Anda di halaman 1dari 31

PRESENTASI KASUS EPILEPSI

PEMBIMBING

Dr. Marwatal Hutadjulu, SpS

PENYUSUN Tri Novia Maulani 030.08.243

KEPANITERAAN KLINIK NEUROLOGI RSUP FATMAWATI PERIODE 10 JUNI 14 JULI 2013 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

BAB I Pendahuluan Epilepsi berasal dari perkataan Yunani yang berarti "serangan" atau penyakit yang timbul secara tiba-tiba. Epilepsi merupakan penyakit yang umum terjadi dan penting di masyarakat. Permasalahan epilepsi tidak hanya dari segi medik tetapi juga sosial dan ekonomi yang menimpa penderita maupun keluarganya. Dalam kehidupan sehari-hari, epilepsi merupakan stigma bagi masyarakat. Mereka cenderung untuk menjauhi penderita epilepsi. 2 Epilepsi merupakan salah satu penyakit neurologi utama dengan permasalahan yang komplek. Epilepsi memiliki beban sakit yang signifikan,terutama dinegara-negara berkembang dimana menunjukkan bahwa tingkat cedera dan kematian lebih tinggi pada penyandang epilepsy dibanding populasi normal. Epilepsi juga dihubungjan dengan konsekuensi psikososial yang lebih berat bagi para panyandangnya.Stigma sosial yang melekat pada epilepsi juga menghambat panyandangnya untuk terlibat dalam kegiatan olahraga , pekerjaan, pendidikan dan pernikahan. Akibatnya banyak yang menderita epilepsi yang tak terdiagnosis dan mendapat pengobatan yang tidak tepat sehingga menimbulkan dampak klinik dan psikososial yang merugikan baik bagi penderita maupun keluarganya. epidemiologi, epilepsi
3

Oleh

karena itu, pada tinjauan kepustakaan ini akan dijabarkan tentang definisi, etiologi, klasifikasi, patofisiologi, gejala, diagnosis, dan terapi

BAB II STATUS NEUROLOGI I. IDENTITAS PASIEN : 00902181 : Tn. W : 62 tahun : Laki-laki : Jakarta, 5 Juli 1951 : Pensiunan : SMA : Menikah : Jawa : Jl.Gunung Merbabu : Islam : 17 Juni 2013

No RM Nama Usia Jenis Kelamin Tempat tanggal lahir Pekerjaan Pendidikan terakhir Status pernikahan Suku Alamat Agama Tanggal Kunjungan RS

II.

ANAMNESIS

Tanggal 17 Juni 2013 pasien masuk Poli Saraf & dilakukan anamnesis pukul 09.00 WIB Keluhan Utama : Riwayat Penyakit Sekarang: Pasien datang kontrol dengan riwayat kejang berulang Pasien datang ke poli saraf untuk kontrol karena obat habis. Terakhir kali kejang sekitar 2 tahun yang lalu. Kejang terjadi dikarenakan pasien tidak meminum obat. Kejang terjadi 1 kali. Dengan durasi sekitar

10 menit. Sebelum kejang pasien mengaku tidak merasakan suatu perasaan yang aneh, baik mencium sesuatu maupun merasakan perubahan pada dirinya. Tidak ada kejadian tertentu sebagai pencetus kejang. Kejang dideskripsikan oleh ibu pasien sebagai kelojotan. Didahului dengan gerakan kaku dan kemudian pasien seperti kelojotan, seluruh anggota gerak bergerak disaat yang bersamaan. Pada saat kejang pasien tidak sadar. Mata mendelik keatas disertai mulut yang berbusa. Setelah selesai serangan, pasien mengaku tidak ingat apa yang telah terjadi pada dirinya. Pasien mengaku selama ini rajin control sebulan sekali dan minum obat secara teratur. Penyakit yang menyertai seperti pusing, demam, mual, serta muntah proyektil disangkal. Pandangan ganda(-), bicara pelo (-), kesemutan (-), kelemahan tiba-tiba (-). Rasa tidak nyaman ketika melihat cahaya yang terang maupun mendengar suara yang bising disangkal.

Riwayat Penyakit Dahulu: Pasien pertama kali kejang pada usia 8 bulan. Pada saat itu sebelum kejang pasien mengalami demam tinggi dan kemudian mengalami kejang yang memiliki durasi sekitar 1 menit. Sekitar kurang lebih 6 jam kemudian pasien kembali kejang untuk kedua kalinya. Ibu pasien tidak ingat persis bagaimana deskripsi kejang pada saat itu. Pasien pertama kali datang ke poli saraf RSUP Fatmawati pada tanggal 27 Agustus 2004 dengan keluhan kejang dari tanggal 19 Agustus 21 Agustus. Selama 3 hari tersebut kejang sebanyak 10x per hari. Dengan durasi 2 menit. Pola kejang selalu sama. Kejang tidak didahului dengan gerakan salah satu anggota tubuh. Pada saat kejang seperti kelojotan dan disertai mata mendelik keatas serta mulut yang berbusa. Setelah kejang pasien tertidur sempat terbangun kembali sebelum

mengalami serangan yang kedua. Begitu seterusnya. Pada saat itu pasien berusia 10 tahun dengan BB 44 kg. diberikan obat Trileptal -1-1, depakote 2 x 250 mg, Asam folat 2 x 1 tab. Setelah itu pasien rutin kontrol tiap bulan ke poli saraf RSUP Fatmawati. Dan setiap bulan mengalami bangkitan 1 -2 kali.

