Anda di halaman 1dari 16

www.sinopaxsinica.blogspot.

com

Peran Pemimpin Reformis China dalam Keanggotaan China di


WTO

oleh: Denis L. Toruan

I. Bangkitnya China dan Rezim Internasional

Pada era Perang Dingin, rivalitas antara blok barat dan blok timur dalam berbagai
bidang begitu kuat. Contohnya saat AS bersama sekutu-sekutunya berusaha
memblokade dunia dari “bahaya komunis” yang saat itu dipimpin Uni Soviet. Dalam
tingkat internasional, ini terlihat dari berbagai doktrin AS seperti Marshall Plan
(1947), maupun rezim internasional seperti Bretton Woods (1944) yang kemudian
melahirkan International Monetary Fund (1945) dan World Bank (1944), General
Agreement on Trade and Tariff/GATT (sekarang World Trade Organization/WTO)
pada tahun 1948, Washington Consensus (1989), hingga pakta pertahanan seperti
NATO (1949). Pada dasarnya, metode-metode politis tersebut berfungsi untuk
mengamankan kepentingan AS dan sekutunya, sekaligus menghadang meluasnya
doktrin komunisme ke dunia itu. Salah satu buktinya terlihat dalam bidang ekonomi
di mana rezim WTO (berdiri 1 Januari 1995) yang kini beranggotakan atas 128 negara
anggota jelas merupakan kelompok eksklusif masyarakat internasional yang
memberikan hak-hak istimewa kepada negara-negara anggotanya seperti pembukaan
hubungan dagang antarnegara anggota, penghapusan/peminimalisasian bea masuk
impor, beserta kewajiban negara anggota berupa syarat-syarat keanggotaan yang
tentunya tidak ringan.1
Sejak tahun 1991 pascakeruntuhan Uni Soviet, struktur politik global berubah
total. Dunia sudah tidak lagi terbagi atas dominasi blok barat atau pun blok timur.
Negara-negara kapitalis dengan Amerika Serikat sebagai garda terdepannya, dalam
banyak aspek tampak berhasil ‘mengepung’ dan menyudutkan negara-negara
komunis-sosialis yang tersisa, termasuk Republik Rakyat China (RRC) tanpa kecuali.
Hal yang mengejutkan adalah bahwa Republik Rakyat China (RRC) yang sebelumnya
diramalkan bakal kolaps mengikuti jejak sekutu utamanya, Uni Soviet, justru malah

1
Martin Griffiths dan Terry O’ Callaghan, IR: The Key Concepts, (London&New York: Routledge,
2002), hlm. 338-341.

© Denis L. Toruan, November 2008 -1-


www.sinopaxsinica.blogspot.com

‘memeluk erat-erat’ rezim internasional seperti WTO yang notabene ‘rekayasa’ AS


beserta para sekutunya, dan menciptakan prestasi fenomenal di kalangan dunia
internasional. Dalam dinamikanya, China yang baru saja berhasil menjadi tuan rumah
Olimpiade Agustus 2008 lalu di Beijing dengan pembiayaan even yang terbesar
sepanjang sejarah pesta olimpiade 2 dan mengirimkan astronotnya untuk melakukan
space-walk (2008), tampak sangat ‘nyaman’ dengan keanggotaannya di berbagai
rezim internasional dengan tumpukan cadangan devisa sebesar 1,81 trilyun USD
hingga Oktober 2008,3 dan relatif aman dari krisis finansial global yang terjadi baru-
baru ini. Kontras sekali keadaannya dibandingkan AS dan negara-negara barat lain
yang sibuk menggelontorkan dan menghimpun dana dalam aksi bail-out beramai-
ramai demi menyelamatkan sistem finansialnya. 4
Dikaji dari sudut pandang teori hubungan internasional, dalam menyikapi
prestasi fenomenal China itu pertanyaan-pertanyaan kritis yang terbentuk, antara lain
adalah:
1. Bagaimana proses keterlibatan China dalam rezim internasional seperti
WTO?
2. Bagaimana China sukses mengawinkan antara kepentingan
nasional/national interest-nya dan warisan ideologi komunisme-
sosialisme oleh ketua Mao (毛泽东 Mao Zedong) 60 tahun silam?
3. Sampai sejauh mana pendekatan liberalis dapat memandang contoh
kasus China ini, terutama terkait keanggotaannya dalam WTO?
Pertanyaan-pertanyaan inilah yang menjadi landasan pembahasan makalah.

II. Sejarah Singkat Hubungan China dan WTO

Sebelumnya, perlu disepakati terlebih dahulu bahwa diksi “China” dalam praktik
sehari-harinya bersifat kontekstual. 5 Namun, dalam makalah ini sebagian besar diksi
“China” mengacu pada RRC (China daratan).
Pada tahun 1948 ketika daratan China masih dikuasai oleh Partai Nasional
China/PNC (国民党 Guomindang), hubungan antara China dan rezim internasional
2
45 milyar USD, bahkan ada yang memperkirakan mencapai 70 milyar USD lih.
http://financialexpress.com/news/beijing-olympics-have-been-most-expensive-so-far/348024
3
http://kompas.co.id/read/xml/2008/10/27/00262913/perekonomian.as.akan.makin.bergantung.ke.china
dan Kompas, 9 Oktober 2008, “Peran China Dinantikan untuk Mengatasi Krisis”, hlm. 15.
4
http://kompas.com/read/xml2008/10/08/13240127/waspada.bailout.tak.efektif.krisis.di.as.berlanjut
5
Kaum Komunis China (共产党 gongchandang) pimpinan Mao Zedong memenangkan kekuasaan
atas China daratan pada tahun 1949. Akibatnya, Partai Nasional China/PNC (国民党 guomindang)
yang saat itu dipimpin Chiang Kai-sek melarikan diri ke Pulau Formosa (Taiwan). Sejak saat itu,
keduanya mendirikan pemerintahannya masing-masing; Pimpinan Mao di China daratan, dan pimpinan
Chiang Kai-sek di Taiwan.

