Anda di halaman 1dari 51

BAB I PENDAHULUAN Demam rematik dan penyakit jantung rematik telah lama dikenal.

Demam rematik (DR) dan atau Penyakit jantung rematik (PJR) eksaserbasi akut adalah suatu sindroma klinik penyakit akibat infeksi kuman Streptococcus beta hemolyticus grup A pada tenggorokan yang terjadi secara akut ataupun berulang dengan satu atau lebih gejala mayor yaitu poliartritis migrans akut, karditis, korea, nodul subkutan dan eritema marginatum. Penyakit jantung rematik (PJR) merupakan penyakit jantung sebagai akibat adanya sisa (sekuele) dari demam reumatik yang ditandai dengan cacatnya katup jantung. Demam rematik (DR) terjadi sebagai sekuele lambat radang non supuratif sistemik yang dapat melibatkan sendi, jantung, susunan saraf pusat, jaringan subkutan, dan kulit dengan frekuensi yang bervariasi. Jauh sebelum T. Duckett Jones pada tahun 1944 mengemukakan kriteria Jones untuk menegakkan diagnosis demam rematik, beberapa tulisan sejak awal abad ke-17 telah melaporkan mengenai gejala penyakit tersebut. Epidemiologis dari Perancis de Baillou adalah yang pertama menjelaskan rheumatism artikuler akut dan membedakannya dari gout dan kemudian Sydenham dari London menjelaskan korea, tetapi keduanya tidak menghubungkan kedua gejala tersebut dengan penyakit jantung. Pada tahun 1761 Morgagni, seorang patolog dari Itali menjelaskan adanya kelainan katup pada penderita penyakit tersebut dan deskripsi klinis PJR dijelaskan setelah didapatinya stetoskop pada tahun 1819 oleh Laennec. Pada tahun 1886 dan 1889 Walter Butletcheadle mengemukakan rheumatic fever syndrome yang merupakan kombinasi artritis akut, penyakit jantung, korea dan belakangan termasuk manifestasi yang jarang ditemui yaitu eritema marginatum dan nodul subkutan sebagai komponen sindroma tersebut. Pada tahun 1931, Coburn mengusulkan hubungan infeksi Streptococcus beta hemolyticus grup A dengan demam rematik dan secara perlahanlahan diterima oleh Jones dan peneliti lainnya. Pada tahun 1944 Jones mengemukakan suatu kriteria untuk menegakkan diagnosis demam rematik. Kriteria ini masih digunakan sampai saat ini untuk menegakkan diagnosis dan telah beberapa mengalami modifikasi dan revisi, karena dirasakan masih mempunyai kelemahan untuk menegakkan diagnosis secara tepat, akurat dan cepat. 1

Saat ini telah banyak kemajuan yang didapat dalam bidang kardiologi, tetapi demam rematik dan penyakit jantung rematik masih merupakan masalah karena merupakan penyebab kelainan katup yang terbanyak terutama pada anak. Sampai saat ini demam reumatik masih belum dapat dihapuskan, walaupun kemajuan dalam bidang penelitian dan penggunaan antibiotika terhadap penyakit infeksi begitu maju. Demam rematik dan penyakit jantung rematik masih merupakan penyebab penyakit kardiovaskuler yang signifikan di dunia, termasuk Indonesia. Di Negara maju dalam lima tahun terakhir ini terlihat insidens demam rematik dan prevalensi penyakit jantung rematik menurun, tetapi sampai saat ini masih tetap merupakan masalah medik dan kesehatan masyarakat di dunia karena mengenai anak-anak dan dewasa muda pada usia yang produktif. Sekuele demam rematik pada katup jantung yang menimbulkan kerusakan katup jantung menghabiskan biaya yang sangat besar. Untuk penanganannya memerlukan sarana, prasarana dan tenaga terampil yang handal sehingga memerlukan biaya yang sangat besar. Penanganan yang tidak sempurna dapat menyebabkan angka kesakitan dan angka kematian bagi penderitanya, dan penanganan yang sempurna memerlukan biaya yang besar dan waktu yang terus menerus sepanjang usia penderitanya. Dalam laporan WHO Expert Consultation Geneva, 29 Oktober1 November 2001 yang diterbitkan tahun 2004 angka mortalitas untuk PJR 0,5 per 100.000 penduduk di negara maju hingga 8,2 per 100.000 penduduk di negara berkembang. Di daerah Asia Tenggara diperkirakan 7,6 per 100.000 penduduk. Diperkirakan sekitar 2.000-332.000 penduduk yang meninggal diseluruh dunia akibat penyakit tersebut. Angka disabilitas pertahun (The Disability Adjusted Life Years (DALYs) 1 lost) akibat PJR diperkirakan sekitar 27,4 per 100.000 di negara maju hingga 173,4 per 100.000 di negara berkembang yang secara ekonomis sangat merugikan. Data insiden DR yang dapat dipercaya sangat sedikit sekali. Pada beberapa negara data yang diperoleh hanya berupa data lokal yang terdapat pada anak sekolah. Insiden pertahunnya cenderung menurun di negara maju, tetapi di negara berkembang tercatat berkisar antara 1 di Amerika Tengah 150 per 100.000 di Cina. Sayangnya dalam laporan WHO yang diterbitkan tahun 2004 data mengenai DR dan PJR Indonesia tidak dinyatakan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Demam Rematik dan Penyakit Jantung Rematik 1. Definisi Demam rematik merupakan suatu penyakit sistemik yang dapat bersifat akut, subakut, kronik, atau fulminan, dan dapat terjadi setelah infeksi Streptococcus beta hemolyticus group A pada saluran nafas bagian atas. Demam rematik merupakan penyakit vaskular kolagen multisistem pada individu yang mempunyai faktor predisposisi. Demam rematik akut ditandai oleh demam berkepanjangan, jantung berdebar keras, kadang cepat lelah. Keterlibatan kardiovaskular pada penyakit ini ditandai oleh inflamasi endokardium dan miokardium melalui suatu proses autoimun yang menyebabkan kerusakan jaringan. Inflamasi yang berat dapat melibatkan perikardium. Valvulitis merupakan tanda utama rematik karditis yang paling banyak mengenai katup mitral (76%), katup aorta (13%), dan katup mitral dan katup aorta (97%). Puncak insiden demam rematik terdapat pada kelompok usia 5 15 tahun, penyakit ini jarang dijumpai pada anak dibawah usia 4 tahun dan penduduk di atas 50 tahun. Penyakit jantung rematik merupakan penyakit jantung didapat yang sering ditemukan pada anak. Penyakit Jantung Rematik (PJR) atau dalam bahasa medisnya Rheumatic Heart Disease (RHD) adalah suatu kondisi dimana terjadi kelainan pada katup jantung yang menetap, bisa berupa penyempitan atau kebocoran, sebagai akibat adanya gejala sisa dari demam reumatik akut sebelumnya, terutama mengenai katup mitral (75%), aorta (25%), jarang mengenai katup trikuspid, dan tidak pernah menyerang katup pulmonal. Penyakit jantung rematik dapat menimbulkan stenosis atau insufisiensi atau keduanya. 2. Epidemiologi Demam rematik (DR) masih sering didapati pada anak di negara sedang berkembang dan sering mengenai anak usia antara 5 15 tahun. Pada tahun 1944 diperkirakan di seluruh dunia terdapat 12 juta penderita DR dan PJR dan sekitar 3 juta mengalami gagal jantung dan memerlukan rawat inap 3

berulang di rumah sakit. Prevalensinya dinegara sedang berkembang berkisar antara 7,9 sampai 12,6 per 1000 anak sekolah dan relatif stabil. Data terakhir mengenai prevalensi demam rematik di Indonesia untuk tahun 1981 1990 didapati 0,3 0,8 diantara 1000 anak sekolah dan jauh lebih rendah dibanding negara berkembang lainnya. Statistik rumah sakit di negara sedang berkembang menunjukkan sekitar 10 35 persen dari penderita penyakit jantung yang masuk ke rumah sakit adalah penderita DR dan PJR. Data yang berasal dari negara berkembang memperlihatkan mortalitas karena DR dan PJR masih merupakan masalah dan kematian karena DR akut terdapat pada nak dan dewasa muda. Di negara maju insiden DR dan prevalensi PJR sudah jauh berkurang dan bahkan sudah tidak dijumpai lagi, tetapi akhir-akhir ini dilaporkan memperlihatkan peningkatan di beberapa negara maju. Dilaporkan dibeberapa tempat di Amerika Serikat pada pertengahan dan akhir tahun 1980-an telah terjadi peningkatan insiden DR, demikian juga pada populasi aborigin di Australia dan New Zealand dilaporkan peningkatan penyakit ini. Tidak semua penderita infeksi saluran nafas yang disebabkan infeksi Streptococcus hemolyticus grup A menderita DR. Sekitar 3 persen dari penderita infeksi saluran nafas atas terhadap Streptococcus hemolyticus grup A di barak militer pada masa epidemi yang menderita DR dan hanya 0,4 persen didapati pada anak yang tidak diobati setelah epidemi infeksi Streptococcus hemolyticus grup A pada populasi masyarakat sipil. Dalam laporan WHO Expert Consultation Geneva, 29 Oktober1 November 2001 yang diterbitkan tahun 2004 angka mortalitas untuk PJR 0,5 per 100.000 penduduk di negara maju hingga 8,2 per 100.000 penduduk di negara berkembang dan di daerah Asia Tenggara diperkirakan 7,6 per 100.000. Diperkirakan sekitar 2000 332.000 yang meninggal di seluruh dunia karena penyakit tersebut. Angka disabilitas pertahun (The Disability-Adjusted Life Years (DALYs) 1 lost) akibat PJR diperkirakan sekitar 27,4 per 100.000 dinegara maju hingga 173,4 per 100.000 dinegara berkembang yang secara ekonomis sangat merugikan. Data insidens DR yang dapat dipercaya sangat sedikit sekali. Pada beberapa negara data yang diperoleh hanya berupa data lokal yang terdapat 4

pada anak sekolah. Insidens per tahunnya cenderung menurun di negara maju, tetapi dinegara berkembang tercatat berkisar antara 1 di Amerika Tengah 150 per 100.000 di Cina. Sayangnya dalam laporan WHO yang diterbitkan tahun 2004 data mengenai DR dan PJR Indonesia tidak dinyatakan. 3. Etiologi Penyakit ini adalah akibat dari respon reaksi antigen-antibodi yang terjadi dalam jangka waktu antara 1 4 minggu setelah terjadinya infeksi dengan Streptococcus hemolyticus grup A misalnya : tonsilitis, nasofaringitis, dan otitis media. Telah lama diketahui DR mempunyai hubungan dengan infeksi kuman Streptococcus hemolyticus grup A pada saluran nafas atas dan infeksi kuman ini pada kulit mempunyai hubungan untuk terjadinya glomerulonefritis akut. Kuman Streptococcus hemolyticus dapat dibagi atas sejumlah grup serologinya yang didasarkan atas antigen polisakarida yang terdapat pada dinding sel bakteri tersebut. Tercatat saat ini lebih dari 130 serotipe M yang bertanggung jawab pada infeksi pada manusia, tetapi hanya grup A yang mempunyai hubungan dengan etiopatogenesis DR dan PJR. Hubungan kuman Streptococcus hemolyticus grup A sebagai penyebab DR terjadi secara tidak langsung, karena organisme penyebab tidak dapat diperoleh dari lesi, tetapi banyak penelitian klinis, imunologis dan epidemiologis yang membuktikan bahwa penyakit ini mempunyai hubungan dengan infeksi Streptococcus hemolyticus grup A, terutama serotipe M1,3,5,6,14,18,19 dan 24. Sekurangkurangnya sepertiga penderita menolak adanya riwayat infeksi saluran nafas karena infeksi streptokokkus sebelumnya dan pada kultur apus tenggorokan terhadap Streptococcus hemolyticus grup A sering negatif pada saat serangan DR. Tetapi respons antibodi terhadap produk ekstraseluler streptokokus dapat ditunjukkan pada hampir semua kasus DR dan serangan akut DR sangat berhubungan dengan besarnya respons antibodi. Diperkirakan banyak anak yang mengalami episode faringitis setiap tahunnya dan 15-20 persen disebabkan oleh Streptococcus hemolyticus grup A dan 80 persen lainnya disebabkan infeksi virus.