Riwayat tumbuh kembang : Pasien lahir normal, cukup bulan. Dengan BB 4,25 Kg dan TB 50 cm. pasien menangis spontan dan tidak ada kelainan pada saat itu. Pada saat hamil, ibu pasien mengaku tidak memiliki penyakit apapun, riwayat demam saat hamil disangkal. Ibu pasien tidak mengkonsumsi obat obatan apapun selama kehamilan. Pasien mulai berjalan pada usia 1 tahun. Dan mulai berbicara pada usia 1,5 tahun. Riwayat jatuh atau terbentur pada bagian kepala saat pasien masih balita tidak diketahui oleh ibu pasien karena pasien dirawat oleh pembantu rumah tangga.

Riwayat Penyakit Keluarga: Tidak ada anggota keluarga yang pernah mengalami keluhan yang sama seperti pasien. Riwayat kejang demam dalam keluarga disangkal.

III.

PEMERIKSAAN FISIK

Keadaan umum Kesadaran GCS Keadaan Umum Status gizi Tanda Vital : Compos Mentis : E4M6V5 : Baik : Baik : Tekanan darah Nadi Suhu Pernafasan : 120/80 mmHg : 88x/menit,regular,isi cukup : 36,5o C :19x/menit regular

Keadaan Lokal Trauma Stigmata Perdarahan perifer :: Capillary refill time < 2 detik

Pulsasi arteri karotis : cukup, regular equal kanan kiri KGB : tidak teraba membesar, nyeri tekan (-)

Columna Vertebralis : Lurus ditengah, tidak ada nyeri tekan

Kepala : rambut hitam, tidak mudah dicabut, jejas (-), nyeri tekan perikranial (-) Mata : conjungtiva anemis (-)/(-), sclera ikterik (-)/(-). Pupil bulat isokhor, RCL (+)/(+), RCTL (+)/(+) THT Telinga Hidung Tenggorokan Gigi & Mulut :Deformitas (-)/ (-): serumen minimal : Pernafasan cuping hidung ( - ): Deformitas (-) : T1/T1 Tidak hiperemis : Oral trusth ( - )

Leher

: Tiroid tidak teraba, JVP 5-2 cmH20 sternokleidomastoideus (-):

Penggunaan otot pernafasan tambahan m. pembesaran KGB (- ) nyeri tekan (-) Paru Inspeksi Palpasi : gerakan nafas simetris dalam statis & dinamis

: Nyeri tekan (-), emphysema subkutis (-) vocal fremitus sama pada lapang paru dextra et sinistra : Sonor pada kedua lapang paru

Perkusi

Auskultasi : Suara nafas lapang paru dextra et sinistra vesikuler; Tidak ada suara nafas tambahan. Ronkhi ataupun wheezing pada kedua lapang paru Jantung Inspeksi Palpasi sinistra Perkusi : Ictus Cordis tidak terlihat : teraba Ictus ordis pada 2 jari medial Linea Midclavicula ICS 5 : Pinggang jantung ICS III Linea parasternalis sinistra : Batas kanan ICS 4 linea parasternalis dextra : Batas Kiri 2 jari medial Linea midclavicularis sinistra ICS sinistra Auskultasi Abdomen Inspeksi Palpasi Perkusi Auskultasi Punggung Genitalia Eksterna : datar, tidak tampak buncit. : supel, nyeri tekan (-), defanse muscular (-), hepatoslenomegali (-) : Timpani : BU (+) normal :deformitas (-), gibus (-) : tidak diperiksa : BJ I & II regular, Murmur (-), Gallop (-) 5

Ekstremitas

: perfusi baik, akral hangat +/+,edem pitting -/-, sianosis -/-,clubbing finger -/: Tidak ada kelainan

Kelenjar Getah Bening

Status Neulologis

GCS

: E4M6V5

TRM Kaku kuduk Brudzinski I (-) (- / -)

Brudzinski II (- / - ) Laseque >70o/>70o

Kernig >135o/>135o

Saraf Kranialis N.I - Olfaktori N.II - Optikus Acies Visus Visus Campus Lihat warna Funduskopi : kesan baik Dextra et Sinistra : kesan baik Dextra et Sinistra : kesan baik Dextra et Sinistra : tidak diperiksa : baik

N. III (oculomotor) ,IV (tokhlearis) dan VI (absusen) Kedudukan bola mata : Ortophori Dextra et Sinistra Pergerakan bola mata : Baik ke segala arah Eksoftalmus : Dextra et Sinistra -/-

