dan Lurah mengadakan pengawasan dan pengendalian serta melakukan koordinasi dengan instansi terkait untuk menertibkan dan mencegah timbulnya PKL liar diluar lokasi yang telah ditentukan. d. Biaya pengadaan lokasi PKL, biaya pembangunan kios-kios PKL, biaya pengendalian untuk mencegah timbulnya PKL liar, biaya kegiatan Tim Penataan dan Pembinaan PKL dibebankan pada APBD Kotamadya Daerah Tingkat II Surabaya. Analisa Karakter PKL dan Pengunjung Karakter PKL dan pengunjung yang dianalisa mencakup jenis barang, cara berjualan, waktu berjualan terdiri dari : Profil Pedagang Kaki Lima dan Pengunjung Taman Surya. 1) Profil Pedagang Kaki Lima. a. Alamat tempat tinggal PKL Taman Surya sebanyak 100 % di Surabaya, yang dalam satu kecamatan dengan Taman Surya sebanyak 33 % sedang yang berbeda kecamatan sebanyak 67 %. b. Usia produktif PKL yaitu antara 19 35 tahun sebanyak 85 % dan yang berusia antara 50 60 tahun sebanyak 5 % dan PKL laki-laki sebanyak 80 %. Pendidikan terakhir para PKL yang berusia produktif setingkat Sekolah Menengah Umum sebanyak 47 % dan yang setingkat Sekolah Dasar c. sebanyak 20%, sedang para PKL yang sudah tua pendidikan terakhirnya setingkat Sekolah Dasar. d. Para PKL yang tinggal di Surabaya cukup lama lebih dari 15 tahun sebanyak 30 %dan yang cenderung sejak lahir sebanyak 45 %. e. Sebagai penduduk asli Surabaya sebanyak 75 % sedang yang dari sekitar Jawa Timur sebanyak 25 % dan mereka tinggal dirumah kontrakan / kost atau menumpang dirumah keluarga. f. PKL menghendaki berdagang dengan menempati tempat yang tetap sebanyak 85 %. g. Alat berdagang/rombong semuanya merupakan peralatan yang mudah dipindah/ digerakkan karena beroda atau dapat dijinjing sebanyak 80 %. h. Saat tidak berjualan, rombong atau peralatan lainnya dibawa pulang sebanyak 75 %. i. Waktu berjualan antara jam 15.00 22.00 WIB, setelah tutup Kantor Pemerintah Kota Surabaya sebanyak 65 %. 2) Profil Pengunjung Taman Surya. a. Pengunjung yang bertempat tinggal pada kecamatan berbeda dengan Taman Surya sebanyak 88 % yaitu tersebar diseluruh kota Surabaya. b. Pengunjung yang terbanyak berusia kurang dari 15 tahun sebanyak 45 % sedang remaja yang berumur 16 25 tahun sebanyak 20 % dan yang berumur 26 40 tahun sebanyak 27 % dan terbanyak 65 % dari jenis kelamin perempuan. c. Pendidikan terakhir pengunjung setingkat Sekolah Menengah Umum sebanyak 55 % dan rata-rata mempunyai pekerjaan. d. Pengunjung yang telah lama tinggal di Surabaya selama lebih dari 15 tahun sebanyak 25 % dan sebagai penduduk asli Surabaya sebanyak 87 %. e. Pengunjung dengan penghasilan Rp 400.000,- sampai Rp 600.000,sebanyak 75 % sedang yang berpenghasilan Rp 600.000,- sampai Rp 1.000.000,- sebanyak 20 % dan sebanyak 80 % berkendaraan sepeda motor. f. Pengunjung cenderung datang bersama keluarga pada jam 18.00 sebanyak 75 % dan sebanyak 25 % datang pada jam 19.00.