© Denis L. Toruan, November 2008 -2-


www.sinopaxsinica.blogspot.com

sudah dimulai. Saat itu, Republik China (ROC) yang berkiblat kepada AS terlibat
langsung dalam proses perdagangan bebas melalui pembentukan General Agreement
on Tariff and Trade (GATT) tanggal 19 Mei 1948. Sejak saat itu, era perdagangan
bebas global rekayasa AS bersama para sekutunya secara resmi telah dimulai. Peran
GATT secara resmi digantikan oleh World Trade Organization (WTO) pada tanggal 1
Januari 1995. WTO merupakan suatu rezim perdagangan global yang bernaung di
bawah Persatuan Bangsa-Bangsa/PBB yang menganut aturan perdagangan bebas yang
kurang lebih sama dengan apa yang GATT punya; Bedanya terdapat pada revisi
secara teoritis mengenai aturan-aturan baku pada badan tersebut.6
Setelah kaum komunis China merdeka pada tahun 1949, pemerintahan
Taiwan mengumumkan pengunduran diri dari keanggotaan GATT pada tanggal 5
Maret 1950. Tidak lama setelah Taiwan memisahkan diri dari pemerintahan Beijing,
Taiwan mengajukan lamaran sebagai peninjau dalam GATT. Lamaran tersebut
disetujui, namun pada tahun 1971 Taiwan dikeluarkan dari GATT karena kebijakan
PBB yang mengubah status dan kedudukan Taiwan di PBB. Alasan politis semacam
ini dilatarbelakangi oleh kepentingan PBB terhadap RRC yang memandang bahwa
pemerintahan China yang resmi adalah pemerintahan di bawah kepemimpinan PKC,
terlebih karena China adalah anggota tetap Dewan Keamanan PBB. Walaupun
Taiwan sudah dikeluarkan dari keanggotaan GATT, China belum tertarik untuk
menjadi anggota GATT, terutama akibat meletusnya Revolusi Kebudayaan (文化革
命 wenhua geming) di China pada periode 1966-1976 yang dicetuskan oleh Ketua
Mao.7
Setelah Deng Xiaoping 鄧小平 dari kubu reformis menduduki posisi puncak
pemerintahan China pada tahun 1976, China membuka dirinya terhadap dunia luar
dengan menerapkan Reformasi Pintu Terbuka (gaige kaifang). Kemudian China mulai
bergabung dengan organisasi-organisasi ekonomi internasional, seperti World Bank
International Monetary Fund (Desember 1945), dan lain-lain. Ambisi dan semangat
berapi-api China untuk meneruskan agenda gaige kaifang membuatnya semakin

6
WTO merupakan organisasi internasional dengan sistem penyelesaian sengketa yang kuat, sementara
GATT hanya kesepakatan antarpemerintah. WTO mengatur liberalisasi perdagangan produk
manufaktur, pertanian, dan jasa melalui produk hukum seperti General Agreement on Trade in Services
(GATS), Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs), dan penanaman modal melalui
Trade Related Investment Measures (TRIMs).
7
Mao Zedong mengumumkan gerakan revolusi proletariat di China. Semua akar kebudayaan China
yang umurnya ribuan tahun itu kecuali bahasa Mandarin, harus diganti total dengan kebudayaan
komunisme-sosialisme. Segala macam praktik kapitalisme diharamkan di daratan China.

© Denis L. Toruan, November 2008 -3-


www.sinopaxsinica.blogspot.com

terdorong untuk bergabung kembali dengan GATT. Oleh karena itu, pada tahun 1980
China mengajukan diri sebagai anggota peninjau GATT. Lamaran tersebut baru
disetujui dua tahun sesudahnya.
Pada tahun 1986, RRC mengajukan lamaran diri sebagai anggota penuh
GATT. Sebagai langkah awal, kedua pihak (China dan GATT) menyiapkan beberapa
hal. RRC menyerahkan memorandum tentang kondisi perdagangannya. GATT sendiri
pada tahun 1987 membentuk kelompok kerja untuk China yang bertugas meneliti
perdagangannya dan menyusun aturan-aturan protokol mengenai hak-hak dan
kewajiban China dalam GATT. Akan tetapi, semua persiapan yang telah dibangun
oleh kedua pihak selama kurang lebih tiga tahun menjadi mubazir karena terjadi
peristiwa Tian’anmen pada tanggal 4 Juni 1989.8
Pada tahun-tahun setelah 1992, sistem perekonomian dan pembangunan
nasional China sekali lagi mengalami banyak pembaharuan, terlebih setelah adanya
9
peristiwa bersejarah yang dikenang rakyat China sebagai “ucapan nanxun”.
Gebrakan Deng ini mengakibatkan perubahan drastis dalam sistem perdagangan dan
permodalan China. Perdagangan luar negeri mengalami peningkatan yang signifikan.
Hal serupa juga dirasakan pada sektor investasi asing (Foreign Direct
Investment/FDI). Dengan pembaharuan sistem perekonomiannya tersebut, China aktif
kembali dalam mengajukan lamaran keanggotaan GATT.
Pada tanggal 1 Januari 1995 WTO menggantikan peran GATT. Secara
otomatis, kelompok kerja untuk China saat itu berada di bawah naungan WTO.
Kelompok kerja inilah yang mengeluarkan beberapa persyaratan untuk China terkait
proses integrasinya dengan WTO.10