Nistagmus

: Dextra et Sinistra -/-

Pupil bulat, isokor, 3mm/3mm RCL +/+ RCTL +/+ Akomodasi Konvergensi N. V (trigeminus) Cab. Motorik Gerakan Rahang : Dextra et Sinistra baik Menggigit Cab. Sensorik Opthalmicus Maksilaris Mandibularis Reflek Corneal reflex Jaw refleks N. VII (fasialis) Motorik orbitofrontal: baik Motorik orbikularis: baik Pengecap lidah : baik N.VIII (vestobulochoclear) Vestibular Koklear : Dextra et Sinistra baik : Dextra et Sinistra baik : Dextra et Sinistra +/+ : Dextra et Sinistra -/: Dextra et Sinistra baik : Dextra et Sinistra baik : Dextra et Sinistra baik : Dextra et Sinistra baik : Dextra et Sinistra +/+ : Dextra et Sinistra +/+

N. IX (glosofaringeus), X (vagus) Motorik Sensorik N. XI (Aksesorius) Mengangkat bahu: baik : Dextra et Sinistra baik : Dextra et Sinistra baik

Menoleh N. XII (Hipoglosus)

: baik

Pergerakkan lidah Atrofi Fasikulasi Tremor Trofi Tonus Sistem Motorik :Eutrofi : Normotonus : Ekstremitas

: baik :::-

: Atas : Bawah

5555 | 5555 5555 | 5555

Sistem Sensorik Propioseptif : Dextra et Sinistra baik

Eksteroseptif : Dextra et Sinistra baik Fungsi Otonom Miksi Defekasi Sekresi Keringat Reflek Fisiologis Biseps Triseps Radius Patella Achiles Reflek Patologi Hoffman tromer :-|: +2 |+ 2 : +2 |+ 2 : +2 |+ 2 : +2 |+ 2 : +2 |+ 2 : Baik : Baik : Baik

Babinski Chaddok Oppenhein Schafer Gonda Mendel-Bechterew Klonus Patella Klonus Achiles Gerakan Involunter Tremor Khorea Atetose Mioklonik Tik Fungsi Serebelar Ataksia Disdiadokinesis Jari-jari Jari-hidung Tumit-lutut

:-|:-|:-|:-|:-|:-|:-|:-|-

:-|:-|:-|:-|:-|-

:-|:-|:-|:-|:-|-

Fenomena Rebound : - | Hipotoni Fungsi Luhur Astereognosia Apraksia :-|:-|:-|-

Afasia Keadaan Psikis Inteligensia Tanda regresi Demensia

:-|-

: baik ::-

IV.

PEMERIKSAAN PENUNJANG 1. Lab darah

PEMERIKSAAN HEMATOLOGI Hemoglobin Hematokrit Lekosit Trombosit Eritrosit VER/HER/KHER/RDW VER HER KHER RDW HITUNG JENIS Basofil Eosinofil

NILAI RUJUKAN

HASIL

11,7 15, 5 g/dl 33 45 % 5, 0 10,0 ribu/ul 150 440 ribu/ul 3,80 5,20 juta/ul

13,3 40 5,7 331 4,69

80,0 100,0 fl 26,0 34,0 pg 32,0 36,0 g/dl 11,5 14,5%

84,4 28,4 33,6 11,4

0,0 1,0% 1,0 3,0%

0,0 1,0

Netrofil Limfosit Monosit FUNGSI HATI SGOT SGPT FUNGSI GINJAL Ureum darah Creatinin darah

50,0 70,0 % 20,0 40,0 % 2,0 8,0 %

55,0 39,0 5,0

0 34 U/l 0 40 U/l

22 21

20 40 mg/dl 0,6 1,5 mg/dl

10 0,4

2. EEG

Kesan : Abnormal dengan perlambatan dan focus epileptiform di TPC kiri.

V.

RESUME

Pasien datang kontrol dengan Riwayat kejang. Riwayat Penyakit Sekarang: Pasien datang kontrol dengan riwayat kejang berulang Pasien terakhir kali kejang sekitar 2 bln yg lalu. Kejang terjadi dikarenakan pasien tidak meminum obat. Kejang terjadi hanya 1 kali. Dengan durasi sekitar 2 menit. Sebelum kejang pasien mengaku tidak merasakan suatu perasaan yang aneh, baik mencium sesuatu maupun merasakan perubahan pada dirinya. Tidak ada kejadian tertentu sebagai pencetus kejang. Kejang tidak didahului dengan pergerakan dari salah satu anggota badan terlebih dahulu. Kejang dideskripsikan oleh ibu pasien sebagai

kelojotan. Didahului dengan gerakan kaku dan kemudian pasien seperti kelojotan, seluruh anggota gerak bergerak disaat yang bersamaan. Pada saat kejang pasien tidak sadar. Mata mendelik keatas disertai mulut yang berbusa. Setelah selesai serangan, pasien kemudian tertidur kurang lebih 1 jam. Pasien mengaku setelah kejang langsung tertidur dan begitu terbangun tidak merasakan keanehan apapun pada tubuhnya. Pasien pertama kali kejang pada usia 8 bulan. Pada saat itu sebelum kejang pasien mengalami demam tinggi dan kemudian mengalami kejang yang memiliki durasi sekitar 1 menit. Sekitar kurang lebih 6 jam kemudian pasien kembali kejang untuk kedua kalinya. Ibu pasien tidak ingat persis bagaimana deskripsi kejang pada saat itu. Pasien pertama kali datang ke poli saraf RSUP Fatmawati pada tanggal 27 Agustus 2004 dengan keluhan kejang pada tanggal 19-21 Agustus kejang sebanyak 10x per hari. Dengan durasi 2 menit. Pola kejang selalu sama. Kejang tidak didahului dengan gerakan salah satu anggota tubuh. Pada saat kejang seperti kelojotan dan disertai mata mendelik keatas serta mulut yang berbusa. Setelah kejang pasien tertidur dan pasien sempat terbangun sebelum bangkitan berikutnya. Begitu seterusnya. Pada saat itu pasien berusia 10 tahun dengan BB 44 kg. diberikan obat Trileptal -1-1, depakote 2 x 250 mg, Asam folat 2 x 1 tab. Setelah itu pasien rajin kontrol setiap bulan ke poli saraf RSUP Fatmawati. Dan setiap bulan mengalami bangkitan 1 2 kali.

