Anda di halaman 1dari 29

SINDROM KORONER AKUT

Disusun oleh :

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA BAGIAN PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI NTB FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM 2012

SINDROM KORONER AKUT Sindrom Koroner Akut (SKA) adalah suatu istilah atau terminologi yang digunakan untuk menggambarkan spektrum keadaan atau kumpulan proses penyakit yang meliputi angina pektoris tidak stabil/APTS (unstable angina/UA), infark miokard gelombang non-Q atau infark miokard tanpa elevasi segmen ST (Non-ST elevation myocardial infarction/ NSTEMI), dan infark miokard gelombang Q atau infark miokard dengan elevasi segmen ST (ST elevation myocardial infarction/STEMI). APTS dan NSTEMI mempunyai patogenesis dan presentasi klinik yang sama, hanya berbeda dalam derajatnya. Bila ditemui petanda biokimia nekrosis miokard (peningkatan troponin I, troponin T, atau CK-MB) maka diagnosis adalah NSTEMI; sedangkan bila petanda biokimia ini tidak meninggi, maka diagnosis adalah APTS. Pada APTS dan NSTEMI pembuluh darah terlibat tidak mengalami oklusi total/ oklusi tidak total (patency), sehingga dibutuhkan stabilisasi plak untuk mencegah progresi, trombosis dan vasokonstriksi. Penentuan troponin I/T ciri paling sensitive dan spesifik untuk nekrose miosit dan penentuan patogenesis dan alur pengobatannya. Sedang kebutuhan miokard tetap dipengaruhi obat-obat yang bekerja terhadap kerja jantung, beban akhir, status inotropik, beban awal untuk mengurangi konsumsi O2 miokard. APTS dan NSTEMI merupakan SKA yang ditandai oleh ketidakseimbangan pasokan dan kebutuhan oksigen miokard. Penyebab utama adalah stenosis koroner akibat trombus non-oklusif yang terjadi pada plak aterosklerosis yang mengalami erosi, fisur, dan/atau ruptur.

ANGINA PEKTORIS TAK STABIL (APTS) Angina pektoris adalah nyeri dada intermitten yang disebabkan oleh iskemia miokardium yang reversibel dan sementara. Diketahui terbagi atas tiga varian utama angina pektoris: angina pektoris tipikal (stabil), angina pektoris prinzmetal (varian), dan angina pektoris tak stabil. Pada pembahasan ini akan lebih difokuskan kepada angina pektoris tidak stabil. Karakteristik angina tak stabil yaitu 1. Pasien dengan angina yang masih baru dalam 2 bulan, dimana angina cukup berat dan frekuensi cukup sering, lebih dari 3 kali perhari. 2. Pasien dengan angina yang makin bertambah berat, sebelumnya angina stabil, lalu serangan angina timbul lebih sering, dan lebih berat sakit dadanya, sedangkan factor presipitasi makin ringan. 3. Serangan angina pada saat istirahat

Patogenesis Penyakit 1. Ruptur plak Ruptur plak arterosklerotik dianggap penyebab terpenting angina pektoris tak stabil, sehingga tiba-tiba terjadi oklusi subtotal atau total dari pembuluh koroner yang sebelumnya mempunyai penyempitan yang mininal. Dua pertiga dari pembuluh yang mengalami ruptur sebelumnya mempunyai penyempitan 50% atau kurang, dan pada 97% pasien dengan angina tak stabil mempunyai penyempitan kurang dari 70%. Plak arterosklerotik terdiri dari inti yang mengandung banyak lemak dan pelindung jaringan fibrotic (fibrotic cap).Plak tidak stabil terdiri dari inti yang banyak mengandung lemak dan adanya infiltrasi sel makrofag. Biasanya ruptur terjadi pada tepi plak yang berdekatan dengan intima yang normal atau pada bahu dari timbunan lemak. Kadang-kadang keretakan timbul pada dinding plak yang paling lemah karena adanya enzim protease yang di hasilkan makrofag dan secara enzimatik melemahkan dinding plak (fibrous cap). Terjadinya ruptur menyebabkan aktivasi, adhesi dan agregasi platelet dan menyebabkan aktivasi terbentuknya trombus. Bila trombus menutup pembuluh darah 100% akan terjadi infark dengan elevasi segmen ST, sedangkan bila trombus tidak

menyumbat 100% dan hanya menimbulkan stenosis yang berat akan terjadi angina tak stabil.