Insidens infeksi Streptococcus hemolyticus grup A pada tenggorokan bervariasi diantara berbagai negara dan di daerah didalam satu negara. Insidens tertinggi didapati pada anak usia 5 -15 tahun. Beberapa faktor predisposisi lain yang berperan pada penyakit ini adalah keadaan sosio ekonomi yang rendah, penduduk yang padat, golongan etnik tertentu, faktor genetik, golongan HLA tertentu, daerah iklim sedang, daerah tropis bercuaca lembab dan perubahan suhu yang mendadak.

4. Patogenesis Hubungan antara infeksi infeksi Streptococcus hemolyticus grup A dengan terjadinya DR telah lama diketahui. Demam rematik merupakan respons autoimun terhadap infeksi Streptococcus hemolyticus grup A pada tenggorokan. Respons manifestasi klinis dan derajat penyakit yang timbul ditentukan oleh kepekaaan genetik host, keganasan organisme dan lingkungan yang kondusif. Mekanisme patogenesis yang pasti sampai saat ini tidak diketahui, tetapi peran antigen histokompatibiliti mayor, antigen jaringan spesifik potensial dan antibodi yang berkembang segera setelah infeksi Streptococcus telah diteliti sebagai faktor risiko yang potensial dalam patogenesis penyakit ini. Terbukti sel limfosit T memegang peranan dalam patogenesis penyakit ini dan ternyata tipe M dari Streptococcus hemolyticus grup A mempunyai potensi rheumatogenik. Beberapa serotipe biasanya mempunyai kapsul, berbentuk besar, koloni mukoid yang kaya dengan M protein. M-protein adalah salah satu determinan virulensi bakteri, strukturnya homolog dengan miosin kardiak dan molekul alpha-helical coiled coil, seperti tropomiosin, keratin dan laminin. Laminin adalah matriks protein ekstraseluler yang disekresikan oleh sel endothelial katup jantung dan bagian integral dari struktur katup jantung. Lebih dari 130 M protein sudah teridentifikasi dan tipe 1, 3, 5, 6, 14, 18, 19 dan 24 berhubungan dengan terjadinya DR. Superantigen streptokokal adalah glikoprotein unik yang disintesa oleh bakteri dan virus yang dapat berikatan dengan major histocompatibility complex molecules dengan nonpolymorphic V b-chains dari T-cell receptors. Pada kasus streptokokus banyak penelitian yang difokuskan pada peranan 6

superantigen-like activity dari fragmen M protein dan juga streptococcal pyrogenic exotoxin, dalam patogenesis DR. Terdapat bukti kuat bahwa respons autoimun terhadap antigen streptokokkus memegang peranan dalam terjadinya DR dan PJR pada orang yang rentan. Sekitar 0,3 3 persen individu yang rentan terhadap infeksi faringitis streptokokkus berlanjut menjadi DR. Data terakhir menunjukkan bahwa gen yang mengontrol low level respons antigen streptokokkus berhubungan dengan Class II human leukocyte antigen, HLA. Infeksi streptokokkus dimulai dengan ikatan permukaan bakteri dengan reseptor spesifik sel host dan melibatkan proses spesifik seperti pelekatan, kolonisasi dan invasi. Ikatan permukaan bakteri dengan permukaan reseptor host adalah kejadian yang penting dalam kolonisasi dan dimulai oleh fibronektin dan oleh streptococcal fibronectin-binding proteins. Faktor lingkungan seperti kondisi kehidupan yang jelek, kondisi tinggal yang berdesakan dan akses kesehatan yang kurang merupakan determinan yang signifikan dalam distribusi penyakit ini. Variasi cuaca juga mempunyai peran yang besar dalam terjadinya infeksi streptokokkus untuk terjadi DR. Pada gambar di bawah ini dapat dilihat skema patogenesis DR dan PJR.

Gambar 2.1. Faktor Etiologis dari Penyakit Jantung Reumatik 5. Patologi DR ditandai oleh radang eksudatif dan proliferatif pada jaringan ikat, terutama mengenai jantung, sendi dan jaringan subkutan. Bila terjadi karditis seluruh lapisan jantung akan dikenai. Perikarditis paling sering terjadi dan perikarditis fibrinosa kadang-kadang didapati. Peradangan perikard biasanya menyembuh setelah beberapa saat tanpa sekuele klinis yang bermakna, dan jarang terjadi tamponade. Pada keadaan fatal, keterlibatan miokard menyebabkan pembesaran semua ruang jantung. Pada miokardium mula-mula didapati fragmentasi serabut kolagen, infiltrasi limfosit, dan degenerasi fibrinoid dan diikuti didapatinya nodul aschoff di miokard yang merupakan patognomonik DR. Nodul aschoff terdiri dari area nekrosis sentral yang dikelilingi limfosit, sel plasma, sel mononukleus yang besar dan sel giant multinukleus. Beberapa sel mempunyai inti yang memanjang dengan area yang jernih dalam membran inti yang disebut Anitschkow myocytes. Nodul Aschoff bisa didapati pada spesimen biopsi endomiokard penderita DR.

Keterlibatan endokard menyebabkan valvulitis rematik kronis. Fibrin kecil, vegetasi verrukous, berdiameter 1-2 mm bisa dilihat pada permukaan atrium pada tempat koaptasi katup dan korda tendinea. Meskipun vegetasi tidak didapati, bisa didapati peradangan dan edema dari daun katup. Penebalan dan fibrotik pada dinding posterior atrium kiri bisa didapati dan dipercaya akibat efek jet regurgitasi mitral yang mengenai dinding atrium kiri. Proses penyembuhan valvulitis memulai pembentukan granulasi dan fibrosis daun katup dan fusi korda tendinea yang mengakibatkan stenosis atau insuffisiensi katup. Katup mitral paling sering dikenai diikuti katup aorta. Katup trikuspid dan pulmonal biasanya jarang dikenai.

6. Manifestasi Klinis Manifestasi klinis demam reumatik akut (DRA) didahului dengan infeksi tenggorokan akut (faringitis akut) sekitar 20 hari sebelumnya. Masa tersebut merupakan periode laten yang asimtomatis. Rata-rata onset sekitar 3 minggu sebelum timbul gejala. Penderita umumnya mengalami sesak nafas yang disebabkan jantungnya sudah mengalami gangguan, nyeri sendi yang berpindah- pindah, bercak kemerahan di kulit yang berbatas, gerakan tangan yang tak beraturan dan tak terkendali (korea), atau benjolan kecil-kecil dibawah kulit. Selain itu tanda yang juga turut menyertainya adalah nyeri perut, kehilangan berat badan, cepat lelah dan tentu saja demam. 7. Diagnosis Gambaran klinis demam rematik bergantung pada sistem organ yang terlibat dan manifestasi klinis yang tampak bisa tunggal atau merupakan gabungan sistem organ yang terlibat. Berbagai komponen DR seperti artritis, karditis, korea, eritema marginatum, nodul subkutan dan lainnya telah dijelaskan secara terpisah atau kolektif pada awal abad ke-17. De Baillou dari Perancis adalah epidemiologis pertama yang menjelaskan rheumatism artikuler akut dan membedakannya dari gout 1,7 dan kemudian Sydenham dari London menjelaskan korea, tetapi keduanya tidak menghubungkan kedua gejala tersebut dengan penyakit jantung. Pada tahun 1761 Morgagni, seorang

patolog dari Italia menjelaskan adanya kelainan katup pada penderita penyakit tersebut dan deskripsi klinis PJR dijelaskan setelah didapatinya stetoskop pada tahun 1819 oleh Laennec. Pada tahun 1886 dan 1889 Walter Butletcheadle mengemukakan rheumatic fever syndrome yang merupakan kombinasi artritis akut, penyakit jantung, korea dan belakangan termasuk manifestasi yang jarang yaitu eritema marginatum dan nodul subkutan sebagai komponen sindroma tersebut. Pada tahun 1931, Coburn mengusulkan hubungan infeksi Streptococcus grup A dengan demam rematik dan secara perlahan-lahan diterima oleh Jones dan peneliti lainnya. Kombinasi kriteria diagnostik dari manifestasi rheumatic fever syndrome pertama sekali diusulkan oleh T. Duckett Jones pada tahun 1944 sebagai kriteria untuk menegakkan diagnosis DR setelah ia mengamati ribuan penderita DR selama beberapa dekade dan sebagai panduan dalam penatalaksanaan DR dan atau RHD eksaserbasi akut. Terbukti kriteria yang dikemukan Jones sangat bermanfaat bagi para dokter untuk menegakkan diagnosis DR dan atau RHD eksaserbasi akut. Berikutnya pada tahun 1956 atas saran Dr.Jones telah dilakukan modifikasi atas kriteria Jones yang asli untuk penelitian The Relative Effectiveness of ACTH, Cortisone and Aspirin in the Treatment of Rheumatic Fever. Kurangnya pertimbangan klinis oleh para dokter dalam menerapkan Kriteria Jones menyebabkan terjadinya overdiagnosis dalam menegakkan diagnosis DR. Pada tahun 1965 telah dilakukan revisi terhadap Kriteria Jones. Modifikasi oleh AdHoc Committee to revise the Modified Jones Criteria of the Council on Rheumatic Fever and Congenital Heart Disease of the American Heart Association (AHA) yang diketuai oleh Dr. Gene H.Stollerman. Revisi ini menekankan perlu ada bukti infeksi streptokokus sebelumnya sebagai syarat mutlak untuk menegakkan diagnosis DR atau PJR aktif untuk menghindarkan overdiagnosis, agar menghindarkan kecemasan pada pasien dan familinya. Juga akan efektif dalam penatalaksanaan biaya medik karena akan mencegah pemakaian dan biaya kemoprofilaksis jangka panjang untuk DR dan RHD aktif. Bukti adanya infeksi streptokokus

10

sebelumnya termasuk riwayat demam skarlet, kultur apus tenggorokan yang positip dan atau ada bukti peningkatan infeksi streptokokus pada pasien dengan korea dan pasien dengan karditis subklinik atau derajat rendah. AHA Committee juga memperbaiki beberapa penjelasan berbagai manifestasi klinis DR akut tetapi tidak ada membuat perobahan. Pada tahun 1984 telah dilakukan perbaikan Kriteria Jones yang dikenal sebagai Kriteria Jones yang diedit yang isinya tidak banyak berbeda dari Kriteria Jones yang direvisi. Pada tahun 1960 Roy mengemukakan pengamatan bahwa poliartritis jarang didapati diantara populasi orang India dan artralgia sering didapati. Pengamatannya ternyata sama dengan yang diamati di Boston yang memperlihatkan poliartritis sering didapati pada DR. Roy kemudian merekomendasikan trias berupa sakit sendi, LED yang meningkat atau C reaktif protein dan titer ASTO > 400 unit untuk dipertimbangkan sebagai kriteria mayor untuk diagnosis DR. Ia menyarankan trias tersebut merupakan manifestasi yang sering ditemui dinegara berkembang dan diberi nama diagnosis presumptive dari DR akut dan dikonfirmasi atau ditolak setelah observasi selama 4-6 minggu. Pengamatan ini memulai ide adanya Kriteria Jones yang dirubah (Amended jones Criteria [1988]) yang diusulkan oleh Agarwal. Pada tahun 1992 Special Writing Group of the Committee on Rheumatic Fever, Endocarditis and Kawasaki Disease of the Council on Cardiovascular Disease in the Young of the American Heart Association melakukan update kriteria Jones yang telah dimodifikasi, direvisi dan diedit selama beberapa tahun dan disebut sebagai Kriteria Jones Update dan digunakan untuk menegakkan diagnosis demam rematik sampai saat ini. Kriteria update ini menjelaskan alat yang tersedia dan perannya dalam mendiagnosis, mendeteksi infeksi streptokokus sebelumnya. Kriteria update ini juga mempertahankan 2 gejala major dan 1 gejala major ditambah 2 minor untuk menegakkan diagnosis, tetapi kriteria ini menyebabkan hanya dapat digunakan pada serangan awal DR akut. Riwayat DR atau adanya PJR dikeluarkan dari kriteria minor. Alasan untuk merubahnya karena pada

11

beberapa penderita dengan riwayat DR atau PJR kurang memperlihatkan gejala dan tanda serangan berulang dan karena itu tidak cukup memenuhi Kriteria Jones. Penggunaan ekokardiografi juga telah didiskusikan dan mempunyai peran sebagai parameter diagnostik bila pada auskultasi tidak didapati valvulitis pada pada DR akut.