Pemeriksaan penunjang EEG Kesan : Abnormal dengan perlambatan dan focus epileptiform di TPC kiri.

VI.

DIAGNOSIS : Bangkitan epilepsi umum tipe tonik klonik : idiopatik : Korteks lobus temporalis

Diagnosis Klinis Diagnosis Etiologis Diagnosis Topis

VII.

TATALAKSANA

Farmakologi Depakote 2 x 250 mg Luminal 2x 3 Asam folat 2 x 1

Non-Farmakologi Hindari pemicu bangkitan Minum obat teratur

VIII. PROGNOSIS Quo Ad Vitam : Bonam

Quo Ad Functionam : Dubia ad bonam Quo Ad Sanationam : Dubia ad malam

BAB III TINJAUAN PUSTAKA 2.1 DEFINISI Kejang merupakan manifestasi berupa pergerakan secara mendadak dan tidak terkontrol yang disebabkan oleh kejang involunter saraf otak.4 Menurut International League Against Epilepsy (ILAE) dan International Bureau for Epilepsy (IBE) pada tahun 2005 epilepsi didefinisikan sebagai suatu kelainan otak yang ditandai oleh adanya faktor predisposisi yang dapat mencetuskan kejang epileptik, perubahan neurobiologis, kognitif, psikologis dan adanya konsekuensi sosial yang diakibatkannya. Definisi ini membutuhkan sedikitnya satu riwayat kejang epilepsi sebelumnya. 5 Sedangkan status epileptikus merupakan kejang yang terjadi > 30 menit atau kejang berulang tanpa disertai pemulihan kesadaran kesadaran diantara dua serangan kejang.5 2.2 . EPIDEMIOLOGI Epilepsi merupakan salah satu kelainan otak yang serius dan umum terjadi, sekitar lima puluh juta orang di seluruh dunia mengalami kelainan ini. Angka epilepsi lebih tinggi di negara berkembang. Insiden epilepsi di negara maju ditemukan sekitar 50/100,000 sementara di negara berkembang mencapai 100/100,000.7 Di negara berkembang sekitar 80-90% diantaranya tidak mendapatkan pengobatan apapun.8 Penderita laki-laki umumnya sedikit lebih banyak dibandingkan dengan perempuan. Insiden tertinggi terjadi pada anak berusia di

bawah 2 tahun (262/100.000 kasus) dan uisa lanjut di atas 65 tahun (81/100.000 kasus). 9 Epilepsi merupakan salah satu penyakit saraf kronik kejang berulang muncul tanpa diprovokasi. Penyebabnya adalah kelainan bangkitan listrik jaringan saraf yang tidak terkontrol baik sebagian maupun seluruh bagian otak. Keadaan ini bisa di indikasikan sebagai disfungsi otak. Pendataan secara global ditemukan 3.5 juta kasus baru per tahun diantaranya 40% adalah anak-anak dan dewasa sekitar 40% serta 20% lainnya ditemukan pada usia lanjut.2,3 Gejala dan tanda klinik bangkitan epilepsi sangat bervariasi dan tergantung pada lokasi neuron kortikal yang mengalami gangguan. Loncatan elektrik abnormal sebagai pencetus serangan sangat sering berasal dari neuronneuron kortikal. Faktor lain yang ikut berperan dalam terjadinya bangkitan adalah ketidakseimbangan neurotransmiter eksitasi dan inhibisi, dan gangguan saluran ion di reseptor yang berperan terhadap kegiatan eksitatorik neurotransmiter. Ikatan eksitatorik dengan reseptor terkait akan membuka pintu untuk masuknya ion kalsium yang berlebihan kedalam sel sebagai penyebab dari kematian sel yang berdampak pada kualitas otak dalam hal ini fungsi hipokampus dan korteks serta mengarah pada gangguan perilaku termasuk bunuh diri 2.3. ETIOLOGI Ditinjau dari penyebab, epilepsi dapat dibagi menjadi 3 golongan yaitu :11 1) Epilepsi idiopatik : penyebabnya tidak diketahui, meliputi 50% dari penderita epilepsi anak dan umumnya mempunyai predisposisi genetik, awitan biasanya pada usia > 3 tahun. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan ditemukannya alat alat diagnostik yang canggih kelompok ini makin kecil 2) Epilepsi simptomatik: disebabkan oleh kelainan/lesi pada susunan saraf pusat. Misalnya : post trauma kapitis, infeksi susunan saraf pusat (SSP), gangguan metabolik, malformasi otak kongenital, asphyxia neonatorum, lesi desak ruang, gangguan peredaran darah otak, toksik (alkohol,obat), kelainan neurodegeneratif.