2. Trombosis dan agregasi trombosit Agregasi platelet dan pembentukan trombus merupakan salah satu dasar terjadinya angina tak stabil. Terjadinya trombosis setelah plak terganggu disebabkan karena interaksi yang terjadi antara lemak, sel otot polos dan sel busa (foam cell) yang ada dalam plak berhubungan dengan ekspresi faktor jaringan dalam plak tak stabil. Setelah berhubungan dengan darah, faktor jaringan berinteraksi dengan faktor VIIa untuk memulai kaskade reaksi enzimatik yang menghasilkan pembentukan trombin dan fibrin. 3. Vasospasme Terjadinya vasokonstriksi juga mempunyai peran penting pada angina tak stabil. Di perkirakan ada disfungsi endotel dan bahan vasoaktif yang diproduksi oleh platelet berperan dalam perubahan dalam tonus pembuluh darah dan menyebabkan spasme. Spasme yang terlokalisir seperti pada angina prinzmetal juga menyebabkan angina tak stabil. Adanya spasme sering kali terjadi pada plak yang tak stabil dan mempunyai peran dalam pembentukan thrombus. 4. Erosi pada plak tanpa rupture Terjadinya penyempitan juga dapat di sebabkan karena terjadinya proliferasi dan migrasi dari otot polos sebagai reaksi terhadap kerusakan endotel; adanya perubahan bentuk dari lesi karena bertambahnya sel otot polos dapat menimbulkan penyempitan pembuluh dengan cepat dan keluhan iskemia.

Manifestasi Klinis Sifat nyeri dada yang spesifik angina sebagai berikut : Lokasi : substermal, retrostermal, dan prekordial Sifat nyeri : rasa sakit, seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat, seperti ditusuk, rasa diperas, dan dipelintir. Penjalaran ke : leher, lengan kiri, mandibula, gigi, punggung/interskapula, dan dapat juga ke lengan kanan. Nyeri membaik atau hilang dengan istirahat atau obat nitrat

Faktor pencetus : latihan fisik, stress emosi, udara dingin, dan sesudah makan Gejala yang menyertai : mual, muntah, sulit bernafas, keringat dingin, dan lemas.

NSTEMI ( Non ST elevation myocardial infarction ) Patofisiologi NSTEMI dapat disebabkan oleh penurunan suplai oksigen dan atau peningkatan kebutuhan oksigen miokard yang diperberat oleh obstruksi koroner.NSTEMI terjadi karena thrombosis akut atau proses vasokonstriksi koroner. Thrombosis akut pada arteri koroner diawali dengan adanya rupture plak yang tak stabil. Plak yang tidak stabil ini biasanya mempunyai inti lipid yang besar, densittas otot polos yang rendah, fibrous cap yang tipis dan konsentrasi factor jaringan yang tinggi. Pada lokasi rupture plak dapat dijumpai sel makrofag dan limfositT yang menunjukkan adanya proses inflamasi. Sel-sel ini akan mengeluarkan sitokin pro-inflamasi seperti TNF, dan IL-6. Selanjutnya IL-6 akan merangsang pengeluaran hsCRP dihati. Penegakan diagnosis

Manifestasi klinis Nyeri dada dengan lokasi khas substernal atau kadangkala diepigastrium dengan cirri seperti diikat, perasaan seperti terbakar, nyeri tumpul, rasa penuh, berat atau tertekan, menjadi presentasi gejala yang sering ditemukan pada NSTEMI.analisis berdasarkan gambaran klinis menunjukkan bahwa mereka yang memiliki gejala dengan onset baru angina berat/ terakselerasi memiliki prognosis lebih baik dibandingkan dengan nyeri dada pada wkatu istirahat. Walaupun gejala khas rasa tidak enak di dada iskemia pada NSTEMI telah diketaui dengan baik, gejala tidak khas seperti dispneu, mual, diaphoresis, sinkop atau nyeri di lengan, epigastrium, bahu atas,atau leher juga terjadi dalam kelompok yang lebih besar pada pasien-pasien berusia lebih dari 65 tahun.

EKG Gambaran EKG secara spesifik berupa deviasi segmen ST merupakan hal penting yang menentukan resiko pada pasien, adanya depresi segmen ST baru sebbanyak 0.05 mV merupakan prediktor yang buruk

Petanda Biokimia Jantung Petanda biokimia seperti troponin I (TnI) dan troponin T (TnT) mempunyai nilai prognostik yang lebih baik dari pada CKMB. Troponin C, TnI dan TnT berkaitan dengan konstraksi dari sel miokrad. Susunan asam amino dari Troponin C sama dengan sel otot jantung dan rangka, sedangkan pada TnI dan TnT berbeda. Nilai prognostik dari TnI atau TnT untuk memprediksi risiko kematian, infark miokard dan kebutuhan revaskularisasi dalam 30 hari, adalah sama. Kadar serum creatinine kinase (CK) dan fraksi MB merupakan indikator penting dari nekrosis miokard. Keterbatasan utama dari kedua petanda tersebut adalah relative rendahnya spesifikasi dan sensitivitas saat awal (<6 jam) setelah onset serangan. Risiko yang lebih buruk pada pasien tnpa segment ST elevasi lebih besar pada pasien dengan peningkatan nilai CKMB.