Tabel 2. 1. Kriteria Jones (Revisi 1992) Kriteria Mayor Karditis (Perikarditis, Miokarditis, Endokarditis) Poliartritis migrans Khorea sydenham Eritema marginatum Nodulus subkutan Ditambah Kriteria Mayor Klinis Artralgia Demam

Laboratorium Peninggian reaksi fase akut (LED meningkat dan atau C reactive protein) Interval PR memanjang

Disokong adanya bukti infeksi Streptococcus sebelumnya berupa kultur apus tenggorok yang positip atau tes antigen Streptococcus yang cepat atau titer ASTO yang meningkat. Kriteria diagnosis DRA berdasarkan kriteria Jones (Revisi 1992) ditegakkan bila ditemukan 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dengan 2 kriteria minor ditambah dengan bukti infeksi Streptococcus grup A tenggorok positif dan peningkatan titer antibodi Streptococcus. a. Kriteria Mayor DRA 1) Poliartritis Ditemukan pada 70% kasus. Mengenai sendi besar: lutut, mata kaki, siku dan pergelangan tangan. Pada orang dewasa dapat hanya mengenai sendi-sendi kecil saja dan selanjutnya akan sembuh spontan dalam 1-5 minggu tanpa deformitas. Sering melibatkan > 1 sendi, bersamaan atau bergantian atau berpindah-pindah (poliartritis migrans).

12

Terdapat tanda radang pada sendi pula dengan panas badan Sangat responsif terhadap salisilat. 2) Karditis Ditemukan pada 50% kasus.

yang terkena (bengkak, panas,

merah, nyeri, keras serta fungsi terganggu). Kadang-kadang disertai

Karditis akut ditandai dengan takikardia dan bising akibat valvulitis. Manifestasi karditis bisa berupa perikarditis, miokarditis, endokarditis, atau ketiganya (pankarditis). Penampilan perikarditis adalah nyeri prekordial, dan pada auskultasi dapat terdengar friction rub. Miokarditis ditandai oleh adanya pembesaran jantung dan tanda-tanda payah jantung. Miokarditis berat yang menyebabkan kardiomegali dan gangguan kontraktilitas miokard pada ekokardiogram. Endokarditis dapat menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan pada daun katup yang menyebabkan terdengarnya bising yang berubahubah. Ini menandakan bahwa kelainan yang ditimbulkan pada katup belum menetap. Bila bising menetap, maka berarti sudah terjadi gejala sisa pada katup. Bising yang umumnya terdengar adalah bising sistolik di daerah apeks yang menunjukkan adanya regurgitasi mitral. Karakteristik bising sistolik ini adalah high pitch dan blowing. Bising mid-diastolik di apeks juga sering menyertai bising sistolik, dan dikenal sebagai bising Carey Coombs. Bising ini terjadi akibat stenosis mitral yang relatif karena adanya dilatasi ventrikel kiri dan peningkatan pengisian ventrikel kiri pada fase diastolik. 3) Eritema marginatum Ditemukan pada kurang dari 10% kasus. Bercak kemerahan (rash) yang berbatas tegas, berbentuk cincin atau lingkaran, dengan bagian tengah yang normal, dapat agak timbul, dan berkonfluensi.

13

Tidak gatal dan tidak pernah di wajah. Terutama pada badan dan anggota gerak proksimal bagian dalam. Dapat bersifat sementara maupun menetap dalam waktu yang lama. 4) Nodul subkutan Ditemukan pada 2-10% kasus, terutama pada kekambuhan. Dijumpai pada anak-anak dan jarang pada orang dewasa. Merupakan nodul yang keras di bawah kulit, tanpa perubahan warna, tidak nyeri, tidak gatal dengan diameter 0,2-2 cm. Biasanya simetris pada daerah ekstensor sendi, sepanjang tulang belakang. Melekat pada fasia atau tendon di daerah tulang yang menonjol seperti daerah siku, permukaan dorsal tangan, daerah maleolus, spina vertebralis, dan occiput. Timbul pada minggu pertama serangan dan menghilang setelah 1-2 minggu, biasanya rekuren dan secara klinis tak dapat dibedakan dari nodul reumatoid artritis. 5) Khorea sydenham Ditemukan pada 15% kasus, terutama pada anak perempuan sebelum puber. Dimulai dengan emosi yang labil dan perubahan kepribadian. Gerakan spontan tidak terkontrol, disertai kelemahan otot dan bicara cadel. Menghilang sama sekali pada saat penderita tidur. Disfungsi ganglia basalis dan komponen neuron korteks. b. Kriteria Minor DRA 1) Demam Biasanya tidak terlalu tinggi, hanya subfebris dan sifatnya intermittent, meskipun pada kasus-kasus yang berat dimana dijumpai adanya perikarditis atau miokarditis febris dapat mencapai 390C.

14

Demam terjadi pada fase awal demam reumatik yang tidak diobati. Lamanya dapat berminggu-minggu atau berbulan-bulan disertai malaise, astenia, dan penurunan berat badan. 2) Artralgia Nyeri dirasakan di dalam sendi dan jaringan periartikuler serta sistem otot (polyarthralgia). Merupakan gejala demam rematik, tetapi tidak spesifik.

3) Peningkatan LED dan C-Reactive protein hampir selalu ditemukan pada karditis. 4) Pemanjangan interval PR dapat pula terjadi pada penyakit inflamasi lain. Keadaan berikut ini merupakan pengecualian pemakaian kriteria Jones: 1) Khorea dapat terjadi sebagai satu-satunya manifestasi klinis demam reumatik 2) Indolent carditis dapat merupakan satu-satunya manifestasi klinis pada pasien yang datang beberapa bulan setelah onset demam reumatik 3) Seringkali pasien yang mengalami kekambuhan (recurrence) tidak memenuhi kriteria Jones

c. Klasifikasi Derajat Penyakit Klasifikasi derajat penyakit ini berhubungan dengan penatalaksanaan: 1) Arthritis tanpa karditis 2) Arthritis + karditis, tanpa kardiomegali 3) Arthritis + kardiomegali 4) Arthritis + kardiomegali + gagal jantung Pada negara berkembang di mana insidens dan prevalensi DR dan PJR masih tinggi dibandingkan negara maju mempunyai gambaran dan presentasi klinis DR dan PJR yang berbeda dibanding dinegara maju. Poliartritis, eritema marginatum dan nodul subkutan jarang didapati di negara berkembang dibandingkan di negara maju, dan artralgia lebih sering ditemui di negara 15

berkembang dibandingkan dengan poliartritis di negara maju. Dua pengecualian penggunaan Kriteria Jones disebutkan pada Revisi 1965 dan ditekankan lagi pada Update 1992 yaitu : 1). bila didapati adanya murmur regurgitasi mitral atau aorta yang baru tanpa adanya kejadian rematik aktif seperti tanpa gejala, tanpa demam, dan mempunyai laju endap darah yang normal; dan 2.) pada korea sydenham tanpa manifestasi minor yang lain . Sejak tahun 1944 diagnosis untuk menegakkan penyakit ini telah menggunakan kriteria Jones dan telah beberapa kali mengalami perbaikan dan revisi. Hal ini terjadi karena dirasakan adanya over diagnosis atau under diagnosis dalam menegakkan diagnosis penyakit ini berdasarkan kriteria Jones. Pada 20022003 WHO mengajukan kriteria untuk diagnosis DR dan PJR (berdasarkan kriteria Jones yang telah direvisi). Revisi kriteria WHO ini untuk menghindarkan overdiagnosis ataupun underdiagnosis dalam menegakkan diagnosis dan memfasilitasi diagnosis untuk: 1) Episode pertama demam rematik 2) Serangan berulang demam rematik pada pasien tanpa PJR 3) Serangan berulang demam rematik pada pasien dengan PJR 4) Korea rematik 5) Onset karditis rematik yang tidak tampak 6) PJR kronik

16

Tabel 2.2. Kriteria WHO 2002 2003 untuk Diagnosis Demam Rematik dan Penyakit Jantung Rematik

17

8. Penatalaksanaan Pada Pengobatan terhadap DR ditujukan pada 3 hal yaitu: 1). Pencegahan primer pada saat serangan DR, 2.) Pencegahan sekunder DR, dan 3.) Menghilangkan gejala yang menyertainya, seperti tirah baring, penggunaan anti inflamasi, penatalaksanaan gagal jantung dan korea. Pencegahan primer bertujuan untuk eradikasi kuman streptokokus pada saat serangan DR dan diberikan fase awal serangan. Jenis antibiotika, dosis dan frekuensi pemberiannya dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 2. 3. Pencegahan Primer dan Sekunder Demam Rematik

Pencegahan sekunder DR bertujuan untuk mencegah serangan ulangan DR, karena serangan ulangan dapat memperberat kerusakan katup-katup jantung dan dapat menyebabkan kecacatan dan kerusakan katup jantung. 18

Durasi pencegahan sekunder dapat dilihat pada tabel berikut Tabel 2. 4. Durasi Pencegahan Sekunder Demam Rematik

Tetapi sayangnya preparat Benzatine Penisilin G saat ini sukar didapat dan tidak tersedia di seluruh wilayah Indonesia. Pada serangan DR sering didapati gejala yang menyertainya seperti gagal jantung atau korea. Penderita gagal jantung memerlukan tirah baring dan anti inflamasi perlu diberikan pada penderita DR dengan manifestasi mayor karditis dan artritis. Petunjuk mengenai tirah baring dan dan ambulasi dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 2. 5. Petunjuk Tirah Baring dan Ambulasi

19

Penggunaan anti inflamasi dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 2. 6. Rekomendasi Penggunaan Anti Inflamasi

Pada penderita DR dengan gagal jantung perlu diberikan diuretika, restriksi cairan dan garam. Penggunaan digoksin pada penderita DR masih kontroversi karena resiko intoksikasi dan aritmia. Pada penderita korea dianjurkan mengurangi stres fisik dan emosi. Penggunaan anti inflamasi untuk mengatasi korea masih kontroversi. Untuk kasus korea yang berat fenobarbital atau haloperidol dapat digunakan. Selain itu dapat digunakan valproic acid, chlorpromazin dan diazepam. Penderita PJR tanpa gejala tidak memerlukan

20

terapi. Penderita dengan gejala gagal jantung yang ringan memerlukan terapi medik untuk mengatasi keluhannya. Penderita yang simtomatis memerlukan terapi surgikal atau intervensi invasif. Tetapi terapi surgikal dan intervensi ini masih terbatas tersedia serta memerlukan biaya yang relatif mahal dan memerlukan follow up jangka panjang.

