yang telah banyak diterima secara luas, Sindrom Metabolik adalah seseorang dengan memiliki sedikitnya 3 kriteria berikut: 1). Obesitas abdominal (lingkar pinggang > 88 cm untuk wanita dan untuk pria > 102 cm); 2). Peningkatan kadar trigliserida darah ( 150 mg/dL, atau 1,69 mmol/ L); 3). Penurunan kadar kolesterol HDL (< 40 mg/dL atau < 1,03 mmol/ L pada pria dan pada wanita < 50 mg/dL atau <1,29 mmol/ L); 4). Peningkatan tekanan darah (tekanan darah sistolik 130 mmHg, tekanan darah diastolik 85 mmHg atau sedang memakai obat anti hipertensi); 5). Peningkatan glukosa darah puasa (kadar glukosa puasa 110 mg/dL, atau 6,10 mmol/ L atau sedang memakai obat anti diabetes) (Adult Treatment Panel III, 2001) EPIDEMIOLOGI Di US, peningkatan kejadian obesitas mengiringi peningkatan prevalensi sindrom metabolic. Prevalensi sindrom metabolic pada populasi usia > 20 tahun sebesar 25% dan pada usia > 50 tahun sebesar 45%. di Indonesia prevalensi Sindrom Metabolik sekitar 13,13% (Soegondo, 2004). Penelitian di DKI Jakarta tahun 2006 melaporkan prevalensi sindrom metabolik yang tidak jauh berbeda dengan Depok yaitu 26,3% dengan obesitas sentral merupakan komponen terbanyak (59,4%). ETIOLOGI & FAKTOR RISIKO Komponen utama dari sindrom metabolik meliputi : Resistensi insulin Obesitas abdominal/sentral Hipertensi Dislipidemia : - Peningkatan kadar trigliserida - Penurunan kadar HDL kolesterol
Faktor lain pencetus sindrom metabolic yaitu 1. Diet yang salah Pada sindrom metabolik yang menjadi perhatian adalah bukan berapa banyak makanan yang dimakan, tapi apa jenis makanan yang dimakan. Konsumsi makanan dengan tinggi karbohidrat yang mengandung gula putih dan tepung terigu menyababkan terjadinya sindrom metabolik dalam masyarakat modern sekarang ini. 2. Kelebihan berat badan Sindrom metabolic lebih banyak ditemui pada orang dengan kelebihan berat badan, dengan penimbunan lemak pada tubuh bagian atas. Jadi sindrom metabolic banyak ditemui pada orang dengan bentuk tubuh seperti apel. Timbunan lemak pada daerah atas tubuh mempermudah produksi hormone pria seperti androstenedione. Bila kadar hormone tersebut meningkat maka dapat menyebabkan resistensi insulin. 3. Sindrom ovarium polikistik Sindrom ini merupakan bentuk gangguan hormonal yang sering ditemui pada wanita, diderita oleh 6-10% wanita premenopause. Pada keadaan ini produksi hormone wanita meningkat, sehingga ovulasi dihambat. Karena ovulasi tidak terjadi, maka produksi hormone wanita progesterone menjadi terhambat, menyebabkan gangguan menstruasi dan infertilitas. Wanita dengan sindrom ovarium polikistik mempunyai tendensi mengalami sindrom metabolic lebih besar, dan tujuh kali lebih sering mengalami diabetes mellitus tipe 2, terutama jika ,mereka juga mengalami kelebihan berat badan. 4. Faktor Genetic Bila diantara anggota keluarga mempunyai riwayat obesitas, diabetes mellitus tipe 2, hipertensi, sindrom ovarium polikistik atau penyakit jantung, maka resiko untuk mengalami sindrom metaboolik meningkat. 5. Fitness dan Exercise Resistensi insulin lebih umum ditemui pada orang yang biasa hidup dengan cara lifestyle buruk dan tidak melakukan olahraga secara teratur. Kekurangan latihan olahraga akan meningkatkan resiko sindrom metabolic sebanyak 20-25%. Meskipun latihan olahraga teratur akan menurunkan resistensi insulin, manfaatnya akan hilang bila latihan olahraga tersebut dihentikan. Merokok dapat sedikit meningkatkan resistensi insulin, sedangkan minuman beralkohol 1-2 gelas/hari tidak meningkatkan tendensi sindrom metabolic. PATOFISIOLOGI Obestitas Sentral