8
Pemerintah China meredakan demonstrasi prodemokrasi besar-besaran, korban sipil yang berjatuhan
lebih dari 1.000 orang. Peristiwa ini membuat China dikucilkan oleh masyarakat internasional. Salah
satu eksesnya, permohonan China untuk menjadi anggota penuh GATT ditolak. Salah satu literatur
yang secara ‘gamblang’ membahas peristiwa ini lih. Michael Fathers dan Robert Cottrell, Pembantaian
Tian’anmen – (terjemahan), (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1990).
9
‘Ucapan perjalanan ke selatan’: Gebrakan Deng Xiaoping dalam meneruskan program gaige kaifang
ketika politik domestik China stagnan dan ada tendensi bahwa China kembali dipegang oleh kubu
konservatif. Teori Deng yang dikenal sebagai “Deng Xiaoping lilun” menegaskan kembali
pembaharuan China, dan disahkan dalam Kongres PKC XIV (Oktober 1992) sebagai landasan
pembangunan China moderen.
10
Persyaratan itu antara lain, seperti transparansi menyeluruh dalam aturan perdagangan, penjadwalan
pasti atas rencana penurunan hambatan tarif, perlakuan yang sama atas produk domestik dan produk
luar negeri, penghapusan sistem penetapan harga oleh negara, penjadwalan atas penghapusan subsidi
industri, adanya mekanisme perlindungan bagi negara anggota WTO terhadap perubahan drastis ekspor
RRC, menunjukkan kemampuan memenuhi persyaratan WTO secara menyeluruh dan merata ke
seluruh wilayah RRC sehingga wilayah pedalaman sama terbukanya dengan Wilayah Ekonomi Khusus,
perlindungan HAKI, dll.

© Denis L. Toruan, November 2008 -4-


www.sinopaxsinica.blogspot.com

China merasa persyaratan-persyaratan tersebut terlalu berat baginya sehingga


mulai kehilangan gairah untuk bergabung dengan WTO, bahkan sempat
mengumumkan tidak ingin lagi melakukan perundingan bilateral dengan WTO.
Namun, semua hal tadi mulai berubah sejak berakhirnya Perang Dingin. Amerika
Serikat menyatakan akan mendukung lamaran RRC sebagai anggota WTO. Dari segi
ekonomis, hal ini dilakukan AS dengan pertimbangan rasional bahwa China
merupakan pasar yang sangat besar (seperlima penduduk dunia) dan sangat potensial
bagi bermacam-macam produk barang dan jasanya. Akhirnya setelah melalui berbagai
perundingan yang alot, pada tanggal 17 September 2001 WTO menyetujui
permohonan keanggotaan RRC dalam WTO. Setelah itu, pada saat konferensi Menteri
WTO di Doha, Qatar tanggal 10 November 2001, perjanjian antara China dan WTO
diresmikan. Dan sebulan setelah itu, tepatnya tanggal 11 Desember 2001, China
dinyatakan secara resmi sebagai salah satu negara anggota WTO.

III. Latar Belakang dan Tujuan China Menjadi Anggota WTO

Pada awalnya, pertimbangan dan tujuan China menjadi anggota WTO adalah alasan
ekonomis semata, yakni sebagai wahana untuk mencapai akselerasi industrialisasi dan
pertumbuhan ekonomi. China menginginkan pembukaan pasar global sehingga
produk-produk ekspornya bisa masuk dan sekaligus investasi asing bisa
menggairahkan perekonomian negara yang dikatakan berada pada tahap awal
sosialisme itu.11 Beberapa tujuan konkret China atas keanggotaannya di WTO, antara
lain:
1. Mempermudah ekspor Cina ke negara-negara anggota WTO lainnya,
terutama pasar AS dan Uni Eropa;
2. Menghapus batasan perdagangan dan memperluas akses pasar bagi barang-
barang domestik dan luar negeri;
3. Mencapai industrialisasi secara cepat (revolusi industri) dan alih teknologi
negara maju;
4. Meningkatkan pendapatan dalam negeri dari sektor ekspor dan investasi
asing (Foreign Direct Investment/FDI); dan
5. Memperoleh prestise di mata dunia internasional.

11
Wacana “shehui zhuyi chuji jieduan” atau “sosialisme pada tahap awal” dikemukakan dalam
Konggres PKC XIII (1987) untuk mengakomodasi kemacetan ideologis kaum konservatif dan reformis
China dalam membangun China moderen.

© Denis L. Toruan, November 2008 -5-


www.sinopaxsinica.blogspot.com

Khusus mengenai poin kelima ini, meminjam istilah yang dikemukakan


sinolog I. Wibowo, China juga akan menikmati “keuntungan kasat mata/intangible
benefits” melalui jalur keanggotaan WTO. 12
Berikut beberapa keuntungan konkret yang sudah dinikmati China setelah
bergabung dengan WTO, antara lain:13
1. Hingga tahun 2002, China memiliki hubungan dagang bebas dengan 127
negara anggota WTO lainnya;
2. Peningkatan industrialisasi China dan alih teknologi tingkat tinggi
berhubung semaking terbukanya investasi asing;
3. Penghargaan yang semakin tinggi terhadap hak kekayaan intelektual
(HAKI), hak paten produk/trademark, dll sehingga rakyat China bisa
lebih kreatif, inovatif, dan berkompetisi secara sehat dalam sistem yang
melindungi karyanya;
4. Otoritas dan rakyat China di satu sisi diuntungkan oleh pemasukan
berbagai jenis pajak baru dan arus investasi asing yang masuk;
5. Semakin meningkatkan sumber daya manusia (SDM) rakyat China, dan
lain-lain.

