Anda di halaman 1dari 13

Seksio Sesarea Seksio sesarea adalah suatu tindakan untuk melahirkan janin dengan pembedahan dinding perut (laparatomi)

dan dinding uterus (histerotomi). Definisi ini tidak termasuk pengangkatan fetus dari dalam rongga abdomen pada kasus-kasus ruptura uteri atau pada kasus kehamilan abdominal. Dewasa ini tindakan ini jauh lebih aman dari pada dahulu berhubung sudah tersedia obat antibiotika, transfusi darah, teknik operasi yang lebih sempurna dan anastesi yang sudah baik. Sekarang ini ada kecendrungan untuk melakukan seksio sesarea tanpa dasar yang cukup kuat. Perlu diingat bahwa seorang ibu yang telah mengalami seksio sesarea merupakan seseorang yang mempunyai parut dalam uterus dan tiap kehamilan serta persalinan berikutnya memerlukan pengawasan yang lebih cermat. Pada pasien dengan riwayat persalinan sesar sebelumnya dan memerlukan induksi persalinan untuk kehamilan selanjutnya, kepada mereka ditawarkan dua pilihan: seksio sesar ulangan atau induksi persalinan. Adanya risk dan benefit pada kedua cara persalinan tersebut. Perhatian yang lebih besar dihubungkan dengan induksi persalinan dengan adanya parut uterus. Kemungkinan meningkatkan risiko terjadinya ruptura parut uterus, yang dapat mengancam kehidupan ibu dan bayinya.

A. Frekuensi Di Amerika pada tahun 1990 angka kejadian persalinan pervaginam bekas seksio sesarea adalah 19,5%, di Norwegia 56,2% dan di Swedia 32,9%. Tahun 1996 persalinan pervaginam bekas seksio sesarea di USA adalah sebesar 28 %. B. Prasyarat yang harus dipenuhi Panduan dari American College of Obstetricans and Gynekologists pada tahun 1999 tentang persalinan pervaginam pada pasien bekas seksio sesarea atau yang dikenal dengan trial of scar memerlukan kehadiran seorang dokter ahli kebidanan, seorang ahli anastesi dan staf yang mempunyai keahlian dalam hal persalinan dengan seksio sesarea emergensi. Sebagai penunjangnya kamar operasi dan staf disiagakan, darah yang telah di-crossmatch disiapkan dan alat monitor denyut jantung janin manual ataupun elektronik harus tersedia. Pada kebanyakan senter merekomendasikan pada setiap unit persalinan yang melakukan persalinan pada bekas seksio sesarea harus tersedia tim yang siap untuk melakukan seksio sesarea emergensi dalam waktu 20 sampai 30 menit untuk antisipasi apabila terjadi fetal distress atau ruptura uteri C. Faktor yang berpengaruh Seorang ibu hamil dengan bekas seksio sesarea akan dilakukan seksio sesarea kembali atau dengan persalinan pervaginam tergantung apakah syarat persalinan pervaginam terpenuhi atau