Obesitas
yang
digambarkan
dengan
IMT
tidak
begitu
sensitive
dalam
menggambarkan resiko kardiovaskular dan gangguan metabolic yang terjadi. Studi menunjukkan bahwa obesitas sentral yang digambarkan oleh lingkar perut lebih sensitif dalam memprediksikan gangguan metabolik dan risiko kardiovaskular. Lingkar perut menggambarkan baik jaringan adipose subkutan dan visceral. Meski dikatakan bahwa lemak visceral lebih berhubungan dengan kompilkasi metabolik dan kardivaskular, hal ini masih kontroversial. Peningkatan obesitas beresiko pada peningkatan kejadian resiko kardivaskular. Variasi faktor genetik membuat perbedaan dampak metabolik maupun kardiovaskular dari obesitas. Seorang obesitas dapat tidak berkembang menjadi resistensi insulin dan sebaliknya resitensi insulin dapat ditemukan pada individu tanpa obes. Interaksi faktor genetik dan lingkungan akan memodifikasi tampilan metabolik dari suatau resistensi insulin maupun obesitas. Jaringan adipose merupakan sebuah organ endokrin yang aktif mensekresi berbagai faktor pro ana anti inflamasi seperti leptin, adinopektin, Tumor nekrosis faktor alfa (TNF-a), Interleukin-6, dan resistin. Konsentrasi adinopektin plasma menurun pada kondisi DM tipe 2 dan obesitas. Senyawa ini diprediksikan dapat memiliki antiaterogenik pada hewan coba dan manusia. Sebaliknya, konsentrasi leptin meningkat pada kondisi resistensi insulin dan obesitas dan berhubungan dengan resiko kejadian kardiovaskular tidak bergantung dari faktor risiko tradisional, IMT, dan konsentrasi CRP. Sejauh ini belum diketahui apakah pengukuran marker hormonal dari jaringan adipose lebih baik daripada pengukuran secara anatomi dalam mempridiksikan resiko kardivaskular dan kelainan metabolik yang terkait. Resistensi Insulin hipotesis yang paling diterima untuk menjelaskan patofisiologi sindrom metabolik adalah resistensi insulin. Terjadinya resistensi insulin akan didahului dengan postprandial hyperinsulinemia, diikuti dengan berpuasa hyperinsulinemia dan, akhirnya, hiperglikemia. Asam lemak mengganggu insulin-mediated uptake glukosa dan terakumulasi sebagai trigliserida, sedangkan peningkatan produksi glukosa dan trigliserida terakumulasi dalam hati. Resistensi insulin mendasari kelompok kelainan pada sindrom metabolik. Sejauh ini belum disepakati pengukuran yang ideal dan praktis untuk resistensi insulin. teknik clamp merupakan teknik yang ideal namun tidak praktis. Pemeriksaan glukosa plasma puasa juga tidak ideal mengingat toleransi glukosa puasa hanya dijumpai pada 10% sindroma metabolik. Pengukuran Homeostatis Model Assesment (HOMA) dan Quantitative Insulin Sensitivity
Check Indeks (QUICKI) dibuktikan berkolerasi erat dengan pemeriksaan standar, sehingga dapat disarankan untuk mengukur resitensi insulin. bila melihat dari patofisiologi resistensi insulin yang melibatkan jaringan adipose dan sistem kekebalan tubuh, maka pengukuran resistensi insulin hanya dari pengukuran glukosa dan insulin (seperti rumus HOMA dan QUICKI) perlu ditinjau ulang. Oleh karenanya, penggunaan rumus ini secara rutin di klinis disarankan maupun disepakati. Displidemia Displidemia yang khas pada sindroma metabolik ditandai dengan peningkatan TG dan penurunan kolesterol HDL. Kolesterol LDL biasanya normal, namun