9. Prognosis Prognosis demam rematik tergantung pada stadium saat diagnosis ditegakkan, umur, ada tidaknya dan luasnya kelainan jantung, pengobatan yang diberikan, serta jumlah serangan sebelumnya. Prognosis pada umumnya buruk pada penderita dengan karditis pada masa kanak-kanak. Serangan ulang da- lam waktu 5 tahun pertama dapat dialami oleh sekitar 20% penderita dan kekambuhan semakin jarang terjadi setelah usia 21 tahun.

B. Penyakit Katup Jantung Akibat Demam Rematik

Gambar 2.2. Katup-katup Jantung

21

Seseorang yang mengalami demam rematik apabila tidak ditangani secara adekuat, maka sangat mungkin sekali mengalami serangan penyakit jantung rematik. Infeksi oleh kuman Streptococcus beta hemolyticus group A yang menyebabkan seseorang mengalami demam rematik dimana diawali terjadinya peradangan pada saluran tenggorokan, dikarenakan penatalaksanaan dan pengobatannya yang kurang terarah menyebabkan racun/toksin dari kuman ini menyebar melalui sirkulasi darah dan mengakibatkan peradangan katup jantung. Akibatnya daun-daun katup mengalami perlengketan sehingga menyempit, atau menebal dan mengkerut sehingga kalau menutup tidak sempurna lagi dan terjadi kebocoran. 1. Insufisiensi Mitral a. Patofisiologi Insufisiensi mitral merupakan kelainan katup yang paling sering ditemukan akibat demam rematik akut. Insufisiensi ini merupakan akibat perubahan struktural yang biasanya meliputi bahan valvuler dan pemendekan serta penebalan khordae tendinea. Selama demam rematik akut dengan keterlibatan jantung berat, gagal jantung kongestif paling sering disebabkan oleh gabungan pengaruh mekanik insufisiensi mitral berat bersama dengan penyakit radang yang dapat melibatkan perikardium, miokardium, endokardium dan epikardium. Karena beban volume yang besar dan proses radang, ventrikel kiri menjadi besar dan tidak efisien. Atrium kiri dilatasi ketika darah beregurgitasi ke dalam ruangan ini. Kenaikan tekanan atrium kiri mengakibatkan kongesti pulmonal dan gejala-gejala gagal jantung sisi kiri. Pada kebanyakan kasus insufisiensi mitral ada dalam kisaran ringan sampai sedang. Bahkan, pada penderita-penderita yang pada permulaannya insufisiensi berat, biasanya kemudian ada perbaikan spontan. Hasilnya lesi kronis paling sering ringan atau sedang, dan penderita akan tidak bergejala. Lebih separuh penderita dengan insufisiensi mitral selama serangan akut akan tidak lagi mempunyai bising akibat mitral setahun kemudian. Namun, pada penderita dengan insufisiensi mitral kronis, berat, tekanan arteria pulmonalis menjadi naik, pembesaran ventrikel dan atrium kanan yang selanjutnya akan terjadi gagal jantung sisi kanan. 22

b. Manifestasi Klinis Tanda-tanda fisik insufisiensi mitral utama tergantung pada keparahannya. Pada penyakit ringan, tanda-tanda gagal jantung tidak akan ada, perikardium akan tenang, dan auskultasi akan menunjukkan bising holosistolik di apeks, menjalar ke aksila. Pada insufisiensi mitral berat, dapat ada tanda-tanda gagal jantung kongestif kronis, meliputi kelelahan, penambahan berat, lemah dan dispnea pada saat kerja. Jantung membesar dengan impuls prekordial ventrikel kiri apeks kuat angkat dan sering ada getaran (thrill) sistolik di apeks. Bunyi jantung pertama normal; bunyi jantung ke-2 mungkin diperkuat jika ada hipertensi pulmonal. Bunyi jantung ke-3 biasanya jelas. Jarang ada klik ejeksi mid sistolik, seperti ditemukan pada prolaps katup mitral non-rematik. Bising holosistolik terdengar di apeks menjalar ke aksila dan tepi sternum. Lagipula, bising rumbel mid-diastolik pendek menyertai bunyi jantung ke-3; bising ini disebabkan oleh bertambahnya aliran darah dari beban volume atrium kiri yang melewati katup mitral sebagai akibat insufisiensi masif. Adanya bising diastolik yang disertai dengan insufisiensi tidak perlu berarti bahwa ada stenosis mitral mekanik. Lesi yang kedua ini memerlukan waktu bertahun-tahun untuk terjadi dan ditandai oleh bising diastolik yang lebih panjang dengan pengerasan prersistolik. Pada anak muda dengan insufisiensi mitral dan tidak ada riwayat kecurigaan demam reumatik akut, diagnosis bandingnya antara kelainan katup mitral kongenital dan keterlibatan katup mitral reumatik atas dasar pemeriksaan fisik mungkin sukar. Elektrokardiogram dan roentgenogram normal jika lesi ringan. Pada insufisiensi yang lebih berat, EKG menunjukkan gelombang P bifid yang mencolok, tanda-tanda hipertrofi ventrikel kiri, dan disertai hipertrofi ventrikel kanan jika ada hipertensi pulmonal. Secara roentgenigrafis ada penonjolan atrium dan ventrikel kiri. Bila ada hipertensi pulmonal atau gagal jantung kongestif, segmen arteria pulmonalis dan ruang-ruang jantung sisi kanan mencolok. Kongesti pembuluh-pembuluh darah perihiler, suatu tanda hipertensi vena pulmonalis, mungkin juga jelas. Kalsifikasi katup mitral jarang pada anak. Ekokardiografi menunjukkan pembesaran 23

atrium dan ventrikel kiri, dan pemeriksaan doppler menampakkan keparahan regurgitasi mitral. c. Komplikasi Insufisiensi mitral dapat mengakibatkan gagal jantung yang dapat dipercepat oleh penjelekan proses reumatik, mulainya fibrilasi atrium dengan respons ventrikel cepat, atau endokarditis infektif. Sesudah bertahun-tahun, pengaruh insufisiensi mitral kronik dapat menjadi nyata secara klinis tanpa kejadian reumatik baru. Gagal jantung sisi kanan dapat disertai dengan insufisiensi katup trikuspidalis atau pulmonal. Kadangkadang tampak ekstrasistole atrium atau ventrikel. Fibrilasi atrium lebih sering bila insufisiensi mitral disertai dengan atrium kiri yang besar. Penderita dengan fibrilasi atrium biasanya memerlukan antikoagulasi untuk pencegahan tromboemboli dan stroke.

d. Penatalaksanaan Pada kebanyakan penderita dengan insufisiensi mitral, hanya diperlukan profilaksis terhadap kumat demam reumatik karena lesi ringan dan ditoleransi baik. Pengobatan penyulit gagal jantung, aritmia dan endokarditis infektif divas dimana-mana. Agen penurun beban pasca atau afterload (hidralazin, captopril) mungkin berguna. Penanganan bedah terindikasi pada penderita yang walaupun terapi medik cukup, menderita episode gagal jantung berulang, dispnea pada aktivitas sedang, dan kardiomegali progresif, sering dengan hipertensi pulmonal. Walaupun anuloplasti memberikan hasil yang baik pada beberapa anak dan remaja, penggantian katup mungkin diperlukan. Aktivitas tidak harus dibatasi pada anak yang menderita inkompetensi ringan. Profilaksis terhadap endokarditis bakterial diperlukan pada penderita ini selama prosedur gigi atau pembedahan lain. Antibiotik rutin yang diminum oleh penderita untuk profilaksis demam reumatik tidak cukup untuk mencegah endokarditis.

24

Gambar 2.3. Katup Jantung Manusia dan Katup Jantung Buatan 2. Stenosis Mitral a. Patofisiologi Stenosis mitral reumatik adalah akibat fibrosis cincin mitral, perlekatan komisura, dan kontraktur daun katup, korda dan muskulus papilare selama periode waktu yang lama. Stenosis ini biasanya 10 tahun atau lebih agar lesi betul-betul bisa tegak, walauun prosesnya kadangkadang bisa dipercepat. Stenosis mitral reumatik jarang ditemukan sebelum remaja dan biasanya tidak dikenali sampai umur dewasa. Stenosis mitral secara klinis diketahui jika lubang katup mengurang aampai 25% atau kurang dari lubang katup yang diharapkan normal. Pengurangan demikian berakibat kenaikan tekanan dan pembesaran serta hipertrofi atrofi kiri. Kenaikan tekanan menyebabkan hipertensi vena pulmonalis, kenaikan tahanan vaskuler pulmonal dan hipertensi pulmonal. Dilatasi ventrikel dan atrium kanan, dan terjadi hipertrofi dengan disertai gagal jantung sisi kanan.

Gambar 2.4. Stenosis Mitral b. Manifestasi Klinis Biasanya ada korelasi yang baik antara gejala dan keparahan obstruksi. Penderita dengan lesi ringan tidak bergejala. Derajat obstruksi

25

yang lebih berat disertai dengan tidak tahan kerja dan dispnea. Lesi berat dapat ortopnea, dispnea nokturnal paroksismal, dan edema paru yang nyata. Gejala-gejala ini dapat dipercepat oleh takikardia yang tidak terkendali, fibrilasi atrium, atau infeksi paru. Gagal jantung kongestif biasanya ada tetapi tidak selalu disertai dengan hipertensi pulmonal berat. Dilatasi ventrikel kanan dapat menyebabkan insufisiensi trikuspidal fungsional, hepatomegali, asites dan edema. Hemoptisis karena robekan vena bronkhial atau vena pleurohilus, dan kadang-kadang dapat terjadi infark paru. Sputum dengan bercak darah tampak selama episode edema paru. Pada stenosis mitral berat kronis, tampak sianosis dan kemerahan pipi. Tekanan vena jugularis naik bila ada gagal jantung kongestif, penyakit katup trikuspidalis atau penyakit hipertensi pulmonal berat. Ukuran jantung normal pada penyakit minimal. Kardiomegali sedang biasanya ada pada stenosis mitral berat dan irama sinus, tetapi pembesaran jantung dapat masif terutama bila timbul fibrilasi atrial dan gagal jantung. Impuls apeks normal, tetapi kuat angkat ventrikel kanan parasternal dapat diraba bila tekanan pulmonal tinggi. Tanda auskultasi utama adalah bunyi jantung pertama keras, opening snap katup mitral, dan bising diastolik mitral rumbel, panjang, nada rendah dengan pergeseran presistolik pada apeks. Bising diastolik mitral sebenarnya mungkin tidak ada pada penderita yang dalam keadaan gagal jantung kongestif. Bising holosistolik karena insufisiensi trikuspidal mungkin juga dapat didengar. Bila ada hipertensi pulmonal, komponen pulmonal bunyi jantung ke-2 keras. Bising diastolik awal dapat disebabkan oleh insufisiensi aorta yang terkait atau insufisiensi katup pulmonal sekunder (bising Graham Steell). Elektrokardiogram dan roentgenogram normal jika lesi ringan; bila keparahan bertambah, ada gelombang P berlekuk dan mencolok dan berbagai tingkat hipertrofi ventrikel kanan. Fibrilasi atrium merupakan manifestasi lambat yang sering. Lesi sedang atau berat yang disertai dengan tanda-tanda roentgenografi pembesaran atrium kiri, penonjolan arteria pulmonalis dan ruang jantung sisi kanan, dan aorta serta ventrikel kiri normal atau kecil; mungkin ada kalsifikasi yang tampak pada daerah katup mitral. Obstruksi berat disertai dengan pembagian kembali aliran darah pulmonal sehingga apeks paru mempunyai perfusi lebih besar (kebalikan 26