IV. Mengkaji Kesuksesan China dalam Rezim Internasional

WTO merupakan salah satu rezim internasional yang dituding negatif oleh banyak
pihak karena terlalu menguntungkan kepentingan negara-negara maju, dan merugikan
negara-negara berkembang yang mayoritas ‘gagap’ berkompetisi karena kalah
bersaing dalam hal modal, teknologi, arus informasi, lintas jasa, SDM, dan lain-lain.14
Tidak hanya itu, pada pandangan ekstrem rezim-rezim global seperti IMF dan World
Bank dianggap sebagai ‘serigala berbulu domba’ yang cenderung membuka dunia
ketiga demi kepentingan negara-negara maju, daripada tujuan dasarnya mengurangi
tingkat kemiskinan global.15 Namun, kartu ini ternyata berhasil dimainkan China, dan

12
I. Wibowo, Belajar dari China, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2004), hlm. 63. Maksud dari
pernyataan ini adalah China percaya bahwa prestise negaranya akan naik di mata internasional dan
memperkuat legitimasinya baik di dalam negeri maupun di luar negeri, terutama dalam kerangka
persaingannya dengan Taiwan dan dengan kubu konservatif di dalam pemerintahan internalnya.
13
Diolah dari Laurence J. Brahm, China After WTO, (Beijing: Intercontinental Press, 2002).
14
Lih. Hira Jhamtani, WTO dan Penjajahan Kembali Dunia Ketiga, (Yogyakarta: Insistpress, 2005),
terutama Bab II: Pertarungan Tak Seimbang.
15
Martin Griffiths dan Terry O’Callaghan, op.cit., hlm. 334.

© Denis L. Toruan, November 2008 -6-


www.sinopaxsinica.blogspot.com

China tidak ‘tenggelam’ dalam alur permainan rezim WTO. Sejauh mana teori HI
dapat memandang fenomena ini?
Pada dasarnya, menurut hemat saya keberhasilan China dalam memanfaatkan
tantangan globalisasi setidaknya dapat dipandang dalam dua pendekatan, yaitu:
1. Menurut pendekatan liberalis; dan
2. Peran kubu reformis dalam decision-making Partai Komunis China.

IV.I. Perspektif Liberalis dalam Memandang China dan WTO

Definisi “rezim”, antara lain:


 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang dimaksud dengan “rezim”
adalah tata pemerintahan negara; pemerintahan yg berkuasa.16
 Sedangkan, dalam bidang politik rezim berarti bentuk pemerintahan;
seperangkat aturan, norma-norma sosial atau kebudayaan yang mengatur
jalannya suatu pemerintahan dan interaksinya dengan masyarakat.
 Dalam studi Hubungan Internasional ada satu pendekatan utama terkait rezim
ini, yakni pendekatan liberalis. Menurut tradisi liberalis, contohnya seperti
yang dikemukakan Robert Keohane, rezim/institusionalisasi yang dilandasi
oleh kerja sama adalah “Institutions possesing norms, decision rules, and
decisionmaking procedures which facilitate a convergence of expectations.”17

Tabel 1
Pandangan dasar tradisi pluralisme/liberalisme dalam Teori Hubungan Internasional
No. Dasar asumsi Perspektif Liberalisme/Pluralisme
1. Unit analisis Aktor negara dan aktor nonnegara sama pentingnya
2. Cara pandang aktor Aktor negara dipecah ke dalam beberapa komponen, beberapa di
antaranya dapat bertindak secara transnasional
3. Dinamika perilaku aktor Pembuatan kebijakan luar negeri dan proses-proses transnasional
melibatkan konflik, tawar-menawar, koalisi, dan kompromi
4. Isu utama Sosial ekonomi, tingkat kesejahteraan, dll yang dianggap lebih penting
daripada isu keamanan nasional semata
Sumber: Paul R. Viotti dan Mark V. Kauppi, International Relations Theory: Realism, Pluralism,
Globalism, (New York: Macmillan Publishing Company, 1993), hlm. 10.

16
Hasan Alwi (pemimpin tim redaksi), Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2002),
hlm. 954.
17
Robert O. Keohane, After Hegemony: Cooperation and Discord in the World Political Economy,
(United Kingdom: Princeton University Press, 1984), hlm. 59.

© Denis L. Toruan, November 2008 -7-


www.sinopaxsinica.blogspot.com

Seperti yang dijabarkan Keohane, pendekatan liberalis dalam memandang


rezim menekankan tentang pentingnya keberadaan rezim/institusi (di luar aktor
negara) yang dapat memengaruhi aktor negara/aktor-aktor internasional lainnya
(perspektif negara/state sebagai nonsatu-kesatuan aktor/non-unitary unit yang bisa
dipecah). Asumsi dasarnya adalah bahwa bentuk kerja sama antarnegara merupakan
norma/etika/value yang mendasari pencapaian kepentingan/national interest-nya.
Dapat dikatakan, rezim menurut perspektif liberalis adalah bentuk kerja sama
internasional.
Sesuai dengan definisi dasarnya, rezim mencakup berbagai bentuk isu
internasional, dan biasanya satu rezim terfokus pada satu isu tertentu dengan anggota-
anggota yang tidak hanya terdiri dari negara.
Berangkat dari pendekatan interest-based liberalis, dalam konteks ini
dikatakan bahwa WTO bisa berjalan tanpa satu kekuatan hegemon tertentu sebab
terdapat “convergence of expectations” atau yang saya interpretasikan sebagai
“ekspektasi/harapan dari masing-masing konstituen rezim yang terkumpul dalam satu
wadah pertemuan”. WTO sebagai rezim memfasilitasi kerja sama dengan
menciptakan standar-standar tertentu bagi para anggotanya. Ketika semua anggota
negara berharap agar partisipan lain bekerja sama maka kemungkinan melangsungkan
kerja sama secara konstan dapat terus meningkat. Jadi, tidak sepenuhnya benar
dikatakan bahwa konflik adalah dasar dari sistem anarki dunia yang diyakini oleh
kaum realis. Kaum neoliberal sendiri mengatakan bahwa para realis mengabaikan
suatu tahap di mana negara-negara bersedia berbagi kepentingannya dengan negara
lain, dan memiliki sifat hubungan/interaksi internasional yang dilakukannya berulang-
ulang kali.
Terkhusus mengenai kesuksesan China dalam rezim internasional, pendekatan
liberalis dalam teori rezim merupakan salah satu kunci dalam menjelaskan
kepragmatisan China. China sebagai aktor negara tidak menyangkal adanya bentuk
kerja sama internasional, terutama dalam bidang ekonomi, bahkan dengan rezim
terdiktator di dunia sekalipun, seperti beberapa negara di Afrika.18 Hal ini yang tidak
akan dilanggar oleh perusahaan multinasional (MNC) AS atau Uni Eropa ‘seliberal’
apa pun. Negara-negara barat, terutama AS sangat kegerahan dengan politik luar
negeri nasionalis-pragmatis China itu. Berkali-kali presiden Hu Jintao mengelak dari