INFARK MIOKARD AKUT DENGAN ST ELEVASI (STEMI) Patofisiologi Infark miokard akut dengan ST elevasi (STEMI) umumnya terjadi jika aliran darah koroner menurun secara mendadak setelah oklusi trombus pada plak aterosklerosis yang sudah ada sebelumnya. Stenosis arteri koroner berat yang berkembang secara lambat biasanya tidak memicu STEMI karena berkembangnya banyak kolateral sepanjang waktu STEMI terjadi jika trombus arteri koroner terjadi secara cepat pada lokasi injuri vaskular, dimana injuri ini dicetuskan oleh faktor-faktor seperti merokok, hipertensi dan akumulasi lipid. Pada sebagian besar kasus, infark terjadi jika plak aterosklerosis mengalami fisur, ruptur atau ulserasi dan jika kondisi lokal atau sistemik memicu trombogenesis, sehingga terjadi trombus mural pada lokasi ruptur yang mengakibatkan oklusi arteri koroner. Selanjutnya pada lokasi ruptur plak, berbagai agonis (kolagen, ADP, epinefrin, serotonin) memicu aktivitas trombosit, yang selanjutnya akan memproduksi dan melepaskan tromboksan A2 (vasokonstriktor lokal yang poten). Selain itu aktivitas trombosit memicu perubahan konformasi reseptor gliko protein IIb/IIIa. Setelah mengalami konversi fungsinya, reseptor mempunyai afinitas tinggi terhadap sekuen asam amino pada protein adhesi yang larut (integrin) seperti faktor von Willebrand (vWF) dan fibrinogen, dimana keduanya adalah molekul multivalen yang dapat mengikat 2 platelet yang berbeda secara simultan, menghasilkan ikatan silang platelet dan agregasi. Kaskade koagulasi diaktivasi oleh pajanan tissue factor pada sel endotel yang rusak. Faktor VII dan X diaktivasi, mengakibatkan konversi protrombin menjadi trombin, yang kemudian mengkonversi fibrinogen menjadi fibrin. Arteri koroner yang terlibat (culprit) kemudian akan mengalami oklusi oleh trombus yang terdiri atas trombosit dan fibrin. Pada kondisi yang jarang, STEMI dapat juga disebabkan oleh oklusi arteri koroner yang disebabkan oleh emboli koroner, abnormalitas kongenital, spasme koroner dan berbagai penyakit inflamasi sistemik.

Diagnosis Anamnesis Nyeri dada yang tipikal (angina) merupakan gejala kardinal pada pasien IMA. Sifat nyeri dada pada angina yaitu lokasi disubsterbal, retrosternal dan prekordial, sifat nyeri rasa sakit seperti ditekan, rasa terbakar, ditindih benda berat, seperti ditusuk, rasa diperas dan

dipelintir, penjalaran biasanya ke lengan kiri dapat juga ke leher, rahang bawah, gigi, punggu atau interskapula, perut dan dapat juga ke lengan kanan, nyeri membaik atau hilang dengan istirahat atau obat nitrat, faktor pencetus yaitu latihan fisik, stres emosi, uadara dingai dan sesudah makan, gejala yang menyertai bisa mual, muntah, sulit bernapas, keringat dingin, cemas dan lemas. Pemeriksaan fisik Sering kali pasien cemas dan tidak bisa istirahat (gelisah), keringat dingin, sekitar seperempat pasien infark anterior mempunyai manifestasi hiperaktivitas saraf simpatis (takikardia dan atau hipotensi) dan hampir setengah pasien infark inferior menunjukkan hiperaktivitas parasimpatik (bradikardia dan atau hipotensi). Tanda fisik lain yaitu adanya S4 dan S3 gallop, penurunan intensitas bunyi jantung pertama dan split paradoksikal bunyi jantung kedua. Dapat ditemukan murmur midsistolik atau late sistolik apikal yang bersifat sementara karena disfungsi aparatus katup mitral dan pericardial friction rub. Peningkatan suhu sampai 38o C dapat dijumpai dalam minggu pertama pasca STEMI. Kombinasi nyeri dada substernal > 30 menit dan banyak keringat dicurigai kuat adanya STEMI. Pemeriksaan penunjang 1. EKG Diagnosis IMA dengan ST elevasi ditegakkan berdasarkan anamnesis nyeri dada yang khas dan gambaran EKG adanya elevasi ST 2mm, minimal pada dua sadapan prekordial yang berdampingan atau 1 mm pada dua sadapan ekstremitas. 2. Laboratorium Pemeriksaan yang dianjurkan adalah creatinin knase (CK)MB dan cardiac specific troponin(cTn)T atau cTnI dan dilakukan secara serial. cTn harus digunakan sebagai petanda optimal untuk pasien STEMI yang disertai kerusakan otot skeletal, karena pada keadaan ini juga akan diikuti peningkatan CKMB pasa pasien dengan elevasi ST dan gejala IMA, terapi reperfusi diberikan segera mungkin dan tidak tergantung pada pemeriksaan biomarker. Peningkatan nilai enzim diatas 2 kali nila batas atas normal menunjukkan adanya nekrosis jantung (infark miokard).

