Anda di halaman 1dari 16

I. PENDAHULUAN Dalam kehidupan sehari-hari, di dalam tubuh manusia akan mengalami sebuah proses gerak untuk mempertahankan kehidupannya.

Aktifitas di dalam tubuh seperti gerak jantung yang terus berdenyut, gerakan usus yang meremas dan menyerap nutrisi, paru-paru yang terus mengembang dan mengempis ketika bernapas, hati yang terus melakukan proses netralisir racun, dan banyak lagi organ tubuh yang lainnya yang melakukan aktifitas, proses aktifitas itu semua bisa berjalan karena dipengaruhi sistem saraf. Sistem saraf tersusun oleh berjuta-juta sel saraf yang mempunyai bentuk bervariasi. Sistem ini meliputi sistem saraf pusat dan sistem saraf tepi. Sistem saraf tepi sendiri terdiri dari sistem saraf sadar dan sistem saraf tak sadar (sistem saraf otonom). Sistem saraf sadar mengontrol aktivitas yang kerjanya diatur oleh otak, sedangkan asisem saraf otonom mengontrol aktivitas yang tidak dapat diatur otak antara lain denyut jantung, gerak saluran pencernaan, dan sekresi keringat. Sistem saraf otonom disusun oleh serabut saraf yang berasal dari otak maupun dari sumsum tulang belakang dan menuju organ yang bersangkutan. Dalam sistem ini terdapat beberapa jalur dan masing-masing jalur membentuk sinapsis yang kompleks dan juga membentuk ganglion. Urat saraf yang terdapat pada pangkal ganglion disebut urat saraf pre ganglion dan yang berada pada ujung ganglion disebut urat saraf post ganglion. Sistem saraf otonom dapat dibagi atas dua bagian yaitu sistem saraf simpatik dan sistem saraf parasimpatik yang bekerja secara antagonis terhadap organ yang sama. Saraf simpatik berfungsi mempercepat denyut jantung, memperlebar pembuluh darah, mempertinggi tekanan darah, mempercepat pernafasan dan lain sebagainya yang bersifat mengaktifkan alat-alat tubuh, sementara saraf parasimpatik bekerja sebaliknya. Perbedaan struktur antara saraf simpatik dan parasimpatik terletak pada posisi ganglion. Saraf simpatik mempunyai ganglion yang terletak di sepanjang tulang belakang menempel pada sumsum tulang belakang sehingga mempunyai urat pre ganglion pendek, sedangkan saraf parasimpatik mempunyai urat pre ganglion yang panjang karena ganglion menempel pada organ yang dibantu. 1

II. SISTEM SARAF OTONOM Pengertian sistem saraf otonom adalah sistem saraf yang bergantung pada sistem saraf pusat, dan antara keduanya dihubungkan urat-urat saraf aferen dan eferen. Juga memiliki sifat seolah olah sebagai bagian sistem saraf pusat, yang telah bermigrasi dari saraf pusat guna mencapai kelenjar, pembuluh darah, jantung, paruparu, dan usus. Karena sistem saraf otonom itu terutama berkenaan dengan pengendalian organ-organ dalam secara tidak sadar, kadang-kadang disebut juga susunan saraf tidak sadar. Sistem saraf otonom terutama diaktifkan oleh pusat-pusat yang terletak di medula spinalis, batang otak, dan hipotalamus. Juga, bagian korteks selebri, khususnya korteks limbik, dapat menghantarkan sinyal ke pusat-pusat yang lebih rendah sehingga dengan demikian mempengaruhi pengaturan otonom. Sering kali sistem saraf otonom juga bekerja sebagai refleks viseral. Jadi, sinyal-sinyal sensorik bawah sadar dari organ viseral dapat memasuki ganglia otonom, batang otak, atau hipotalamus dan kemudian mengembalikan respons refleks bawah sadar langsung ke organ-organ viseral dan mengatur aktivitas organ-organ tersebut. Perjalanan sinyal otonomik eferen ke bagian organ di seluruh tubuh dapat dibagi dalam dua subdivisi utama yang disebut sistem saraf simpatis dan sistem saraf parasimpatis. Dilihat dari struktur akson dari simpatik dan parasimpatik, terdapat perbedaan yaitu pada ukuran panjangnya. Yakni, akson pre ganglion pada saraf simpatik itu lebih pendek dari akson post ganglion. Dan sebaliknya pada saraf parasimpatik, yaitu post ganglion lebih pendek dari pre ganglion (Gambar 1.1). Susunan Anatomi Persarafan Otonom Bagian motorik perifer saraf otonom terdiri atas neuron pre ganglion dan post ganglion. Badan sel neuron pre ganglion terletak di kolumna grisea intermediolateral eferen viseral (IML) medula spinalis atau di nukleus motorik homolog saraf otak. Aksonnya sebagian besar merupakan serabut B penghantar yang relatif lambat dan bermielin. Akson-akson itu bersinaps di badan sel neuron post ganglion yang terletak di luar sistem saraf pusat. Setiap akson pre ganglion terbagi menjadi sekitar delapan 2