normal). Garis sekat pada sudut kostofrenikus mungkin juga ada. Ekokardiografi menampakkan penyempitan lubang mitral yang nyata selama diastole dan pembesaran atrium kiri. c. Penatalaksanaan Pembedahan terindikasi bila ada tanda-tanda klinis dan bukti hemodinamik obstruksi berat tetapi sebelum manifestasi berat tampak lebih awal. Valvotomi mitral balon kateter atau pembedahan biasanya menghasilkan hasil yang baik; penggantian katup dihindari kecuali kalau sangat diperlukan. Valvuloplasti balon terindikasi pada katup penderita yang tidak mengapur, lunak, stenotik bergejala tanpa aritmia atrium atau trombus. 3. Insufisiensi Aorta a. Patofisiologi Pada insufisiensi aorta reumatik kronik, sklerotik katup aorta menyebabkan penyimpangan dan retraksi kuspid. Regurgitasi darah menyebabkan beban volume berlebih dengan dilatasi dan hipertrofi ventrikel kiri. Kombinasi insufisiensi mitral dan aorta lebih sering daripada keterlibatan aorta saja. Gagal ventrikel kiri akhirnya dapat terjadi. b. Manifestasi Klinis Gejala-gejala tidak biasa kecuali pada insufisiensi aorta berat. Volume sekuncup yang besar dan kontraksi ventrikel kiri yang penuh kekuatan dapat menimbulkan palpitasi. Keringat tidak tahan panas terkait dengan vasodilatasi. Dispnea pada saat kerja dapat menjelek menjadi ortopnea dan edema paru; angina dapat terjadi selama kerja berat. Pada remaja dengan insufisiensi berat, serangan pada malam hari dengan berkeringat, takikardia, nyeri dada, dan hipertensi dapat terjadi. Tekanan nadi lebar dengan nadi perifer melambung. Tekanan darah sistolik naik, dan tekanan diastolik lebih rendah. Pada insufisiensi aorta berat, jantung membesar dan ada kuat angkat apeks ventrikel kiri. Mungkin ada getaran sistolik. Bising khas mulai tepat pada bunyi jantung ke-2 dan berlanjut sampai akhir diastole. Bising terdengar pada linea parasternalis 27

atas dan tengah dengan penjalaran ke apeks dan ke daerah aorta. Secara khas, bising mempunyai kualitas nada tinggi, bergaung. Biasanya bising lebih mudah dapat didengar pada ekspirasi penuh dengan diagfragma stetoskop ditempatkan kuat pada dada dan penderita condong ke depan. Kadang-kadang bising ini lebih keras pada posisi terlentang. Bising sistolik ejeksi yang kadang-kadang didahului oleh klik sering terdengar dan ditimbulkan oleh volume sekuncup yang besar. Bising presistolik di apeks (Austin Flint) menyerupai bising stenosis mitral, kadang-kadang terdengar dan merupakan akibat dari aliran regurgitan aorta besar pada diastole yang menghalangi katup mitra terbuka secara penuh. Roentgenogram menampakkan pembesaran ventrikel da aorta. Elektrokardiogram mungkin normal, tetapi pada kasus yang lanjut menunjukkan tanda-tanda hipertrofi dan strain ventrikel kiri dengan gelombang P mencolok. Ekokardiogram menampakkan ventrikel kiri besar dengan geletar katup mitral diastolik atau osilasi yang disebabkan oleh aliran regurgitan yang membentur daun-daun katup. Ekokardiogram duadimensi (2-D) menampakkan kelainan katup aorta, dan pemeriksaan doppler memperagakan derajat kebocoran aorta ke dalam ventrikel kiri. c. Prognosis dan Penatalaksanaan Lesi ringan dan sedang ditoleransi dengan baik. Banyak remaja dengan regurgitasi berat tidak bergejala dan tahan terhadap lesi lanjut sampai pada dekade ke-3 dan ke-4. tidak seperti insufisiensi mitral, insufisiensi aorta tidak mengurang. Penderita dengan lesi kombinasi selama episode demam rematik akut mungkin hanya mengalami keterlibatan aorta 1-2 tahun kemudian. Pengobatan pada kebanyakan kasus terdiri atas profilaksis terhadap kumat demam reumatik akut dan kejadian endokarditis infektif. Penderita didorong untuk hidup aktif dan senormal mungkin. Intervensi bedah (penggantian katup) harus dilakukan juga sebelum mulai gagal jantung kongestif, edema paru atau angina, bila ada perubahan gelombang ST-T pada elektrokardiogram atau bila ada bukti penurunan fraksi ejeksi ventrikel kiri. C. Gagal Jantung 1. Definisi 28

Tidak ada definisi yang komprehensif. Gagal jantung lebih mudah dikenali pada pemeriksaan klinik daripada didefinisikan. Sir Thomas Lewis mendefinisikan jantung tidak mampu mengeluarkan isinya dengan adekuat. Paul Wood mendefinisikan jantung tidak mampu mempertahankan sirkulasi untuk memenuhi kebutuhan tubuh meskipun tekanan pengisian adekuat. Definisi yang lazim dianut para klinisi adalah definisi dari Poole- Wilson : gagal jantung adalah suatu sindroma klinik yang disebabkan oleh kelainan jantung dan ditandai dengan adanya respon hemodinamik, renal, neural dan hormonal. Packer mendefinisikan gagal jantung kongestif sebagai gagal jantung kronis akibat abnormalitas ventrikel kiri dan regulasi neurohormonal yang ditandai dengan menurunnya kapasitas fungsional, retensi cairan dan edema. 2. Terminologi a. Gagal Jantung Sistolik dan Diastolik Kedua jenis ini terjadi secara tumpang tindih dan tidak dapat dibedakan dari pemeriksaan fisik, foto toraks atau EKG dan hanya dapat dibedakan dengan eko-Droppler. Gagal jantung sistolik adalah ketidakmampuan kontraksi jantung memompa sehingga curah jantung menurun dan menyebabkan kelemahan, fatik, kemampuan aktivitas fisik menurun dan gejala hipoperfusi lainnya. Gagal jantung sistolik didasari oleh suatu beban/penyakit miokard (underlying heart disease/index of events) yang mengakibatkan remodeling struktural, lalu diperbesar oleh progresivitas beban/penyakit tersebut dan menghasilkan sindrom klinis yang disebut gagal jantung. Remodeling struktural ini dipicu dan diperberat oleh berbagai mekanisme kompensasi sehingga fungsi jantung terpelihara relatif normal (gagal jantung asimtomatik). Sindrom gagal jantung yang sistomatik akan tampak bila timbul faktor presipitasi seperti infeksi, aritmia, infark, jantung, anemia, hipertiroid dan kehamilan, aktivitas berlebihan, emosi atau konsumsi garam berlebih, emboli paru, hipertensi, miokarditis, virus, demam reuma, endokarditis infektif. Gagal jantung simtomatik juga akan tampak kalau

29

terjadi

kerusakan

miokard

akibat

progresivitas

penyakit

yang

mendasarinya/underlying heart disease. Gagal jantung diastolik adalah gangguan relaksasi dan gangguan pengisian ventrikel. Gagal jantung diastolik didefinisikan sebagai gagal jantung dengan fraksi ejeksi lebih dari 50%. Diagnosis dibuat dengan pemeriksaan Doppler-ekokardiografi aliran darah mitral dan aliran vena pulmonalis. Tidak dapat dibedakan dengan pemeriksaan anamnesis dan pemeriksaan fisik saja. Ada 3 macam gangguan fungsi diastolik: Gangguan relaksasi Pseudo-normal Tipe restriktif Penatalaksanaan ditujukan untuk menghilangkan atau mengurangi penyebab gangguan diastolik seperti fibrosis, hipertrofi, atau iskemia. Disamping itu kongesti sistemik/pulmonal akibat dari gangguan diatolik tersebut dapat diperbaiki dengan restriksi garam dan pemberian diuretik. Mengurangi denyut jantung agar waktu untuk diastolik bertambah, dapat dilakukan dengan pemberian penyekat beta atau penyekat kalsium nondihidropiridin.

b. Gagal Jantung Low Output dan High Output Pada umumnya gagal jantung selalu disertai dengan curah jantung yang menurun, gagal jantung low output terdapat beberapa keadaan dimana jantung dituntut untuk menyediakan curah jantung untuk metabolisme jaringan yang lebih besar dari normal. Suatu keadaan high output bila kemudian terjadi sindrom gagal jantung, maka memenuhi kebutuhan metabolisme yang meninggi. Keadaan ini disebut sindrom gagal jantung high output. Gagal jantung low output disebabkan oleh hipertensi, kardiomiopati dilatasi, kelainan katup dan perikard. Gagal jantung high output ditemukan 30

pada penurunan resistensi vaskular sistemik seperti hipertiroidisme, anemia, kehamilan, fistula A-V, beri-beri dan penyakit Paget. Secara praktis, kedua kelainan ini tidak dapat dibedakan.

c. Gagal Jantung Akut dan Kronik Contoh klasik gagal jantung akut (GJA) adalah robekan daun katup secara tiba-tiba akibat endokarditis, trauma atau infark miokard luas. Curah jantung yang menurun secara tiba-tiba menyebabkan penurunan tekanan darah tanpa disertai edema perifer. Contoh gagal jantung kronis (GJK) adalah kardiomiopati dilatasi atau kelainan multivalvular yang terjadi secara perlahan-lahan. Kongesi perifer sangat menyolok, namun tekanan darah masih terpelihara dengan baik.

d. Gagal Jantung Kanan dan Gagal Jantung Kiri Gagal jantung kiri akibat kelemahan ventrikel kiri, meningkatkan tekanan vena pulmonalis dan paru menyebabkan pasien sesak napas dan ortopnea. Gagal jantung kanan terjadi kalau kelainannya melemahkan ventrikel kanan seperti pada hipertensi pulmonal primer/sekunder, tromboemboli paru kronik sehingga terjadi kongesti vena sistemik yang menyebabkan edema perifer, hepatomegali, dan distensi vena jugularis. Tetapi karena perubahan biokimia gagal jantung terjadi pada miokard kedua ventrikel, maka retensi cairan pada gagal jantung yang sudah berlangsung bulanan atau tahun tidak lagi berbeda. e. Forward Failure dan Backward Failure Forward failure adalah gagal jantung disertai curah jantung yang tidak adekuat dan penurunan perfusi jaringan sering disertai retensi cairan. Backward failure adalah gagal jantung disertai elevasi tekanan pengisian ventrikel kanan atau ventrikel kiri. Keadaan ini menyebabkan kongesti paru dan jaringan perifer.

31

f. Preload dan Afterload Preload adalah panjang serat miokardium pada saat dimulainya sistol, ditentukan oleh tekanan pengisisan ventrikel kanan (tekanan vena sistemik atau atrium kanan) atau ventrikel kiri (tekanan vena paru atau atrium kiri). Afterload adalah beban yang harus diatasi serat miokardium saat kontraksi, ditentukan oleh tekanan darah arteri dan tahanan perifer sistemik. 3. Etiologi Sindrom klinik gagal jantung merupakan babak akhir fungsi ventrikel yang merosot akibat berbagai penyakit jantung. Gagal jantung bukan suatu diagnosis. Untuk dapat member terapi yang tepat perlu diketahui penyebab gagal jantung. Di Eropa dan Amerika Utara, penyebab utama gagal jantung adalah iskemia akibat penyakit arteri koronaria (70%). Penyebab sindrom klinik gagal jantung umumnya adalah disfungsi ventrikel. Disfungsi ventrikel kanan murni jarang, dapat terjadi akibat hipertensi pulmonal kronik dan emboli paru masif. Penyebab disfungsi ventrikel kiri antara lain : gangguan irama jantung (takiaritmia, bradiaritmia dengan efek inotropik negatif), kelainan endokardium, penyakit katup, penyakit miokardium (penyakit arteri koronaria, hipertensi, kardiomiopati, miokarditis), penyakit perikardium, penyakit jantung congenital, obat-obatan, dan anemia/hipoksia. 4. Patofisiologi Mekanisme yang mendasarai gagal jantung meliputi gangguan kemampuan kontraktilitas jantung yang menyebabkan curah jantung lebih rendah dari curah jantung normal. Bila curah jantung kurang, sistem saraf simpatis akan mempercepat frekuensi jantung untuk mempertahankan curah jantung. Bila mekanisme kompensasi ini gagal untuk mempertahankan perfusi jaringan yang memadai, maka volume sekuncup jantunglah yang harus menyesuaikan diri untuk mempertahankan curah jantung.