tidak. Setelah mengetahui ini dokter mendiskusikan dengan pasien tentang pilihan serta resiko masingmasingnya.Tentu saja hak pasien untuk meminta jenis persalinan mana yang terbaik untuk dia dan bayinya. Faktor-faktor yang berpengaruh dalam menentukan persalinan pada pasien bekas seksio sesarea telah diteliti selama bertahun-tahun. Ada banyak faktor yang dihubungkan dengan tingkat keberhasilan persalinan pervaginam pada bekas seksio 1. Teknik operasi sebelumnya. Pasien bekas seksio sesarea dengan insisi segmen bawah rahim transversal merupakan salah satu syarat dalam melakukan persalinan pervaginam, dimana pasien dengan tipe insisi ini mempunyai resiko ruptura yang lebih rendah dari pada tipe insisi lainnya. Bekas seksio sesarea klasik, insisi T pada uterus dan komplikasi yang terjadi pada seksio sesarea yang lalu misalnya laserasi serviks yang luas merupakan kontraindikasi melakukan persalinan pervaginam. 2. Jumlah seksio sesarea sebelumnya Flamm tidak melakukan persalinan pervaginam pada semua bekas seksio sesarea korporal maupun pada kasus yang pernah seksio sesarea dua kali berurutan atau lebih, sebab pada kasus tersebut diatas seksio sesarea elektif adalah lebih baik dibandingkan persalinan pervaginam Risiko ruptura uteri meningkat dengan meningkatnya jumlah seksio sesarea sebelumnya. Pasien dengan seksio sesarea lebih dari satu kali mempunyai resiko yang lebih tinggi untuk terjadinya ruptura uteri. Ruptura uteri pada bekas seksio sesarea 2 kali adalah sebesar 1.8 3.7 %. Caughey dan kawankawan mendapatkan bahwa pasien dengan bekas seksio sesarea 2 kali mempunyai risiko ruptura uteri lima kali lebih besar dari bekas seksio sesarea satu kali. Spaan dkk mendapatkan bahwa riwayat seksio sesarea yang lebih satu kali mempunyai resiko untuk seksio sesarea ulang lebih tinggi. Jamelle (1996) menyatakan diktum sekali seksio sesarea selalu seksio sesarea tidaklah selalu benar, tetapi beliau setuju dengan setelah dua kali seksio sesarea selalu seksio sesarea pada kehamilan berikutnya , dimana diyakini bahwa komplikasi pada ibu dan anak lebih tinggi. Farmakides dkk (1987) melaporkan 77 % dari pasien yang pernah seksio sesarea dua kali atau lebih yang diperbolehkan persalinan pervaginam dan berhasil dengan luaran bayi yang baik. ACOG 1999 telah memutuskan bahwa pasien dengan bekas seksio dua kali boleh menjalani persalinan pervaginam dengan pengawasan yang ketat Miller 1994 melaporkan bahwa insiden ruptura uteri terjadi 2 kali lebih sering pada persalinan ibu dengan riwayat seksio sesarea 2 kali atau lebih. Keberhasilan persalinan pervaginam bekas seksio

sesarea 1 kali adalah 83 % dan 75 % keberhasilan persalinan pervaginam bekas seksio sesarea 2 kali atau lebih. 3. Penyembuhan luka pada seksio sesarea sebelumnya Pada seksio sesarea insisi kulit pada dinding abdomen biasanya melalui "potongan bikini" kadang-kadang pemotongan atas bawah yang disebut insisi kulit vertikal. Kemudian pemotongan dilanjutkan sampai ke uterus. Daerah uterus yang ditutupi oleh kandung kencing disebut segmen bawah rahim, hampir 90 % insisi uterus dilakukan di tempat ini berupa sayatan kesamping (seperti potongan bikini). Cara pemotongan uterus seperti ini disebut " Low Transverse Cesarean Section ". Insisi uterus ini ditutup/jahit akan sembuh dalam 2 6 hari. Insisi uterus dapat juga dibuat dengan potongan vertikal yang dikenal dengan seksio sesarea klasik, irisan ini dilakukan pada otot uterus. Luka pada uterus dengan cara ini mungkin tidak dapat pulih seperti semula dan dapat terbuka lagi sepanjang kehamilan atau persalinan berikutnya. Depp R menganjurkan persalinan pervaginam pada bekas seksio sesarea, terkecuali ada tanda-tanda ruptura uteri mengancam, parut uterus yang sembuh persekundum pada seksio sesarea sebelumnya atau jika adanya penyulit obstetrik lain ditemui. Rosenberg (1996) menjelaskan bahwa dengan pemeriksaan Ultra sonografi USG trans abdominal pada kehamilan 37 minggu dapat diketahui ketebalan segmen bawah rahim . Ketebalan SBR 4,5 mm pada usia kehamilan 37 minggu adalah petanda parut yang sembuh sempurna. Parut yang tidak sembuh sempurna didapat jika ketebalan SBR < 3,5 mm. Oleh sebab itu pemeriksaan USG pada kehamilan 37 minggu dapat sebagai alat skrining dalam memilih cara persalinan bekas seksio sesarea. Willams menyatakan bahwa penyembuhan luka seksio sesarea adalah suatu generasi dari fibromuskuler dan bukan pembentukan jaringan sikatrik. Dasar dari keyakinan ini adalah dari hasil pemeriksaan histologi dari jaringan di daerah bekas sayatan seksio sesarea dan dari 2 tahap observasi yang pada prinsipnya : 1. Tidak tampaknya atau hampir tidak tampak adanya jaringan sikatrik pada uterus pada waktu dilakukan seksio sesarea ulangan 2. Pada uterus yang diangkat, sering tidak kelihatan garis sikatrik atau hanya ditemukan suatu garis tipis pada permukaan luar dan dalam uterus tanpa ditemukannya sikatrik diantaranya. Mason menyatakan bahwa kekuatan sikatrik pada uterus pada penyembuhan luka yang baik adalah lebih kuat dari miometrium itu sendiri. Hal ini telah dibuktikannya dengan memberikan regangan yang ditingkatkan dengan penambahan beban pada uterus bekas seksio sesarea (hewan percobaan). Ternyata pada regangan maksimal terjadi ruptura bukan pada jaringan sikatriknya tetapi pada jaringan miometrium dikedua sisi sikatrik. Dari laporan-laporan klinis pada uterus gravid bekas seksio sesarea yang mengalami ruptura selalu terjadi pada jaringan otot miometrium sedangkan sikatriknya utuh. Yang mana hal ini menandakan bahwa jaringan sikatrik yang terbentuk relatif lebih kuat dari jaringan miometrium itu sendiri.