NEUTRON, Vol.4, No. 2, Agustus 2004

125

Kesimpulan : 1. PKL yang berusia produktif antara 19-35 tahun, pendidikan terakhir SMU dan terbanyak berkelamin lakilaki. 2. PKL dan pengunjung terbanyak sebagai penduduk asli Surabaya. 3. PKL menghendaki berjualan ditempat yang tetap. 4. PKL menghendaki alat bantu jual/rombong merupakan peralatan yang mudah dipindahkan karena beroda atau dapat dijinjing. 5. PKL menghendaki peralatan/rombong saat tidak berjualan dapat dibawa pulang. 6. Pengunjung terbanyak berusia kurang dari 15 tahun. 7. Waktu berjualan menyesuaikan pengunjung yaitu jam 18.00-21.00. Keinginan Berdagang di Taman Surya. 1) Menurut Pedagang Kaki Lima. a. PKL menginginkan berdagang di Taman Surya dan berharap kebijakan yang ada mengijinkan PKL disana dengan suatu penataan yang baik sebanyak 100 %. b. Bersedia membayar retribusi yang dipungut secara resmi sebanyak 95 %. c. Untuk menjaga kebersihan Taman Surya, para PKL setuju bertanggung jawab atas area masing-masing sebanyak 30 % sedang PKL yang menghendaki membayar petugas kebersihan sebanyak 66 %. d. Untuk pengorganisasian para PKL menginginkan adanya paguyuban untuk menyatukan mereka seperti yang sudah ada sebanyak 36 % sedang yang menginginkan koperasi sebanyk 64 %. e. Jika dilakukan pembinaan mereka cenderung memilih pelatihan ketrampilan berdagang karena mereka cenderung tetap menjadi PKL sebanyak 57 %. f. Rombong jualan mereka cenderung ingin disamakan sesuai jenis dagangannya sebanyak 89 %. 2) Menurut Pengunjung a. Pengunjung menginginkan keberadaan PKL tetap di Taman Surya dengan dilakukan penataan didalam Taman Surya sebanyak 96 %. b. Tentang pembenahan kebersihan, pengunjung cenderung setuju agar tiap PKL bertanggung jawab atas area masing-masing sebanyak 48 %. c. Tentang pembenahan pengorganisasian sebaiknya ada paguyuban untuk mengkoordinir para PKL sebanyak 33 % sedang koperasi sebanyak 57 %. d. Tentang retribusi dan ijin berjualan, pengunjung setuju dengan adanya ijin berjualan dan retribusi terhadap PKL agar dana tersebut dapat menambah Pendapat Asli Daerah sebanyak 87 %. e. Jika dilakukan pembinaan, pengunjung yang menginginkan adanya pelatihan ketrampilan berdagang sebanyak 50 % sedang yang menginginkan adanya pelatihan menjadi pedagang formal agar kehidupan mereka dapat meningkat sebanyak 44 %. f. Jika dilakukan pembenahan alat bantu jualan, pengunjung cenderung menginginkan adanya keseragaman yang di sesuaikan dengan jenis dagangannya sebanyak 70 %. Pengunjung menginginkan adanya PKL yang berjualan makanan dan minuman sebanyak 68 %, menurut jenis makanan terdiri dari makanan ringan seperti : kacang goreng,

126 PENATAAN PKL - MEMANFAATKAN RUANG LUAR DI PUSAT KOTA SURABAYA

tahu isi, lumpia dan sebagainya, sedang makanan berat seperti : bakso, rujak, tahu tek, tahu campur, soto ayam dan sebagainya, sedang jenis minuman seperti es campur, es dawet, es teler, es puter dan sebagainya dengan cara berjualan yang dilakukan dengan rombong/gerobak, asongan, tempat duduk dengan tenda dan PKL non makanan sebanyak 32 %, menurut jenis barang dagangan seperti asesoris (kacamata, jam, topi, gantungan kunci dan sebagainya), g. pakaian, kaos celana, ikat pinggang, poster/gambar,stiker, mainan anak-anak, buku, majalah, barang elektronik dan sebagainya dengan cara berjualan digelar dengan menggunakan terpal/plastik dan kotak, dengan rombong/gerobak. h. Saran pengunjung agar PKL di Taman Surya perlu adanya pembinaan agar penampilannya tidak mengganggu keindahan kota. Kesimpulan : 1. PKL maupun pengunjung menginginkan keberadaannya ditata sebaik mungkin agar tidak terlihat kumuh/semrawut. 2. Bersedia membayar retribusi. 3. Bersedia membayar petugas kebersihan. 4. Menginginkan pembenahan alat bantu jual/rombong dengan cara diseragamkan sesuai jenis dagangan. 5. Menginginkan adanya koperasi dan pembinaan ketrampilan berdagang. 6. Menginginkan adanya PKL yang berjualan makanan dan minuman, menurut jenis makanan terdiri dari makanan ringan seperti : kacang goreng, tahu isi, lumpia dan sebagainya, sedang makanan berat seperti : bakso, rujak, tahu tek, tahu campur, soto ayam dan sebagainya, sedang jenis minuman seperti es campur, es dawet, es teler, es puter dan sebagainya dengan cara berjualan yang dilakukan dengan rombong/gerobak, asongan, tempat duduk dengan tenda dan PKL non makanan, menurut jenis barang dagangan seperti asesoris (kacamata, jam, topi, gantungan kunci dan sebagainya), pakaian, kaos, celana, ikat pinggang, poster/gambar, stiker, mainan anakanak, buku, majalah, barang elektronik dan sebagainya dengan cara berjualan digelar dengan menggunakan terpal/plastik dan kotak, dengan rombong/gerobak Motivasi Perdagangan di Taman Surya. 1) Menurut Pedagang Kaki Lima. a. Sebanyak 55 % jumlah keluarga yang menjadi tanggung jawab para PKL adalah 4 orang dan umumnya adalah 1 istri dan 2 anak. Penghasilan mereka antara Rp.10.000 Rp. 25.000 / hari sebanyak 55 % sedang modal dagang mereka sebanyak 66 % cenderung milik sendiri, dan modal dagang kepunyaan orang lain sebanyak 20 %. Sebanyak 100 % kegiatan berjualan ini merupakan pekerjaan utama mereka. b. Kegiatan berjualan di Taman Surya sebanyak 67 % karena merasa mendapat penghasilan lebih tinggi dibanding tempat lain sedang sebanyak 17 % karena diajak teman / saudara. 2) Menurut Pengunjung. a. Daya tarik pengunjung di Taman Surya sebanyak 90 % adalah rekreasi keluarga, jalan-jalan, duduk-duduk sambil ngobrol dan makan, minum, bermain bersama anak-anak dan sebanyak 10 % berbelanja karena adanya PKL disana. Kesimpulan : Motivasi PKL berjualan di Taman Surya karena penghasilannya lebih tinggi dibanding tempat laindan merupakan pekerjaan utama.