mengalami perubahan struktur berupa peningkatan small dense LDL. Peningkatan konsentrasi TG plasma dipikirkan akibat peningkatan masukan asam lemak bebas ke hati sehingga terjadi peningkatan produksi TG. Namun pada studi manusia dan hewan menunjukkan bahwa peningkatan TG tersebut bersifat multifaktorial dan tidak hanya diakibatkan oleh peningkatan masukan asam lemak bebas ke hati. Penurunan kolesterol HDL disebabkan peningkatan TG sehingga terjadi transfer TG ke HDL. Namun pada subjek dengan resistensi insulin dan konsentrasi TG normal dapat ditemukan pada penurunan kolesterol HDL. Sehingga dipikirkan terdapat mekanisme lain yang menyebabkan penurunan kolesterol HDL disamping peningkatan TG. Mekanisme yang dipikirkan berkaitan dengan gangguan masukan lipid post prandial pada kondisi resitensi insulin sehingga terjadi gangguan produksi Apolipoprotein A-1 (Apo A-1) oleh hati yang selanjutnya melibatkan penurunan kolesterol HDL. Peran sistem imunitas pada resitensi insulin juga berpengaruh pada perubahan profil leipid pada subjek dengan resistensi insulin. studi pada hewan menunjukkan bahwa aktivasi sistem imun akan menyebabkan gangguan pada lipoprotein, protein transport, respetor, dan enzim yang berkaitan sehingga terjadi perubagan konsentrasi profil lipid. Peran sistem imunitas pada resistensi insulin Inflamasi subklinis kronis juga merupakan bagian dari sindrom metabolik. Marker inflamasi berperan pada progresifitas DM dan komplikasi kardiovaskular. CRP dilaporkan menjadi data prognosis tambahan pada wanita sehat dengan sindrom metabolik. Namun, belum didapatkan kesepakatan alur diagnosis yang mampu menggabungkan peningkatan CRP, koagulasi, dan gangguan fibrinolisis dalam memprediksikan resiko kardiovaskular. Hipertensi Resitensi insulin juga berperan pada pathogenesis hipertensi. Insulin merangsang sistem saraf simpatis meningkatkan reabsorbsi natrium ginjal, mempengaruhi transport kation dan
mengakibatkan hipertfrofi otot polos pembuluh darah. Pemeberian infus insulin akut dapat menyebabkan hipotensi akibat vasodilatasi. Sehingga disimpulkan bahwa hipertensi akibat resistensi insulin terjadi akibat ketidakseimbangan efek pressor dan depressor. The insulin Resistance Atherosclerosis Study melaporkan hubungan antara resistensi insulin dengan hipertensi pada subjek normal namun tidak pada subjek dengan DM tipe 2. I. LANGKAH DIAGNOSTIK
Terhadap individu yang dicurigai mengalami Sindrom Metabolik hendaklah dilakukan evaluasi klinis, yang meliputi A. Anamnesis -Riwayat keluarga dan penyakit sebelumnya. -Riwayat adanya perubahan berat badan. -Aktifitas fisik sehari-hari. -Asupan makanan sehari-hari B. Pemeriksaan Fisik -Pengukuran tinggi badan, berat badan dan tekanan darah -Pengukuran Indeks Massa Tubuh (IMT) - Pengukuran lingkaran pinggang merupakan prediktor yang lebih baik terhadap risiko kardiovaskular daripada pengukuran waist-to-hip ratio. C. Pemeriksaan Penunjang Pemeriksaan laboratorium, meliputi : -Kadar glukosa plasma dan profil lipid puasa. -Pemeriksaan klem euglikemik atau HOMA (homeostasis model assessment) untuk menilai resistensi insulin secara akurat biasanya hanya dilakukan dalam penelitian dan tidak praktis diterapkan dalam penilaian klinis. -Highly sensitive C-reactive protein -Kadar asam urat dan tes faal hati dapat menilai adanya NASH. -USG abdomen diperlukan untuk mendiagnosis adanya fatty liver karena kelainan ini dapat dijumpai walaupun tanpa adanya gangguan faal hati II. PENATALAKSANAAN