Reaksi non spesifik terhadap injuri miokard adalah leukositosis polimorfonuklear yang dapat terjadi dalam beberapa jam setelah onset nyeri dan menetap selama 3-7 hati. Leukositosis dapat mencapai 12.00-15.000/uL. Biomarker Berat Molekul Rentang Waktu Rerata (Da) Untuk Meningkat Wajtu Waktu Kembali Rentang

Elevasi Punvak ke (Non Reperfusi) Normal

Yang sering digunakan di praktek klinik CK-MB cTnI cTnT 86.000 23.500 33.000 3-12 jam 3-12 jam 3-12 jam 24 jam 24 jam 12 jam-2 hari 48-72 jam 5-10 hari 5-14 hari

Jarang digunakan di praktek klinik6-7 jam Myoglobin 17.800 1-4 jam 2-6 jam 6-7 jam 18 jam 24 hari tidak diketahui

CK-MB tissue 86.000 isoform CK-MM tissue 86.000 isoform

1-6 jam

12 jam

38 jam

Patogenesis Sindrom Koroner Akut secara Umum SKA merupakan salah satu bentuk manifestasi klinis dari PJK akibat utama dari proses aterotrombosis selain stroke iskemik serta peripheral arterial disease (PAD). Aterotrombosis merupakan suatu penyakit kronik dengan proses yang sangat komplek dan multifaktor serta saling terkait. Aterotrombosis terdiri dari aterosklerosis dan trombosis. Aterosklerosis merupakan proses pembentukan plak (plak aterosklerotik) akibat akumulasi beberapa bahan seperti lipid-filled macrophages (foam cells), massive extracellular lipid dan plak fibrous yang mengandung sel otot polos dan kolagen. Perkembangan terkini menjelaskan aterosklerosis adalah suatu proses inflamasi/infeksi, dimana awalnya ditandai dengan adanya kelainan dini pada lapisan endotel, pembentukan sel busa dan fatty streks, pembentukan fibrous cups dan lesi lebih lanjut, dan proses pecahnya plak aterosklerotik yang tidak stabil. Banyak sekali penelitian yang membuktikan bahwa inflamasi memegang peranan penting dalam proses terjadinya aterosklerosis. Pada penyakit jantung koroner inflamasi dimulai dari pembentukan awal plak hingga terjadinya ketidakstabilan plak yang akhirnya mengakibatkan terjadinya ruptur plak dan trombosis pada SKA. Perjalanan proses aterosklerosis (initiation, progression dan complication pada plak aterosklerotik), secara bertahap berjalan dari sejak usia muda bahkan dikatakan juga sejak usia anak-anak sudah terbentuk bercak-bercak garis lemak (fatty streaks) pada permukaan lapis dalam pembuluh darah, dan lambat-laun pada usia tua dapat berkembang menjadi bercak sklerosis (plak atau kerak pada pembuluh darah) sehingga terjadinya penyempitan dan/atau penyumbatan pembuluh darah. Kalau plak tadi pecah, robek atau terjadi perdarahan subendotel, mulailah proses trombogenik, yang menyumbat sebagian atau keseluruhan suatu pembuluh koroner. Pada saat inilah muncul berbagai presentasi klinik seperti angina atau infark miokard. Proses aterosklerosis ini dapat stabil, tetapi dapat juga tidak stabil atau progresif. Konsekuensi yang dapat menyebabkan kematian adalah proses aterosklerosis yang bersifat tidak stabil /progresif yang dikenal juga dengan SKA. Sedangkan trombosis merupakan proses pembentukan atau adanya darah beku yang terdapat di dalam pembuluh darah atau kavitas jantung. Ada dua macam trombosis, yaitu trombosis arterial (trombus putih) yang ditemukan pada arteri, dimana pada trombus tersebut ditemukan lebih banyak platelet, dan thrombosis vena (trombus merah) yang ditemukan pada pembuluh darah vena dan mengandung lebih banyak sel darah merah dan lebih sedikit platelet. Komponenkomponen yang berperan dalam proses trombosis adalah dinding