atau sembilan neuron post ganglion. Dengan demikian persarafan otonom bersifat difus. Akson neuron post ganglion, yang sebagian besar merupakan serabut C tak bermielin berakhir di efektor viseral (Gambar 1.1). Secara anatomis, persarafan otonom dibagi menjadi dua komponen: divisi simpatik dan parasimpatik sistem saraf otonom. Dalam saluran pencernaan, keduanya berkomunikasi dengan sistem saraf enterik, dan ini kadang-kadang disebut sebagai divisi ketiga sistem saraf otonom.

Sistem Saraf Simpatik Akson neuron pre ganglion simpatik meninggalkan medula spinalis bersama radiks ventralis saraf T1 sampai saraf Spinal L3 atau L4. Akson-akson ini berjalan melalui rami communicantes albi ke rantai ganglion simpatik paravertebra, dan sebagian besar berakhir di badan sel neuron post ganglion. Akson sebagian neuron post ganglion berjalan ke visera dalam berbagai saraf 3

simpatik. Sebagian lain masuk kembali ke dalam saraf spinal melalui rami communicantes grisea dari rantai ganglion dan disebarkan ke efektor otonom di daerah yang di persarafi oleh saraf-saraf spinal tersebut. Saraf simpatik post ganglion untuk kepala berasal dari ganglia superior, media, dan stelata diperluasan kranial rantai ganglion simpatik dan berjalan ke efektor bersama pembuluh darah. Sebagian neuron pre ganglion berjalan melalui rantai ganglion paravertebra dan berakhir di neuron post ganglion yang terletak pada ganglion kolateral dekat visera tersebut. Sebagian uterus dan saluran kelamin laki-laki disarafi oleh suatu sistem khusus, neuron noradrenergik pendek dengan badan sel di ganglion yang terletak pada atau dekat organ tersebut, sedangkan serabut pre ganglion untuk neuron post ganglion ini kemungkinan berjalan sampai ke organnya (gambar 1.2 dan 1.3).

Sistem Saraf Parasimpatik 4

Keluaran kranial divisi parasimpatik mempersarafi struktur visera melalui nervus okulomotorius (Nervus ke-3) yang melekat akarnya pada mesensefalon kranial, facialis (Nervus ke-7) yang melekat akarnya pada medula oblongata kranial, glosafaringeus (Nervus ke-9) yang melekat akarnya pada mesensefalon kranial, serta struktur dalam thorax dan abdomen bagian atas melalui saraf vagus (Nervus ke-10) yang melekat akarnya pada bagian medula oblongata kranial. Saraf-saraf ini merupakan penghubung, tempat serabut-serabut para simpatik lewat dalam perjalanannya keluar dari otak menuju organ-organ sebagian dikendalikan olehnya. Serabut-serabut yang mencapai serabut-serabut otot sirkular pada iris merangsang gerakan-gerakan yang menentukan ukuran pupil mata menggunakan saraf kranial ke3, yaitu saraf okulomotorik. Serabut-serabut otot motorik sekretorik mencapai kelenjar ludah melalui saraf ke-7, fasial, serta saraf yang ke-9, glosofaringeus. Saraf vagus atau saraf cranial ke-10 adalah serabut saraf otonom terbesar. Daerah layanannya luas, serta serabut-serabutnya disebarkan ke sejumlah besar kelenjar dan organ. Penyebaran ini sejalan dengan penyebaran serabut simpatis. Keluaran sakral mempersarafi organ panggul melalui cabang pelvis saraf spinal S2 sampai S4. Serabut pre ganglion di kedua keluaran tersebut berakhir di neuron post ganglion pendek yang terletak pada atau dekat struktur organ tersebut. Saraf parasimpatik sakral keluar dari sumsum tulang belakang atau medula spinalis melalui daerah sakral. Saraf-saraf ini membentuk urat-urat saraf pada alat-alat dalam pelvis, dan bersama saraf simpatis membentuk plexus yang melayani kolon, rektum, dan kandung kemih (kandung kencing). (Gambar 1.2 dan 1.3).