Dua hal yang utama penyebab dari gangguan pembentukan jaringan sehingga menyebabkan lemahnya jaringan parut tersebut adalah : 1. Infeksi, bila terjadi infeksi akan mengganggu proses penyembuhan luka.

2. Kesalahan teknik operasi (technical errors) seperti tidak tepatnya pertemuan kedua sisi luka, jahitan luka yang terlalu kencang, spasing jahitan yang tidak beraturan, penyimpulan yang tidak tepat, dan lainlain. Cooke menyatakan jahitan luka yang terlalu kencang dapat menyebabkan nekrosis jaringan sehingga merupakan penyebab timbulnya gangguan kekuatan sikatrik, hal ini lebih dominan dari pada infeksi ataupun technical error sebagai penyebab lemahnya sikatrik. Alasan melakukan seksio sesarea ulangan secara rutin sebagai tindakan profilaksis terhadap kemungkinan terjadinya ruptura uteri tidak benar lagi. Pengetahuan tentang penyembuhan luka operasi, kekuatan jaringan sikatrik pada penyembuhan luka operasi yang baik dan pengetahuan tentang penyebab-penyebab yang dapat mengurangi kekuatan jaringan sikatrik pada bekas seksio sesarea, menjadi panduan apakah persalinan pervaginam pada bekas seksio sesarea dapat dilaksanakan atau tidak. Pada sikatrik uterus yang intak tidak mempengaruhi aktivitas selama kontraksi uterus. Aktivitas uterus pada multipara dengan bekas seksio sesarea sama dengan multipara tanpa seksio sesarea yang menjalani persalinan pervaginam 4. Indikasi operasi pada seksio sesarea yang lalu. Indikasi seksio sesarea sebelumnya akan mempengaruhi keberhasilan persalinan pervaginam pada bekas seksio sesarea, CPD memberikan keberhasilan persalinan pervaginam sebesar 60 65 %. Fetal distress memberikan keberhasilan sebesar 69 73 % Keberhasilan persalinan pervaginam pada pasien bekas seksio sesarea ditentukan juga oleh keadaan dilatasi servik pada waktu dilakukan seksio sesarea yang lalu. Persalinan pervaginam berhasil 67 % apabila seksio sesarea yang lalu dilakukan pada saat pembukaan serviks kecil dari 5 cm, dan 73 % pada pembukaan 6 sampai 9 cm. Keberhasilan persalinan pervaginam menurun sampai 13 % apabila seksio sesarea yang lalu dilakukan pada keadaan distosia pada kala II. 5. Usia ibu Usia ibu yang aman untuk melahirkan adalah sekitar 20 tahun sampai 34 tahun. Usia melahirkan dibawah 20 tahun dan diatas 35 tahun digolongkan resiko tinggi. Dari penelitian didapatkan wanita yang berumur lebih dari 35 tahun mempunyai angka seksio sesarea yang lebih tinggi. Wanita yang berumur lebih dari 40 tahun dengan bekas seksio sesarea mempunyai resiko kegagalan untuk persalinan pervaginam lebih besar tiga kali dari pada wanita yang berumur kecil dari 40 tahun.