A. TERAPI NON-MEDIKAMENTOSA Terapi diet Terapi diet direncanakan berdasarkan individu. Hal ini bertujuan untuk membuat deficit 500 hingga 1000kcal/hari menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari program penurunan berat badan apapun. Sebelum menganjurkan deficit kalori sebesar 500 hingga kcal/hari sebaiknya diukur kebutuhan energy basal dapat menggunakan rumus dari HarrisBenedict: Laki-laki: B.E.E = 66.5 + (13,75 kg) + (5.003 cm) (6.775 age) Perempuan: B.E.E = 655.1 + (9.563 kg) + 1.850 cm) (4.676 age) Kebutuhan kalori total sama dengan BEE dikali dengan jumlah factor stress dan aktivitas. Factor stress ditambah aktivitas berkisar dari 1.2 sampai lebih dari 2. Disamping pengurangan lemak jenuh, total lemak seharusnya kurang dan sama dengan 30 persen dari total kalori. Pengurangan persentase lemak dalam menu sehari-hari saja tidak dapat menyebabkan penurunan berat badan, kecuali total kalori juga berkurang. Ketika asupan lemak dikurangi, prioritas harus diberikan untuk mengurangi lemak jenuh. Hal tersebut bermaksud untuk menurunkan kolesterol-LDL. Aktivitas Fisik Peningkatan aktivitas fisik merupakan komponen penting dari program penurunan berat badan, walaupun aktivitas fisik tidak menyebabkan penurunan berat badan lebih banyak dalam jangka waktu enam bulan. Kebanyakan penurunan berat badan terjadi karena penurunan asupan kalori. Aktivitas fisik yang lama sangat membantu pada pencegahan peningkatan berat badan. Keuntungan tambahan aktivitas fisik adalah terjadi pengurangan risiko kardiovaskular dan diabetes lebih banyak dibandingkan dengan penguranan berat badan tanpa aktivitas fisik saja. Aktivitas fisik yang berdasarkan gaya hidup cenderung lebih berhasil menurunkan berat badan dalam jangka waktu panjang dibandingkan dengan program latihan yang terstruktur. Untuk pasien obes, terapi harus dimulai secara perlahan, dan intensitasnya sebaiknya, ditingkatkan secara bertahap. Latihan dapat dilakukan seluruhnya pada satu saat atau secara bertahap sepanjang hari. Pasien dapat memulai aktivitas fisik dengan berjalan selama 30 menit dengan jangka waktu 3 kali seminggu dan dapat ditingkatkan intensitasnya selama 45 menit dengan jangka waktu 5 kali seminggu. Dengan regimen ini, pengeluaran energy tambahan sebanyak 100 sampai 200 kalori per hari dapat dicapai. Regimen ini dapat diadaptasi kedalam berbagai bentuk aktivitas fisik lain, tetapi jalan kaki lebih menarik karena
keamananya dan kemudahannya. Pasien harus dimotivasi untuk meningkatkan aktivitas sehari-hari seperti naik tangga daripada naik lift. Seiring waktu, pasien dapat melakukan aktivitas yang lebih berat. Terapi perilaku Untuk mencapai penurunan berat badan dan mempertahankannya diperlukan suatu strategi untuk mengatasi hambatan yang muncul pada saat terapi diet dan aktivitas fisik. Strategi yang spesifik meliputi pengawasan mandiri terhadap kebiasaan makan dan aktivitas fisik, manajemen stress, stimulus control, pemecahan masalah, contingency management, cognitive restructuring dan dukungan social. Terapi Nutrisi Selalu merupakan tahap awal penatalaksanaan seseorang dengan dislipidemia, oleh karena itu disarankan untuk berkonsultasi dengan ahli gizi. Pada dasarnya adalah pembatasan jumlah kalori dan jumlah lemak. Pasien dengan kadar kolesterol LDL atau kolesterol total tinggi dianjurkan