pembuluh darah, aliran darah dan darah sendiri yang mencakup platelet, sistem koagulasi, sistem fibrinolitik, dan antikoagulan alamiah. Patogenesis terkini SKA menjelaskan, SKA disebabkan oleh obstruksi dan oklusi trombotik pembuluh darah koroner, yang disebabkan oleh plak aterosklerosis yang vulnerable mengalami erosi, fisur, atau ruptur. Penyebab utama SKA yang dipicu oleh erosi, fisur, atau rupturnya plak aterosklerotik adalah karena terdapatnya kondisi plak aterosklerotik yang tidak stabil (vulnerable atherosclerotic plaques) dengan karakteristik; lipid core besar, fibrous cups

tipis, dan bahu plak (shoulder region of the plague) penuh dengan aktivitas sel-sel inflamasi seperti sel limfosit T dan lain-lain. Tebalnya plak yang dapat dilihat dengan persentase penyempitan pembuluh koroner pada pemeriksaan angiografi koroner tidak berarti apa-apa selama plak tersebut dalam keadaan stabil. Dengan kata lain, risiko terjadinya ruptur pada plak aterosklerosis bukan ditentukan oleh besarnya plak (derajat penyempitan) tetapi oleh kerentanan (vulnerability) plak. Erosi, fisur, atau ruptur plak aterosklerosis (yang sudah ada dalam dinding arteri koronaria) mengeluarkan zat vasoaktif (kolagen, inti lipid, makrofag dan tissue factor) ke dalam aliran darah, merangsang agregasi dan adhesi trombosit serta pembentukan fibrin, membentuk trombus atau proses trombosis. Trombus yang terbentuk dapat menyebabkan oklusi koroner total atau subtotal. Oklusi koroner berat yang terjadi akibat erosi atau ruptur pada plak aterosklerosis

yang relative kecil akan menyebabkan angina pektoris tidak stabil dan tidak sampai menimbulkan kematian jaringan. Trombus biasanya transien/labil dan menyebabkan oklusi sementara yang berlangsung antara 1020 menit. Bila oklusi menyebabkan kematian jaringan tetapi dapat diatasi oleh kolateral atau lisis trombus yang cepat (spontan atau oleh tindakan trombolisis) maka akan timbul NSTEMI (tidak merusak seluruh lapisan miokard). Trombus yang terjadi lebih persisten dan berlangsung sampai lebih dari 1 jam. Bila oklusi menetap dan tidak dikompesasi oleh kolateral maka keseluruhan lapisan miokard mengalami nekrosis (Q-wave infarction), atau dikenal juga dengan STEMI. Trombus yang terbentuk bersifat fixed dan persisten yang menyebabkan perfusi miokard terhenti secara tiba-tiba yang berlangsung lebih dari 1 jam dan menyebabkan nekrosis miokard transmural.

Sekarang semakin diyakini dan lebih jelas bahwa trombosis adalah sebagai dasar mekanisme terjadinya SKA, trombosis pada pembuluh koroner terutama disebabkan oleh pecahnya vulnerable plak aterosklerotik akibat fibrous cups yang tadinya bersifat protektif menjadi tipis, retak dan pecah. Fibrous cups bukan merupakan lapisan yang statik, tetapi selalu mengalami remodeling akibat aktivitas-aktivitas metabolik, disfungsi endotel, peran sel-sel inflamasi, gangguan matriks ekstraselular atau extra-cellular matrix (ECM) akibat aktivitas matrix metallo proteinases (MMPs) yang menghambat pembentukan kolagen dan aktivitas inflammatory cytokines. Perkembangan terkini menjelaskan dan menetapkan bahwa proses inflamasi memegang peran yang sangat menentukan dalam proses poto-biologis SKA, dimana vulnerabilitas plak sangat ditentukan oleh proses inflamasi. Inflamasi dapat bersifat lokal (pada plak itu sendiri) dan dapat bersifat sistemik. Inflamasi juga dapat mengganggu keseimbangan homeostatik. Pada keadaan inflamasi terdapat peninggian konsentrasi fibrinogen dan inhibitor aktivator plasminogen di dalam sirkulasi. Inflamasi juga dapat menyebabkan vasospasme pada pembuluh darah karena tergganggunya aliran darah. Vasokonstriksi pembuluh darah koroner juga ikut berperan pada pathogenesis SKA. Vasokonstriksi terjadi sebagai respon terhadap disfungsi endotel ringan dekat lesi atau sebagai respon terhadap disrupsi plak dari lesi itu sendiri. Endotel berfungsi mengatur tonus vaskular dengan mengeluarkan faktor relaksasi yaitu nitrit oksida (NO) yang dikenal sebagai Endothelium Derived Relaxing Factor (EDRF), prostasiklin, dan faktor kontraksi seperti endotelin-1, tromboksan A2, prostaglandin H2. Pada disfungsi endotel, faktor kontraksi lebih dominan dari pada faktor relaksasi. Pada plak yang mengalami disrupsi terjadi platelet dependent vasocontriction yang diperantarai oleh serotonin dan tromboksan A2, dan thrombin dependent vasoconstriction diduga akibat interaksi langsung antara zat tersebut dengan sel otot polos pembuluh darah.