Weinstein dkk mendapatkan pada penelitian mereka bahwa faktor umur tidak bermakna secara statistik dalam mempengaruhi keberhasilan persalinan pervaginam pada bekas seksio sesarea. 6. Usia kehamilan saat seksio sesarea sebelumnya Pada usia kehamilan < 37 minggu dan belum inpartu misalnya pada plasenta previa dimana segmen bawah rahim belum terbentuk sempurna kemungkinan insisi uterus tidak pada segmen bawah rahim dan dapat mengenai bagian korpus uteri yang mana keadaannya sama dengan insisi pada seksio sesarea klasik 7. Riwayat persalinan pervaginam Riwayat persalinan pervaginam baik sebelum ataupun sesudah seksio sesarea mempengaruhi prognosis keberhasilan persalinan pervaginam pada bekas seksio sesarea. Pasien dengan bekas seksio sesarea yang pernah menjalani persalinan pervaginam memiliki angka keberhasilan persalinan pervaginam yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasien tanpa persalinan pervaginam . Pada bekas seksio sesarea yang sesudahnya pernah berhasil dengan persalinan pervaginam, makin berkurang kemungkinan ruptura uteri pada kehamilan dan persalinan yang akan datang. Walaupun demikian ancaman ruptura uteri tetap ada pada masa kehamilan maupun persalinan, oleh sebab itu pada setiap kasus bekas seksio sesarea harus juga diperhitungkan ruptura uteri pada kehamilan trimester ketiga terutama saat menjalani persalinan pervaginam. 8. Keadaan serviks pada saat inpartu Flamm mengatakan bahwa penipisan serviks serta dilatasi serviks memperbesar keberhasilan persalinan pervaginam bekas seksio sesarea. Guleria dan Dhall 1997 menyatakan bahwa laju dilatasi seviks mempengaruhi keberhasilan penanganan persalinan pervaginam bekas seksio sesarea. Dari 100 pasien bekas seksio sesarea segmen bawah rahim di dapat 84 % berhasil persalinan pervaginam sedangkan sisanya adalah seksio sesarea darurat. Gambaran laju dilatasi serviks pada bekas seksio sesarea yang berhasil pervaginam pada fase laten rata-rata 0.88 cm/jam. Fase aktif 1.25 cm/jam. Sedangkan laju dilatasi serviks pada bekas seksio sesarea yang gagal pervaginam pada fase laten rata-rata 0.44 cm / jam dan fase aktif adalah 0.42 cm /jam. Induksi persalinan dengan misoprostol akan meningkatkan resiko ruptura uteri pada wanita dengan bekas seksio sesarea. Dijumpai adanya 1 kasus ruptura uteri bekas seksio sesaraea segmen bawah rahim transversal selama dilakukan pematangan serviks dengan transvaginal misoprostol sebelum tindakan induksi persalinan. 9. Keadaan selaput ketuban Carrol 1990 melaporkan pasien dengan ketuban pecah dini (KPD) pada usia kehamilan diatas 37 minggu dengan bekas seksio sesarea (56 kasus) proses persalinannya dapat pervaginam dengan

menunggu terjadinya inpartu spontan dan didapat angka keberhasilan yang tinggi (91 % ) dengan menghindari pemberian induksi persalinan dengan oxytosin, dengan rata-rata lama waktu antara terjadinya KPD sampai terjadinya persalinan adalah 42,6 jam dengan keadaan ibu dan bayi baik. D. Kriteria Seleksi American College of Obstetricians and Gynecologists tahun 1999 memberikan rekomendasi untuk menyeleksi pasien yang direncanakan untuk persalinan pervaginam pada bekas seksio sesarea. Kriteria seleksinya adalah sebagai berikut: Riwayat 1 atau 2 kali seksio sesarea dengan insisi Segmen Bawah Rahim. Secara klinis panggul adekuat atau imbang fetopelvik baik Tak ada bekas ruptur uteri atau bekas operasi lain pada uterus