Neuron Simpatis Preganglion dan Postganglion Saraf simpatis berbeda dengan saraf motorik skeletal dalam hal berikut: setiap jaras simpatis dari medula ke jaringan yang terangsang terdiri atas dua neuron, yakni neuron preganglion dan neuron postganglion, berlawanan dengan jaras motorik skeletal yang hanya memiliki satu neuron. Badan sel setiap neuron preganglion terletak di kornu intermedio lateral medula spinalis; dan serabut-serabutnya berjalan melewati radiks anterior medulla menuju saraf spinal yang terkait. Segera setelah saraf spinal meninggalkan kanalis spinal, serabut preganglion simpatisnya meninggalkan saraf spinal itu dan berjalan melewati ramus putih ke salah satu ganglia dari rantai simpatis. Selanjutnya serabut-serabut ini dapat mengalami salah satu dari ketiga hal berikut: (1). Serabut-serabut dapat bersinaps dengan neuron simpatis postganglion yang ada di dalam ganglion yang dimasukinya. (2) Serabutserabut tersebut dapat berjalan ke atas atau ke bawah dalam rantai dan bersinaps pada salah satu ganglia lain dalam rantai tersebut, atau (3) serabut itu dapat berjalan 6

melalui rantai ke berbagai arah dan selanjutnya melalui salah satu saraf simpatis memisahkan diri keluar dari rantai, untuk akhirnya bersinaps di dalam ganglion perifer simpatis. Jadi, neuron simpatis postganglion dapat berasal dari salah satu ganglia rantai simpatis atau dari salah satu ganglia perifer simpatis. Dari kedua sumber ini, serabut-serabut postganglion kemudian jalan ke berbagai organ tujuannya (Gambar 1.4 dan 1.5).

Neuron Parasimpatis Preganglion dan Postganglion Seperti halnya simpatis, sistem parasimpatis juga mempunyai ganglion preganglion dan postganglion. Namun, kecuali pada beberapa saraf kranial parasimpatis serabut preganglion tanpa mengalami hambatan berjalan menuju organorgan yang diaturnya. Kemudian, pada dinding organ terdapat neuron postganglion. Serabut preganglion bersinaps dengan neuron postganglion, dan serabut postganglion yang sangat pendek, berukuran panjang satu persekian milimeter sampai beberapa sentimeter, meninggalkan neuron untuk menyarafi jaringan organ. Letak neuron post ganglion parasimpatis ini dalam organ viseral sendiri sangat berbeda dengan susunan ganglia simpatis, karena badan sel dari neuron postganglion simpatis hampir selalu 7

terletak dalam ganglia rantai simpatis atau dalam berbagai ganglia lainnya yang memang ada dalam abdomen dari pada dalam organ yang dirangsang itu sendiri (Gambar 1.4 dan 1.5).