3) Epilepsi kriptogenik: dianggap simtomatik tetapi penyebabnya belum diketahui, termasuk disini adalah sindrom West, sindron Lennox-Gastaut dan epilepsi mioklonik 2.4. KLASIFIKASI Klasifikasi Internasional Kejang Epilepsi menurut International League Against Epilepsy (ILAE) 1981: 12 I . Kejang Parsial (fokal) A. Kejang parsial sederhana (tanpa gangguan kesadaran) 1. Dengan gejala motorik 2. Dengan gejala sensorik 3. Dengan gejala otonomik 4. Dengan gejala psikik B. Kejang parsial kompleks (dengan gangguan kesadaran) 1. Awalnya parsial sederhana, kemudian diikuti gangguan kesadaran a. Kejang parsial sederhana, diikuti gangguan kesadaran b. Dengan automatisme 2. Dengan gangguan kesadaran sejak awal kejang a. Dengan gangguan kesadaran saja b. Dengan automatisme C. Kejang umum sekunder/ kejang parsial yang menjadi umum (tonikklonik, tonik atau klonik) 1. 2. 3. Kejang parsial sederhana berkembang menjadi kejang umum Kejang parsial kompleks berkembang menjadi kejang umum Kejang parsial sederhana berkembang menjadi parsial kompleks, dan berkembang menjadi kejang umum II. Kejang umum (konvulsi atau non-konvulsi) A. B. C. D. Absens Mioklonik Tonik Atonik

E. F.

Klonik Tonik-klonik

III. Kejang epileptik yang tidak tergolongkan Klasifikasi Epilepsi berdasarkan Sindroma menurut ILAE 1989 : I. Berkaitan dengan letak fokus A. Idiopatik Benign childhood epilepsy with centrotemporal spikes Childhood epilepsy with occipital paroxysm

B. Simptomatik Lobus temporalis Lobus frontalis Lobus parietalis Lobus oksipitalis

II. Epilepsi Umum A. Idiopatik Benign neonatal familial convulsions, benign neonatal convulsions Benign myoclonic epilepsy in infancy Childhood absence epilepsy Juvenile absence epilepsy Juvenile myoclonic epilepsy (impulsive petit mal) Epilepsy with grand mal seizures upon awakening Other generalized idiopathic epilepsies

B. Epilepsi Umum Kriptogenik atau Simtomatik Wests syndrome (infantile spasms) Lennox gastaut syndrome

Epilepsy with myoclonic astatic seizures Epilepsy with myoclonic absences

C. Simtomatik Etiologi non spesifik Early myoclonic encephalopathy Specific disease states presenting with seizures

2.5. PATOFISIOLOGI Dasar serangan epilepsi ialah gangguan fungsi neuron-neuron otak dan transmisi pada sinaps. Ada dua jenis neurotransmitter, yakni neurotransmitter eksitasi yang memudahkan depolarisasi atau lepas muatan listrik dan neurotransmitter inhibisi (inhibitif terhadap penyaluran aktivitas listrik saraf dalam sinaps) yang menimbulkan hiperpolarisasi sehingga sel neuron lebih stabil dan tidak mudah melepaskan listrik. Di antara neurotransmitter-neurotransmitter eksitasi dapat disebut glutamate, aspartat, norepinefrin dan asetilkolin sedangkan neurotransmitter inhibisi yang terkenal ialah gamma amino butyric acid (GABA) dan glisin. Jika hasil pengaruh kedua jenis lepas muatan listrik dan terjadi transmisi impuls atau rangsang. Dalam keadaan istirahat, membran neuron mempunyai potensial listrik tertentu dan berada dalam keadaan polarisasi. Aksi potensial akan mencetuskan depolarisasi membran neuron dan seluruh sel akan melepas muatan listrik. Oleh berbagai faktor, diantaranya keadaan patologik, dapat merubah atau mengganggu fungsi membran neuron sehingga membran mudah dilampaui oleh ion Ca dan Na dari ruangan ekstra ke intra seluler. Influks Ca akan mencetuskan letupan depolarisasi membran dan lepas muatan listrik berlebihan, tidak teratur dan terkendali. Lepas muatan listrik demikian oleh sejumlah besar neuron secara sinkron merupakan dasar suatu serangan epilepsi. Suatu sifat khas serangan epilepsi ialah bahwa beberapa saat serangan berhenti akibat pengaruh proses

inhibisi. Diduga inhibisi ini adalah pengaruh neuron-neuron sekitar sarang epileptic. Selain itu juga sistem-sistem inhibisi pra dan pasca sinaptik yang menjamin agar neuron-neuron tidak terus-menerus berlepas muatan memegang peranan. Keadaan lain yang dapat menyebabkan suatu serangan epilepsi terhenti ialah kelelahan neuron-neuron akibat habisnya zat-zat yang penting untuk fungsi otak.13