PERBEDAAN MANIFESTASI KLINIS

TERAPI SINDROMA KORONER AKUT Tujuan utama terapi pada pasien dengan Sindroma Koroner Akut adalah: Mereduksi tingkatan nekrosis miokardium yang terjadi pada pasien dengan Infark Miokardium Akut (IMA), menjaga fungsi dari ventrikel kiri, mencegah gagal jantung, dan membatasi terjadinya komplikasi kardiovaskular lainnya. Mencegah terjadinya proses perburukan mayor pada jantung: kematian, infark miokardium non-fatal, dan kebutuhan untuk revaskularisasi mendesak. Menatalaksanai kondisi akut dan komplikasi mengancam nyawa dari sindroma korner akut, seperti fibrilasi ventrikel, takikardi ventrikel, takikardia yang tidak stabil, bradikardia simptomatik, edema pulmonar, syok kardiogenik, dan komplikasi mekanikal dari infark miokardium akut.

Prinsip Penanganan Pasien Dengan Sindroma Koroner Akut Terapi Inisial Sindroma Koroner Akut Terapi inisial ini meliputi monitoring kontinyu jantung, pemasangan jalur akses intravena (IV), dan mempertimbangkan pemberian beberapa macam obat-obatan seperti berikut. Oksigen Oksigen harus diberikan kepada pasien yang kesulitan bernapas, pasien dengan tanda kegagalan jantung, pasien dalam kondisi syok, atau pada pasien dengan saturasi oksihemoglobin <94%. Perlu dilakukan pemantauan saturasi oksigen untuk menentukan kebutuhan pemberian oksigen. Pada kondisi sindroma koronari akut atau infrak miokard akut yang tidak memiliki komplikasi (tidak terdapat tanda hipoksemia atau kegagalan jantung), pemberian oksigen rutin lebih dari 6 jam tidak diperlukan. Berdasarkan Guideline AHA 2010, ditemukan bukti bahwa terjadi perbaikan segmen ST pada pemberian suplementasi oksigen pada pasien dengan sindroma koroner akut. Pemberian oksigen aliran tinggi (high-flow oxygen) dianggap berbahaya untuk pasien sindroma koroner akut. Pemberian Aspirin dan OAINS Pemberian aspirin (asam salisilat) lebih awal pada pasien dihubungkan dengan penurunan derajat mortalitas pasien. Aspirin aman digunakan, kecuali jika pasien memiliki riwayat alergi aspirinatau pada pasien dengan perdarahan aktif saluran gastrointestinal. Pemberian aspirin nonenterik harus diberikan sesegera mungkin pada pasien dengan yang dicurigai mengalami sindroma koroner akut. Aspirin ini akan memproduksi efek klinis antiplatelet cepat dimana kerjanya menginhibisi secara hampir keseluruhan produksi Tromboksan A2. Pemberian aspirin akan mereduksi reoklusi koroner dan kejadian iskemik berulang setelah terapi fibrinolitik diberikan. Pada pasien infark miokard akut, pemberian aspirin akan mereduksi kejadian vaskular pada semua pasien dengan AMI, dan pada pasien dengan resiko tinggi akan mengalami reduksi dari infark moikard akut non fatal dan kematian vaskular. Aspirin juga efektif pada pasien dengan NSTEMI (Non ST-Elevation Myocard Infarction). Dosis aspirin yang direkomendasikan adalah 160-325 mg. Tablet kunyah atau aspirin terlarut (soluble aspirin) diabsorbsi lebih cepat dari tablet telan aspirin. Penggunaan aspirin supposituria (300 mg) dianggap aman dan dapat dipertimbangkan pada pasien dengan nausea berat, pada pasien vomiting, atau pada pasien yang mengalami gangguan saluran gastrointestinal atas. Terapi OAINS lain (kecuali aspirin), baik COX-2 selektif dan nonselektif tidak diperbolehkan karena merupakan kontrindikasi pada pasien