32

Jika curah jantung gagal untuk dipertahankan maka akan terjadi gagal jantung kongestif karena kontraktilitas, karena preload, kontraktilitas dan afterload terganggu. 5. Klasifikasi Gagal jantung diklasifikasi berdasarkan beratnya keluhan dan kapasitas latihan. Meskipun klasifikasi ini tidak tepat benar akan tetapi klinik bermanfaat, terutama untuk mengevaluasi hasil terapi. Klasifikasi yang banyak dipergunakan adalah klasifikasi dari NYHA. New York Heart Association Classification (NYHA)1964 Kelas I : Penderita tanpa limitasi aktivitas fisik. Aktivitas fisik sehari-hari tidak menimbulkan dyspnoe atau kelelahan. Kelas II : Saat istirahat tidak ada keluhan tetapi terdapat sedikit limitasi aktivitas fisik. Aktivitas sehari-hari menimbulkan dyspnoe atau kelelahan. Kelas III : Saat istirahat tidak ada keluhan tetapi aktivitas fisik yang lebih ringan dari aktivitas sehari-hari sudah menimbulkan dyspnoe atau kelelahan. Kelas IV : Saat istirahat sesak. Setiap aktivitas fisik akan menambah beratnya keluhan sesak.

6. Diagnosis Diagnosis dibuat berdasarkan anamnesis, pemeriksaan dan fisik, elektrokardiografi/foto kongestif. toraks, ekokardiografi-Doppler kateterisasi.

Kriteria Framingham dapat pula dipakai untuk diagnosis gagal jantung

33

Tabel 2.7. Kriteria Framingham Kriteria Mayor Paroxysmal noctunal dyspnea orthopnea Distensi vena leher Ronki paru Kardiomegali Edema paru akut Gallop S3 Peninggian tekanan vena jugularis > 16 cmH2O Waktu sirkulasi > 25 detik Refluks hepatojugular Kriteria Minor Edema ekstremitas Batuk malam hari Dyspnea deffort Hepatomegali Efusi pleura Penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal Takikardia (>120/menit)

Kriteria Mayor atau Minor : penurunan BB > 4.5 kg dalam 5 hari pengobatan. Diagnosis Gagal Jantung ditegakkan jika ada 2 kriteria mayor atau minimal ada 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor.

7. Penatalaksanaan Tujuan dari penatalaksanaan gagal jantung adalah memperbaiki kualitas hidup, memperpanjang kelangsungan hidup dan mencegah progresifitas sindroma gagal jantung. 3 komponen penting dalam penanganan gagal jantung yaitu : Penyakit dasar. Faktor-faktor pencetus. Mengatasi gagal jantungnya. Terapi gagal jantung dapat dibagi menjadi 2 yaitu :

34

a. Non Farmakologik : Istirahat, latihan, diet, berhenti merokok dan minum alkohol. b. Farmakologik : Membatasi aktivitas neurohormonal dan mengatasi abnormalitas

hemodinamik yang menimbulkan gejala baik saat aktivitas maupun istirahat. Obat-obatan yang dapat digunakan adalah sebagai berikut : 1) Diuretik : Furosemid, HCT (Hydroclorothiazide), Spironolactone. Diberikan bila terdapat tanda-tanda kelebihan cairan. 2) ACE-Inhibitor : Captopril, Enalapril, Imidapril. Diberikan pada penurunan fraksi ejeksi ventrikel kiri kecuali ada kontraindikasi (efek vasodilator menurunkan afterload). Selain itu juga dapat mencegah progresifitas penyakit (efek neurohormonal). 3) Nitrat. Untuk menurunkan venous return (venodilator) menurunkan preload sehingga mengurangi edema paru. 4) Vasodilator : Hydralazine, Minoxidil. Diberikan bila ACE-Inhibitor tidak dapat ditoleransi. 5) -blocker : Bisoprolol, Carvedilol. Dimulai dengan dosis sangat kecil, ditingkatkan pelan-pelan sampai dosis optimal yang dapat ditoleransi penderita. 6) Inotropik : Dopamin, Dobutamin, Epinefrin. Diberikan bila terdapat syok kardiogenik. 7) Digitalis (Digoksin). Diberikan bila terdapat atrial fibrilasi dan gagal jantung yang tidak respon terhadap ACE-Inhibitor + diuretik. 8) Antikoagulan : heparin. Diberikan bila terdapat atrial fibrilasi, riwayat emboli paru/ sistemik atau dengan trombus endokardial dan aneurisma ventrikel .

35

8. Prognosis Natural History gagal jantung yang tidak diterapi tidak diketahui. Natural History penderita gagal jantung yang mendapat terapi adalah sebagai berikut : Tabel 2. 8. Natural History Penderita Gagal Jantung yang Mendapat Terapi Kelas NYHA I II III IV Mortalitas 5 Tahun (%) 10 20 10 20 50 70 70 90

Faktor-faktor penentu prognosis gagal jantung antara lain : NYHA kelas III IV Kapasitas latihan yang rendah (VO2 maksimal < 10 ml/kg/menit) Irama gallop Penyebab gagal jantung : penyakit jantung koroner Kardiomegali (CT ratio > 0,55) EKG : LBBB (Na+) plasma < 130 mmol/liter Noradrenalin plasma > Takikardia ventrikel, denyut ektopik ventrikel polimorfik Dua faktor teratas merupakan prediktor independen dari prognosis yang buruk.

36

BAB III PENYAJIAN KASUS I. ANAMNESIS Identitas Nama Jenis Kelamin Umur Alamat Pekerjaan : Ny. F : Perempuan : 29 tahun : Jl. Adi Sucipto, Gg. Sanusi : Ibu rumah tangga

Tanggal Masuk RS : 22 Desember 2008 Anamnesis dilakukan pada tanggal 9 Januari 2009 pukul 16.00 WIB Keluhan Utama Sesak napas Riwayat Penyakit Sekarang Pasien datang ke RS dengan keluhan sesak napas sejak 1 hari sebelum masuk RS. Keluhan ini dirasakan sudah bertahun-tahun lamanya. Sesak napas timbul ketika pasien beraktivitas ringan seperti menyapu dan berjalan. Sesak terasa bertambah berat ketika pasien berbaring dan agak berkurang dengan duduk atau 37

tidur dengan 2 hingga 3 bantal. Pasien sering harus terbangun pada malam hari karena merasa sesak. Pasien juga mengeluh bengkak di kedua kaki, nyeri lutut, kelemahan otot, perut terasa kembung, nyeri ulu hati, dan dada terasa berdebar-debar. Selain itu, pasien juga mengeluhkan kebiruan pada jari-jari tangan dan kaki ketika cuaca dingin. Demam disangkal. Nyeri dada disangkal. Pasien memiliki riwayat sakit maag dan menyangkal adanya sakit kencing manis dan hipertensi. Pasien juga tidak merokok.

Riwayat Penyakit Dahulu - Pasien pernah menderita infeksi telinga 7 tahun yang lalu. Saat itu, pasien mengeluhkan keluar cairan berwarna putih kekuningan seperti nanah dari telinga kanan dengan jumlah yang sedikit, tetapi keluar setiap hari. Pasien juga mengeluhkan telinga kanan berdenging, demam, sakit kepala, nyeri dan bengkak pada lutut yang berpindah-pindah (mulanya pada lutut kanan kemudian pindah ke lutut kiri), penurunan berat badan, kedua kaki dirasakan bergerak sendiri (spontan) tidak terkontrol, dan kelemahan otot apabila berjalan jauh. - Pasien pernah dirawat di RS dengan katup (klep) jantung bocor pada tahun yang sama. - Pasien memiliki riwayat sakit maag. Riwayat sakit kencing manis disangkal. Riwayat hipertensi disangkal. Riwayat Penyakit Keluarga Di keluarga tidak ada yang mengalami keluhan serupa. Riwayat Sosial Ekonomi Pasien adalah seorang ibu rumah tangga. Biaya pengobatan ditanggung oleh suami. II. PEMERIKSAAN FISIK Dilakukan pada tanggal 9 Januari 2009 pukul 16.30 WIB 38

Status Generalis Keadaan umum Keadaan sakit Kesadaran Tanda vital - Nadi - Napas - Suhu : 56 x/menit, isi lemah dengan irama tidak teratur : 24 x/menit, teratur, dengan jenis pernapasan torakoabdominal : 36 C, aksilar - Tekanan darah : 100/80 mmHg : sedang : tampak sakit sedang : kompos mentis, GCS : E4M6V5

Kulit Kepala Mata Telinga Hidung Mulut Leher

: warna kulit sawo matang, sianosis (+) di jari-jari tangan dan kaki, dekubitus (-) : bentuk tidak ada kelainan, simetris, dan nyeri tekan (-) : konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-) : sekret (-) : sekret (-), deviasi septum (-) : bibir sianosis (-), lidah kotor (-), tonsil T1/T1 : pembesaran limfonodi (-), kaku kuduk (-), deviasi trakea (-), pembesaran tiroid (-), tekanan JVP tidak meningkat, refluks hepatojugular (-)

Torak Paru - Inspeksi - Palpasi - Perkusi - Auskultasi Abdomen - Inspeksi - Palpasi

: bentuk normal : statis : simeris

dinamis : gerakan paru simetris, tidak ada ketinggalan gerak : stem fremitus melemah, kanan = kiri di seluruh lapang paru : sonor di seluruh lapang paru : suara napas dasar vesikuler di kedua lapang paru, ronki (+) di basal paru, wheezing (-) : bentuk normal, venektasi (-) : nyeri tekan (+) di regio epigastrium, hati teraba 2 jari di 39

bawah arcus costae, lien tidak teraba - Perkusi - Auskultasi Ekstremitas : asites (-) : bising usus normal : oedema (+) di kedua tungkai, sianosis (+) di jari-jari tangan dan kaki, jari tabuh (+), tremor (-) pada ekstremitas atas Status Lokalis Jantung - Inspeksi - Palpasi : iktus kordis terlihat : iktus kordis teraba 1 jari di ICS 6 linea aksilaris anterior, kuat angkat, thrill (+) - Perkusi : batas jantung melebar (batas jantung atas di ICS 2, batas jantung bawah di ICS 6, batas jantung kanan di linea parasternalis dextra, batas jantung kiri di linea aksilaris anterior). - Auskultasi : bunyi jantung I-II tunggal, bising sistolik dan diastolik derajat 5 terdengar di apeks dan menjalar ke aksila, gallop (-) III. PEMERIKSAAN PENUNJANG Laboratorium (hasil pemeriksaan tanggal 22-12-2008) Hb Ht Leukosit Trombosit GDS Ureum Kreatinin : 13,3 g/dL : 39,3 % : 5.700/L : 219.000 /L : 76 mg/dL : 21 mg/dL : 0,78 mg/dL

EKG (hasil pemeriksaan tanggal 22-12-2008) Deskripsi : Frekuensi 82 x/menit Tidak ada gelombang P garis dasar tidak teratur

40

Durasi QRS normal (80 mdtk) Interval QT normal (320 mdtk) Sumbu jantung : RAD (Right Axis Deviation) Kompleks QRS bentuk normal Kompleks QRS tidak teratur Segmen ST dan gelombang T normal