18
China bahkan dituding melakukan praktik neoimperialisme di Afrika lih. Peter Navarro, Letupan-
Letupan Perang China Mendatang, (Jakarta: Elex Media Komputindo, 2008), hlm. 95-110.

© Denis L. Toruan, November 2008 -8-


www.sinopaxsinica.blogspot.com

tudingan-tudingan negatif dengan mengeluarkan jargon-jargon seperti “Tanpa syarat


politik apa pun, murni kepentingan bisnis” hingga jargon “hexie shijie atau hexie
shehui (masyarakat dunia yang harmonis)”. Agen-agen pembangun ekonomi China
tersebar ke seluruh dunia, seringkali tanpa pandang bulu latar belakang mitra
bisnisnya. Mereka tidak terlalu ambil pusing dengan embel-embel seperti
“demokrasi” yang diusung AS selama ini. Semangat pragmatis China dalam mengejar
kekayaan dan kemuliaan (termasuk prestise di mata internasional) terpatri dalam-
dalam di hati rakyat China.
Sebenarnya, pengadopsian ideologi dan sistem yang serba baru ini sudah
tercermin dari tiga ujaran populer oleh Deng Xiaoping sejak dua dekade lalu, yaitu
“sosialisme tidak berarti kemiskinan, sosialisme justru melenyapkan kemiskinan”,
“tidak peduli kucing hitam atau putih, selama dia bisa menangkap tikus”, dan “zhi fu
shi guangrong (menjadi kaya itu mulia)”. Dengan dasar-dasar fundamental itu, arah
politik domestik dan internasional China kemudian berubah total, khususnya setelah
tahun 1978. Dalam dinamikanya, di satu sisi pemerintah China tetap memegang
kontrol makro (hongguan tiaokong) dan membangun kerja sama internasional dengan
siapa saja yang penting bagi national interest-nya, dan di satu sisi menghalalkan
(bahkan mendorong) praktik kapitalisme di negaranya. 19
Contoh konkret lain dapat kita lihat ketika China merapatkan kerja sama
bilateral secara ekonomi dengan Taiwan. Tanggal 3 November 2008 akan dikenang
sebagai hari yang bersejarah bagi rakyat China dan Taiwan ketika Chen Yunlin dan
Ma Ying-jeou untuk kali pertama bertemu secara diplomatik setelah sejarah 60 tahun
yang kelam bagi hubungan bilateral kedua negara.20 Pada hari itu juga, China dan
Taiwan sepakat untuk tidak membicarakan isu politik, dan membuka kerja sama
ekonomi seperti penambahan jalur penerbangan reguler, layanan pos langsung,
penerbangan kargo langsung, isu keamanan produk pangan, hubungan perkapalan, dll.
Akan tetapi, pendekatan liberalis dalam konteks ini bukan tanpa kelemahan.
Pemerintah China adalah aktor negara/state actor yang sangat dominan dalam hampir
semua aspek. Bahkan semua perusahaan multinasional (mayoritas adalah BUMN)
yang menjadi ujung tombak dan agen pembangunan ekonomi bukan milik swasta

19
I. Wibowo, op.cit., terutama Bab III: China Sudah Berubah Menjadi Kapitalis?
20
Untuk kali pertama dalam sejarah moderen, para petinggi terkemuka China dan Taiwan bertemu, dan
menandatangani perjanjian di bidang ekonomi, lih.
http://kompas.co.id/read/xml/2008/11/0313093357/china-taiwan.akhirnya.berunding