Tersedianya tenaga yang mampu untuk melaksanakan monitoring, persalinan dan seksio sesarea emergensi. Sarana dan personil anastesi siap untuk menangani seksio sesarea darurat Kriteria yang masih kontroversi: Parut uterus yang tidak diketahui Parut uterus pada Segmen Bawah Rahim vertikal Kehamilan kembar Letak sungsang Kehamilan lewat waktu Taksiran berat janin lebih dari 4000 gram

E. Kontra Indikasi Kontra indikasi mutlak melakukan persalinan pervaginam pada bekas seksio sesarea: Bekas seksio sesarea klasik Bekas seksio sesarea dengan insisi T Bekas ruptura uteri Bekas komplikasi operasi seksio sesarea dengan laserasi serviks yang luas Bekas sayatan uterus lainnya di fundus uteri. Misalnya miomektomi

Cefalo Pelviks Disporposi yang jelas. Pasien menolak persalinan pervaginam Panggul sempit Ada komplikasi medis dan obstetrik yang merupakan kontra indikasi persalinan pervaginam.

F. Risiko terhadap Ibu Risiko terhadap ibu yang melakukan persalinan pervaginam dibandingkan dengan seksio sesarea ulangan elektif pada bekas seksio sesarea: Insiden demam lebih kecil secara bermakna pada persalinan pervaginam yang berhasil dibanding dengan seksio sesarea ulangan elektif Pada persalinan pervaginam yang gagal yang dilanjutkan dengan seksio sesarea insiden demam lebih tinggi Tidak banyak perbedaan insiden dehisensi uterus pada persalinan pervaginam dibanding dengan seksio sesarea elektif. Dehisensi atau ruptura uteri setelah gagal persalinan pervaginam adalah 2.8 kali dari seksio sesarea elektif. Mortalitas ibu pada seksio sesarea ulangan elektif dan persalinan pervaginam sangat rendah

Kelompok persalinan pervaginam mempunyai rawat inap yang lebih singkat, penurunan insiden transfusi darah pada paska persalinan dan penurunan insiden demam paska persalinan dibanding dengan seksio sesarea elektif. G. Resiko terhadap Anak Resiko terhadap perinatal dan neonatal dalam melakukan persalinan pervaginam pada bekas seksio sesarea Rosen melaporkan angka kematian perinatal 1.4 % dari hasil penelitian terhadap lebih dari 4.500 persalinan pervaginam. Rosen juga melaporkan resiko kematian perinatal pada persalinan percobaan adalah 2.1 kali lebih besar dibanding seksio sesarea elektif (p<0.001). namun jika berat badan janin < 750 gram dan kelainan kongenital berat tidak diperhitungkan maka angka kematian perinatal dari persalinan pervaginam tidak berbeda bermakna dari seksio sesarea ulangan elektif. Flamm (1994) melaporkan angka kematian perinatal adalah 7 per 1.000 kelahiran hidup pada persalinan pervaginam, angka ini tidak berbeda bermakna dari angka kematian perinatal dari Rumah Sakit yang ditelitinya 10 per 1.000 kelahiran hidup.