untuk mengurangi asupan lemak jenuh, dan meningkatkan asupan lemak tidak jenuh rantai tunggal dan ganda (mono unsaturate fatty acid = MUFA dan poly unsaturated fatty acid = PUFA). Pada pasien dengan kadar trigliserida yang tinggi perlu dikurangi asupan karbohidrat, alcohol dan lemak. Komposisi Makanan untuk Hiperkolesterolemia Makanan Total lemak Lemak jenuh Lemak PUFA Lemak MUFA Karbohidrat Serat Protein Kolesterol Edukasi Dokter - dokter keluarga mempunyai peran besar dalam penatalaksanaan pasien dengan SindromMetabolik, karena mereka dapat mengetahui dengan pasti tentang gaya hidup pasien serta hambatan - hambatan yang dialami mereka dalam usaha memodifikasi gaya hidup tersebut. Asupan yang Dianjurkan 20-25% dari kalori total <7% dari kalori total sampai 10% dari kalori total sampai 10% dari kalori total 60% dari kalori total (terutama KH kompleks) 30 gr per hari sekitar 15% dari total kalori <200 mg/hari
B. TERAPI MEDIKAMENTOSA Obesitas Dua obat yang dapat digunakan dalam menurunkan berat badan adalah subutramin dan orlistat. Dengan mempertimbangkan peranan otak sebagai regulator berat badan, sibutramin dapat dipertimbangkan dengan memperhatikan kemungkinan efek samping. Cara kerjanya di central memberikan efek mengungi asupan energi melalui efek mempercepat rasa kenyang dan mempertahankan pengeluaran energi setelah berat badan turun, dapat memberikan efek tidak hanya penurunan berat badan namun juga mempertahankan berat badan yang sudah turun. Demikian pula dengan efek metabolik, sebagai efek dari penurunan berat badan, pemberian sibutramin setelah 24 minggu yang disertai dengan diet dan aktivitas fisik, memperbaiki konsentrasi trigliserida dan kolesterol HDL. Hipertensi Beberapa studi menyarankan pemakaian ACE inhibitor sebagai lini pertama penyandang hipertensi pada sindrom metabolik terutama bila ada DM. Angiotensin receptor blocker (ARB) dapat digunakan apabula tidak toleran terhadap ACE inhibitor. Meski pemberian diuretik tidak dianjurkan pada subjek dengan gangguan toleransi glukosa, namun pemberian diuretik dosis rendah yang dikombinasi dengan regimen lain dapat lebih bermanfaat bila dibandingkan efek sampingnya. Gangguan toleransi glukosa Tiazolidindion memiliki pengaruh yang ringan tetapi persisten dalam menurunkan tekanan darah sistolik dan diastolik. Tiazolidindion dan metformin juga dapat menurunkan konsentrasi asam lemak bebas. Dalam Diabetes Prevention Program, penggunaan metformin dapat mengurangi progresi didabetes sebesar 31% dan efektif pada pasien muda dengan obes. Dislipidemia Apabila gagal dengan pengobatan non-farmakologis maka harus dimulai dengan pemberian obat penurun lipid. Terapi dengan gemfibrozil tidak hanya memperbaiki profil lipid, tetapi juga secara bermakna dapat menurunkan risiko kardiovaskular. NCEP-ATP III menganjurkan sebagai obat pilihan untama adalah golongan HMG-CoA reductase inhibitor, oleh karena sesuai dengan kesepakatan kadar kolesterol-LDL merupakan sasaran utama pencegahan penyakit arteri koroner. Pada keadaan dimana kadar trigliserida tinggi misalnya > 400 mg/dl maka perlu dimulai dengan golongan asam fibrat untuk menurunkan kadar trigliserida, oleh karena kadar trigliserida yang tinggi dapat mengakibatkan pancreatitis akut. Apabila kadar trigliserida sudah turun dan kadar kolesterol-LDL belum mencapai sasaran maka dapat diberikan pengobatan kombinasi dengan HMG CoA reductase inhibitor.