Silbernagl S. Color Atlas of Pathophysiology. New York: Thieme. 2000 2.6 GEJALA Kejang parsial simplek, seranagan di mana pasien akan tetap sadar. Pasien akan mengalami gejala berupa:

deja vu: perasaan di mana pernah melakukan sesuatu yang sama sebelumnya. Perasaan senang atau takut yang muncul secara tiba-tiba dan tidak dapat dijelaskan Perasaan seperti kebas, tersengat listrik atau ditusuk-tusuk jarum pada bagian tubih tertentu. Gerakan yang tidak dapat dikontrol pada bagian tubuh tertentu Halusinasi

Kejang parsial (psikomotor) kompleks, serangan yang mengenai bagian otak yang lebih luas dan biasanya bertahan lebih lama. Pasien mungkin hanya sadar sebagian dan kemungkinan besar tidak akan mengingat waktu serangan. Gejalanya meliputi: Gerakan seperti mencucur atau mengunyah Melakukan gerakan yang sama berulang-ulang atau memainkan pakaiannya Melakukan gerakan yang tidak jelas artinya, atau berjalan berkeliling dalam keadaan seperti sedang bingung Gerakan menendang atau meninju yang berulang-ulang Berbicara tidak jelas seperti menggumam.

Kejang tonik klonik (epilepsy grand mal), merupakan tipe kejang yang paling sering, di mana terdapat dua tahap: tahap tonik atau kaku diikuti tahap klonik atau kelonjotan. Pada serangan jenis ini pasien dapat hanya mengalami tahap tonik atau klonik saja. Serangan jenis ini biasa didahului oleh aura. Aura merupakan perasaan yang dialami sebelum serangan dapat berupa: merasa sakit perut, baal, kunang-kunang, telinga berdengung. Pada tahap tonik pasien dapat: kehilangan kesadaran, kehilangan keseimbangan dan jatuh karena otot yang menegang, berteriak tanpa alasan yang jelas, menggigit pipi bagian dalam atau lidah. Pada saat fase klonik: terjaadi kontraksi otot yang berulang dan tidak terkontrol, mengompol atau buang air besar yang tidak dapat dikontrol, pasien tampak sangat pucat, pasien mungkin akan merasa lemas, letih ataupun ingin tidur setelah serangan semacam ini.14

2.7

DIAGNOSIS Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan fisik dengan hasil pemeriksaan EEG dan radiologis. 15 2.7.1 Anamnesis Anamnesis harus dilakukan secara cermat, rinci dan menyeluruh. Anamnesis menanyakan tentang riwayat trauma kepala dengan kehilangan kesadaran, meningitis, ensefalitis, gangguan metabolik, malformasi vaskuler dan penggunaan obat-obatan tertentu. Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi: a) Pola / bentuk serangan b) Lama serangan c) Gejala sebelum, selama dan paska serangan d) Frekueensi serangan e) Faktor pencetus

f) Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang g) Usia saat serangan terjadinya pertama h) Riwayat kehamilan, persalinan dan perkembangan i) Riwayat penyakit, penyebab dan terapi sebelumnya j) Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga 2.7.2 Pemeriksaan fisik umum dan neurologis Melihat adanya tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi, seperti trauma kepala, infeksi telinga atau sinus, gangguan kongenital, gangguan neurologik fokal atau difus. Pemeriksaan fisik harus menepis sebabsebab terjadinya serangan dengan menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Pada anakanak pemeriksa harus memperhatikan adanya keterlambatan perkembangan, organomegali, perbedaan ukuran antara anggota tubuh dapat menunjukkan awal gangguan pertumbuhan otak unilateral. 2.7.3 Pemeriksaan penunjang a) Elektro ensefalografi (EEG) Pemeriksaan EEG harus dilakukan pada semua pasien epilepsi dan merupakan pemeriksaan penunjang yang paling sering dilakukan untuk rnenegakkan diagnosis epilepsi. Akan tetapi epilepsi bukanlah gold standard untuk diagnosis. Hasil EEG dikatakan bermakna jika didukung oleh klinis. Adanya kelainan fokal pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak, sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik. Rekaman EEG dikatakan abnormal: 1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang sama di kedua hemisfer otak. 2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat dibanding seharusnya misal gelombang delta. 3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak normal, misalnya gelombang tajam, paku (spike) , dan gelombang lambat yang timbul secara paroksimal.