sindroma koroner akut dan harus dihentikan pemberiannya pada pasien yang telah mendapatkan terapi OAINS. Terapi OAINS ini (selain aspirin) pada STEMI (ST-Elevation Myocard Infarction) dihubungkan dengan peningkatan resiko mortalitas, reinfarksi, hipertensi, kegagalan jantung, dan ruptur miokardium. Nitrogliserin (atau Gliseril Trinitrat) Nitrogliserin memiliki manfaat hemodinamik, meliputi dilatasi dari arteri koroner (terutama pada bagian dari disrupsi plak), dilatasi bantalan arterial perifer, dan pembuluh vena. Tidak ada bukti yang menyarankan pemberian rutin nitrogliserin IV, oral atau nitrat topikal pada pasien infark miokard akut (IMA), sehingga pemberian agen ini harus dipertimbangkan dengan hati-hati terutama pada pasien dengan tekanan darah rendah dan jika agen ini digunakan sebagai terapi awal sebelum pemberian agen lain seperti inhibitor ACE (angiotensin-converting

enzyme). Pasien dengan rasa tidak nyaman akibat iskemik sebaiknya diberikan nitrogliserin dosis sublingual atau aerosol hingga maskimal tiga dosis pemberian dengan interval pemberian 3-5 menit hingga nyeri reda atau penurunan tekanan darah membatasi penggunaan obat ini. Pemberian nitrat topical dapat menjadi alternative pada pasien yang membutuhkan terapi antiangina namun berada dalam kondisi hemodinamik stabil dan tidak sedang dalam gejala iskemik refratorik. Formulasi parenteral, dibandingkan dengan preparasi oral long acting, dapat digunakan pada kondisi akur untuk dapat memungkinkan titrasi pada pasien dengan sindroma koroner akut yang nyata, dengan abnormalitas hasil uji obyektif, dan dengan rasa tidak nyaman iskemik. Pada pasien dengan iskemik berulang, pemberian nitrat diindikasikan pada 24 jam hingga 48 jam pasca serangan. Pemberian nitrat ini dikontraindikasikan pada pasien dengan hipotensi (Tekanan Darah Sistolik < 90 mm Hg atau 30 mm Hg dibawah baseline), bradikardia ekstrim (<50 bpm), atau takikardia tanpa adanya kegagalan jantung (>100 bpm) dan pada pasien dengan infark ventrikel kanan. Harus dilakukan evaluasi ketat pada pasien dengan STEMI dinding inferior yang mendapat pemberian nitrogliserin dengan EKG untuk mengevaluasi adanya infark ventrikel kanan, karena pada pasien ini dibutuhkan preload ventrikel kanan yang adekuat. Nitrogliserin tidak boleh diberikan pada pasien yang mendapat terapi inhibitor fosfodiesterase (misalnya sildenafil) untuk mengatasi keluhan disfungsi erektil dalam rentang waktu 24 jam terakhir (48 jam jika yang digunakan tadalafil). Pemberian nitrogliserin tidak sensitif dan spesifik untuk sindroma koroner akut; etiologi rasa tidak nyaman gastrointestinal dan

penybab lain rasa tidak nyaman pada dada dapat berespon dengan baik terhadap pemberian nitrogliserin. Analgesik Tenaga kesehatan harus memberikan analgesik, seperti morfin intravena untuk rasa tidak nyaman pada dada yang tidak berespon terhadap pemberian nitrat. Morfin merupakan analgesik pilihan pada pasien dengan STEMI. Terapi Reperfusi Terapi reperfusi akut dengan PPCI (Primary Percutaneous Coroner Intervention) atau dengan terapi fibrinolitik akan mengembalikan aliran koroner pada daerah infark, membatasi daerah infark dan menurunkan resiko mortalitas. PPCI memiliki efek terhadap infark lebih baik dibandingkan terapi fibrinolitik. PPCI juga menurunkan resiko perdarahan intracranial dan stroke, sehingga merupakan cara reperfusi yang dipilih pada pasien usia lanjut dan pasien yang memiliki resiko mengalami perdarahan. Fibrinolitik Terapi awal dengan fibrinolitik merupakan modalitas terapi yang baik bagi pasien dengan STEMI pada 12 jam setelah onset dari gejala dan pada mereka yang tidak memiliki banyak kontraindikasi untuk penggunaan terapi ini. Pasien dievaluasi untuk menilai resiko dan keuntungan terapi; serta menilai kontrindikasi mutlak dan relatif dari terapi fibrinolitik.

Instalasi Gawat Darurat Pasien-pasien yang tiba di UGD, harus segera dievaluasi karena perburukan kondisi pasien akan semakin berat dengan seiring berjalannya waktu, karena makin cepat tindakan reperfusi dilakukan hasilnya akan lebih baik. Tujuannya adalah mencegah terjadinya infark miokard ataupun membatasi luasnya infark dan mempertahankan fungsi jantung. Manajemen yang dilakukan adalah sebagai berikut : 1. Dalam 10 menit pertama harus selesai dilaksanakan adalah:

a. pemeriksaan klinis dan penilaian rekaman EKG 12 sadapan, b. periksa enzim jantung CK/CKMB atau CKMB/cTnT, c. berikan segera: 02, infus NaCl 0,9% atau dekstrosa 5%, d. pasang monitoring EKG secara kontinyu, e. pemberian obat: f. nitrat sublingual/transdermal/nitrogliserin intravena titrasi (kontraindikasi bila TD sistolik < 90 mmHg), bradikardia (< 50 kali/menit), takikardia, g. aspirin 160-325 mg: bila alergi/tidak responsif diganti dengan dipiridamol, tiklopidin atau klopidogrel (AHA 2010: dosis klopedigrel 300 mg), dan h. mengatasi nyeri: morfin 2,5 mg (2-4 mg) intravena, dapat diulang tiap 5 menit sampai dosis total 20 mg atau petidin 25-50 mg intravena atau tramadol 25-50 mg intravena. (Pada Guideline AHA 2010) i. dilakukan pengambilan foto thoraks segera (<30 menit) j. Pada pasien dilakukan penilaian kemungkinan penggunaan fibrinolitik dengan menggunakan checklist fibrinolitik, dan menilai resiko serta kontraindikasi pemberian fibrinolitik.

2. Hasil penilaian EKG, bila: a. Elevasi segmen ST > 0,1 mV pada 2 atau lebih sadapan ekstremitas berdampingan atau > 0,2 mV pada dua atau lebih sadapan prekordial berdampingan atau blok berkas (BBB) dan anamnesis dicurigai adanya IMA maka sikap yang diambil adalah dilakukan reperfusi dengan : terapi trombolitik bila waktu mulai nyeri dada sampai terapi < 12 jam, usia < 75 tahun dan tidak ada kontraindikasi.

angioplasti koroner (PTCA) primer bila fasilitas alat dan tenaga memungkinkan. PTCA primer sebagai terapi alternatif trombolitik atau bila syok kardiogenik atau bila ada kontraindikasi terapi trombolitik b. Bila sangat mencurigai ada iskemia (depresi segmen ST, insersi T), diberi terapi antiiskemia, maka segera dirawat di ICCU; dan c. EKG normal atau nondiagnostik, maka pemantauan dilanjutkan di UGD. Perhatikan monitoring EKG dan ulang secara serial dalam pemantauan 12 jam pemeriksaan enzim jantung dari mulai nyeri dada dan bila pada evaluasi selama 12 jam, bila: EKG normal dan enzim jantung normal, pasien berobat jalan untuk evaluasi stress test atau rawat inap di ruangan (bukan di ICCU), dan EKG ada perubahan bermakna atau enzim jantung meningkat, pasien di rawat di ICCU.

STRATIFIKASI RESIKO PASIEN APTS/NSTEMI Pasien dengan APTS/NSTEMI memiliki peningkatan terhadap risiko kematian, infark berulang, iskemia berulang dengan simptom, aritmia berbahaya, gagal jantung dan stroke. Penilaian prognosis tidak hanya menolong untuk penanganan kegawatan awal dan pengobatannya, tetapi juga membantu penentuan pemakaian fasilitas seperti: 1. Seleksi ruang perawatan (CVCU, intermediate ward, atau rawat jalan) dan 2. Seleksi pengobatan yang tepat, seperti antagonis GP IIb/ IIIa dan intervensi koroner

Rekomendasi AHA 2010 Penilaian resiko pada pasien NSTEMI dan pasien dengan Angina Pektoris Tidak Stabil (APTS) dilakukan dengan menggunakan TIMI (Thrombolysis in Myocardial Infarction). Penilaian ini dilakukan bersamaan dengan proses diagnosis dari pasien sindroma koroner akut.

Kemudian stratifikasi ini dapat digunakan untuk menentukan tindakan terapi pada pasien, yaitu sebagai berikut.

DAFTAR PUSTAKA

Alwi, Idris. 2006. Ilmu penyakit Dalam Infark Myokard Akut dengan Elevasi ST. FKUI:Jakarta Alwi, Idris. 2006. Ilmu penyakit Dalam Infark Myokard Akut Tanpa Elevasi ST. FKUI:Jakarta. Departemen kesehatan RI, 2006.Pharmaceutical Care Untuk Pasien Penyakit Jantung Koroner : Fokus Sindrom Koroner Akut. Bhakti Husad:Jakarta Kumar, et al. 2007. Buku Ajar Patologi Ed.7. EGC:Jakarta Oconner, Robert E, et all, 2010. Acute Coronary Syndromes 2010 American Heart Association Guidelines for Cardiopulmonary Resuscitation and Emergency Cardiovascular Care. Available in http://circ.ahajournals.org/content/122/18_suppl_3/S787 Trisnohadi, 2006. Ilmu penyakit Dalam Angina Pektoris Tak Stabil. FKUI:Jakarta

Anda mungkin juga menyukai