Gambar 1.5

Fungsi sistem saraf Simpatis dan Parasimpatis

III. GANGGUAN SISTEM SARAF OTONOM Disfungsi kandung kemih Regulasi kontinesia dan mikturisi memerlukan kerjasama fungsional yang baik antara berbagai struktur anatomi, beberapa di antaranya terletak sangat jauh satu sama lain. Lesi pada berbagai lokasi yang berbeda pada system saraf pusat atau perifer dapat memiliki efek kerusakan pada fungsi kandung kemih dengan berbagai derajat. Disfungsi kandung kemih dapat terjadi dengan berbagai derajat. Disfungsi kandung kemih dapat terjadi akibat lesi anatomis/structural kandung kemih atau uretra (disfungsi kandung kemih akibat penyebab urologis , tumour vesika, obstruksi infravesikal oleh striktur uretra atau hipertrofi prostat), atau dapat disebabkan oleh lesi struktur saraf yang mempersarafi kandung kemih (disfungsi kandung kemih neurogenik). Lesi neural yang menyebabkannya dapat terjadi di jaras saraf perifer, plexus otonom, medulla spinalis atau pusat yang lebih tinggi. Gangguan mekanisme control supraspinal sering menyebabkan multiple sklerosis, misalnya. Gangguan interaksi antara pusat mikturisi pons dan lainnya, pusat yang lebih tinggi yang memodulasinya berperan penting pada jenis disfungsi kandung kemih neurogenik yang terjadi pada penyakit neurodegenerative, termasuk penyakit Parkinson. Disfungsi Kandung Kemih Neurogenik Manifestasi khas disfungsi kandung kemih neurogenik meliputi frekuensi dan urgensi mikturisi, inkontenensia, pengosongan kandung kemih yang sulit dan tidak lampias, dan infeksi saluran kemih berulang. 10 disfungsi kandung kemih pada pasien dengan

Langkah pertama untuk mendapatkan keberhasilan terapi disfungsi kandung kemih neurogenik adalah penegakan diagnosis klinis secara tepat. Berbagai aspek fungsi mikturisi harus diperhitungkan termasuk jawaban terhadap beberapa pertanyaan berikut ini: Kapan dan seberapa sering buang air kecil? Apakah buang air kecil lampias? Apakah keinginan buang air kecil normal, berkurang atau sangat sering (urinary urgency)? Apakah infeksi saluran kemih telah disingkirkan? Apakah pasien dapat mengontrol mikturisinya? Instabilitas dan hiper refleksia detrusor ditandai dengan kontraksi detrusor secara premature pada fase pengisian vesika. Istilah instabilitas berarti berkurangnya inhibisi normal kontraktor detrusor; istilah hiperrefleksia menunjukkan bahwa gangguan neurologislah yang menyebabkan gangguan pengosongan kandung kemih. Dengan demikian, masalah klinis seperti kandung kemih neurogenik (neurologic bladder) yang tidak terinhibisi, kandung kemih otomatis (automatic bladder) dan instabilitas motorik kandung kemih semuanya berada di dalam kategori etiologis hiperrefleksia detrusor. Pada kasus tersebut, lesi terdapat diatas medulla spinalis sacral dan menggangu fungsi proyeksi inhibisi suprasakral ke otot detrusor. Gejala utama hiperrefleksia detrusor terisolasi adalah urinary urgency yang sangat mendesak dan inkontenensia yang mendesak dan rendahnya volume residue. Penyebab yang paling sering adalah sklerosis multiple, gangguan

serebrovaskular, normal pressure hydrocephalus, penyakit Parkinson, trauma medulla spinalis dan trauma atau tumour yang mengenai lobus frontal otak. Dissinergia detrusorsfingter didefinisikan sebagai kontraksi detrusor involunter tanpa relaksasi sfingter uretrae eksternus. Lesi terletak di antara medulla spinalis sacral dan pusat miksi pons. Gejala utamanya adalah urinary urgency yang sangat mendesak dengan pengosongan kandung kemih yang tidak total (tidak lampias) .