b) Rekaman video EEG Rekaman EEG dan video secara simultan pada seorang penderita yang sedang mengalami serangan dapat meningkatkan ketepatan diagnosis dan lokasi sumber serangan. Rekaman video EEG memperlihatkan hubungan antara fenomena klinis dan EEG, serta memberi kesempatan untuk mengulang kembali gambaran klinis yang ada. Prosedur yang mahal ini sangat bermanfaat untuk penderita yang penyebabnya belum diketahui secara pasti, serta bermanfaat pula untuk kasus epilepsi refrakter. Penentuan lokasi fokus epilepsi parsial dengan prosedur ini sangat diperlukan pada persiapan operasi. c. Pemeriksaan Radiologis Pemeriksaan yang dikenal dengan istilah neuroimaging bertujuan untuk melihat struktur otak dan melengkapi data EEG. Bila dibandingkan dengan CT Scan maka MRl lebih sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI bermanfaat untuk membandingkan hipokampus kanan dan kiri serta untuk membantu terapi pembedahan. VIII. TERAPI Tujuan terapi epilepsi adalah tercapainya kualitas hidup optimal untuk pasien. Prinsip terapi farmakologi epilepsi yakni: OAE mulai diberikan bila diagnosis epilepsi sudah dipastikan, terdapat minimal dua kali bangkitan dalam setahun, pasien dan keluarga telah mengetahui tujuan pengobatan dan kemungkinan efek sampingnya. Terapi dimulai dengan monoterapi Pemberian obat dimulai dari dosis rendah dan dinaikkan bertahap sampai dosis efektif tercapai atau timbul efek samping; kadar obat dalam plasma ditentukan bila bangkitan tidak terkontrol dengan dosis efektif. Bila dengan pengguanaan dosis maksimum OAE tidak dapat mengontrol bangkitan, ditambahkan OAE kedua. Bila OAE kedua telah mencapai kadar terapi, maka OAE pertama diturunkan bertahap perlahan-lahan.

Penambahan OAE ketiga baru dilakukan setelah terbukti bangkitan tidak dapat diatasi dengan pengguanaan dosis maksimal kedua OAE pertama.

Pasien dengan bangkitan tunggal direkomendasikan untuk dimulai terapi bila kemungkinan kekambuhan tinggi , yaitu bila: dijumpai fokus epilepsi yang jelas pada EEG, terdapat riwayat epilepsi saudara sekandung, riwayat trauma kepala disertai penurunan kesadaran, bangkitan pertama merupakan status epileptikus. 16 Prinsip mekanisme kerja obat anti epilepsi : Meningkatkan neurotransmiter inhibisi (GABA) Menurunkan eksitasi: melalui modifikasi kponduksi ion: Na+, Ca2+, K+, dan Cl- atau aktivitas neurotransmiter. Epilepsi yang merupakan penyakit saraf kronik kejang masih tetap merupakan problem medik dan sosial. Masalah medic yang disebabkan oleh gangguan komunikasi neuron bisa berdampak pada gangguan fisik dan mental dalam hal gangguan kognitif. Dilain pihak obat-obat antiepilepsi juga bisa berefek terhadap gangguan kognitif. Oleh sebab itu pertimbangan untuk pemberian obat yang tepat adalah penting mengingat efek obat yang bertujua untuk menginhibisi bangkitan listrik tapi juga bisa berefek pada gangguan memori. Levetirasetam salah satu obat antiepilepsi mempunyai keistimewaan dalam hal ikatan dengan protein SVA2 di presinaptik. Selain itu sampai sekarang ini belum ditemukan efek gangguan kognitif dan dapat digunakan pada penderita epilepsy yang mengidap penyakit termasuk ansietas dan depresi. Prinsip penanggulangan bangkitan epilepsi dengan terapi farmaka mendasar pada beberapa faktor antara lain blok kanal natrium, kalsium, penggunaan potensi efek inhibisi seperti GABA dan menginhibisi transmisi eksitatorik glutamat.6,7 Sekarang ini dikenal dengan pemberian kelompok inhibitorik GABAergik. Beberapa obat antie- pilepsi yang dikenal sampai sekarang ini antara lain karbamazepin (Tegretol), klobazam (Frisium), klonazepam (Klonopin), felbamate (Felbatol), gabapentin (Neurontin), lamotrigin

(Lamiktal), levetirasetam (Keppra), oksarbazepin (Trileptal), fenobarbital (Luminal), fenitoin (Dilantin), pregabalin (Lyrica), tiagabine (Gabitril), topiramat (Topamax), asam valproat (Depakene, Convulex) (Brodie and Dichter, 1996).10 Protokol penanggulangan terhadap status epilepsy dimulai dari terapi benzodiazepine yang kemudian menyusul fenobarbital atau fenitoin. Fenitoin bekerja menginhibisi hipereksitabilitas kanal natrium berperan dalam memblok loncatan listrik.11 Beberapa studi membuktikan bahwa obat antiepilepsi selain mempunyai efek samping, juga bisa berinteraksi dengan obat-obat lain yang berefek terhadap gangguan kognitif ringan dan sedang.12-14 Melihat banyaknya efek samping dari obat antiepilepsi maka memilih obat secara tepat yang efektif sangat perlu mengingat bahwa epilepsi itu sendiri berefek pada kerusakan atau cedera terhadap jaringan otak. Glutamat salah satunya yang berpotensi terhadap kerusakan neuron sebagai activator terhadap reseptor NMDA dan reseptor alpha-amino-3-hydroxy5-methyl-4isoxazolepropionic acid (AMPA). Ikatan glutamate dengan reseptor NMDA dan AMPA akan memperboleh-kan ion kalsium masuk kedalam sel yang bisa menstimulasi kematian dari sel.6 Levetiracetam, termasuk kelompok antikonvulsan terbaru merupakan antiepilepsi yang banyak digunakan walaupun cara kerjanya masih tetap dalam penelitian lanjut.15,16 Levetirasetam adalah derivat dari pirrolidona sebagai obat antiepilepsi berikatan dengan protein SVA2 di vesikel sinaptik yang mempunyai mekanisme berbeda dengan obat antiepilepsi lainnya (ikatan dengan receptor NMDA dan AMPA yakni glutamat dan GABA).17 Pada hewan percobaan ditemukan bahwa potensi levetirasetam berkorelasi dengan perpaduan ikatan obat tersebut dengan SVA2 yang menimbulkan efek sebagai antiepilepsi.18 Dari data penelitian ditemukan bahwa levetiracetam dapat digunakan pada penderita epilepsi dengan berbagai penyakit saraf sentral lainnya seperti pasien epilepsi dengan gangguan kognitif, karena ternyata levetirasetam tidak berinteraksi dengan obat CNS lainnya.19-21 Salah satu andalan dari levetirasetam yang berfungsi sebagai antikonvulsan adalah dengan ditemukannya ikatan levetirasetam dengan protein SVA2. Dari beberapa penelitian membuktikan