Cowan (1994) melaporkan sebagian besar 463 dari 478 (97 %) dari bayi yang lahir pervaginam mempunyai Apgar skor pasda 5 menit pertama adalah 8 atau lebih. Mahon (1996) melaporkan bahwa apgar skor bayi yang lahir tidak berbeda bermakna pada persalinan pervaginam dibanding seksio sesarea ulangan elektif. Hook (1997) melaporkan morebiditas bayi yang lahir dengan seksio sesarea ulangan setelah gagal persalinan pervaginam lebih tinggi dibandingkan dengan yang berhasil persalinan pervaginam. Dan morbiditas bayi yang berhasil persalinan pervaginam tidak berbeda bermakna dengan bayi yang lahir normal. H. Komplikasi Komplikasi paling berat yang dapat terjadi dalam melakukan persalinan pervaginam adalah ruptura uteri. Ruptura jaringan parut bekas seksio sesarea sering tersembunyi dan tidak menimbulkan gejala yang khas. Dilaporkan bahwa kejadian ruptura uteri pada bekas seksio sesarea insisi Segmen Bawah Rahim lebih kecil dari 1 % (0,2 0,8 % ). Kejadian ruptura uteri pada persalinan pervaginam dengan riwayat insisi seksio sesarea korporal dilaporkan oleh Scott dan American College of Obstetricans and Gynekologists adalah sebesar 4 9 %. Farmer melaporkan kejadian ruptura uteri selama partus percobaan pada bekas seksio sesarea sebanyak 0,8% dan dehisensi 0,7% Apabila terjadi ruptur uteri maka janin, tali pusat, plasenta atau bayi akan keluar dari robekan rahim dan masuk ke rongga abdomen. Hal ini akan menyebabkan perdarahan pada ibu, gawat janin dan kematian janin serta ibu. Kadang-kadang harus dilakukan histerektomi emergensi. Kasus ruptura uteri ini lebih sering terjadi pada seksio sesarea klasik dibandingkan dengan seksio sesarea pada segmen bawah rahim. Ruptura uteri pada seksio sesarea klasik terjadi 5-12 % sedangkan pada seksio sesarea pada segmen bawah rahim 0,5-1 % Tanda yang sering dijumpai pada ruptura uteri adalah denyut jantung janin tak normal dengan deselerasi variabel yang lambat laun menjadi deselerasi lambat, bradiakardia, dan denyut janin tak terdeteksi. Gejala klinis tambahan adalah perdarahan pervaginam, nyeri abdomen, presentasi janin berubah dan terjadi hipovolemik pada ibu. Tanda-tanda ruptura uteri adalah sebagai berikut : Nyeri akut abdomen Sensasi popping ( seperti akan pecah ) Teraba bagian-bagian janin diluar uterus pada pemeriksaan Leopold Deselerasi dan bradikardi pada denyut jantung bayi Presenting parutnya tinggi pada pemeriksaan pervaginam Perdarahan pervaginam

Pada wanita dengan bekas seksio sesarea klasik sebaiknya tidak dilakukan persalinan pervaginam karena risiko ruptura 2-10 kali dan kematian maternal dan perinatal 5-10 kali lebih tinggi dibandingkan dengan seksio sesarea pada segmen bawah rahim. I. Monitoring Ada beberapa alasan mengapa seseorang wanita seharusnya dibantu dengan persalinan pervaginam. Hal ini disebabkan karena komplikasi akibat seksio sesarea lebih tinggi. Pada seksio sesarea terdapat kecendrungan kehilangan darah yang banyak, peningkatan kejadian transfusi dan infeksi, akan menambah lama rawatan masa nifas di Rumah Sakit. Juga akan memperlama perawatan di rumah dibandingkan persalinan pervaginam. Sebagai tambahan biaya Rumah Sakit akan dua kali lebih mahal. Walaupun angka kejadian ruptura uteri pada persalinan pervaginam setelah seksio sesarea adalah rendah, tapi hal ini dapat menyebabkan kematian pada janin dan ibu. Untuk antisipasi perlu dilakukan monitoring pada persalinan ini. Pasien dengan bekas seksio sesarea membutuhkan manajemen khusus pada waktu antenatal maupun pada waktu persalinan. Jika persalinan diawasi dengan ketat melalui monitor kardiotokografi kontinu; denyut jantung janin dan tekanan intra uterin dapat membantu untuk mengidentifikasi ruptura uteri lebih dini sehingga respon tenaga medis bisa cepat maka ibu dan bayi bisa diselamatkan apabila terjadi ruptura uteri. J. Sistem Skoring Untuk meramalkan keberhasilan penanganan persalinan pervaginam bekas seksio sesarea, beberapa peneliti telah membuat sistem skoring. Flamm dan Geiger menentukan panduan dalam penanganan persalinan bekas seksio sesarea dalam bentuk sistem skoring. Weinstein dkk juga telah membuat suatu sistem skoring untuk pasien bekas seksio sesarea Adapun skoring menurut Flamm dan Geiger yang ditentukan untuk memprediksi persalinan pada wanita dengan bekas seksio sesarea adalah seperti tertera pada tabel dibawah ini: No Karakteristik Skor

1 2

Usia < 40 tahun Riwayat persalinan pervaginam sebelum dan sesudah seksio sesarea persalinan pervaginam sesudah seksio sesarea persalinan pervaginam sebelum seksio sesarea tidak ada

4 2 1 0 1

3 4

Alasan lain seksio sesarea terdahulu Pendataran dan penipisan serviks saat tiba di Rumah Sakit dalam keadaan inpartu: 75 % 25 75 % < 25 %