Kesimpulan : fibrilasi atrium dengan rapid ventricular response IV. RESUME Pasien datang ke RS dengan keluhan sesak napas sejak 1 hari sebelum masuk RS. Keluhan ini dirasakan sudah bertahun-tahun lamanya. Sesak napas timbul ketika pasien beraktivitas ringan seperti menyapu dan berjalan. Sesak terasa bertambah berat ketika pasien berbaring dan agak berkurang dengan duduk atau tidur dengan 2 hingga 3 bantal. Pasien sering harus terbangun pada malam hari karena merasa sesak. Pasien juga mengeluh bengkak di kedua kaki, nyeri lutut, kelemahan otot, perut terasa kembung, nyeri ulu hati, dan dada terasa berdebardebar. Selain itu, pasien juga mengeluhkan kebiruan pada jari-jari tangan dan kaki ketika cuaca dingin. Pasien memiliki riwayat sakit maag dan menyangkal adanya sakit kencing manis dan hipertensi. Pasien juga tidak merokok. Pasien pernah menderita infeksi telinga 7 tahun yang lalu dan pernah dirawat di RS dengan katup (klep) jantung bocor pada tahun yang sama. Pada pemeriksaan fisik didapatkan oedema (+) di kedua tungkai, sianosis (+) di jari-jari tangan dan kaki, jari tabuh (+), dan ronki (+) di basal paru. Pemeriksaan jantung didapatkan inspeksi iktus kordis terlihat; palpasi iktus kordis teraba 1 jari di ICS 6 linea aksilaris anterior, kuat angkat, dan teraba thrill; perkusi batas jantung melebar (kardiomegali); dan auskultasi terdengar suara bunyi jantung I-II tunggal, ada bising sistolik dan diastolik derajat 5 di apeks dan menjalar ke aksila. Selain itu, ada nyeri tekan (+) di regio epigastrium abdomen dan hepatomegali. Pemeriksaan laboratorium darah rutin dan kimia darah masih dalam batas normal. Sementara pada pemeriksaan EKG didapatkan fibrilasi atrium dengan rapid ventricular response.

41

V. DIAGNOSIS Diagnosis fungsional Diagnosis anatomi Diagnosis etiologi VI. TATALAKSANA Non Medikamentosa : - Tirah baring - Terapi oksigen 3 L/menit - Terapi cairan RL 10 tetes/menit - Terapi nutrisi : diet rendah garam, rendah lemak, kaya serat, membatasi asupan cairan - Edukasi untuk membatasi aktivitas berlebih, mengurangi stres fisik dan emosi Medikamentosa : - Digoxin 2 x 0,25 mg - ISDN 3 x 5 mg - Spironolactone 1 x 100 mg - Bisoprolol 1 x 10 mg - Captopril 2 x 12,5 mg - Penisilin V 2 x 200 mg - Meloksikam 1 x 15 mg Usulan Pemeriksaan Lanjutan : - Pemeriksaan laboratorium lanjutan : LED, kadar asam urat, SGOT, SGPT - Pemeriksaan titer ASTO (Anti Streptolisin-O) - Rntgen Thoraks PA - Pemeriksaan Ekokardiografi VII. PROGNOSIS Ad vitam Ad functionam Ad sanactionam : dubia ad malam : dubia ad malam : malam : Gagal Jantung Kongestif : Penyakit Katup Jantung (Penyakit Jantung Rematik) Mitral Stenosis Insufisiensi : Demam Rematik

CATATAN KEMAJUAN 42

Sabtu, 10/01/09 S O : sesak napas agak berkurang, perut terasa kembung, nyeri ulu hati susah BAB : Keadaan umum tampak sakit ringan Kesadaran kompos mentis, GCS 15 TD : 100/70 mmHg, FN : 60 x/menit, FP : 24 x/menit, suhu 36,20 C Oedema tungkai (-), sianosis (-), jari tabuh (-) Pemeriksaan jantung : - Inspeksi : iktus kordis terlihat - Palpasi : iktus kordis teraba 1 jari di ICS 6 linea aksilaris anterior, kuat angkat, thrill (+) - Perkusi : batas jantung melebar (batas jantung atas di ICS 2, batas jantung bawah di ICS 6, batas jantung kanan di linea parasternalis dextra, batas jantung kiri di linea aksilaris anterior). - Auskultasi : bunyi jantung I-II tunggal, bising sistolik dan diastolik derajat 5 terdengar di apeks dan menjalar ke aksila, gallop (-) Nyeri tekan (+) di regio epigastrium, hepatomegali A P : Penyakit Jantung Rematik-Mitral Stenosis Insufisiensi + Gagal Jantung Kongestif : - Tirah baring - Terapi oksigen 3 L/menit - Terapi cairan RL 10 tetes/menit - Diet rendah garam, rendah lemak, kaya serat, membatasi asupan cairan - Digoxin 2 x 0,25 mg - ISDN 3 x 5 mg - Spironolactone 1 x 100 mg - Bisoprolol 1 x 10 mg - Captopril 2 x 12,5 mg - Penisilin V 2 x 200 mg - Meloksikam 1 x 15 mg

43

BAB IV PEMBAHASAN Pasien datang dengan keluhan sesak napas. Dari anamnesis didapatkan bahwa keluhan ini dirasakan sudah bertahun-tahun lamanya. Sesak napas timbul ketika pasien beraktivitas ringan seperti menyapu dan berjalan. Hal ini menandakan bahwa pasien mengalami dyspnea deffort. Sesak terasa bertambah berat ketika pasien berbaring dan agak berkurang dengan duduk atau tidur dengan 2 hingga 3 bantal. Ini berarti pasien mengalami ortopneu. Pasien sering harus terbangun pada malam hari karena merasa sesak. Ini berarti pasien mengalami paroxysmal nocturnal dyspnea (PND). Pasien juga mengeluh bengkak di kedua kaki, nyeri lutut, kelemahan otot, perut terasa kembung, nyeri ulu hati, dan dada terasa berdebar-debar. Selain itu, pasien juga mengeluhkan kebiruan pada jari-jari tangan dan kaki ketika cuaca dingin. Pasien memiliki riwayat sakit maag dan menyangkal adanya sakit kencing manis dan hipertensi. Pasien juga tidak merokok. Pasien pernah menderita infeksi telinga 7 tahun yang lalu dan pernah dirawat di RS dengan katup (klep) jantung bocor pada tahun yang sama. Dari pemeriksaan fisik didapatkan oedema di kedua tungkai, sianosis di jarijari tangan dan kaki, jari tabuh, dan ronki di basal paru. Pada pemeriksaan jantung didapatkan : inspeksi iktus kordis terlihat; palpasi iktus kordis teraba 1 jari di ICS 6 44

linea aksilaris anterior, kuat angkat, dan teraba thrill; perkusi batas jantung melebar (kardiomegali); dan auskultasi terdengar suara bunyi jantung I-II tunggal, ada bising sistolik dan diastolik derajat 5 di apeks dan menjalar ke aksila. Selain itu, ada nyeri tekan di regio epigastrium abdomen dan hepatomegali. Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, dipikirkan diagnosis fungsional pada pasien ini yaitu gagal jantung kongestif. Ini dilihat dari gejala-gejala yang didapatkan dari hasil anamnesis dimana terdapat dyspnea deffort, adanya ortopneu dan paroxysmal nocturnal dyspnea (PND). Gejala-gejala tersebut merupakan gejala dari gagal jantung kiri. Gejala lainnya yang ditemukan adalah bengkak di kedua kaki. Ini merupakan salah satu gejala dari gagal jantung kanan. Pemeriksaan fisik yang mendukung gagal jantung kongestif adalah adanya ronki di basal paru, yang menandakan gagal jantung kiri dan adanya edema tungkai, kardiomegali, dan hepatomegali, yang merupakan temuan pemeriksaan fisik pada gagal jantung kanan. Diagnosis dapat ditegakkan dari kriteria Framingham yang terdiri dari kriteria mayor (paroxysmal nocturnal dyspnea / orthopnea, distensi vena leher, ronki paru, kardiomegali, edema paru akut, gallop S3, peninggian tekanan vena jugularis > 16 cm H2O, waktu sirkulasi > 25 detik, dan refluks hepatojugular) dan kriteria minor (edema ekstremitas, batuk malam hari, dyspnea deffort, hepatomegali, efusi pleura, penurunan kapasitas vital 1/3 dari normal, dan takikardia). Diagnosis gagal jantung kongestif ditegakkan jika ada 2 kriteria mayor atau minimal ada 1 kriteria mayor dan 2 kriteria minor. Dari kriteria ini pasien ini sudah dapat didiagnosis gagal jantung kongestif dimana telah terdapat 3 kriteria mayor yaitu : paroxysmal nocturnal dyspnea / orthopnea, ronki paru, dan kardiomegali, serta 3 kriteria minor yaitu edema ekstremitas, dyspnea deffort, dan hepatomegali. Gagal jantung kongestif (CHF) adalah suatu keadaan dengan jantung tidak dapat memompa darah yang mencukupi untuk kebutuhan tubuh. CHF dapat disebabkan oleh gangguan kemampuan otot jantung berkontraksi atau meningkatnya beban kerja dari jantung. CHF diikuti oleh peningkatan volume darah yang abnormal dan cairan interstisial jantung. Karena itu pembuluh vena dan kapiler umumnya melebar diisi darah. Istilah gagal jantung termasuk kongesti ke paru dengan gagal jantung kiri dan edema perifer dengan gagal jantung kanan. Penyebab dasar gagal jantung kongestif antara lain penyakit jantung arteriosklerosis, penyakit hipertensi, penyakit katup jantung, kardiomiopati yang melebar, dan penyakit jantung kongenital.

45

Diagnosis anatomi yang dipikirkan pada pasien ini adalah Penyakit Katup Jantung (Penyakit Jantung Rematik)Mitral Stenosis Insufisiensi. Hal ini berdasarkan dari hasil anamnesis dimana pasien memiliki riwayat penyakit katup (klep) jantung bocor 7 tahun yang lalu dan dari hasil pemeriksaan fisik : pada palpasi iktus kordis teraba 1 jari di ICS 6 linea aksilaris anterior, kuat angkat, dan teraba thrill; pada perkusi didapatkan pembesaran jantung serta pada auskultasi terdengar bunyi bising jantung sistolik dan diastolik derajat 5 di apeks dan menjalar ke aksila. Jantung membesar dengan impuls prekordial ventrikel kiri apeks (iktus kordis) kuat angkat, sering ada getaran (thrill) sistolik di apeks, dan bising sistolik yang terdengar di apeks menjalar ke aksila merupakan temuan-temuan pemeriksaan fisik pada insufisiensi mitral. Sementara hasil pemeriksaan fisik pada pasien yang mengarah pada stenosis mitral adalah adanya kardiomegali, iktus kordis kuat angkat, dan terdengar bunyi bising jantung diastolik. Penyakit Jantung Rematik (PJR) adalah suatu kondisi dimana terjadi kelainan pada katup jantung yang menetap, bisa berupa penyempitan atau kebocoran, sebagai akibat adanya gejala sisa dari demam reumatik akut sebelumnya, terutama mengenai katup mitral (75%), aorta (25%), jarang mengenai katup trikuspid, dan tidak pernah menyerang katup pulmonal. Penyakit jantung rematik dapat menimbulkan stenosis atau insufisiensi atau keduanya. Sementara itu, untuk diagnosis etiologi yang dipikirkan pada pasien ini adalah demam rematik. Ini berdasarkan dari hasil anamnesis dimana pasien memiliki riwayat pernah menderita infeksi telinga 7 tahun yang lalu. Saat itu, pasien mengeluhkan keluar cairan berwarna putih kekuningan seperti nanah dari telinga kanan dengan jumlah yang sedikit, tetapi keluar setiap hari. Pasien juga mengeluhkan telinga kanan berdenging, demam, sakit kepala, penurunan berat badan, dan kelemahan otot apabila berjalan jauh. Selain itu, dikeluhkan juga nyeri dan bengkak pada lutut yang berpindah-pindah (mulanya pada lutut kanan kemudian pindah ke lutut kiri). Ini berarti telah terjadi artralgia dan poliartritis migrans. Kedua kaki dirasakan bergerak sendiri (spontan) tidak terkontrol. Hal ini menandakan bahwa pasien kemungkinan mengalami khorea sydenham. Diagnosis demam rematik dapat ditegakkan dari kriteria Jones (1992) yang terdiri dari kriteria mayor (karditis, poliartritis migrans, khorea sydenham, eritema marginatum, dan nodulus subkutan) dan kriteria minor (artralgia, demam, meningkatnya LED dan atau C reactive protein, dan Interval PR memanjang). 46