Kombinasi tersebut sebaiknya dipilih asam fibrat fenofobrat jangan gemfibrosil. Dengan berkembangnya obat ombinasi dalam satu tablet (fixed dose combination), maka pilihan obat akan mengalami perubahan. Sebagi contoh kombinasi lovostatin dan asam nikotinik lepas lambat Niaspan) dikenal dengan Advicor telah dibuktikan jauh lebih efektif dibandingakn dengan lovostatin sendiri atau asam nikotinik sendiri dalam dosis yang tinggi. Kombinasi simvastatin dengan ezetimibe yaitu Vytorin, ternyata mempunyai efek lebih dibandingkan dengan simvastatin dosis tinggi tunggal. Obat kombinasi dalam satu tablet mungkin akan lebih banyak digunakan bagi mereka dimana kadar kolesterol-LDL harus sangat rendah atau kolesterol-HDL perlu ditingkatkan. Terapi bedah Terapi bedah merupakan salah satu pilihan untuk menurunkan berat badan. Terapi ini hanya memberikan pada pasien obesitas berat secara klinis dengan BMI 40 atau 35 dengan kondisi komorbid. Terapi bedah ini harus dilakukan dengan alternative terakhir untuk pasien yang gagal dengan farmakoterapi dan menderita komplikasi obesitas yang ekstrem. Bedah gastrointestinal (restriksi gastric [banding vertical gastric] atau bypass gastric [Rouxen Y]) adalah suatu intervensi penurunan berat badan pada subyek yang bermotivasi dengan resiko operasi yang rendah. Suatu program yang terintegrasi harus dilakukan baik sebelum maupun sesudah untuk memberikan panduan diet, aktivitas fisik, dan perubahan perilaku serta dukungan social. III. KOMPLIKASI Kegemukan (obesitas), tekanan darah tinggi, diabetes mellitus dan dislipidemia secara sendiri-sendiri sudah sejak lama diketahui sebagai factor resiko terjadinya penyakit jantung koroner. Demikian pula adanya factor-faktor tersebut secara bersamaan pada seseorang telah sangat dikenal akan jauh meningkatkan kemungkinan terjadinya Penyakit jantung Koroner. Dengan demikian penderita dengan Sindroma Metabolik kemungkinan untuk mendapatkan / terkena penyakit jantung koroner dan penyakit kardiovaskuler lainnya akan meningkat. IV. PROGNOSIS Baik kalau segera ditangani ketika muncul gejala Sinrom Metabolik V. PREVENTIF Pada umumnya menjaga factor resiko sesuai dengan etiologi dari sindrom metabolic, serta menjaga untuk mendapatkan berat badan ideal pada pasien obesitas dan selalu
memeriksa profil lipid pada pasien yang mempunyai resiko terkena penyakit tersebut. Diet serta aktivitas fisik untuk mencegah kegemukan. DAFTAR PUSTAKA Sudoyo AW, et all. S. Ilmu Penyakit Dalam. Edisi kelima jilid III. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2009.h. 1865-72. Sylvia, A , Prince, Lorraine , et. al. Patofisiologi. 6th ed, vol. 1. Jakarta : EGC 2006; h.12021213. Syarif, Aamir. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.2008.h:493-5.