NEUTRON, Vol.4, No. 2, Agustus 2004

127

Sedang motivasi pengunjung ke Taman Surya untuk rekreasi keluarga, jalan-jalan, duduk-duduk sambil ngobrol dan makan, minum, bermain bersama anak-anak dan berbelanja karena adanya PKL disana. Persepsi tentang Taman Surya. 1) Menurut Pedagang Kaki Lima. a. PKL telah mengenal Taman Surya lebih dari 20 tahun sebanyak 47 % dan sebanyak 45 % yang mereka ketahui tentang Taman Surya adalah kawasan rekreasi dan tempat bermain anak-anak pada sore hari sedang pada hari Minggu pagi sebagai tempat berolah raga. Dan sebanyak 70 % mereka khawatirkan adalah bila ada penggusuran atau pemindahan karena mereka menyadari bahwa keberadaan mereka membuat kesan semrawut, kotor dan sebagainya. 2) Menurut Pengunjung. a. Pengunjung sebanyak 57 % telah mengenal Taman Surya lebih dari 15 tahun atau semenjak balita dan yang mereka ketahui tentang Taman Surya adalah kawasan rekreasi keluarga dan tempat bermain anak-anak pada sore hari sedang pada hari Minggu pagi sebagai tempat berolah raga. Pengunjung mempunyai kesan bahwa PKL disana menimbulkan semrawut, kotor dan membuat macet lalu lintas. Kesimpulan : Sejak dahulu Taman Surya dipersepsikan baik oleh para PKL maupun pengunjung sebagai tempat rekreasi keluarga, oleh karena itu para PKL mempersepsikan sebagai tempat yang menguntungkan untuk berdagang sehingga timbul perdagangan kaki lima di Taman Surya dan juga timbul persepsi baru yaitu lingkungan yang kumuh/semrawut. Tentang pengenalan dengan Taman Surya para PKL maupun pengunjung telah akrab dengan lingkungan Taman Surya sebagai tempat rekreasi keluarga, sehingga lingkungan Taman Surya yang telah dikenal ini cenderung dipertahankan. Oleh karena itu baik para PKL maupun pengunjung apabila dipindahkan ketempat lingkungan yang baru kemungkinan timbul stress akan lebih besar karena harus menyesuaikan diri. Berkaitan hubungan manusia dengan lingkungannya adalah perasaan teritorialitas terhadap lingkungan Taman Surya. Pola tingkah laku ini mencakup personalisasi dan pertahanan terhadap gangguan dari luar serta timbul kontrol untuk menjaga teritorynya, sehingga perasaan ini dapat dieksploitir menjadi sikap yang positip untuk turut aktif menjaga lingkungannya menjadi bersih tidak berkesan kumuh / semrawut.

Kesimpulan Umum : Jenis PKL dan cara berjualan yaitu : Menurut jenis PKL ada 2 macam yaitu PKL makanan dan minuman dan PKL non makanan. Untuk PKL non makanan. Menurut jenis barang dagangan yang digelar ialah: a. Asesoris ( jam, kacamata, topi, gantungan kunci dan semacamnya ) b. Pakaian, kaos, celana, ikat pinggang dan sebagainya.