© Denis L. Toruan, November 2008 -9-


www.sinopaxsinica.blogspot.com

(dikendalikan secara ketat oleh negara).21 Pendekatan liberalis dalam teori rezim dan
cara memandang kesuksesan China hanya terletak pada kemampuannya untuk
menjelaskan indikator kepragmatisan China dalam memperjuangkan national
interest-nya, serta variabel penjelas dalam perspektif liberalis yang memecah otoritas
China menjadi beberapa unit yang dapat dipengaruhi pihak-pihak lain. Dalam
konteks kesejarahannya, ada tendensi bahwa China melawan kekuatan barat dengan
ala barat juga, sesuatu yang sudah lazim terjadi bahkan sejak sistem dinasti/kekaisaran
China tumbang.22
Apabila ditanyakan, apakah benar bahwa rezim itu (WTO) memengaruhi
otoritas China? Jawaban saya adalah iya. Tapi hingga sejauh mana? Perlu
digarisbawahi bahwa terdapat derajat kepentingan tertentu antara rezim internasional
dan state ini. Bagi China, seperti yang telah saya kemukakan sebelumnya, WTO
hanya sebatas kendaraan yang memfasilitasi politik luar negeri dan national interest-
nya. China mungkin bersedia tunduk pada standar-standar yang ditetapkan WTO, tapi
China yang hingga saat ini dianggap tidak patuh penuh kepada WTO (uneven and
incomplete),23 ternyata memiliki ambisi sendiri untuk mengubah rezim WTO ‘dari
dalam’ sesuai dengan kepentingan China. China yang ditekan oleh anggota WTO lain,
terutama AS, tidak akan-akan terburu-buru ‘taat’ pada tekanan AS atau negara mana
pun. Bukan tidak mungkin, China yang kekuatan ekonominya semakin meraksasa dari
waktu ke waktu dapat merapatkan barisan negara-negara berkembang dalam
memengaruhi pembuatan pasal-pasal WTO yang selama ini selalu didikte oleh
negara-negara maju.24
Sedangkan bagi WTO yang dengan catatan didominasi oleh negara-negara
maju (AS, Uni Eropa, dan Jepang), pertimbangan awal memasukkan China ke dalam
keanggotaan WTO adalah agar mereka dapat menikmati barang-barang ekspor China
yang sangat murah dan juga, potensi konsumen China yang jumlahnya masif itu akan
gencar membeli produk-produk impor. Para investor asing juga mengincar

21
China masih menerapkan sistem “dua kendali” dalam perusahaan-perusahaan yang berskala besar,
maksudnya CEO perusahaan adalah juga sekaligus sebagai sekretaris PKC. Pembangunan ekonomi
China juga didominasi oleh BUMN China. Penjelasan lebih mendalam lih. Yuan Wang dan Rob
Goodfellow dan Xin Shengzhang, Menembus Pasar Cina, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia,
2000), hlm. 86-87.
22
Kaum nasionalis China yang dipimpin Sun Yat-sen berhasil menumbangkan sistem monarki, dan
diubah dengan sistem republik konstitusional (1911).
23
Untuk penjelasan lebih lanjut lih., “The One-Two Punch”, Far Eastern Economic Review (2 Oktober
2003), hlm. 26-28.
24
I. Wibowo, op.cit., hlm. 76-78.

© Denis L. Toruan, November 2008 -10-


www.sinopaxsinica.blogspot.com

kemungkinan memproduksi produk-produk low-cost di dalam China yang dapat


diekspor dan dibuang ke pasar domestik. Dari segi politis, pemerintah asing memiliki
motif tersendiri atas keanggotaan China di WTO. Mereka berharap bahwa dengan
mengintegrasikan China ke dalam rezim perdagangan secara formal dan juga rezim
investasi, China akan duduk pada landasan yang sama sehingga aneka
pertikaian/persengketaan dapat diselesaikan dengan mudah. Kecuali itu, China akan
didorong untuk menjalankan sistem undang-undang ekonomi yang lebih transparan.
Amerika Serikat, secara khusus, berharap bahwa dengan integrasi China ke dalam
ekonomi dunia, China juga akan mengalami perubahan dalam sistem politiknya.
Keterbukaan ekonomi akan mendukung lahirnya demokrasi. Demikian kira-kira alur
argumen mereka. 25

IV.II. Peran Kubu Reformis dalam Pembangunan China Moderen

Kaum reformis dalam Partai Komunis China memainkan peranan penting terkait
semangat kapitalisme China, dan pada akhirnya berujung ke proses integrasi China ke
masyarakat internasional.
Dalam sejarah China kontemporer, pionir terkemuka dari kubu reformis
adalah Deng Xiaoping (1904-1997). Deng sukses duduk di puncak panggung
kekuasaan China setelah berhasil meyakinkan Politibiro PKC sekaligus rakyat China
dengan agenda-agenda pembaharuannya, tapi tetap memegang dasar-dasar dan
pedoman komunisme-sosialisme. Meskipun hingga sekarang selalu timbul perdebatan
panas di antara para petinggi PKC dan para sinolog tentang keabsahan ideologi
komunis-sosialis China, contoh konkret seperti kendali ekonomi nasional makro
(hongguan taikong) yang masih digunakan China merupakan salah satu dari segelintir
warisan komunis-sosialis bagi China moderen.

25
Margaret M. Pearson, “China’s Integration into the International Trade and Invesment Regime”, dlm.
Elizabeth Economy dan Michel Oksenberg (eds.), China Joins the World (New York: Council on
Foreign Relations Press, 1999), hlm. 166.

© Denis L. Toruan, November 2008 -11-


www.sinopaxsinica.blogspot.com

Tabel 2
26
Evolusi Ideologi China 1978-2003
Periode Dasar ideologi dan dinamikanya
1978-1987 Komunisme
1987 Konggres XIII mengesahkan “sosialisme tahap awal”
1992 Konggres XIV mengesahkan “Teori Deng Xiaoping”
1993 Sidang pleno III, “ekonomi pasar sosialis”
1997 Konggres XV: “Sosialisme tahap awal” ditegaskan sekali lagi
1999 Amandemen Pasal 11, UUD 1982, mengakui hak milik swasta

Kubu reformis China yang diprakarsai Deng itu merupakan para pemikir dan
penggiat utama dari nafas baru China. Perjalanan kubu reformis dalam meyakinkan
Politbiro PKC dan rakyat China tidaklah mulus. Deng, misalnya, pernah mengalami
proses ‘pembelajaran kembali nilai-nilai komunis-sosialis’ (dikucilkan ke desa
pedalaman selama bertahun-tahun) karena dianggap terlalu ‘kapitalis’ oleh ketua Mao
(Mao Zedong). Setelah Mao mangkat, Deng kembali ke jajaran PKC, dan berhasil
mengubah pendirian Partai dengan dalil-dalil yang dikembangkan oleh Mao
sebelumnya.27
Berangkat dari dasar pembangunan ekonomi, para reformis China kemudian
secara bertahap ‘memodifikasi’ dasar ideologis negara, Deng meletakkan landasan
bagi pembangunan China moderen. Ini dapat dilihat dari tabel tentang ringkasan
evolusi sistem ekonomi China yang terkenal itu:

Tabel 3
Evolusi Sistem Ekonomi China
Periode Sistem Ekonomi
1978-1979 Ekonomi terencana
1979-1984 Ekonomi terencana didampingi dengan regulasi pasar
1984-1987 Ekonomi komoditas terencana
1987-1989 Ekonomi di mana negara mengatur pasar dan pasar mengatur perusahaan
1989-1991 Ekonomi dengan integrasi organis antara ekonomi terencana dan regulasi pasar
1992 Ekonomi pasar sosialis dengan ciri khas China
1994 Reformasi di bidang hak milik (property rights)
Sumber: Fan Gang, “Reform and Development: the Dual-Transformation of China,” dlm. Pamela C.M.
Mar dan Frank-Jurgen Richter, China: Enabling A New Era of Changes (Singapore: John Wiley&Sons,
2003), hlm. 37.

26
Dikutip dari I. Wibowo, op.cit., hlm. 83.
27
Deng mendorong perubahan China dengan meminjam kata-kata ketua Mao, yakni “shi shi qiu shi”
(mencari kebenaran dari fakta). Dalam konteks reformasi saat itu, Deng mendorong rakyat China dan
para kader partai untuk mencari “kebenaran”, bukan mencari ideologi atau dogma-dogma partai semata.

© Denis L. Toruan, November 2008 -12-


www.sinopaxsinica.blogspot.com

Terkhusus mengenai keanggotaan China dalam rezim WTO, kubu reformis


yang beberapa tahun silam dipimpin mantan presiden Jiang Zemin (periode 1989-
2002) memakai “kartu WTO” untuk menekan kelompok lawan “konservatif”. Dengan
memakai tekanan dari luar, mereka berharap dapat mendorong diterapkannya
ekonomi pasar secara lebih konsisten di China. 28
Setelah menelaah unit pemerintahan China, saya akan beranjak ke dalam
analisis isu. Para ideolog dan decision-maker PKC masa pascaDeng menyandarkan
diri pada teori pembangunan yang menekankan pertumbuhan ekonomi (economic
growth) yang sangat populer di seluruh dunia saat ini. Pemimpin China, termasuk
mantan PM Zhu Rongji (periode 1998-2003) terus-menerus menekankan
pertumbuhan ekonomi sebesar 7% sebagai patokan yang tidak boleh diubah-ubah. Ini
dikemas dalam sebuah konsep “xiao kang” yang tidak lain adalah konsep
pembangunan atas dasar pertumbuhan ekonomi. 29
Teori economic growth merupakan teori yang dikritik banyak pihak seperti
kaum sosialis dan environmentalist karena sifatnya yang sangat destruktif. Apa yang
membuat para petinggi China menganut jalan ini, dan terutama dalam konteks
makalah ini bergabung dengan WTO? Seperti yang dikemukakan I. Wibowo dalam
bukunya, pilihan China tersebut erat kaitannya dengan tren dunia kini, yaitu economic
legitimation. Kegagalan dan kesuksesan sebuah pemerintahan di mana-mana diukur
dengan berhasil-tidaknya pemerintah itu berhasil membawa kemakmuran material
kepada rakyatnya. Hanya pemerintah yang mampu memakmurkan rakyatnya yang
mendapatkan legitimasi. Hal ini tidak hanya berlaku di negara-negara maju (Eropa,
Jepang, AS), tetapi juga di negara-negara yang sedang berkembang (Thirld World
Countries). Pemerintah negara-negara dunia berusaha mati-matian mendatangkan
kemakmuran material kepada rakyatnya sebagai dasar legitimasinya.30 Dengan kata
lain, pendekatan liberalis dalam memahami developmental state ala China sudah tepat
tentang pentingnya isu ekonomi dalam pengkajian kepentingan nasional, di samping
peran isu keamanan strategis semata.
Hanya saja, pendekatan ini bukanlah tanpa celah atau kelemahan. Dengan
adanya krisis finansial global seperti sekarang, superstruktur teori Hubungan
28
I. Wibowo, op.cit., hlm. 74.
29
Hal ini ditegaskan lagi dalam Konggres Nasional Partai Komunis XVI, November 2002. Sebagai
ikhtisar, lih. John Wong, “Xiao-kang: Deng Xiaoping’s Socio-economic Development Target for
China,” dlm. Journal of Contemporary China, Vol. 7, No. 17 (Maret 1998), hlm. 141-152.
30
Gabungan argumen pribadi I. Wibowo, op.cit., hlm. 167-170 dengan tema economic legitimation
yang dibahas dalam Juergen Habermas, Legitimation Crisis (London: Heinemann, 1976).

© Denis L. Toruan, November 2008 -13-


www.sinopaxsinica.blogspot.com

Internasional (dalam hal ini pendekatan liberalis) sedang diuji keabsahannya.