11

Dissenergia detrusor-sfingter menyebabkan komplikasi (khususnya, infeksi saluran kemih assendens) yang lebih sering pada laki-laki dibandingkan perempuan, karena perempuan memiliki resistensi pintu keluar kandung kemih yang lebih rendah dibandingkan laki-laki. Penyebab tersering adalah skelerosis multiple, mielopati servikal, tumour medulla spinalis, malformasi vascular, dan trauma. Keadaan ini harus dibedakan dari obstruksi leher kandung kemih fungsional yang jarang, suatu gangguan dengan etiologi yang tidak diketahui yang berkaitan dengan peningkatan volume residue dan dapat menganggu fungsi ginjal. Arefleksia detrusor terjadi akibat defisiensi persarafan aferen atau eferen otot detrusor. Gangguan aferen dan eferen hamper tidak pernah terjadi secara terpisah, diperkirakan kerana baik impuls aferen maupun impuls eferen berjalan melalui saraf parasimpatis pelvis dan segmen sacral medulla spinalis, sehingga setiap lesi yang menggangu salah satu impuls juga merusak impuls lainnya. Manifestasi klinis arefleksia detrusor adalah penurunan keinginan untuk berkemih, ketidakmampuan untuk memulai mikturisi dan inkontenensia overflow dengan peningkatan volume kandung kemih (hingga 2000ml). Lesi terdapat medulla spinalis sacral atau saraf perifer yang masuk dan keluar dari struktur tersebut. Penyebabnya meliputi tumour yang mengenai konus medularis dan/atau kauda equine, stenosis medulla spinalis lumbal dan herniasi diskus, poliradikulitis (termasuk sindrom Guillain-Barre), polineuropati diabetic atau alkoholik, tabes dorsalis, pembedahan dan terapi radiasi pelvis, mielodisplasia, dan tethered cord syndrome (sindrom korda tertambat). Arefleksia detrusor akibat disfungsi medulla spinalis terjadi pada 20-30% pasien dengan skelorosis multiple. Sebagian besar pasien tersebut mengalami peningkatan volume residue yang jelas karena usaha untuk berkemih dicegah oleh kurangnya relaksasi sfingter uretrae eksternus. 12

Inkontinensia stress genuine dikatakan terjadi ketika fungsi detrusor normal dan inkontinensia stress semata-mata terjadi akibat kurangnya aktivasi sfingter uretrae eksternus. Inkontinensia stress genuine, jenis gangguan pengosongan kandung kemih tersering pada perempuan, terjadi terutama setelah histerektomi dan pada perempuan multipara dengan prolapse uterin. Insidensnya meningkat dengan pertambahan usia. Gangguan ini juga terjadi sebagai manifestasi berbagai gangguan pengosongan kanadung kemih neurogenic, termasuk hiperrefleksia detrusor dan dissinergia detrusor-sfingter. Disfungsi Kandung Kemih Nonneurogenik Obstruksi infravesikel biasanya terjad pada laki-laki, sering terjadi sebagai akibathiperplasia prostat benigna, dan bermanifestasi secara klinisberupa urgensi berkemih, polakiuria, nokturia, retensi urine, dan inkontinensia overflow. Disfungsi sfingter uretrae eksternus, mencegah relaksasi otot sfingter secara adekuat, diketahui sebagaii penyebab tersering gangguan pengosongan kandun kemih obstruktif pada perempuan muda. Gangguan ini ditandai dengan cetusan miotoninformin pada EMG. Pemeriksaan elektromiografik perlu dilakukan untuk membedakan gangguan ini dari dua diagnosis alternatif lain yang penting pada perempuan muda dengan gangguan pengosongan kandung kemih, antara lain sclerosis multiple dan disfungsi kandung kemih psikogenik. Enuresis didefinisikan sebagai mengompol, baik siang atau malam, pada seseorang di atas usia 4 tahun, tanpa diketahui adanya lesi penyebab. Dengan demikian, enuresis berdasarkan definisinya, bukan gangguan neurogenic. Diagnosis banding yang penting meliputi penyebab mengompol neurologis dan urologis organic, antara lain epilepsi, spina bifida okulta, dan malformasi traktus urogenitalis. Perekaman EEG 24 jam terindikasi pada beberapa kasus. 13

Gangguan Pengosongan Rektum Retensi alvi. Transeksi medulla spinalis dia atas pusat defekasi lumbosacral menimbulkan retensi alvi. Gangguan lengan aferen jaras reflex untuk defekasi menekan pusat informasi yang lebih tinggi mengenai status pengisisan rectum, sedangkan gangguan pada serabut motoric desendens mengganggu penekanan abdomenvolunter.Penutupan sfingter sering tidak adekuat karena kelemahan spastik. Inkontinensia alvi.Lesi medulla spinalis sacral (S2-S4) menghilangkan reflex anal dan menimbulkan inkontinesia alvi.Jika feses cair, terjadi pengeluaran feses secara involunter. Disfungsi Genitalia Transeksi medulla spinalis pada level torakal menyebabkan impotensi. Refleks priapismus dapa timbul, dan kadang-kadang ejakulasi juga dapat terjadi. Paraplegia dilaporkan berkaitan dengan atrofi testis. Lesi pada medulla spinalis sacral dari S2 hingga S4 juga menyebabkan impotensi. Pada kasus tersebut, tidak dapat terjadi ereksi maupun ejakulasi.