128 PENATAAN PKL - MEMANFAATKAN RUANG LUAR DI PUSAT KOTA SURABAYA

c. Poster / gambar, stiker. d. Buku, majalah, koran. e. Mainan anak-anak ( boneka, panda dan sejenisnya ). f. Barang elektronik. Cara berdagang yang dilakukan adalah sebagai berikut : a. Digelar dipaving dengan menggunakan alas terpal / plastik dan kotak. b. Dengan rombong / gerobak Untuk PKL makanan dan minuman. Menurut jenis makanan dan minuman, ada makanan ringan dan makanan berat. a. Untuk makanan ringan seperti kacang, tahu goreng, tahu isi, lumpia dan semacamnya. b. Untuk makanan berat seperti bakso, rujak, tahu tek, tahu campur, soto ayam, soto madura, burger ria dan semacamnya. c. Untuk minuman seperti es campur, es dawet, es teler, es puter dan semacamnya. Cara berdagang yang dilakukan adalah sebagai berikut : a. Dengan rombong / gerobak. b. Tempat duduk dengan tenda. c. Asongan. Waktu berjualan pada jam 18.00-21.00. PKL berjualan dengan tempat yang tetap. Peralatan bantu jualan yang mudah dipindahkan dan dilengkapi roda. Menginginkan kehadiran PKL tetapi keberadaannya harus ditata sebaik mungkin agar tidak terlihat kumuh/semrawut. Kesimpulan. Kesimpulan dari penataan PKL di Taman Surya secara garis besar harus memperhatikan faktor-faktor penting yaitu : A. Jenis dan cara berjualan Jenis PKL dan cara berjualan yaitu : Menurut jenis PKL ada 2 macam yaitu PKL makanan dan minuman dan PKL non makanan. Untuk PKL non makanan. Menurut jenis barang dagangan yang digelar ialah: a. Asesoris ( jam, kacamata, topi, gantungan kunci dan semacamnya ) b. Pakaian, kaos, celana, ikat pinggang dan sebagainya. c. Poster / gambar, stiker. d. Buku, majalah, koran. e. Mainan anak-anak ( boneka, panda dan sejenisnya ). f. Barang elektronik. Cara berdagang yang dilakukan adalah sebagai berikut : a. Digelar dipaving dengan menggunakan alas terpal / plastik dan kotak. b. Dengan rombong / gerobak Untuk PKL makanan dan minuman. Menurut jenis makanan dan minuman, ada makanan ringan dan makanan berat. a. Untuk makanan ringan seperti kacang, tahu goreng, tahu isi, lumpia dan semacamnya. b. Untuk makanan berat seperti bakso, rujak, tahu tek, tahu campur, soto ayam, soto madura, burger ria dan semacamnya.

NEUTRON, Vol.4, No. 2, Agustus 2004

129

c. Untuk minuman seperti es campur, es dawet, es teler, es puter dan semacamnya. Cara berdagang yang dilakukan adalah sebagai berikut : a. Dengan rombong / gerobak. b. Tempat duduk dengan tenda. c. Asongan. B. Waktu berjualan pada jam 18.00-21.00. C. Kesesuaian tapak dengan karakter PKL dan pengunjung (lihat gambar 10). Untuk ini dapat direkomendasikan 4 model sebagai salah satu alternatif yang dapat digunakan antara lain : 1. Model 1 (gambar 11.1 dan 11.2). Jenis : Asesoris, tas, jam, topi. Cara penyajian : menggunakan rombong atau gerobak dorong dan tenda yang mudah dibongkar-pasang. 2. Model 2 (gambar 12.1 dan 12.2). Jenis : Pakaian, gambar atau poster, ikat pinggang. Cara penyajian : menggunakan rombong atau gerobak dorong dan tenda yang mudah dibongkar-pasang. 3. Model 3 (gambar 13.1 dan 13.2). Jenis : Obat, majalah, buku Cara penyajian : menggunakan alas dari terpal plastik 3. Model 4 (gambar 14.1 dan 14.2). Jenis : makanan atau minuman Cara penyajian : menggunakan rombong atau gerobak dorong, tenda yang mudah dibongkar pasang, meja dan kursi Pada akhirnya sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa semua hasil penelitian penataan PKL di Taman Surya dengan mengetahui latar belakang, persepsi dan keinginan PKL dan pengunjung, kesesuaian tapak dan karakter PKL dan pengunjung dengan rekomendasi model sebagai alternatif maka penataan PKL dengan memanfaatkan ruang luar di pusat kota (studi kasus PKL di Taman Surya) dapat terlaksana dengan memperhatikan estetika kota dan ketertiban umum. DAFTAR PUSTAKA Appleyard, Donald, Why Building Are Know Enviroment and Behavior , 1969. Azizah, Siti, Model Penataan PKL di Pusat Kota, Surabaya, 2002. Beisi, JIA, Live in Publik Space in a High Density Living Area dalam Proceding The Third International Convention on Urban Planning, Housing and Design School of Architecture National University of Singapore, 1997 dalam Proceding Managing Conflicts in Public Space Through Urban Design Magister Desain Kawasan Binaan Program Pascasarjana Universitas Gajah Mada, 2004. Branch, Melvielle C, Comprehensive City Planning : introduction and explanation,The Planners Press of the American Planning Association, Chicago, USA, 1995. Brolin, Brent C, Architecture in Context, 1980. Car, Stephen dkk, Public Space, Cambridge University Press, 1992 dalam Proceding Managing Conflicts in Public Space Through Urban Design Magister Desain Kawasan Binaan Program Pascasarjana Universitas Gajah Mada, 2004. Faber G.H, Oud Soerabaia (Surabaya Lama), Surabaya H. Van Ingen, 1931 Granham, Hary Launce, Maintaining The Spirit of Place, PDA Publisher Coorporation, Arizona, 1985 dalam Proceding Managing Conflicts in