2 1 0 1

Dilatasi serviks 4 cm

Dari hasil penelitian Flamm dan Geiger terhadap skor development group diperoleh hasil seperti table dibawah ini Skor 02 3 4 5 6 7 8 10 Total Angka Keberhasilan (%) 42-49 59-60 64-67 77-79 88-89 93 95-99 74-75

INDUKSI PERSALINAN

McDonagh MS et al dalam suatu sistematik review mengidentifikasi 14 penelitian dan belum ada suatu penelitian yang baik untuk mengetahui keuntungan dan kerugian induksi persalinan pada pasien dengan persalinan sesar sebelumnya. Mereka mendapatkan bahwa induksi lebih sering mengakibatkan persalinan secara sesar dibandingkan dengan persalinan spontan, yang secara tak terduga konsisten terlihat pada pasien tanpa parut uterus. Angka persalinan sesar pada pasien dengan riwayat sesar yang mengalami persalinan spontan dan induksi dengan oksitosin kira-kira 20% (11-35%) dan 32% (18-44%). (Wing) Dodd JM et al pada suatu sistematik review yang lain menduga risiko ruptura parut uterus pada lebih dari 20 ribu pasien dengan riwayat sesar antara tahun 1987-1996. Rata-rata terjadi ruptur 4,5 per 1000 (91 dari 20.095). Pada persalinan dengan induksi perlu pertimbangan selanjutnya terhadap risiko yang berhubungan dengan induksi prostaglandin dan non-prostaglandin (mis: infuse oksitosin). Sedangkan McDonagh mengemukakan OR ruptur uteri adalah 6,15 (95% CI 0,74-51,4) untuk induksi persalinan dibanding dengan persalinan spontan. INDUKSI DENGAN OKSITOSIN Suatu sistematik review secara retrospektif mengumpulkan data bahwa pada pasien dengan riwayat persalinan sesar tidak didapatkan gangguan parut uterus yang lebih besar pada pasien yang menggunakan oksitosin dalam persalinan dibandingkan dengan persalinan spontan. (OR 2,1 95% CI 0,76-5,78). Hasil ini memberikan pengertian yang serius karena tidak adanya data yang cukup dari percobaan random, kualitas kontrol penelitian yang kurang baik dan pengamatan yang kebanyakan rangkaian dilaporkan tentang peningkatan risiko ruptura uteri dengan induksi tetapi dengan interval kepercayaan yang luas sehingga arti statistik tidak bisa ditunjukkan. Penting juga dicatat bahwa maksimal dosis oksitosin yang digunakan jarang dilaporkan dengan begitu ambang batas dosis yang dapat menyebabkan ruptura uteri tidak dapat dipastikan dari data yang ada. Suatu penelitian prospektif terbesar mengevaluasi risiko ruptura pada wanita dengan satu atau lebih persalinan sesar (n=17.898 trials of labor dan 15.801 seksio sesar ulangan) tidak tercakup dari analisis tersebut di atas. Dalam rangkaian ini wanita yang di induksi dengan oksitosin secara signifikan mempunyai risiko tertinggi terjadi ruptura uteri dibanding dengan persalinan spontan (OR 3.01, 95% CI 1,66-5,46). Angka kategori kejadian ruptura uteri adalah: Seksio sesar ulangan belum dalam persalinan adalah 0 Persalinan spontan adalah 4 dari 1000 Induksi persalinan dengan oksitosin adalah 11 dari 1000

Data ini tidak memberikan kesimpulan yang pasti seperti pada penggunaan oksitosin untuk induksi persalinan pada wanita yang mencoba vaginal birth after caesarean (VBAC) yang berhubungan peningkatan risiko ruptura uteri. Yang pasti pengambilan keputusan klinis seperti pada penggunaan oksitosin pada pasien dengan riwayat sesar dipengaruhi oleh berbagai faktor, termasuk ada tidaknya aktivitas uterus sebelumnya, kondisi pembukaan serviks, usia kehamilan saat induksi, riwayat persalinan

vaginal sebelumnya dan indikasi induksi. Tidak adanya data yang pasti menunjukkan risiko tinggi ruptura, Wing et all menggunakan oksitosin untuk induksi persalinan pada VBAC jika ada indikasi standar obstetrik.