Pendekatan liberalis yang sebagian besar diadopsi dan diaplikasikan melalui praktik
neoliberalisme menghadapi tantangan baru di mana segenap aktor yang terlibat di
dalamnya harus menyesuaikan koordinasi antara peran negara dan tentunya,
mekanisme pasar itu sendiri. Dalam konteks China, tidak tertutup kemungkinan
bahwa konsep “sosialisme yang bercirikan China” itu kemudian
dirombak/disesuaikan lagi. Rezim WTO pun sedang menghadapi tantangan baru.
Peran negara-negara berkembang dalam level rezim internasional semakin menguat.
Tidak cukup hanya negara-negara maju yang aktif berperan dan mendominasi
sistem.31

V. Kesuksesan Pemimpin Reformis China

Setelah lama terkungkung oleh ketakutan akan “bahaya kapitalisme” seperti yang
didoktrinkan oleh dalil-dalil komunisme-sosialisme, periode pasca gaige kaifang
membuat rakyat China menjelma menjadi rakyat yang mengejar kemuliaan dan
keagungan di semua lini, baik dalam lingkup domestiknya, maupun di kancah
internasional. Para decision-makers China yang didominasi kaum reformis, setali tiga
uang. Kebijakan-kebijakan yang diambil pun seringkali menyimbolkan semangat
kapitalisme China. Salah satunya dengan masuk ke dalam WTO.
Keanggotaan China di WTO merupakan salah satu proses integrasi
internasionalisasi China yang bersejarah dan monumental, baik bagi masyarakat
internasional maupun rakyat China sendiri. Dinamika keanggotaan China dalam WTO
seringkali diwarnai oleh tekanan internasional (terutama AS) karena China belum
sepenuhnya tuntuk pada standar-standar WTO, dan China diyakini memiliki
ambisi/motif sendiri terkait keanggotaannya itu. Aspek-aspek tersebut tentu sangat
menarik untuk kita cermati. Saat ini China justru merengkuh globalisasi dengan
semangat kapitalismenya. Seperti yang ditandaskan I. Wibowo dalam bukunya,
budaya komunisme-sosialisme dengan segala ciri altruistiknya sudah hampir
terlupakan oleh rakyat China. Kini, semangat nasionalisme China dibangun atas dasar

31
Peran negara-negara berkembang dalam penanganan isu-isu internasional semakin signifikan dan
krusial, salah satunya, lih. Kompas, 12 Oktober 2008, “Presiden Bush Akan Ajak G-20”, hlm. 1 dan 15,
atau lih. Kompas, 9 Oktober 2008, “Peran China Dinantikan untuk Menghadapi Krisis’, hlm 1 dan 15.

© Denis L. Toruan, November 2008 -14-


www.sinopaxsinica.blogspot.com

lain yang sangat sensitif bagi mereka pada tahun-tahun silam, yakni mengejar
keagungan yang pada praktiknya adalah kapitalisme (terkontrol).32
Keadaan menjadi semakin kompleks akibat krisis finansial global yang terjadi
belakangan ini. “Washington Consensus” yang selama ini diusung Amerika Serikat
justru mengisyaratkan akan adaya koreksi atas mekanisme pasar kapitalis-liberal yang
selama ini berjalan ‘terlalu liberal’. Bagi kubu China yang masih menjalankan konsep
developmental state, ini adalah sinyal positif bagi keberhasilan kaum reformis China
dalam menjalankan agenda reformasinya.

32
I. Wibowo, op.cit., terutama bab V: “Kapitalisme atau Sosialisme” , hlm. 78-91.

© Denis L. Toruan, November 2008 -15-


www.sinopaxsinica.blogspot.com

DAFTAR PUSTAKA

Bacaan Primer
Brahm, Laurence J. - (ed). China After WTO. Beijing: China Intercontinental Press.
(2002).
Brahm, Laurence J. China’s Century: The Awakening of the Next Economy
Powerhouse. Singapore: John Wiley&Sons. (2001).
Far Eastern Economic Review. (Oktober 2003).
Jhamtani, Hira. WTO dan Penjajahan Kembali Dunia Ketiga. Yogyakarta: Insistpress.
(2005).
Journal of Contemporary China, Vol. 7, No. 17. (Maret 1998).
Keohane, Robert. O. After Hegemony: Cooperation and Discord in the World
Political Economy. United Kingdom: Princeton University Press. (1985).
Li, Cheng. China’s Leaders: The New Generation. Oxford: Rowman&Littlefield Pub.
(2001).
Mar, Pamela C.M. dan Richter, Frank-Jurgen. China: Enabling A New Era of
Changes. Singapore: John Wiley&Sons. (2003).
Panitchpakdi, Supachai dan Clifford, Mark L. China and the WTO. Singapura: John
Wiley&Sons. (2002).
Pearson, Margareth M. China Joins the World. New York: Concil on Foreign
Relations Press. (1999).
Viotti, Paul. R. dan Kauppi, Mark V. International Relations Theory: Realism,
Pluralism, Globalism - 2nd ed. New York: Macmillan Publishing. (1993).

Bacaan Sekunder
Alwi, Hasan (pemimpin tim redaksi). Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai
Pustaka. (2002).
Fathers. Michael dan Cottrell, Robert. Pembantaian Tian’anmen – (terjemahan).
Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. (1990).
Fishman, Ted C. China Inc. - (terjemahan). Jakarta: Elex Media Komputindo. (2006).
Griffiths, Martin dan Callaghan, Terry O’. IR: The Key Concepts. London&New York:
Routledge. (2002).
Lam, N. Mark dan Graham, John L. China Now – (terjemahan). Jakarta Elex Media
Komputindo. (2007).
Moore, Mike. A World Without Walls: Freedom, Development, Free Trade and
Global Governance. Cambridge University Press. Cambridge: 2003.
Navarro, Peter. Letupan-Letupan Perang China Mendatang – (terjemahan). Jakarta:
Elex Media Komputindo. (2008).
Yuan, Wang dan Goodfellow, Rob dan Xin, Shengzhang. Menembus Pasar Cina –
(terjemahan). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. (2000).

Pustaka Web
http://www.kompas.com
http://www.wto.org
http://www.gov.cn.en

© Denis L. Toruan, November 2008 -16-

Anda mungkin juga menyukai