130 PENATAAN PKL - MEMANFAATKAN RUANG LUAR DI PUSAT KOTA SURABAYA

Public Space Through Urban Design Magister Desain Kawasan Binaan Program Pascasarjana Universitas Gajah Mada, 2004. Gunadi, Sugeng, Seminar Peningkatan Kebutuhan dan Kualitas Ruang Luar di Wilayah Perkotaan, Surabaya, 1998. Lang, Jon, Urban Design The American Experience, Van Nostrand Reinhold, 1994. Laurens M, Joyce, Studi Perilaku Lingkungan, Percetakan UK Petra, 2001. Lynch, Kevin, Image of the City,MIT Press (Cambridge, Mass), Massachusetts, 1960. Marcus, Clare Cooper, and Carolyn Francis, People Place Design Guidelines for Urban Open Space, Van Nostrand Reinhold, New York, 1990 dalam Proceding Managing Conflicts in Public Space Through Urban Design Magister Desain Kawasan Binaan Program Pascasarjana Universitas Gajah Mada, 2004. Nasution, S, Metode Research (Penelitian Ilmiah), Bumi Aksara, Jakarta, 1996. Nurmandi, Achmad, Manajemen Perkotaan, Cetakan Pertama, Lingkaran Bangsa, Yogyakarta, 1999. Pemerintah Kotamadya Surabaya, Pembinaan Sektor Informal,1991. Rapoport, Amos, Human Aspect of Urban Form, Pergamon Press, Oxford, 1980. Riza, Ahmad, Studi Penataan Kawasan Tepi Sungai Mahakam Dalam Upaya Melestarikan Identitas Kota Samarinda Sebagai Kota Tepian Mahakam, MT Proposal Tesis, ITS, 2000. Rossi, Aldo, The Architecture of the City, MIT Press (Cambridge Mass) Massachusetts, and London, England, 1982. Sardjito, Laporan Penelitian Alternatif Pemecahan Masalah Pedagang Kaki Lima Pada Tata Ruang Fisik Kota Surabaya, 1989. Shirvani, Hamid, Urban Design Process, Van Nostrand Reinhold Company, New York, 1985. Soewarno, Urip, Migrasi dan Kesempatan Kerja dalam hubungannya dengan Sektor Informal pada beberapa kota di Jawa, Kertas kerja Kongres IPADI ke II, Bandung, 1978. Spreiregen, Paul D, Urban Design,The Architecture of Towns and Cities, Mc Graw-Hill Book Company, 1985. Surakhmad, Winarno, Pengantar Penelitian Ilmiah Dasar Metoda Teknik, Tarsito, Bandung, 1998. Walgito, Bimo, Prof. Dr., Psikologi Sosial (Suatu Pengantar), Andi, Yogyakarta, 2001. Whyte, William H, The Social Live of Small Urban Space, The Concervation Foundation, Washington DC, 1980 dalam Proceding Managing Conflicts in Public Space Through Urban Design Magister Desain Kawasan Binaan Program Pascasarjana Universitas Gajah Mada, 2004. Wirosardjono, Soetjipto, Masalah Tenaga Kerja di Sektor Informal, Prisma V9, Jakarta, 1976. Zahnd, Markus, Perancangan Kota Secara Terpadu, Cetakan ke-5, Kanisius, Yogyakarta, 1999.

Anda mungkin juga menyukai