INDUKSI DENGAN PROSTAGLANDIN Sama halnya dengan oksitosin, pada penggunaan prostaglandin belum ada data dari percobaan random yang besar dan kurangnya data dari kontrol penelitian yang berkualitas sebagai dasar rekomendasi penggunaan prostaglandin atau agen lain untuk induksi pada VBAC. Perhatian tentang penggunaan prostaglandin muncul setelah adanya publikasi penelitian cohort dari 20.095 primipara yang melahirkan bayi tunggal secara sesar dan sesudahnya melahirkan bayi kedua. Angka kejadian rupture adalah: Seksio sesar ulangan belum dalam persalinan adalah 1,6/1000 Persalinan spontan adalah 5,2/1000 Induksi bukan prostaglandin adalah 7,7/1000 Induksi prostaglandin adalah 24,5/1000

Kejadian ruptura pada persalinan spontan dan persalinan induksi bukan dengan prostaglandin secara signifikan tidak berbeda, tetapi keduanya lebih tinggi dibanding dengan seksio sesar ulangan belum dalam persalinan.. Risiko ruptura tertinggi terjadi pada induksi persalinan dengan prostaglandin. Dibandingkan dengan seksio sesar ulangan belum dalam persalinan risiko rupture pada persalinan spontan adalah RR 3,3(95% CI 1,8-6,0) dan dengan prostaglandin RR 15,6 (95% CI 8,1-30,0). Landon (2004) membandingkan risiko ruptura penggunaan prostaglandin (140/10.000) dengan foley kateter (89/10.000) untuk dilatasi serviks. Suatu penelitian retrospektif yang besar di skotlandia pada lebih 36.000 wanita dengan riwayat sesar, 4.600 diantaranya menggunakan prostaglandin menunjukkan peningkatan risiko ruptura uteri sebagai penyebab utama kematian perinatal yang berhubungan dengan penggunaan prostaglandin. ACOG ( American College of Obstetricians and Gynecologists) menyarankan adanya konseling seperti risk dan benefit terhadap induksi persalinan, seleksi wanita yang akan menjalani VBAC dan menghindari penggunaan prostaglandin E1 dan oxytosin. SOGC (Society of Obstericians and Gynaecologists of Canada) juga merekomendasi hal yang sama. INDUKSI DENGAN MEKANIK Data metode mekanik untuk cervical ripening sangat terbatas. Menggabungkan hasil dari dua penelitian yang menunjukkan bahwa kejadian ruptura pada induksi dengan transervikal foley

kateter/oksitosin sama dengan persalinan spontan pada VBAC yaitu 5 dari 384 (1,3%) atau 22 dari 2081 (1,1%). PENDEKATAN MANAJEMEN PADA VBAC(4) Kehamilan tanpa komplikasi Pada umur kehamilan 38 minggu, dilakukan stripping of membrane untuk mempercepat persalinan spontan, dengan demikian menurunkan kejadian postterm pregnancy dan intervensi yang berhubungan dengan manajemen (grade 2C). Kehamilan dengan komplikasi Jika ada indikasi maternal dan fetal untuk mempercepat proses persalinan, sebaiknya ada konseling terhadap risk dan benefit induksi persalinan dengan seksio sesar ulangan. Pasien yang ingin meminimalkan risiko ruptura sebaiknya memilih seksio sesar ulangan dibanding induksi. Jika serviks sudah matang dan pasien menginginkan di induksi, sebaiknya dilakukan amniotomi dan dilanjutkan infus oksitosin. Walaupun tidak ada literatur yang mendukung secara klinis tekanan kateter intra uteri efektif untuk memprediksi ruptura uteri tapi itu berguna untuk lebih berhati-hati selama induksi infus oksitosin. Jika serviks belum matang kepada pasien diberikan pilihan, mengulang sesar atau induksi persalinan. Sebaiknya menggunakan cervikal ripening secara mekanik yang diikuti dengan amniotomi dan infus oksitosin. Karena kemungkinan peningkatan risiko ruptura yang berhubungan dengan penggunaan misoprostol, sebaiknya tidak digunakan pada induksi VBAC.

Anda mungkin juga menyukai