Sistem Saraf Simpatis dan Parasimpatis


Simpatis Organ Aktivitas Postganglionik Mata siliare Neuron Preganglionik Neuro Postganglionik Aktivitas Parasimpatis Neuron Preganglionik Neuron

T1-T2 Miosis,

Ganglion servikale Superius

Midriasis

Nukleus Edinger- Ganglion Westphal(nucleus

kontraksi, muskulus Okulomotorii

siliaris,

Asesorius nervi

(Akomodasi) Kelenjar T1-T2 Ganglion servikale Vasokonstriksi Ganglion Lakrimasi, lakrimal, superius Sekresi pterigopalatinum salivasi(cairan encer) sublingual dan (cairan kental) vasodilatasi submandibula Kelenjar T1-T2 Ganglion servikale Vasokonstriksi Ganglion otikum Salivasi

Nukleus salivatorius superior Nukleus

14

Parotis Jantung T1-T4(T5) kardiakus Bradikardia, konstriksi arteriarteri koroner

superius Ganglion servikale

Sekresi Akselerasi

salivatorius Inferior Nukleus dorsalis nervi vagi

Pleksus

Superior, medium, Dilatasi arteridan inferius serta arteri coroner

Usus halus T6-T10 Peristalsis, sekresi, Dan kolon ganglion mienterikus vasodilatasi Asendens mesenterikum Superius

ganglia torasika superior Ganglion seliakum, Inhibisi peristalsis dan sekresi

Nukleus dorsalis

Pleksus

nervi vagi (Auerbach), Pleksus Submukosus (Meissner) Nukleus dorsalis Nervi vagi Pleksus

Pankreas

T6-T10 Sekresi

Ganglion seliakum

periarterialis Kolon L1-L2 Sekresi, desendens peristalsis, dan rectum evakuasi Pleksus

Ganglion mesenterikum inferius, gangliom hypogastrium

Inhibisi peristalsis S2-S4 dan sekresi

Pleksus mienterikus (Auerbach),

Submukosus (Meissner)

Ginjal L1-L2 Ganglion seliakum, Aktivasi muskulus S2-S4 Pleksus Relaksasi Kandung kemih pleksus renalis dan sfingter internus, hipogastrikus muskulus sfingter Pleksus vasokonstriksi internus, kontraksi Hipogastrikus m.detrusor, Vasodilatasi T11-L1 -

(pleksus vesikalis)

Kelenjar Adrenal

Sel adrenal

Sekresi (norepinefrin, epinefrin) Ejakulasi Vasokonstriksi

Genitalia L1-L2 Pleksus Pleksus Ereksi, laki-laki (nervi hipogastrikus hipogastrikus vasodilatasi, splankhnikci superior dan sekresi pelvici) inferior (pleksus pelvikus) Kulit kepala T2-T4 Ganglion servikale dan leher superius dan medium Lengan T3-T6 Ganglion servikale inferius dan ganglia torasika superior Tungkai T10-L12 Ganglia lumbalia Inferior dan ganglia sakralia superiora

S2-S4

(pleksus pelvikus)

Vasokonstriksi Bereringat Piloereksi -

15

DAFTAR PUSTAKA

1. Ganong, W.F. 2008. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi 22. Jakarta. EGC. Hal 235-476 2. Guyton, Arthur C. and John E. Hall. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Ed 11. Jakarta. EGC. Hal 787-792. 3. Sloane, Ethel. 2007. Anatomi dan Fisiologi untuk Pemula. Jakarta. EGC. Hal 180182 4. Mardjono, Mahar. 2010. Neurologi Klinis Dasar. Jakarta. Dian Rakyat. Hal 219231 5.

16

Anda mungkin juga menyukai