Diagnosis demam rematik ditegakkan bila ditemukan 2 kriteria mayor atau 1 kriteria mayor dengan 2 kriteria minor ditambah dengan adanya bukti infeksi Streptococcus sebelumnya berupa kultur apus tenggorok yang positip atau tes antigen Streptococcus yang cepat atau titer ASTO yang meningkat. Dari kriteria ini pasien ini sudah dapat didiagnosis demam rematik dimana telah terdapat 2 kriteria mayor yaitu : poliartritis migrans dan khorea sydenham, dan 1 kriteria minor yaitu : demam. Hal ini diperkuat pula oleh pasien pernah mengalami infeksi telinga, yang diperkirakan otitis media sebelum munculnya keluhan-keluhan di atas. Demam rematik biasanya terjadi dalam jangka waktu 1-4 minggu setelah infeksi Streptococcus hemolyticus grup A misalnya tonsillitis, nasofaringitis, dan otitis media. Ini berarti, 7 tahun yang lalu pasien pernah menderita demam rematik. Demam rematik merupakan suatu penyakit sistemik yang dapat bersifat akut, subakut, kronik, atau fulminan, dan dapat terjadi setelah infeksi Streptococcus beta hemolyticus group A pada saluran nafas bagian atas, terjadi sebagai sekuele lambat radang non supuratif sistemik yang dapat melibatkan sendi, jantung, susunan saraf pusat, jaringan subkutan, dan kulit dengan frekuensi yang bervariasi. Pasien ini perlu diberikan terapi non medikamentosa berupa : tirah baring, terapi oksigen 3 L/menit, terapi cairan RL 10 tetes/menit, terapi nutrisi diet rendah garam, rendah lemak, kaya serat, membatasi asupan cairan, dan edukasi untuk membatasi aktivitas berlebih, mengurangi stres fisik dan emosi. Terapi medikamentosa yang diusulkan pada pasien ini adalah : digoxin 2 x 0,25 mg, ISDN 3 x 5 mg, spironolactone 1 x 100 mg, bisoprolol 1 x 10 mg, captopril 2 x 12,5 mg, penisilin V 2 x 200 mg, dan meloksikam 1 x 15 mg. Digoxin (digitalis) diberikan untuk meningkatkan kekuatan kontraksi jantung dan memperlambat frekuensi jantung. Digitalis diberikan bila terdapat aritmia supra-ventrikular (fibrilasi atrium atau SVT lainnya) atau gagal jantung yang tidak respon terhadap ACE-Inhibitor + -blocker + diuretik. Pada pemeriksaan EKG didapatkan fibrilasi atrium dengan rapid ventricular response, sehingga pemberian digitalis diindikasikan pada pasien ini. ISDN (isosorbid dinitrat) diberikan untuk menurunkan venous return (venodilator) sehingga menurunkan preload yang pada akhirnya dapat mengurangi edema paru.

47

Spironolactone sebagai diuretik diberikan untuk mengurangi kelebihan cairan dengan memacu ekresi natrium dan air melalui ginjal. Dipilih spironolactone yang merupakan diuretik hemat kalium untuk mencegah ekskresi kalium sehingga mengurangi terjadinya hipokalemia karena intoksikasi digitalis sangat mudah terjadi bila fungsi ginjal menurun (ureum/kreatinin meningkat) atau kadar kalium rendah (kurang dari 3.5 meq/L). Bisoprolol yang merupakan betabloker kardioselektif diberikan untuk menurunkan denyut jantung dan kontraktilitas miokard, sehingga kebutuhan oksigen miokard berkurang, disamping perfusi miokard (suplai oksigen) sedikit meningkat, karena regangan dinding jantung berkurang. Captopril yang merupakan ACE-Inhibitor diberikan sebagai vasodilator. Vasodilator menunjukkan efektivitas klinis dalam mengurangi gejala gagal jantung. ACE inhibitor nerupakan obat pilihan untuk gagal jantung kongestif dan lebih baik dari vasodilator lain. Kerja ACE inhibitor pada jantung adalah menurunkan resistensi vaskular, vena dan tekanan darah, menyebabkan peningkatan curah jantung. Penisilin V diberikan untuk mencegah serangan ulangan demam rematik, karena serangan ulangan dapat memperberat kerusakan katup-katup jantung dan dapat menyebabkan kecacatan dan kerusakan katup jantung. Meloksikam sebagai analgesik anti-inflamsi diberikan untuk mengatasi keluhan nyeri lutut pada pasien. Meloksikam yang merupakan NSAIDS COX-2 selektif diberikan untuk menghindari iritasi mukosa lambung karena pasien juga mengeluhkan nyeri ulu hati dan memiliki riwayat sakit maag. Apabila diberikan NSAID yang bukan merupakan COX-2 selektif dikhawatirkan dapat mengiritasi mukosa lambung sehingga memperparah penyakit gastritis (maag) pada pasien. Penatalaksanaan lain pada pasien dengan mitral stenosis insufisiensi adalah pembedahan terindikasi bila ada tanda-tanda klinis. Tindakan bedah yang dapat dilakukan berupa perbaikan atau penggantian katup mitral. Pemeriksaan penunjang lanjutan yang diusulkan pada pasien ini adalah pemeriksaan laboratorium lanjutan (LED, kadar asam urat, SGOT, SGPT), pemeriksaan titer ASTO (Anti Streptolisin-O), rntgen Thoraks PA, dan pemeriksaan ekokardiografi.

48

Pemeriksaan LED dilakukan untuk menilai aktivitas demam rematik karena LED akan meningkat pada penderita dengan demam rematik yang akut. Pemeriksaan kadar asam urat dilakukan untuk mengetahui apakah pada pasien terdapat hiperurisemia atau tidak. Kadar SGOT dan SGPT diperiksa untuk menilai fungsi hati, karena pada gagal jantung kongestif dimana terjadi bendungan pada hati akan menunjukkan fungsi hati yang terganggu. Pemeriksaan titer ASTO (Anti StreptolisinO) dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya infeksi kuman Streptococcus. Rntgen Thoraks PA dilakukan untuk mengetahui adanya pembesaran jantung. Ekokardiografi pada insufisiensi mitral digunakan untuk mengevaluasi gerakan katup, ketebalan serta adanya perkapuran pada aparatus mitral. Sementara ekokardiografi pada stenosis mitral diperiksa untuk menentukan derajat stenosis katup mitral, dimensi ruang-ruang jantung, ada tidaknya kelainan penyerta seperti stenosis atau regurgitasi aorta, serta ada tidaknya trombus pada atrium kiri. BAB V KESIMPULAN Demam rematik dan penyakit jantung rematik sudah lama diketahui dan dikenal dan merupakan penyebab kecacatan pada katup jantung. Penyakit ini paling sering mengenai anak pada usia sekitar 10 tahun dan dewasa muda. Penyakit jantung rematik (PJR) merupakan penyakit jantung sebagai akibat adanya sisa (sekuele) dari demam reumatik yang ditandai dengan cacatnya katup jantung. Demam rematik (DR) terjadi sebagai sekuele lambat radang non supuratif sistemik yang dapat melibatkan sendi, jantung, susunan saraf pusat, jaringan subkutan, dan kulit dengan frekuensi yang bervariasi. Pada pasien ini, masalah yang dialaminya berupa sesak napas. Didiagnosis Penyakit Jantung RematikMitral Stenosis Insufisiensi dengan Gagal Jantung Kongestif. Selama dirawat di rumah sakit, pasien perlu mendapatkan terapi non medikamentosa berupa tirah baring, terapi oksigen, terapi cairan, terapi nutrisi, dan edukasi untuk membatasi aktivitas berlebih, mengurangi stres fisik dan emosi; serta medikamentosa berupa digoxin, ISDN, spironolactone, bisoprolol, captopril, penisilin V, dan meloksikam. Rencana pemeriksaan lanjutan adalah pemeriksaan laboratorium (LED, kadar asam urat, SGOT, SGPT), pemeriksaan titer ASTO (Anti StreptolisinO), rntgen Thoraks PA, dan pemeriksaan ekokardiografi. 49

DAFTAR PUSTAKA 1. Gray, HH., Dawkins, KD., Morgan, JM., Simpson, IA. Lecture Notes Kardiologi. Alih bahasa : Azwar Agoes & Asri Dwi Rachmawati. Edisi 4. Jakarta. Penerbit Erlangga. 2005. 2. Madiyono, B. Demam Rematik dan Penyakit Jantung Rematik pada Anak di Akhir Milenium Kedua dalam Penyakit Kardiovaskular dari Pediatrik Sampai Geriatrik. Editor : Kaligis RWM., Kalim H., Yusak M., et al. Jakarta. Balai Penerbit Rumah Sakit Jantung Harapan Kita. 2001. 3. Harimurti, GM. Demam Reumatik dalam Buku Ajar Kardiologi. Editor : Lily Ismudiati Rilantono, Faisal Baraas, Santoso Karo Karo, & Poppy Surwianti Roebiono. Jakarta. Balai Penerbit FKUI. 2001. 4. Hermanu, Alif, et al. Factors Affecting School Performance in Children with Rheumatic Heart Disease. Last update 2001. Available from http://www.idai.or.id/pi/journal. 5. Meador RJ., Russel IJ., Davidson A., et al. Acute Rheumatic Fever. Available from: http://www.emedicine.com/med/topic2922.htm 6. Mycek, MJ., Harvey, RA., Champe, PC. Farmakologi Ulasan Bergambar. Alih bahasa: Azwar Agoes. Edisi 2. Jakarta. Widya Medika. 2001. 50

7. Prabowo, P. Gagal Jantung dalam Ilmu Penyakit Jantung. Editor : Boedi Soesetyo Joewono. Surabaya. Airlangga University Press. 2003. 8. Price, SA. & Wilson, LM. Patofisologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.Vol 1. Edisi 6. Alih bahasa : Brahm U. Pendit, dkk. Jakarta. EGC. 2006. 9. Remme, W.J., Wedberg, K. Guidelines for The Diagnosis and Treatment of Chronic Heart Failure: Task Force for The Diagnosis and Treatment of Chronic Heart Failure. European Heart Journal. Volume 22. Number 17. 2001. 10. Soemantri, D. & Atmoko, R. Demam Rheuma Akut dalam Ilmu Penyakit Jantung. Editor : Boedi Soesetyo Joewono. Surabaya. Airlangga University Press. 2003. 11. Stollerman GH. Rheumatic Fever As We Enter The 21st Century . Available from: http://www/rheumatic%20fever%20as%20we%20enter%20the%2021st% 20century.htm 12. Yusak, M. Stenosis Mitral dan Insufisiensi Mitral dalam Buku Ajar Kardiologi. Editor : Lily Ismudiati Rilantono, Faisal Baraas, Santoso Karo Karo, & Poppy Surwianti Roebiono. Jakarta. Balai Penerbit FKUI. 2001.

51

Anda mungkin juga menyukai