bahwa vesikel protein SVA2 di sinaptik adalah satu-satunya protein yang mempunyai ikatan dengan levetirasetam mendasar pada karakter serta pendistribusian molekul protein sebagai antikonvulsan. Keadaan ini terbukti pada hewan percobaan bahwa pemberian levetirasetam yang analog dengan protein SVA2 di vesikel berpotensi sebagai antikonvulsan.22 Sedangkan jika pasien sedang mengalami serangan sikap kita adalah jangan panik , Biarkan serangan berlalu karena serangan akan berhenti dengan sendirinya , amankan penderita dari lingkungan yang membahayakan penderita, longgarkan pakaian yang ketat, posisi kepala dimiringkan (bila kejang sudah berhenti), serta bila serangan berkepanjangan: kirim ke RS Nama obat Fenobarbital Difenilhidantoin [DFH] Dosis/kgBB 2-5 mg/kgBB/Hari 4-10mg/kgBB 1-2dd ESO Mengantuk Sedasi, nistagmus, ataksia Efek psikotropik

(Phenitoin,Dilantin) Karbamazepin (Tegretol, 400-1600mg/kgBB /hari temporol) Diazepam (valium,stesolid)-status epilepsi Penghentian pemberian OAE

Pada OAE secara bertahap dapat dipertimbangkan setelah 2 tahun bebas serangan . Syarat umum menghentikan OAE adalah sebagai berikut: Penghentian OAE dapat didiskusikan dengan pasien atau keluarganya setelah minimal 2 tahun bebas bangkitan Harus dilakukan secara bertahap, pada umumnya 25% dari dosis semula, setiap bulan dalam jangka waktu 3-6 bulan Bila digunakan lebih dari satu OAE, maka penghentian dimulai dari satu OAE yang bukan utama

VIII. ASPEK SOSIAL Cenderung dikucilkan dari lingkungan, cenderung ditolak untuk sekolah Sulit mencari pekerjaan, merupakan aib bagi keluarga, menurunkan rasa percaya diri sertalebih mudah mengalami cedera Mengenai kesempatan bekerja pada dasarnya tidak ada larangan untuk bekerja bagi penderita epilepsi hanya pekerjaan disesuaikan dengan jenis serangan dan penderita harus paham tentang penyakit yang dideritanya. Satu lagi yaitu dukungan positip dari keluarga dan lingkungan kerja Menikah adalah hak azasi manusia, perhatian lebih khusus pada penderita perempuan (menstruasi, hamil, melahirkan, menyusui), Suami-isteri harus selaras, keputusan pahit adalah menunda kehamilan Mengenai mengemudi ada prasyarat yang harus dipenuhi penderita. Yaitu sifatnya sangat terbatas. Lebih aman apabila penderita tidak mengemudi kendaraan (bermotor). Penderita harus memahami kondisinya sendiri secara jujur

DAFTAR PUSTAKA 1. Tjahjadi,P.,Dikot,Y,Gunawan,D. Gambaran Umum Mengenai Epilepsi. In : Kapita Selekta Neurologi. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. 2005. p119-127. 2. Heilbroner, Peter. Seizures, Epilepsy, and Related Disorder, Pediatric Neurology: Essentials for General Practice. 1st ed. 2007 3. Octaviana F. Epilepsi. In: Medicinus Scientific Journal of pharmaceutical development and medical application. Vol.21 Nov-Des 2008. p.121-2. 4. Shorvon SD. HANDBOOK OF Epilepsy Treatment Forms, Causes and Therapy in Children and Adults.2nd ed. America: Blackwell Publishing Ltd. 2005
5. Price dan Wilson. 2006. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses

Penyakit. Ed: 6. Jakarta: EGC 6. Aminoff MJ dkk. Clinical Neurology. 6th ed. New York: McGraw-Hill. 7. Wilkinson I. Essential neurology. 4th ed. USA: Blackwell Publishing. 2005 8. PERDOSSI. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Ed. 3. Jakarta. 2008 9. Jan Sudir Purba Epilepsi :permasalahan di reseptor atau neotransmiter.Departemen Neurologi/RSCM, FK UI Jakarta 10. Gilman,Godman. Dasar farmakologi terapi. edisi 10 jilid 1. EGC : Jakarta . 2008

Anda mungkin juga menyukai